Konsep Dana Ketahanan Energi
Agus Sugiyono
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi dan Industri Kimia, BPPT Gedung 625, Klaster Energi, Kawasan Puspiptek, Kota Tangerang Selatan
Email: agus.sugiyono@bppt.go.id, sugiyono@gmail.com Abstract
National energy security tends to decline from year to year. In trilemma index issued by the World Energy Council (WEC), Indonesia drops two places in the index, from 83 places in 2014 to 85 places in 2016 of a total of 130 countries. The government has made an effort to increase energy security through energy security fund (DKE). The implementation of DKE has been initiated by a discussion between the government and parliament that has been started since mid-2015 related to the concept, sources and utilization of funds, as well as institutional and legal basis. DKE is proposed to obtain funding from outside the state budget (APBN), but at the end DKE budget is obstained from the revised state budget 2016 (APBN-P 2016) amount of Rp 1.6 trillion. This is a breakthrough that shows the government's commitment to increase national energy security. Implementation of DKE programs is in line with the energy transition program in other countries to ensure the energy supply sustainability in long-term. There are still some obstacles in the implementation of DKE both budgeting and utilization. There are continuous efforts to improve the system, legal basis, and management of DKE in the future.
Keywords: energy security fund, depletion premium, strategic petroleum reserve 1. Pendahuluan
Pemerintah telah mengeluarkan
Kebijakan Energi Nasional (KEN) seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014. KEN mengamanatkan untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 dan menjadi 33%
pada tahun 2050. Kebijakan ini
mengimplikasikan perlunya percepatan dalam pengembangan EBT. KEN juga mentargetkan bahwa rasio elektrifikasi mendekati 100% pada tahun 2025. Kapasitas terpasang pembangkit listrik diharapkan dapat mencapai sekitar 115 GW pada tahun 2025 dan 430 GW pada tahun 2050. Sedangkan konsumsi energi per kapita pada tahun 2025 ditargetkan sekitar 1,4
TOE/kapita (10,07 SBM/kapita) dan 3,2
TOE/kapita (23,02 SBM/kapita) pada tahun 2050. Target KEN dalam pengembangan EBT masih ada kesenjangan (gap) bila dibandingkan
dengan hasil proyeksi Sugiyono dkk. (2015)[1]
dalam Outlook Energi Indonesia 2015. Hasil proyeksi memprakirakan pangsa EBT pada tahun 2025 hanya sebesar 11,4% dan pada tahun 2050 sebesar 11,7% untuk skenario business as usual (BAU). Kesenjangan tersebut terjadi karena kondisi skenario BAU hanya berdasarkan pengembangan energi dengan biaya yang termurah. Saat ini biaya pengembangan energi dari sumber EBT masih relatif lebih mahal bila dibandingan dengan biaya pengembangan energi konvensional yang berbasis fosil.
Pengembangan energi saat ini
menghadapi tantangan yang jauh berbeda bila dibandingkan sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya. Produksi minyak mentah dalam lima tahun terakhir cenderung terus menurun, disamping itu kilang minyak yang ada sudah berumur tua dan sudah tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan BBM yang terus
meningkat pesat. Di sisi lain, Indonesia mempunyai sumber EBT yang cukup potensial
untuk dikembangkan. Potensi tersebut saat ini belum dapat dikembangkan secara maksimal sesuai dengan target KEN. Oleh karena itu, untuk mencapai target KEN perlu paradigma baru yang berbeda dengan paradigma yang sudah ada selama ini. Kebijakan dan program-program baru yang lebih agresif perlu disusun
untuk mempercepat pengembangan EBT.
Kebijakan dan program-program tersebut
tentunya perlu dukungan dana yang besar. Salah satu bentuk dukungan pendanaan tersebut berupa dana ketahanan energi (DKE).
2. Ketahanan Energi Nasional
Berdasarkan PP No. 79/2014 tentang KEN yang dimaksud dengan ketahanan energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Kondisi ketahanan energi dapat dinilai berdasarkan indikator ketahanan energi yang dihitung menggunakan perumusan dan parameter tertentu.
