• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KESADARAN RESIKO BENCANA BAGI PESERTA DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT IV. Oleh: Zainuddin Maliki 1. Abstrak:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN KESADARAN RESIKO BENCANA BAGI PESERTA DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT IV. Oleh: Zainuddin Maliki 1. Abstrak:"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGEMBANGAN KESADARAN RESIKO BENCANA BAGI PESERTA DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT IV

Oleh: Zainuddin Maliki1 Abstrak:

Berdasarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penanganan dan penanggulangan bencana adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan kalangan swasta. Sebagai bagian dari aparatur pemerintah maka pegawai di lingkungan Kementerian Agama juga harus memikul tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya. Salah satu tugas dan tanggung jawabnya adalah turut serta

membangun kesadaran masyarakat akan resiko bencana dengan

menggunakan pendekatan agama. Diketahui bahwa penyadaran masyarakat melalui pendekatan keagamaan merupakan langkah yang strategis dan efektif. Oleh karena itu, memasukkan materi kesadaran pengurangan resiko bencana dalam diklat kepemimpinan tingkat IV bagi aparatur Kementerian Agama merupakan salah satu cara efektif dalam penyediaan sumberdaya manusia yang bisa memikul tugas penyadaran masyarakat akan resiko bencana dari pendekatan keagamaan. Guna memperluas wawasan aparatur Kementerian Agama dalam hal ini diberikan sumber bahasan mengenai pengurangan resiko bencana di Indonesia.

Keywords:

Krisis lingkungan; land clearing; Masyarakat Tangguh Bencana; Living harmony with disaster.

I. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini terjadi peningkatan krisis lingkungan yang kian berpotensi menimbulkan peningkatan jumlah kejadian dan intensitas bencana. Krisis lingkungan antara lain ditandai dengan perubahan iklim, peralihan musim yang tidak dapat diprediksi, meningginya permukaan air laut, dan kebakaran hutan yang tidak terkendali. Krisis lingkungan telah menimbulkan berbagai keadaan kritis. Tak jarang kemudian berubah menjadi bencana yang begitu besar dan terjadinya begitu cepat. Kesemua itu menempatkan manusia, sistem dan struktur kehidupan menjadi tidak berfungsi. Bukan hanya kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi tetapi keberlangsungan hidup suatu masyarakat menjadi terancam.2

1

Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si adalah Widyaiswara BDK Surabaya dan Unsur Pengarah dari Masyarakat Profesional Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

2 Sebuah organisasi lingkungan yang bermarkas di Swiss World Wide Fund (WWF) mengumumkan 10

Sungai Besar di Dunia Berada dalam Bahaya karena mengering sehingga tidak bisa diharap memasok kebutuhan air bersih dalam jumlah yang cukup. Hal itu terjadi karena kegiatan industri ekstraktif yang tidak pro perlindungan persediaan air, pengambilan air berlebihan, polusi dan perubahan iklim. Sungai yang masuk dalam daftar itu antara lain Yangtze, Mekong, Salween, Gangga, dan Indus. Sungai Danube di Eropa termasuk di dalamnya bersama dengan La Plata dan Rio Grande di Amerika, Sungai Nil di Afrika, dan Sungai

(2)

Murray-2 Salah satu bencana yang besar terjadi di Indonesia, yaitu gelombang Tsunami yang dipicu oleh gempabumi di Aceh 26 Desember 2004 dengan menyebarkan kematian dan kehancuran yang tiada preseden sebelumnya. Krisis lingkungan juga memicu munculnya bencana puting beliung Katrina di padang pasir Mexico bulan Agustus 2005 membuat New Orleans menjadi kota mati. Belakangan bencana banjir melanda Pakistan akibat hujan ekstrim pada bulan Juli/Agustus 2010. Tentu saja gelombang Tsunami di Jepang 11 Maret 2011 akibat gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter yang menelan ribuan korban meninggal terutama di Fukushima, Miyage dan Iwate berakar dari ketidak seimbangan lingkungan, dalam hal ini dinamika laut dan atmosfir sebagai dampak dari rotasi bumi.

Pada umumnya bencana adalah akibat ulah manusia. Pembalakan liar (illegal logging) dan pembukaan lahan, termasuk industri ekstraktif yang tak terkendali di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, telah mengakibatkan tanah longsor, kemarau, dan banjir. Kondisi DAS di Indonesia banyak yang semakin kritis. Debit air di sungai-sungai itu terdegradasi. Tidak kurang dari 52 sungai yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke konon memiliki debet yang berpotensi menimbulkan bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Pendek kata alam yang ramah itu kemudian menjadi marah dan bahkan murka, yang bukan hanya mengancam dunia bisnis dan industri namun lebih dari itu mengancam keselamatan manusia.

