• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA PNEUMONIA.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA PNEUMONIA.docx"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA I. Pneumonia

1. Definisi

Pneumonia adalah infeksi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari Pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali dipercaya (1,2).

Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri , virus, jamur dan benda asing. Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis,dan strategi pengobatan(1,2).

Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu: 1) Community acquired pneumonia, bila infeksinya terjadi di masyarakat, dan 2) Hospital acquired pneumonia, bila infeksianya di dapat di RS. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua bentuk pneumonia ini juga berbeda dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, penyakit dasar atau penyakit penyerta, dan prognosisnya. Pneumonia yang didapat di RS sering merupakan infeksi sekunder pada berbagai penyakit dasar yang sudah ada, sehingga spektrum etiologinya berbeda dengan infeksi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, gejala klinis, derajat beratnya penyakit, dan komplikasi yang timbul lebih kompleks. Pneumonia yang didapat di RS memerlukan penanganan khusu sesuai dengan penyakit dasarnya (1).

2. Epidemiologi

Pneumonia masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang tinggi pada anak di bawah usia 5 tahun di negara-negara berkembang. Pada penelitian yang di lakukan di RSUD Dr. Zainoel Abidin-Banda Aceh, ditemukan insidensi pneumonia yang masih tinggi baik pada tahun 2008 dan juga tahun 2009. Di antara 2035 kasus anak yang dirawat, sealam 2 tahun tersebut dari 2035 kasus

(2)

tersebut terdapat 144 (7,1%) kasus pneumonia termasuk yang disertai dengan panyakit lain. Penelitian di pakistasn selama satu tahun didapatkan insiden peneumonia lebih tinggi yaitu 38,2% kasus. Penelitian di Meksiko menunjukkan 724 kasus pneumonia yang dikonfirmasi dengan radioloigi selama 16 bulan pengamatan. Sedangkan di RS Toronto Kanada mendapatkan 238 kasus pneumonia selama waktu 10 tahun (1,7).

Persentase pneumonia pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Laporan penelitian yang dilakukan di beberapa negara seperti Amerika dan Thailand melapaorkan hal yang sama. Kasus pneumonia sudah banyak diteliti di berbagai negara di dunia dengan hasil yang bervariasi pada insidens, kuman penyebab, dan angka kematian (1,7).

3. Etiologi

Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus Pneumoniae, Hemophilus Influenza, Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Walaupun pneumonia viral dapat ditatalaksana tanpa antibiotik, tapi umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan (1,6).

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri Gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae (1,2).

(3)

Tabel 1. Penyebab pneumonia sesuai umur.

4. Manifestasi Klinis

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinik pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif.

Gambaran klini pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

Umur Penyebab terbanyak Penyebab yang jarang

Baru lahir -20 hari Bakteri Bakteri

Escherichia Coli Bakteri anaerobik Group B streptococci Haemophilus Influenza

S. Pneumoniae

Ureaplasma Uralyticum Virus

Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu – 3 bulan Bakteri Bakteri

Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis

Adenovirus S. aureus

Influenza Virus Virus

Parainfluenza virus 1,2,3 Varicella –Zoster virus Respiratory Syncytial virus

5 tahun - remaja Bakteri Bakteri

Chlamydia pneumoniae H. influenza

Mycoplasma Pneumoniae Legionella sprecies

S. Pneumoniae M. tuberculosis S. aureus Virus Adenovirus Epstein-Barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus

Respiratory Syncytial virus Varicella –Zoster virus

(4)

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisa, malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ektrapulmoner.

b. Gejala gangguang respiratorik, yaitu batuk, sesak napas, takipnea, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis (1,3).

5. Patologi dan Patogenesis

Umumnya mikroorganime penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukan kuman di alveoli. Beberapa bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (brokopneumonia), dan pada anak besar atau anak remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil, karena Stapylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan ezim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat.

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu: a) Stadium I (4-12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

(5)

Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang intertisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan kabondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

b) Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

c) Stadium III (3-8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

d) Stadium IV (7-11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia, viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen (1,2,5).

