• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. masyarakat, khususnya di Jawa Barat. Domba memiliki taksonomi sebagai berikut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KEPUSTAKAAN. masyarakat, khususnya di Jawa Barat. Domba memiliki taksonomi sebagai berikut"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN 1.1 Domba

Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, khususnya di Jawa Barat. Domba memiliki taksonomi sebagai berikut (Church, 1988) :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mammalia Sub class : Ungulata Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Famili : Bovidae Genus : Ovis Spesies : Ovis aries

Perut bagian depan pada ternak ruminansia yang berfungsi lebih banyak setelah kelahiran adalah abomasum. Rumen, retikulum dan omasum terus berkembang sampai dengan benar-benar berfungsi. Pada anak domba, tahap transisi dimulai pada umur 3minggu dan berakhir sekitar umur 9 minggu. Pada masa tersebut, penggunaan karbohidrat mulai hilan kemudian proses glukoneogenesis mulai terjadi. Kelenjar saliva juga sangat berfungsi dalam mengatur keseimbangan sistem pencernaan. Domba dapat memproduksi saliva sebanyak 10-15 liter per hari, dimana saliva berfungsi sebagai buffer pH hasil fermentasi mikroba rumen (Arora, 1995).

(2)

Kebutuhan zat makanan domba dapat diklasfikasikan atas energi, protein, mineral, vitamin dan air (Ensminger, 2002). Kandungan zat makanan yang dibutuhkan oleh domba dengan pertambahan bobot harian 100 gram yaitu protein 11,9%, Ca 0,31%, P 0,22% (Kearl, 1982). Untuk memenuhi kebutuhan zat makanan bagi domba, peternak biasanya memberikan hijauan berupa rumput sebagai bahan pakan utama.

1.2 Rumput

Pakan hijauan adalah bahan yang berfungsi sebagai sumber serat atau sekaligus sebagai sumber vitamin (Raharjo, dkk., 2013). Pakan hijauan untuk ternak ruminansia dapat berupa hijauan segar yang terdiri atas rumput dan daun-daunan baik yang segar maupun yang kering. Jenis tumbuhan yang paling banyak dimakan ternak berasal dari famili Graminae atau Poaceae atau lebih dikenal dengan rerumputan dan berbagai jenis tumbuhan yang ada, terutama yang berasosiasi dengan rumput. Sifat asosiasi tumbuhan dipengaruhi oleh kesuburan tanah, kelembaban tanah, temperatur, cahaya dan naungan, bentuk pertumbuhan dan pertumbuhan musiman tumbuhan, palatabilitas, serangan hama, penyakit, serta persaingan dengan gulma (McIlroy, 1997). Asosiasi tanaman tersebut bergabung menjadi rumput alam atau rumput lapang.

Rumput lapang merupakan campuran dari berbagai rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang rendah. Kualitas rumput lapang sangat bervariasi, bergantung dari banyaknya komposisi botani yang tumbuh (Mahyuddin, 1984). Rendahnya kandungan zat makanan pada rumput lapang dapat disiasati dengan memberikan bahan pakan tambahan yang lain, sehingga kombinasi rumput dengan bahan tersebut dapat

(3)

mencukupi kebutuhan zat makanan yang dibutuhkan domba. Salah satu bahan yang biasa diberikan peternak yaitu kulit pisang nangka.

1.3 Pisang Nangka

Pisang merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan masyarakat di Indonesia. Tanaman pisang memiliki taksonomi sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Zingiberales Famili : Musaceae Genus : Musa

Pisang tumbuh tinggi hingga 2-8 meter. Batang pisang disebut dengan pseudostem yang menghasilkan satu tandan pisang sebelum mati dan digantikan dengan pseudostem yang baru. Buah pisang dilindungi oleh kulit yang dibuang sebagai limbah setelah daging buahnya dimakan (Ahnwange, 2008). Pisang nangka merupakan hasil persilangan dari genus Acuminata dan Balbisiana. Satu tandan pisang nangka memiliki berat 12-14 kg yang terdiri atas 6-8 sisir pisang. Setiap sisir terdiri atas 14-24 buah pisang dengan panjang 18-24 cm dan diameter 3,5-5 cm. Pisang nangka matang berwarna hijau cerah dan tebal. Bagian kulit pisang banyak mengandung senyawa tanin (Preston dan Leng, 1987). Selain tanin, kulit pisang juga mengandung anti nutrisi berupa saponin.

