• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. adat. Misalnya saja dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. adat. Misalnya saja dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Negara"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. ALASAN MEMILIH JUDUL

Keberadaan tanah adat dalam hukum positif Indonesia diakui dan pengakuan ini antara lain terdapat dalam pasal 3 dan 5 UUPA. Namun dalam pelaksanaan nya tetap saja terjadi penyimpangan dari undang-undang tersebut.1

Pengaturan mulai dari UUD, UU bahkan sampai peraturan perundang-undangan lainnya masih mencantumkan pengecualian, batasan serta persyaratan untuk dapat menerapkan hukum adat atau pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Misalnya saja dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. 2

Dengan demikian hal ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah penghormatan yang diberikan oleh Negara terhadap masyarakat hukum adat, yang diberikan oleh Negara justru pembatasan-pembatasan yang mau tidak mau menjadi sebuah keharusan untuk ditaati oleh warga Negara tak terkecuali masyarakat hukum adat. Dengan adanya pembatasan tersebut pemerintah dalam

1

Vico, 2000, Skripsi, Implementasi Pengakuan Keberadaan Tanah Adat di Kab. Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Fakultas Hukum Univ. Kristen Satya Wacana

2 Ahmad BIky, Disadur dari

(2)

politik hukumnya akan mengarahkan bahwa suatu saat nanti hak-hak adat akan hilang atau dihilangkan. Bahkan yang lebih ekstrem lagi dengan adanya pengakuan bersyarat dapat digunakan oleh pemerintah atau investor untuk merampas tanah masyarakat hukum adat.

Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara disebut dengan hak menguasai Negara yang berisi seperti dalam pasal 2 UUPA. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan tersebut (hak menguasai tanah oleh Negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak jelas batas-batasnya kepada Negara untuk menguasai semua tanah yang ada diwilayahnya Indonesia.

Beranjak dari persoalan diatas, yang menunjuk pada persoalan yang dihadapi hukum positif untuk mengatur pengakuan hak atas tanah hukum adat, mendorong penulis untuk mengkaji isu-isu tersebut dalam penelitian hukum dengan judul :

“PENGAKUAN NEGARA TERHADAP HAK ATAS TANAH ADAT BAGI MASYARAKAT ADAT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA.”

(3)

Definisi konsep:

Melihat judul tersebut dikemukakan definisi konsep judul sebagai berikut:

1. Pengakuan Negara adalah suatu perbuatan diakuinya sebagai pengelola, pengguna, dan pemanfaat sumber daya alam nasional. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan-peraturan masyarakat adat. Jadi pengakuan Negara dalam judul saya ini artinya adalah pengaturan dalam perundang-undangan.

2. Tanah adat adalah tanah kepunyaan bersama,yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib / peninggalan Nenek Moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.3

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Tanah adat adalah tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib/ peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.4

3 Budi Harsono, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi,& pelaksanaannya, Djambatan, JilidI 2005, hal

181

(4)

Hak menguasai dari Negara berasal dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai pasal yang mengatur tentang hukum Agraria di Indonesia yang mencakup bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Bahwa Bumi, air,dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan pasal 2 ayat(1) UUPA menyatakan bahwa dasar ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud sebagai pasal1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.5

Kedudukan tanah dalam hukum adat sangatlah penting. Ada dua hal yan menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu;

1. Karena sifatna yaitu satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan.

2. Karena fakta yaitu merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan, merupakan pula tempat

(5)

tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.6

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat adat / komunal sebagai realitas yang tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu ada baik seperti apa pengakuan Indonesia merdeka dalam memahami realitas kemasyarakatan yang bersifat komunal itu atau lebih dikenal dengan sebutan hukum adat dan masyarakat adat itu sendiri, hal ini terdapat dalam Undang-undang no. 5 Tahun 1960 ( UUP. Agraria):

a. pasal 3 : “Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan

hak ulayat dan hak hak yang serupa dengan itu dari masyarakat - masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang dan Peraturan Peraturan lain yang lebih tinggi”

b. pasal 5: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa , dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

(6)

c. Dalam penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan, bahwa: “Dengan

sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhanny tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masya-rakat swapraja yang feodal.”

Pasal 3, 5 beserta penjelasannya serta penjelasan umum angka III (1) tersebut memberi pemahaman bahwa pengakuan terhadap hukum adat tersebut disertai syarat mengenai kenyataan eksistensi dan mengenai pelaksanaannya. Dengan demikian pengakuan terhadap hukum adat sejatinya ada pembatasan bagi keberlakuannya, namun tidak mengurangi pentingnya arti ketentuan pokok yang diletakan dalam UUPA, bahwa hukum tanah nasional didasarkan pada Hukum Adat.

