• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 34/PUU-X/2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 34/PUU-X/2012"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 34/PUU-X/2012

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 24 TAHUN 2003

TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN PEMERINTAH, DPR

DAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON SERTA PEMERINTAH

(III)

J A K A R T A

SELASA, 29 MEI 2012

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 34/PUU-X/2012 PERIHAL

Pengujian Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 7A ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Andi Muhammad Asrun 2. M. Jodi Santoso

3. Nurul Anifah

4. Zainal Arifin Hoesein ACARA

Mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah (III)

Selasa, 29 Mei 2012, Pukul 11.04 –12.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Moh Mahfud MD (Ketua)

2) M. Akil Mochtar (Anggota)

3) Muhammad Alim (Anggota)

4) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota)

5) Maria Farida Indrati (Anggota)

6) Anwar Usman (Anggota)

7) Hamdan Zoelva (Anggota)

(3)

Pihak yang Hadir: A. Pemohon:

1. Andi Muhammad Asrun 2. M. Jodi Santoso

3. Nurul Anifah

4. Zainal Arifin Hoesein B. Ahli dari Pemohon:

1. Maruarar Siahaan 2. Dian Puji Simatupang C. Pemerintah: 1. Mualimin Abdi 2. Endang Susilowati 3. Titis Aditio 4. Sri Rahayu 5. Radita Aji D. DPR: 1. Nudirman Munir

(4)

1. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan Pemerintah dan/atau DPR dalam Perkara Pengujian Undang-Undang bernomor 34/PUU-X/2012 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.

Pemohon, silakan perkenalkan diri.

2. PEMOHON: A. MUHAMMAD ASRUN

Terima kasih, Yang Mulia. Kami perkenalkan diri saya sebagai Pemohon, Muhammad Asrun dan dilanjutkan sebelah kanan saya.

3. PEMOHON: ZAINAL ARIFIN HOESEIN

Terima kasih, Yang Mulia. Saya Pemohon IV, nama Zainal Arifin Hoesein.

4. PEMOHON: M. JODI SANTOSO

Terima kasih, Yang Mulia. Saya M. Jodi Santoso, Pemohon II.

5. PEMOHON: NURUL ANIFAH

Terima kasih, Yang Mulia. Saya Pemohon III, Nurul Anifah.

6. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Baik, DPR? Perkenalkan diri dulu.

7. DPR: NUDIRMAN MUNIR

Terima kasih, Yang Mulia. Saya Nudirman Munir dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

SIDANG DIBUKA PUKUL 11.04WIB

(5)

8. KETUA: MOH. MAHFUD MD Pemerintah?

9. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb.

Pemerintah hadir, Yang Mulia. Saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian sebelah kiri saya ada Endang Susilowati dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kemudian di belakang ada Saudara Titis Aditio, Sri Rahayu, dan Saudara Radita Aji dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Menpan dan Reformasi Birokrasi. Terima kasih.

10. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Baik. Di meja Majelis ada daftar Ahli yang dihadirkan pada hari ini untuk memberi keterangan berdasarkan keahlian beliau-beliau, maka dimohon dulu untuk maju ke depan mengambil sumpah, Dr. Dian Puji Simatupang dan Dr. Maruarar Siahaan.

Pak Dian mau disumpah dengan agama apa Pak? Islam, baik. Pak Maruarar dulu disumpah, Bu Maria.

11. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

Ya, ikuti lafal janji yang saya ucapkan. Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya. Terima kasih, Pak.

12. AHLI BERAGAMA KRISTEN DISUMPAH

Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.

13. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Baik. Pak Dian akan diambil sumpah oleh Bapak Anwar Usman. 14. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN

Mohon ikuti saya. Bismillahirrahmannirrahim. Demi Allah, saya bersumpah, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Terima kasih.

(6)

15. AHLI BERAGAMA ISLAM DISUMPAH

Bismillahirrahmannirrahim. Demi Allah, saya bersumpah, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.

16. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Baik, sekarang kita dengarkan dulu keterangan dari Pemerintah sesudah itu dari DPR, baru kemudian mendengar keterangan Ahli. Untuk itu, silakan pemerintah.

17. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Di sini saja, Yang Mulia? 18. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Maju saja.

19. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua.

Yang Mulia, berdasarkan kuasa Presiden yang ditandatangi oleh Presidan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Presiden telah memberikan kuasa kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang kemudian Para Menteri memberikan kuasa substitusi pada Ibu Endang, dan antara lain kepada saya yang akan membacakan keterangan yang akan kami sampaikan.

Yang Mulia, sesuai dengan permohonan yang sudah diterima oleh pemerintah bahwa Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pokok permohonan Yang Mulia, tidak akan kami bacakan karena dianggap sudah diketahui bersama baik oleh Pemohon maupun Pemerintah.

