• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Studi Literatur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II Studi Literatur"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

10

II. Bab II Studi Literatur

II.1 Supply Chain di Industri Konstruksi

Konsep supply chain pada awalnya berkembang di industri manufaktur. Supply chain adalah suatu jaringan kerjasama dalam menyediakan material atau bahan baku yang melibatkan beberapa pihak. Material tersebut meliputi bahan mentah maupun bahan setengah jadi. Secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu supply chain adalah supplier, pusat produksi, pusat distribusi, gudang, pusat penjualan dan lain-lain. Adapun pertimbangan utama dalam menentukan kinerja supply chain adalah total biaya dan waktu yang minimum sesuai kualitas yang disyaratkan.

Seiring dengan pengertian supply chain yang berkembang di industri manufaktur, maka dalam konteks konstruksi, supply chain dapat didefinisikan sebagai suatu proses dari sekumpulan aktifitas perubahan material alam hingga menjadi produk akhir (seperti jalan atau bangunan) dan jasa (seperti perencanaan atau biaya) untuk digunakan oleh klien dengan mengabaikan batas-batas organisasi (Rebeiro & Lopes, 2001). Menurut Vrijkoef (1998), supply chain adalah jalinan kerjasama perusahaan yang berinteraksi untuk menyampaikan produk (barang atau jasa) kepada pelanggan akhir, hubungan aliran material dari bahan mentah sampai pengiriman terakhir dari rantai.

Towill et al (1992) menyatakan supply chain adalah suatu sistem, pemilihan bagian termasuk supply material, fasilitas produksi, jasa distribusi dan pelanggan yang saling berhubungan lewat perpindahan informasi. Menurut Bechtel et al (1997), supply chain adalah produk dan arus informasi dua arah yang melalui semua partisipan dalam sistem di mulai dari supplier dan berakhir pada pelanggan pengguna akhir. Sedangkan menurut Lee & Billington (1992), supply chain adalah jaringan fasilitas untuk menyediakan raw material, mengubahnya menjadi produk setengah jadi hingga menjadi produk akhir untuk selanjutnya diserahkan kepada pemakai melalui suatu sistim distribusi.

(2)

Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa supply chain merupakan keterlibatan jaringan organisasi dari organisasi hulu sampai hilir yang melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa yang bernilai sampai pada pelanggan terakhir. Rangkaian hubungan customer-supplier tersebut terjadi dalam suatu rentang proses perubahan material, dimulai dari tahapan material alam hingga produk akhirnya mencapai pengguna akhir, bagaikan suatu rangkaian mata rantai yang terhubungan secara linier. Namun bentuk supply chain dalam konteks bisnis yang sesungguhnya memiliki bentuk yang kompleks. Kompleksitas hubungan tersebut, terjadi karena suatu perusahaan tertentu memiliki hubungan ke hulu dengan beberapa supplier-nya (multiple suppliers), dan ke hilir dengan beberapa customer-nya (mutiple customers). Di dalam suatu supply chain terdapat sistem pasokan yang harus didefinisikan, dirancang, dan diimplementasikan untuk mendapatkan aliran material, informasi dan dana yang efektif.

Berdasarkan hasil pengembangan yang dilakukan oleh O’Brien, London dan Vrijhoef (2002) terlihat adanya kompleksitas supply chain terhadap besaran angka perusahaan yang menyusun supply chain konstruksi serta dorongan kekuatan pasar dan jarak yang lebar dalam perusahaan. Kegiatan dalam lokasi proyek telah memiliki jaringan tersendiri antara kegiatan satu dengan kegiatan yang lain. Di luar lokasi proyek terdapat pihak-pihak supplier, subcontractor, designers, dan owner yang secara langsung maupun tidak langsung bekerjasama sehingga membentuk supply chain untuk mendukung kelancaran dari kegiatan di dalam lokasi proyek tersebut. Ilustrasi dari pengembangan ini sebagaimana terlihat pada Gambar II.1 berikut.

(3)

Gambar II.1 Gambaran Konseptual Supply Chain Konstruksi (Sumber : O’Brien , 2002)

Dengan model-model yang dikemukakan oleh peneliti supply chain dalam industri konstruksi, maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik dari supply chain konstruksi, yaitu:

• Karakteristik produknya unik – produk konstruksi bangunan pada umumnya dibuat berdasarkan permintaan tertentu (custom made product). Dengan demikian tidak ada satu pun produk konstruksi yang sama - walaupun hal ini tergantung pada tingkatan mana melihatnya.

• Dilakukan oleh organisasi yang bersifat sementara (temporary organization). Suatu rangkaian supply chain yang terbentuk yang menghasilkan produk konstruksi, akan berakhir ketika selesai masa produksi.

• Produknya terikat pada tempat tertentu, sehingga proses produksinya berlangsung di site konstruksi (in site production). Hal ini juga memberikan kontribusi terhadap keunikan produk konstruksi, karena pada proyek yang sama, baik kondisi fisik (kondisi tanah, pengaruh cuaca, dll) maupun non fisik (regulasi yang berlaku, kondisi lalulintas, dll) yang mempengaruhinya tidak akan pernah sama.

(4)

• In site production dan off site production. Terjadinya produksi di dalam site konstruksi (in site production), telah membagi dua batasan proses yang terjadi dalam produksi konstruksi.

• Diproduksi dalam lingkungan alam yang tidak terkendali, sehingga terdapat ketidakpastian yang tinggi dalam konstruksi.

Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat bahwa supply chain di industri konstruksi sangatlah kompleks, sehingga sistem jaringan supply yang terjadi pada proses produksinya juga menjadi sangat kompleks. Suatu studi menunjukkan bahwa desain supply chain yang buruk memiliki potensi untuk meningkatkan biaya proyek hingga 10% (Bertelsen, 1993). Hal ini menunjukkkan bahwa pola supply chain konstruksi juga akan memberikan kontribusi terhadap efisiensi suatu pelaksanaan proyek, sehingga supply chain konstruksi memiliki potensi untuk menjadi salah satu ruang yang memungkinkan untuk dilakukannya peningkatan dalam industri konstruksi.

Dalam konteks konstruksi di mana fragmentasi sudah menjadi bagian dari karakteristik industri ini, maka peningkatan yang dapat dilakukan adalah melalui manajemen hubungan terhadap organisasi yang terlibat dalam suatu susunan supply chain yang menghasilkan produk konstruksi tertentu. Dengan demikian sangatlah perlu dilakukan pengelolaan supply chain yang baik sehingga dapat mengurangi kesia-siaan (ketidakefisienan) dan optimalisasi pencapaian value dalam supply chain-nya, agar pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan memberikan kepuasan pada pelanggan.

II.1.1. Pelaku-pelaku supply chain konstruksi

Pada supply chain di industri manufaktur terdapat lima komponen utama sebagai pelakunya, yaitu supplier, manufaktur, distributor, retailer, dan customer (Indrajit, 2005), sementara itu berdasarkan beberapa model yang dikembangkan di supply chain konstruksi, dapat disimpulkan beberapa komponen utama dalam suatu supply chain konstruksi, yaitu:

(5)

Owner (Pelaku Hilir)

Dalam proses produksi konstruksi bila produk yang dibuat berdasarkan permintaan owner, maka peran owner sangat tinggi. Proses supply chain konstruksi dimulai dari inisiatif owner yang memprakarsai dibuatnya produk konstruksi bangunan dan berakhir pada owner ketika produk tersebut selesai diproduksi (Vrijhoef, 1999:138). Peran owner ada dalam setiap tahapan, sejak tahap feasibility study, perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, operasi, dan pemeliharaan. Bahkan dalam tahapan proses produksi owner dapat menunjuk langsung pihak yang terlibat untuk pelaksanaan nominated subcontractor/ nominated supplier.

Kontraktor (Pelaku Utama)

Kontraktor adalah suatu organisasi konstruksi yang memberikan layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi berdasarkan perencanaan teknis dan spesifikasi yang telah ditetapkan. Sekarang ini berkembang berbagai organisasi yang berperan sebagai kontraktor, mulai dari perusahaan individu hingga perusahaan besar dengan jumlah pekerja yang banyak. Begitu pula dengan ruang lingkup pekerjaan kontraktor dalam suatu proyek, terdapat spektrum yang sangat beragam, mulai dari lingkup pekerjaan yang sangat sempit, hingga lingkup keseluruhan pekerjaan dalam suatu proyek konstruksi.

Subkontraktor, supplier dan mandor (pelaku di hulu)

à Subkontraktor dan Spesialis

Subkontraktor adalah perusahaan konstruksi yang berkontrak dengan kontraktor utama untuk melaksanakan beberapa bagian pekerjaan kontraktor utama. Terminologi subkontraktor dalam konteks tradisional terdapat satu kontraktor yang memiliki hubungan kontrak dengan owner yaitu kontraktor utama sehingga menempatkan kontraktor lainnya yang tidak memiliki hubungan langsung dengan owner sebagai subordinan dari kontraktor utama

(6)

tersebut. Hirarki dalam hubungan kontrak ini menimbulkan istilah kontraktor utama, subkontraktor, bahkan sub-subkontraktor.