Krisis lingkungan yang dihadapi Indonesia salah satu penyebabnya adalah praktik tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang tidak responsif dalam pelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana. Pengusahaan hutan dengan model tebang habis (land clearing) menjadi pangkal penyebab berkurangnya luas hutan dan berbuntut terjadinya krisis lingkungan dan tak ayal kemudian melahirkan bencana seperti kekeringan dan kebakaran hutan. Indonesia tengah menghadapi krisis keberadaan hutan alam dan terancam oleh munculnya bencana ekologis akibat terdegradasinya hutan hujan tersebut.3

Peta zonasi ancaman bencana kekeringan di Indonesia bisa dilihat dalam gambar yang dikeluarkan BNPB berikut

Darling di Australia. Data dikutip dari http://www.antaranews.com/view/?i=1174398745&c=WBM&s=. Lihat juga Satelite Journey 19 Maret 2007, http://santolita.blogspot.com/2007/03/bahaya-kekeringan.html.

3

Proyek perkebunan sawit dan lahan gambut yang lebih 50 persen jatuh di pihak asing, sulit diharap komitmennya untuk membangun pelestarian lingkungan. Akibatnya kebakaran hutan di Indonesia berkembang menjadi sangat mencemaskan. Titik api paling banyak dijumpai di Kalimantan Barat. Menurut Kementerian Kehutanan, dari periode 2007-2011 dijumpai tidak kurang 10 ribu titik api di Kalbar (Lihat Jawa pos, 21/05/2012). Tahun 1990-an Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh masih memiliki hutan rawa gambut 62.000 hektar, yang berarti terluas di Sumatera. Tahun 2000, 35 persen hutan rawa gambut tersebut hancur. Pencitraan satelit memperlihatkan hutan yang ada tinggal 11.504,3 hektar (Kompas, 25 Mei 2012).

(3)

3 Kerusakan lingkungan akibat industri perkebunan, bisa dilihat pada proyek minyak sawit di Kalimantan Tengah. Proyek satu juta hektar lahan gambut yang 50 persen dikuasai perusahaan asing ini ini mengalami kegagalan (1996). Kegagalan serupa juga terjadi di proyek 1,2 juta hektar Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke, atau Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua (2011).4

Baik MIFEE di Kalteng maupun yang di Papua, kedua proyek ambisius ini hanya menyisakan konflik dan kerusakan lingkungan. Gagal di Kalteng dan Papua, Proyek Food Estate di Papua (MIFEE) yang berpola top down ini di alihkan pemerintah ke Kalimantan Timur. Tidak ada partisipasi rakyat. Kesempatan untuk bisa memanfaatkan kekayaan alam di tempat di mana mereka hidup semakin sulit. Amanat untuk mempertahankan kedaulatan bangsa juga terancam tidak bisa diwujudkan, karena pengelolaan asset nasional jatuh ke pihak swasta asing. Ironinya dalam menjalankan operasinya, perusaan-perusahaan itu nyaris tidak memiliki komitmen untuk turut menjaga keseimbangan lingkungan dan apalagi mewujudkan prinsip sustainable development.5

Bukan hanya ancaman kekeringan, tetapi Indonesia juga rawan banjir. Kini terdapat tidak kurang dari 497 kabupaten/kota di Indonesia 176 diantaranya rentan terhadap banjir. 154 kabupaten/kota berisiko tinggi longsor, dan 153 lainnya terancam kekeringan. Selama tahun 2011, telah terjadi bencana sebanyak 895 kali. Sementara kerugian akibat bencana tahun ini ditaksir lebih dari Rp 45 triliun dari seluruh kerugian bencana yang terjadi pada tahun 2011. Sebagian besar banjir bandang yang terjadi tersebut di atas disebabkan karena rusaknya kawasan hulu akibat kebijakan industri ekstratif di sektor kehutanan.6

Peta zonasi ancaman bencana banjir di Indonesia bisa dilihat dalam gambar yang dikeluarkan BNPB berikut

4

MIFEE sebuah rencana perubahan peruntukan sejumlah besar lahan, termasuk hutan, untuk dijadikan perkebunan untuk tanaman pangan, energi dan tanaman produktif lainnya. Proyek ini melibatkan 10 BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk perusahaan asing. Luas areanya berkisar setengah juta hingga 2,5 juta hektare atau lebih. Proyek ini dirancang sebagai upaya untuk mendorong keamanan pangan Indonesia. Keterlibatan perusahaan asing mengindikasikan proyek ini menekankan kepada pasar ekspor. Tak pelak, mega proyek ini lalu menimbulkan resistensi terutama dari masyarakat setempat, kelompok gereja, dan organisasi masyarakat sipil. Sejumlah kelompok lokal, yang didukung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menolak keras proyek tersebut (Lihat Buletin DTE Edisi Khusus, No. 89-90, November 2011).

5 Lihat laporan mengenai hal ini di

http://pmeindonesia.com/berita-tambang/313-catatan-akhir-tahun-walhi-2011-krisis-pengelolaan-lingkungan-menyemai-konflik-menabur-bencana.

