• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA MUBADALAH HADIS FITNAH PEREMPUAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP RELASI GENDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA MUBADALAH HADIS FITNAH PEREMPUAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP RELASI GENDER"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

78 | Faisal Haitomi & Maula Sari: Analisa Mubadalah Hadist....

ANALISA MUBADALAH HADIS “FITNAH PEREMPUAN”

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP RELASI GENDER

Faisal Haitomi, Maula Sari

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Email: faisalhaitomi@gmail.com

__________________________________________________________________________________________

Abstract: One of the problems that have always been discussed up to now is gender and issues

regarding the inequality of relations between women and men. Apart from the Qur'an, Hadith is also accused of being a contributor to discriminating against women. The understanding of the ulama also seems taken for granted in justifying a form of discrimination, so that the relationship between men and women is unequal. This research aims to explore religious texts that focus on the hadiths which can provide a balanced and neutral interpretation that does not side to one party either man or women. This study uses the mubadalah approach as a tool of analysis. This research concludes that the hadith regarding “women's slander” can not legalize to discriminate women, but further than that the text suggests both men and women to aware of each other from all possible slander (charm) that both of them could evoke.

Keywords: Gender Relations, Slander, Mubadalah.

Abstrak: Masalah yang selalu dibahas hingga kini ialah gender dan isu-isu mengenai

ketimpangan hubungan antara perempuan dan laki-laki. Selain al-Qur’an, Hadis juga dituduh sebagai penyumbang dalam mendiskriminasi perempuan. Pemahaman para ulama juga terkesan

takenforgranted dalam membenarkan sebuah bentuk diskriminasi, sehingga hubungan antara

lelaki dan perempuan menjadi tidak stabil satu sama lain. Dalam penelitian ini bertujuan untuk memahami teks agama dan fokus pada hadis yang dapat menjadi sebuah tawaran interpretasi yang seimbang dan tidak membela salah satu pihak. Penelitian ini memakai pendekatan

mubadalah sebagai sebuah pisau analisis. Kesimpulan dari penelitian ini ialah hadis mengenai

“fitnah perempuan” bukanlah suatu hal yang dapat melegalkan dalam mendeksriminasi dengan memakai stereotip kepada salah satunya. Tetapi lebih jauh dari itu teks tersebut menganjurkan baik kepada laki- laki dan perempuan untuk saling mawas diri dari segala kemungkinan fitnah (pesona) yang bisa ditimbulkan oleh keduanya.

Kata Kunci: Relasi Gender, Fitnah, Mubadalah.

__________________________________________________________________________________________

Pendahuluan

Telah menjadi pandangan umum masyarakat muslim bahwa Hadis merupakan sumber hukum kedua yang paling otoritatif di dalam Islam. Ketika Nabi masih hidup masyarakat muslim tidak terlalu banyak mangalami kendala dalam memahami hadis-hadis Nabi, karena mereka bisa langsung bertanya terhadap teks-teks yang tidak dipahami kepada sang penutur teks tersebut. setelah wafatnya sang penutur teks tersebut, masyarakat harus berjibaku dalam memahami maksud dari narasi tersebut, dalam rangka merespon globalisasi zaman yang semakin hari semakin berkembang. Para ulama pun menyadari akan hal tersebut dan oleh karenanya mereka mengistilahkannya dengan sebutan al-nushush al-mutanahiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai teks-teks yang terhenti. Penamaan seperti ini tidaklah salah, karena setelah wafatnya Nabi Muhammad baik al-Qur’an maupun hadis telah

(2)

berhenti turun dan hanya ditulis dan dilestarikan. Dalam konteks inilah berbagai macam teori ditawarkan oleh ulama dalam rangka menyelesaikan realitas yang terus berkembang dengan teks yang telah terhenti.

Gender serta paradigma dikotomis antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu bentuk kompleksitas permasalahan yang ada. Cara pandang serta distingsi kelamin antara keduanya berimbas terhadap ketimpangan relasi antara keduanya yang secara notabene menguntungkan satu pihak di atas pihak yang lain. dalam hal ini pemarginalan serta segala bentuk streotip terhadap perempuan lahir dari cara pandangan yang dikotomis. Terlebih lagi jika ditelusuri lebih jauh maka akan dapat dilihat bahwa agama diduga menjadi garda terdepan dalam melanggengkan system seperti ini. Interpretasi-interpretasi atas teks agama yang bias dan hanya memperhatikan pengalaman laki-laki pada akhirnya menuntut kepada anggapan bahwa perempuan memang diciptakan sebagai makhluk nomor dua.

Salah satu teks agama yang terkesan mendiskriminasi bahkan bisa dikatakan misogini adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari di dalam kitabnya terkait dengan perempuan merupakan fitnah terbesar bagi kaum laki-laki. Hadis oleh mayoritas ulama dipahami secara literal bahwa dalam pandangan agama perempuan dijadikan penggoda terbesar bagi laki-laki serta dapat menjerumuskan ke dalam keburukan, tanpa melihat sebaliknya bahwa laki-laki juga memiliki kemungkinan besar menjerumuskan lawan jenisnya ke dalam keburukan.

Oleh karenanya tulisan ini hadir menawarkan perspektif baru dalam memahami teks yang secara zahir terkesan bias dan menguntungkan satu pihak atas pihak yang lain. Penulis sangat menyadari bahwa ada banyak penelitian terkait teks hadis misogini dalam perspekif gender. Namun sejauh penelusuran penulis riset-riset sebelumnya lebih banyak bergelut dalam ranah pembantahan terhadap eksistensi teks yang terkesan misogini. Selain itu, pengujian kualitas serta otentitas hadis yang dianggap misogini juga menjadi topik yang banyak didiskusikan. Di sinilah penelitian ini menemukan momentumnya, yakni dalam rangka mengisi kekosongan riset yang ada serta menjembatani antara kelompok literal tekstual dan kelompok liberal, sehingga dari penelitian ini diharapkan lahir sebuah interpretasi yang berimbang dan proporsional bagi kedua jenis kelamin baik laki-laki maupun bagi perempuan.