(4)

1.4 Tanin

Tanin adalah senyawa sekunder yang berfungsi sebagai pelindung tanaman dari serangan predator. Tanin terdiri atas sejumlah besar gugus hidroksi fenolik. Senyawa ini banyak terdapat pada berbagai tanaman karena tanin diperlukan oleh tanaman tersebut sebagai sarana proteksi dari serangan mikroba, ternak ataupun insekta. Proteksi dari serangan ternak dapat dilakukan dengan menimbulkan rasa sepat, sedangkan serangan bakteri dan insekta diproteksi dengan menonaktifkan enzim protease dari bakteri dan insekta yang bersangkutan (Cheeke dan Shull, 1985). Tanin memiliki rasa kesat yang dapat mengurangi asupan hijauan (Wina, dkk., 2012).

Tanin berfungsi untuk memproteksi protein pakan. Tanin mempunyai kelemahan dalam fungsinya sebagai agen defaunasi karena gugus fenol pada tanin juga mempunyai sifat antibakteri (Wahyuni, dkk., 2014). Kandungan tanin dalam pakan dapat menurunkan kecernaan serat dalam rumen karena terbentuknya ikatan tanin dengan selulosa maupun hemiselulosa sehingga sulit dicerna (Beauchemin, dkk., 2008). Tanin dapat menurunkan kecernaan serat melalui ikatan kompleks dengan lignoselulosa dan mencegah mikroba mencernanya atau melalui penghambatan mikroba selulolitik (McSweeney, dkk., 2001). Pengaruh negatif dari tanin muncul apabila kandungan tanin dalam pakan ternak lebih dari 4%. Kandungan tanin kurang dari 4% bahkan menguntungkan dalam pemanfaatan protein oleh ternak.

1.5 Saponin

Saponin suatu senyawa yang terdiri atas gula, biasanya mengandung glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xylosa, rhamnosa atau methylpentosa. Glukosa

(5)

tersebut berikatan membentuk glikosida dengan hydrophobic aglycone (sapogenin) menjadi triterpenoid atau steroid (Francis, dkk., 2002). Beberapa saponin diketahui berfungsi sebagai antimikroba, menghambat jamur dan memproteksi tanaman dari serangan serangga. Selain itu, saponin juga merupakan sumber monosakarida (Morrissey dan Osbourn, 1999). Santoso dan Sartini (2001) mengungkapkan bahwa saponin mempunyai rasa sepat dan pahit dalam ransum yang menyebabkan ransum kurang disukai ternak (palatabilitas menurun).

Saponin dapat membunuh protozoa karena sifat saponin yang dapat berikatan dengan kolesterol yang merupakan komponen dari membran protozoa (Wahyuni, 2014). Saponin mampu membentuk ikatan dengan sterol yang terkandung dalam dinding sel protozoa, sehingga mempengaruhi tegangan permukaan membran sel protozoa. Hal tersebut mengakibatkan permeabilitas dinding sel meningkat dan akhirnya cairan dari luar sel masuk ke dalam sel protozoa. Masuknya cairan dari luar sel mengakibatkan pecahnya dinding sel sehingga protozoa mengalami kematian atau lisis. Sementara itu, membran sel bakteri lebih tahan terhadap saponin karena dinding utamanya merupakan peptidoglikan (Suharti, dkk., 2009). Penurunan kecernaan menurun apabila kandungan saponin dalam bahan lebih dari 5% (Wahyuni,dkk., 2014).

1.6 Kecernaan Bahan Pakan

Kecernaan adalah persentase bagian zat makanan yang tidak dieksresikan dalam feses. Kecernaan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi dalam alat pencernaan sampai terjadinya penyerapan. Bahan pakan mempunyai kecernaan tinggi apabila bahan tersebut mengandung zat-zat makanan mudah dicerna (Wahyuni, dkk., 2014). Bahan pakan memiliki kualitas baik apabila memiliki

(6)

kecernaan yang tinggi. Umumnya, bahan pakan berupa limbah pertanian memiliki nilai kecernaan yang rendah (Wina, 2005). Tingkat kecernaan dari bahan pakan perlu diketahui, karena hal ini sangat berkaitan dengan pemanfaatan bahan pakan tersebut dalam penyusunan ransum, dengan diketahui tingkat kecernaan zat makanan dalam suatu bahan pakan, maka hal ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dari bahan pakan tersebut dalam penyusunan ransum. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan suatu bahan pakan adalah komposisi kimia bahan pakan, daya cera semu protein kasar, lemak, komposisi ransum, penyajian makanan, tingkat pemberian pakan, faktor hewan, dan laju aliran pakan (Anggorodi, 1994 ; McDonald dkk., 2010; Tillman, dkk., 1998).

