• Tidak ada hasil yang ditemukan

konvensional vs ekonomi islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "konvensional vs ekonomi islam"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB

17

REKAYASA PASAR MENUJU PERBAIKAN

DISTRIBUSI SUMBER DAYA EKONOMI

PENDAHULUAN

Beberapa alternatif pemikiran telah diajukan dalam rangka menciptakan kondisi pasar yang Islami serta mewujudkan misi-misi ekonomi Islam dalam pembangunan. Salah satu misi utama ajaran Islam yang tidak dapat dengan baik dilaksanakan dalam sistem pasar bebas adalah keadilan distribusi sumber daya ekonomi. Secara teoritis maupun praktikal mekanisme pasar bebas akan mengabaikan masalah distribusi ini. Pasar akan bekerja dengan mekanisme harga sehingga hanya memberikan tempat bagi masyarakat yang memiliki daya beli. Oleh karenanya, untuk memperbaiki dampak pasar terhadap distribusi maka harus ada upaya rekayasa melalui pasar (maupun non pasar) untuk mengatasi masalah ini.

Beberapa ekonom muslim telah mengusulkan suatu bentuk rekayasa terhadap pasar, misalnya pendekatan effective need based demand dan potential capacity based supply. Dengan rekayasa ini maka pasar akan menyediakan effective need saja, bukan seluruh barang dan jasa yang semata diinginkan oleh konsumen. Dalam sistem pasar bebas masyarakat miskin akan terpinggirkan karena tidak memiliki daya beli yang memadai. Karena Islam memiliki perhatian yang besar terhadap kelompok fakir miskin maka pemerintah dapat menerbitkan kupon bagi mereka sehingga dapat memasuki pasar.

Alternatif lain untuk mencapai misi-misi ekonomi Islami adalah dengan kebijakan Zero to ‘N’ Pricing, yaitu kebijakan diskriminasi harga untuk barang-barang publik dan lainnya yang dipandang penting. Misalnya, kebijakan ini diterapkan untuk barang-barang kebutuhan dasar atau yang amat dibutuhkan oleh kelompok miskin. Bab ini memaparkan berbagai bentuk rekayasa dan alternatif-alternatif pengelolaan pasar agar sesuai dengan tujuan sistem ekonomi yang Islami, terutama masalah distribusi kekayaan. Sebelum membahas berbagai bentuk rekayasa pasar ini maka pada bagian awal dibahas konsep Pareto Optimum yang menjadi pedoman efisiensi alokasi dalam ekonomi konvensional. Konsep ini ternyata menimbulkan permasalahan serius antara efisiensi dengan keadilan dalam distribusi sumber daya ekonomi.

(2)

EFISIENSI VS KEADILAN DALAM PASAR

Pasar yang bersaing secara sempurna (perfect competition market) merupakan wahana paling baik bagi transaksi barang dan jasa dalam menghasilkan harga yang adil. Selain itu, mekanisme pasar juga dapat mengatur alokasi sumber daya ekonomi dengan cara yang paling efisien. Suatu perekonomian dikatakan efisien kalau pengaturannya sedemikian rupa sehingga konsumen mendapatkan kemungkinan kombinasi barang dan jasa yang terbanyak berdasarkan sumber daya yang dimiliki (Samuelson, 1985). Efisiensi seperti ini sering disebut dengan efisiensi alokatif (allocative efficiency) atau Pareto Optimum. Kriteria efisiensi alokatif ini tepatnya dirumuskan sebagai berikut:

Efisiensi alokatif terjadi bila tidak mungkin lagi dilakukan reorganisasi produksi sedemikian rupa sehingga masing-masing pelaku pasar merasa lebih sejahtera (better off). Dalam keadaan seperti ini kesejahteraan masyarakat telah optimal, di mana kesejahteraan seseorang hanya bisa ditingkatkan dengan konsekuensi menurunkan kesejahteraan orang lain.

Bagaimana pasar bisa menghasilkan efisiensi alokatif ? Terdapat beberapa cara untuk menjelaskan hal ini, antara lain:

• Secara ringkas efisiensi ini tercapai karena pasar merupakan sarana untuk mensintesiskan: (a) kesediaan orang yang memiliki uang untuk membayar harga (Price/P) barang dan jasa yang diinginkannya (willingness to pay), (b) biaya marjinal (Marginal Cost/ MC) untuk memproduksi barang dan jasa tersebut. Karena tingkat harga bagi konsumen menunjukkan tambahan tingkat utilitas dalam mengkonsumsi barang tersebut (Marginal Utility) atau P = MU, maka pasar akan menghasilkan keseimbangan MU = MC. Dengan kata lain utilitas marjinal yang diperoleh untuk mengkonsumsi barang sama dengan biaya marjinal untuk memproduksi barang tersebut Inilah yang menjamin bahwa transaksi dalam pasar adalah paling efisien.

• Persaingan pasar memungkinkan tercapainya harga yang memberikan surplus konsumen dan surplus produsen yang paling optimal. Surplus konsumen menunjukkan keuntungan lebih yang diterima oleh konsumen karena ia memperoleh utilitas yang lebih besar dibandingkan dengan harga yang harus dibayarkannya, sedangkan surplus produsen menunjukkan keuntungan lebih yang diterima produsen karena ia mendapatkan harga lebih tinggi daripada pengorbanan yang dikeluarkannya untuk menghasilkan barang dan jasa. Fenomena ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(3)

P

P*

Q

1.