2.1. Kondisi Pengembangan Energi Saat Ini
Konsumsi energi final (tidak
memperhitungkan konsumsi produk petroleum lainnya) selama kurun waktu 2000-2014 meningkat rata-rata sebesar 4,0% per tahun yaitu dari 556 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 961 juta SBM pada tahun 2014. Pangsa konsumsi energi tertinggi adalah sektor industri,
diikuti oleh sektor rumah tangga dan
transportasi, serta yang paling rendah adalah sektor komersial dan sektor lainnya. Dari sisi jenis energi final, konsumsi masih didominasi oleh penggunaan BBM (bensin, minyak solar, minyak diesel, minyak tanah, minyak bakar, avtur dan avgas) namun dengan pertumbuhan terkecil bila dibanding jenis energi final yang lain.
Kebutuhan energi selama kurun waktu 2014-2050 diprakirakan akan terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 4,9% per
tahun untuk skenario BAU[1]. Untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan energi tersebut, tidak cukup hanya dari pengembangan sumber daya
energi dalam negeri tetapi juga perlu impor energi. Penyediaan energi primer pada kurun waktu 2014-2050 diprakirakan akan meningkat dari 1.289 juta SBM pada tahun 2014 menjadi 7.218 juta SBM pada tahun 2050 atau meningkat rata-rata sebesar 4,7% per tahun untuk skenario BAU. Penyediaan energi primer selama kurun waktu tersebut tetap didominasi oleh energi fosil. Pangsa terbesar adalah penggunaan batubara dan peran EBT masih relatif kecil, hanya mencapai sebesar 11,7% pada tahun 2050. Mengingat cadangan energi fosil yang tidak cukup melimpah maka bila diasumsikan tidak ada penemuan cadangan baru, minyak bumi akan habis dalam 12 tahun, gas bumi 37 tahun, dan batubara 70 tahun dengan tingkat produksi tahun 2014. Cadangan ini diprakirakan akan lebih cepat habis dari perhitungan di atas karena kecenderungan produksi energi fosil yang terus meningkat.
Hasil studi Sugiyono dkk. (2015)[1] untuk skenario BAU menunjukkan bahwa net importir minyak bumi yang sudah terjadi sejak tahun 2008 akan diikuti menjadi net importir gas bumi pada tahun 2027, net importir energi tahun 2029, dan net importir batubara tahun 2046 bila diprakirakan produksi batubara akan terus meningkat seperti kondisi historis.
Energi fosil telah menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia dimasa lalu, saat ini dan beberapa dekade mendatang. Karena keterbatasan cadangan energi fosil
tersebut maka perlu segera diupayakan
pengembangan EBT. Negara-negara maju sudah memulai paradigma baru dalam pengelolaan energi yang disebut transisi energi untuk melakukan perubahan struktural dalam rangka penggunaan sumber daya energi dengan
kandungan karbon rendah. Indonesia
diharapkan jaga mulai memikirkan berbagai skenario dalam rangka menyiapkan transisi energi untuk bergeser dari penggunaan energi berbasis fosil menjadi energi baru terbarukan serta melakukan efisiensi dan konservasi energi. 2.2. Indikator Ketahanan Energi
Ketahanan energi mempunyai pengertian yang beragam sesuai dengan kepentingan
negara yang bersangkutan. Berbagai definisi untuk menggambarkan indikator ketahanan energi sudah dikembangkan. Pada prinsipnya ada lima aspek yang dipertimbangkan yaitu:
keterjangkauan (affordability), penerimaan
(acceptability), ketersediaan (availability),
kemudahan akses (accessibility), dan
keberlanjutan (sustainability).
