• Tidak ada hasil yang ditemukan

GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Page | 1 BAB I

PENDAHULUAN

Perilaku seksual bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi faktor-faktor yang kompleks. Seksualitas ditentukan oleh anatomi, fisiologi, psikologi, kultur dimana orang tinggal, hubungan seseorang dengan orang lain, dan mencerminkan perkembangan pengalaman seks selama siklus kehidupannya. Ini termasuk persepsi sebagai laki-laki atau wanita dan semua pikiran, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan kepuasan dan reproduksi, termasuk ketertarikan dari seseorang terhadap orang lain.

Seksualitas normal termasuk hasrat, perilaku yang menimbulkan kenikmatan pada dirinya dan pasangannya, dan stimulasi organ seks primer termasuk koitus tanpa disertai rasa bersalah, atau kecemasan, dan tidak kompulsif. Pada beberapa konteks seks diluar pernikahan, masturbasi, dan bebagai bentuk stimulasi seksual terhadap organ selain seksual primer mungkin masih dalam batas normal.

Seksualitas seseorang dan kepribadian keseluruhan adalah sangat terjalin sehingga tidak mungkin untuk membicarakan seksualitas sebagai bagian yang terpisah. Dengan demikian istilah ―psikoseksual‖ digunakan untuk mengesankan perkembangan dan fungsi kepribadian sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh seksualitas seseorang. ―Psikoseksual‖ jelas bukan terbatas pada perasaan dan perilaku seksual, demikian juga tidak sama dengan libido dalam pandangan Freud.

Seksualitas seseorang tergantung pada empat faktor-faktor yang saling berhubungan: identitas seksual, identitas jenis kelamin, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi kepribadian dan keseluhannya dinamakan ―faktor psikoseksual‖. Seksualitas adalah sesuatu yang lebih dari jenis kelamin fisik, koitus atau nonkoitus, dan sesuatu yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Fungsi utama perilaku seksual bagi manusia adalah membentuk ikatan, untuk mengekspresikan dan meningkatkan cinta antara dua orang, dan untuk mendapatkan keturunan.

Dalam dunia psikologi abnormal, gangguan abnormalitas seksual merupakan ruang lingkup di dalamnya. Berdasar DSM IV TR (Asosiasi Psikiatrik Amerika) diklasifikasi menjadi tiga garis besar yaitu Disfungsi seksual, Parafilia dan Gangguan Identitas Gender.

(2)

Page | 2 1.) Disfungsi psikoseksual – inhibisi dalam keinginan seksual atau penampilan

psikofisiologik

2.) Parafilia – perangsangan seksual terhadap stimulus yang menyimpang

3.) Gangguan identitas gender – pasien merasa sebagai jenis kelamin yang berlawanan.

Seiring dengan perkembangan zaman yang modern, kebebasan demokrasi dan human right, salah satu jenis dari gangguan abnormal seksual parafilia, yaitu Homoseksual mulai dihapus dari DSM IV TR dan dinyatakan bukan merupakan gangguan abnormal seksual lagi bahkan saat ini di luar negeri sudah melegalkan perkawinan sejenis.

Pada referat ini, kita akan membahas tentang parafilia yang pada PPDGJ disebut sebagai gangguan preferensi seksual (F65). Istilah parafilia diciptakan oleh Wilhelm Stekel pada 1920an. Parafilia merupakan istilah untuk segala sesuatu mengenai kebiasaan seksual, gairah seksual, atau kepuasan terhadap perilaku seksual yang tidak lazim dan ekstrim.

Parafilia adalah stimulasi seksual atau tindakan yang menyimpang dari kebiasaan seksual normal, namun bagi beberapa orang, tindakan menyimpang ini penting untuk mendapatkan rangsangan seksual dan orgasme. Individu seperti ini mampu mendapatkan pengalaman dalam kenikmatan seksual, namun mereka tidak memiliki respon terhadap stimulasi yang secara normal dapat menimbulkan gairah seksual. Orang-orang dengan parafilia terbatas pada stimulasi atau tindakan spesifik yang menyimpang.

Parafilia merupakan suatu tindakan bagi sebagian orang untuk melepaskan energy seksual atau frustrasi mereka. Biasanya tindakan ini diikuti dengan gairah dan orgasme dan dicapai dengan masturbasi dan fantasi. Gangguan ini kurang dikenali oleh masyarakat dan sering sulit untuk diobati. Hal ini karena orang yang memiliki gangguan ini menyembunyikan masalah mereka disebabkan oleh perasaan rasa bersalah, malu dan sering tidak bekerjasama dengan profesi medis.(3) Parafilia yang dialami oleh seseorang dapat merupakan parafilia dengan kebiasaan mendekati normal sampai kebiasaan yang merusak atau menyakiti dirisendiri ataupun diri sendiri dan pasangan, dan pada akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap merusak dan mengancam komunitas yang lebih luas.

Psikopatologis parafilia tidak sama dengan psikologis perilaku normative seksual dan fantasi seksual orang dewasa pada umumnya. Kegiatan konsensual orang dewasa dan hiburan yang mungkin melibatkan beberapa aspek roleplay seksual atau aspek fetishisme seksual tidak selalu dipastikan sebagai kegiatan parafilia.