Demikian pula harus dipahami bahwa hak ulayat tetap berlangsung menurut ketentuan hukum adat sesuai dengan masyarakat adatnya masing-masing. Sekalipun kepentingan masyarakat adat harus menyesuaikan dengan kepentingan nasional, tidak berarti kepentingan masyarakat adat yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali, Sebagai contoh dalam pemberian suatu hak atas tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan, baik pemerintah maupun swasta

(7)

dimungkinkan penguasaan dan penggunaan bagian-bagian tanah/hutan ulayat masyarakat hukum adat maka masyarakat hukum adat tersebut sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan menerima “recognitie” serta pelepasannya harus menurut ketentuan hukum adat dan masyarakat adat tersebut yaitu dengan izin penguasa adat dan masyarakat hukum adat.

Fakta riil tentang hak atas tanah adat yang mendorong untuk dilakukannnya pengaturan terhadap pengakuan hak atas tanah adat seperti :

- Dalam perkembangnya sekarang ini, banyak tanah adat yang berubah fungsi menjadi bagian dari perkebunan skala besar, hal ini banyak terjadi di berbagai daerah di Nusantara ini misalnya di Kalimantan Tengah, di Kotawaringin Timur untuk kebun kelapa sawit7.

- Masyarakat Tau Taa Wana merupakan masyarakat adat yang bermukim di hutan Morowali, di Kecamatan Petasia, Sulawesi Tengah8. Keberadaan masyarakat To Wana diakui secara resmi oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu Komunitas Adat Terpencil yang ada di Sulawesi Tengah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Sosial No. 67 Tahun 2000 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT). Sampai sekarang, anggota komunitas To Wana masih menganut agama lokal yang disebut agama halaik.

7 Vico Aprae Ranan, Skripsi, Implementasi Pengakuan Keberadaan Tanah Adat di Kab.

Kotowinangun Timur, Kalimantan Tengah, 2000

8 Konstantin Rongko, 2005, Skripsi, Pemenuhan Hak Masyarakat Adat TO WANA Dalam

Pelaksanaan Social Forstry di Hutan Morowali, Kec. Petasia, Kab. Morowali (Suteng), Fakultas Hukum, Univ. Kristen Satya Wacana.

(8)

- Kasus Bulukumba: terjadi antara PT PP Lonsum dengan masyarakat hukum Adat Kajang. Masuknya PT PP Lonsum ke tanah Kajang telah mengusik ketenangan penduduk. Para petani dan masyarakat adat dipaksa berganti dari pemilik tanah menjadi petani penggarap/buruh tani di tanah leluhur mereka sendiri. Sudah sejak tahun 1982, penduduk Kajang berperkara di Pengadilan Negeri Bulukumba. Justru saat-saat eksekusi putusan yang memenangkan gugatan penduduk Kajang, menjadi tidak jelas lagi. Akibat dari kekeliruan eksekusi oleh Panitera PN yang kemudian justru dimentahkan kembali karena tidak adanya kesepakatan tentang jumlah lahan dan batas-batas tanahnya9. - Kasus Meratus ; Tukar guling Hutan Lindung Meratus.

Berdasar Perda No 9 Tahun 2000 Tanggal 21 Desember 2000 tentang RTRWP Kalimantan Selatan ditetapkan alih fungsi Hutan Produksi seluas 66 ribu ha yang terdiri dari milik PT Kodeco Timber (seluas 57 ribu ha) dan milik PT Inhutani II (seluas 9000 ha) yang terletak di Das Sampanahan yang berstatus hutan lindung dengan luas 46 ribu ha sebagai Hutan Produksi Terbatas. Tukar guling lahan hutan yang sudah diproduksi oleh PT Kodeco di Das Batulicin dengan Hutan Lindung di daerah Das Sampanahan seluas 46.270 ha menjadi hutan Produksi Terbatas tersebut diprotes oleh banyak kalangan seperti LSM: LPMA, AMAN, dan WALHI10.

- Masyarakat adat di Provinsi Bengkulu tersingkir dari lahan adat mereka yang telah dihuni turun-temurun, menyusul masuknya perusahaan swasta besar yang

9 Lies Sugondo dalam Sri Harini Dwiyatmi, ADVANCED TRAINING, Hak-hak Masyarakat

Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia, Masyarakat Hukum Adat Dalam Kerangka Hukum Nasional, Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007, hal 8