Kemudian yang lainnya, Yang Mulia. Pemerintah juga tidak akan mempersoalkan atau tidak akan menguraikan tentang kedudukan Para Pemohon. Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia untuk menilai dan mempertimbangkannya, apakah Para Pemohon telah memenuhi kualifikasi sebagai Para Pihak yang dianggap dirugikan hak-hak konstitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 51 Undang-Undang

(7)

24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

Kemudian, Yang Mulia. selanjutnya adalah yang terkait dengan apa yang menjadi pokok permasalahan yang dimohonkan untuk diuji sebagaimana kita ketahui bahwa kalau kita baca bahwa Pasal 7A ayat (1) di sana dikatakan sebagaimana dimohon kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas tekhnis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi.

Kemudian Pasal 8-nya ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang sebuah Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi diatur dengan Peraturan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana diketahui, Yang Mulia, bahwa saat ini telah ada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa Peraturan Presiden ini sejatinya adalah telah dibahas dengan mengundang beberapa stakeholder, antara lain dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Namun demikian memang Pemerintah juga menyadari terdapat beberapa atau perbedaan usia pensiun sebagaimana yang terdapat dalam kekuasaan kehakiman yang lain yaitu di wilayah Mahkamah Agung, sebagaimana kita ketahui berdasarkan ketentuan Pasal 49, berdasarkan ketentuan atau Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, maka panitera, wakil panitera muda dan panitera pengganti pengadilan negeri, usia pensiunnya adalah 60 tahun. Kemudian panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti pada pengadilan tinggi, usia pensiunnya 62 tahun.

Kemudian kalau di Mahkamah Agung sendiri juga berbeda maka panitera akan mengikuti pada saat panitera atau hakim itu bertugas. Misalnya kalau panitera yang ditugaskan di Mahkamah Agung itu adalah berasal dari hakim tinggi maka usia pensiunnya akan mengikuti pensiun daripada hakim tinggi itu sendiri. Artinya di Mahkamah Agung itu sendiri berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung itu sendiri tidak diatur secara tegas dan jelas usia pensiun dari pada panitera itu sendiri, yang ada hanya sampai pada panitera pada pengadilan tinggi itu sendiri.

Oleh karena itu berdasarkan hal-hal demikian, memang Pemerintah menyadari terdapat perbedaan usia pensiun di wilayah atau di lingkungan pelaku kekuasaan kehakiman yang ada di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Walaupun, dari segi teknik perumusan peraturan perundang-undangan, Pasal 8 yang mendelegasi kepada pembentuk undang-undang agar usia pensiun panitera pada Mahkamah Konstitusi diserahkan kepada atau dibuat melalui Peraturan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi itu menurut teknik pembentukan peraturan

(8)

perundang-undangan dibenarkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Oleh karena itu menurut hemat kami bahwa Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan apakah perbedaan-perbedaan yang demikian yang kemudian juga sudah diatur melalui Peraturan Presiden yang tadi Pemerintah sudah sebutkan, apakah ini menimbulkan diskriminasi, menimbulkan ketidakadilan atau memang sedemikian harusnya itu. Jadi kami serahkan atau Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilainya.

Demikian, Yang Mulia, keterangan dari Pemerintah. Wassalamualaikum wr. wb.

20. KETUA: MOH. MAHFUD MD Baik, silakan DPR. 21. DPR: NUDIRMAN MUNIR

Terima kasih, Yang Mulia, para hadirin-hadirat sekalian. Assalamualaikum wr. wb.

Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Perkara Nomor 34/PUU-X/2012.

Kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. Berdasarkan keputusan pimpinan DPR Nomor 6 tanggal 21 November 2011 telah menugaskan Anggota Komisi III DPR RI yaitu Dr. Benny Kabur Harman, S.H., dan seterusnya. Bersama-sama mengutus diri sendiri bertindak dan untuk atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR.

Sehubungan dengan permohonan pengujian Pasal 7A ayat (1) Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diajukan oleh:

1. Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., pekerjaan advokat untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon I dan seterusnya. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai para Pemohon.

Dengan ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyampaikan keterangan terhadap Permohonan Pengujian Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 terhadap Undang-Undang

(9)

Dasar Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 34/PUU-X/2012 sebagai berikut.

A. Ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut. “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi.”

B. Hak konstitusional yang dianggap para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.

Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang pada pokoknya yaitu:

1. Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat, adanya ketidakpastian usia pensiun panitera dan panitera pengganti yang seharusnya diatur dalam Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, melahirkan suatu ketidakpastian hukum bagi para Pemohon yang bertentangan dengan jiwa dan muatan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (vide permohonan halaman 6, angka 3.1).