(3)

Page | 3 BAB II

F65. GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL

II.1 DEFINISI

F65.0 Gangguan Preferensi Seksual  Termasuk : Parafilia

 Tidak termasuk : Problem yang berhubungan dengan orientasi seksual (F66.-) Parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Dengan kata lain, terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Parafilia (paraphilia) diambil dari bahasa Yunani yaitu para yang artinya "pada sisi lain", dan philos artinya "mencintai".Parafilia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual yang khusus dan desakan serta praktek seksual yang kuat, biasanya berulang kali dan menakutkan.

II.2 KLASIFIKASI

Parafilia Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder Edisi Revisi IV (DSM-IV-TR)  Ekshibisionisme  Fetishisme  Froteurisme  Pedofilia  Masokisme Seksual  Sadisme Seksual  Voyeurisme  Fetishisme Transvestik

(4)

Page | 4  Parafilia Lain yang Tidak Ditentukan (NOS : Not Oherwise Specified) – contoh:

Zoofilia

F65. Gangguan Preferensi Seksual Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi III (PPDGJ III)

 F65.0 Fetihisme  F65.1 Tranvetisme Fetihistik  F65.2 Ekshibisionisme  F65.3 Voyeurisme  F65.4 Pedofilia  F65.5 Sadomasokisme

 F65.6 Gangguan Preeferensi Seksual Multipel  F65.8 Gangguan Preferensi Seksual Lainya  F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT

II.3 EPIDEMIOLOGI

Parafilia dipratekkan oleh sejumlah kecil populasi. Tetapi, sifat gangguan yang berulang menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan akibat tindakan parafilia. Di antara kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh lebih sering dibandingkan yang lainnya. Voyeurisme memiliki resiko yang tidak besar. 20% wanita dewasa telah menjadi sasaran orang dengan ekshibisionisme dan voyeurisme. Masokisme seksual dan sadisme seksual kurang terwakili dalam perkiraan prevalensi yang ada. Zoofilia merupakan kasus yang jarang.

Menurut definisinya, parafilia adalah kondisi yang terjadi pada laki-laki. Lebih dari 80% penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia umunya memiliki 3 sampai 5 parafilia baik yang bersamaan atau pada saat terpisah. Kejadian perilaku parafilia memuncak pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan selanjutnya menurun. Parafilia jarang terjadi pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka tinggal dalam isolasi atau teman yang senasib.

(5)

Page | 5 Kategori Diagnostik Pasien Parafilia dalam

Terapi Rawat Jalan (%)

Pedofilia 45 Eksibisionisme 25 Veyorisme 12 Frotteurisme 6 Masokisme seksual 3 Transvestik Fetishisme 3 Sadisme seksual 3 Fetishisme 2 Zoofilia 1

Tabel 1 - Frekuensi Tindakan Parafilia yang dilakukan oleh Pasien Parafilia yang mencari Terapi Rawat Jalan.

II.4 ETIOPATOFISIOLOGI 1. Faktor Psikososial

Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia adalah orang yang gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal ke arah penyesuaian heteroseksual, tetapi model tersebut telah dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik. Kegagalan menyelesaikan krisis oedipus dengan mengidentifikasi aggressor ayah (untuk laki-laki) atau aggressor ibu (untuk perempuan) menimbulkan baik identifikasi yang tidak sesuai dengan orang tua dengan jenis kelamin berlawanan atau pilihan objek yang tidak tepat untuk penyaluran libido. Eksibisionisme dapat merupakan suatu upaya menenangkan kecemasan mereka akan kastrasi. Kecemasan kastrasi membuat eksibisionis meyakinkan diri sendiri tentang maskulinitasnya dengan menunjukkan kelaki-lakiannya kepada orang lain.

Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah metode yang dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk mengatasi kecemasan yang disebabkan oleh: (1) kastrasi oleh ayah dan (2) perpisahan dengan ibu. Bagaimanapun kacaunya manifestasi, perilaku yang dihasilkan memberikan jalan keluar untuk dorongan seksual dan agresif yang seharusnya telah disalurkan kedalam perilaku seksual yang tepat.

Berdasarkan teori ini terdapat beberapa penyebab parafilia. Freud dan koleganya mengajukan bahwa beberapa parafilia dapat disebabkan oleh penyimpangan dari fase courtship. Normalnya, fase ini akan berujung pada proses mating pada pria dan wanita.

(6)

Page | 6 Fase ini dimulai dari masa remaja dan dengan/ tanpa adanya sexual intercourse pada tahap awal perkembangan seksual.

Fase Definitif Courtship

a) Locating partner potensial  fase inisial dari courtship.

b) Pretactile interaction berbicara, main mata dst.

c) Tactile interaction  memegang, memeluk, dst. (foreplay).

d) Effecting genital union sexual intercourse .

