• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUU Penangan Konflik Sosial: Desentralisasi Masalah, Nihilnya Penegakan Hukum, dan Kembalinya Militer dalam Ruang Sipil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RUU Penangan Konflik Sosial: Desentralisasi Masalah, Nihilnya Penegakan Hukum, dan Kembalinya Militer dalam Ruang Sipil"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

RUU Penangan Konflik Sosial:

Desentralisasi Masalah, Nihilnya Penegakan Hukum, dan Kembalinya Militer dalam Ruang Sipil Dalam Naskah Akademik RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS) disebutkan bahwa keberadaan dari UU PKS nantinya adalah sebagai lex sepesialis dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB). Dijelaskan di dalamnya bahwa kelemahan utama dari UUPB adalah tidak diaturnya secara konsisten mengenai penanganan berbagai jenis bencana yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut. Menurut Naskah Akademis RUU PKS, konflik atau bencana sosial merupakan salah satu substansi yang tidak dirumuskan dengan tepat dan komprehensif di dalam UUPB, yang telah berakibat pada munculnya pemahaman yang keliru mengenai konflik.1

Lebih jauh dalam bahasan akademisnya, bahwa munculnya RUU PKS dilatarbelakangi oleh beberapa alasan berikut ini: (1) Peraturan perundangan-undangan yang sudah ada, yang terkait dengan penanganan konflik, materinya lebih banyak mengedepankan ego sektoral, sehingga tidak menggambarkan suatu manajemen konflik yang terkoordinasi dan integratif; (2) Peraturan perundang-undangan tersebut belum menetapkan secara jelas dan komprehensif mengenai tindakan-tindakan serta tahap-tahap dalam penanganan konflik; (3) Belum adanya payung hukum yang kuat dalam penanganan konflik, sementara peraturan perundang-undangan yang ada sifatnya lebih operasional. Beberapa diantaranya bahkan saling bertentangan, tidak konsisten/harmonis/sinkron, baik secara vertikal maupun horisontal; (4) Dari perspektif kelembagaan DPR dan DPRD belum memberikan kontribusi yang kuat dalam penanganan konflik melalui bentuk regulasi yang menjadi kewenangannya, maupun melalui kebijakan anggaran melalui sistem APBN dan APBD. Selain itu dalam proses penegakan hukum, kapasitas anggota POLRI, Intelijen Negara dan Jaksa dalam melacak, menemukan para pelaku atau aktor intelektual tindakan kerusuhan belum optimal; (5) Banyak peraturan yang dikeluarkan yang seharusnya tidak memiliki otoritas untuk mengatur penanganan konflik, namun justru digunakan dalam penangan konflik, seperti munculnya sejumlah peraturan meneteri yang mengatur

1

Lihat Naskah Akademis RUU Penanganan Konflik Sosial, hal. 4. Inisiatif RUU Penangnan Konflik Sosial pertama kali mengemuka dalam pertemuan konsultasi Bappenas, dan selanjutnya didukunh oleh UNDP melalui program Peace Through Development. Naskah Akademis dan RUU kemudian diserahkan kepada DPR pada 10 September 2008, dan Ketua DPR waktu itu (Agung Laksono) mengatakan akan memasukan RUU PKS sebagai salah satu Prolegnas tahun 2009. Selanjutnya RUU PKS masuk dalam prioritas legislasi nomor 25 di tahun 2009, akan tetapi sampai periode DPR 2004-2009 berakhir, RUU ini belum sempat dibahas. Kemudian di tahun 2010 masuk kembali di dalam Prolegnas, dengan nomor urut prioritas 134.

(2)

tentang penanganan konflik; dan (6) Belum adanya aturan yang dengan jelas mengatur mengenai tugas perbantuan TNI kepada POLRI, serta institusi negara yang berhak menyatakan

(bahwa diperlukan peran TNI dalam membantu tugas POLRI dalam ranah keamanan negara.2

Tidak ada yang keliru memang argumentasi yang dibangun di dalam Naskah Akademis RUU ini, tentang kebutuhan akan sebuah aturan yang secara khusus mengatur penanganan konflik sosial, melihat begitu tumpang tindihnya aturan yang ada saat ini, acapkalinya bentrokan atar institusi di lapangan, serta penyelesaian konflik yang seringkali tidak integratif. Namun demikian, melihat substansi dan materi yang dipaparkan di dalam RUU, justru kentara sekali jika materi RUU menyimpang dari argumentasi yang dibangun di dalam Naskah Akademis. RUU ini justru menonjolkan keingingan untuk mendesentralisasi masalah dan penyelesaian masalah ke pemerintah daerah (otoritas lokal), tanpa adanya suatu solusi yang komprehensif dan saling terkait satu sama lain.