2. Bahwa Para Pemohon juga berpendapat, ketidakjelasan usia pensiun bagi panitera dan panitera pengganti Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat terhadap masa depan karir panitera dan panitera pengganti di Mahkamah. Ketidakjelasan masa depan jelas tidak akan memacu prestasi kerja dan pada akhirnya memacu rasa frustasi seperti fenomena puncak gunung es. Hal-hal negatif seperti ini pada gilirannya akan membawa ritme tidak memuaskan dalam pelayanan kepada para pencari keadilan yang datang ke Mahkmaah Konstitusi. Di situlah letak kerugian konstitusional yang alami oleh para Pemohon (vide permohonan halaman 9, paragraf kedua).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon beranggapan ketidakjelasan pengaturan usia pensiun dalam Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 telah melanggar hak-hak konstitusional Para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28L ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut.

Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 27 ayat (1), “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 28D ayat (1), “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

(10)

Pasal 28L ayat (2), “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.”

C. Keterangan DPR RI. Bahwa terhadap permohonan Para Pemohon, sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo. Pada kesempatan ini, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan sebagai berikut.

1. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon.

Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disingkat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Yang menyatakan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a) perorangan warga negara Indonesia;

b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c) badan hukum publik (private) atau; d) Lembaga negara.

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud Ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut dipertegas dalam penjelasannya. Bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja yang termasuk hak konstitusional.

Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a) Kualifikasinya sebagai Para Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

b) Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007), yaitu sebagai berikut:

(11)

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Bahwa hak dan/atau kewenagan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji.

c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

d. Adanya hubungan sebab-akibat, klausal-verband antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo, maka Para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Pemohon. Menanggapi permohonan Para Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa Para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu, apakah benar Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:

1. Dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam permohonan a quo mengenai adanya kerugian hak konstitusional yang dialami Para Pemohon tidak jelas dan kabur (obscuur libel). Para pemohon yang pada saat ini berprofesi sebagai advokat, asisten advokat, dan pembantu rektor, menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 telah menimbulkan ketidakpastian hukum, namun yang menjadi pertanyaan adalah ketidakpastian hukum yang bagaimana yang telah dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011. Di samping itu, substansi Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang memuat ketentuan kepaniteraan merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak terkait dengan Para Pemohon, dan Para Pemohon juga tidak ditunjuk untuk mewakili kepentingan Panitera dan panitera pengganti di Mahkamah Konstitusi.

(12)

2. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 mengandung ketidakjelasan batasan usia pensiun panitera dan panitera pengganti telah menimbukan hal-hal negatif yang akan membawa ritme tidak memuaskan dalam pelayanan kepada para pencari keadilan yang datang ke Mahkamah Konstitusi, dan di situlah letak kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon. DPR berpendapat bahwa hal tersebut merupakan asumsi-asumsi dari Para Pemohon dan hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas, norma Pasal 7A ayat (1) undang-undang a quo.

3. Bahwa substansi pasal a quo bukan ketentuan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan kepastian hukum tentang pemberhentian panitera dan panitera pengganti, melainkan ketentuan yang menjelaskan status Kepaniteraan yang merupakan jabatan fungsional dan tugas dari Mahkamah Konstitusi yaitu menjalankan tugas teknis administratif, peradilan Mahkamah Konstitusi. Sehingga dengan demikian, dalil-dalil yang dikemukakan oleh Para Pemohon, sesungguhnya tidak ada relevansinya dengan ketentuan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang a quo atau salah objek permohonan objctum litis.

4. Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik kerugian dan/atau potensi kerugian konstitusional dengan jelas dan konkrit, sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006 dan Perkara Nomor 011.

5. Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana diuraikan di atas, sudah jelas bahwa Para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon. Oleh karena itu, DPR memohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo.

2. Pengujian Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.

Terhadap permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang diajukan oleh para Para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyampaikan keterangan sebagai berikut.

a. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, serta dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, harus sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang salah satu prinsipnya adalah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif. Berdasarkan prinsip negara hukum

(13)

tersebut, maka konstitusi Negara Republik Indonesia telah menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

b. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, ataupun perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c. Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya tersebut, Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan agar membentuk undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang didalamnya mengatur bahwa untuk membantu Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dibentuklah Kepaniteraan dan Kesekretariatan Jenderal.

d. Pasal 7A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 mengatur secara jelas dan tegas mengenai status hukum Kepaniteraan yaitu merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi yang meliputi:

1. Koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi. 2. Pembinaan dan pelaksanaan administratif perkara.

3. Pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi.

4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan bidang tugasnya.

e. Bahwa ketentuan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, tidaklah mengatur masalah batas usia pensiun panitera dan panitera pengganti di Mahkamah Konstitusi karena memang sesungguhnya ketentuan pasal a quo tidak dimaksudkan untuk mengatur secara rinci masalah Kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, melainkan hanya untuk penegasan, kepastian mengenai

(14)

status hukum Kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi yaitu merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi.

f. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 telah mengamanatkan agar ketentuan lebih rinci mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang sebuah Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, diatur dengan peraturan presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, berdasarkan amanat Pasal 8 undang-undang a quo, segala sesuatu yang menyangkut Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, termasuk didalamnya pengaturan mengenai batas usia pensiun, jabatan fungsional panitera dan panitera pengganti di Mahkamah Konstitusi diatur dengan peraturan presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Selain itu, batas usia pensiun bisa berarti fleksibilitas yang mungkin setiap saat diubah. Apabila diatur dengan undang-undang, sedangkan undang-undang dimaksudkan untuk berlaku lama, bahkan mungkin puluhan tahun. Tidak tertutup kemungkinan bahwa batas usia pensiun setiap saat bisa diubah. Oleh karena itu, tidak diatur di dalam undang-undang, tapi diserahkan pengaturannya kepada Mahkamah Konstitusi dan Presiden Republik Indonesia.

g. Bahwa terhadap pandangan para Pemohon yang menyatakan bahwa adanya ketidakpastian usia pensiun panitera dan panitera pengganti, telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut DPR, hal tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan penerapan norma.

Dengan demikian, menurut DPR, tidak terdapat pertentangan antara Pasal 7A ayat (1) undang-undang a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28L ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima.

2. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima.

3. Menyatakan keterangan DPR dapat diterima untuk seluruhnya.

4. Menyatakan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal

(15)

28D ayat (1), dan Pasal 28L ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Menyatakan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tetap sah dan mengikat sebagai ketentuan hukum yang berlaku.

Demikianlah keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ini kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mengambil keputusan.

Hormat kami, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dr. Benny Kabur Harman, S.H., H. Nudirman Munir, S.H., Nomor Anggota A-184. Terima kasih, assalamualaikum wr. wb.

22. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Baik. Terima kasih, Pak Nudirman dan Pemerintah. Mohon nanti naskahnya diserahkan kepada Mahkamah melalui petugas persidangan.

Baik, sekarang kita akan dengar keterangan Ahli, yaitu dari Dr. Maruarar. Silakan, Pak.

23. AHLI DARI PEMOHON: MARUARAR SIAHAAN

Selamat pagi, Pak Ketua dan Majelis Pleno Yang Terhormat. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu peserta sidang.

Di dalam pengujian ini, saya pikir saya akan membawa power point, tapi sebelumnya saya ingin kembali kepada tolok ukur yang digunakan oleh Pemohon, yaitu adalah persamaan dan keadilan. Saya kira dua pasal ini di dalam konstitusi yang menjadi konsentrasi saya. Dan persamaan, saya kira kita akan ingat-ingat dulu kemudian putusan Mahkamah Konstitusi bahwa persamaan itu sebenarnya karena ada terlebih dahulu aturan yang menetapkan standar, sehingga dari standar itu nanti akan dikenali bahwa satu orang atau orang … dengan orang lain sama, satu jabatan dengan jabatan lain sama atau berbeda.

Kalau kita perhatikan apa yang dipersoalkan di sini pengujian tentang usia pensiun panitera dan panitera penganti di Mahkamah Konstitusi, tentu diperbandingkan dengan di peradilan umum dan di Mahkamah Agung, tentu ini bersumber daripada apakah sama? Kalau kita lihat di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, MK maupun MA itu adalah kekuasaan … bagian dari kekuasaan kehakiman, dan kemudian dalam bagian itu ada juga badan peradilan yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung, yaitu bab lingkungan.

Saya kira meskipun memang sama, tentu ada perbedaannya, hanya saja perbedaan di dalam wewenang. Tetapi dua-duanya adalah merupakan suatu peradilan dan untuk dua lembaga ini yang sama di dalam kekuasaan kehakiman, ditentukan bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi demikian

(16)

juga Mahkamah Agung dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal … salah tulis ini, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan. Dan panitera dan panitera pengganti di MA dan MK itu merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan.

Saya kira kita bisa melihat persamaan itu dan tentu saja apa yang menjadi prinsip konstitusi bahwa mempersamakan hal yang sama dengan berbeda justru bertentangan dengan prinsip konstitusi itu, dan juga telah menjadi paradigma dalam yurisprudensi tetap MK. Karena prinsip persamaan atau equality biasanya diartikan yang sama harus diperlakukan sama dan yang berbeda harus diperlakukan berbeda atau tidak sama. Jadi itu merupakan sesuatu yang selalu dalam suatu perbandingan atau komparasi.

Equality atau persamaan kadang-kadang diartikan juga sebagai uniformitas yang merupakan proposisi dalam hukum dan moral bahwa orang atau benda yang sama harus diperlakukan sama, dan secara korelatif orang atau benda yang tidak sama harus diperlakukan secara berbeda.

Dua hal tentang equality yang mendominasi pikiran, ini barang kali sejak Aristoteles sudah demikian.