Teori lain mengaitkan timbulnya parafilia dengan pengalaman diri yang mengondisikan atau mensosialisasikan anak melakukan tindakan parafilia. Awitan tindakan parafilia dapat terjadi akibat orang meniru perilaku mereka berdasarkan perilaku orang lain yang melakukan tindakan parafilia, meniru perilaku seksual yang digambarkan media, atau mengingat kembali peristiwa yang memberatkan secara emosional di masa lalu. Teori pembelajaran menunjukkan bahwa karena mengkhayalkan minat parafilia dimulai pada usia dini dan karena khayalan serta pikiran pribadi tidak diceritakan kepada orang lain, penggunaan dan penyalahgunaan khayalan dan dorongan parafilia terus berlangsung tanpa hambatan sampai usia tua.(2)

2. Faktor Biologis

Beberapa studi mengidentifikasi temuan organik abnormal pada orang dengan parafilia. Di antara pasien yang dirujuk ke pusat medis besar, yang memiliki temuan organik positif mencakup 74 % pasien dengan kadar hormone abnormal, 27 % dengan tanda neurologi yang ringan atau berat, 24 % dengan kelainan kromosom, 9 % dengan kejang, 9 % dengan disleksia, 4 % dengan EEG abnormal, 4 % dengan gangguan jiwa berat, 4 % dengan cacat mental. Tes psikofisiologis telah dikembangkan untuk mengukur ukuran volumemetrik penis sebagai repon stimulasi parafilia dan nonparafilia. Prosedur dapat digunakan dalam diagnosis dan pengobatan, tetapi memiliki keabsahan diagnostik yang diragukan karena beberapa laki-laki dapat menekan respon erektilnya.

Karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia adalah laki-laki, terdapat spekulasi bahwa androgen berperan dalam gangguan ini. Berkaitan dengan perbedaan

(7)

Page | 7 dalam otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat memiliki relevansi dengan sejumlah kecil kasus eksibisionisme.

3. Teori Behavioural (Kelakuan)

Berdasarkan teori ini, parafilia disebabkan oleh proses conditioning. Jika objek nonseksual dipakai sering dan diulang-ulang untuk aktivitas seksual maka akan mengakibatkan objek tersebut menjadi sexually arousing. Tidak harus dengan adanya dorongan positif tapi bisa disebabkan oleh dorongan negatif. Misalnya jika anak laki-laki suka membanggakan penisnya ketika ereksi maka ibunya akan memarahinya, akibat dari itu, anak merasa bersalah dan malu dengan kelakuan seksual normal.

Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan akibat dari perilaku yang beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning bukan satu-satunya hal yang berperan pada perkembangan parafilia. Hal yang juga berpengaruh adalah kepercayaan diri yang rendah. Ini sering dijumpai pada pasien parafilia.

4. Teori Dawkin (Teori Transmisi Gen)

Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Contohnya kebanyakan orang akan mendapatkan orgasme yang pertama pada prepubertas tetapi ada beberapa orang dapat terjadi sebelum periode prepubertas. Ada sedikit orang yang tanpa adanya stimulus eksternal bisa mengalami orgasme, orang ini biasanya memiliki dorongan seksual yang tinggi saat bayi (sonogram menunjukkan bayi memegang penisnya dalam uterus). Anak yang aktif secara seksual pada usia muda akan cenderung aktif secara seksual pada remaja. Hal ini dipengaruhi oleh DNA dan akan diturunkan kepada anak- anaknya.

5. Teori Darwin

Faktor operatif dari teori Darwin ada 2, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas jika dari keturunan yang dihasilkan yang besar dibandingkan dengan yang survive. Kualitas yaitu yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan. Pria yang secara fisik dapat menghasilkan banyak keturunan (kuantitas), dan wanita yang bertanggung jawab untuk kualitas. Wanita akan lebih berhati hati dalam memilih pasangannya sedangkan pria cenderung hanya untuk melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita

(8)

Page | 8 (tidak memilih-milih). Hal tersebut menjelaskan mengapa parafilia sering terjadi pada pria. Study dari Sharnor (1978) menyatakan bahwa pria usia 12-19 tahun memikirkan seks 20 kali dalam 1 jam atau sekali dalam 3 menit Pria usia 30-39 tahun, memikirkan seks 4 kali per jam. Hal ini dapat menjelaskan alasan, mengapa parafilia biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun.

II.5 MANIFESTASI KLINIS

Gejala utama dari parafilia adalah dorongan, fantasi, dan rangsangan yang terjadi berulang-ulang dan ada kaitannya dengan :

1. Obyek-obyek yang bukan manusia (sepatu, baju dalam, bahan kulit atau karet). 2. Menyakiti diri sendiri atau menghina mitra sendiri.

3. Individu-individu yang tidak diperbolehkan menurut hukum (anak-anak, orang yang tidak berdaya atau pemerkosaan).

(9)

Page | 9 BAB III

DIAGNOSIS

III.1 F.65.0 FETISHISME III.1.1 DEFINISI

Fetishisme adalah kegairahan atau kepuasan seks yang didapat dari sesuatu objek. Seseorang yang mempunyai perilaku ini mendapatkan keghairahan seksual dengan memakai atau dengan menyentuh objek tersebut.

