• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Marketing

Secara sederhana marketing dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara menguntungkan. Dalam pelaksanaannya marketing sangat dibutuhkan oleh entitas bisnis agar dapat melangsungkan kegiatan bisnisnya.

Lebih jauh, Philip Kotler (2006) menawarkan definisi berikut:

“Pemasaran adalah proses sosial dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, peneawaran dan pertukaran produk dan jasa yang berharga secara bebas dengan individu dan kelompok lainnya.”

Dalam persaingan yang semakin ketat saat ini, organisasi bisnis semakin menyadari pentingnya penerapan fungsi pemasaran dikarenakan meningkatnya tuntutan konsumen dan kompetisi. Pemasaran dilakukan oleh organisasi bisnis agar dapat memenangkan perebutan konsumen dengan kompetitor lain yang ada. Di dalam perkembangannya marketing tidak hanya diterapkan oleh organisasi bisnis tetapi juga oleh organisasi non-bisnis. Dengan menerapkan prinsip dasar darinya –yaitu suatu upaya untuk memuaskan kebutuhan konsumen–, suatu organisasi non-profit yang menerapkan prinsip marketing berusaha untuk memuaskan fungsi internal maupun eksternal sebagai tolak ukur kesuksesan organisasi. Dengan mengukur tingkat kepuasan dari stakeholder yang mereka miliki, suatu organisasi berharap dapat meningkatkan kinerja mereka dari waktu ke waktu.

2.2 Marketing Politik

Seiring perkembangan jaman marketing tidak hanya dilihat sebagai suatu instrument di dalam aktivitas bisnis. Di dalam Firmanzah (2007), Bagozzi (1974; 1975) menjelaskan bahwa marketing adalah proses yang memungkinkan adanya

(2)

pertukaran (exchange) antara dua pihak lebih. Artinya memang sangat dimungkinkan jika aktivitas marketing dijalankan dalam konteks sistem sosial secara luas, dimana pihak yang saling berkepentingan berinteraksi dan berusaha untuk saling mengamankan kepentingan yang mereka miliki. Termasuk di dalamnya yaitu penerapan prinsip-prinsip marketing di dalam dunia politik dewasa ini.

Marketing politik muncul sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dari pemilih sehingga mereka mendapatkan kepuasan dari kontrak politik yang coba untuk ditawarkan oleh partai. Di dalam Davies & Newman (2006), Newman mengatakan bahwa partai politik atau kandidat harus mencari cara untuk membujuk pemilih; hal itu dapat dilakukan dengan mencari tahu keinginan pemilih, mengembangkan program yang berhubungan dengan isu, dan mencoba untuk mempromosikan program yang mereka miliki dengan cara yang menarik. Kesemuanya dapat dilakukan dengan mengaplikasikan market research dan mengembangkan campaign strategy yang berkesesuaian.

2.3 Komunikasi

Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi, pertukaran dari ide atau proses untuk menyamakan pemikiran antara pengirim dan penerima pesan (Belch, 2007). Proses dari komunikasi dapat dipengaruhi oleh beberapa factor seperti sifat dari pesan, interpretasi dari pendengar dan kondisi lingkungan di mana pesan itu diterima.

Pada gambar di atas dijelaskan bahwa ada proses encoding dari sumber pesan yang coba untuk disampaikan melalui media tertentu. Pada proses tersebut pengirim pesan memulai dengan memilih kata, simbol dan gambar yang merefleksikan maksud dari pesan. Pada tahapan ini pengirmi pesan berusaha untuk memilih simbol yang sesuai dengn target pendengar. Pengirim pesan berusaha untuk mengirim pesan menggunakan simbol yang dapat dimengerti oleh audience-nya.

(3)

Channel adalah cara bagaimana pesan coba disampaikan oleh sumber kepada penerima. Pesan dapat disampaikan secara langsung oleh sumber ataupun dapat disampaikan menggunakan perantara. Untuk mendapatkan pesan yang tepat, sender harus mempertimbangkan dengan cara apa mereka menyampaikan pesannya. Hal ini perlu dipertimbangkan agar penerima pesan tidak mendapatkan kesan yang salah dari pesan yang diterima.

Decoding adalah proses pengembalian pesan yang dikirim oleh sender kembali menjadi sebuah pemikiran. Pemikiran inilah yang pada akhirnya menjadi apa yang diterima oleh receiver. Di dalam encoding tersebut terdapat banyak faktor yang membentuk pesan kembali menjadi suatu pemikiran, diantaranya yaitu referensi dari pengalaman, persepsi, sikap dan nilai yang dimiliki oleh receiver.

Pesan efektif jika pesan yang disampaikan oleh pengirim pada saat encoding sama dengan pesan yang diterima oleh receiver pada saat decoding. Dalam artian lain si penerima pesan memahami dan mengintepretasikan secara akurat apa yang coba disampaikan oleh pengirim, pesan.