(6)

6. Diagnosis a. Anamnesis

Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulutnya, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah (2,3).

b. Pemeriksaan fisik

Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu, dalam upaya penanggulangan pneumonia WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana sederhana, gejala klinis sederhana tersebut meliputi napas cepat, sesak napas dan berbagai tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk, tanda bahaya untuk bayi berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam atau badan terasa dingin (1,4).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan (1,3)

c. Pemeriksaan Laboratorium  Darah perifer lengkap

Pada pneumonia virus dan pneumonia mikoplasma pemerikasaan darah lengkap umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat, akan tetapi pada pneumonia bakteri di dapatkan leukositosis antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN, leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Kadang-kadang terdapat ditemukan peningkatan laju endap darah (LED).

 C-Reactive Protein (CRP)

C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosi. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat

(7)

distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL-6, IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF), secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, kadang-kadang CRP digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik dimana kadar CRP turun secara meyakinkan pada hari pertama pengobatan.

 Uji Serologi

Uji serologi dapat digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi diagnosis infeksi Streptococcus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkata titer antibodi seperti antisterptolisin O, streptozim, atau anti DNAse B. peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu.

 Pemeriksaan mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik spesimennya dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan defenitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteremia sangan rendah sehingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia anak dilapokan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada kultur darah

d. Pemeriksaan Rontgen toraks

Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, pemeriksaan tersebut hanya dilakukakan pada pasien dengan tanda dan gejala klinis distres pernapasan seperti takipnea, batuk dan ronki, dengan atau tanpa suara napas melemah (1,3,4).

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari;

 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchoal cuffing dan hiperareasi.

 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak selalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai raound pneumonia.

(8)

 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai peningkatan corakan peribronkial.

Gambar 1: Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru kanan

Gambaran foto rontgen dapat membantu mengarahkan kecendrungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan hiperinflasi cendruang terliahan pada pneumonia virus. Infiltrar alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia, dan air bronchogam sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia stafilococcus sering ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran (1,2).

Meskipun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan secara uum gambaran foto rontgen toraks tidak dapat membedakan secara pasti antara pneumonia virus, bakteri, mikoplasma, atau campuran mikrooganisme tersebut (1,4).

7. Penatalaksanaan

Dasar tatalaksana pneumonia adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif, pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah, untuk nyeri dan demam dapat diberika analgetik atau antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif, penyakit penyerta harus

(9)

ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi (1,3).

a. Penatalaksanaan umum

Penatalaksanaan umum ditujukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien, yang biasanya datang dengan keadaan sesak napas dan lemah.

 Pemberian oksigen

Pemberian oksigen ini ditujukan untuk semua anak dengan pneumonia berat. Bila perlu gunakan pulse oxymetri sebagai panduan terapi oksigen. Oksigen diberikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%. Oksigen yang diberikan sebanyak 2 – 4 liter per menit, berlangsung dengan pemantauan saturasi oksigen, hingga sesak napas hilang. Oksigen dapat diberikan menggunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk mengantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus terus-menerus tersedia setiap saat. Bila telah dilakukan prosedur tersebut selama beberapa hari, perlu juga untuk melakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%, sebab pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.

 Rehidrasi

Pasien dengan sesak napas biasanya akan mengalami hipoksemia, hipokarbia, hingga asidosis. Untuk itu perlu pemasangan akses intravena atau infus guna rehidrasi keadaan umum yang lemah dan mengkoreksi ketidakseimbangan elektrolit. Sedangkan asidosis dapat diberikan bikarbonat.

b. Penatalaksanaan khusus

Penatalaksanaan khusus ditujukan untuk masing-masing pneumonia, tergantung berat-ringannya kondisi klinis/ diagnosis.

 Pneumonia ringan  Rawat jalan

(10)

 Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (100 mg/kg BB/kali) 3 kali sehari selama 3 hari.

 Pneumonia berat  Terapi oksigen

Sesuai penatalaksanaan umum di atas.  Terapi antibiotik

- Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin, oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta-laktam/klavulat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga.

- Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

- Pada kepustakaan lainnya penggunaan Ampisilin secara umum dengan dosis sebagai berikut:

o 100-400 mg/Kg/hari I.M atau I.V dosis terbagi per 6-8 jam o 50-100 mg/Kg/hari per oral dosis terbagi per 6-8 jam

o Infeksi berat: 200-400 mg/Kg/hari I.M atau I.V terbagi dalam 6-8 jam.