III.1.2 EPIDEMIOLOGI

Diantara kasus-kasus parafilia yang telah diidentifikasi secara legal, fetishisme jarang ditemukan. Orang dengan perilaku fetisisme tidak banyak ditangkap dan salah disisi hukum. Orang dengan perilaku transvertik fetisisme kadang-kadang dapat ditangkap karena mengganggu ketenangan atau atas tuntutan pelanggaran ringan jika mereka secara jelas merupakan laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan, tetapi penangkapan lebih lazim terjadi pada orang dengan gangguan identitas gender.

Fetishisme hampir selalu terjadi pada laki-laki. Lebih 50 persen parafilia memiliki awitan sebelum usia 18 tahun. pasien dengan parafilia sering memiliki tiga hingga lima parafilia, baik terjadi bersamaan atau pada waktu yang berbeda di dalam kehidupannya. Pola kejadian ini terutama pada kasus dengan ekshibisionisme, fetisisme, masokisme seksual, sadisme seksual, fetisisme transvestik, voyeurism, dan zoofilia. Kejadian perilaku ini sering memuncak pada usia diantara 15 dan 25 tahun dan menurun secara bertahap.

III.1.3 ETIOLOGI

III.1.3.1 Faktor Psikososial

Di dalam model psikoanalitik klisik, orang dengan fetisisme gagal menyelesaikan proses perkembangan normal dalam penyesuian heteroseksual. Kegagalan menyelesaikan krisis Oedipus dengan mengidentifikasi agresor ayah (untuk laki-laki) atau agresor ibu (untuk perempuan) menimbulkan

(10)

Page | 10 baik identifikasi yang tidak sesuai dengan orang tua dengan jenis kelamin berlawanan atau pilihan objek yang tidak tepat untuk penyaluran libido. Teori psikoanalitik klasik berpegangan bahwa transeksualisme dan fetisisme transvestik adalah gangguan karena keduanya mengidentikasi diri dengan orang tua berjenis kelamin berlawanan bukannya orang tua berjenis kelamin sama; contohnya, seorang laki-laki yang berpakaian seperti seorang perempuan diyakini mengidentifikasi diri dengan ibunya. Fetisisme adalah suatu upaya menghindari kecemasan dengan menggantikan impuls libido dengan objek yang tidak sesuai.

III.1.3.2 Faktor Biologis

Beberapa studi mengidentifikasi temuan organic abnormal pada orang dengan parafilia. Diantara pasien yang dirujuk ke pusat medis besar, yang memiliki temuan organik positif mencakup 74 persen pasien dengan kadar hormone abnormal, 27 persen dengan tanda neurologis yang ringan atau berat 24 persen dengan kelainan kromosom, 9 persen dengan kejang, 9 persen dengan dileksia, 4 persen dengan elektroensefalogram (EEG) abnormal, 4 persen dengan gangguan jiwa berat, dan 4 persen dengan cacat mental. Pertanyaan yang masih tidak terjawab adalah apakah kelainan ini menyebabkan minat parafilik atau merupakan temuan insidental yang tidak memiliki relevansi dengan timbulnya parafilia.

III.1.4 JENIS FETISHISME

Fetisisme terdiri dari beberapa jenis yang dapat dibagi kepada fetisisme dan fetisisme transvestik. Selain itu, terdapat juga jenis-jenis fetisisme lain seperti:

1. Agalmatophilia - kegairahan seksual yang timbul terhadap manekin atau patung.

(11)

Page | 11 2. Mechanophilia/Mechaphilia - kegairahan seksual yang timbul terhadap

mesin.

3. Psychrophilia - kegairahan seksual yang timbul dari objek yang sejuk. 4. Salirophilia - kegairahan seksual yang timbul terhadap tanah atau

kekotoran.

5. Mucophilia - kegairahan seksual yang timbul dari mucus.

6. Dendrophilia - kegairahan seksual yang timbul disebabkan seseorang yang memiliki ketetarikan seksual terhadap pohon-pohonan

7. Symorophilia - kegairahan seksual yang timbul dengan melihat kecelakaan. 8. Autonepiophilia - kegairahan seksual yang timbul dengan memakai pakaian

anak.

Satu lagi jenis fetisisme adalah objectofilia yang merupakan kegairahan seksual yang didapat dari benda- benda seperti bulu, balon, celana dalam perempuan, sepatu tumit tinggi, karet dan banyak lagi.

III.1.5 GAMBARAN KLINIS

Penderita kelainan Fetishisme sering masturbasi sambil memegang atau menggosok objek fetish atau mungkin meminta pasangan seksual untuk memakai objek fetish dalam hubungan seksual mereka. Fetishisme biasanya dimulai pada masa remaja, meskipun fetish mungkin bisa muncul lebih awal pada masa anak-anak. Setelah menjadi suatu kebiasaan yang menetap, fetishisme cenderung kronis. Gejala awal pada penderita biasanya meningkatkan sentuhan pada benda fetish, dan waktu yang dihabiskan untuk memikirkan mengenai objek fethish meningkat. Lambat laun, objek fetish akan menjadi objek yang sangat penting bagi penderita, hal ini akan me njadi syarat untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan seksual.