Lebih lanjut, beberapa pertentangan antara argumentasi tentang kebutuhan akan RUU ini dengan substansi RUU antara lain adalah sebagai berikut:

(1) Dikatakan bahwa aturan yang ada saat ini sifatnya sektoral, tidak komprehensif dan tidak menghadirkan penyelesaian konflik yang integratif. Akan tetapi memerhatikan substansi RUU, justru yang muncul adalah sebuah ego sektoral baru, dimana RUU ini banyak menegasikan aturan yang sudah ada, kurang harmonisasi dan minim sinkronisasi;

(2) Meski RUU ini mencoba memberikan pentahapan dengan detail mengenai penanganan dalam upaya penyelesaian konflik, namun RUU ini tidak menjelaskan dalam situasi apa itu dilakukan dan dengan status apa itu dilakukan, apakah sepadan dengan situasi tertib sipil atau darurat sipil;

(3) Dari argumentasi di dalam naskah akademis pun sudah terlihat ketidakjelasan arah dari RUU ini, dikatakan bahwa kelahiran undang-undang ini adalah dimaksudkan sebagai payung hukum dalam penangangan konflik, tetapi di sisi lain diuatarakan bahwa RUU ini dimaksudkan sebagai lex specialis dari UU Penanggulangan Bencana. Selain itu, materi RUU ini juga banyak menabrak hirarki dan otoritas aturan lain, tanpa adanya kejelasan transisi dan delegasi;

(4) Maksud pembentukan RUU ini salah satunya adalah untuk mengefektifkan penegakan hukum dalam penyelesaian konflik, akan tetapi materi RUU justru menihilkan salam sekali proses penegakan hukum dalam penyelesaian konflik, yang potensial menghilangkan hak atas keadilan;

2

(3)

(5) Disebutkan bahwa jamak bermunculan peraturan yang sesungguhnya tidak tepat digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian konflik dan bukan pada otoritasnya. Munculnya sejumlah aturan ini sebenarnya adalah sebuah gambaran dari ketidakpahaman aparat negara dalam implementasi peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Munculnya sejumlah peraturan dari lembaga yang seharusnya tak memiliki otoritas ini justru menjadi pemicu konflik itu sendiri, bukan menyelesaikan atau meredam potensi konflik. Hal ini bisa dilihat dari munculnya Peraturan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tidak meredam konflik, malah FKUB menjadi ruang konflik itu sendiri atau setidaknya menjadi menjadi penekan bagi kelompok minoritas yang seharusnya dilindungi;

(6) Materi RUU ini secara sepihak mengatur perihal perbantuan TNI kepada POLRI tanpa secara jelas mempertimbangkan klausula pengaturan yang ada di dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, sehingga melahirkan pengaturan yang potensial inkonstitusional, karena berseberangan dengan UU TNI. Selain itu, Indonesia juga belum memiliki undang khusus tentang Perbantuan TNI, dan undang-undang penanganan konflik sosial tentu tidak cukup dan tidak memiliki wewenang untuk menjadi UU Perbantuan TNI. Lebih mengkhawatirkan lagi pengaturan mengenai pelibatan TNI dalam penanganan konflik yang dapat dilakukan secara sepihak oleh otoritas sipil, berpeluang bagi kembalinya intervensi militer terhadap sipil.

Menurut catatan Elsam, berlarut-larutnya suatu konflik terjadi akibat mekanisme hukum yang tidak mampu berjalan dengan efektif dan akuntabel. Selain itu, rekomendasi otoritas-otoritas yang memiliki wewenang dalam penyelesaian konflik juga seringkali tidak dijalankan oleh aparat negara di lapangan, sehingga konflik kemudian meletup kembali. Seperti dalam sejumlah konflik sosial yang berlatar agama, pengadilan tidak mampu memberikan penghukuman setimpal, yang dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan yang menyulut konflik berlatar agama. Imparsialitas pengadilan dalam kasus konflik berlatar agraria yang banyak terjadi, juga seringkali dipertanyakan, karena pengadilan justru seringkali tidak menjadi ruang yang menguntungkan bagi masyarakat marjinal termasuk masyarakat asli (indigenous people), dalam memperjuangkan hak-haknya dari akusisi yang dilakukan oleh korporasi.