- Sedangkan adapun penggunaan Ampisilin untuk neonatus dengan menurut usia dan berat badan:

o < 7 hari

* < 2 kg: 50-100 mg/Kg/hari terbagi dosis per 6-8 jam secara I.M atau I.V

* >2 kg: 75-150 mg/Kg/hari terbagi dosis per 8 jam secara I.M atau I.V

o > 7 hari

* < 1,2 kg: 50-100 mg/Kg/hari terbagi dosis per 6-8 jam secara I.M atau I.V

* 1,2 – 2 kg: 75-150 mg/Kg/hari terbagi dosis per 6-8 jam secara I.M atau I.V

(11)

* >2 kg: 100-200 mg/Kg/hari terbagi dosis per 6-8 jam secara I.M atau I.V

- Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

- Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).

- Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto dada.

- Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari 3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.

 Terapi simptomatik - Bronkodilator

Bila ditemukan adanya wheeze, dapat diberikan bronkhodilator kerja cepat.

- Obat batuk

Keluhan batuk yang menyertai sesak napas saat pasien datang dapat diberikan obat batuk dari golongan mukolitik, dan ekspektoran. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, dapat dibantu dikeluarkan dengan alat pengisap secara perlahan.

- Antipiretik Pilihan obat:

(12)

Pemberian parasetamol oral harus dibatasi pada anak umur ≥ 2 bulan yang menderita demam ≥ 39° C dan gelisah atau rewel karena demam tinggi tersebut. Anak yang sadar dan aktif kemungkinan tidak akan mendapatkan manfaat dengan parasetamol. Dosis parasetamol 15 mg/kgBB per 6 jam.

· Cairan

Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi perlu berhati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.

Kebutuhan total cairan per hari seorang anak dihitung dengan formula berikut:

100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama, lalu 50 ml/kgBB untuk 10 kg berikutnya, selanjutnya 25 ml/kgBB untuk setiap tambahan kg BB-nya. Sebagai contoh, seorang bayi dengan berat 8 kg mendapatkan 8 x 100 ml = 800 ml setiap harinya, dan bayi dengan berat 15 kg (10 x 100) + (5 x 50) = 1250 ml per hari. Berikan anak sakit cairan dalam jumlah yang lebih banyak daripada jumlah di atas jika terdapat demam (tambahkan cairan sebanyak 10% setiap 1°C demam).

Selain pemberian cairan intravena, intake oral juga perlu terjamin. Menganjurkan untuk pemberian ASI dan cairan oral lainnya serta makanan padat.

· Jika anak tidak bisa minum, maka pemasangan pipa nasogastrik (NGT) dapat dipertimbangan dan diberikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral tercukupi, tidak dianjurkan memberikan makanan lewat NGT karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi.

· Jika anak sudah makan makanan padat, anak perlu dibujuk untuk makan segera setalah anak bisa menelan makanan. Makanan diberikan sesuai kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam menerimanya.

8. Komplikasi

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran

(13)

bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi. (1,3)

9. Diagnosis Banding

Berikut ini merupakan diagnosa banding anak umur 2 bulan-5 tahun yang datang dengan batuk dan atau kesulitan bernapas: (1,5)

Tabel 2. Diagnosa banding kesulitan bernapas pada anak

DIAGNOSIS GEJALA YANG DITEMUKAN

Pneumonia - Demam

- Batuk dengan napas cepat - Crackles (ronki) pada auskultasi - Kepala terangguk-angguk

- Pernapasan cuping hidung

- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam - Merintih (grunting)

- Sianosis

Bronkiolitis - Episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun

- Hiperinflasi dinding dada - Ekspirasi memanjang

- Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai - Kurang/tidak ada respons dengan bronkodilator

Asma - Riwayat mengi (wheezing) berulang

- Ekspirasi memanjang

- Terdengar mengi atau suara napas menurun - Membaik dengan pemberian bronkodilator Penyakit jantung

bawaan

- Sulit makan atau menyusu - Sianosis

- Bising jantung - Pembesaran hati

Efusi/empiema - Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intra toraks

- Pekak pada perkusi

Tuberkulosis (TB) - Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa - Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm, pada keadaan

imunosupresi ≥ 5 mm)

- Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun

- Demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas - Batuk kronis (≥ 3 minggu)

- Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik. Pembengkakan tulang/sendi

(14)

Pertusis - Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop, muntah,

- sianosis atau apnu - Bisa tanpa demam

- Imunisasi DPT tidak ada atau tidak lengkap - Klinis baik di antara episode batuk

Benda asing - Riwayat tiba-tiba tersedak

- Stridor atau distres pernapasan tiba-tiba - Wheeze atau suara pernapasan menurun yang

bersifat fokal

10. Prognosis

Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai 5%. Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi (1,5).