Penggolongan subkontraktor berdasarkan jenis aktivitas terdiri dari: subkontraktor pada aktivitas dasar, subkontraktor pada pekerjaan yang membutuhkan teknik khusus, serta subkontraktor pada pekerjaan khusus dan yang berkaitan dengan material khusus. Sedangkan penggolongan subkontraktor berdasarkan sumber daya yang diberikan terdiri dari: subkontraktor yang memberikan jasa pelaksanaan saja (labor-only subcontractor), subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja dan material, subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja, material, dan perencanaan (design), serta subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja, material, dan perencanaan (design), dan jasa pemeliharaan. Sedangkan specialist trade contractor adalah suatu perusahaan yang memberikan design, manufacture, purchase, assembly, installation, testing, dan commission dari item-item yang diperlukan dalam suatu proyek konstruksi bangunan. Specialist trade contractor dapat dibedakan menjadi dua, yaitu specialist contractor yang memberikan jasa perencanaan (design service) bagi item yang diproduksi serta dipasang pada konstruksi bangunan dan trade contractor yang melaksanakan pekerjaan dengan skill tertentu dalam konstruksi bangunan tanpa melakukan perencanaan.

à Subkontraktor tenaga kerja

Industri konstruksi merupakan entry point yang relatif mudah dalam memasuki dunia kerja sehingga muncul suatu kelompok pekerja dengan skill yang rendah. Kelompok ini memiliki pemimpin yang disebut dengan mandor. Mandor bertindak sebagai penghubung antara kontraktor dengan pekerja. Mandor memberikan jasa kepada kontraktor sebagai pemasok tenaga kerja (labor only subcontractor) berbagai keahlian yang spesifik (misalnya: tukang gali, tukang batu, dan tukang kayu) dan tingkatan keahlian yang berbeda-beda (misalnya: pekerja terampil, pekerja setengah terampil, dan tukang). Dengan

(7)

proses produksi pada industri konstruksi yang umumnya memiliki karakteristik penggunaan teknologi yang relatif rendah serta tingginya intensitas penggunaan pekerja maka keberadaan mandor sebagai pemasok tenaga kerja yang menyediakan jasa kepada kontraktor untuk mengkonversikan material menjadi intermediate product sangat diperlukan. à Supplier dan manufaktur konstruksi

Dilihat dari jenis material yang diperlukan dalam suatu proyek konstruksi bangunan, terdiri dari material alam seperti pasir, kerikil, batu alam, dan material hasil produksi manufaktur seperti besi beton, keramik, panel beton precast. Dengan demikian terdapat dua jenis pelaku yang terlibat dalam aliran material-material yang dibutuhkan dalam proyek konstruksi bangunan:

– Manufaktur konstruksi memproduksi material-material konstruksi dengan mengolah material-material alam hingga menghasilkan komponen bangunan tertentu.

– Supplier mendistribusikan material yang diperoleh kepada pengguna. Dari jenis material yang didistribusikan maka supplier ini dapat dibedakan menjadi supplier material alam dan supplier komponen bangunan.

Material alam terlebih dahulu mengalami proses di dalam suatu manufaktur sebelum memasuki lokasi konstruksi hal ini menunjukkan adanya hubungan antar industri konstruksi dan industri manufaktur yang memproduksi komponen bangunan. Industri manufaktur khususnya yang memproduksi komponen konstruksi telah mendukung industri konstruksi. Adanya manufaktur konstruksi sebagai pihak yang melakukan produksi di luar lokasi konstruksi (off site production), memiliki kontribusi yang besar bagi konstruksi untuk lebih mengefisienkan proses konstruksi yang terjadi dalam lokasi konstruksi.

(8)

II.1.2. Hubungan dalam supply chain konstruksi

Dalam supply chain terdapat pihak yang berperan sebagai penyedia produk (supplier) dan pelaku yang berperan sebagai pelanggan (customer). Pihak penerima produk yang dihasilkan oleh supply chain tersebut disebut customer. Dari sudut pandang kontraktor konstruksi maka pelaku yang berperan dalam proses produksi di lokasi konstruksi, terlepas dengan siapa pelaku tersebut memiliki hubungan kontrak, dapat dikelompokkan sebagai supplier. Maka hubungan antara kontraktor dengan pelaku lain menurut pengertian supply chain dibagi dua yaitu hubungan ke hilir yang menunjukkan hubungan kontraktor dengan owner sebagai pelanggan (customer) dan hubungan ke hulu yang menunjukkan hubungan kontraktor dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi (contohnya supplier dan subkontraktor).

Berdasarkan sudut pandang supply chain, metode kontrak konstruksi menentukan seberapa besar lingkup kontraktor dalam proyek konstruksi sehingga akan mempengaruhi keluasan supply chain yang dibentuk oleh kontraktor tersebut. Pemilihan metode kontrak dapat disesuaikan dengan kebutuhan owner sebagai pihak yang pada akhirnya akan menerima nilai (value) dari berbagai proses yang dilakukan oleh jaringan pelaku supply chain.

II.2 Supply chain pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung

Berdasarkan penelitian Susilawati (2005) telah teridentifikasi empat bentuk pola supply chain yang biasa ditemui pada proyek-proyek konstruksi khususnya bangunan gedung, yang terdiri dari dua pola umum yang secara garis besar dibentuk berdasarkan metoda kontrak yang digunakan, yaitu berdasarkan metoda Kontrak Umum/ General Contract Method dan metoda Kontrak Terpisah/ Separate Contract Method, dimana dari masing-masing pola umum tersebut memiliki satu pola khusus sebagai perluasan dari ada-tidaknya keterlibatan pemilik dalam pengadaan material. Masing-masing pola diilustrasikan pada Gambar II.2 sampai dengan Gambar II.5 berikut ini.

(9)

Gambar II.2 Pola–1 Supply chain konstruksi bangunan gedung (Sumber : Susilawati, 2005)

Pola umum dapat diidentifikasi sebagai pola yang terjadi dalam supply chain kontraktor dengan tiga pola hubungan umum yang sering terjadi, yaitu:

• Pada pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh kontraktor sehingga kontraktor memiliki hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat, dan pekerja (labor).

• Pada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor kepada subkontraktor untuk beberapa jenis pekerjaan dasar, dan pada spesialis untuk jenis pekerjaaan yang memerlukan keahlian khusus. Dalam hal ini umumnya subkontraktor dan spesialis tersebut melakukan pengadaan material, alat dan labor-nya sendiri. Dengan demikian maka dalam pekerjaan yang disubkontrakkan, pola pasokannya terjadi secara hirarkis (berantai).

Pola khusus - Pola Supply chain Owner. Dari pola umum tersebut terdapat pola-pola khusus yang terjadi khususnya pada proyek konstruksi bangunan dengan metoda kontrak terpisah, dan metoda kontrak MK profesional. Dalam hal ini pola khusus yang terjadi disebabkan oleh adanya peran owner yang membentuk pola khusus dalam dua kasus, yaitu:

(10)

Kasus 1: terjadinya hubungan langsung owner dengan pihak penyedia material, yang terjadi baik dalam pola khusus kasus 1 (pola hubungan langung owner dengan tiga penyedia jasa) sebagaimana terlihat pada Gambar II.3, maupun dalam pola umumnya sebagaimana terlihat pada Gambar II.5. Pola hubungan khusus ini menunjukkan peran owner yang besar, yang dilakukan dalam setiap tingkatan yang ada, sebagai usaha untuk menekan biaya konstruksi yang terjadi.

Kasus 2: terjadinya hubungan langsung antara owner dengan pihak penyedia jasa lainnya selain kontraktor, sehingga terbentuk pola hubungan yang setara dari tiga pihak, yaitu kontraktor, subkontraktor, dan spesialis dalam pola hubungan yang setara.

Hal ini menunjukkan meningkatnya peran pihak penyedia jasa selain kontraktoir dalam struktur pengadaan pada proyek konstruksi bangunan, yang ternyata tidak hanya terjadi pada spesialis saja, namun juga pada subkontraktor sehubungan dengan besarnya volume pekerjaan yang dilakukan walaupun jenis pekerjaannya merupakan pekerjaan dasar, yang sebelumnya berada pada tingkat organisasi ke tiga menjadi organisasi tingkat ke 2 - setara dengan kontraktor sebagaimana terlihat pada Gambar II.4.