Untuk mendapatkan pesan yang efektif akan sangat dimungkinkan jika proses ini akan mendapatkan hambatan atau gangguan yang muncul secara tidak terduga, biasa disebut dengan noise. Gangguan pada proses encoding, channel,

Gambar 2.1 Proses Komunikasi

Sumber: Belch & Belch (2008) Source/ Sender Receiver Receiver’s Field of Experience Sender’s Field of Experience Noise Response Feedback Enco-ding Channel Message Deco-ding

(4)

dan proses decoding sangat mungkin terjadi. Belum lagi adanya ketidaksamaan pengalaman, persepsi, sikap dan nilai dari kedua belah pihak sehingga bisa saja sender mengirimkan simbol, kata atau gambar yang salah dipahami oleh receiver.

Dan pada akhirnya untuk melakukan evaluasi, sender dapat menilai seberapa efektif komunikasi yang telah mereka lakukan dengan meminta feedback dari receiver. Feedback mereka dapatkan dari respon yang dilakukan oleh receiver. Dengan adanya siklus pada proses komunikasi diharapkan akan terjadi kesepahaman yang lebih baik oleh kedua belah pihak dikemudian hari.

2.4 Efektivitas iklan

Terdapat berbagai teori yang menjelaskan tentang efektivitas iklan. Efektivitas iklan dapat dipandang dari berbagai sisi. Salah satunya adalah model hierarchy of effect yang menjelaskan langkah-langkah konsumen sebelum membeli produk. Di dalam Belch (2007) dijelaskan, model yang diciptakan oleh Lavidge dan Steiner pada tahun 1961 ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana konsumen menggunakan iklan dalam menentukan keputusan mereka dalam membeli produk. Model ini terdiri atas tujuh tahapan yaitu unawareness, awareness, knowledge, liking, preference, conviction dan purchase. Dimana tujuh tahapan ini dapat dibagi secara umum ke dalam tiga proses yaitu:

a. Aware dan tahu akan produk b. Memiliki attitude terhadap produk

c. Memutuskan untuk membeli produk yang dimaksud

Dengan kata lain konsumen akan berpikir, menyukai dan baru kemudian membeli produk tersebut. Walaupun banyak kritikan terhadap teori ini bahwa konsumen akan memiliki pergerakan linier dari berpikir kemudian merasakan dan kemudian melakukan pembelian, akan tetapi terdapat beberapa model lain yang berupaya melakukan penyempurnaan terhadap model ini. Antara lain menurut Palda (1966), Smith dan Swinyard (1982), Greenwald dan Leavitt (1984) dan Barry(1987), bahwa seorang konsumen akan melakukan pembelian atas produk low involvement berdasarkan referensi dari grup yang ia percaya. Dengan kata lain, konsumen akan berpikir terlebih dahulu sebelum menyukai dan membeli

(5)

suatu produk khususnya untuk produk high involvement. Sedangkan pada produk low involvement, konsumen terbiasa untuk langsung bertindak melakukan pembelian. Mereka kemudian mengevaluasi tindakan mereka setelah melakukan pembelian atas produk low involvement tersebut.

Model-model persuasi (Vakratsas dan Ambler, 1999) menyebutkan bahwa pengaruh iklan pada konsumen akan terjadi menurut hirarki persuasi yang dimulai dari cognitife-affektive-conative (behavior) yang sejak tahun 1961 dikatakan sebagai hierarchy of effect (Lavidge dan Steiner, 1961; Palda, 1966; Barry dan Howard, 1990). Urutan ini sebenarnya tidak baku dari derajat keterlibatan konsumen ketika memutuskan pemilihan merek produk (Barry dan Howald, 1990; Vakratkas dan Ambler, 1999). Akan tetapi, terdapat ide yang cukup keras menentang dan mengatakan bahwa yang terjadi justru purchase-experience-memory atau sama dengan behavior-affective-cognitive (Vatkratkas dan Ambler, 1999).

Berbagai literatur menunjukkan bahwa setiap tahapan dalam hierarchy of effect dapat merupakan output dan pemrosesan terhadap iklan (Wells dan Presky, 1996). Wu (2001) secara tegas melakukan penelitian yang mengukur pengaruh iklan menggunakan kerangka hierarchy of effect dan tesis yang menyebutkan bahwa pengaruh iklan dapat berupa tahapan dalam hierarchy of effect. Tentang hierarchy of effect sendiri walaupun urutan standardnya ditentukan pertama kali oleh Lewis (1898 pada Strong, 1925) akan tetapi istilah yang kemudian digunakan adalah hierarchy of effect seperti yang dipopulerkan oleh Lavidge dan Steiner pada tahun 1961. Walaupun diiringi dengan perdebatan (Palda, 1966; Barry dan Howard, 1990) akan tetapi sampai sat ini yang masih digunakan baik oleh para praktisi maupun ilmuwan adalah adanya hirarki standar melalui kognitif, afektif, dan konatif (Baker, 1994).