Tingkat kecernaan bahan pakan dalam suatu ransum sangat dipengaruhi oleh kandungan zat-zat makanannya. Serat kasar sangat mempengaruhi tingkat kecernaan suatu bahan pakan. Setiap penambahan 1% serat kasar dalam tanaman dapat menurunkan kecernaan bahan organik sebanyak 0,7-1,0% pada ruminansia. (Tillman, dkk., 1998). Kesanggupan hewan untuk mencerna selulosa atau serat kasar bergantung pada alat pencernaan serta mikroorganisme yang dimiliki hewan tersebut. Ruminansia mampu mencerna serat kasar di dalam rumen sebanyak 50-90% (Anggorodi, 1994). Semakin tinggi kandungan serat di dinding sel maka menurunkan tingkat kecernaan zat-zat makanan lainnya (Imsya, dkk., 2015).

Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) merupakan senyawa karbohidrat yang mudah dicerna di dalam sistem pencernaan ternak ruminansia di dalam rumen, BETN akan mudah dicerna menjadi asam lemak volatil terutama akan menjadi asam propionat (Hernaman, dkk., 2015). Kecernaan BETN lebih tinggi dibandingkan dengan serat kasar. Tingginya kandungan BETN dalam bahan pakan memberikan indikasi bahwa degradasi bahan pakan oleh mikroba rumen

(7)

menghasilkan karbohidrat terlarut yang tinggi, dimana karbohidrat terlarut berpotensi sebagai pemasok energi terbesar bagi ruminansia (Lamid, 2013).

1.7 Kecernaan Bahan Kering

Bahan pakan terdiri atas dua bagian yaitu air dan bahan kering. Bahan kering sering dijadikan patokan pembuatan ransum dalam pemenuhan kebutuhan ternak. Kebutuhan bahan kering pengaruhi oleh jenis kelamin, umur, bobot badan, target produksi dan jenis ransum yang tersedia. Hijauan dengan kualitas baik dapat dikonsumsi sekitar 50% lebih tinggi dari pada hijauan dengan kualitas rendah (Kearl, 1982). Bahan kering tumbuh-tumbuhan sebagian besar terdiri atas karbohidrat (Anggorodi, 1994). Suatu bahan dikatakan fermentabel apabila memiliki kecernaan bahan kering minimum 60% (Suparwi, 2000).

Kecernaan BK dipengaruhi oleh kandungan serat kasar, kandungan lignin yang cukup tinggi dalam serat kasar dapat menghambat degradasi bahan kering di dalam rumen, hemiselulosa dan selulosa yang terikat cukup kuat pada lignin dapat menurunkan kecernaan bahan kering (Zakariah, dkk., 2016). Nilai kecernaan BK di dalam rumen sangat dipengaruhi oleh tingkat kelarutan suatu bahan pakan. Melalui proses fermentasi senyawa komplek dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga meningkatkan ketersediaan nutriennya (Puastuti, dkk., 2013).

1.8 Kecernaan Bahan Organik

Bahan organik dalam sisa proses inkubasi menggunakan larutan buffer dan larutan pepsin–HCl apabila dikurangkan dengan dengan kandungan bahan organik dalam bahan makanan disebut kecernaan bahan organik. Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Pada umumnya, kecernaan bahan organik tidak

(8)

menyimpang jauh dari kecernaan bahan keringnya (Suparwi, 2000). Van Soest (1994) menyatakan bahwa fraksi serat pada suatu bahan pakan mengandung lignin yang menjadi faktor penghambat dalam proses kecernaan bahan organik. Pola cerna bahan organik serupa dengan pola cerna bahan kering ransum. Persentase kecernaan bahan organik meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi dengan laju cerna yang semakin menurun (Kardaya, dkk., 2009). Bahan organik merupakan sumber energi untuk fungsi tubuh dan produksi. Pengukuran kecernaan bahan organik dalam pasca rumen meliputi kecernaan zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin (Gatenby, 1986).

