• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB

VARIASI FITUR-FITUR SUPRASEGMENTAL

DALAM KIDUNG TANTRI NANDAKAHARANA

Setiap nyanyian (termasuk kidung) memiliki unsur estetis yang mengindahkan setiap aturan. Aturan pokok menjadi dasar dari munculnya berbagai macam variasi termasuk juga dalam KTN. Berdasarkan penjelasan pada Bab V, diketahui beberapa faktor sebagai penyebab terjadinya variasi tersebut. Banyak faktor yang memengaruhi adanya variasi tersebut. Untuk itu, pada bab ini secara khusus dibahas mengenai faktor apa saja yang memengaruhinya. Variasi ini secara umum dapat disebabkan oleh faktor linguistik maupun faktor non-linguistik.

6.1 Faktor Linguistik

Beberapa variasi yang terjadi pada setiap representasi fonologi dapat mengontrol tata bahasa dan beberapa kasus lainnya tata bahasa juga dapat mengontrol terjadinya variasi tersebut (Kügler, Frank Caroline Féry & Ruben van de Vijver, 2009:1). Adanya saling kontrol antara variasi tersebut menyebabkan faktor linguistik menjadi perhatian pada bahasan ini. Kontrol variasi terhadap tata bahasa telah membentuk baris pada tiap-tiap bait.

Pertama variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor fitur voiceless pada sebuah silabel khususnya fitur [k] dan [t]. Fitur tak bersuara ini menyebabkan munculnya tekanan pada silabel sebelumnya. Selain karena keduanya sama-sama merupakan fitur dengan ciri voiceless, terdapat ciri lainnya. Fitur [t] adalah fitur

(2)

dengan ciri [+ koronal] dan [+ anterior], sedangkan [k] adalah fitur dengan ciri [- koronal] dan [- anterior]. Oleh karena itu, keduanya mampu memberikan pengaruh kepada silabel-silabel yang berada dekat lingkungan fitur ini. Contoh pada silabel [se] karena diikuti oleh silabel [kǝː] yang memiliki fitur [k] maka silabel [se] mendapatkan pengaruh pada pelafalannya menjadi [sek]. Fitur [k] merupakan fitur kuat yang berada setelah silabel [se]. Oleh karena itu, terjadi perubahan pelafalan yang menyebabkan munculnya tekanan pada silabel [se].

Gambar 059 Pengaruh fitur [k] pada bait pemawak KTN baris i

Silabel ini mengalami perubahan dari fitur-fitur suprasegmental dasar. Sebelumnya silabel ini tidak mendapatkan tekanan, tetapi akibat adanya fitur [k] ini silabel [se] mendapatkan tekanan pada saat penembangannya. Selain fitur [k], pada variasi lain juga muncul akibat hal yang sama, yaitu adanya fitur voiceless [t] pada kata {patrarum}. Silabel [pa] pada fitur-fitur suprasegmental dasar tidak mendapat tekanan, tetapi pada saat penembangan lain fitur ini mendapatkan tekanan. Tekanan ini muncul karena pengaruh dari silabel setelahnya yang mengandung fitur [t]. Awalnya silabel [pa] ditembangkan tetap [pa], tetapi pada

(3)

bentuk variasi ditembangkan menjadi [pat]. Oleh karena itu, silabel ini harus ditekankan untuk mempermudah mengolah suara pada silabel selanjutnya. Hal ini terdapat pada gambar di bawah ini.

Gambar 060 Pengaruh fitur [t] pada bait pemawak baris viii

Selain pengaruh fitur tak bersuara, fitur [r] dan [ŋ] juga menjadi penyebab terjadinya variasi. Kedua fitur ini dapat memberikan variasi karena keduanya memiliki ciri pembeda. Fitur [r] memiliki ciri pembeda [+sonoran] dan [-lateral] (Schane, 1992: 30-31). Ciri ini memberikan ruang kepada [r] untuk dapat melakukan variasi khususnya pemanjangan durasi dan juga perubahan intonasi karena ciri sonoran dimiliki juga oleh vokal yang dalam pelafalannya dapat diperpanjang. Selain itu, ciri [-lateral] menunjukkan adanya kebebasan ruang untuk diucapkan karena tidak ada hambatan dari lidah (Schane, 1992: 20). Disisi lain, fitur [ŋ] adalah salah satu nasal yang tentu saja memiliki ciri [+sonoran]

(Schane, 1992: 20). Hal tersebut menyebabkan fitur [ŋ] dapat ditembangkan dengan suara yang lebih panjang. Pada silabel yang mengandung fitur [r] sering terjadi improvisasi khususnya dalam kontur suara. Fitur ini sering memiliki dua

(4)

kontur sekaligus, yaitu kontur naik dan ataupun kontur turun serta kadang-kadang juga ditembangkan dengan kontur datar. Misalnya pada silabel [tƱːr] yang berubah dari kontur naik-turun, menjadi kontur datar kemudian naik lalu turun dan kembali ke datar. Kejadian ini terekam pada speech analyser di bawah ini.