Dalam pola hubungan langsung owner dengan spesialis dan subkontraktornya, juga terdapat peran owner dalam pengadaan komponen materialnya, sehingga terdapat hubungan langsung owner sebagai organisasi tingkat 1 dengan supplier sebagai organisasi tingkat ke 3. Pemecahan komponen material dari komponen jasa yang dilakukan oleh owner, merupakan strategi owner dalam usaha untuk menekan biaya. Hal ini memperlihatkan suatu perbedaan pola pengadaan, yang pada mulanya dilakukan secara hirarkis menjadi pengadaan langsung yang dilakukan oleh owner.

(11)

Gambar II.3 Pola–2 Supply chain konstruksi bangunan gedung (Sumber : Susilawati, 2005)

Dalam pembentukan pola-pola jaringan tersebut, terdapat beberapa aspek tinjauan yang diperkirakan dapat mempengaruhi supply chain yang terbentuk. Aspek-aspek ini ditinjau terhadap dua tingkatan, di tingkat perusahaan dan proyek serta disusun berdasarkan garis pengaruh yang terjadi dalam tiap tingkatan, yang berawal dari hubungan kontraktor dengan pihak hilirnya – yaitu hubungan kontraktor owner dari masing-masing proyek, maupun hubungan kontraktor dengan pihak hulunya – pihak yang berperan sebagai subkontraktor, spesialis, manufaktur, dan supplier yang memberikan input pada kontraktor.

(12)

Gambar II.4 Pola–3 Supply chain konstruksi bangunan gedung (Sumber : Susilawati, 2005)

Gambar II.5 Pola–4 Supply chain konstruksi bangunan gedung (Sumber : Susilawati, 2005)

(13)

II.3 Konsep Lean Construction

Aplikasi dari lean production di industri konstruksi dikenal sebagai lean construction (Howe, 1999). Konsep ini lebih dulu berkembang di sektor manufaktur yang merupakan suatu konsep pencapaian kinerja maksimum dengan cara meminimumkan waste. Adapun waste yang dimaksud dalam konsep ini adalah segala jenis pemborosan, baik yang berkaitan dengan penggunaan material, produk antara, hingga pemborosan waktu, sehingga bukan hanya sekedar waste dalam pengertian fisik. Dengan demikian maka target yang ingin dicapai dari penerapan konsep lean production adalah zero waste. Aliran produksi yang “ramping” ini dipercaya lebih responsif terhadap perubahan proses produksi akibat permintaan produk akhir yang beragam (customized).

Secara umum konsep lean construction mengadopsi konsep “lean” dari sistem manufaktur. Implementasi konsep ini di industri konstruksi memerlukan banyak penyesuaian mengingat sifat dari proyek konstruksi yang unik dan memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibanding industri manufaktur.

Pada tahun 1992, Koskela melalui penelitiannya mengembangkan suatu paradigma manajemen produksi untuk sistem produksi berbasiskan proyek (Project-based production sistem). Teori dasar yang dikembangkan menyangkut aspek produksi yang berbasiskan proyek konstruksi. Ide dasar dari konsep ini adalah bahwa suatu kegiatan konstruksi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai proses penciptaan produk dari input menjadi output (Conversion/C) saja namun harus dilihat juga sebagai suatu Flow (F) dari pekerjaan dan suatu penciptaan Value (V) sebaik mungkin.

Conversion merupakan suatu proses perubahan input menjadi output sehingga bisa dimanfaatkan oleh konsumen atau digunakan untuk proses produksi. Aplikasi dari konsep conversion ini sangat berkaitan dengan hirarki dan komposisi aktifitas dalam usaha mengontrol dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya. Konsep conversion ini sangat fokus kepada aktifitas, sehingga kurang memperhatikan terhadap aktifitas yang tidak memberikan tambahan value (non-value adding

(14)

activities). Sehingga perlu dilengkapi dengan konsep baru yang bisa lebih memperhatikan non-value adding activities tersebut.

Beranjak dari kekurangan konsep conversion dalam memperhatikan non-value adding activities, maka dikembangkan konsep flow. Konsep flow memandang produksi sebagai rangkaian aktifitas proses produksi, aktifitas menunggu, aktifitas inspeksi dan proses perpindahan aktifitas. Dalam pandangan konsep flow ini, aktifitas proses produksi hanya dilihat sebagai aktifitas yang dapat memberikan tambahan value pada konsumen saja, sementara aktifitas menunggu, inspeksi dan perpindahan dikategorikan sebagai aktifitas yang tidak memberikan tambahan value (non-value adding activities), sehingga harus diminimalkan dari proses produksi yang utama.

Konsep flow ini sangat menekankan pada usaha meminimalkan non-value adding activities dan meningkatkan value adding activities. Tujuan utama dari konsep ini adalah untuk mencapai lean production system dengan sesedikit atau bahkan dengan tidak ada waste. Mengidentifikasi dan mengurangi sumber dari waste merupakan langkah awal untuk penerapan konsep ini.

Konsep value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang merupakan kebutuhan yang harus diterima secara spesifik sesuai dengan spesifikasi, waktu, tempat dan biaya yang telah ditentukan. Konsep ni harus mencakup seluruh aspek dalam sistem produksi dan persepsi konsumen terhadap value yang diinginkan harus menjadi sumber utama dalam menentukan prioritas strategi dalam sistem produksi.

Dari literatur-literatur yang ada dapat disimpulkan bahwa pengelolaan conversion merupakan hal yang penting di konstruksi, yaitu dengan mengontrol dan mengoptimalkan sumberdaya melalui hirarki, sehingga proses produksi dari input menjadi output di proyek konstruksi dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan flow di konstruksi dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem perencanaan dan pengendalian proyek. Perencanaan yang bisa menjamin dan mengoptimalkan aktifitas dalam proses produksi yang merupakan value adding activities dan

(15)

mengurangi non-value adding activities akan mampu menciptakan flow pekerjaan yang lancar. Sementara penciptaan value yang sesuai keinginan konsumen merupakan konsep dasar yang melingkupi semua tahapan dalam proses produksi suatu produk.

II.4 Pengukuran Kinerja

II.4.1. Definisi umum pengukuran kinerja

Faktor utama yang harus dimiliki perusahaan agar dapat bertahan dan bersaing adalah kemampuan mereka dalam mengikuti perkembangan yang ada, baik yang datang dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) perusahaan. Kemampuan mengikuti perkembangan inilah yang nantinya menentukan di mana posisi dan keunggulan perusahaan tersebut dalam peta persaingan. Untuk itulah diperlukan suatu pengukuran kinerja yang mampu mengukur prestasi perusahaan tersebut. Menurut Romano (1989), pengukuran kinerja (performance measurement) merupakan salah satu proses dalam sistem pengendalian manajemen, dengan membandingkan dan mengevaluasi antara rencana yang dibuat dan hasil yang dicapai, menganalisis penyimpangan yang terjadi dan melakukan perbaikan.

Pengukuran kinerja adalah proses pengukuran efektifitas dan efisiensi dari suatu tindakan (Neely et.al, 1995) sementara itu, Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai:

“The activity of measuring the performance of an activity or the entire value chain.”

II.4.2. Manfaat pengukuran kinerja

Menurut Lynch dan Cross (1993), manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sebagai berikut:

(16)

1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan lebih dekat pada pelanggan dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan;

2. Memotivasi karyawan untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai pelanggan dan pemasok internal;

3. Mengidentifikasikan berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste);

4. Membuat suatu tinjauan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi;

5. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi “reward” atas perilaku yang diharapkan tersebut.

II.4.3. Perbedaan sistem pengukuran kinerja tradisional dan modern

Selama ini pengukuran kinerja yang lazim digunakan adalah pengukuran kinerja yang masih menekankan pada ukuran kinerja keuangan saja, sedangkan tolok ukur yang digunakan dalam melakukan pengukuran serta evaluasi kinerja tersebut masih menggunakan metode tradisional, yaitu melakukan Analisis Laporan Keuangan. Saat ini hasil laporan keuangan sudah dapat dikatakan mencukupi dan memadai untuk mewakili kondisi dan posisi perusahaan dalam persaingan.

Pengukuran kinerja tradisional berdasarkan pada ukuran keuangan (seperti rasio laba modal, cash flow) tidak lagi mempresentasikan kebutuhan informasi dari persaingan global sekarang ini (Ghalayini et al., 1996). Agar mampu bersaing dengan pesaingnya, organisasi atau perusahaan modern harus merubah prioritas strateginya dari orientasi ukuran keuangan ke pengukuran kinerja alternatif, yang memusatkan atas ukuran kinerja non keuangan, seperti kualitas, fleksibilitas, dan lead-time yang singkat. Menurut Christopher (1992) dan Tony et al. (1994), sebagian besar penelitian saat ini masih bertumpu pada pengukuran kinerja tradisional, dan hanya sedikit penelitian yang membahas tentang pengukuran kinerja bukan keuangan (non-financial).