Saat ini sudah banyak institusi
internasional yang telah menyusun dokumen tentang ketahanan energi seperti Amerika Serikat dengan indeks risiko ketahanan energi, Australia dengan pengkajian ketahanan energi nasional, International Energy Agency (IEA) dengan MOSES (Model of Short-Term Energy Security) dan World Energy Council (WEC) dengan World Energy Trilemma Index. Publikasi dari WEC ini banyak digunakan sebagai acuan
untuk perbandingan antar negara[2]. WEC
membuat indeks keberlanjutan energi yang didasarkan pada tiga dimensi inti (trilemma), yaitu ketahanan energi, ekuitas energi, dan kelestarian lingkungan. Dengan pembobotan ketiga dimensi tersebut, kemudian disusun
ranking indeks yang mengindikasikan
kesejahteraan dan daya saing masing-masing negara. Ranking indeks pertama merupakan negara yang terbaik dalam mempertahankan keberlanjutan energinya. Berdasarkan ranking indeks dari WEC (2016)[3] tersebut, Indonesia menurun rankingnya dari urutan ke 83 pada tahun 2014 menjadi urutan ke 85 tahun 2016 dari 130 negara yang diranking. Indeks trilemma energi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Indeks Trilemma Energi Indonesia[3]
Tahun 2014 2015 2016 Balance score BCC BCC BCC Ranking indeks 83 82 85 Ketahanan energi 62 57 63 Ekuitas energi 86 87 88 Kelestarian lingkungan 79 81 77
Studi Permana dkk. (2012)[4] telah
menghitung nilai ketahanan energi untuk proyeksi tahun 2025 dan 2030 berdasarkan skenario BAU dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 7,6% per tahun dan skenario
MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 10,4% per tahun. Ketahanan energi tidak hanya dihitung dari upaya pemenuhan kebutuhan energi saja tetapi juga kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan energi, aspek
pengelolaan energi, rasio kelistrikan,
pengembangan EBT, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan akses masyarakat terhadap energi serta masalah lingkungan. Semua aspek tersebut dirangkum dalam empat
aspek yaitu ketersediaan (availability),
kemampuan dalam memanfaatkan
(affordability), kemampuan dalam menyiapkan (assessability) dan penerimaan masyarakat (aceptability). Hasil perhitungan tahun 2025 dan
2030 merupakan perubahan nilai relatif
terhadap tahun dasar 2010. Hasil menunjukkan bahwa nilai relatif ketahanan energi untuk skenario BAU yaitu 100 (2025) dan 89.8 (2030), sedangkan untuk skenario MP3EI sebesar 93.2 (2025) dan 77.2 (2030). Nilai ketahanan energi tersebut menunjukkan bahwa ketahanan energi untuk skenario BAU lebih baik dibandingkan dengan skenario MP3EI dan masing-masing skenario, nilai ketahanan energi untuk jangka panjang cenderung semakin menurun.
Dewan Energi Nasional (DEN) sudah
menerbitkan dua studi terkait dengan
ketahanan energi nasional. Aspek 4A
(availability, accessibility, acceptability dan affordability) digunakan dalam merumuskan indikator ketahanan energi berdasarkan konsep dari Asia Pacific Energy Research Centre (APERC) dan telah digunakan oleh berbagai institusi untuk membuat indikator ketahanan energi.
Studi DEN (2015)[5] merupakan perbaikan
metodologi perhitungan dari studi DEN (2014)[6].
Dengan mempertimbangkan aspek 4A tersebut
kemudian dipilih 18 indikator seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.
Setiap indikator mempunyai beberapa variabel untuk mengukur tingkat ketahanan energi. Selain pengembangan setiap jenis energi, juga dipertimbangkan pemanfaatan energi, infrastruktur, dan lingkungan hidup.
hierarchy process (AHP) untuk menghitung indikator berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh anggota DEN dan pemangku kepentingan di bidang energi serta memperhatikan berbagai
macam pertimbangan. Penilaian tingkat
ketahanan energi dibagi dalam 4 skala yaitu rendah, sedang, baik dan tinggi. Hasil studi DEN
(2014)[6] menunjukan nilai ketahanan energi
Indonesia sebesar 5,82 sehingga termasuk skala
rendah, sedangkan hasil studi DEN (2015)[5] nilai
ketahanan energi Indonesia sebesar 7,518 sehingga termasuk skala baik. Perbaikan nilai ketahanan energi ini lebih disebabkan oleh perbaikan metodologi perhitungan, bukan menyatakan trend yang membaik.
3. Dana Ketahanan Energi
Ketahanan energi Indonesia cenderung untuk terus menurun dari tahun ke tahun. Sudah saatnya untuk mulai memberi perhatian khusus terhadap katahanan energi ini. Studi
Hikam (2015)[7] juga merekomendasikan untuk
menjadikan ketahanan energi sebagai agenda prioritas dalam pembangunan nasional saat ini dan di masa mendatang. Pemerintah perlu
segera mengalokasikan dana guna
meningkatkan ketahanan energi. Dana tersebut dapat digunakan untuk:
• Menjamin kelangsungan kegiatan eksplorasi
serta penelitian dan pengembangan untuk
mendukung kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi migas, dan menetapkan target pencapaian penguasaan teknologi.
• Mendorong, memfasilitasi, dan memberikan
bantuan pendanaan dalam memanfaatkan
potensi energi terbarukan setempat,
terutama untuk daerah-daerah terpencil.
• Meningkatkan keandalan sistem produksi,
transportasi, dan distribusi penyediaan energi.