6

Walhi merelease data sepanjang Februari hingga akhir 2011 tidak kurang 378 kejadian banjir melanda sejumlah kota di Indonesia. Angka ini meningkat sekitar 11 % dari 2010 yakni 345 kejadian. Banjir melanda 25 provinsi meliputi di Pulau Sumatera mulai Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu. Sedangkan di Kalimantan meliputi Kalimantan Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Sulawei Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Maluku Utara. Pulau Jawa meliputi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur. Dari total banjir yang terjadi di 25 provinsi tersebut, 12 diantaranya merupakan banjir bandang telah menyebabkan 48 orang meninggal dunia. Ibid.

(4)

4 Jadi begitu banyak bencana yang timbul sebagai akibat dari kebijakan di wilayah industri ekstraktif yang kurang mengindahkan perencanaan strategis pembangunan nasional berwawasan lingkunan dan pengurangan resiko bencana. Kebijakan pembangunan terutama di sektor kehutanan, pertambangan dan industri ekstraksi lainnya justru diketahui sebagai penyebab kehancuran ekologis di Indonesia. Tidak kurang dari 80% kawasan di Indonesia rawan bencana ekologis.

Krisis lingkungan bukan hanya menyebabkan terjadinya berbagai macam bencana, tetapi juga mengakibatkan masyarakat menjadi rentan karena kehilangan berbagai sumber pencegahan dan perlindungan dari ancaman bencana. Untuk bisa mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana, yang ditandai dengan kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan menanggapi dampak buruk bencana, masyarakat memerlukan modal geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi. Namun di tengah proses degradasi lingkungan seperti digambarkan di muka, maka dapat difahami jika masyarakat sesungguhnya tidak cukup mendapatkan jaminan perlindungan dari ancaman bencana.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana digambarkan di muka, maka rumusan masalahnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Seberapa kritis perusakan lingkungan di Indonesia?

2. Bagaimanakah proses terjadinya krisis lingkungan di Indonesia?

3. Bagaimanakah format yang dinilai efektif untuk mengatasi krisis lingkungan di Indonesia?

3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini dimaksudkan untuk:

1. Memahami derajat kerusakan lingkungan di Indonesia. 2. Memahami proses terjadinya krisis lingkungan di Indonesia.

3. Mengidentifikasi format yang dinilai efektif untuk mengatasi krisis lingkungan di Indonesia.

II. Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat

Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana haruslah dilakukan oleh semua pihak, pemerintah, pengusaha maupun masyarakat. Tentu saja yang paling mendesak adalah menumbuhkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melindungi diri sendiri dari ancaman dan resiko bencana. Setidak-tidaknya ada 5 hal yang menyebabkan pentingnya melakukan penguatan masyarakat dalam melindungi diri sendiri dari bencana.

(5)

5

Pertama, masyarakat itu sendiri yang menjadi korban dari bencana. Maka yang bergerak pertama kali merespon bencana adalah masyarakat dan bukan pihak lain. Team reaksi cepat yang disiapkan pemerintah acapkali datang terlambat. Padahal masyarakat sudah harus merespon bencana sejak menit-menit pertama. Kita membutuhkan masyarakat memiliki kemampuan melakukan pengurangan resiko bencana sebelum bantuan orang lain tiba. Masyarakatlah yang terkena bencana, dan paling awal harus berbuat. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kemampuan penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan untuk mengurangi tingkat risiko bencana. Masyarakat harus memiliki cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.

Kedua, tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemihakan kebijakan pembangunan, karena kebijakan pembangunan –khususnya industri ekstraktif, sebagaimana digambarkan di muka acapkali tidak berpihak kepada perlindungan kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak. Kenyataan ini membenarkan pemikiran para penganut Marxian, bahwa pada akhirnya, yang bisa membela dan melindungi rakyat kecil, adalah rakyat kecil itu sendiri. Dalam konflik kepentingan antar klas, maka klas pekerja dan wong cilik harus melindungi diri sendiri. Sulit mengharap kepekaan kalangan elite, wong gedhe, pemilik modal atau kaum borjuis untuk memperhatikan kepentingan dan keselamatan rakyat kecil, klas pekerja atau kaum proletar. Dalam konteks inilah maka menjadi penting dilakukan penguatan masyarakat kecil agar mereka memiliki kemampuan dan daya tahan menghadapi krisis lingkungan dan bencana.7