Barry dan Howard (1990) menggambarkan perjalanan konsep ini melalui konsep AIDA yaitu Attention, Interest, Desire, dan Action. Kemudian model lain menurut Lavidge dan Steiner (1961) adalah hierarchy of effect dengan AKLPCA, Awareness – Knowledge – Liking – Preference –Conviction - Action. Menurut Roger (1962) adalah AIETA, Awareness – Interest – Evaluation – Trial – Adoption. Menurut Robertson (1971) adalah ACALTA yaitu Awareness –

(6)

Comprehension – Attitude – Legitimation – Trial – Adoption. Kemudian konsep terbaru datang dari Preston dan Thorson (Preston, 1982; Preston dan Thorson, 1993) dengan model asosiasi dan model ini sangat komprehensif karena melibatkan detail-detail seperti advertising element awareness, association evaluation, dan lain-lain.

Secara umum, iklan yang efektif berfokus pada produk dan image yang tepat akan merek sebagai pesan atau prospek. Iklan mengkomunikasikan pesan, kemudian alasan untuk pembelian (sales logic) harus nyata. Akhirnya iklan harus dapat mempengaruhi konsumen dalam berbagai cara dengan menyentuh emosi mereka, mempengaruhi sikap, dan mentransformasikan pengalaman mereka dan menambah tingkat informasi mereka. Selain itu, Iklan yang efektif dapat diartikan sebagai iklan yang dapat menggerakkan tujuh elemen dasar (Moriarty Sandra and Charles Patty, 1990): 1) menginformasikan yang benar, 2) dengan sentuhan yang benar dari kekacauan, 3) dengan alasan untuk pembelian yang benar, 4) denngan asosiasi merek dan image yang benar, 5) kepada konsumen yang tepat, 6) membicarakan keinginan dan kebutuhan yang benar, 7) menciptakan sikap yang benar dan responden yang emosional.

2.4.1 Cognitive Respond Model

Menggunakan dasar teori yang berbeda, pada Cognitive Respond Model yang dijelaskan oleh Belch dan Belch (2007) diidentifikasikan tiga kategori dasar yang biasa digunakan oleh peneliti untuk mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan attitude dan intention. Teori ini lebih mengedepankan proses kognitif dari audience dalam memproses informasi yang diterima dari sumber. Tiga kategori dasar tersebut adalah penilaian terhadap Product/Message, penilaian terhadap Source dan penilaian terhadap Ad Execution sebagai pembentuk sikap dan keputusan pembelian konsumen.

(7)

2.4.1.1 Message Thought

Ketika suatu iklan menyampaikan pesannya, terdapat beberapa faktor penting yang sebenarnya ingin mereka sampaikan kepada audiensnya, yaitu:

a. Kemudahan iklan tersebut untuk dimengerti (take outs/ understanding)

Aspek yang ditangkap oleh target audience pada umumnya adalah jalan cerita (story line) dan inti dari pesan yang ingin disampaikan. Sebuah iklan yang mudah dimengerti akan menunjukkan alur cerita yang jelas. Jalan cerita yang digunakan tidak berbelit-belit dan secara jelas mengkomunikasikan inti pesan dari sebuah produk atau jasa yang diiklankan.

b. Relevance dari inti pesan yang disampaikan

Sebelum masuk ke dalam relevance terhadap inti pesan sebenarnya, terdapat saringan awal yakni relevance terhadap produk kategori. Ketika seorang pemirsa tidak menganggap bahwa produk kategori tersebut relevan terhadap kehidupannya (contoh produk bayi untuk pria bujangan) maka pada umumnya orang tersebut tidak berusaha untuk memahami inti dari pesan yang disampaikan. Jika produk yang diiklankan memang merupakan produk yang potensial untuk mereka gunakan maka proses selanjutnya adalah mencoba untuk memahami pesan apa yang disampaikan oleh iklan tersebut. Suatu pesan dikatakan relevan jika pesan tersebut mampu menjawab masalah yang dimiliki Sumber: Belch & Belch (2007)

Gambar 2.2 Cognitive Response Model

Cognitive Response Attitudes Intention Message thought Attitude Toward The Advertisement Ad execution Brand Attitude Purchase Intention Source-oriented Eksposure

(8)

oleh target market dan membuat target responden ingin mencapai suatu keadaaan yang diceritakan dalam pesannya.

c. Believability dan credibility

Suatu iklan tidak akan efektif jika pesan tersebut tidak dipercaya. Terdapat beberapa aspek yang harus dilihat yaitu: apakah yang dijanjikan oleh pesan tersebut bisa dicapai (believeability) dan apakah perusahaan pengiklan dipandang mampu untuk melakukan apa yang dipesankan (credibility). Kedua hal ini erat kaitannya dengan source pada iklan. Source ini pula yang akan menjadi penentu apakah pesan yang disampaikan dapat dipercaya kebenarannya oleh konsumen.

d. Acceptance

Di dalam Rossiter dan Percy (1997) juga dijelaskan bahwa di dalam mengukur message thought pada cognitive respond diperlukan yang dinamakan proses acceptance. Acceptance dapat didefinisikan sebagai informasi atau benefit claims yang dipercaya dan disepakati oleh konsumen selaku audience dari iklan. Acceptance diperlukan dalam proses high-involvement persuasion dimana hal tersebut baru dapat diperoleh setelah konsumen melakukan learning. Proses ini dapat dilihat pada ALEA Processing Model di bawah, dimana acceptance baru dapat terjadi setelah audience mengalami proses learning dan emotion response.