Dalam beberapa tahun memang ada kecenderungan peningkatan eskalasi konflik , dengan beragam latarnya, khususnya yang berlatar agama dan sengketa tanah, yang menjadi amatan Elsam. Untuk konflik berlatar agama, Elsam mencatat setidaknya terjadi 63 kasus dalam tahun 2011, belum lagi keluarnya 11 (sebelas) peraturan di tingkat lokal, yang potensial menjadi pemicu terjadinya konflik lanjutan, sebab selama ini yang terjadi keluarnya peraturan bukan

(4)

menjadi peredam konflik, tetapi justru menjadi legitimasi bagi suatu konflik. Untuk kasus berlatar sengketa tanah, dalam tahun 2011 Elsam mencatat sedikitnya terjadi 151 kasus, menyebar di seluruh Indonesia. Latarnya beranekaragam, terdapat masyarakat yang berhadapan dengan militer, masyarakat berhadapan dengan pemerintah, masyarakat berhadapan dengan perusahaan BUMN, dan yang paling banyak masyarakat berhadapan dengan korporasi. Data ini lebih kecil dari pengaduan yang diterima Komnas HAM, yang pada tahun 2011 menerima 603 pengaduan berlatar konflik tanah, tertinggi dibanding pengaduan kasus lainnya, serta Satgas Pemberintasan Mafia Hukum yang menerima 1.065 pengaduan konflik lahan, atau 22% dari seluruh pengaduan yang diterima Satgas.3

Belajar dari kasus-kasus yang ada, jelas yang menjadi problem utama adalah kemandegan dalam proses penegakan hukum, yang justru mekanismenya dinihilkan di dalam materi RUU Penanganan Konflik Sosial. RUU ini justru memberi legalasasi dan legitimasi bagi masuknya militer dalam penyelesaian permasalahan sipil, tanpa sebuah mekanisme yang konstitusional, sehingga cenderung membahayakan supremasi sipil yang sudah dibangun dalam satu dekade terakhir. Secara umum, seperti dikemukakan di atas, RUU ini seperti hendak mendesentralisasikan masalah ke pemerintah daerah, dari yang semula menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, yang berakibat kemudahan bagi pihak ketiga untuk melakukan intervensi. Berikut catatan Elsam selengkapnya atas Materi RUU Penanganan Konflik sosial:

No. Materi Catatan

1 Konsideran Mengingat: Pasal

18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dalam konsiderannya, RUU ini lebih menekankan pada penggunaan mekanisme pembatasan dalam hal asasi manausia, bukan penekanan pada keharusan negara untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang menyeluruh. Harus diingat bahwa penyebab utama terjadinya suatu konflik adalah akibat dari ketidakterpenuhan atas hak asasi seseorang. Selain itu, di dalam penjelasannya, meski menyantumkan sejumlah peraturan perundang-undangan terkait dalam kerangka penindakan, namun lagi-lagi RUU ini melupakan peraturan perundang-undangan yang dimandatkan untuk mencegah terjadinya suatu konflik dengan jalan pemenuhan hak asasi, seperti UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR dan UU tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras dan Etnis, yang Indonesia bahkan sudah mengeluarkan undang-undang khusus.

2 Pasal 3

Penanganan Konflik Ketertiban dan Kepastian Hukum menjadi salah satu pilar utama dalam penanganan konflik, namun RUU

3

(5)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencerminkan asas: (h) ketertiban dan kepastian hukum;

ini justru melupakan pentingnya mekanisme penegakan hukum di dalam penyelesaian konflik. Padahal seperti dicatat Elsam, problem utama berlarut-larutnya konflik adalah sebagai akibat ketiadaan mekanisme hukum yang fair dan adil.

3 Pasal 6

Konflik dapat bersumber dari:

a. permasalahan yang berkaitan dengan politik,

ekonomi, dan sosial budaya; b. perseteruan antarumat

beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;

c. sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;

d. sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau

e. distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

Ketentuan ini tidak memberikan penjelasan yang detail dan terperinci mengenai batasan-batasan masalah yang dapat menjadi pemicu terjadinya konflik. Batasan yang diberikan di dalam undang-undang terlalu umum, sehingga memungkinkan pengambilan tindakan yang serampangan tanpa adanya kejelasan indikator, seperti halnya apa yang dimaksudkan dengan permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya? Hal ini tentunya tidak sejalan dengan Pasal 5 huruf (f) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menghendaki adanya kejelasan rumusan di dalam suatu peraturan perundang-undangan.