Gambar 061 Pengaruh [r] pada bait kawitan pendek KTN baris vi

Adanya faktor [r] menyebabkan silabel ini dapat mengalami improvisasi. Untuk memperkuat pernyataan ini, hal yang sama juga terjadi pada hampir setiap silabel yang mengandung fitur [r], contohnya silabel [rjâːŋ] yang mendapat variasi dengan mengulang jenis kontur naik-turun dua kali dalam sekali penembangannya. Variasi ini terekam dalam speech analyser di bawah ini.

(5)

Gambar 062 Pengaruh fitur [r] pada bait kawitan panjang baris viii

Variasi di atas disebabkan oleh adanya fitur [r]. Fitur ini membantu para penyanyi untuk melakukan perubahan-perubahan intonasi tanpa mengubah nada pokok. Selain fitur [r] yang menjadi faktor dalam perubahan ini, terdapat juga fitur nasal koronal [ŋ] yang menyebabkan perubahan variasi. Fitur ini dapat memberikan perubahan variasi karena adanya kesempatan yang luas untuk menambah kembali beberapa kontur yang mungkin dapat ditembangkan, khususnya fitur [ŋ] yang berada di akhir sebuah silabel.

Contoh data yang memiliki fitur [ŋ] selain silabel [rÎːŋ], yaitu silabel

(6)

Gambar 063 Pengaruh fitur [ŋ] pada bait kawitan panjang KTN baris viii Pada gambar di atas silabel ini memiliki kontur naik kemudian mengalami sedikit penurunan kontur. Selain mendapatkan kontur suara yang berbeda, silabel ini juga mengharuskan adanya tekanan di akhir penembangannya.

Fitur lain yang menyebabkan terjadinya variasi pada kidung KTN, yaitu palatalisasi [j]. Palatalisasi adanya pemendekan suara [j] seperti yang terjadi pada silabel [sjǝː] dan [rjǝː]. Adanya palatalisasi menyebabkan kedua silabel tersebut dapat ditembangkan dengan kontur naik-turun secara bersamaan dalam sekali penembangan. Fitur tersebut memungkinkan untuk dipendekkan saat menembangkannya. Oleh karena itu, fitur lain yang terdapat pada silabel tersebut dapat diperpanjang ataupun dapat ditembangkan dengan kontur naik-turun-datar secara bersamaan. Sebagai contoh dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(7)

Gambar 064 Pengaruh fitur [j] pada bait pemawak KTN baris iv

Pada gambar di atas terjadi perubahan kontur suara dari datar menjadi naik kemudian turun dan kembali datar. Variasi ini dapat diulang berkali-kali sesuai dengan kemampuan penembang. Selain itu, juga dapat dibantu dengan olah napas serta olah suara agar tidak keluar dari fitur-fitur dasar pada tiap-tiap KTN.

Faktor linguistik lainnya yang menyebabkan munculnya variasi berada pada tataran sosiolinguistik. Menurut Chamber dan Trudgill (1998), variasi juga dapat disebabkan oleh adanya latar belakang dialek dari penembang. Membicarakan masalah dialek memang cukup rumit karena setiap daerah yang ada di Bali memiliki perbedaan. Secara umum daerah yang berada di Bali selatan (khususnya) daerah Denpasar dan Badung memiliki pelafalan yang mengalami pemendekan. Hal ini juga terjadi pada saat menembangkan kidung tidak terlepas di mana pun penembang berada. Pemendekan yang terjadi, yaitu pada saat menembangkan silabel [rjâːŋ]. Silabel ini berasal dari kata {atƱr hjaŋ} yang saat

penembangannya menjadi tiga silabel, yaitu [aː], [tƱːr], dan [rjâːŋ]. Akibat

(8)

Gambar 065 Pengaruh dialek pada bait kawitan panjang KTN baris viii Pada gambar di atas penembangannya dijadikan satu. Hal ini perlu dicermati karena bisa mengubah makna yang terjadi. Untuk itu pada saat penembangan sebaiknya dilakukan interpretasi makna sebelum melakukan penembangan agar tidak membuat kerancuan pada saat penembangan. Meskipun dialek memengaruhi variasi-variasi pada kidung, akan lebih baik bila tidak mengubah makna yang terkandung.