1.9 Mineral Terlarut

Mineral merupakan zat anorganik yang berguna untuk keseimbangan fungsi tubuh. Mineral terdiri dari dua bagian yaitu mineral yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (mineral makro) dan mineral yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (mineral mikro). Mineral makro terdiri dari kalsium, magnesium, natrium, kalium, fosfor, klor dan belerang. Mineral makro terdiri dari kobalt, iodium, belerang, mangan, molibdenum, selenium, dan zink. Abu merupakan kumpulan mineral sisa hasil pembakaran zat organik (Anggorodi, 1994).

Bentuk mineral dalam makanan menentukan ketersediaan mineral tersebut. Mineral dalam bentuk ion diserap di usus halus. Mineral dalam bentuk senyawa organik hanya diabsorpsi sebagian. Mineral yang tidak larut dapat melalui saluran pencernaan tanpa diubah sehingga tidak dapat digunakan oleh hewan. Beberapa mineral dalam bentuk ion metal dapat bersenyawa dengan senyawa organik sehingga menjadi tidak dapat digunakan oleh hewan. Sebagian mineral pakan tidak

(9)

mudah tersedia di dalam saluran pencernaan dan kelarutannya bergantung pada kecernaan fraksi serat (Anggorodi, 1994).

Kelarutan mineral meningkat seiring dengan penurunan pH (Keith dan Bell, 1987). Mineral dapat digunakan oleh hewan dan mikroba rumen apabila dapat terlarut dalam saluran pencernaan. Faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan mineral dalam tanaman adalah distribusi mineral dalam sel tanaman, ikatan dengan komponen dinding sel, ikatan dengan protein, serta ikatan dan interaksi dengan mineral lain. Ikatan antara mineral dan serat dapat menyebabkan kelarutan menurun (Ibrahim, dkk., 1998). Interaksi antara mineral yang satu dengan lainnya mempengaruhi penyerapan ion-ion mineral dalam saluran pencernaan. Interaksi yang terjadi dapat bersifat sinergis, saling memperlancar penyerapan, atau antagonis, memperlambat atau menghambat penyerapan salah satu mineral oleh mineral yang lain. Kelarutan mineral hijauan berkorelasi negatif dengan fraksi NDF, ADF dan lignin (Serra, dkk., 1997). Apabila suatu bahan pakan mengandung fraksi serat kasar yang rendah maka akan meningkatkan kecernaan sehingga jumlah mineral yang terlarut akan ikut meningkat.

1.10 Pencernaan Mikrobial di dalam Rumen

Proses pencernaan makanan utama bagi ternak ruminansia adalah proses pencernaan dalam rumen dan dilakukan oleh mikroba. Enzim-enzim yang dihasilkan tractus digestivus tidak sanggup mencerna selulosa dan pentosa, akan tetapi zat-zat tersebut dicerna oleh bakteri dalam tiga bagian pertama lambung ruminansia, caecum dan colon. Mikroorganisme dalam rumen merombak selulosa membentuk asam-asam lemak terbang. Bakteri tersebut merombak selulosa dan pentosa ke dalam asam-asam organik dan gula sederhana dalam jumlah kecil.

(10)

proses tersebut menghasilkan gas-gas (karbon dioksida dan metana) dan panas. Banyaknya asam yang terbentuk ditentukan oleh jenis ransum, adanya organisme dan faktor lainnya. Asam asetat merupakan dua per tiga dari jumlah seluruhnya kemudian berturut-turut asam propionat dan asam butirat. Asam-asam tersebut masuk ke dalam abomasum untuk dicerna dan menuju usus untuk diserap masuk ke peredaran darah (Anggorodi, 1994).

Protein mikrobial dibentuk di dalam rumen menjadi asam amino. Ruminansia mensintesis asam amino dari zat-zat yang mengandung nitrogen yang lebih sederhana melalui kerja mikroorganisme di dalam rumen. Mikroorganisme tersebut mengubah protein berkualitas rendah dan nitrogen bukan protein menjadi protein berkualitas tinggi (Anggorodi, 1994).