(9)

menguasai ribuan hektar lahan untuk usaha. Proses perizinan masuknya investor oleh pemerintah yang tidak melibatkan masyarakat adat ditengarai menjadi penyebabnya. Pada umumnya komunitas adat di Bengkulu menghadapi konflik tanah dengan perusahaan swasta besar yang menanamkan investasi di Bengkulu. Tanah adat mereka dicaplok oleh perusahaan swasta yang telah mengantungi izin dari pemerintah. Proses penerbitan izin itu tidak pernah melibatkan masyarakat adat. Saat ini di Bengkulu terdapat 26 komunitas adat yang tersebar, mulai dari Kabupaten Kaur di selatan Bengkulu sampai ke Kabupaten Mukomuko di utara Bengkulu. Apabila persoalan tanah antara perusahaan swasta besar dengan komunitas adat tidak diselesaikan, maka dikhawatirkan dapat memicu persoalan sosial seperti kerawanan pangan, pengangguran, bahkan kriminalitas. Karena itu, masyarakat adat selalu tersingkir padahal selama menguasai wilayah adatnya.11

- Dalam hasil penelitiannya tentang Sistem Sosial Budaya Kampung Kuta, bahwa masyarakat adat dari sejak munculnya republik ini bahkan sampai sekarang, masih diwarnai ketidakadilan dan dipandang “sebelah mata” dari berbagai lini kehidupan. Namun saat ini, berangkat dari pengalaman penderitaan masyarakat adat, telah menimbulkan kesadaran baru bahwa kebijakan pembangunan dan hukum yang diproduksi oleh negara selama lebih dari 30 tahun harus diperbaiki. Sedikitnya ada dua sumber ketidakadilan hukum dan kebijakan pembangunan terhadap masyarakat adat. Pertama, kebijakan-kebijakan pembangunan dan produk hukum yang mengawalnya

(10)

sudah bias dengan semangat penyeragaman, bias formalitas, dan bias hukum positif yang secara kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang dikenal dalam beragam sistem sosial-budaya masyarakat adat yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Kedua, berbagai produk hukum yang mengatur atau berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat dibuat saling kontradiktif satu sama lain atau dibuat mengambang (tidak jelas), sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum yang bisa memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dengan kondisi ketidakpastian hukum ini, elit kekuasaan dapat melakukan intervensi kekuasaan terhadap proses-proses hukum apabila proses-proses ini dianggap mengganggu kepentingan dirinya dan kroni-kroninya. Namun dengan mulai terbukanya kesadaran elemen-elemen semisal civil society, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat adat sendiri ketidakadilan dan subordinasi bisa diminimalisasi, bahkan mampu mengangkat daya indegenioustitas mereka untuk bisa bersaing dengan masyarakat lainnya.12

C. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana pengakuan Negara terhadap hak atas tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum Indonesia?

12 Subhan Agung, disadur dari: http://mega.subhanagung.net/?p=50. Tanggal akses: 10 februari

(11)

D. TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui pengakuan yang ada dalam hak atas tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Metode pendekatan

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan ini akan memfokuskan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat, dalam hal ini peraturan-peraturan menyangkut masyarakat adat.13

2. Bahan hukum

a. Bahan hukum primer (primary legal materials) yang berupa bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat (authoritative). Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. antara lain :

1). Undang – Undang Dasar Negara RI tahun1945,

2). UU no. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria,

3). Instruksi Presiden No.1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Bidang

(12)

Keagrarian dengan Bidang Kehutanan,

4). UU no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

5). UU no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan,

6). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun

1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum

Adat,

7). UU no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

8). TAP MPR no. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya alam

9). UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,

10). UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

11). UU no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral & batubara.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder seperti kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar.

(13)

F. Unit Analisa

Unit analisa dalam penelitian ini meliputi pengakuan negara terhadap hak atas tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem hukum Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

A különböző légköri paraméterek fi zi- ológiás és patofi ziológiás hatásainak szélesebb körű feltá- rása egyre nagyobb jelentőséggel bír, mivel minor

Bagan susunan organisasi Unit Pelaksana Teknis Badan, Kantor dan Satuan adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 12 dan merupakan bagian yang tidak dapat

Catatan atas Laporan Keuangan Konsolidasian Interim (Unaudited) Tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal 30 Juni 2007 dan 2006 (Dinyatakan dalam ribuan Rupiah, kecuali dinyatakan

pengaruh kenaikan atau penurunan harga barang terhadap perubahan jumlah permintaan atau penawaran barang tersebut. Penggunaan elastisitas harga ini tentu saja

Penilaian mutu RSTI secara umum dengan menggunakan MBNQA adalah “Organisasi RSTI menunjukkan permulaan Pendekatan (aproach) yang sistematis dalam menjawab persyaratan dasar dari

Uk ran rangka yang diperg nakan ses ai dengan gambar/detail ; Rangka ind k hanger : 6/Ã2 cm Rangka pembagi: %/7 cm dan 4/6 cm -ebagai peng at rangka plafond di pasang penggant ng

lmplementasi berbagai kegiatan dari Memorandum Saling Pengertian ini secara spesifik akan dibagi dalam berbagai pengaturan atau program- program yang disepakati oleh

Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kualasimpang merupakan salah satu lembaga yang diharapkan masyarakat sekitar mampu mencetak generasi- generasi intelek yang