Learning

Emotion

Acceptance Attention

Sumber: Rositter & Percy (1997)

(9)

2.4.1.2 Source Thought

Adalah orang yang menyampaikan pesan melalui iklan yang ditayangkan. Para pemasar percaya bahwa sumber dari informasi dapat mempengaruhi proses kognitif dari penerima pesan. Karena itu pemilihan source yang dipersepsikan positif diharapkan dapat memaksimalkan pengaruh dari pesan yang disampaikan. Helbert Kelman (Belch & Belch 2007) mengembangkan atribut ini berdasarkan tiga kategori yaitu kredibilitas, attractiveness, dan power. Tiap atribut mempengaruhi penerima pesan dengan cara yang berbeda.

a. Credibility

Kredibilitas dari source dibentuk dari persepsi konsumen akan relevansinya terhadap produk. Relevansi bisa datang dari pengetahuan, keahlian ataupun pengalaman dari source. Selain itu source harus mendapatkan kepercayaan dari penerima informasi bahwa dia akan memberikan informasi yang sebenarnya dan tidak bias. Semakin kredibel seorang source, maka akan semakin mudah bagi mereka agar dapat mempengaruhi para audience-nya. b. Attractiveness

Atribut lain yang berpengaruh penting adalah attractiveness dari source terhadap para audience-nya. Attractiveness bisa terjadi dikarenakan adanya similarity, familiarity ataupun likability audience terhadap source yang digunakan. Similarity merefleksikan adanya persamaan antara audience dengan source-nya. Familiarity muncul karena audience cukup mengenal dan mengetahui sepak terjang dari source selama ini. Dan likability merupakan afeksi dari audience terhadap source baik dari penampilan fisik, perilaku ataupun faktor lain.

c. Power

Source memiliki power jika dia mampu memberikan reward ataupun punishment pada receiver. Karena adanya pengaruh ini, source mampu menekan receiver untuk melakukan perintahnya. Pengaruh ini bisa disebabkan beberapa factor. Yang pertama source dianggap mampu melakukan tindakan baik positif ataupun negative untuk mengontrol sikap yang dilakukan oleh receiver, source dianggap peduli dan akan melakukan aksi terhadap sikap yang

(10)

akan mereka lakukan, dan source juga dianggap memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi terhadap respon yang mereka berikan.

2.4.1.3 Ad Execution Thought

Eksekusi iklan adalah sarana kreatif yang diharapkan mampu membuat pemirsa memperhatikan agar mampu menyampaikan pesan yang ingin dikatakan oleh pengiklannya. Di dalam Belch (2007) disebutkan bahwa eksekusi iklan pada dasarnya memiliki komponen yang sama yakni: bunyi-bunyian, suara (voice), musik dan gambar. Hal-hal yang biasanya menjadi faktor penting dalam executional elements adalah:

a. Presentasi produk

Telah dinyatakan di bagian awal bahwa setiap iklan membawa pesan tentang produk atau merk. Untuk kebanyakan produk dimana pengalaman mengkonsumsi (consumption experience) merupakan hal esensial, peragaan produk yang merupakan aspek utama. Produk seperti obat-obatan atau pembasmi serangga dimana pesan utama yang berusaha disampaikan adalah hasil akhir dari konsumsi produk, presentasi produk bisa dianggap tidak menentukan. Dalam urutan presentasi pesan yang disampaikan, pengiklan harus memperhatikan bagian mana dari iklan yang akan ditampilkan akan memberikan ingatan yang dalam bagi penonton. Biasanya iklan akan menempatkan pesan utama di bagian awal atau akhir iklan.

b. Talent/ Endorsers

Pemilihan penggunaan talent merupakan salah satu aspek penting dalam iklan. Dalam banyak iklan, sumbangan talent dalam iklan mencakup hampir seluruh aspek penting dalam penyampaian pesan seperti cut-through, appeal (daya tarik) dan believeability. Untuk itu banyak iklan menggunakan orang yang terkenal (artis atau public figure), menarik (orang cantik/ ganteng/ seksi/ maskulin) atau lucu sebagai talent dari iklan tersebut. Di lain sisi, penggunaan orang biasa juga banyak dilakukan terutama untuk iklan-iklan yang bersifat testimonial.