(17)

Tabel II.1 Perbedaan antara ukuran kinerja tradisional dan modern Traditional Performance Measures Non-Traditional Performance

Measures Based on outdated traditional accounting

sistem Based on company strategy

Mainly financial measures Mainly non-financial measures Intended for middle and higher managers Intended for all employee

Lagging metrics (weekly on monthly) On-time metrics (hourly, or daily) Lead to employee frustration Simple, accurate and easy to use Neglected at the shopfloor Frequently used at the shopfloor Have a fixed format Have no fixed format (depends on

needs)

Do not vary between locations Vary between locations

Do not change overtime Change overtime as the need change Intended mainly for monitoring

performance

Intended to improve performance Not applicable for JIT, TQM, CIM, RPR,

etc. Applicable for JIT, TQM, CIM, RPR, etc. Hinder continuous improvement Help in achieve continuous

improvement (Sumber : Ghalayini dan Noble, J.S., 1996)

Saat ini penekanan yang diperlukan oleh semua organisasi atau perusahaan adalah menggunakan dengan baik semua sumber yang dimilikinya secara efektif dan efisien. Umumnya, ukuran kinerja yang digunakan selama ini lebih berdasarkan pada sistem manajemen keuangan (Ghalayini et al., 1996). Hasil yang diperoleh lebih memusatkan pada data-data keuangan (seperti return on investment, return on sales, price variances, return on asset). Penggunaan informasi di dalam analisis keuangan kinerja organisasi atau perusahaan merupakan hal yang kritis (Schermerhorn et al., 2000). Aspek keuangan organisasi ini biasanya dinilai menggunakan berbagai rasio keuangan.

Ukuran kinerja tradisional memiliki banyak keterbatasan (Ghalayini et al., 1996), yaitu:

(18)

1. Sistem manajemen keuangan tradisional

Pada awalnya sistem pengukuran ini dikembangkan untuk kepentingan menghitung total biaya operasional pabrik tekstil, seperti biaya tenaga kerja dan biaya-biaya lain yang dikelompokkan sebagai biaya tambahan.

2. Strategi perusahaan

Sering kali ukuran kinerja tradisional yang digunakan tidak sesuai dengan strategi perusahaan.

3. Sulit untuk diterapkan

Kendala yang sering dialami pada saat melakukan pengukuran kinerja tradisional adalah mengkonversikan dari ukuran non-financial ke dalam ukuran kinerja financial, misalnya mengukur kepuasan pelanggan, mengurangi lead-time. Maka, ukuran kinerja tradisional sulit untuk digunakan di tingkat lantai pabrik.

4. Inflexible

Laporan keuangan tradisional menggunakan format atau bentuk yang sama, di mana format tersebut digunakan bagi semua departemen. Sedangkan masing-masing departemen tersebut memiliki prioritas dan karakteristik yang berlainan. Mungkin saja karakteristik yang digunakan dalam satu departemen tidak saling berkaitan dengan departemen lainnya.

5. Mahal

Untuk menyiapkan laporan keuangan tradisional memerlukan banyak data yang untuk memperolehnya memerlukan biaya mahal.

Pada akhir tahun 1980-an, muncul beberapa literatur yang membahas ukuran kinerja yang menekankan pada ukuran kinerja non-traditional (Sink, & Smith, 1993; Maskell,1992; Dixon, Nanni & Vollman, 1990; Hayes, Wheelwright & Clark, 1988). Karakteristik dari ukuran kinerja modern ini sebagai berikut:

(19)

ƒ Ukuran yang berhubungan dengan strategi produksi; terutama ukuran-ukuran non keuangan, sehingga membantu dalam pengambilan keputusan dengan menyediakan informasi yang diperlukan.

ƒ Ukuran tidak terlalu rumit sehingga memudahkan operator di lantai pabrik dapat dengan mudah menggunakan dan memahami

ƒ Ukuran-ukuran yang biasa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan pasar dinamis

Salah satu kegagalan di dalam perancangan dan penerapan sistem pengukuran kinerja suatu perusahaan adalah tidak adanya keinginan dan kemampuan dari pihak perusahaan untuk mengukur kinerjanya dengan tepat dan akurat (Schermerhorn et al., 2000). Sedangkan Goold dan Quinn (1988), melakukan survey terhadap 200 perusahaan di Inggris dan melaporkan bahwa hanya 11 persen dari perusahaan-perusahaan tersebut yang memiliki strategi sistem pengukuran kinerja standar.

Seringkali perusahaan mengalami kesulitan pada saat mengukur kinerja mereka. Kesulitan itu muncul pada saat mempertimbangkan dan mempergunakan aktifitas atau fungsi perusahaan antara pengukuran kinerja tradisioanal dengan non tradisioanal. Leong (1990) menyatakan bahwa pekerjaan produksi dan dimensi kinerja utamanya berkaitan dengan kualitas, waktu, biaya dan fleksibilitas. Sementara menurut Globerson (1985), sistem pengukuran kinerja suatu organisasi seharusnya meliputi sekumpulan ukuran-ukuran yang dapat diukur dan dirumuskan dengan baik, standar kinerja untuk masing-masing ukuran, aturan-aturan untuk mengukur masing-masing kriteria, prosedur yang membandingkan antara standar kinerja aktual dengan kinerja yang diharapkan.

Maskell (1988), mengemukakan enam prinsip perancangan sistem pengukuran kinerja, yaitu :

1. Ukuran harus secara langsung berhubungan dengan strategi perusahaan. 2. Menggunakan ukuran kinerja non keuangan.

(20)

3. Satu ukuran kinerja belum tentu tepat untuk semua departemen atau bagian pada suatu perusahaan.

4. Ukuran kinerja yang digunakan harus sederhana dan mudah untuk dipahami. 5. Ukuran kinerja harus memberikan umpan balik dengan cepat bagi

perusahaan.

6. Ukuran harus dirancang sehingga memotivasi perusahaan untuk melakukan perbaikan berkelanjutan dibandingkan dengan hanya mengawasi.

Efektivitas dari suatu sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut (Gunasekaran, et al., 2002):

• Mencerminkan hasil, bukan aktivitas yang dikerjakan;

• Lebih sederhana, tidak rumit, dan mudah dipahami oleh semua orang; • Menyediakan kerangka pengukuran yang berkesinambungan;

• Menggunakan ukuran kinerja yang benar dan dapat dipercaya;

• Memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan biaya yang telah dikeluarkan.

II.5 Pengukuran Kinerja Supply Chain

Kinerja supply chain adalah semua aktivitas pemenuhan permintaan customer yang dinyatakan secara kuantitatif. Hasil yang akan diperoleh dalam bentuk angka atau prosentase dari aktivitas pemenuhan permintaan perusahaan kepada customernya. Tujuan pengukuran kinerja supply chain adalah :

• Untuk menciptakan proses delivery secara fisik (barang mengalir dengan lancar dan inventory tidak terlalu tinggi)

• Melakukan stream lining information flow (adanya aliran informasi diantara tiap channel)

(21)

Sejak beberapa tahun terakhir, issues mengenai pengukuran kinerja menarik perhatian sejumlah perusahaan. Akan tetapi kebanyakan studi yang dilakukan hanya berfokus pada kinerja proses manufakturing dan diasosiasikan dengan indikator keuangan. Dengan perkembangan yang terjadi perlu dilakukan pengembangan konsep pengukuran kinerja di bidang supply chain management. Pengukuran kinerja supply chain sangat penting dilakukan di industri yang ingin meningkatkan kompetensinya sebagai industri yang kuat. Kalangan industri pada umumnya melakukan pengukuran kinerja terhadap supply chain-nya dengan tujuan mengurangi biaya-biaya, memenuhi customer satisfication, dan meningkatkan keuntungan mereka (Klapper dan Vivar, 1999). Selain itu pengukuran kinerja supply chain diperlukan untuk mengetahui posisi supply chain saat ini relatif terhadap kompetitor maupun terhadap tujuan yang hendak dicapai serta berguna sebagai dasar untuk menentukan arah perbaikan berkelanjutan. Menurut Handfield dan Nichols, Jr. (2000) sistem pengukuran kinerja supply chain yang efektif dapat : (1) memberikan dasar untuk memahami sistem itu, (2) mempengaruhi perilaku seluruh sistem , dan (3) memberikan informasi mengenai hasil kerja sistem kepada setiap unit baik yang terlibat maupun yang tidak terlibat secara langsung di dalam supply chain. Pada akhirnya, pengukuran kinerja supply chain yang dilakukan akan mengarah pula pada perbaikan kinerja keseluruhan.

Sebagian besar perusahaan tidak mempunyai pandangan yang luas mengenai kinerja supply chain sehingga sulit melakukan perbaikan yang diperlukan bagi perusahaan. Pada pengukuran kinerja terdiri dari 2 (dua) bagian utama, yaitu pengukuran kinerja itu sendiri dan analisa terhadap hasil pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja dan analisanya dapat digunakan untuk : memberi pandangan yang luas dalam proses supply chain dan cara-cara perbaikannya, memberikan pandangan mengenai permintaan di dalam proses supply chain, pengontrol biaya, pengontrol kualitas, dan menentukan level dan pengontrol dari pelayanan terhadap konsumen (Trienekens dan Iivolby, 2000).