.Titik keseimbangan pasar akan terjadi ketika permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaraddim minkum (Qur’an. 4 : 29)

2. .Jika proses mencapai titik keseimbangan ini terganggu maka pemerintah harus melaku?kan intervensi

Pasar dan Surplus

Tetapi, konsepsi pareto optimum sebagai kriteria efisiensi alokatif sebenarnya tidak bisa menyelesaikan masalah besar yang lebih mendasar dalam perekonomian, yaitu keadilan alokatif (alocative justice). Keadilan alokatif menunjukkan bagaimana barang dan jasa didistribusikan kepada segenap lapisan masyarakat yang membutuhkan, sehingga seluruh masyarakat akan merasakan kesejahteraan. Jika hanya sebagian saja dari masyarakat yang dapat menikmati barang dan jasa - sementara sebagian lainnya tidak bisa – maka hal ini jelas menimbulkan ketimpangan, dan pada akhirnya akan mengusik rasa keadilan dalam masyarakat. Masalah keadilan alokatif ini muncul karena secara filosofis dan teoritik konsep Pareto Optimum sebagai kriteria efisiensi alokatif memang telah menyimpan kelemahan dalam menciptakan keadilan alokatif.

Kelemahan ini antara lain:

• Konsep ini hanya bertumpu kepada titik keseimbangan pasar saja yang mekanisme kerjanya hanya didasarkan pada kriteria biaya pada sisi produsen (yaitu P=MC) dan utilitas pada sisi konsumen (P=MU). Konsep ini tidak memperhatikan perbedaan tingkat daya beli masyarakat atau mengasumsikannya memiliki tingkat yang sama. Hanya orang yang memiliki daya beli sajalah yang dapat menikmati utilitas barang, sebab ia dapat membayar harga pasar. Asumsi ini jelas tidak realistis, sebab kenyataannya daya beli masyarakat memang berbeda-beda, ada yang kaya dan ada yang miskin. Dengan demikian pada dasarnya efisiensi alokatif hanya menunjukkan tingkat efisiensi pada masyarakat yang memiliki daya beli saja. Kriteria ini mengabaikan masalah distrbusi pendapatan dalam masyarakat

• Selain itu, juga terdapat asumsi-asumsi lain – sebagai prasyarat berlakunya Pareto Optimum dalam pasar – yang juga tidak realistis sehingga kriteria ini sesungguhnya

(4)

U1

A

B

C U2

Hasil perekonomian disebut efisien jika tidak ada orang yang bisa lebih sejahtera tanpa merugikan orang lain. Titik-titik pada garis kemungkinan utilitas di samping menggambarkan kemungkinan efisiensi tertinggi yang dapat dicapai, sementara titik B bukan posisi efisiensi yang tertinggi. Bergerak dari titik A ke C akan mempengaruhi kenaikan kepuasan orang pertama (U1). Apakah pergeseran ini dapat diterima dengan baik oleh kedua konsumen dan dipandang sebagai alokasi yang adil? Pasar akan menghasilkan tingkat efisiensi yang tertinggi, tetapi tidak menjamin keadilan. kurang operasional. Samuelson (1989,

h.132) menyebutkan antara lain: Pertama, persaingan harus benar-benar sempurna, sehingga jumlah produsen harus banyak, terdapat homogenitas barang dan jasa yang diperdagangkan, informasi dapat diperoleh dengan sempurna (simetry), dan lain-lain, Kedua, permintaan masyarakat tidak menyimpang dari utilitas yang sebenarnya, dalam pengertian: (1) masyarakat konsisten dengan preferensi konsumsinya dan (2) barang yang dikonsumsi benar-benar memberi manfaat. Jadi, teori ini jangan diterapkan pada konsumsi heroin, ganja atau barang haram lainnya; Ketiga, tidak terdapat aspek eksternalitas, baik eksternalitas negatif maupun positif. Mungkinkah asumsi-asumsi ini terdapat dalam dunia nyata secara sempurna ? Jelas tidak mudah dipenuhi, bahkan mustahil !

Gambar 17.2

(5)

PENDEKATAN ALTERNATIF TERHADAP PASAR

Sebagai implikasi adanya kelemahan mekanisme pasar dalam merealisasikan berbagai tujuan pembangunan ekonomi maka dibutuhkan suatu rekayasa terhadap pasar. Beberapa ekonom muslim telah mengajukan beberapa pendekatan alternatif untuk menciptakan suatu pasar dan perekonomian yang Islami. Pendekatan-pendekatan ini sebagian merupakan sesuatu yang telah populer dalam ekonomi konvensional namun diarahkan sesuai dengan kepentingan pasar yang Islami, sebagian lain merupakan ‘ikhtiar’ atau langkah inovatif. Sebagai sebuah konsep baru, tentu saja alternatif ini masih terbuka lebar-lebar untuk diperdebatkan. Tetapi, bagaimanapun juga alternatif-alternatif ini merupakan sesuatu yang menarik untuk didiskusikan. Pendekatan alternatif-alternatif pertama yang dipaparkan adalah apa yang disebut sebagai effective need based demand dan potential capacity based supply yang digagas oleh Mannan (1992) dan Haq (1976).

Mannan juga mengajukan konsep pemberian kupon bagi masyarakat miskin yang memiliki akar histori pada masa Islam klasik. Alternatif lain yang dipaparkan adalah Zero to ‘N’ Pricing untuk barang dan fasilitas publik yang merupakan pengembangan dari konsep diskriminasi harga. Penulis mencoba untuk memberikan penjelasan grafis yang banyak dipakai dalam ekonomi konvensional, serta memperluas cakupan diskriminasi harga ini.