(12)

Page | 12

Gambar 1. Foot fetishism

III.1.6 KRITERIA DIAGNOSIS

Fetishisme harus didiagnosis hanya apabila fetish merupakan sumber yang paling penting dari stimulasi seksual atau esensial untuk respons seksual yang memuaskan. Fantasi fetishistik adalah lazim, tetapi tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya sampai mengganggu hubungan seksual dan menyebabkan penderitaan pada individu. Fetishisme terbatas hanya khusus pada pria. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), kode yang sesuai untuk fetishisme adalah F65.0. Pelaku baru didiagnosa menderita fetishisme apabila memiliki kepuasan seksual terhadap sesuatu sedikitnya 6 bulan. Dalam hal ini pelaku biasanya mengalami tekanan jiwa secara klinis dan cenderung terisolir dari kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya dan bisa membahayakan baik dirinya maupun orang lain.

Adapun kriteria diagnostik untuk fetishisme menurut DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders adalah: (8)

1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa pemakaian benda-benda mati (misalnya, pakaian dalam wanita)

(13)

Page | 13 2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan

yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

3. Objek fetish bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan pada ―cross-dressing‖ (berpakaian lawan jenis) seperti pada fetishisme transvestik atau alat-alat yang dirancang untuk tujuan stimulasi taktil pada genital, misalnya sebuah vibrator.

Pedoman Diagnostik Fetihisme menurut PPDGJ –III

 Mengandalkan pada beberapa benda mati(non-living object) sebagai rangsangan untuk membangkitkan keinginan seksual dan memberikanb kepuasan seksual. Kebanyakan benda tersebut (object fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia, seperti pakaian atau sepatu

 Diagnosis ditegakkan apabila object fetish benar-benar merupakan sumber yang utama dari rangsangan seksual atau penting sekali untuk respon seksual yang memuaskan.

 Fantasi fetihistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya sampai menggangu hubungan seksual dan menyebabkan bagi penderitaan individu.

 Fetihisme terbatas hampir hanya pada pria saja III.1.7 TERAPI DAN PENGOBATAN

III.1.8.1 TERAPI

Ada dua perawatan terhadap fetishisme yang mungkin: terapi kognitif dan psikoanalisis.

1. Terapi Kognitif

Terapi ini berupaya mengubah perilaku pasien tanpa perlu menganalisis bagaimana dan penyebab timbulnya fetishisme itu. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa fetishisme merupakan hasil kondisi atau penanaman kesan. Terapi ini tidak mampu mengubah preferensi seks pasien, namun hanya bisa menekan akibat perilaku yang tak diinginkan. Satu terapi yang

(14)

Page | 14 mungkin dilakukan adalah pembentukan kondisi aversif, di mana pasien dikonfrontasikan dengan fetishnya, dan secepat dimulainya rangsangan seks, dipaparkan pada stimulus yang tidak menyenangkan. Dilaporkan bahwa pada saat lebih dini, stimuli sakit berupa kejutan listrik telah digunakan sebagai stimulus aversif. Dewasa ini, stimulus aversif yang umum dipakai adalah foto-foto yang menggambarkan hal yang tidak menyenangkan seperti menyakiti alat kelamin. Variasi terapi ini adalah membantu pembentukan kondisi aversif, di mana pasien dipaksa mengeluarkan gas abdominal (kentut) sebagai stimulus aversif.

2. Psikoanalisis

Terapi psikoanalisis ini berupaya untuk menempatkan pengalaman trauma bawah sadar yang menyebabkan awal timbulnya fetishisme. Dengan membawa pengetahuan bawah sadar pada suara hati, lalu mendorong pasien mampu bekerja dengan traumanya secara rasional dan emosional, ia akan terbebas dari masalahnya. Tidak seperti halnya terapi kognitif, psikoanalisis ini menangani penyebabnya itu sendiri. Ada berbagai upaya yang dapat dilakukan pada analisis proses ini, mencakup terapi bicara, analisis mimpi, dan terapi bermain. Mana metode yang akan dipilih tergantung pada permasalahan itu sendiri, sikap dan reaksi pasien terhadap metode tertentu, dan edukasi dan preferensi ahli terapi.

III.1.8.1 PENGOBATAN

Perawatan farmasi terdiri dari berbagai jenis obat yang dapat menghambat jumlah steroid seks melebihi jumlah testosteron yang dimiliki pria dan estrogen yang dimiliki wanita. Dengan memotong tingkat steroid seks, hasrat seksual berkurang. Dengan demikian, sesuai dengan teori, pasien bisa mencapai kemampuan mengontrol fetish dan secara masuk akal memproses pemikirannya tanpa terganggu oleh rangsangan seksual. Juga, penerapan ini bisa melegakan pasien dalam kehidupan sehari-hari, dengan membantu si pasien untuk bisa mengabaikan fetishnya dan kembali ke

(15)

Page | 15 rutinitas sehari-hari. Penelitian lain mengasumsikan bahwa fetish bisa berupa cacat obsesif-kompulsif (godaan yang sangat mengganggu, pent.), dan memandang penggunaan obat-obatan psikiatri (serotonin mencerdaskan penghambat dan pemblokir dopamin) untuk pengontrolan parafilia yang mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi. Meskipun riset berkelanjutan menunjukkan hasil positif dalam studi kasus tunggal dengan sebagian obat, misalnya topiramate, belum ada satupun pengobatan yang dapat menangani fetishisme itu sendiri. Karena itu, perawatan fisik hanya cocok untuk mendukung salah satu metode psikologi.