4 Pasal 13

Penghentian Konflik dilakukan melalui:

a. penghentian kekerasan fisik; b. penetapan Status Keadaan

Konflik; c. tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan/atau d. pengerahan dan

penggunaan kekuatan TNI.

Dalam penetapan status konflik tidak ada kejelasan mekanisme hukum yang digunakan, apakah masih menggunakan mekanisme tertib sipil (sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan pada umumnya/berjalan normal), atau sudah menggunakan status darurat sipil sebagaimana diatur di dalam UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya. Hal ini penting, karena akan sangat menentukan kewenangan dari masing-masing pemilik otoritas, baik sipil maupun militer. Selain itu pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI tentu hanya bisa dan hanya jika sudah mamasuki fase kedaruratan tertentu, yang penggunaannya harus sesuai ketentuan di dalam UU TNI.

5 Pasal 17

Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota melalui Forum Koordinasi

Pimpinan Daerah kabupaten/kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan

DPRD kabupaten/kota. Pasal 19

Idem untuk wilayah provinsi.

Tanpa ada penjelasan terlebih dahulu pada bagian awal undang-undang ini, tiba-tiba di dalam ketentuan ini muncul peristilahan ‘Forum Koordinasi Pimpinan Daerah’, siapakah unsur dari forum komunikasi ini, apakah sama seperti halnya Muspida yang hidup di jaman Orde Baru? Artinya, jika forum komunikasi ini persis dengan Muspida di jaman Orde Baru, undang-undang ini juga sekaligus menghidupkan kembali forum menihilkan cheks and balances itu, yang keberadannya tidak lagi diakui oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(6)

Bupati/wali kota dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, berwenang melakukan:

a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;

b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;

c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan

d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

Pasal 28

Pembatasan oleh Gubernur.

Pasal 29

Pembatasan oleh Presiden.

pembatasan kebebasan sipil, khususnya kebebasan untuk bergerak haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia. Artinya, pembatasan hak asasi tidak boleh dilakukan oleh otoritas yang tidak berwenang, tanpa adanya suatu keputusan dan aturan yang legal.

7 Pasal 34

(1) Dalam Status Keadaan

Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali

kota berwenang meminta

pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI

melalui Forum Koordinasi

Pimpinan Daerah kabupaten/kota.

(2) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur berwenang meminta pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI melalui Forum Koordinasi Pimpinan Daerah provinsi. (3) Dalam Status Keadaan

Konflik skala nasional, Presiden berwenang mengerahkan kekuatan TNI

dengan berkonsultasi kepada pimpinan DPR.

(4) Dalam melaksanakan pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Panglima TNI menggunakan kekuatan TNI sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tanpa adanya suatu keputusan politik negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, tidaklah mungkin otoritas sipil di suatu daerah (gubernur dan bupati) dapat melakukan pengerahan dan perbantuan kekuatan TNI. Di dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf h, sudah ditegaskan bahwa pengerahan kekuatan TNI dalam “konflik komunal yang terjadi antarkelompok masyarakat yang dapat membahayakan keselamatan bangsa”, adalah menjadi bagian dari operasi militer selain perang, yang harus menggunakan suatu keputusan politik. Artinya pengerahan kekuatan TNI dalam operasi militer salain perang hanya bisa dilakukan dengan Keputusan Presiden dengan persetujuan DPR, bukan seenaknya dilakukan oleh pimpinan daerah. Justru di dalam RUU ini, sinkronisasi dengan UU TNI hanya mengikat pada ayat (3), sedangkan pada ayat (1) dan (2), Bupati dan Gubernur bisa sepihak mengerahkan kekuatan TNI. Selain bukan pada kewenangannya, hal ini juga memungkinkan rusaknya kembali supremasi sipil yang sudah dibangun dalam satu dekade terakhir ini, setelah jatuhnya rezim militer Orde Baru. Ketentuan ini juga tidak sejalan dengan Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, yang tidak mendelegasikan urusan keamanan kepada daerah. Urusan keamanan adalah mutlak kewenangan pemerintah pusat.