Pertama, equality dalam moral berarti bahwa hal yang sama harus diperlakukan sama dan yang tidak sama harus diperlakukan tidak sama, seimbang dengan ketidaksamaan.

Yang kedua, equality dan end justice atau keadilan itu bisa sinonim, bersifat adil adalah bersifat sama, sedang bersifat tidak adil bisa juga karena bersifat tidak sama.

Pernyataan ini telah menimbulkan pertanyaan yaitu apa hubungan fakta bahwa dua hal adalah sama sehingga secara moral disimpulkan mereka harus diperlakukan sama, dan dimana letak pembenaran bahwa keadilan dipersamakan dengan equality. Dengan mengatakan dua orang sama dalam hal tertentu sama artinya dengan mensyaratkan adanya satu peraturan, satu standar atau ukuran yang ditetapkan untuk memperlakukan mereka. Sebelum aturan seperti itu ditetapkan tidak terdapat ukuran untuk memperbandingkan.

Setelah satu aturan ditetapkan maka persamaan diantara keduanya merupakan konsekuensi logis dari aturan itu, mereka sama (equal) berkenaan dengan aturan tersebut karena itu lah arti persamaan yaitu sama menurut aturan yang sama tersebut. Aturan yang membentuk standar dalam kedudukan dan fungsi panitera-panitera pengganti sebagaimana telah kami kutip di atas telah ditentukan juga di dalam Undang-Undang Dasar.

Saya lampaui saja Pak, ini. Saya sampai kepada matriks sekarang, kalau memang panitera-panitera pengganti itu sama, dia sebagai pendukung teknis administratif itu, kita perhatikan di Undang-Undang

(17)

Nomor 49 ditentukan secara tegas bahwa panitera itu di tingkat pertama untuk peradilan umum 60 Tahun, panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. Sedangkan di tingkat banding berusia 62 Tahun, itu panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. Di peradilan agama idem, demikan juga di Peradilan Tata Usaha Negara. Tetapi di Mahkamah Agung dikatakan bahwa panitera dan panitera pengganti itu diangkat dari Hakim. Oleh karena itu ukuran dari pada panitera dan panitera pengganti di Mahkamah Agung tentu karena diangkat dari Hakim Tinggi, Hakim Peradilan Tingkat Banding tentu saja ukurannya akan kembali kepada ukuran dari pada Hakim Tingkat Banding tersebut.

Oleh karena itu menjadi memang tidak relevan untuk diatur di dalam Undang-Undang Mahkamah Agung. Sedangkan untuk Mahkamah Konstitusi karena tidak diatur maka menjadi soal, kalau memang sudah ada standar sebagai acuan untuk menilai persamaan dan perbedaaan panitera, panitera pengganti, kita menemukan fakta sekarang adanya pejabat yang sama diperlakukan berbeda secara bertentangan dengan prinsip konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan menentukan masa pensiun panitera-panitera pengganti di MK hanya merujuk, tentu saja karena tidak diatur merujuk pada Undang-Undang Kepegawaian, sedangkan di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung diatur secara tegas, 60 Tahun di peradilan tingkat pertama dan 62 Tahun di peradilan tingkat banding. Tentu saja ini menimbulkan suatu ketidakadilan dan juga prinsip equality tadi yang menjadi prinsip konstitusi.

Perbedaan perlakuan terhadap hal yang sama khususnya terhadap panitera-panitera pengganti di MK dengan di lingkungan peradilan di bawah MA harus diuji memang terhadap konstitusi tentang persamaan kedudukan dan equality tersebut, dan keadilan.

Saya lampaui saja dulu ini Pak ketua, tetapi problemanya sekarang kita akan melihat bahwa Undang-Undang Dasar yang menentukan hak uji materil MK itu adalah menyangkut adanya norma sebenarnya dalam undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, tetapi di dalam kasus a quo ini, inkonstitusionalitas itu terjadi karena ketiadaan norma atau leg of normativity sehingga digunakan aturan hukum yang umum.

Norma konstitusi yang dilanggar karena ketiadaan norma tersebut memang menyangkut hak asasi manusia yang di dalam teori konstitusi dan teori HAM dikatakan sebagai Supra Konstitusional Norm, dia yang paling tinggi sebenarnya, yang menyangkut hak-hak yang melekat pada harkat martabat manusia.

Oleh karena MK sebagai pengawal konstitusi dan juga dalam pengalaman secara kreatif telah melakukan penemuan-penemuan jenis

(18)

putusan berbeda dengan apa yang ditentukan dalam hukum acara, dan sama juga dengan praktik di seluruh Mahkamah Konstitusi di Eropa, maupun di Mahkamah Agung, dia mengatasi hambatan keterbatasan hukum acara untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan keadilan. MK bukan hanya memiliki kewajiban tetapi secara penuh diberdayakan untuk mengelola sistem keadilan berdasarkan konstitusi.