(22)

Beamon (1999) menggolongkan ukuran kinerja supply chain ke dalam dua kelompok : kuantitatif dan kualitatif, melibatkan kepuasan dan respon pelanggan, fleksibilitas, kinerja pemasok, biaya-biaya dan kesemuanya itu digunakan dalam pemodelan supply chain. Selain itu peneliti juga mengidentifikasi tiga jenis kriteria pengukuran kinerja suatu supply chain, yaitu :

• Sumber daya. Tujuan dari kriteria ini adalah mencapai tingkat efisiensi yang setinggi-tingginya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini antara lain total biaya, biaya distribusi, biaya produksi, biaya inventori dan lain sebagainya.

• Keluaran. Tujuan dari kriteria ini adalah mencapai tingkat kepuasan pelanggan yang setinggi-tingginya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini antara lain volume produksi, jumlah penjualan, jumlah pesanan yang dapat dipenuhi tepat waktu dan lain sebagainya.

• Fleksibilitas. Tujuan dari kriteria ini adalah untuk menciptakan kemampuan yang tinggi dalam merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini antara lain pengurangan jumlah backorder, pengurangan jumlah lost sales, kemampuan merespon variasi permintaan dan lain sebagainya.

Gunasekran (2001) mengembangkan suatu kerangka untuk mengukur strategi, taktik dan kinerja tingkat operasional dalam supply chain, yang sebagian besar berhubungan dengan supplier, pengiriman, layanan pelanggan dan biaya inventori dan logistik. Sementara itu menurut Felix (2001), beberapa permasalahan yang terjadi dalam sistem pengukuran kinerja supply chain antara lain : (1) tidak adanya pendekatan yang seimbang dalam mengintegrasikan ukuran non keuangan dan keuangan, (2) tidak adanya berpikir sistem , di mana suatu supply chain harus dipandang sebagai satu kesatuan pengukuran yang utuh dari keseluruhan sistem supply chain tersebut, dan (3) hilangnya konteks supply chain.

(23)

II.6 Dimensi dan Ukuran Kinerja Supply Chain

Menurut Tucker dan Taylor (1990), ukuran kinerja terdiri dari empat komponen yaitu satuan metrik yang digunakan (kesesuaian, efisiensi, efektivitas, biaya dan reaksi), suatu skala (rupiah, jam), suatu rumusan (persentase a terhadap b, rata-rata waktu antara kegagalan) dan suatu kondisi saat pengukuran dilakukan.

Ukuran kinerja adalah suatu evaluasi kuantitatif dari suatu proses atau produk. Suatu ukuran umumnya terdiri dari suatu angka dan satuannya. Angka tersebut menunjukkan besarnya dan satuan menunjukkan suatu arti atau maksud. Metrik (standar penilaian seperti frekuensi, persentase dan lain sebagainya) digunakan untuk merefleksikan perkembangan suatu produk dan untuk menentukan apakah sesuai atau tidak dengan progres yang diharapkan.

Pengelolaan, analisis dan perbaikan supply chain menjadi hal yang penting saat ini. Model supply chain yang ada lebih menekankan pada dua ukuran kinerja yang berbeda (Beamon,1999) :

1. Biaya, dan

2. Kombinasi antara biaya dan kemampuan reaksi pelanggan

Biaya-biaya tersebut meliputi biaya persediaan dan biaya operasional. Sedangkan kemampuan reaksi pelanggan meliputi lead time, kemungkinan stock out dan tingkat pemenuhan. Pada kenyataannya, masih banyak ukuran kinerja lain yang berkaitan dengan analisis supply chain yang belum digunakan dalam penelitian supply chain. Walaupun ukuran ini mungkin merupakan karakteristik penting dalam suatu supply chain merupakan suatu tantangan, karena aspek kualitatif dari masing-masing ukuran sulit untuk digabungkan ke dalam model kuantitatif. Misalnya ukuran kepuasan konsumen (Christopher, 1994), aliran informasi (Nicoll, 1994), kinerja pemasok (Davis, 1993), dan manajemen resiko (John dan Randolph, 1995).

(24)

II.7 Pendekatan Proses dalam Pengukuran Kinerja Supply Chain

Sejalan dengan filosofi supply chain management yang mendorong terjadinya integrasi antar fungsi, pendekatan berdasarkan proses (process based approach) banyak digunakan untuk merancang sistem pengukuran kinerja supply chain. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka memungkinkan untuk mengidentifikasi masalah pada suatu proses sehingga bisa mengambil tindakan koreksi sebelum masalah tersebut meluas. Beberapa model dalam melakukan pengukuran kinerja berdasarkan pendekatan proses, yaitu :

II.7.1. Model Chan & Li

Menurut Chan & Li (2003), pendekatan pengukuran kinerja berdasarkan proses tidak hanya sejalan dengan hakekat dari supply chain management, tetapi juga memberikan konstribusi yang signifikan terhadap perbaikan berkelanjutan. Pendekatan proses dalam merancang sistem pengukuran kinerja supply chain memungkinkan untuk mengidentifikasi masalah pada suatu proses sehingga bisa mengambil langkah koreksi sebelum masalah tersebut meluas. Untuk merancang sistem pengukuran kinerja yang berdasarkan proses, Chan & Li (2003) menyarankan tujuh langkah berikut :

• Identifikasi dan hubungkan semua proses yang terlibat baik yang terjadi di dalam maupun di luar organisasi

• Definisikan dan batasi proses inti

• Tentukan misi, tanggungjawab dan fungsi dari proses inti • Uraikan dan identifikasi sub-proses

• Tentukan tanggungjawab dan fungsi sub-proses • Uraikan lebih lanjut sub-proses menjadi aktivitas

(25)

Pada Gambar II.6 berikut terlihat ilustrasi struktur umum langkah-langkah melakukan dekomposisi dalam merancang sistem pengukuran kinerja supply chain berdasarkan proses.

Gambar II.6 Dekomposisi proses dalam pengembangan sistem pengukuran kinerja supply chain berdasarkan proses

(Sumber : Chan & Li, 2003)

Chan & Li (2003) mengusulkan performance of activity (POA) yaitu model yang digunakan untuk mengukur kinerja aktivitas yang menjadi bagian dari proses dalam supply chain. Kinerja aktivitas diukur dalam berbagai dimensi yaitu : • Ongkos yang terdapat dalam eksekusi suatu aktivitas

• Waktu yang diperlukan untuk mengerjakan suatu aktivitas

• Kapasitas pekerjaan yang bisa dilakukan oleh suatu sistem atau bagian dari supply chain untuk periode tertentu

• Kapabilitas, kemampuan agregat suatu supply chain untuk melakukan suatu aktivitas

• Produktifitas yang mengukur sejauh mana sumber daya pada supply chain digunakan secara efektif dalam mengubah input menjadi ouput.

• Utilisasi yang mengukur tingkat pemakaian sumber daya dalam kegiatan supply chain

• Outcome yang merupakan hasil dari suatu proses/ aktivitas. Tugas & Fungsi Proses Inti

Sub-proses

Aktivitas Tugas & Fungsi

Tugas & Fungsi Sub-proses

Aktivitas

Target Target

(26)

Ketujuh metrik di atas memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dalam pengukuran di lapangan. Dalam prakteknya, ongkos, waktu, kapasitas, dan produktifitas relatif mudah diukur daripada metrik lainnya.

II.7.2. Model SCOR (Supply Chain Operation Reference)

SCOR (Supply Chain Operation Reference) adalah suatu model acuan dari operasi supply chain yang merupakan model berdasarkan proses yang dikeluarkan oleh suatu lembaga profesional, Supply Chain Council (SCC). Proses reference model merupakan konsep untuk mendapatkan suatu kerangka (framework) pengukuran yang terintegrasi (Supply Chain Council, 2001).

SCOR model merupakan suatu cara sebuah perusahaan untuk mengkomunikasikan suatu kerangka yang menjelaskan mengenai supply chain secara detail, mendefinikan dan mengkatagorikan proses-proses yang membangun sebuah rantai supply chain. Selain itu, SCOR juga membangun metrik-metrik pengukuran yang diperlukan dalam pengukuran kinerja supply chain (Klapper dan Vivar, 1999).

Model ini mengintegrasikan tiga elemen utama dalam manajemen yaitu business process reeingineering, benchmarking, dan process measurement ke dalam kerangka lintas fungsi dalam supply chain. Ketiga elemen tersebut memiliki fungsi sebagai berikut :

• Business process reeingineering pada hakekatnya menangkap proses kompleks yang terjadi saat ini (as is) dan mendefinisikan proses yang diinginkan (to be) • Benchmarking adalah kegiatan untuk mendapatkan data kinerja operasional

dari perusahaan sejenis. Target internal kemudian ditentukan berdasarkan kinerja best in class yang diperoleh.