Dalam pembahasan makna, selain perubahan makna karena dialek yang terjadi juga ada penyebab lainnya, yaitu perubahan tersebut terjadi karena jeda yang diberikan. Perubahan tersebut juga terjadi pada kata {singapati}, yaitu pada penembangannya terjadi variasi menjadi [siŋǝ] [pati], satu kata utuh dipecah menjadi dua saat penembangan. Hal ini terjadi karena pengaruh jeda pada saat penembangan. Pada awalnya kata tersebut memiliki makna ‘raja’, sedangkan saat ada jeda setiap kata memiliki arti yang berbeda {siŋǝ} berarti sinar, sedangkan {pati} dapat berarti ‘mati’ atapun ‘raja’. Kecenderungan berarti ‘raja’ kata {pati}

(9)

harus berada pada sebuah kompositum agar tidak menimbulkan makna yang berbeda.

Gambar 066 Faktor kompositum pada bati kawitan panjang KTN baris iv Tanda panah di atas menunjukkan adanya jeda. Jeda inilah yang memisahkan kompositum menjadi dua buah kata. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan makna. Perubahan makna ini dapat menjadi tidak baik apabila melenceng dari maksud yang diinginkan dan dapat menjadi baik apabila memenuhi maksud yang terdapat dalam alur sebuah bait kidung secara keseluruhan.

Munculnya makna baru karena pengaruh variasi jeda sering terjadi pada penembangan kidung karena adanya interpretasi . Selain jeda yang memengaruhi makna, terdapat juga makna yang memengaruhi variasi jeda. Makna sebuah kata atau menekankan makna yang menjadi inti dari sebuah sajak juga terjadi pada penembangan kidung. Setiap pengarang menginginkan adanya penekanan-penekanan pada setiap kata yang dibuat tetapi ada sebuah kata yang biasanya menjadi topik utama. Hal ini dapat dilihat pada kata {patrarum}. Sesungguhnya kata ini terdiri atas dua kata yaitu {patra} dan {rum}, jeda terjadi sebelum silabel

(10)

[rƱm]. Adanya jeda ini ingin memberikan penekanan bahwa {patra} yang berarti nama tersebut memiliki keharuman atau kemasyhuran dalam setiap hal yang telah diperbuat. Hal ini tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 067 Faktor kompositum pada bait pemawak KTN viii

Gambar di atas menunjukkan adanya jeda. Jeda ini berfungsi untuk menekankan topik yang dimaksudkan, yaitu makna antara kedua rangkaian itu. Apabila tidak diberikan jeda, akan muncul makna yang biasa hanya nama yang masyhur, sedangkan diberikan jeda agar maknanya menjadi benar-benar merasuk dalam kata tersebut yang menunjukkan nama tersebut memang benar-benar terkenal dan termasyhur serta dihormati oleh semua kalangan.

Faktor linguistik yang telah disebutkan di atas dapat menjadi acuan untuk mengadakan variasi-variasi pada saat penembangan KTN. Meskipun demikian, tembang KTN sudah memiliki aturan tersendiri saat menembangkannya. Untuk variasi dan improvisasi cenderung terjadi karena kemampuan yang dimiliki dalam menyanyi sudah mumpuni. Di samping itu, juga sudah menguasai berbagai ritme,

(11)

tekanan, intonasi, serta pemanjangan dan pemendekan suara agar dapat jatuh dengan harmonis dan indah.

6.2 Faktor Nonlinguistik

Faktor nonlinguistik telah disinggung secara singkat pada Bab V, yaitu adanya gaya estetik pada fitur-fitur suprasegmental KTN. Gaya estetik pada sebuah karya sastra adalah hal mutlak yang harus dimiliki. Gaya estetik adalah pengaruh keindahan pada tindakan, dimana maksudnya setiap penembang menginginkan adanya keharmonisan dalam mencapai setiap aturan yang terdapat dalam kidung (Wellek, 1989: 225—226). Gaya estetik ini akan menimbulkan sebuah interpretasi dari hasil analisis linguistik yang telah dilakukan (Wellek, 1989: 226). Interpretasi di sini penembang berusaha menemukan tembang variasinya dan kemudian dengan sengaja melakukan improvisasi dengan tujuan menemukan sebuah gaya estetik sebagai ciri khasnya. Kemampuan penembang dalam melakukan improvisasi dapat terjadi berulang-ulang pada sebuah silabel. Hal ini dapat dilihat pada silabel [ŋǝː] pada kata {singapati} akibat adanya persepsi.

(12)

Gambar 068. Faktor interpretasi pada bait kawitan panjang KTN baris iv Pada gambar di atas tampak bahwa akibat adanya gaya estetik menyebabkan terjadi tekanan pada silabel [ŋǝː]. Gaya estetik ini membantu seseorang untuk melakukan lebih banyak perubahan dalam menembangkan sebuah kidung untuk memperindah jalinan nada yang telah ada. Hal ini diperbolehkan dalam aturan kidung karena penembangannya kidung biasanya lebih bebas dibandingkan dengan metrum lainnya. Selain itu, kidung juga dapat ditembangkan, baik secara perorangan maupun berkelompok.