Saya kembali melihat sekarang pertumbuhan yurisprudensi MK itu telah menjadi sumber penting dalam hukum tata negara di masa sekarang, saya kira di semua juridiksi yang ada, Mahkamah Konstitusi dalam perkembangan yang aktual Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sumber. Karena dinamika dan kebutuhan untuk mencegah kekosongan hukum akibat diujinya norma hukum dalam Undang-Undang terutama yang bermuatan hak asasi. Ruang lingkup putusan tidak lagi terbatas pada jenis yang disebutkan dalam undang-undang melainkan terus berkembang sehingga dengan aktifisme hakim, kita mengenal sekarang jenis-jenis putusan baru ini. Di antara yang terpenting yaitu yang keempat ini merumuskan sendiri norma hukum untuk menggantikan norma hukum yang diuji.

Saya kira sekarang ini merupakan persoalan baru bahwa perlu merumuskan sendiri norma, kekosongan norma hukum yang berlaku. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena dalam keadaan mendesak untuk melindungi dan mewujudkan hak asasi yang tidak dilakukan oleh pembuat undang-undang, MK harus dapat tampil untuk membimbing, mengarahkan, mengontentikasikan, dan mengoreksi pembuat undang-undang dengan meletakkan legislasi pada jalur yang benar secara normatif dan konstitusional. Bahkan merumuskan sendiri satu norma karena konstitusi mengamanatkan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara. Dalam satu putusan MK dikatakan pemenuhan hak asasi manusia tidak dapat ditunda-tunda. Mungkin putusan terakhir Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Anggaran Tentang Pendidikan. Pasal 7A Undang-Undang MK yang tidak mengatur usia pensiun panitera-panitera pengganti untuk dipandang konsitutisional harus mengatur usia pensiun panitera-panitera pengganti. Sama dengan norma dalam undang-undang di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang dapat dilakukan MK sendiri.

Saya kira dengan tuntutan, dengan dinamika, dan judicial activism yang layak, saya berkesimpulan bahwa berbedanya usia pensiun panitera-panitera pengganti di MK dengan di lingkungan peradilan di bawah MA itu, itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam keadaan penting dan tidak dapat ditunda perlindungan HAM meskipun inconstiutional latest, Undang-Undang MK yang diuji dan dimohon ini berasal dari ketiadaan norma yang mengatur lex of

(19)

normativity, MK menurut pandangan saya dapat dibenarkan merumuskan sendiri norma itu untuk kelak dapat diambil oleh pembuat undang-undang.

Sebagai tambahan, suatu delegasi kepada Presiden untuk membuat peraturan mengenai usia pensiun panitera-panitera pengganti, menurut saya di dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan mandat seperti itu untuk materi muatan seperti itu adalah kewenangan pembuat undang-undang.

Terima kasih, Pak Ketua dan Ibu Hakim Yang Terhormat.

24. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Baik, terima kasih Bapak Dr. Maruarar Siahaan. Berikutnya Bapak Dian Simatupang. Silakan, Pak.

25. AHLI DARI PEMOHON: DIAN PUJI SIMATUPANG

Terima kasih Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb.

Izinkan saya menyampaikan paparan mengenai batasan usia pensiun dalam perspektif hukum administrasi negara dikaitkan dengan ketentuan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.

Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Saya mengingatkan kembali ketika Oktober 2010 melakukan riset untuk disertasi saya di Prancis, Yang Mulia. Oktober 2010 terjadi huru-hara di Paris dan sekitarnya itu disebabkan karena terjadinya perubahan batas usia pensiun secara semena-mena oleh Pemerintah Presiden Nicolas Sarkozy.

Oleh sebab itu batas usia pensiun guna menghidari perubahan yang semena-mena dan juga tidak didasari faktual dan/atau … dan juga alasan yang logis. Penetapan batas usia pensiun harus dilakukan dan ditetapkan melalui suatu undang-undang. Sehingga dengan demikian menurut masyarakat Prancis pada saat itu yang saya baca dari koran di Prancis, menyatakan bahwa batas usia pensiun merupakan hak dan juga merupakan jaminan negara terhadap social security khususnya di lingkungan pegawai negeri sipil di sana.

Oleh sebab itu perubahan-perubahan apa pun yang menimbulkan kekurangan terhadap hak mereka, mereka akan tuntut dan juga ditentang oleh mereka. Sehingga akhirnya diketahui sampai sekarang, Majelis Yang Mulia, bahwa Presiden Sarkozy sendiri tidak lagi menjabat karena kebijakan yang demikian tersebut.