III.1.8 KESIMPULAN

Fetishisme adalah kelainan yang dikarakteristikan sebagai dorongan seksual hebat yang berulang dan secara seksual menimbulkan khayalan yang dipengaruhi oleh objek yang bukan manusia. Pada fetishisme, dorongan seksual terfokus pada benda atau bagian tubuh (seperti, sepatu, sarung tangan, celana dalam, atau stoking) yang secara mendalam dihubungkan dengan tubuh manusia. Menurut beberapa ahli kejiwaan, hasrat fetish bisa timbul karena pengalaman traumatik dari penderita, misalnya salah satu orang yang sangat dia sayang meninggal, dan beberapa tahun kemudian dia bertemu seseorang yang memiliki bibir yang sama dengan orang yang dia sayang itu. Namun banyak juga yang mengatakan bahwa fetishisme itu muncul karena adanya faktor alami dari otak si penderita yang mengingat terus menerus bagian/objek/ kegiatan orang yang disayanginnya. Penderita kelainan Fetishisme sering masturbasi sambil memegang atau menggosok objek fetish atau mungkin meminta pasangan seksual untuk memakai objek fetish dalam hubungan seksual mereka.

III.2 F 65.1 TRANSVESTISME FETISHISTIK III.2.1 DEFINISI

Transvestisme fetishistik adalah gejala keadaan seseorang yang mencari rangsangan dan pemuasan sexual dengan memakai pakaian dan berperan sebagai seorang dari sex yang berlainan.Cross dressing tersebut dapat berupa

(16)

Page | 16 menggunakan salah satu bahan yang dipakai wanita atau mengenakan pakaian wanita lengkap dan menampilkan diri sebagai wanita di depan umum. Tujuan orang tersebut adalah untuk mencari kepuasan seksual. Pria yang mengalami penyakit ini mengadakan masturbasi pada waktu mengenakan pakaian wanita dan berfantasi mengenai pria lain yang tertarik dengan pakaiannya. Seorang wanita dikatakan mengalami kelainan ini jika mereka mengenakan pakaian laki-laki untuk mencari kepuasan seksual.(2)

Gambar 2. Tranvetisme Fetihistik pada Laki - Laki III.2.2 PEDOMAN DIAGNOSTIK TRANVETISME FETIHISTIK

Pedoman Diagnostik Tranvetisme Fetihistik menurut PPDGJ - III

 Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasaan seksual

 Gangguan ini harus dibedakan dari fetihisme (F65.0) dimana pakaian sebagai objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan penampilan seorang dari lawan jenis kelaminya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan seringkali suatu perlengkapan yang menyeluruh, termasuk rambut palsu dan tat arias wajah.

 Transvetisme fetihistik dibedakan dari trasvetisme transsexual oleh adanya hubungan yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat yang kuat untuk melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsang seksual menurun

 Adanya riwayat transvetisme fetihistik biasanya dilaporkan sebagai suatu fase awal oleh para penderita transeksualisme dan kemungkinan merupakan suatu stadium dalam perkembangan transeksualisme.

(17)

Page | 17 Kriteria Diagnostik Fetishisme Transvestik menurut DSM-IV

a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, pada laki-laki heteroseksual, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa ‖cross dressing”.

b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis dan gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

III.3 F65.2 EKSHIBISIONISME III.3.1 DEFINISI

Ekshibionisme adalah kepuasan yang diperoleh dengan memperlihatkan bagian tubuh lain, pada lawan jenis atau anak-anak. Memperlihatkan alat kelamin sering dilakukan di tempat umum seperti kereta, taman, perpustakaan, halaman sekolah, bus, depan bioskop, di jalan raya. Setelah memamerkan alat genitalnya, penderita tidak bermaksud melakukan aktivitas seksual lebih lanjut terhadap korban misalnya memperkosa. Oleh sebab itu, gangguan ini tidak berbahaya secara fisik bagi korban.

Diantara orang-orang dewasa memperlihatkan alat kelamin yang patologik lebih sering dilakukan oleh laki-laki sedangkan memperlihatkan bagian tubuh dengan batas-batas tertentu sering dilakukan eksibinisme oleh perempuan.

III.3.2 KRITERIA DIAGNOSIS DAN GEJALA KLINIS

Eksibisionisme adalah dorongan berulang untuk menunjukkan alat kelamin pada orang asing atau pada orang yang tidak menyangkanya. Kegairahan seksual terjadi pada saat antisipasi terhadap pertunjukan tersebut, dan orgasme didapatkan melalui masturbasi selama atau setelah peristiwa. Dinamika laki-laki dengan eksibisonisme adalah untuk menegaskan maskulinitas mereka dengan menunjukkan penis dan dengan melihat reaksi korban—ketakutan, kaget, jijik.