Effective Need Based Demand

dan Potential Capacity Based Supply

Beberapa ekonom muslim, misalnya Haq (1976) dan Mannan (1992), telah memperkenalkan suatu konsep yang disebut Effective Need based Demand dan Potential Capacity based Supply sebagai elemen kunci mekanisme pasar Islami. Konsep ini merupakan perombakan mendasar atas konsep ekonomi konvensional, dengan sasaran utama pada perubahan konsep cakupan permintaan dan batasan kegiatan produksi. Effective Need based Demand dibentuk oleh effective need dari masyarakat, yaitu sebagian dari effective demand (sebagaimana dikenal dalam pasar konvensional ) yang diperkenankan oleh syariah Islam ditambah dengan basic need dari masyarakat miskin. Sementara itu Potential Capacity based Supply bersumber dari supply produsen sebagaimana dalam pasar konvensional ditambah dengan supply yang harus diadakan berkenaan dengan tujuan-tujuan produksi yang Islami.

Konsep permintaan dan penawaran yang baru ini dilatar belakangi oleh beberapa hal, antara lain:

Dari sisi permintaan

Sebagaimana telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya dalam buku ini, perilaku konsumsi dalam perspektif Islam membedakan dengan jelas pengertian need (kebutuhan) dan want (keinginan). Konsumsi yang Islami dilakukan untuk memenuhi need -bukan want- dengan memperhatikan prioritas-prioritas sesuai dengan tingkat kebutuhan dan norma-norma Islam. Inilah pengertian umum dari effective need, yaitu kebutuhan yang didasarkan atas prioritas yang benar. Mekanisme pasar konvensional beroperasi tidak atas dasar need dan tidak memiliki prioritas-prioritas, sebab effective demand dari pasar adalah kumpulan dari semua want konsumen berdasarkan preferensi mereka. Seorang konsumen akan mengutamakan konsumsi yang memberikan maximum utility (sebatas anggaran yang dimilikinya) sehingga effective demand tidak selalu menunjukkan effective neednya.

(6)

Gambar 17. 3

Permintaan Individual dan Permintaan Pasar

P D D’ A B C P D E D D’ Q1 Q2 Q

Dari sisi penawaran

Sebagaimana juga telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, motivasi dan tujuan dari produsen yang Islami tidak dapat disimplifikasi hanya mencari keuntungan saja. Secara umum, kegiatan produksi adalah mata rantai yang tak terpisahkan dari konsumsi sehingga produsen yang Islami bertujuan untuk menyediakan dan menemukan effective need dari konsumen. Hal ini kadang kala membawa implikasi pada perhitungan cost and profit yang tidak selalu dalam posisi keuntungan maksimum. Demi mencapai tujuannya yang lebih luas, produsen yang Islami dapat berada dalam situasi memperoleh keuntungan (maksimum ataupun tidak), impas, atau bahkan merugi. Dengan demikian maka penawaran di pasar akan didasarkan pada kapasitas produsen dalam menyediakan effective need masyarakat, bukan pada pertimbangan tujuan maksimasi keuntungan. Inilah yang dimaksud dengan Effective Capacity based Supply.

Pendekatan baru ini ternyata akan membawa perubahan pasar yang cukup mendasar bagi pasar. Size of market akan mengalami peningkatan. Dengan pendekatan ini maka volume permintaan dan penawaran pasar akan mengalami peningkatan, sebab cakupan keduanya lebih besar dibandingkan dalam pasar konvensional. Peningkatan ini pada dasarnya mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum, baik dalam kualitas maupun dalam kuantitas. Secara sederhana mekanisme ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Anggaplah dalam masyarakat terdapat 5 orang konsumen yang membutuhkan barang dan jasa, yaitu A, B, C, D dan E. Kurva permintaan masing-masing konsumen ditunjukkan dalam gambar 17.3. Di antara kelima konsumen tersebut dua di antaranya, misalnya D dan E, adalah konsumen miskin sedemikian rupa sehingga mereka tidak memiliki daya beli yang memadai. Dalam perspektif mekanisme pasar konvensional dua orang konsumen miskin ini tentu saja tidak dapat memasuki pasar, sehingga tidak memiliki pengaruh sama seklai terhadap permintaan pasar secara keseluruhan. Secara grafis kurva permintaan pasar adalah DD, yaitu penjumlahan secara horisontal dari berbagai kurva permintaan individu.

Dengan pendekatan effective need based demand maka permintaan dari dua orang konsumen miskin D dan E akan mempengaruhi permintaan pasar secara keseluruhan. Konsumen miskin ini akan mampu memasuki pasar, terutama akibat pemenuhan kebutuhan dasarnya, sehingga kurva permintaan pasarnya adalah penjumlahan secara horisontal kelima konsumen ini. Dalam gambar hal ini ditunjukkan oleh kurva D’D’ yang posisinya di sebelah kanan kurva DD. Posisi kurva permintaan pasar yang baru ini menghasilkan size of demand yang lebih besar, yaitu kuantitasnya lebih banyak sementara harganya tetap. Peningkatan daya beli kelompok miskin ini antara lain berkat adanya direct transfer zakat yang dikelola secara profesional.