Mengenai hal jabatan dalam subjek hukum, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Jabatan fungsional sebagaimana panitera menurut hukum administrasi negara adalah subjek hukum person yaitu pendukung hak dan kewajiban. Panitera dalam lingkungan

(20)

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia oleh karena jabatannya merupakan pendukung wewenang kekuasaan hak Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jabatan fungsional dalam regulasi kepegawaian negara, Majelis Hakim Yang Mulia, merupakan pendukung hak dan kewajiban, khususnya jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Salah satunya disitu adalah, adanya hak bagi seorang pegawai negeri sipil dalam organisasi yang bersangkutan.

Selanjutnya. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian mengatur, “Setiap pegawai negeri sipil yang telah memenuhi syarat ditentukan berhak atas pensiun.” Tentu syarat-syarat yang ditentukan, sebagaimana Ketentuan Pasal 10, sebaiknya di … dilakukan dan harus dilakukan menurut undang-undang. Hal ini disebabkan untuk memenuhi syarat sebagai hak daripada pegawai negeri sipil tersebut.

Syarat yang melekat dan hak pensiun merupakan ketetapan yang menyatakan hak, sehingga dalam aturannya harus memuat secara lengkap, dan jelas, serta tidak menimbulkan tafsir lain terhadap suatu syarat atas pemenuhan hak pensiun. Oleh sebab itu, jika ada aturan guna pemenuhan syarat atas hak pensiun yang kurang lengkap atau tidak benar, aturan yang demikian harus diadakan perubahan, sehingga tidak memiliki kekurangan yuridis yang menimbulkan salah kira atas hak orang (dueling and subjective recht).

Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Jika ada peraturan presiden sebagai tindakan keperintahan yang yang mengatur batas usia jabatan fungsional, maka harusnya dilekatkan tugas pada tugas dan juga kewajiban dari lembaga tersebut, sehingga tidak dengan serta-merta akan diatur sendiri oleh pemerintah.

Penetapan usia pensiun merupakan salah satu syarat pemenuhan hak pensiun itu sendiri, Majelis Yang Mulia. Bahwa (suara tidak jelas) dalam bukunya (suara tidak jelas), sebagaimana dikutip Ultrech dalam Buku Hukum Administrasi Negara Indonesia mengemukakan, “Suatu hubungan dinas publik (bahasa asing) harus dihargai dengan gaji dan hak lainnya setelah pension, dan hak dalam hubungan dinas publik seperti hak pensiun harus diatur dengan jelas dan tidak multitafsir disebabkan penetapan usia pensiun yang pasti akan memberikan kepastian atas manfaat atau benefit (… of benefit) dari program pensiun yang diikuti.”

Adanya kepastian dalam batas setiap pensiun atau kepastian penetapan usia pensiun juga, Majelis Yang Mulia, juga sangat

(21)

mempengaruhi jaminan pensiun yang diterima berdasarkan manfaat pasti, sehingga usia pensiun harus ditetapkan dengan undang-undang. Ketiadaan penetapan usia pensiun berarti ketidakpastian manfaat yang akan diperoleh, sehingga suatu jabatan fungsional yang ditetapkan sudah jelas dan pasti usia pensiunnya berarti juga mempengaruhi nilai manfaat pasti yang diterima dalam program pensiun.

Penetapan usia pensiun pada Mahkamah Konstitusi yang jelas dan pasti dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diperlukan untuk pemenuhan prinsip kepastian hukum itu sendiri, khususnya dalam memenuhi hak pensiun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepegawaian.

Oleh sebab itu, Majelis Hakim Yang Mulia, Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah juga Nomor 25 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil mengatur berhentinya sebagai pegawai negeri sipil karena usia pensiun merupakan berakhirnya kewajiban membayar pensiun. Kepastian ini tentu sangat diperlukan dalam suatu undang-undang dan diatur, sehingga akhirnya membawa kepastian pula bagi pegawai negeri sipil yang bersangkutan. Jika usia pensiun tidak jelas dan tidak pasti, akan menimbulkan ketidakpastian juga mengenai pengakhiran kewajiban membayar pensiun. PT Taspen sebagai perusahaan … sebagai penyelenggara asuransi sosial pegawai negeri sipil juga membutuhkan kepastian mengenai pengaturan tersebut. Selain itu, ketidakjelasan penetapan usia pensiun akan mengakibatkan ketidakjelasan pegawai negeri sipil dalam memperoleh hak tabungan hari tua yang menurut penjelasan Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 25 Tahun 1991 diberikan pada saat peserta berhenti sebagai pegawai negeri sipil karena pensiun.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Fadi Nuris dalam Bukunya Reefenting Social Security Worldwide menyatakan, “Jaminan sosial sebagaimana salah satunya adalah jaminan pensiun cenderung membuat demokrasi semakin kuat karena pengaruh positif kegiatan rutin operasionalnya terhadap masyarakat sipil.” Atas dasar pemahaman tersebut, jaminan pensiun yang pasti bagi Penitera Mahkamah Konstitusi berdasarkan aturan usia, batas pensiun yang jelas dan pasti, akan berdampak pada penyelenggaraan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal Konstitusi Republik Indonesia.

Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Pensiun sebagai bagian dari manajemen pemberhentian pegawai negeri sipil dibedakan atas pemberhentian karena mancapai batas usia pensiun atau pemberhentian karena penyediaan organisasi. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 pernah menetapkan, “Batasan usia pensiun sudah jelas dan pasti perlu ditetapkan, sehingga menjadi dasar bagi perolehan hak pensiun, jaminan sosial atas tabungan hari tua, dan jaminan sosial pensiun.”

(22)

Oleh sebab itu, Majelis Yang Mulia, perumusan usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi diperlukan apabila mendasarkan pada seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur pensiun dan peraturan perundang-undangan yang mengatur batas usia pensiun bagi panitera di lingkungan peradilan, dan Mahkamah Agung, serta Mahkamah Konstitusi.

Penetapan batas usia pensiun memberikan kepastian hukum dan kepastian hak bagi Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dalam memperoleh hak pensiun, manfaat pasti atas jaminan pensiun, dan hak memperoleh tabungan hari tua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketiadaan batas kepastian batas hukum usia pensiun juga, Majelis Yang Mulia, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai ilustraction problem, yaitu masalah-masalah yang mungkin nanti akan menjadi berkembang dan tidak dapat diidentifikasi penyelesaiannya.

Demikian pandangan dari saya. Terima kasih, Majelis Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb.

26. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Baik, saya kira atau kami Majelis Hakim merasa sudah cukup jelas dari Pemohon, DPR, Pemerintah, maupun dari Ahli, sehingga kalau tidak ada permintaan sidang lagi dari Pemohon maupun Pemerintah dan DPR untuk mengajukan saksi atau ahli-ahli, kami menganggap cukup dan sudah jelas dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-masing pihak, sehingga kami akan memberi waktu untuk mengajukan kesimpulan.

Apakah Pemohon masih minta sidang lagi? 27. PEMOHON: A. MUHAMMAD ASRUN

Terima kasih, Yang Mulia. Sudah sangat jelas, Yang Mulia. Terima kasih.

28. KETUA: MOH. MAHFUD MD

Sudah jelas. Oke. Pemerintah? Bagaimana Pemerintah? Cukup? DPR? Cukup.

Baik. Dengan demikian, hari ini adalah tanggal … jadi langsung, kesimpulan ditunggu selambat-lambatnya hari Rabu, tanggal 6 Juni. Hari Rabu tanggal 6 Juni, jam 11.00 di Gedung Mahkamah Konstitusi. Saya kira jam 16.00 saja. Jam 16.00 sesudah tutup kantor ya, juru tulis.

Hari Rabu tanggal 6 Juni jam 16.00 kesimpulan dari Pemohon, Termohon, Pemerintah, maupun DPR, ditunggu di Gedung Mahkamah Konstitusi ini sehingga kalau pada saat itu tidak mengajukan kesimpulan,

(23)

artinya menyerahkan sepenuhnya kepada Hakim untuk mempertimbangkan semua yang menjadi fakta hukum di persidangan-persidangan yang telah berlangsung tiga kali termasuk hari ini.

Dengan demikian, sidang hari ini dinyatakan ditutup.

Jakarta, 29 Mei 2012

Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d.

Paiyo

NIP. 19601210 198502 100 1 SIDANG DITUTUP PUKUL 12.00 WIB

KETUK PALU 3X

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan rongga hidung, ingus di meatus medius. Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan meletakkan lampu di sudut mata bagian dalam, akan tampak bentuk sinus frontal di dahi

Komunikasi interpersonal yang terjadi dalam hubungan interpersonal yang baik dapat meningkatkan motivasi siswa ketika di kelas contohnya seperti guru memberikan

Karena nilai CR lebih besar dari 1,96 menunjukkan adanya pengaruh yang positif antara kerjasama dengan efektivitas hubungan pemasaran. Dengan demikian menunjukkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara makro, hanya faktor ekonomi (prosentase penduduk miskin) yang secara nyata mempengaruhi minat dan kemampuan orang

Belanja Perjalanan Dinas Dalam Daerah Peningkatan Tenaga Penyuluh Kesehatan (Pelatihan

maupun hukum nasional, terutama sejak lahirnya dan diundangkanya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1983 tersebut, namun Indonesia masih menghadapi masalah yang cukup

Dari hasil uji statistik korelasi spearmen diperoleh nilai p value = (0,000) < α= (0,05) sehingga dapat disimpulkan ada hubungan komunikasi terapeutik perawat

 Adanya perubahan paradigma diantara anggota Komwil III APEKSI bukan untuk saling berkompetisi, melainkan berbagi untuk kemajuan bersama, karena pemimpin masa depan adalah