(18)

Page | 18 Kriteria diagnosis eksibisionisme menurut DSM-IV-TR adalah:

A. Untuk periode waktu sedikitnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan atau perilaku seksual yang intens dan berulang yang melibatkan menunjukkan alat kelamin seseorang pada orang asing yang tidak menduganya.

B. Orang tersebut telah melakukan dorongan seksual ini, atau dorongan atau khayalan seksual menimbulkan penderitaan yang nyata atau kesulitan interpersonal.

Sedangkan menurut PPDGJ-III, pedoman diagnosis eksibisonisme adalah:

 Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin kepada asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak di tempat umum, tanpa ajakan atau niat utuk berhubungan lebih akrab.

 Eksibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual yang memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa, biasanya menghadap mereka dalam jarak yang aman di tempat umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut, atau terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat.

 Pada beberapa penderita, eksibisionisme merupakan satu-satunya penyaluran seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini dilanjutkan bersamaan (simultaneously) dengan kehidupan seksual yang aktif dalam suatu jalinan hubungan yang berlangsung lama, walaupun demikian dorongan menjadi lebih kuat pada saat menghadapi konflik dalam hubungan tersebut.

 Kebanyakan penderita eksibisionisme mendapatkan kesulitan dalam mengendalikan dorongan tersebut dan dorongan ini bersifat ―ego-alien‖ (suatu benda asing bagi dirinya).

III.3.3 TERAPI

(19)

Page | 19 Merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus, mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka bertindak atas impulsnya (sebagai contohnya, penolakan yang nyata atau dikhayalkan). Psikoterai juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya dan memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual. Terapi kelompok juga berguna.

2. Terapi seks

Terapi seks dapat dijadikan pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien yang menderita disfungsi seksual tertentu dimana mereka mencoba melakukan aktivitas seksual yang tidak menyimpang dengan pasangannya.

3. Terapi perilaku

Digunakan untuk memutuskan pola parafilia yang dipelajari. Stimuli yang menakutkan, seperti kejutan listrik atau bau yang menyengat, telah dipasangkan dengan impuls tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat diberikan oleh diri sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka akan bertindak atas dasar impulsnya.

4. Terapi obat

Termasuk medikasi antipsikotik dan antidepresan, adalah diindikasikan sebagai pengobatan skizofrenia atau gangguan depresif jika parafilia disertai dengan gangguan-gangguan tersebut. Antiandrogen, seperti ciproterone acetate di Eropa dan medroxiprogesterone acetate (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah digunakan secara eksperimental pada parafilia hiperseksual. Medroxiprogesterone acetate bermanfaat bagi pasien yang dorongan hiperseksualnya diluar kendali atau berbahaya (sebagai contoh masturbasi yang hampir terus-menerus, kontak seksual setiap kesempatan, seksualitas menyerang yang kompulsif). Obat serotonorgik seperti Fluoxetin (prozac) telah digunakan pada beberapa kasus parafilia dengan keberhasilan yang terbatas.

(20)

Page | 20 5. Terapi Aversi

Aversion therapy yang dilakukan dengan cara kecemasan diberi pada saat pasien parafilia mengalami rangsangan seksual (rangsangan abnormal). Sehingga pasien akan merasa cemas ketika terjadi rangsangan sexual yang tidak normal tersebut dan menyebabkan penurunan libido.

Cara yang digunakan biasanya pasien memakai seperangkat elektroda yang dapat menghantarkan listrik. Dan pasien diberikan barang, gambar, atau apapun yang menjadi rangsangan abnormal baginya. Ketika pasien mulai berfantasi dengan barang yang diberikan, pada saat itu juga pasien diberi kejutan listrik yang menyakitkan. Dengan begitu akan timbul rasa cemas ketika pasien berhadapan dengan barang, gambar, atau apapun yang dapat membuat rangsangan abnormal tadi, sehingga libido pasien terhadap barang-barang tadi dapat berkurang.

Untuk sebagian besar pasien yang telah diterapi mengalami perkembangan bagus dalam segi seksual normalnya. Tetapi ada beberapa pasien yang tidak mengikuti latihan selama 2 minggu mengalami spontaneous recovery atau kambuh mendadak sehingga pasien memerlukan terapi kembali dan biasanya setelah itu pasien sembuh total.

6. Terapi pembedahan (kastrasi)

Yaitu melakukan operasi dengan menghilangkan testikel yang menjadi sumber testosteron. Tetapi hanya digunakan pada orang-orang yang tingkah laku seksualnya membahayakan orang lain seperti para pemerkosa.

Sebagaimana penelitian di Jerman Barat melaporkan bahwa 39 pemerkosa yang dikastrasi dan dibebaskan dari penjara, frekuensi fikiran tentang seks, masturbasi, dan persetubuhan sangat berkurang. Tetapi 50% dilaporkan masih mampu melakukan hubungan seksual.

III.3.4 KESIMPULAN

Eksibisionisme adalah kecenderungan yang berulang atau menetap sekurang-kurangnya selama 6 bulan untuk memamerkan alat kelamin kepada asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak di tempat umum, tanpa ajakan atau niat utuk berhubungan lebih akrab.