(7)

Effective Market Demand

(A+B+C)Effective Need based Market Demand(A+B+C+D+E)

Dengan pendekatan effective need based demand maka permintaan konsumen D dan E diperhitungkan dalam pasar sehingga kurva permintaan pasarnya bergeser ke kanan. (dari DD menjadi D’D’)Gambar 17. 4

Penawaran Produsen Individual dan Pasar

P I J S S’ F G H P S S’ Market Supply (F+G+H)

(8)

Effective Capacity based Supply (F+G+H+I+J)

Q Q2

Q1

Dengan pendekatan effective capacity based supply produsen I dan J dapat memasuki pasar, sehingga penawaran pasar secara keseluruhan akan bergeser ke kanan (dari SS menjadi S’S’)

Analisis yang serupa dapat kita terapkan untuk sisi penawaran. Anggaplah dalam pasar terdapat lima produsen, yaitu F, G, H, I, dan J. Kurva penawaran kelima produsen ini ditunjukkan dalam gambar 17. 4. Dari kelima produsen tersebut, anggaplah dua diantaranya, yaitu I dan J, adalah produsen yang memiliki tingkat daya saing yang rendah sehingga tidak dapat memasuki pasar (akan kalah jika bersaing dengan tiga produsen lainnya). Karena podusen I dan J tidak dapat ikut bermain di pasar, maka kurva penawaran pasarnya adalah penjumlahan secara horisontal dari kurva penawaran F, G dan H yaitu SS. Dengan pendekatan potential capacity based supply maka dua produsen yang lemah daya saingnya ini akan dapat memasuki pasar, sehingga memperbesar supply size of market. Masuknya produsen I dan J akan menggeser ke kanan kurva SS menjadi S’S’. Tentu saja perlu diciptakan sebuah mekanisme yang efektif untuk menciptakan kerjasama antara produsen besar dan produsen kecil sehingga pendekatan ini dapat diwujudkan.

Pemberian Kupon Bagi Masyarakat Miskin

Pemerintah dapat menerbitkan kupon (atau semacamnya) yang berfungsi untuk membeli barang dan jasa di pasar. Pada prinsipnya kupon ini diterbitkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin sehingga dapat memasuki pasar. Dengan cara ini maka sesungguhnya tidak ada gangguan sama sekali terhadap bekerjanya mekanisme pasar yang bebas, sebab kupon akan berfungsi sebagaimana uang yang digunakan oleh masyarakat selama ini memiliki daya beli memadai. Jadi, cara ini akan dapat mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu efisiensi pasar dan distribusi pendapatan.

Secara teknis, besaran atau nilai beli kupon serta sasaran masyarakatnya dapat disesuaikan dengan kepentingan pembangunan ekonomi negara tersebut. Misalnya, pemerintah menerbitkan

(9)

kupon yang memiliki nilai penuh bagi pembelian barang dan jasa atau mungkin bernilai separuh, sehingga yang separuhnya harus dipenuhi oleh pemegang kupon. Pemerintah juga dapat menentukan kelompok sasaran dari kupon ini, apakah seluruh masyarakat miskin atau kelompok-kelompok tertentu. Kupon juga dapat dirancang untuk kebijakan yang bersifat permanen atau temporer. Kupon yang diberikan secara permanen atau rutin sama halnya memberikan gaji/tunjangan sosial kepada masyarakat penerima kupon

Penerbitan kupon ini pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatab ketika kota Medinah mengalami kenaikan harga-harga. Pada waktu itu Umar bin Khatab memerintahkan untuk mengimpor banyak barang dari Mesir untuk menambah pasokan di Medinah, sehingga tingkat harga akan turun. Tetapi, karena sedemikian rendah daya beli masyarakat, maka Umar menerbitkan semacam kupon yang dibagikan kepada masyarakat miskin.

Zero to ‘N’ Pricing untuk Barang dan Fasilitas Publik

Yang dimaksudkan kebijakan Zero to ‘N’ Pricing adalah penerapan harga yang berbeda-beda untuk sasaran konsumen serta jumlah barang dan jasa yang berbeda-beda. Dalam istilah konvensional kebijakan ini dikenal dengan kebijakan diskriminasi harga (price discrimination)1.

Dalam teori konvensional, diskriminasi harga ini biasanya dilatarbelakangi oleh 2 pertimbangan, yaitu : (a) pertimbangan sosial, misalnya discount harga tiket kereta api untuk para pelajar (sebab pelajar dianggap tidak memiliki willingness to pay yang memadai, sehingga harus dibantu), dan (b) pertimbangan keuntungan perusahaan, misalnya pembelian di atas jumlah tertentu diberikan discount khusus (untuk meningkatkan omset perusahaan, sebab konsumen akan termotivasi untuk membeli lebih banyak).

Diskriminasi harga dapat diimplementasikan jika dipenuhi 3 persyaratan dasar (O’Sulivan, 2001, p. 276), yaitu:

Market power, yaitu produsen mampu mengontrol harga pasar. Dengan demikian, kebijakan

diskriminasi harga tidak dapat diterapkan pada kondisi pasar persaingan sempurna, tetapi pada pasar monopoli atau oligopoli.

Different consumer groups, yaitu harus ada pengelompokkan konsumen yang jelas dan tegas

berdasarkan : (1) perbedaan willingness to pay, dan (2) perbedaan kepekaan terhadap perubahan harga (diukur dengan elastisitas harga-permintaan)

Resale is not possible, yaitu kosumen yang menerima diskriminasi harga tidak dimungkinkan

untuk menjual kembali barang yang dibelinya kepada pihak lain dengan harga yang berlaku umum.

Mannan (1992 b, p.215) mengusulkan diskriminasi harga ini diimplementasikan untuk kasus-kasus khusus dalam mewujudkan komitmen Islam terhadap pemerataan dan keadilan. Salah satunya adalah kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin. Sebagaimana diketahui, banyak masyarakat di negara-negara muslim yang hidup di bawah garis kemiskinan, sementara disparitas pendapatan antara kelompok kaya dan miskin juga cenderung lebar. Ia mengusulkan diterapkannya harga khusus terhadap barang dan jasa publik yang vital - seperti

1 O’Sulivan (2001, p. 276) menjelaskan bahwa diskriminasi harga merupakan praktek ketika perusahaan membagi konsumen menjadi 2 kelompok atau lebih, di mana masing-masing kelompok ini dikenakan tingkat harga yang berbeda-beda.