Pemerintah bersama DPR sudah memulai membahas dana tersebut dalam bentuk DKE sejak pertengahan tahun 2015. Berikut ini akan dirangkum konsep, sumber dan pemanfaatan dana, kelembagaan dan dasar hukum yang dibahas antara pemerintah dan DPR.
3.1. Konsep
Dana ketahanan energi (DKE) adalah dana yang secara khusus dibentuk untuk mendukung
pemerintah dalam mencapai target
pemanfaatan energi yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 30/2007 tentang Energi dan PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Berdasarkan studi KESDM (2015, 2016)[8][9] DKE diperlukan karena:
• Keterbatasan anggaran pemerintah dalam
penyediaan, pemanfaatan, dan
pendistribusian energi bersih kepada
masyarakat umum.
• Keterbatasan tugas pokok dan fungsi, fleksibilitas, dan resiko pemerintah dalam
melakukan investasi secara langsung
kedalam proyek-proyek energi bersih.
• Keterbatasan pemerintah dalam menarik
dan memobilisasi pendanaan kedalam proyek-proyek energi bersih.
• Memfokuskan anggaran pemerintah untuk
memberikan pelayanan/subsidi bagi
masyarakat dan menyediakan fasilitas untuk mendorong investasi pihak swasta.
• Mempermudah perencanaan, pengelolaan
dan pengawasan dalam percepatan
pengembangan energi bersih secara
menyeluruh dan berdampak.
• Membagi beban resiko dengan investor dan
lembaga pembiayaan lainnya.
Sudah banyak negara yang menerapkan sistem seperti DKE ini, diantaranya adalah Timor Leste yang memiliki USD 16,9 miliar yang bersumber dari penerimaan minyak bumi. Norwegia memiliki dua jenis dana energi, yakni energy fund dan petroleum fund dengan jumlah dana mencapai lebih dari USD 800 miliar. Disamping itu, Inggris, Australia, dan Malaysia juga telah mempunyai dana energi yang masing-masing
bersumber dari penyertaan modal pemerintah, state budget, dan pajak 2% dari masyarakat
pengguna listrik yang lebih mampu[8].
3.2. Sumber dan Pemanfaatan Dana
Dalam pembahasan DKE antara
pemerintah dan DPR sumber pendanaan dan pemanfatan DKE merupakan isu yang penting. Dengan adanya DKE ini, diharapkan dukungan pemerintah dalam pengembangan energi untuk meningkatkan ketahanan energi tidak lagi tergantung dalam mekanisme APBN tahunan. Alternatif sumber pendanaan DKE yang sudah diusulkan pemerintah dapat dirangkum sebagai berikut:
• Premi pengurasan energi fosil
DKE bisa berasal dari sebagian penjualan komoditas energi berbasis bahan bakar fosil. Beberapa komoditas energi fosil mulai dari bahan bakar minyak (BBM) sampai dengan batubara akan dikenakan premi pengurasan energi fosil (depletion premium).
• PNBP dari komoditas migas
Pemerintah dapat menyisihkan sebagian dana dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dipungut oleh Badan Pengatur
Sumber: Diolah dari [9] dan [10]
Hilir Migas (BPH Migas). BPH Migas menarik PNBP sektor hilir dari iuran badan usaha yang memiliki izin usaha niaga umum dan terbatas
BBM serta izin usaha niaga dan
pengangkutan gas bumi melalui pipa. • Realokasi dana subsidi BBM
Kebijakan subsidi BBM secara bertahap akan terus dikurangi menjadi netral subsidi dan akan menuju pada pengenaan premi atas penggunaan energi fosil. Dana dari pengurangan subsidi ini dapat digunakan sebagai dana untuk pengembangan EBT disamping juga digunakan untuk pembiayaan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. • Lainnya
Sumber DKE yang lain dapat berupa hibah, pinjaman dan investasi dari dalam dan luar negeri.