Ketiga, membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana, yang paling efektif apabila berbasis masyarakat (bottom up approach). Intervensi dari pemerintah dan pihak lain (top down approach) –sebelum, pada saat tanggap darurat maupun paska bencana, acapkali a-historis sehingga bisa menjadi tidak berjalan karena tidak memperhatikan harapan dan konstruk masyarakat tentang bencana. Banyak pengalaman menunjukkan masyarakat kehilangan kemandiriannya ketika terlalu banyak program intervensi –apalagi intervensi itu diwujudkan dalam bentuk program yang bersifat karitatif. Masyarakat tidak bisa menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mendengar saran kalangan pemikir teori kritis (critical theory) yang menyatakan bahwa meningkatkan kualitas hidup manusia –termasuk di dalamnya cara merespon bencana, haruslah dengan cara mengembangkan dan meningkatkan kesadaran diri (self-consciousness) dan memahami perkembangan sosial politik yang ada, yang pada muaranya “manusia harus dapat menjadi subyek dan secara aktif menentukan cara hidupnya sendiri.”8

Keempat, paradigma penanggulangan bencana bergeser dari tanggap darurat kepada pendekatan mitigasi dan preparadness.9 Dalam upaya melakukan mitigasi dampak bencana itulah, sangat diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dinamika yang berubah begitu cepat dalam fenomena alam. Dalam konteks mitigasi, maka perubahan iklim yang menjadi sebab munculnya bencana tersebut seharusnya menjadi pusat perhatian.

7

Baca pemikiran pemihakan terhadap mereka yang lemah dari kalangan pemikir Marxian dalam Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012. Mengenai pandangan pemikir Marxian tentang kerusakan lingkungan dan pengasingan masyarakat lokal dan para petani dari tanah ulayatnya sendiri akibat eksploitasi ekonomi kaum kapitalis dapat dibaca dalam John Hannigan, Environmental Sociology, London and New York: Routledge, 1995, hal. 8.

8

Ibid, hal. 223

9 Termotivasi dari kehancuran 26 Desember 2004 akibat gempa dan Tsunami Samudra Hindia,

paradigma bencana bergeser dari pengelolaan tanggap bencana (Disaster Response) menjadi pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction), lihat DIBI BNPB-UNDP, 2010.

(6)

6

Kelima, masyarakat selalu memiliki pengetahuannya sendiri (indigenous knowledge) dan strategi atau cara mereka sendiri (coping strategis) dalam merespon bencana. Pengetahuan mereka tak jarang jauh lebih bagus dibanding yang dimiliki ekspert di bidang bencana sekalipun. Dengan pengetahuan dan strategi mereka sendiri itulah yang menyebabkan mereka survive. Begitu banyak masyarakat akhirnya bisa bertahan dengan survival strategy –nya sendiri. Itulah sebabnya Brian Ward, mantan Direktur Asian Disaster Preparadnes Center, sangat apresiatif terhadap keunggulan petani di Bangladesh, bukan hanya dalam memahami betapa rentan mereka menghadapi bencana, tetapi juga dalam mengatur strategi merespon bencana. Brian bahkan berani mengatakan petani di Bangladesh memiliki pengetahuan lima belas tahun lebih maju dibanding seorang Ph.D.10 III.Format Penguatan Masyarakat sadar pengurangan resiko bencana

Telah banyak best practices yang bisa dijadikan pelajaran, bagaimana melakukan penguatan kesadaran masyarakat dalam pengurangan resiko bencana. Berikut dikemukakan beberapa format penguatan tersebut:

1. Membangun Masyarakat Tangguh Bencana

Cara yang paling efektif pengurangan resiko bencana tentu saja adalah menjadikan masyarakat tangguh bencana. Sejumlah kementerian di Indonesia seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan BNPB membangun masyarakat atau desa tangguh/siaga bencana. Dalam masyarakat/desa tangguh/siaga bencana, ditandai dengan berkembangnya masyarakat dengan daya tahan yang tinggi karena memiliki kapasitas dan potensi memetakan bencana. Apa jenis bencana yang potensial dihadapi, siapa, apa saja yang berpotensi terkena bencana. Mereka memiliki kemampuan mengidentifikasi modal spasial, lanscape, infrastruktur, sosial ekonomi, demografi, teknologi dan administrasi yang bisa dimobilisasi untuk beradaptasi, bertahan dan berubah sehingga mampu mempertahankan tingkat fungsi dan struktur kehidupan yang baik.

Dalam masyarakat tangguh bencana warganya memiliki kemampun mengorganisir diri dalam meningkatkan kapasitasnya mengurangi resiko bencana. Mereka menentukan cara mengambil tindakan fisik, kelembagaan, sosial atau ekonomi dengan tepat dan cepat. Di dalam masyarakat tangguh bencana terdapat unsur kepemimpinan dan manajemen penanggulangan bencana yang efektif. Mereka belajar dari bencana di masa lalu –yang dialami sendiri maupun yang dialami oleh orang lain, dan menggunakan pengalamannya itu untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadinya bencana di masa datang. 2. Pendidikan Kebencanaan

Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan informasi tentang resiko bencana adalah masyarakat yang lebih siap menghadapi potensi bencana. Sebaliknya masyarakat yang rentan umumnya adalah masyarakat yang tidak memahami dan tidak memiliki pengetahuan tentang potensi bencana di sekitarnya. Potensi bencana macam apa yang mungkin timbul mereka tidak tahu. Mereka tidak tahu siapa dan apa saja yang terancam oleh potensi bencana di sekitarnya. Daerah mana yang akan tertimpa bencana. Modal geografis, spasial,

10

Survival strategy warga pinggiran Sungai Jamuna Bangladesh cukup unik. Mereka sudah mencari shelter sebelum bencana datang. Yang mereka lakukan penduduk tepi sungai Jamuna itu adalah mengawinkan anaknya dengan keluarga yang berada di daerah aman. Oleh karena itu ketika terjadi bencana sungai Jamuna mereka sudah punya pilihan tempat evakuasi. Lihat John Twigg, Disaster Risk Reduction: Mitigation in the

(7)

7 sosial, ekonomi dan teknologi macam apa yang dimiliki yang bisa dijadikan modal menanggulangi bencana. Oleh karena itu memberikan pendidikan mengenai bencana adalah langkah yang lazim dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara. Namun, komitmen, intensitas, target sasaran, dan arah pembelajarannya berbeda satu sama lain.

Warga Armenia memiliki pengalaman traumatik menghadapi bencana Gempa Bumi tahun 1988. Saat itu terdapat korban 25.000 jiwa dan setengah juta kehilangan rumah tempat tinggal. Kesadaran masyarakat yang rendah dalam dasar-dasar perlindungan selama gempa berlangsung merupakan dinilai sebagai penyebab tingginya angka korban. Mengingat angka korban yang begitu tinggi, maka pada tahun 1997 UNICEF dan NGO membuka kantor perlindungan gempa dan melakukan pelatihan kepada 500 guru, 10.000 siswa di 56 SD dan SMP mengenai ketrampilan perlindungan seismic. Proyek berikutnya mencakup 450 siswa dari 12 sekolah sepuluh tahun setelah gempa. Proyek ini menghasilkan materi pendidikan dan permainan interaktif. Anak-anak didorong untuk menyatakan pendapatnya melalui gambar. Guru dan orang tua murid ikut serta dan merasakan manfaatnya sehingga mereka semangat dan selalu datang tepat waktu.

Di Indonesia, dunia pendidikan mencoba memberikan respon sebagaimana yang diharapkan. Tahun 2010 Kemendiknas membuat edaran pengarusutamaan pendidikan pengurangan resiko bencana. Sudah banyak pula sekolah yang merespon edaran Menteri Pendidikan tersebut dengan melakukan penyusun buku ajar, mengintegrasikan SOP PRB kedalam kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler, dan bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan melakukan simulasi.11

Namun hasil penelitian LIPI menunjukkan bahwa tingkat kesiap siagaan sekolah dinilai masih lebih rendah dari pemerintah dan masyarakat. Artinya masih harus ada upaya lebih sungguh-sungguh untuk bisa mewujudkan keinginan melakukan pengarusutamaan pendidikan pengurangan resiko bencana melalui dunia pendidikan.12

3. Informasi dan Kesiapan Menghadapi Bencana

Pengembangan sistem informasi adalah faktor penting yang harus ditumbuhkan dalam pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat. Masyarakat terutama yang rentan karena berada di daerah terdampak langsung dari sumber bencana, memerlukan informasi cepat tentang ancaman dan resiko yang dihadapinya. Informasi yang cepat dan tepat akan membuat mereka lebih siap mengambil langkah mitigasi, kedaruratan maupun langkah-langkah paska bencana.

Masyarakat di bawah Gunung Merapi, secara swadaya membangun Radio Komunitas dengan jangkauan gelombang bisa mencapai 4 kilometer –pengenalan ancaman dan hazard Merapi, pengenalan kapasitas yang dimiliki masyarakat, dan kerentanan yang dihadapi.

11

SDN 02 Meuraksa, Aceh yang berada 3 km dari pantai pada saat Tsunami 2004 hancur lebur, saat ini memasukkan pengajaran bencana dan melakukan simulasi merespon gempa dan tsunami (Kompas, 25 Mei 2012). Ratusan pelajar Sekolah Dasar(SD) yang berada di lereng Gunung Merapi melakukan simulasi bencana. Sebanyak 275 pelajar dari tiga sekolah –SDK Prontakan, SD Negeri Ngargomulyo dan Madrasah Ibtidaiyah GUPPI. Beserta 25 guru dan perangkat Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jateng yang berada diradius 8 kilometer dari puncak Merapi. Simulasi ini merupakan penerapan materi Penanggulangan Resiko Bencana (PRB) yang disusun November-Maret 2012. Kegiatan simulasi ini dilakukan dengan melibatkan, BPBD Kabupaten Magelang dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Pemkab Magelang, SAR Kabupaten Magelang, PMI Kabupaten Magelang, Forum PRB Kabupaten Magelang serta Save Children. (http://www.merdeka.com/peristiwa/ratusan-siswa-sd-ikut-simulasi-bencana-erupsi.html).