(10)

listrik, gas, air - bagi kelompok masyarakat miskin. Termasuk juga dalam barang ini misalnya susu bayi, obat-obatan, dan keperluan pokok lain bagi anak-anak yang kekurangan gizi. Ia menawarkan sebuah model di mana pembelian/pengkonsumsian dalam jumlah maksimum tertentu tidak dipungut biaya (gratis), sementara jika melebihi batas maksimum ini dapat dikenakan harga tertentu. Harga tertentu di sini dapat semakin dinaikkan hingga tingkat ‘N’ dengan semakin naiknya tingkat konsumsi masyarakat miskin ini. Itulah sebabnya kebijakan ini disebut zero to ‘N’ pricing.

Kebijakan seperti ini dimungkinkan, sebab dalam pandangan Islam produk-produk yang vital seperti di atas memang lebih tepat diusahakan secara monopolis sehingga produsen memiliki market power. Untuk menutup biaya produksinya produsen dapat juga mengenakan harga yang lebih tinggi kepada masyarakat yang willingness to pay-nya lebih tinggi, sehingga secara total struktur penerimaan produsen kemungkinan tidak berubah (dibandingkan dengan tidak melakukan diskriminasi harga). Kemungkinan terjadinya penjualan kembali barang-barang ini oleh masyarakat miskin sangat kecil, sebab barang-barang ini merupakan kebutuhan dasar.

Mannan (1992 a, p. 179-181) mengatakan bahwa diskriminasi harga merupakan praktek yang juga lazim ditemui di negara-negara muslim hingga saat ini. Bahkan, praktek diskriminasi negara ini juga masih dilakukan di beberapa negara maju. Ia memberikan beberapa contoh kondisi lain yang relevan dengan kebijakan diskriminasi harga secara terbatas ini, antara lain :

• Contoh 1

Anggaplah dalam suatu masyarakat yang besar terdapat suatu kelompok masyarakat miskin yang anak-anak mengalami kekurang gizi, sehingga sangat membutuhkan susu. Produsen dapat mengenakan harga yang berbeda bagi mereka, misalnya dengan cara memberikan harga yang lebih rendah bagi susu yang digunakan untuk minuman, tetapi memberikan harga yang lebih tinggi jika susu akan digunakan untuk membuat es krim atau keju yang notabene banyak dikonsumsi oleh orang kaya.

• Contoh 2

Sebuah perusahaan listrik memberikan harga yang lebih murah kepada perusahaan (pemakai listrik) yang memproduksi barang-barang kebutuhan pokok, sementara kepada perusahaan –perusahaan yang memproduksi barang-barang mewah dikenakan harga yang lebih tinggi. Perusahaan ini juga dapat menerapkan tarif yang lebih rendah bagi pemakaian di rumah tangga miskin, sementara untuk rumah tangga kaya tarifnya lebih tinggi.

• Contoh 3

Pada kebanyakan negara muslim disparitas pendapatan sangat besar, termasuk disparitas antar daerah. Diskriminasi harga dapat digunakan untuk membantu perbaikan pemerataan pendapatan antar daerah. Misalnya, sebuah perusahaan transportasi mengenai tarif yang berbeda-beda antar daerah tergantung pada keterkaitan relatif dengan tujuan pemerataan. Penggunaan jasa transportasi yang sangat terkait dengan daerah yang miskin dikenakan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah kaya.

(11)

Dalam skala yang lebih luas kebijakan ini dapat diterapkan untuk mengurangi disparitas antara negara. Misalnya, suatu bank Islam internasional meminta porsi bagi hasil yang lebih rendah dalam pembiayaan suatu proyek di negara miskin, sementara untuk negara kaya porsi ini lebih besar. Harga-harga produk import yang dikonsumsi negara miskin diberikan discount oleh negara eksportir kaya, dan lain-lain.

Diskriminasi Harga dan Keuntungan Produsen

Kebijakan diskriminasi harga dalam perspektif Islam tidak hanya didasarkan atas pertimbangan untung atau rugi dari sisi produsen atau konsumen secara individual saja, tetapi lebih karena pertimbangan komitmen Islam terhadap nilai-nilai keadilan dan pemerataan. Kalaupun memperhatikan keuntungan, tetapi perspektif keuntungannya lebih luas, yaitu keuntungan masyarakat secara luas / social economic benefit (Mannan, 1992, p. 181). Hal ini membawa implikasi bahwa tingkat keuntungan tidak akan menjadi determinan pokok dalam memutuskan kebijakan ini.

Namun demikian, hal ini tidak berarti aspek keuntungan produsen harus diabaikan. Pertimbangan untung rugi tetap juga harus diperhatikan, sebab ia merupakan salah satu tujuan dari produsen yang diperkenankan oleh agama Islam. Mengabaikan keuntungan produsen berarti mendzalimi salah satu pelaku ekonomi (yaitu produsen), padahal Islam bertujuan menegakkan keadilan bagi semuanya. Apakah diskriminasi harga dalam kasus-kasus di atas akan selalu merugikan produsen ? Tentu saja tidak, bahkan kemungkinan produsen akan memperoleh keuntungan total yang lebih besar dibandingkan dengan tidak menerapkan kebijakan diskriminasi harga. Berikut ini diberikan ilustrasi kuantitatif dan grafis yang diadaptasi dari O’Sulivan (2001, p. 276-279) dengan penyesuaian pada kasus ekonomi Islam.