(11)

c. Voice Overs

Pesan yang disampaikan bisa dilakukan melalui talent yang tidak tampak di dalam eksekusi iklan disebut dengan voice over. Biasanya para pengiklan menggunakan aktor atau aktris terkenal yang memiliki suara yang unik untuk menjadi voice over dalam iklannya. Voice Over yang memperkuat aspek audio dari sebuah iklan dapat menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam ingatan penonton. Hal ini dikarenakan tidak jarang dari penonton mengulang istilah-istilah yang diucapkan Voice Over sebagaimana Jingle yang didendangkan oleh penonton.

d. Setting

Tempat pengambilan gambar juga merupakan hal yang penting dalam beriklan terutama untuk iklan-iklan yang dimaksudkan untuk menyampaikan manfaat self expressive. Pada umumnya setting dari suatu iklan adalah tempat-tempat dimana produk tersebut biasa dikonsumsi, tempat-tempat yang memiliki nilai keindahan atau tempat-tempat yang eksklusif. Dalam banyak iklan digunakan setting luar negeri untuk menciptakan citra-citra tertentu. Namun, banyak juga iklan yang menggunakan setting lokal untuk memastikan penonton yang disasar memahami pesan yang dikomunikasikan kepada mereka.

Penelitian yang spesifik terhadap keefektifan dari elemen-elemen eksekusi iklan sudah pernah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Di awali oleh Twedt (1952) dan Diamond (1968), lalu diikuti oleh Holbrook dan Lehmann (1980), dan Rositter (1981), mereka melakukan penelitian mengenai seberapa besar pengaruh elemen eksekusi iklan pada media cetak. Setelah itu Gorn (1982) dan Macklin (1988) yang berusaha untuk melihat seberapa besar pengaruh musik dalam mempengaruhi efektivitas iklan. Penelitian ini hanya merupakan beberapa dari banyaknya tradisi penelitian yang telah dilakukan untuk melihat seberapa jauh elemen eksekusi iklan secara spesifik dapat mempengaruhi sikap dan keinginan dari audience iklan.

Satu dari beberapa penelitian yang paling komprehensif yang melakukan penelitian pada iklan televisi dilakukan oleh Steward dan Furse (1984, 1985, 1986). Penelitian dilakukan terhadap 1.059 iklan televisi untuk melihat pengaruh elemen eksekusi iklan terhadap recall, comprehension, dan choice dari advertising

(12)

audience. Dalam penelitian berikutnya Stewart dan Koslow (1989) melakukan replikasi dan melakukan beberapa modifikasi yang terkait dengan konstruk dari variable penelitian yang digunakan pada penelitian sebelumnya.

Dalam penelitiannya Stewart dan Koslow (1989) mendefinisikan elemen eksekusi iklan televisi terbagi atas 15 variabel independen yaitu:

a. Information content

b. Brand/product identification c. Congruence of comercial elements d. Visual devices

e. Auditory devices

f. Promise, appeals & propositions g. Commercial tone or atmosphere h. Comparison

i. Commercial structure j. Commercial format k. Music and dancing l. Commercial characters m. Commercial setting n. Commercial approach o. Timing and other variable 

Hasil dari penelitian Stewart dan Koslow mendapatkan kesimpulan bahwa brand/product identification sangat berpengaruh dalam mempengaruhi proses pembelian konsumen. Hal itu digambarkan bahwa di dalam iklan, konsumen sangat memperhatikan akan pentingnya sesuatu yang unik dan berbeda yang untuk disampaikan kepada konsumen. Di dalam penelitian juga diungkapkan bahwa memorability dan persuasiveness dari konsumen akan meningkat jika iklan lebih difokuskan pada produk dan manfaatnya.

2.4.2 Hubungan antara Attitude Toward The Ad, Brand Attitude, dan Purchase Intention

Pada proses evaluasi efektivitas komunikasi pemasaran, pemasar harus memberikan perhatian kepada sikap konsumen karena mampu mencerminkan penilaian positif/negative terhadap produk dan kecenderungan perilaku pembeli. Perilaku konsumen tidak hanya disebabkan oleh sikap, akan tetapi dapat juga dipengaruhi oleh factor lain. Akan tetapi, sikap konsumen ini sangat penting untuk diteliti oleh pemasar karena iklan dan berbagai bentuk komunikasi

(13)

pemasarean memang dirancang untuk menciptakan sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan, memperkuat sikap yang sebelumnya telah dimiliki konsumen, dan memungkinkan mengubah sikap negative terhadap produk (Belch dan Belch, 2006).

Riset pemasaran dan komunikasi telah menfokuskan perhatian kepada attitude toward the ad, brand attitude dan purchase intention. Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa rasa suka konsumen terhadap iklan merupakan salah satu indikator positif dari efektivitas suatu iklan (Homer, 1990, 78).

Attitude toward the ad adalah rasa suka atau tidak suka konsumen terhadap suatu stimulus iklan selama penayangan iklan tersebut. Attitude toward the ad dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti kandungan pesan iklan, motivasi konsumen, dan rasa suka konsumen terhadap program televise disela-sela penayangan iklan. Faktor-faktor ini akan tetap mempengaruhi attitude toward the brand, baik dalam kondisi low involvement ataupun high involvement, ataupun jika konsumen familiar atau tidak familiar terhadap produk yang diiklankan. Mekanisme persuasive menunjukkan bahwa attitude toward the brand dipengaruhi oleh efek verbal dan visual iklan, dimana selanjutnya efek verbal dan attitude toward the ad akan membentuk brand cognition, sedangkan brand attitude akan dibentuk kemudian oleh brand cognition dan attitude toward the ad (Mowen dan Minor, 1998).