12

Lihat Ardito M. Kodijat, Sekolah Siaga Bencana & Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana, UNESCO Office Jakarta, 2010.

(8)

8 Banyak menyiarkan lagu-lagu kesukaan masyarakat. Pada saat kedaruratan melaporkan status erupsi Merapi, menginformasikan posisi keluarga yang tercecer karena menghadapi darurat panik (panic emergency). Pada saat panik terkendali, radio komunitas menyiarkan ketersediaan logistik, shelter yang aman. Radio komunitas semakin terbantu dengan bantuan radio komunikasi. Radio komunitas juga melaksanakan kegiatan temu darat untuk membicarakan berbagai hal yang bermanfaat untuk penanggulangan bencana.

Hal serupa dilakukan juga oleh masyarakat di kaki Gunung Kelud, mendirikan Radio Pandawa FM yang dikemas sebagai radio komunitas dengan daya jangkau gelombang 2,5 kilometer. Radio komunitas ini sangat membantu pengembangan mitigasi melalui iklan layanan masyarakat.

Mengantisipasi El-Nino 1997-98 sebagai dampak kekeringan sebuah NGO di Sub-Sahara Afrika misalnya, mereka melakukan diseminasi informasi. Meskipun penelitian diarahkan kepada respon pemerintah dan lembaga internasional, namun diperoleh informasi dari kegiatan ini yang menunjukkan bahwa petani di beberapa negara Afrika: a. Mencari informasi sendiri dari berbagai sumber, termasuk dari internet dan tv cable. b. Menilai sendiri tingkat validitas informasi yang diperolehnya.

c. Berdasar informasi yang diperoleh itu mereka mengambil keputusan tentang jenis tanaman apa dan kapan harus memulai meladang.

d. Melaksanakan kegiatan berdasarkan keputusan yang diambilnya.13

Permasalahan yang sering muncul dalam diseminasi informasi ini adalah menyangkut akurasi data/informasi. Acapkali tidak mudah menafsirkan data meteorologi tentang cuaca. Badan meteorologi di negara-negara rentan bencana pada umumnya belum memiliki tingkat penguasaan teknologi ramalan cuaca yang bagus.14

4. Audit sosial

Pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat akan efektif jika masyarakat merasa diikut sertakan dalam seluruh proses penanggulangan bencana, termasuk dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Audit sosial, yang antara lain bisa dilakukan dengan cara membuka ruang partisipasi, terutama dengan membuka kesempatan para penyitas dan masyarakat terkena bencana untuk menyuarakan pendapatnya adalah cara yang dinilai cukup efektif.

Setelah puting beliung di Nikaragua Oktober 1998. Sebanyak 320 NGO dan organisasi sosial menyelenggarakan ‘social audit’ dalam upaya memasukkan pandangan msyarakat dalam perencaaan rekonstruksi dan rehabilitasi. Metode pengumpulan data yang digunakan termasuk melakukan review dokumen kelembagaan, survey sebanyak 10.000 rumah tangga di 16 kota yang terkena puting beliung, interview informan kunci dan kelompok diskusi. Pimpinan masyarakat, walikota dan sejumlah pimpinan organisasi lokal juga diinterview. Audit ini menunjukkan kerusakan alam dan penderitaan yang begitu mendalam secara ekonomi maupun psikologis. Namun melalui audit ini memberi

13

John Twigg, op.cit, hal. 178

14Di Padang April yang lalu dibuat panik dan warga berebut lari melakukan evakuasi karena

sirine dibunyikan oleh BPBD kotamadya Padang. Sirine dibunyikan setelah melihat data BMKG menunjukkan gempa berkekuatan 8,6 SR, sementara SOP yang ada mengatur jika gempa 6,5 SR dari dasar laut, maka sirine harus dibunyikan. Karena angkanya 8,6 SR maka sirine pun dibunyikan. Tak pelak, masyarakat panik, tetapi ternyata tsunami tidak terjadi. Ditengarai mekanisme gerakan patahan tektonik yang menyebabkan gempa pada saa itu tidak berpotensi menimbulkan tsunami. Hal yang serupa dialami oleh pernah dialami oleh petani di Afrika. Mereka bahkan sudah sampai pada tahap skeptis terhadap akurasi ramalan cuaca yang dikeluarkan badan meteorologi setempat.

(9)

9 kesempatan kepada mereka untuk mengungkapkan pendapatnya tentang bantuan yang mereka peroleh. Dalam audit itu muncul pertanyaan berikut:

a. Cakupan bantuan (prosentase korban yang menerima bantuan) b. Nilai masing-masing item

c. Organisasi yang paling banyak memberi bantuan d. Jalur pemberian bantuan

e. Pemerataan distribusi

f. Kordinasi dengan organsasi eksternal

g. Seberapa jauh pandangan korban bencana diperhatikan.15

Dengan demikian, audit sosial bukan hanya berfungsi sebagai tempat pelaksana dan para pemangku kepentingan menunjukkan akuntabilitas publiknya, melainkan juga bisa menjadikan audit sosial sebagai ruang pembelajaran dan pengembangan budaya pengurangan resiko bencana di kalangan masyarakat yang efektif.