Anggaplah sebuah perusahaan air minum, misalnya PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), yang memiliki konsumen dari dua segmen yang berbeda, yaitu konsumen miskin dan konsumen kaya. Kurva permintaan kedua kelompok konsumen tersebut disajikan dalam gambar 17.5. Kurva permintaan konsumen miskin lebih rendah daripada konsumen kaya, karena dapat diasumsikan bahwa konsumen miskin memiliki willingness to pay yang lebih rendah dibandingkan dengan konsumen kaya.

Apa yang terjadi jika perusahaan ini hanya mengenakan harga tunggal bagi konsumennya, artinya kosumen miskin dikenakan harga yang sama dengan konsumen kaya ? Anggaplah tingkat harga yang paling menguntungkan adalah Rp 5 per liter, sehingga jika biaya rata-rata (avarage cost) untuk menghasilkan satu liter air adalah Rp 1 maka keuntungan yang akan diperoleh adalah Rp 4 per liternya. Pada tingkat harga Rp 5 ini perusahaan akan menjual 100 liter untuk konsumen miskin (titik s) dan 300 liter untuk konsumen kaya (titik n). Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 17.1, perusahaan akan memperoleh keuntungan total sebesar Rp 400 dari penjualannya kepada konsumen miskin (keuntungan Rp 4 X 100 liter) dan Rp 1.200 dari konsumen kaya (keuntungan Rp 4 X 300 liter).

Dengan menerapkan kebijakan diskriminasi harga maka perusahaan akan mengenakan harga yang berbeda, yaitu tingkat harga yang lebih rendah bagi konsumen miskin. Kurva (a) menunjukkan bagaimana penerapan harga diskriminatif ini pada konsumen miskin. Dengan menerapkan prinsip keuntungan maksimum, yaitu marginal cost sama dengan marginal revenue (MC = MR), maka

(12)

terlihat bahwa posisi yang paling menguntungkan adalah pada titik e. Pada titik e ini harga yang diberikan adalah Rp 3 dan jumlah penjualannya sebanyak 280 liter. Dengan harga baru ini tingkat keuntungan per liternya menurun menjadi Rp 2 (harga Rp 3 - avarage cost Rp 1)., sehingga keuntungan totalnya adalah Rp 560 ( keuntungan Rp 2 X 280 liter ). Dari ilustrasi ini nampak bahwa keuntungan total yang diperoleh dalam penjualan kepada konsumen miskin meningkat dari Rp 400 menjadi Rp 560.

Dengan menggunakan prinsip yang sama kita dapat memperkirakan keuntungan dalam penjualan kepada konsumen kaya. Pada kurva (b) nampak bahwa posisi yang paling menguntungkan adalah pada titik c, di mana harga barunya adalah Rp 6 dan jumlah penjualannya 260 liter. Tingkat keuntungan per liternya adalah Rp 5 (harga Rp 6 – avarage cost Rp 1), sehingga lebih tinggi daripada tanpa diskriminasi harga. Secara keseluruhan keuntungan yang diperoleh akan meningkat dari Rp 1.200 menjadi Rp 1.300 (keuntungan Rp 5 X 260 liter). Jika keuntungan total dari penjualan kepada kedua kelompok konsumen ini dijumlahkan maka nampak bahwa keuntungan yang diperoleh dengan harga diskriminatif lebih besar daripada harga tunggal, yaitu naik dari Rp 1.600 menjadi Rp 1.860.

(13)

Gambar 17.5

Diskriminasi Harga antara Konsumen Miskin dan Kaya

Rp Rp f 6 5 S 5 n 3 d e Marginal Cost = c 1 1 Avarage Cost 100 280 Liter 260 300 Liter

(a) Konsumen Miskin (b) Konsumen Kaya

Permintaan B

Marginal Revenue

Marginal Revenue

Permintaan A

Perusahaan yang mengenakan harga tunggal Rp 5 per liter akan mencapai titik keseimbangan s (100 konsumen) untuk konsumen miskin dan n untuk konsumen kaya (300 konsumen). Jika perusahaan menerapkan diskriminasi harga, yaitu Rp 3 per liter (280 konsumen) untuk konsumen miskin dan Rp 6 per liter (300 konsumen) untuk konsumen kaya, maka titik keseimbangan masing-masing berubah menjadi d dan f. Akibat diskriminasi harga ini keuntungan total perusahaan justru mengalami kenaikan.

Tabel 17. 1

Diskriminasi Harga Meningkatkan Keuntungan Total

Harga Tunggal Diskriminasi Harga Kons.Miskin Kons.Kaya Kons.Miskin Kons.Kaya

Harga Rp 5, - Rp 5, - Rp 3, - Rp 6,

-Avarage Cost/liter Rp 1, - Rp 1, - Rp 1, - Rp 1, -Keuntungan /liter Rp 4, - Rp 4, - Rp 2, - Rp 5, -Jumlah Konsumsi 100 liter 300 liter 280 liter 260 liter

Keuntungan Rp 400, - Rp 1.200, - Rp 560, - Rp 1.300,

-Keuntungan total Rp 1.600, - Rp 1.860,

-Diskriminasi Harga dan Elastisitas Harga Permintaan

Peningkatan keuntungan akibat diskriminasi harga juga dapat dijelaskan menggunakan konsep elastisitas harga permintaan atau sering disebut elastisitas permintaan saja. Sebagaimana

(14)

diketahui, elastisitas permintaan mengukur tingkat kepekaan (responsiveness) jumlah permintaan konsumen akibat perubahan harga. Semakin elastis suatu kurva permintaan maka perubahan harga akan semakin mempengaruhi jumlah yang diminta, sebaliknya semakin tidak elastis (inelastis) maka perubahan harga semakin tidak mempengaruhi jumlah yang diminta. Kurva permintaan konsumen miskin terhadap air di atas cenderung elastis, sehingga penurunan harga yang sedikit akan meningkatkan jumlah barang yang diminta dengan lebih banyak. Sifat elastis kurva permintaan konsumen miskin ini disebabkan karena) konsumen miskin memiliki pendapatan yang rendah, tentu saja juga willingness to pay-nya. Sebaliknya, kurva permintaan untuk konsumen kaya bersifat inelastis, sebab mereka memiliki pendapatan yang lebih tinggi Apakah implikasi elastisitas terhadap keuntungan?