II. Tuberkulosis 1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang cepat.(1,5)

2. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal (1,4).

a. Manifestasi sistemik

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar

(15)

anak dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda sesala beberapa waktu. Sesuai dengan sifat kuman TB yang lambat membelah, salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi sistemik lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik (turun, tetap atau naik, tetapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukut dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta (1,5)

b. Manifestasi Spesifik

Manifestasi klinis spesifik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit.

Kelenjar limfe

Pembesaran kelenjar limfe superfisial sebagai manifestasi TB sering dijumpai, kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di aksila, ingunal, submandibula, dan supraklvikula. Secara klinis, karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat pada perabaa, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama lain (1,5)

Susunan Saraf Pusat (SSP)

Tuberkulosis pada SSP yang sering terjadi adalah mangingitis TB. Penyakit ini merupak penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecacatan yang tinggi. Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil, dan kejang. Proses patologi maningitis TB biasanya terbatas di basal otak, sehingga gejala neurologis lain berhubungan dengan gangguan saraf kranial. Bentuk TB SSP yang lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi klinisnya lebih samar daripada meningitis TB, sehingga biasanya terdeteksi secara tidak sengaja. Bila telah terjadi lesi yang menyebabkan proses desak ruang, maka manifestasi klinisnya sesuai dengan lokasi lesi (1.5).

Sistem Skeletal

Gejala yang umum ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri, bengkak pada sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak, gejala infeksi sitemik biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedangan dalam

(16)

masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengaan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu, TB sistem skeletal lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Tuberkulosis sistem skeletal yang sering terjadi adalah spodilitis TB, koksitis TB, dan gonitis TB. Manifestasi klinis TB sistem skeletal biasanya muncul secara perlahan dan samar sehingga sering lambat terdiagnosis. Manifestasi klinis dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus. Tidak jarang pasien datang pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan ireversibel. Gejalanya dapat berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh,dan sulit membungkuk.

Kulit

Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua cara, yaitu inokulasi langsung (infeksi primer) seperti tuberculos chancre , dan akibat limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofuloderma (TB pascaprimer). Manifestasi TB pada kulit yang paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu dalam bentuk skrofuloderma. Skrofuloderma sering ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan lateral leher (1,5)

3. Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN (1,2).

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer

(17)

terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis) (1,2).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler (1,2).

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (1).

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (1).

(18)

dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (1).

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik (1).

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (1).

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai

(19)

Fokus SIMON. Bertahun- tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain (1).

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita (1).

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma (1).

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang (1,5).

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya

(20)

infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda (1).

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer (1).

(21)

Gambar 2 : Bagan patogenesis tuberkulosis 4. Diagnosis

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:(3,5)

 Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.  Pemeriksaan fisik.

 Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).  Pemeriksaan patologi anatomi (PA).

 Rontgen dada (thorax photo).  Uji tuberkulin.

Diagnosis TB Paru

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain (3,5).

(22)

 

Gambar 2 : Parameter Skoring pada pasien anak Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

 Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.

 Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

 Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).  Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak  Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari

setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.  Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)

 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak (3,5).

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): (3,5)

 S(sewaktu):Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

 P(Pagi):Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

(23)

 S(sewaktu):Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (1,5).

Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: (1,5)

 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.

 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).  Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

Diagnosis TB Ekstra Paru

 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang

(24)

belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

 Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain (1,5).

Uji Tuberkulin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik (3,5).

Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada 1⁄2 bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:

 Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.

 Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan.Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.

 Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

(25)

4. Tatalaksana

Alur tatalaksan pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang, evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan, bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan berarti, OAT tetap dihentikan (3).