Berdasarkan teori komunikasi pemasaran dan beberapa jurnal penelitian, efektivitas iklan akan dievaluasi melalui model yang menggambarkan pengaruh attitude toward the ad terhadap brand attitude dan purchase intention. Brand attitude adalah rasa suka atau tidak suka terhadap suatu merek atau produk, sedangkan purchase intention adalah dorongan membeli produk yang timbul pada diri konsumen sebagai hasil akhir yang diharapkan oleh pemasar melalui iklan dan berbagai komunikasi pemasaran (Batra, Myera, dan Aacker, 1996, 109).

Beberapa penelitian lanjutan masih belum dapat menentukan model yang paling tepat menggambarkan pengaruh attitude toward the ad terhadap brand attitude dan purchase intention. Hal ini antara lain disebabkan oleh beragamnya metode yang digunakan oleh masing-masing peneliti, sehingga belum ditemukan

(14)

model yang dapat digeneralisasikan untuk berbagai metode penelitian. Penelitian mengenai attitude toward the ad seringkali melibatkan berbagai antecedent variable (seperti advertisement cognition) dan outcome variable (seperti brand cognition, brand attitude dan purchase intention). Para peneliti menyepakati bahwa attitude toward the ad dipengaruhi oleh antecedent variable dan kemudian attitude toward the ad akan mempengaruhi outcome variable (Brown dan Stayman, 1992).

Walaupun dual mediation dinyatakan lebih tepat dalam beberapa penelitian, akan tetapi masih terdapat penelitian yang belum dapat memperoleh bukti signifikan mengenai pengaruh tidak langsung dari attitude toward the ad terhadap brand attitude (melalui brand cognition). Oleh karena itu, dilakukan meta analysis terhadap empat model kausal yang merepresentasikan hubungan teoritis dari cognition, advertising toward the ad, brand attitude, dan purchase intention, yaitu affect transfer model, dual mediation model, reciprocal mediation model, dan independen influence model, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Sumber: Brown dan Stayman (1992) Dual Mediation Advertisemen t Attitude Toward The Brand

Cognitio Attitude Brand Purchase Intention

Affect Transfer Advertisemen t Attitude Toward The Brand

Cognitio Attitude Brand Purchase Intention

Advertisemen t

Attitude Toward The Brand

Cognitio Attitude Brand Purchase Intention

Reciprocal Mediation Belief and Attitude Advertisemen

t

Attitude Toward The Brand

Cognitio Attitude Brand Purchase Intention Gambar 2.4 Alternatif Model Kasual antara Brand Attitude, Attitude

(15)

Dalam gambar ini digambarkan Beberapa Model Kausal yang menggambarkan hubungan teoritis antara Attitude Toward the Ad, Brand Attitude, dan Purchase Intention (Brown dan Stayman, 1992).

Affect transfer adalah model yang menggambarkan mekanisme alur satu arah dari attitude toward the ad kepada brand attitude, seperti halnya alur peripheral, dan alur satu arah dari brand cognition kepada brand attitude, seperti halnya alur central dalam elaboration likelihood model (ELM). ELM menyatakan bahwa sikap konsumen dapat diubah melalui dua alur persuasive yang berbeda, yaitu central (perubahan sikap terjadi karena stimuli selain informasi produk, seperti elemen visual iklan, promosi, kemasan, ataupun endorser).

Pada dual mediation model digambarkan juga alur satu arah dari attitude toward the ad kepada brand attitude seperti halnya affect transfer model, tetapi pada model ini juga digambarkan adanya pengaruh secara tidak langsung dari advertisement terhadap brand attitude, yaitu melalui brand cognition. Hal ini disebabkan oleh adanya respon afektif konsumen terhadap iklan yang turut mengindikasikan penerimaan konsumen terhadap pesan iklan. Oleh karena itu, dalam dual mediation model dua alur ini dapat saling terjalin dengan dominasi kekuatan dari salah satunya. Reciprocal mediation model memiliki mekanisme gabungan dari affect transfer model dan dual mediation model, dimana dominasi kekuatan antara alur tersebut akan sangat bervariasi tergantung pada karakteristik konsumen dan kondisi riset. Sedangkan, pada independent influence model tidak digambarkan adanya hubungan kasual antara attitude toward the ad kepada brand attitude. Hal itu dikarenakan model ini mengasumsikan bahwa masing-masing dari attitude toward the ad dan brand attitude akan mempengaruhi purchase intention.

Meta analysis dilakukan dengan tujuan untuk menentukan model kausal yang paling tepat, yaitu dapat digeneralisasikan pada semua metode penelitian yang berkaitan dengan attitude toward the ad. Pada akhirnya, hasil meta analysis ini menunjukkan bahwa dual mediation adalah model yang terbukti signifikan dapat diaplikasikan dalam berbagai metode penelitian. Analisis ini berhasil memperoleh nilai signifikansi yang lebih besar untuk pengaruh tidak langsung (indirect effect) dari attitude toward the ad terhadap brand attitude dan purchase

(16)

intention. Oleh karena itu, setiap penelitian yang dilakukan tidak boleh terlalu underestimate terhadap pengaruh tidak langsung dari attitude toward the ad terhadap brand attitude dan purchase intention, akan tetapi tidak boleh juga terlalu overestimate akan pengaruh langsung (direct effect) dari hubungan kausal ketiga variable ini (Homer, 1990).