• Process measurement berfungsi untuk mengukur, mengendalikan dan memperbaiki proses-proses supply chain.

(27)

Sebagaimana terlihat pada Gambar II.7, SCOR membagi proses-proses supply chain menjadi 5 proses inti yaitu plan, source, make, deliver, dan return.

Gambar II.7 Lima proses inti supply chain pada model SCOR (Sumber : SCOR Version 6.1© Supply Chain Council)

• Plan yaitu proses yang menyeimbangkan permintaan dan pasokan untuk menentukan tindakan terbaik dalam memenuhi kebutuhan pengadaan, produksi dan pengiriman. Plan mencakup proses menaksir kebutuhan distribusi, perencanaan dan pengendalian persediaan, perencanaan produksi, perencanaan material, perencanaan kapasitas, dan melakukan penyesuaian (alignment) supply chain plan dengan financial plan.

• Source yaitu proses pengadaan barang maupun jasa untuk memenuhi permintaan. Proses yang dicakup termasuk penjadwalan pengiriman dari supplier, menerima, mengecek dan memberikan otorisasi pembayaran untuk barang yang dikirim supplier, mengevaluasi kinerja supplier dan sebagainya. Jenis proses ini bisa berbeda tergantung pada apakah barang yang dibeli termasuk stocked, make-to-order atau engineer-to-order-product.

• Make yaitu proses untuk mentransformasi bahan baku/ komponen menjadi produk yang diinginkan pelanggan. Kegiatan make atau produksi bisa dilakukan atas dasar ramalan untuk memenuhi target stok (make-to-stock), atas dasar pesanan (make-to-order) atau engineer-to-order. Proses yang terlibat di

(28)

sini antara lain adalah penjadwalan produksi, melakukan kegiatan produksi dan melakukan pengetesan kualitas, mengelolan barang setengah jadi (work-in-process), memelihara fasilitas produksi dan lain-lain.

• Deliver yang merupakan proses untuk memenuhi permintaan terhadap barang maupun jasa. Biasanya meliputi order management, transportasi, dan distribusi. Proses yang terlibat diantaranya adalah menangani pesanan dari pelanggan, memilih perusahaan jasa pengiriman, menangani kegiatan pergudangan produk jadi dan mengirim tagihan ke pelanggan.

• Return yaitu proses pengembalian atau menerima pengembalian produksi karena berbagai alasan. Kegiatan yang terlibat antara lain identifikasi kondisi produk, meminta otorisasi pengembalian cacat, penjadwalan pengembalian, dan melakukan pengembalian. Post-delivery customer support juga merupakan bagian dari proses return.

SCOR memiliki tiga hirarki proses yang menunjukkan bahwa SCOR melakukan dekomposisi proses dari yang umum ke yang detail. Tiga level tersebut adalah : • Level 1 adalah level tertinggi yang memberikan definisi umum dari lima proses

di atas (plan, source, make, deliver dan return).

• Level 2 dikatakan sebagai configuration level di mana supply chain perusahaan bisa dikonfigurasikan berdasarkan sekitar 30 proses inti. Perusahaan bisa membentuk konfigurasi saat ini (as is) maupun yang diinginkan (to be).

• Level 3 dinamakan process element level, mengandung definisi elemen proses, input, output, metric masing-masing elemen proses serta referensi (benchmark dan best practice)

Dengan melakukan dekomposisi proses SCOR bisa mengukur kinerja supply chain secara objektif berdasarkan data yang ada serta bisa mengidentifikasi di mana perbaikan perlu dilakukan untuk menciptakan keunggulan bersaing. Untuk mengimplementasikan SCOR dibutuhkan usaha yang tidak sedikit untuk

(29)

menggambarkan proses bisnis saat ini maupun mendefinisikan proses yang diinginkan.

Beberapa dimensi yang digunakan SCOR dalam pengukuran kinerja, yaitu : reliability, responsiveness, flexibility, cost dan asset. Selain itu juga terdapat beberapa metrik pada model SCOR sebagaimana terlihat pada Tabel II.2 dan Tabel II.3 berikut.

Tabel II.2 Performance metrics level 1

Realibility Responsiveness Flexibility Cost Assets Delivery performance √

Fill rate √

Perfect order fulfillment √

Order fulfillment lead time √

Supply-chain response time √

Production flexibility √

Supply chain management

cost √

Costs of goods sold √

Value-added productivity √

Warranty cost of return

processing cost √

Cash-to-cash cycle time √

Inventory days of supply √

Asset turns √

Customer-Facing

Internal-Performance Attribute

(30)

Tabel II.3 Beberapa metrik supply chain dan benchmark kinerja model SCOR

Metrik Penjelasan

Delivery performance Persentase order terkirim sesuai jadwal

Fill rate by line item Persentase jumlah permintaan dipenuhi tanpa menunggu, diukur tiap jenis produk (line items)

Perfect order fulfillment Persentase order terkirim komplit dan tepat waktu

Order fulfillment lead time Waktu antara pelanggan memesan sampai pesanan tersebut diterima

Warranty cost as % of revenue Persentase pengeluaran untuk warranty terhadap nilai penjualan

Inventory days of supply Lamanya persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan kalau ada pasokan lebih lanjut

Cash-to-cash cycle time

Waktu antara perusahaan membayar material ke supplier dan menerima pembayaran dari pelanggan untuk produk yang dibuat dari material tersebut

Asset turns Berapa kali suatu asset bisa digunakan untuk memperoleh revenue dan profit

(Sumber : SCOR Version 6.1© Supply Chain Council)

II.8 Studi tentang Pengukuran Kinerja Supply Chain

Berbagai studi telah dilakukan berkenaan dengan pengukuran kinerja supply chain. Kebanyakan dari studi tersebut dilakukan pada industri manufaktur oleh peneliti-peneliti yang berasal dari mancanegara. Beberapa studi tentang pengukuran kinerja supply chain antara lain:

1. Supply Chain Performance – A Meta Analysis (Aron Chibba, Sven Ake Horte, School of Business and Engineering, University of Halmstad, Swedia) Studi tentang kinerja supply chain ini menggunakan pendekatan Meta Analysis yakni suatu pendekatan khas yang dilakukan dengan menganalisis hasil-hasil studi survey dan studi kasus secara terstruktur. Pendekatan ini digunakan dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan tentang: (1) apa yang dimaksudkan oleh berbagai literatur mengenai perbedaan tipe kinerja supply chain? (2) apa yang dimaksud sebagai dampak dari perbedaan tipe-tipe supply chain dalam hal kinerja supply chain?

(31)

Menurut studi ini, supply chain ditujukan untuk mewujudkan dampak positif dalam kinerja supply chain berkenaan dengan hal kualitas, biaya rendah, pengiriman, tenggang waktu, fleksibilitas, respon terhadap pesanan konsumen, sebab pada kenyataannya hal-hal tersebut sulit untuk diwujudkan. Studi ini memfokuskan perhatiannya pada lima ukuran kinerja, yaitu pengiriman, kualitas, biaya, harga, dan fleksibilitas. Melalui pendekatan Meta Analysis, terindikasi bahwa pengiriman dan kualitas merupakan dua ukuran kinerja yang paling utama dan paling sering digunakan.

2. Performance Measurement in Supply Chain Activities (Theppitak Taweesak, Maritime College, Burappa University, Thailand, 2003)

Studi ini beranggapan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat yang memberikan kewenangan bagi perusahaan atau organisasi untuk mengevaluasi penggunaan sumber dayanya dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya. Untuk itu setiap perusahaan harus melakukan pengaturan dengan tepat dan kontrol yang berkesinambungan terhadap semua aktivitas yang dilakukan, termasuk dalam hal Supply Chain Management. Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Aron Chibba, studi ini menekankan pengukuran kinerja supply chain atas empat aspek. Keempat aspek beserta indikatornya, yaitu:

Waktu

- tenggang waktu produksi - tingkat pengenalan produksi - tenggang waktu pengiriman - performansi ketepatan waktu - frekuesi pengiriman Kualitas - performansi - keunggulan - keandalan - kesesuaian - daya tahan - pelayanan - estetik

- kualitas yang diharapkan - manusiawi - nilai Biaya - biaya produksi - nilai tambah - harga jual - biaya operasi - biaya pelayanan Fleksibilitas - kualitas bahan - kualitas hasil - produk baru - produk modifikasi - daya kirim - volume - bauran

- bauran sumber daya

(32)

3. Developing Measures of Supply Chain Management Performance (Suhong Li, Bryant College; T.S. Ragu-Nathan, S. Subba Rao, dan Bhanu Ragu-Nathan, College of Business Administration, The University of Toledo, 2002)

Studi ini bertujuan membuat suatu konsep dan memvalidasi suatu bentuk ukuran kinerja Supply Chain Management. Untuk itu digunakan lima ukuran kinerja Supply Chain Management, yaitu: (1) fleksibilitas supply chain; (2) integrasi supply chain ; (3) respon pelanggan; (4) kinerja pemasok; dan (5) kualitas kerjasama/ kemitraan. Pengumpulan data penelitian berkenaan dengan kelima ukuran kinerja tersebut dilakukan dengan menyebarkan kuisioner dengan responden sebanyak 196 orang.