1.11 Pengukuran Kecernaan Bahan Pakan

Sistem evaluasi pakan bertujuan untuk mempelajari tingkat konsumsi, kecernaan dan respon terhadap produksi ternak. Sistem evaluasi pakan dapat dilakukan melalui metode in vivo, in vitro, dan in sacco. Pengukuran kecernaan dengan menggunakan metode in vivo dilakukan dengan cara mengukur nilai penyerapan zat-zat gizi pakan dengan mengetahui perbedaan antara yang dikonsumsi dengan yang dikeluarkan dalam feses atau urin. Keterbatasan metode in vivo adalah membutuhkan banyak ternak, bahan pakan, tenaga dan waktu sehingga biaya operasional menjadi tinggi. Metode in sacco berguna untuk menilai tingkat degradasi pakan dengan menempatkannya pada kantong nilon dan diinkubasikan di dalam rumen melalui canula fistula rumen. Kelemahan metode ini terletak pada teknis pelaksanaan, diantaranya ternak donor yang berfistula rumen yang menyebabkan resiko kegagalan pengukuran. Metode in vitro dilakukan

(11)

dengan cara menilai tingkat degradasi pakan dengan menginkubasi pakan dalam cairan rumen dan dikondisikan sedemikian rupa sehingga menyerupai keadaan di dalam rumen. Kelebihan metode in vitro dibandingkan metode in vivo dan in sacco adalah menggunakan sedikit sampel, dapat menguji banyak bahan pakan dalam waktu relatif singkat, sumber inokulum mudah didapat serta nilai kecernaan berkorelasi positif dengan degradabilitas dan kecernaan secara in vivo (Sudirman, 2013).

Pengukuran daya cerna adalah suatu usaha untuk menentukan jumlah makanan dari bahan makanan yang diserap dalam tractus gastrointestinal. Teknik fermentasi rumen secara in vitro pada prinsipnya memecah komponen polisakarida (structural carbohydrate) menjadi komponen yang mudah larut oleh enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme rumen pada kondisi anaerobik dengan suhu dan pH terkontrol, sedangkan teknik fermentasi rumen secara in vitro tahap kedua menstimulir perombakan material protein oleh enzim pepsin pada saluran pecernaan ruminansia bagian bawah (Sudirman, 2013).

Kecernaan in vitro bahan kering maupun bahan organik berbanding lurus dengan kecernaan in vivo (Sudirman, 2013). Kecernaan yang ditentukan secara in vitro biasanya 1-2% lebih tinggi dari nilai kecernaan in vivo (Tillman, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kecernaan in vitro bahan pakan adalah teknik koleksi sampel, fraksi morfologis, pengeringan, berat sampel, spesies ternak donor, pakan dan manajemen pemberian serta preparasi inokulum. Beberapa parameter ekosistem di dalam rumen antara lain suhu cairan rumen 38-39oC, kadar bahan kering isi rumen 14-18%, pH 6,7-6,9 dan kondisi dalam rumen harus anaerobik (Sudirman, 2013).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Facebook sangat berpengaruh terhadap interaksi sosial remaja dilihat dari tingkat motivasi remaja yang tinggi dalam menggunakan facebook.Penelitian ini bertujuan untuk

tetapi kita jarang menemukan publikasi mengenai PIU pada mahasiswa di Indonesia, terutama pada mahasiswa di Jakarta. Untuk itu, penelitian ini bertujuan memberikan

Pengaruh Perspektif Pemberdayaan Perempuan dalam Kebangkitan Ekonomi Lokal: Industri Tempe Sagu di Dusun Mrisi-Yogyakarta.. Membangun ekonomi yang kuat, 2) Membentuk masyarakat

Pemberian motivasi sangat penting untuk dilakukan agar karyawan dalam berkerja dapat memberikan yang terbaik bagi perusahaan yang secara langsung akan dampak pula terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Metode Think-Talk- write terhadap kemampuan menganalisis Unsur-unsur Intrinsik Cerpen Oleh Siswa kelas X SMA

Abstrak: Penelitian ini berawal dari observasi yang dilakukan peneliti terhadap pembelajaran matematika kelas IV di SDN Jeruk II Surabaya. Peneliti menemukan

Kegiatan terprogram mengacu pada RKH (Rencana Kegiata Harian) atau RPPH (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian) yang dibuat oleh pendidik. Berdasarkan kajian