2.4.3 Syarat Iklan yang Efektif

Di dalam O’guinn, Allen dan Semenik (2006) dijelaskan beberapa creative guideline yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan atau syarat dari eksekusi iklan yang bagus, yaitu:

1. Use an attention-getting and relevan to opening

Beberapa detik pertama di dalam suatu iklan menjadi penting, hal itu dikarenakan receiver akan memutuskan jika pesan yang disampaikan menarik dan relevan untuk disimak. Jika mereka tidak tertarik dengan iklan maka audience ini dapat dengan mudah mengganti saluran televisinya dan melewatkan iklan sedang ditayangkan.

2. Emphasize the visual

Visualisasi yang bagus pada suatu iklan akan mempertahankan audience untuk terus menyimak iklan sehingga itu dapat membantu sender dari iklan untuk menyampaikan isi pesan yang ingin diutarakan.

3. Coordinate the audio with the visual

Audio yang diperdengarkan di dalam iklan sebisa mungkin saling mendukung dengan Visualisasi yang ditayangkan, hal ini diharapkan dapat memperkuat isi pesan yang disampaikan. Adanya perbedaan porsi dalam penayangan audio dan visualisasi hanya akan mengganggu dan membingungkan audience.

4. Persuade as well as entertain

Kadangkala godaan untuk membuat iklan yang indah dan menarik secara visual lebih besar daripada membuat iklan yang efektif. Iklan yang menarik menjadi tidak berguna pada saat eksekusi yang dilakukan tidak mampu melakukan persuasi terhadap audiencenya.

(17)

2.5 Kelebihan dan Kelemahan Media Televisi

Sering dikatakan bahwa televisi adalah media periklanan yang sempurna. Kemampuannya mengkombinasikan gambar-gambar visual, suara, gerakan, dan warna memberikan peluang bagi pengiklan untuk mengembangkan daya tarik yang paling kreatif dan imajinatif dibandingkan dengan media periklanan lainnya. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh biro konsultan Roy Morgan yang terdapat pada artikel majalah Cakram edisi Juni 2006 menjelaskan bahwa iklan yang paling banyak dilihat dan mendapat perhatian responden yang disigi selama tujuh hari, masih dipegang oleh televisi (97,4%). Dalam perkembangannya, peningkatan jumlah channel televisi swasta yang baru juga mendorong para pengiklan semakin gencar memanfaatkan media ini sebagai media untuk mengkomunikasikan produknya.

Berikut adalah beberapa kelebihan dan keterbatasan televisi sebagai media periklanan (Belch & Belch, 2007).

2.5.1 Kelebihan dari Media Televisi a. Creativity and Impact

Interaksi antara gambar dan suara menawarkan fleksibilitas dalam kreatifitas dan dapat memperagakan produk dan jasa yang diiklankan dengan lebih dramatis dan seperti keadaan sebenarnya. Iklan televisi juga dapat menyampaikan suasana hati atau image dari sebuah merek dan juga membangun emosional atau ajakan yang membuat produk yang tidak menarik menjadi lebih menarik. Televisi juga menjadi media yang sempurna untuk mendemonstrasikan produk atau jasa.

b. Coverage and Cost Effectiveness

Iklan di media televisi memungkinkan untuk menjangkau audience dengan jumlah yang besar, sehingga biaya per seribu rumah yang dijangkau relatif kecil. Perusahaan dengan distribusi dan ketersediaan produk dan jasa yang luas dapat menggunakan televisi untuk menjangkau pasar yang luas.

c. Captivity and Attention

Pada dasarnya televisi dapat memaksakan seseorang untuk melihat tayangan iklan ketika sedang menonton acara favoritnya di televisi. Meskipun penonton

(18)

mencoba untuk menghindari melihat iklan, kebanyakan dari mereka pasti pernah melihat banyak iklan lewat televisi.

d. Selectivity and Flexibility

Televisi dapat menjadi selektif karena program acara yang disajikan akan menentukan jenis pemirsanya sebagai hasil dari isi program, waktu penyiaran, dan daya siar geografis. Misalnya program Sabtu pagi khusus untuk anak-anak, sementara pada Sabtu dan Minggu sore merupakan acara olah raga untuk para pecinta olah raga. Dengan keunggulan ini, maka pengiklan dapat dengan lebih spesifik membuat iklan yang sesuai dengan penonton yang dituju oleh acara televisi.