Secara konsep sumber pendanaan dan dan pemanfaatan DKE ditunjukkan pada Gambar 2. DKE sangat berguna sebagai sumber insentif
maupun disinsentif dalam pembangunan
ketahanan energi. DKE diantaranya dapat
digunakan untuk meningkatkan cadangan
minyak dan gas bumi yang diperkirakan bakal habis dalam 12 tahun mendatang jika tidak ada penemuan baru yang signifikan. Secara garis besar pemanfaatan DKE diantaranya adalah sebagai:
• Insentif untuk mendorong investasi
Hal yang mendesak dalam meningkatkan ketahanan energi adalah dana stimulus untuk mengeksplorasi minyak bumi, gas bumi, panas bumi dan batubara. Pembangunan infrastrukur pendukung, yang perlu segera ditingkatkan untuk menjamin kontinuitas pasokan energi, juga memerlukan pendanaan yang cukup besar. Berdasarkan KEN, untuk menjamin ketahanan energi jangka panjang perlu segera melakukan investasi untuk meningkatkan cadangan energi nasional. Cadangan energi tersebut terdiri atas cadangan strategis, cadangan penyangga dan cadangan operasional. Cadangan strategis diatur dan dialokasikan oleh pemerintah, sedangkan cadangan operasional disediakan oleh badan usaha dan industri penyedia energi untuk menjamin kontinuitas pasokan
energi. Cadangan penyangga merupakan cadangan di luar cadangan operasional yang disediakan badan usaha dan industri energi dan dipergunakan untuk mengatasi kondisi
krisis dan darurat. Sampai saat ini
ketersediaan cadangan operasional,
khususnya BBM masih bersifat voluntir dari PT Pertamina yang hanya sekitar 21-23 hari
konsumsi BBM dan belum menjadi
mandatori. Sebagai perbandingan, cadangan operasional di Vietnam saat ini sudah mencapai 60 hari, Myanmar 4 bulan, Jepang 6 bulan, dan Amerika Serikat 7 bulan[8][9]. • Dukungan program prioritas pemerintah
DKE dapat digunakan untuk mendanai program prioritas termasuk untuk melakukan konservasi energi dan pengembangan EBT. Sumber EBT seperti energi air, panas bumi dan surya masih banyak yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Program prioritas yang lain adalah mengentaskan keterisolasian akses energi. Saat ini masih lebih dari 12 ribu desa yang belum sepenuhnya menikmati listrik, bahkan lebih dari 2.500 desa terdepan masih belum mendapat aliran listrik[8].
• Pengelolaan risiko dan jaminan
Pengembangan EBT dan eksplorasi migas
membutuhkan teknologi tinggi yang
mempunyai risiko tinggi sehingga perlu sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. Dengan menggunakan DKE dapat didanai
pengembangan SDM sehingga mampu
menguasai teknologi tinggi tersebut serta mampu melakukan eksplorasi migas dan pengembangan EBT.
3.4. Kelembagaan
Dalam PP No. 79/2014 Pasal 26 Ayat 1
disebutkan bahwa pemerintah melakukan
penguatan kelembagaan untuk memastikan tercapainya tujuan dan sasaran penyediaan energi dan pemanfaatan energi. Sejalan dengan hal tersebut, dalam pengelolaan DKE perlu adanya suatu lembaga khusus atau bernaung di bawah lembaga tertentu, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan BUMN. Pungutan DKE, seperti uang negara pada
umumnya, disimpan oleh Kementerian
Keuangan sedangkan kewenangan dalam
penggunaannya berada di KESDM. Penggunaan DKE nantinya dapat dilakukan audit internal dari Inspektorat Jenderal KESDM ataupun audit eksternal dari Badan Pengawas Keuangan (BPK). 3.3. Dasar Hukum
Dasar hukum dalam melaksanakan DKE adalah Undang Undang (UU) No. 30/2007 tentang Energi beserta aturan pelaksanaannya yaitu PP No. 79/2014 tentang KEN. Dalam PP No. 79/2014 Pasal 27 ayat 3 dan ayat 5 disebutkan bahwa pemerintah mendorong penguatan pendanaan dimaksudkan untuk: a. meningkatkan peran perbankan nasional
dalam pembiayaan kegiatan produksi minyak dan gas bumi nasional, pengembangan energi terbarukan, dan pelaksanaan program hemat energi
b. menerapkan premi pengurasan energi fosil
yang bisa digunakan untuk kegiatan
eksplorasi minyak dan gas bumi,
pengembangan sumber energi baru dan
terbarukan, peningkatan kemampuan
sumber daya manusia, kegiatan penelitian dan pengembangan, serta pembangunan infrastruktur pendukung energi.
c. menyediakan alokasi anggaran khusus oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mempercepat pemerataan akses listrik dan energi[10].
Menurut Rakhmanto (2015)[11] landasan hukum
DKE seperti dijelaskan di atas belum dapat menjadi pijakan dasar hukum yang kuat dan jelas.