(21)

Page | 21 Eksibisonisme umumnya terjadi pada laki-laki.

Etiologi timbulnya eksibisionisme dapat berasal dari faktor psikososial dan faktor biologis.

Terapi penderita eksibisionisme meliputi kendali eksternal, pengurangan dorongan seksual, terapi keadaan komorbid (seperti depresi atau ansietas), terapi perilaku-kognitif, dan psikoterapi dinamik.

Indikator prognosis yang baik mencakup adanya hanya satu parafilia, intelegensia normal, tidak adanya peyalahgunaan zat, tidak adanya cirri kepribadian antisocial nonseksual, dan adanya pelekatan orang dewasa yang berhasil.

(22)

Page | 22 BAB IV

DIAGNOSIS BANDING DAN PROGNOSIS

IV.1 DIAGNOSIS BANDING

Klinisi perlu membedakan suatu parafilia dari coba-coba dimana tindakan dilakukan untuk mengetahui efek baru dan tidak secara rekuren atau kompulsif. Aktivitas parafilia paling sering terjadi pada masa remaja. Beberapa parafiliak (khususnya tipe kacau) adalah bagian dari gangguan mental lain, seperti skizofrenia. Penyakit otak mungkin melepaskan impuls yang buruk.

IV.2 PROGNOSIS

Prognosisnya buruk untuk parafilia adalah berhubungan dengan onset usia yang awal, tingginga frekuensi tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap tindakan tersebut, dan penyalahgunaan zat. Perjalanan penyakit dan prognosisnya baik jika pasien memiliki riwayat koitus disamping parafilia, jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan jika pasien datang berobat sendiri, bukannya dikirim oleh badan hukum.

(23)

Page | 23 DAFTAR PUSTAKA

Anonim : Parafilia, http://www.medicastore.com

Bannon, G.E. & Carroll, K.S. Paraphilias 2008 .Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/291419-clinical [Accessed 30 April 2011].

Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada; 2006. p611-641.

Diagnostic and Statistical Mannual of Mental Disorder fourth edition (DSM-IV), American Psychiatric Association, Washington DC.

Ebert MH, Loosen PT, and Nurcombe B. Current Diagnostic & Treatment In Psychiatry. New York: Lange; 2003

Fetishism. Available from http://mentaldisorder.com. Last update on 2005

http://id.wikipedia.org/wiki/Pedofilia#cite_note-Liddell.2C_H.G._1959-4. Accessed April 29,

2012.

Maramis WF, Maramis AA. (2009). Catatan Buku Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press

Nevid,J.S.,Rathus, S.A., Greene ,B. (2003) Psikologi Abnormal ed 5. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Nevid., Greene., Beverly., Rathus. (2005) Psikologi Abnormal (5th ed). (Tim Fakultas Psikologi UI, trans). Jakarta : Erlangga.

Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III), Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayan Medik, 1993. Cetakan Pertama

Robert Levey, PhD, MPH : Sexual and Gender Identity Disorders,

http://www.emedicine.com

Ronawulan, Endah. Bahan ajar mata kuliah kedokteran Jiwa gangguan psikoseksual. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. 2006.

Sadock, BJ. Kaplan & Sadock’s Synopsis Of Psychiatry 10th

ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.p.705-14

Gambar

Tabel 1 - Frekuensi Tindakan Parafilia yang dilakukan oleh Pasien Parafilia yang  mencari Terapi Rawat Jalan
Gambar 2. Tranvetisme Fetihistik pada Laki - Laki III.2.2  PEDOMAN DIAGNOSTIK TRANVETISME FETIHISTIK

Referensi

Dokumen terkait

?,{DA PENDERITA STROKE YANC LAKI LAKI. Boynu

Latihan kegel merupakan metode alternative untuk mengatasi dispereunia dan kesulitan orgasme.Penerapan latihan kegel ini masih sangat terbatas dalam mengatasi masalah nyeri daerah

Fimosis (Phimosis) merupakan salah satu gangguan yang timbul pada organ kelamin bayi laki-laki, yang dimaksud dengan fimosis adalah keadaan dimana kulit kepala penis (preputium)

Perancangan kampanye sosial tentang pelecehan seksual laki-laki ini bertujuan untuk membantu menyadarkan masyarakat tentang stigma maskulinitas yang ada pada laki-laki

Dari satu sudut yang berbeza, dikatakan bahawa definisi yang diperuntukan dalam Kod Amalan ini sudah memadai kerana dalam menentukan perlakuan kes-kes

Selain itu, seseorang dengan orientasi seksual heteroseksual yang memutuskan berhubungan seksual dengan laki-laki lain dengan orientasi homoseksual disebabkan karena

1) Touching, yaitu melakukan kontak fisik secara sederhana antara pasangan kekasih (berpegangan tangan s.d berpelukan); 2) Kissing, yaitu melakukan ciuman untuk menimbulkan

Adapun cara mengatasi gangguan kelenjar tiroid lainnya, yakni hipotiroid (gangguan kelenjar tiroid disebabkan kekurangan hormon tiroksin), maka yang harus dilakukan adalah