Panduan obat TB pada Anak

Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun lanjutan, untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam bentuk paket, satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), sedangkan untuk tahap lanjutan yaitu Rifampisin (R), dan Isonisid (H) (3).

SKOR > 6

Beri OAT

Selama 2 bulan dan dievaluasi

Respon (-)

Terapi TB diteruskan sambil mencari penyebabnya

Respon (+)

(26)

Dosis

 INH : 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari

 Rifampisin : 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari  Pirazinamid :15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2000 mg/hari  Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1250 mg/hari  Stereptomisin :15-40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, panduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu: (3)

 Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari Rifampisin (R), Isonizid (H), dan Pirazinamid (Z) yang digunakan pada fase intensif.  Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari Rifampisin (R) dan

Isonizid (H)yang digunakan pada fase lanjutan.

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus sesuai dengan berat badan anak dan komposisi dari tablet KDT tersebut.

Tabel 3. Dosis KDT pada anak

Berat Badan (Kg) 2 Bulan Tiap Hari RHZ (75/50/150)

4 Bulan Tiap Hari RH (75/50) 5-9 1 tablet 1 tablet 10-14 2 tablet 2 tablet 15-19 3 tablet 3 tablet 20-32 4 tablet 4 tablet Keterangan:

 Bayi dengan berat badan kurang 5 kg dirujuk ke rumah sakit.  Anak dengan BB > 33kg, disesuaikan dengan dosis dewasa.  Obat harus diberikan secara untuh, tidak boleh dibelah.

 OAT KDT dapat diberikan dengan cara, ditelan secara utuh atau digerus sesat sebelum diminum.

(27)

Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak dosisnya seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Dosis OAT Kombipak pada anak fase intensif

Jenis Obat BB <10 KG BB 10-20 KG (KOMBIPAK) BB 20-32 KG Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 4. Dosis OAT Kombipak pada anak fase lanjutan

Jenis Obat BB <10 KG BB 10-20 KG

(KOMBIPAK)

BB 20-32 KG

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ektrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal 4 macam oabt (INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan, untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB edobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu 2-6 minggu. Tujuan pemberian streroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadinya perleketan jaringan (3).

BAB III

(28)

Pada Laporan kasus ini seorang anak perempuan usia 3 bulan dengan berat badan 3300 gram, datang ke Poli Anak Pasien datang ke Poli Anak RSOB dengan keluhan sesak napas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), keluhan anak tampak biru saat sesak tidak ada, ibu pasien mengatakan sesak napas tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi atau cuaca, keluhan sesak napas tidak disertai adanya suara napas berbunyi (mengi) atau mengorok, pasien juga ditemukan batuk, lama lebih kurang satu bulan SMRS, batuk tidak berdahak, pada pasien juga ditemukan demam, demam tidak terlalu tinggi, menurut ibu pasien, pasien ditemukan penurunan berat badan pasien sebanyak 1 kg sejak 1 bulan yang lalu, terdapat muntah, frekuesi muntah 3 kali per hari, muntah berisi cairan.

Pada pemeriksaan fisik retraksi dinding dada, frekuensi pernapasan meningkat 36 x/menit, dan ditemukan suara tambahan berupa ronki pada kedua lapangan paru, pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis dan pada pemeriksaan rotgen thorak terdapat kesan pneumonia pada kedua paru dan efusi pleura minimal

Penderita datang dengan keluhan utama sesak napas. Dari keluhan ini dapat dipikirkan adanya kelainan pada paru-paru, jantung, kelainan metabolik seperti asidosis metabolik dan uremia. Dari alloanamnesis tidak didapatkan riwayat terlihat biru saat lahir ataupun menangis serta riwayat berhenti-berhenti saat disusui disangkal, dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sehinggan kemungkinan kelainan jantung dapat disingkirkan. Kelainan metabolik dapat disingkirkan karena tidak ditemukan napas hembus dan BAK tidak ada keluhan. Oleh karena itu dapat dipastikan sesak napas pada kasus ini merupakan kelainan paru-paru.

Dari alloanamnesis didapatkan pasien mengalami batuk serta demam, sehingga dapat dipikirkan adanya suatu penyakit infeksi. Selain itu, di dapatkan retraksi pada diding dada, dan ronki pada lapangan paru yang merupakan gejala klinis bronkopneumonia, sehingga diagnosis bronkopneumonia pada pasien ini dapat ditegakkan.