(7)

8 Pasal 38

(1) Pemerintah dan Pemerintah

Daerah melakukan rekonsiliasi antara para

pihak dengan cara:

a. perundingan secara damai;

b. pemberian restitusi; dan/atau

c. pemaafan.

Ketika terjadi suatu konflik, sangat memungkinkan terjadi pula suatu pelanggaran hak asasi manusia, seperti yang terjadi dalam konflik Mesuji, konflik Bima dan beberapa yang lain. Oleh karenanya pendekatan rekonsiliatoris tentu tidak cukup sebagai penyelesai konflik, tanpa adanya suatu proses penegakan hukum. Sekedar permaafan dalam penyelesaian suatu konflik tentunya akan mempersempit hak atas keadilan yang seharusnya bisa dinikmati. Selain itu, mekanisme restitusi yang diatur di dalam undang-undang juga tidak tepat, karena restitusi diberikan oleh pelaku kepada korban melalui sebuah mekanisme peradilan, bukan diberikan oleh negara kepada korban. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain mengenai hak korban yang sudah ada, seperti UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jika negara yang memberikan, maka bentuknya melalui mekanisme kompensasi, bukan restitusi yang dibebankan kepada pelaku.

9 Ketentuan mengenai Satuan

Tugas Penyelesaian Konflik Sosial (Pasal 43-Pasal 53)

Keberadaan satuan tugas ini jelas akan bermasalah dalam implementasinya, karena tidak menempatkan unsur-unsur lembaga negara sesuai dengan kewenangan dan kapasitasnya. Seperti pelibatan TNI dan Polri di dalam Satuan Tugas Penyelesain Konflik, dimana seringkali dalam praktiknya di lapangan, justru TNI dan Polri menjadi bagian dari konflik itu sendiri atau berkonflik dengan masyarakat. Dalam konflik-konflik kekerasan yang acapkali meletup, yang terjadi adalah konflik masyarakat melawan TNI, Polri atau aparat negara (kementerian) tertentu. Selain itu, pelibatan Komnas HAM di dalam satuan tugas ini juga tidak sejalan dengan kewenangan, tugas pokok dan fungsi Komnas HAM, yang diharuskan independen. Komnas HAM sudah seharusnya menjadi pencari fakta independen melalui penyelidikan yang dilakukannya, jika ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam suatu konflik, bukan terlibat di dalam Satgas.

Untuk itu, memperhatikan fakta-fakta di dalam materi RUU PKS di atas, serta minimnya proses partisipasi dalam pembahasan rancangan undang-undang ini, maka Elsam meminta dan merekomendasikan kepada DPR untuk menunda pengesahan RUU Penanganan Konflik Sosial. Harus dilakukan pembahasan kembali terhadap RUU ini dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, dan melibatkan partisipasai publik seluas-luasnya, termasuk membahas kembali sejumlah pasal yang bermasalah serta potensial merugikan hak-hak konstitusional warga negara dan perlindungan hak asasi.

Referensi

Dokumen terkait

Memang menjadi pemimpin Kristen dan pendidik bukanlah pekerjaan yang mudah, terlebih menjadi teladan yang baik dalam bertingkah laku, perkataan, kesucian, dan

Karena pada waktu erupsi semua permukaan gigi menerima pengaruh yang sama, maka sistem klasifikasi ini tidak perlu diterapkan pada semua permukaan gigi tetapi hanya pada

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tujuan dari strategi komunikasi ialah menyusun dan merencanakan komunikasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan berdasarkan pengalaman

Cipto Mangunkusumo baik dalam program pelayanan, pendidikan, penelitian dan pertanggungjawaban sumber daya yang digunakan serta memberikan informasi penting tentang

a. Hubungan antara fasilitas spa dan gym hotel yang syariah dengan pengaturan jadwal pemakaian. Hubungan antara fasilitas spa dan gym hotel yang syariah dengan tanda

Capaian Indikator Indeks Pembangunan Gender (IPG) pada tahun 2016 ditargetkan sebesar 69,00 dan estimasi sementara sebesar 91,77, tingkat capaian sebesar 133%. Metode

Kegiatan dilakukan selama praktek PPL mendapat sambutan yang baik dari Gembala, pengerja, dan jemaat GSY Rajawali Sintang yang mau bekerja sama untuk melaksanakan

Diantara manfaat yang bisa didapat dengan menerapkan pola hidup sehat pada usia Lansia adalah hidup akan menjadi lebih taqwa dan tenang, tetap ceria dan mengisi