Data-data tersebut dianalisis secara statistik melalui analisis korelasi, analisis factor, analisis structural equation modeling, analisis cronbach’s alpha, dan analisis T-coefficient. Studi ini menyimpulkan bahwa kelima ukuran kinerja supply chain yang digunakan dalam studi tersebut valid, reliable dan cocok untuk digunakan oleh perusahaan industri manapun.

4. Supply Chain Performance Evaluation: A Case Study (Aravechia, Carlos dan Pires, Silvio, University of Piracicaba, Brazil, 2000)

Studi kasus ini dilakukan dengan melibatkan objek studi yang terdiri dari tiga buah perusahaan di Brazil. Perusahaan pertama (A) adalah sebuah perusahaan mesin, sedangkan perusahaan kedua (B) dan ketiga (C) adalah perusahaan supplier tingkat pertama dan kedua.

Data-data studi dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner yang berisi mengenai indikator-indikator kinerja supply chain yaitu (1) kinerja biaya yang meliputi 27 pertanyaan; (2) kinerja kualitas yang meliputi 31 pertanyaan; (3) kinerja fleksibilitas yang meliputi 43 pertanyaan; dan (4) kinerja pengiriman yang meliputi 12 pertanyaan.

(33)

Responden diminta untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan di dalam kuesioner tersebut dengan memilih enam kemungkinan jawaban, yaitu (1) tidak digunakan; (2) berhenti digunakan; (3) tidak ditekankan; (4) mulai digunakan; (5) ditekankan; dan (6) tidak ada perubahan. Studi ini menyimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan yakni pencapaian Supply Chain Management yang kompetitif mencakup pula evaluasi ulang dan adaptasi terhadap sistem evaluasi kinerjanya. Artinya diperlukan suatu pembuatan sistem kinerja supply chain yang lebih spesifik.

5. Using the Balanced Scorecard to Measure Supply Chain Performance (Peter C. Brewer dan Thomas W. Speh, Miami University, Journal of Business Logistics, Vol. 21, No. 1, 2000)

Penelitian ini menghubungkan pendekatan pengukuran berimbang (Balanced Scorecard - BSC) dengan kinerja manajemen supply chain (Supply Chain Management - SCM). Pendekatan BSC dimodifikasi sehingga sesuai dan dapat digunakan untuk mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif unutk mengukur kinerja SCM.

Tujuan utamanya adalah untuk menghubungkan pengukuran berimbang dengan tujuan utama SCM. Penelitian ini mengemukakan 16 (enam belas) hal dalam kerangka kerja SCM. Hubungan konseptual dalam keenam belas kerangka kerja SCM dengan kerangka kerja BSC dalam penelitian Brewer dan Speh ini adalah sebagai berikut:

- Tujuan SCM yang terdiri dari pengurangan pemborosan, pemadatan waktu, respon yang fleksibel dan pengurangan biaya per unit dihubungkan dengan Perspektif Proses Bisnis Internal.

- Keuntungan bagi customer yang terdiri dari kualitas produk/jasa yang lebih baik, ketepatan waktu yang meningkat, fleksibilitas yang lebih baik dan pertambahan nilai dihubungkan dengan Perspektif Pelanggan.

(34)

- Keuntungan finansial yang terdiri dari marjin laba yang lebih tinggi, cash flow yang lebih baik, pertumbuhan penerimaan dan pengembalian aset yang lebih tinggi dihubungkan dengan Perspektif Keuangan.

- Pengembangan SCM yang terdiri dari inovasi produk/proses, manajemen kemitraan, informasi dan ancaman/penggantian dihubungkan dengan Perspektif Inovasi/Pertumbuhan dan Pembelajaran.

Dari keterkaitan antara kerangka kerja SCM dan BSC di atas kemudian dibuat suatu kerangka kerja terpadu mengenai pengukuran kinerja SCM melalui pendekatan BSC. Dalam kerangka kerja ini ditetapkan tujuan serta ukuran untuk masing-masing perspektif sebagaimana terlihat pada Tabel II. 4 berikut.

Tabel II.4 Kerangka Kerja BSC untuk Pengukuran SCM

Perspektif Tujuan Ukuran

Perspektif customer ƒ Pandangan customer pada produk/ jasa ƒ Pandangan customer

pada ketepatan waktu ƒ Pandangan customer

pada fleksibilitas ƒ Nilai customer

ƒ Jumlah poin kontak customer ƒ Waktu relative untuk

merespon pesanan customer ƒ Persepsi customer atas respon

yang fleksibel ƒ Rasio nilai customer Perspektif bisnis

internal

ƒ Pengurangan pemborosan ƒ Penyingkatan waktu ƒ Respon yang fleksibel ƒ Pengurangan biaya unit

ƒ Biaya supply chain atas kepemilikan

ƒ Efisiensi siklus supply chain ƒ Jumlah yang ditetapkan/

rata-rata waktu respon

ƒ Persentase biaya target supply chain yang didapatkan Perspektif inovasi dan

pembelajaran ƒ Inovasi produk/proses ƒ Manajemen kemitraan ƒ Laju informasi ƒ Ancaman dan penggantian

ƒ Poin penyelesaian produk ƒ Rasio komitmen kategori

produk

ƒ Jumlah rangkaian data yang dibagi/ total data

ƒ Lintasan kinerja teknologi yang bersaing

Perspektif finansial ƒ Marjin laba ƒ Cash flow

ƒ Pertumbuhan penerimaan ƒ Pengembalian asset

ƒ Marjin laba dengan mitra supply chain

ƒ Siklus cash-to-cash

ƒ Pertumbuhan konsumen dan profitabilitas

ƒ Pengembalian asset-asset supply chain

(35)

Kerangka kerja BSC untuk pengukuran SCM yang dikemukakan oleh Brewer dan Speh di atas menunjukkan bahwa kinerja supply chain dapat diukur atau dinilai melalui kerangka BSC. Artinya, tingkat kinerja manajemen supply chain dapat dinilai melalui keempat perspektif BSC. Secara akurat, Brewer dan Speh memadukan tujuan-tujuan dan ukuran-ukuran di dalam manajemen supply chain dengan keempat perspektif BSC beserta tujuan dan ukuran-ukurannya.

Kelemahan dari perpaduan antara BSC dan SCM sebagaimana dikemukakan oleh Brewer dan Speh tersebut adalah bahwa indikator-indikator yang dijadikan sebagai ukuran masih terlalu umum, di mana hanya terdapat 16 (enam belas) indikator. Penentuan indikator-indikator ukuran tersebut terlalu mengacu pada tujuan SCM ditinjau dari masing-masing perspektif BSC. Padahal, indikator-indikator ukuran tersebut masih dapat diperinci lagi menjadi lebih banyak indikator, sehingga pengukuran kinerja supply chain yang dilakukan akan dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang lebih akurat.

6. Kajian Hubungan Antar Pihak yang Terlibat dalam Rantai Pasok Proyek Konstruksi Bangunan Gedung (Ir. Reini D. Wirahadikusumah, MSCE. Ph.D., Ir. Biemo W. Soemardi, MSE., Ph.D, Ir. Muhamad Abduh, MT., Ph.D., Riset KK-ITB 2007, Institut Teknologi Bandung)

Pada penelitian ini dilakukan pengembangan indikator pengukuran kinerja yang akan digunakan untuk melakukan pengukuran kinerja supply chain proyek konstruksi bangunan gedung, sehingga tinggi rendahnya efektifitas dan efisiensi supply chain di proyek konstruksi bangunan dapat diketahui. Pengembangan indikator dilakukan dengan mengacu pada konsep supply chain management dan konsep lean construction. Penyusunan indikator dilakukan berdasarkan hasil dari identifikasi terhadap jenis-jenis data primer eksisting di lapangan yang terkait dengan aliran material dan informasi di suatu proyek konstruksi melalui suatu survey pendahuluan berupa wawancara dan diskusi terpadu dengan pihak-pihak yang terlibat di proyek yang dijadikan studi kasus.