2.5.2 Keterbatasan Media Televisi a. Biaya

Televisi merupakan media beriklan yang mahal dibanding media beriklan lainnya, baik dari segi biaya penayangannya maupun biaya pembuatan iklan yang berkualitas. Dengan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan media ini membuat banyak perusahaan terutama skala kecil dan menengah menjadi tidak mampu menggunakan media televisi untuk beriklan. b. Lack of Selectivity

Beragamnya program yang disiarkan televisi dengan sendirinya menghadirkan pemirsa yang terseleksi. Namun demikian, bila iklan hendak ditujukan kepada sekelompok kecil pemirsa yang sangat spesifik maka hal itu sulit dicapai. Aspek selektifitas iklan semakin berkembang seiring dengan usaha pengiklan untuk mencapai grup penonton tertentu pada waktu tertentu yang mereka pilih untuk beriklan. Akan tetapi televisi tidak dapat melakukan seleksi terhadap segmen yang lebih baik dibanding yang dilakukan media radio, majalah, surat kabar, dan direct mail untuk mencapai segmen tertentu di pasar.

c. Fleeting Message

Iklan televisi biasanya berdurasi 30 detik atau kurang dan tidak meninggalkan sesuatu yang berwujud bagi pemirsa untuk mencoba atau mempertimbangkan. Dengan banyaknya permintaan pemasangan iklan dan terbatasnya anggaran pengiklan, maka durasi iklan di televisi semakin lama semakin menurun. Bagi

(19)

pengiklan hal ini dapat membuat iklan yang lebih pendek menjadi lebih efektif dalam menyampaikan pesan serta mengurangi biaya untuk membuatnya. Akan tetapi, terjadi penurunan jumlah iklan pendek seperti ini yang dikarenakan beberapa hal seperti pertimbangan kreatif, harga yang lebih rendah untuk waktu jaringan, dan keinginan jaringan untuk menghambat clutter.

d. Clutter

Banyaknya jumlah iklan di televisi dengan durasi pendek pada suatu program acara membuat pemirsa menjadi bingung dan terganggu. Hal ini dikarenakan cepatnya durasi iklan membuat penonton tidak dapat dengan lengkap menangkap pesan yang berusaha dikomunikasikan lewat iklan. Selain itu pemirsa menjadi tidak dapat membedakan beberapa iklan dengan jelas dikarenakan beberapa iklan seperti dalam kategori produk yang sama memiliki kesamaan dalam menyampaikan pesannya.

e. Limited Viewer Attention

Jika pengiklan memasang iklan di suatu program televisi, tidak ada jaminan mengenai jumlah penonton yang akan melihat iklan tersebut karena bisa jadi orang yang sedang menonton televisi pergi meninggalkan ruangan untuk ke toilet atau untuk keperluan lainnya. Yang dibeli di sini hanyalah peluang pengiklan untuk berkomunikasi dengan penonton yang berjumlah besar. Dalam hal ini terdapat 2 masalah yang dihadapi pengiklan yaitu (1) Zipping, yakni bila orang sedang merekam acara tertentu, maka pada saat iklan muncul orang tersebut akan melakukan fast forward sampai iklan habis dan (2) Zapping, yakni mengubah atau mengganti saluran televisi bila muncul program iklan.

f. Distrust and Negative Evaluation

Banyak kritik terhadap iklan televisi karena media ini sifatnya mudah menjangkau pemirsa. Orang tidak menyukai iklan televisi jika dianggap terlalu gencar menyerang, tidak informatif, terlalu sering ditayangkan, atau isi iklannya tidak disukai. Studi menunjukkan bahwa iklan di televisi merupakan iklan yang paling tidak dipercaya dibandingkan media lainnya.

Gambar

Gambar 2.1  Proses Komunikasi
Gambar 2.2  Cognitive Response Model
Gambar 2.3 ALEA (atau “scrambled egg”) Model

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan independen dalam ketentuan ini adalah bahwa setiap keputusan yang dibuat dan ditetapkan Badan Pengawas tidak dapat dipengaruhi dan terlepas dari pengaruh

Teknik pengolahan data yang dilakukan yaitu pemeriksaan (editing), (coding), dan tabulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis tabel frekuensi

• Kegiatan paling penting dalam proses analisis adalah memahami seluruh informasi yang ada, melakukan analisis situasi untuk mengetahui isu apa yang sedang terjadi, dan

Dari hasil pengujian hipotesis maka sikap mahasiswa terhadap gaya kepemimpinan Direktur Akademi Manajemen Bumi sebalo Bengkayang berdasarkan Tabel 1 perhitungan analisis

Koolma dan C.J.M van de schoot ; proyek adalah suatu tugas yang perlu didefinisikan dan terarah ke suatu sasaran yang dituturkan secara kongkrit serta harus

Pemisahan senyawa atau unsur-unsur yang dikandung sehingga didapatkan berat endapan dapat dilakukan melalui cara pengendapan pada analisis gravimetrik.. Kadar klorida dapat

pendidikan dalam waktu 6 (enam) semester maupun karena kesalahan/pelanggaran yang dilakukan oleh Penerima Beasiswa selama masa perkuliahan yang dapat berakibat pada

Terhadap berbagai upaya yang bisa dilakukan dalam mewujudkan pelokalan kebijakan HAM di daerah sebagaimana telah disebutkan di atas, maka terhadap perlindungan, pemajuan,