Pada pasien ini juga ditemukan riwayat batuk lama, menurut pengakuan orang tua pasien batuk telah dialami selama lebih kurang satu bulan dan hal ini juga diikuti oleh demam, demam tidak terlalu tinggi dan bersifat hilang timbul, dan di

(29)

temukan penurunan berat badan, pada pasien ini terlihat adanya tanda-tanda gizi buruk dimana nilai antropomentri pasien ini dibawah percentile – 3 Standar deviasi , dan pada hasil test mountox atau tuberkulin adalah positif, walaupun tidak ditemukan adanya kontak dengan orang dewasa yang batuk lama atau dengan BTA positf, menurut parametee skoring TB pada anak, skoring lebih dari 6 dapat ditegakkan diagnosis TB paru pada anak.

Pada pasien ini diberikan terapi O2 nasal kanul untuk mengurangi sesak pada pasien ini, antibiotik cefotaxime 3 x 200 mg IV ditambah Gentamisin 3x8 mg IV juga diberikan pada pasien ini, hal ini diberikan sedini mungkin sihingga dapat memotong perjalan penyakit, sehingga stadium khas dari pneumonia yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi, farbivent nebu dan paracetamol drip 1 gram diberikan untuk mengurangi simptomatik.

Pada pasien ini juga di diagnosis TB, sehingga diberikan pengobatan TB yang sesuai pada anak, dimana pengobatan TB ini dibagi dalam 2 tahap yaitu fase intesif dan fase lanjutan, pengobatan TB pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intesif maupun lanjutan, pemberian OAT dapat diberikan secara ditelah secara utuh atau digerus sesat sebelum diminum hal ini tergangtung dengan kondisi pasien, OAT yang diberikan Isoniazid 50 mg, Rifampisin 75 mg, dan Pirazinamid 150 mg, hal ini sesuai dengan dosis obat yang diberikan pada anak-anak menurut berat badannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto D. Buku Ajar Respiratori Anak IDAI, Jakarta, 2008.

(30)

2. Gupte S. The Short Textbook Of Pediatrics 11th Edition, Jaype Medical, 2009.

3. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, WHO, Jakarta

2009.

4. Erber dkk. Paediatric Resporatory Medicine 1st Edition, The European Respiratory Society, 2013.

5. Pudjiadi, dkk. Pedoman Pelayanan Medis IDAI, 2009.

6. Said, M. Pneumonia Atipik pada Anak, Sari Pediatri, Vol.3, Desember 2001.

7. Nurjannah, dkk. Profil Pneumonia pada Anak di RSUD Dr. Zainoel

Gambar

Tabel 1. Penyebab pneumonia sesuai umur.
Gambar 1: Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak  infiltrat pada paru kanan
Gambar 2 : Bagan patogenesis tuberkulosis
Gambar 2 : Parameter Skoring pada pasien anak
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada diagram di atas terlihat bahwa akronim Kaur merupakan bentuk kependekan dari Kepala urusan Proses pembentukannya terbentuk melalui pengekalan hurf

 Sampling Jamak : adalah suatu rencana sampling dimana keputusan untuk menerima atau menolak lot berdasarkan pada pemeriksaan beberapa penarikan sampel. , n k ) 

Dalam perspektif perencanaan pembangunan daerah, sesuai amanat Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 dan amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 pada Pasal 272 Ayat

Èæåâñê: Óäìóðòñêèé Èíñòèòóò Èñòîðèè, ßçûêà è Ëèòåðàòóðû ÓðÎ ÐÀÍ. Óä-

Dari hasil analisis zonasi kawasan kota pusaka tersebut didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan Kota Pusaka di Kota Palembang yaitu faktor

Cortana, Microsoft’s voice assistant, is available to developers through an SDK , and Skype acts as a messaging platform for bots.. Microsoft has also published Bot Framework ,

Dari hasil analasis yang telah dilakukan dalam skripsi yang berjudul Pengaruh Penghasilan Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar Siswa SMP Islam Dharma Lestari Pulutan Tahun

Misalnya strategi dalam permainan basball, permainan sepak bola saat melakukan serangan, serta memancing ternyata juga merupakan salah satu kegiatan yang yang