5. Budaya aman (Culture of Safety)

Pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat, pada akhirnya harus bertumpu pada budaya aman. Pendidikan dan penguatan yang dilakukan untuk masyarakat harus diarahkan kepada pembentukan ‘budaya aman’ yang ditandai dengan kondisi di mana masyarakat menyadari resiko bencana. Masyarakat memahami berbagai langkah pengurangan resiko bencana dan dan dijadikan bagian hidup sehari-hari.

Adalah sesuatu yang mudah menjelaskan hazard, siapa, apa dan dimana kerentanan terhadap resiko terjadi dan bagaimana cara mengantisipasinya. Namun tidak demikian halnya menjadikan kesemua itu sebagai sebuah budaya.

Budaya aman itu sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melakukan pencegahan dan apalagi menghilangkan resiko bencana. Dengan budaya aman, masyarakat dapat melakukan upaya mencegah terjadinya bencana dan jika mungkin menghilangkan sama sekali.

Sesuai dengan paradigma penanggulangan bencana kearah mitigasi, maka budaya aman harus dimulai dengan menumbuhkan terlebih dahulu “budaya pencegahan”. Namun, tidak mudah membentuk perilaku masyarakat yang bisa bertindak tepat dalam menghadapi bencana. Pembentukan budaya aman memerlukan proses panjang. Tidak cukup melalu satu dua kali intervensi. Diperlukan berbagai kegiatan untuk target group. Perlu diberi penjelasan dan penguatan secara berulangkali. Beri kesempatan masyarakat berpikir, bertanya dan melakukan validasi informasi yang mereka terima. Perubahan sikap ini memerlukan waktu berbulan dan bahkan bisa jadi bertahun-tahun.

Trial and error merupakan strategi yang relevan untuk diterapkan dalam membangun budaya aman. Masyarakat harus diberi penguatan secara terus menerus. Bukan sekedar diberi ceramah atau khutbah mengenai etika, peraturan dan perundangan, serta perilaku yang diharapkan. Pendekatan partisipatoris dan bottom up harus menjadi pertimbangan utama karena masyarakat hanya akan mengikuti agenda kita jika mereka merasa memecahkan masalahnya sendiri. Masyarakat akan bekerja manakala mereka merasa apa yang dikerjakan adalah ide mereka sendiri.

Masyarakat juga akan responsif serta meningkatkan inisiatifnya dalam membangun kesadaran akan resiko bencana ketika memperoleh penguatan dari orang yang mereka anggap ahli atau yang mereka percaya kebenaran informasinya. Namun tidak semua tenaga

15

(10)

10 ahli bisa masuk begitu saja melakukan intervensi, kecuali dilakukan dengan cara memahami cara masyarakat melihat dan mendefinisikan dunianya. Harus dicatat bahwa masyarakat hanya akan berbuat sesuai dengan cara mereka memaknai dan mendefinisikan apa yang mereka butuhkan. Termasuk mendefinisikan siapa yang mereka anggap ahli dalam menghadapi bencana. Itulah pula maka Marsella dkk menegaskan “to help the victims of disasters, we must understand who they are and what they need from their own perspective. To do so, it is essential we understand, respect, and use their culture in our efforts.”16

Dalam konteks seperti itu maka pembentukan dan penguatan budaya aman, harus dilakukan berangkat dari perspektif budaya dan konstruks mereka terhadap dunia dan realitas yang mereka hadapinya.

6. Living harmony with disaster

Tidak semua masyarakat terkena bencana bisa dan bersedia dievakuasi dan direlokasi dari bencana. Setiap tahun masyarakat di sekitar bengawan Solo – yang mengalir melalui Bojonegoro, Lamongan, Tuban, hingga Gresik, selalu terkena bencana banjir. Namun mereka tidak tertarik untuk pindah tempat tinggal. Mereka memilih untuk menjalin hubungan harmoni dengan banjir. Mereka menaikkan lantai rumah. Menyiapkan alat untuk menjaring ikan yang datang beserta banjir. Melatih anak-anak pandai berenang sedari kecil.

Masyarakat di tepi Sungai Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, terancam banjir dan gerusan air sungai. Mereka tidak terpikir untuk pindah tempat tinggal. Mereka memilih membangun rumah panggung, membuat lumbung padi, melatih berenang sejak anak-anak, dan tentu saja mempelajari karakteristik hazard yang ditimbulkan oleh arus Sungai Batanghari.