Pemerintah masih memerlukan aturan pelaksanaan DKE yang dapat berupa peraturan pemerintah (PP). Sedangkan PP No 79/2014 bukan merupakan aturan pelaksanaan yang dimaksud oleh Pasal 30 UU No 30/2007. Pembahasan landasan hukum dan tata cara pemungutan DKE untuk penyempurnaan desain DKE terus bergulir. Namun demikian, sampai pertengahan tahun 2016 DKE belum dapat diimplementasikan karena terbentur pada masalah payung hukumnya yang tidak cukup kuat.
Pada akhir Juni 2016 pemerintah
membuat terobosan dengan menetapkan DKE yang tidak dibebankan melalui iuran dari masyarakat tetapi menggunakan dana APBN.
Dalam APBN-P 2016, pemerintah sudah
mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,6 triliun yang digunakan sebagai DKE. Separuh dari anggaran tersebut akan digunakan untuk mengimpor minyak mentah sebanyak 1,6 juta barel sebagai cadangan penyangga untuk mengantisipasi keadaan darurat dan sisanya untuk meningkatkan cadangan operasional BBM[12].
4. Penutup
Kondisi ketahanan energi di Indonesia cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pemerintah sudah memulai upaya untuk
meningkatkan ketahanan energi tersebut
melalui program DKE. Pembahasan rencana penerapan DKE antara pemerintah dan DPR sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 2015
terkait dengan konsep, sumber dan
pemanfaatan dana, serta kelembagaan dan dasar hukum. Pada akhirnya, pemerintah menganggarkan DKE dalam APBN-P 2016. DKE diharapkan dapat merangsang minat investor untuk mengembangkan EBT. Pemerintah akan menggunakkan DKE ini untuk pengembangan
energi terbarukan, peningkatan cadangan
melalui eksplorasi migas dan panas bumi, pengembangan infrastruktur energi termasuk menjaga stok BBM dan minyak mentah, serta untuk riset dan pengembangan energi.
Paradigma dan program dalam
pengelolaan energi terus berkembang, baik di negara-negara maju maupun di Indonesia. Berbagai paradigma dan program baru terus digulirkan. Di negara-negara Uni Eropa sudah
memulai program transisi energi untuk
meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan melakukan konservasi energi. Program DKE yang dilaksanakan pemerintah saat ini sejalan dengan program transisi energi di negara-negara lain dan merupakan program terobosan untuk
mempertahankan keberlanjutan dalam
penyediaan energi jangka panjang. Dalam implementasi DKE masih ada beberapa kendala
baik penganggaran maupun pemanfaatannya.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk
memperbaiki sistem, landasan hukum, dan pengelolaan DKE di masa datang.
Daftar Pustaka
[1] Sugiyono, A., Anindhita, Boedoyo, M.S., dan Adiarso (Editor), 2015, Outlook Energi Indonesia 2015, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.
[2] Tumiran, 2013, Road Map Menuju
Kedaulatan Energi, Dipresentasikan pada Kongres Energi Nasional, 16 Desember
2013, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
[3] WEC, 2016, World Energy Trilemma Index 2016: Benchmarking the Sustainability of National Energy Systems, World Energy Council, London.
[4] Permana, A.D., Sugiyono, A., Boedoyo, M.S., dan Oktaufik, M.A.M. (Editor), 2012, Outlook Energi Indonesia 2012, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.
[5] DEN, 2015, Ketahanan Energi Indonesia 2015, Dewan Energi Nasional, Jakarta.
[6] DEN, 2014, Ketahanan Energi Indonesia 2014, Dewan Energi Nasional, Jakarta. [7] Hikam, M.A.S. (Editor), 2015, Ketahanan
Energi Indonesia 2015-2025: Tantangan dan Harapan, Badan Intelijen Negara, Jakarta.
[8] KESDM, 2015, Tentang Dana Ketahanan Energi, Sudirman: Niat Pemerintah Sangat Lurus, Arsip Berita, www.esdm.go.id, 21 Oktober 2015.
[9] KESDM, 2016, Membangun Ketahanan Energi Nasional, Dipresentasikan pada
REDD+ Academy, 16 Maret 2016,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
[10] KESDM, 2015, Dana Ketahanan Energi
(DKE), Dipresentasikan pada Seminar
Membangun Kedaulatan Energi, 24
September 2015, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
[11] Rakhmanto, A.P., 2015, Dana Ketahanan Energi, Kompas, Rabu, 30 Desember 2015.
[12] Rakhmanto, A.P., 2016, Terobosan
Implementasi Dana Ketahanan Energi, Kompas, Selasa, 26 Juli 2016.