(36)

Masing-masing jenis data primer eksisting di lapangan yang terkait dengan aliran material dan informasi yang berhasil diidentifikasi dan keterkaitannya dengan indikator pengukuran yang telah dikembangkan, diilustrasikan pada Gambar II.9. Hasil dari penelitian ini telah dikembangkan 10 (sepuluh) indikator pengukuran yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengukur efektifitas dan efisiensi dari supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung. Pengukuran lebih difokuskan pada efektifitas dan efisiensi aliran dari material dan informasi pada suatu supply chain, karena berdasarkan literatur yang ada diketahui bahwa dalam suatu supply chain terdapat 3 (tiga) macam aliran yang harus dikelola dengan baik, sehingga efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi dapat ditingkatkan.

Hasil pengukuran terhadap ke 10 (sepuluh) indikator dikelompokkan terhadap ke 3 (tiga) prinsip utama dalam lean construction (conversion, flow dan value). Hal ini dilakukan karena adanya suatu asumsi bahwa melakukan pengelolaan yang baik terhadap ke 3 (tiga) prinsip utama yang terkandung di dalam konsep conversion, flow dan value, merupakan suatu hal yang penting di industri konstruksi karena dapat mendukung terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi supply chain. Keterkaitan antara indikator dan manfaat hasil pengukuran terhadap efektifitas dan efisiensi supply chain di proyek konstruksi diilustrasikan pada Gambar II.10.

(37)

Gambar II.9 Keterkaitan antara jenis data primer eksisting di lapangan dan indikator pengukuran

(38)

Secara lebih lengkap dan mendetail hasil identifikasi indikator pengukuran kinerja supply chain disajikan pada Lampiran A pada Tabel A.1. Pada tabel tersebut terbagi menjadi beberapa kolom, di mana pada kolom (2) dipaparkan jenis indikator-indikator dan pada kolom (3) berisi uraian singkat dari masing-masing indikator yang terdiri dari definisi, objektif, jenis data untuk pengukuran kuantitatif, jenis data untuk pengukuran kualitatif serta keterkaitannya dengan lean construction.

Rangkuman dari indikator-indikator pengukuran yang terdiri atas keterkaitan antar indikator pengukuran (kolom 1) dengan jenis data yang diperlukan untuk mendukungnya (kolom 2), bentuk rumus matematis untuk pengukuran kuantitatif (kolom 3) serta bagaimana bentuk pengukuran yang dilakukan di masing-masing indikator apakah kuantitatif, kualitatif atau keduanya (kolom 4) disajikan pada Tabel II.5.

(39)

INDIKATOR 3 :

Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat INDIKATOR 1 :

Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja

INDIKATOR 2 :

Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan

INDIKATOR 5 :

Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material

INDIKATOR 4 :

Intensitas defect pekerjaan

INDIKATOR 6 :

Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver)

INDIKATOR 7 :

Intensitas kejadian reject material

INDIKATOR 8 : Inventory material

INDIKATOR 9 :

Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan

INDIKATOR 10 :

Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor & dari kontraktor kepada supplier

K O N S E P L E A N C O N S T R U C T I O N CONVERSION Kontrol dan optimalisasi penggunaan sumber daya FLOW Identifikasi dan minimalisasi terhadap

aktifitas yang tidak memberikan tambahan value (non-value adding

activites); Minimalisasi waste

VALUE

Memberikan kepuasan terhadap konsumen

Gambar II.10 Pengelompokkan indikator pengukuran terhadap prinsip lean construction

(40)

49

Tabel II.5 Keterkaitan antar indikator pengukuran, jenis data, rumus pengukuran kuantitatif dan bentuk pengukuran

Indikator Jenis data yang diperlukan Rumus penilaian kuantitatif Bentuk Penilaian

1. Intensitas perubahan/revisi

terhadap rencana kerja Data Variation Order (VO) atau Change Order (CO) Kuantitatif/Kualitatif

2. Intensitas kendala selama

pelaksanaan pekerjaan Daftar kendala yang terjadi selama masa pelaksanaan Kuantitatif/Kualitatif

3. Intensitas rapat koordinasi antar

pihak yang terlibat Data risalah jenis-jenis rapat yang dilakukan selama masa pelaksanaan Kuantitatif/Kualitatif 4. Intensitas defect pekerjaan

Data catatan hasil pengawasan yang dilakukan proyek terkait inspeksi dan tes terhadap subkontraktor

Kuantitatif/Kualitatif 5. Kinerja supplier dalam

memenuhi jadwal pengiriman

material Purchase Order (PO)

Kuantitatif/Kualitatif 6. Waktu tenggang (lead time)

antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver)

Purchase Order (PO) dan data

monitoring kedatangan material Kuantitatif/Kualitatif

7. Intensitas kejadian reject

material Data material reject Kuantitatif/Kualitatif

8. Inventory material Data inventory material di gudang Kuantitatif/Kualitatif

9. Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan

Catatan keikutsertaan subkontraktor

dalam perencanaan pelaksanaan Kualitatif

10. Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor & dari kontraktor kepada supplier

Daftar complaints yang terjadi selama

masa pelaksanaan Kuantitatif/Kualitatif

(41)

50 Perbedaan indikator kinerja

Berdasarkan hasil studi literatur terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan terkait dengan pengukuran kinerja supply chain yang dilakukan di industri manufaktur, terlihat bahwa indikator pengukuran yang digunakan dalam proses pengukuran kinerja supply chain di industri manufaktur meliputi aspek pengiriman, fleksibilitas, biaya, kualitas, dan waktu. Pengembangan indikator dilakukan melalui pendekatan proses yang dilakukan pada industri manufaktur dengan melihat faktor-faktor antara lain sumber daya, output/ keluaran dan fleksibilitas.

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian pengembangan indikator pengukuran kinerja supply chain di industri konstruksi dilakukan dengan menggabungkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam supply chain management dengan lean construction sehingga akan lebih mengakomodir karakteristik dari industri konstruksi sebagai industri yang unik. Selain itu juga dilakukan kolaborasi dengan teori yang menyatakan bahwa dalam suatu supply chain terdapat 3 (tiga) macam aliran yang harus dikelola dengan baik yaitu aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream), aliran informasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya serta aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu.

Karena sulitnya mendapatkan informasi terkait dengan aliran uang (dana) di proyek konstruksi, maka pengembangan indikator pengukuran hanya akan dilakukan untuk melakukan pengukuran terhadap efektifitas dan efisiensi terkait aliran material dan aliran informasi di dalam supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung saja. Disisi lain pengembangan indikator juga dilakukan dengan lebih melihat ketersediaan data di lapangan sebagai pedoman dalam melakukan pengukuran nantinya. Hal ini terkait dengan kebiasaan dalam proyek konstruksi di mana biasa catatan dan data-data pelaksanaan produksi di lapangan akan berakhir manakala proyek tersebut selesai.

(42)

Secara garis besar tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara indikator-indikator yang dikembangkan dan digunakan di industri manufaktur dengan indikator yang dikembangkan dan dicoba untuk digunakan di industri konstruksi. Perbedaan yang terlihat hanya pada pemakaian istilah yang digunakan karena disesuaikan dengan istilah yang dikenal secara umum pada industri konstruksi. Selain itu juga dicoba untuk mengembangkan suatu indikator penilaian yang tidak hanya mengkaitkan penilaian kinerja hanya dari sisi keuangan saja sebagaimana yang biasa dilakukan oleh pelaku-pelaku industri konstruksi selama ini.

Gambar

Gambar  II.1    Gambaran Konseptual Supply Chain Konstruksi  (Sumber : O’Brien , 2002)
Gambar  II.2  Pola–1 Supply chain  konstruksi bangunan gedung  (Sumber : Susilawati, 2005)
Gambar  II.3 Pola–2 Supply chain  konstruksi bangunan gedung  (Sumber : Susilawati, 2005)
Gambar  II.4  Pola–3 Supply chain  konstruksi bangunan gedung  (Sumber : Susilawati, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh kerana belum ada kajian yang dibuat_bagi topik ini maka langkah pertama adalah dengan melakukan kajian literatur yang mana dibahagikan kepada tiga bahagian utama

Buku teks pelajaran ini telah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pen- didikan dan telah ditetapkan sebagai buku teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan

Penelitian yang mengetahui adanya efek gentamisin terhadap vasodilatasi duktus arteriosus pada janin tikus, terjadi pada pemberian gentamisin dengan peningkatan dosis 100 sampai

Menurut UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, batasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan

Tujuan dari penulisan skripsi yang berjudul Analsis Kontrastif Kata Banding Superlative Degree dalam Kalimat Bahasa Mandarin dan Bahasa Indonesia adalah untuk melengkapi salah satu

Untuk mengatasi kendala musim kemarau dan agar petani tetap bisa bercocok tanam pada musim kemarau maka diperlukan suatu produk alat pertanian berbasis

Tanggung jawab PR dalam melayani organisasi dan publik mencakup berbagai hal antara lain: membuat program PR secara terencana dan berkelanjutan di dalam organsasi;

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa word of mouth communication merupakan suatu bentuk percakapan mengenai suatu produk, antara satu orang dengan orang