Masyarakat di desa Kinahrejo hanya 3 kilometer di bawah kawah Merapi, ditetapkan sebagai KRB III yang berarti tidak boleh ditempati. Namun mereka tidak mau meninggalkan rumah mereka. Mereka tetap kembali ke rumahnya dan melanjutkan kehidupan di situ, tentu saja dengan mempelajari perilaku Merapi. Mereka tahu kapan harus segera meninggalkan tempat tinggalnya untuk menghindari erupsi Merapi, dan kapan mereka merasa aman untuk tetap tinggal di situ.

Pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat, dalam konteks ini dibangun atas dasar konsep living harmony with disaster.

IV. Penutup 1. Kesimpulan

Krisis lingkungan sudah mencapai tingkat yang sangat kritis, karena krisis lingkungan tidak hanya menyebabkan perubahan iklim, peralihan musim yang tidak dapat diprediksi, meningginya permukaan air laut, dan kebakaran hutan yang tidak terkendali. Krisis lingkungan telah menimbulkan berbagai bencana yang mencekam dan menempatkan manusia kedalam sistem dan struktur kehidupan yang kritis dilihat dari segi kesehatan, kesejahteraan ekonomi dan bahkan keberlangsungan hidup manusia.

Telah cukup alasan untuk menyimpulkan bahwa pembentukan kesadaran pelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana menjadi sesuatu yang kian mendesak.

16

Anthony J. Marsella, Jeannette L. Johnson, Patricia Watson, and Jan Gryczynski, Essential Concepts and Foundations, dalam Anthony J. Marsella dkk., edt., Ethnocultural Perspectives on Disaster and Trauma

(11)

11 Pelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat merupakan pilihan strategi yang direkomendasikan untuk memperoleh perhatian seksama. Strategi berbasis masyarakat, memungkinkan pelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana selain memiliki relevansi historis juga akan menjadikan semua investasi dan langkah yang dilakukan menjadi efektif.

2. Rekomendasi

Dengan munculnya banyak format penguatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana yang bisa ditransformasikan ketengah-tengah masyarakat, maka kepada para pemangku kepentingan, khususnya para pimpinan di lingkungan Kementerian Agama disarankan untuk memilih model transformasi yang tepat, yang pada prinsipnya tetap menempatkan masyarakat sebagai subyek.

Para pemangku kepentingan berkewajiban untuk menghindarkan berbagai potensi, termasuk kebijakan dan perencanaan pembangunan yang bisa menyingkirkan dan memperlemah masyarakat dari upaya memanfaatkan potensi di sekitarnya dalam rangka survive menghadapi bencana.

Daftar Pustaka

Hannigan, John,

Environmental Sociology, London and New York: Routledge, 1995.

Kodijat, Ardito M.,

Sekolah Siaga Bencana & Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana, UNESCO Office Jakarta, 2010.

Maliki, Zainuddin,

Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Marsella, Anthony J., Jeannette L. Johnson, Patricia Watson, and Jan Gryczynski, Essential Concepts and Foundations, dalam Anthony J. Marsella dkk., edt.,

Ethnocultural Perspectives on Disaster and Trauma Foundations, Issues, and Applications, New York:

Springer, 2008. Twigg, John,

Disaster Risk Reduction: Mitigation in the Development and Emergencies Programming, London:

Humanitarian Practice Network ODI, 2004. Web dan Media Cetak:

http://www.merdeka.com/peristiwa/ratusan-siswa-sd-ikut-simulasi-bencana-erupsi.html. http://www.antaranews.com/view/?i=1174398745&c=WBM&s=.

http://santolita.blogspot.com/2007/03/bahaya-kekeringan.html.

Buletin DTE Edisi Khusus, No. 89-90, November 2011.

Jawa pos, 21/05/2012. Kompas, 25 Mei 2012. DIBI BNPB-UNDP, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Temperatur kolektor terendah terjadi pada pukul 10.00 WIB disebabkan karena energi matahari yang dikumpulkan oleh reflektor masih sedikit sehingga semakin kecil pula

Hasil pengujian menunjukkan bahwa sisipan resonator celah sempit pada rancangan standar QRD dapat memicu peningkatan koefisen serapan yang bersifat akumulatif dan berdampak

Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Teknik Universitas Negeri YogyakartaA. Diperiksa oleh :

Sri Wahyuni, M.M, selaku Ketua BKK Pendidikan Tata Niaga Program Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

Pembagian ilmu sebagaimana dikemukakan di atas mesti dipandang Pembagian ilmu sebagaimana dikemukakan di atas mesti dipandang sebagai kerangka dasar pemahaman, hal

Sampel dalam penelitian ini adalah 10 lagu rakyat simalungun yang populer dari 36 lagu rakyat Simalungun yang ada didalam Buku Doding Haleluya dan 10 orang

Anemia tersebut sering terjadi pada stadium awal penyakit ginjal kronis stage 3.Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien dengan penyakit ginjal

Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah metode yang dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk mengatasi kecemasan yang disebabkan