Kenaikan harga pada kosumen kaya tidak akan begitu mengurangi jumlah barang yang dimintanya, karena sifat inelastis ini. Dengan demikian, kenaikan harga ini tidak akan menimbulkan kekhawatiran turunnya penerimaan total (total revenue) perusahaan, bahkan kemungkinan justru naik. Semakin inelastis kurva permintaan ini maka semakin besar peluang perusahaan untuk mendapatkan total revenue yang lebih tinggi dari kebijakan menaikkan harga bagi konsumen kaya. Sebaliknya, karena kurva permintaan konsumen miskin bersifat elastis maka penurunan harga akan meningkatkan permintaan dengan proporsi yang lebih besar. Semakin elastis kurva ini maka kebijakan penurunan harga akan memberikan total revenue yang semakin besar bagi perusahaan. Elastisitas Effective Need based Demand dan Potential Capacity based Supply

Dalam ilmu ekonomi konvensional salah satu alat analisis utama untuk mengetahui perilaku permintaan konsumen dan penawaran produsen adalah elastisitas harga, baik elastisitas harga-permintaan maupun elastisitas harga-penawaran2. Elastisitas harga ini menunjukkan seberapa besar

pengaruh kenaikan atau penurunan harga barang terhadap perubahan jumlah permintaan atau penawaran barang tersebut. Penggunaan elastisitas harga ini tentu saja dapat dipahami, sebab harga memang sangat berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang dicapai oleh produsen, sementara tujuan produsen adalah maksimasi tingkat keuntungan. Dalam konsep Effective Need based Demand dan Potential Capacity based Supply penggunaan alat analisis elastisitas harga tidaklah memadai, meskipun tetap ada manfaatnya. Karena harga bukan merupakan determinan yang paling utama bagi perilaku permintaan konsumen dan penawaran produsen, maka elastisitas harga tidak akan memberikan informasi yang memadai dalam menjelaskan perilaku mereka.

Menurut Manan (1992, p. 210-211), karena terdapat banyak faktor di luar harga yang lebih

2 Seringkali diduga bahwa permintaan untuk barang-barang kemewahan bersifat elastis, sementara permintaan untuk barang-barang kebutuhan pokok bersifat in-elastis. Namun, dalam dunia empiris implementasi konsep elastisitas harga sebenarnya cukup rumit. Lipsey (1975, p.108) mengatakan : “ dalam semua studi yang telah dibuat menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan yang dapat diamati terhadap barang-barang untuk diklasifikasikan dalam 2 kelompok saja, yaitu yang memiliki elastisitas sangat rendah dan lainnya memiliki elastisitas sangat tinggi. Nampaknya elastisitas ini lebih cocok diklasifikasikan menjadi : sebagian sangat rendah, sebagian sangat tinggi, dan sebagian lagi pada kisaran keduanya. Lebih jauh, elastisitas sebenarnya tergantung luas dan sempitnya suatu barang didefinisikan. Tentu saja benar bahwa makanan dan shelter sangatlah diperlukan, dalam arti orang tidak dapat hidup tanpa sejumlah minimum tersedianya barang-barang itu, dan mungkin juga benar bahwa secara keseluruhan makan memiliki permintaan yang in-elastis. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa setiap makanan –misalnya roti dan jagung- adalah sama perlunya bagi setiap orang. Karenanya, tidak ada suatu alasan untuk percaya bahwa jumlah suatu makanan tertentu yang diminta tidak dapat dan akan turun tajam karena kenaikan harganya”.

(15)

dominan dalam mempengaruhi permintaan konsumen maka penggunaan konsep elastisitas pendapatan-permintaan adalah lebih relevan. Elastisitas ini menunjukkan seberapa pengaruh penurunan atau kenaikan tingkat pendapatan terhadap perubahan jumlah permintaan barang. Penggunaan elastisitas pendapatan ini lebih dapat menjelaskan perilaku permintaan masyarakat muslim, sebab pendapatan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi perilaku konsumsi. Seorang muslim mengkonsumsi barang atau jasa ditujukan untuk memaksimumkan manfaat (maslahah) sebatas pendapatan yang dimiliki. Semakin tinggi pendapatan yang dimilikinya semakin tinggi pula kemungkinan maslahah yang dapat dicapainya sehingga permintaan terhadap suatu barang atau jasa akan menaik, demikian pula sebaliknya. Harga tidak akan menjadi determinan permintaan yang penting sepanjang barang tersebut tidak memberikan dampak terhadap maslahah yang diperoleh. Dengan demikian tingkat pendapatan akan menjadi penentu yang penting dalam realokasi dan pengendalian sumber daya ekonomi.

Sebenarnya penggunaan elastisitas pendapatan untuk menjelaskan perilaku permintaan konsumen di negara-negara Barat juga lebih memadai dibandingkan dengan elastisitas harga. Perubahan permintaan yang disebabkan oleh perubahan tingkat pendapatan merupakan salah satu penyebab utama realokasi sumber daya ekonomi di Barat. Hasil pengamatan empiris menunjukkan bahwa di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya permintaan terhadap barang-barang tahan lama (durable goods) –seperti : mobil, mesin cuci, dan televisi - .meningkat lebih cepat sejalan dengan menaikknya tingkat pendapatan, sementara di Amerika Serikat permintaan terhadap jasa-jasa meningkat lebih cepat lagi (Mannan, 1992, p. 211).