Faktor nonlinguistik lain dalam penembangan kidung termasuk juga kemampuan olah vokal. Kemampuan olah vokal memegang peranan penting dalam setiap nyanyian termasuk kidung. Adanya kemampuan olah vokal yang baik berpengaruh pada variasi-variasi yang diberikan pada tiap-tiap silabel, sebagai contoh misalnya terjadi pada silabel [mpûː] pada bait kawitan panjang.

(13)

Gambar 069 Pengaruh olah vokal pada bait kawitan panjang baris v

Pada gambar di atas terjadi perubahan intonasi beberapa kali dalam silabel [mpûː]. Ini dapat terjadi apabila seseorang telah mempunyai kemampuan olah vokal yang baik serta menguasai fitur-fitur suprasegmental yang terdapat pada tiap-tiap bait KTN. Selain itu, adanya kemampuan olah vokal juga menyebabkan terjadi variasi intonasi pada sebuah silabel yang memiliki kontur datar menjadi kontur naik, kemudian memengaruhi silabel berikutnya yang mendapatkan kontur turun. Variasi ini terjadi pada silabel [cǝː] dan [sjǝː] yang sebelumnya pada fitur-fitur suprasegmental dasar kedua silabel ini hanya memiliki kontur datar. Kelebihan seseorang yang mampu mengolah vokal dengan baik akan mampu melakukan berbagai improvisasi. Dalam melakukan improvisasi dengan olah vokal sebaiknya diperkirakan sejauh mana kontur sebuah silabel dapat dinaikkan ataupun diturunkan. Sebagai contoh yang telah disebutkan terekam dalam speech anlyser di bawah ini.

(14)

Gambar 070 Faktor olah vokal pada bait kawitan panjang KTN baris vii Pada gambar di atas tampak bahwa adanya perubahan kontur pada silabel [cǝ] dan [sjǝ]. Terjadi perubahan kontur naik kemudian turun pada kedua silabel ini. Perubahan ini tidak serta merta terjadi, tetapi harus ada rasa dalam setiap menembangkannya.

Kecenderungan sering terjadi perpaduan antara interpretasi dan rasa dalam setiap kidung. Kedua hal ini memegang peranan penting dalam setiap nada dan kontur suara yang ditembangkan. Untuk menimbulkan sebuah keindahan kedua faktor ini patut diperhatikan. Setiap ritme, tekanan, dan intonasi yang terjadi akan menjadi harmonis apabila dihayati dengan sungguh-sungguh.

Faktor nonlinguistik ini bergantung pada keinginan seseorang untuk menjadi penembang kidung. Apabila ingin menyanyikan kidung secara professional, maka akan melatih vokal yang dimiliki dan kemampuan mengingat setiap fitur yang melekat pada setiap silabel akan ditingkatkan. Apabila tidak memiliki keinginan ini, maka untuk menembangkannya akan sedikit mengalami kesulitan karena tidak bersungguh-sungguh.

Gambar

Gambar 059 Pengaruh fitur [k] pada bait pemawak  KTN baris i
Gambar 060 Pengaruh fitur [t] pada bait pemawak baris viii
Gambar 061 Pengaruh [r] pada bait kawitan pendek KTN baris vi
Gambar 062 Pengaruh fitur [r] pada bait kawitan panjang baris viii
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tim investigator telah melakukan pemantauan deforestasi “perambahan” di konsesi PT.Sumatera Riang Lestari blok Kubu periode 17 s.d 27 Juni 2014 dan menyimpulkan tidak

Title Sub Title Author Publisher Publication year Jtitle Abstract Notes Genre URL.. Powered by

Pembelajaran seni budaya khususnya seni musik menjadi daya tarik peneliti untuk mendalami bagaimana pelaksanaan proses pembelajaran ritme dengan menggunakan alat

”, dan terdakwa semakin emosi sambil berkata kasar kepada saksi korban dengan berkata “Kalau enggak senang lapor saja ke kelurahan atau ke polisi”, sehingga

Sistem akuntansi pada aplikasi OpenERP sudah dapat terintegrasi dengan bagian sales and marketing seperti pembuatan customer invoice dapat terhubung secara langsung,

Keluarga Jawa selain berperan sebagai pintu gerbang pengenalan dan pembelajaran bahasa Jawa, juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya, yakni sebagai pintu gerbang

Pelaksanaan seminar PFA di Palu berjalan lancar dan mahasiswa antusias untuk mengikuti keseluruhan acara seminar karena materi memang sangat dibuuhkan oleh para peserta yang

sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia baik secara individu maupun secara kelompok dan akibat dari hubungan