Akan tetapi, perbedaan antara ekonomi pasar di Barat dan Islam adalah pada arah alokasi sumber daya ekonomi dan orientasi tujuannya, sebab keduanya didasarkan pada landasan nilai yang berbeda.

(16)

Gambar 17. 7

Elastisitas Pendapatan yang didasarkan pada konsep Need based Demand

Persentase perubahan jumlah yang diminta

Kurva Income Inelastic Need based Demand

Persentase perubahan pendapatan

Kurva Income Elastic Need based Demand

Y

dY

Q

dQ

En

/

/

=

Secara matematis elastisitas pendapatan need based demand ini dapat diformulasikan sebagai berikut :

Di mana:

En = elastisitas pendapatan need based demand dQ/Q = persentase perubahan barang yang dibutuhkan dY/Y = persentase perubahan tingkat pendapatan

RANGKUMAN

• Pareto optimum sebagai kriteria efisiensi alokatif tidak bisa menyelesaikan satu masalah besar yang lebih mendasar, yaitu keadilan alokatif. Keadilan alokatif menunjukkan bagaimana barang dan jasa didistribusikan kepada segenap lapisan masyarakat yang membutuhkan, sehingga seluruh masyarakat akan merasakan kesejahteraan. Secara filosofis dan teoritik konsep optimum pareto telah menyimpan kelemahan dalam menciptakan keadilan alokatif. Kelemahan ini antara lain: (1) tidak memperhatikan perbedaan tingkat daya beli masyarakat, dan (2) asumsi-asumsi lain –sebagai prasyarat berlakunya pareto optimum dalam pasar – yang juga tidak realistis. sehingga tidak operasional.

• Beberapa pendekatan alternatif diajukan untuk menciptakan suatu pasar dan perekonomian yang Islami. Pendekatan ini antara lain Effective Need based Demand dan Potential Capacity based Supply yang merupakan perombakan mendasar atas konsep ekonomi konvensional, dengan sasaran utama pada perubahan konsep cakupan permintaan dan batasan kegiatan produksi. Effective need based demand dibentuk oleh effective need dari

(17)

masyarakat, yaitu sebagian dari effective demand (sebagaimana dikenal dalam pasar konvensional ) yang diperkenankan oleh syariah Islam ditambah dengan basic need dari masyarakat miskin. Sementara itu potential capacity based supply bersumber dari supply produsen sebagaimana dalam pasar konvensional ditambah dengan supply yang harus diadakan berkenaan dengan tujuan-tujuan produksi yang Islami.

• Pemerintah juga dapat menerbitkan kupon (atau semacamnya) yang berfungsi untuk membeli barang dan jasa di pasar. Kupon tidak menggangu bekerjanya mekanisme pasar yang bebas, sebab kupon berfungsi sebagaimana uang. Cara ini akan dapat mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu efisiensi pasar tetap terjaga dan distribusi pendapatan yang lebih merata. Penerbitan kupon ini pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatab ketika kota Medinah mengalami kenaikan harga-harga.

Kebijakan zero to ‘N’ pricing adalah penerapan kebijakan diskriminasi harga (price discrimination) yang ditujukan untuk berbagai keperluan yang menjadi tujuan ekonomi Islami. Misalnya, diskriminasi harga untuk barang-barang yang merupakan kebutuhan dasar, kebutuhan orang miskin, barang-barang yang strategis bagi perbaikan akhlak masyarakat, dan lain-lain. Tentu saja implementasi diskriminasi harga ini setidaknya harus mempertimbangkan dua faktor sekaligus, yaitu (1) kepentingan sosial dan (2) kepentingan perusahaan.

KONSEP PENTING

Efisiensi alokatif Kupon Bagi Masyarakat Miskin

Optimum Pareto Zero to ‘N’ Pricing

Keadilan alokatif Price discrimination

Effective Need based Demand Social benefit

Referensi

Dokumen terkait

In the c ase of the Dutch East Indies, the majority of those who were classified as ‘European’ in a legal sense were ethnically Indo-European; and by the late colonial period

pembelajaran Creative Problem Solving dalam menyelesaikan soal cerita pada siswa kelas 5 SDN Blaru 02 Kabupaten Pati Semester I Tahun Pelajaran 2016/2017. Meningkatkan

Rumitnya penyelenggaraan pemerintahan di era otonomi adalah minimnya instrumen pendudkung hubungan fungsional antara pusat dan daerah , kesulitan dan hambatan manajemen ini

Dari latar belakang yang telah dibahas, maka rumusan permasalahan yang akan diangkat pada makalah ini adalah apa saja aktifitas masyarakat Kota Surabaya di Taman

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel debu yang terdiri dari debu gorden dan debu lantai dan karpet yang diambil dari musholla SMA/SMK Negeri di kota Palembang

Perlu dilakukan kajian lebih mendalam untuk membentuk agregat dari LKP sehingga menghasilkan kekuatan tekan yang maksimum namun mempunyai berat yang minimum, sehingga

keterampilannya sehingga layanan yang diberikan kepada peserta didik adalah layanan yang semakin berkualitas. Tugas seorang guru yang profesional tidak hanya dituntut untuk

memasuki tahap skema bila mana siswa mampu mengikuti tahap objek. Siswa berkemampuan rendah mampu melampaui 3 indikator