Metode

Qira’ah Mubadalah adalah sebuah teori yang digunakan untuk memahami teks-teks agama dalam bingkai kesalingan. Teori ini pertama kali digagas oleh Faqihuddin Abdul Kodir, aktivis gender dan sekaligus dosen di program studi ilmu al- Qur’an dan tafsir IAIN Cirebon. Term mubadalah jika ditelusuri lebih jauh, akan ditemukan bahwa ia merupakan bentuk mashdar dari akar kata ba-da-la yang secara etimologi diartikan oleh mayoritas ulama sebagai mengganti. Ibnu Manzur di dalam kamusnya Lisan al- Arab menerjemahkan term mubadalah sebagai sesuatu yang timbal balik.1 Dalam menganalisa sebuah teks agama menggunakan perspektif mubadalah, setidaknya ada tiga langkah yang harus dipenuhi. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: pertama, penegasan terhadap teks- teks agama (al-Qur’an dan

1 Abi Fadl Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur al- Afriqi al- Mishri, Lisan al- Arab (Beirut: Dar al- Sader, t.t.). Vol 11,48.

(3)

80 | Faisal Haitomi & Maula Sari: Analisa Mubadalah Hadist....

hadis) yang bersifat umum atau universal sebagai basis dasar pemaknaan terhadap teks yang dijadikan fokus di dalam riset ini. Penting untuk ditegaskan bahwa teks universal yang dimaksudkan di sini merujuk kepada teks yang tidak berafiliasi kepada salah satu jenis kelamin.2

Dalam pengertian sederhana, teks yang netral dari membedakan laki-laki dan perempuan, oleh kebanyakan golongan juga dilabeli sebagai teks prinsip. Disisi lain, teks universal juga termasuk di dalamnya teks yang berbicara tentang kebaikan dengan menebarkan kemaslahatan diganjar oleh Islam. Menurut Nasarudin Umar, ada lima prinsip kesetaraan yang harus dipertimbangkan dalam memaknai setiap teks yang terkesan bias. Pertama, Tuhan memandang manusia semuanya sama tanpa ada pengkotakan jenis kelamin. Kedua, manusia sama - sama diberikan mandat yang sama untuk mengatur bumi , dan ketiga sebelum dilahirkan ke dunia, manusia (laki- laki dan perempuan) sama- sama menerima perjanjian dari Tuhan .3

Langkah kedua dari kerja mubadalah adalah menemukan pesan utama yang di dalam bahasa Fazlur Rahman disebut sebagai ideal moral dari suatu teks.4 Secara sederhana untuk

menemukan pesan utama atau ideal moral dari teks, subjek dan objek yang ada di dalam teks dihilangkan, untuk kemudian predikatnya diambil untuk ditarik pemaknaan secara mubadalah. Peneliti juga bisa mengaitkankan pemaknaan tersebut dengan konsep-konsep yang telah mapan di dalam ushul fiqh seperti Maqashid al- Syari’ah, istihsan dan lain sebagainya untuk mendapatkan hasil yang lebih valid. Langkah ketiga adalah menurunkan maghza (pesan utama) teks untuk kemudian dimaknai dengan memasukkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang diajak bicara oleh teks. Dari usaha interpretasi seperti ini diharapkan tidak ada lagi pengkotakan manusia sesuai jenis kelamin baik dalam ranah domestik terutama di ranah publik.5 Karena pada prinsipnya semua manusia sama dan yang membedakan antara satu dengan yang lain adalah ketaqwaannya masing-masing.

Bentuk Relasi Gender Pra dan Pasca Islam

Di dalam Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun membagi masyarakat Arab secara teritorial kepada dua bagian yaitu masyarakat perkotaan (ahl al-hadarah) dan masyarakat pedesaan (ahl

al-badawi). Masyarakat kota diidentifikasi sebagai masyarakat yang secara finansial dianggap

telah mapan dan mampu sehingga mayoritas dari masyarakat Arab kota memiliki profesi sebagai pedagang. Sedangkan masyarakat pedesaan cenderung memilih tempat tinggal di pedalaman dengan menjadikan cocok tanam dan beternak sebagai mata pencarian. Bukan tanpa alasan pula mengapa masyarakat pedesaan di Jazirah Arab memilih tinggal di pedalaman, ini

2Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender dalam Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019). 200.

3Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: PARAMADINA, 2001). 248- 263.

4Abdul Kodir, Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender dalam Islam. 225. Lihat juga Faqihuddin Abdul Kodir, “Mafhum Mubadalah: Ikhtiar Memahami Qur’an Dan Hadits Untuk Meneguhkan Keadilan Resiprokal Islam Dalam Isu-Isu Gender,” Jurnal Islam Indonesia 6, no. 02 (2016), http://jurnal-islam-indonesia.isif.ac.id/index.php/Jurnal-Islam-Indonesia/article/view/28.

(4)

disebabkan mereka membutuhkan lahan yang luas sebagai tempat untuk bercocok tanam dan beternak.6

Telah jamak diketahui bahwa sebelum datangnya Islam ke Jazirah Arab, wilayah ini dikenal dengan sebutan jahiliyah yang secara etimologi berarti bodoh. Namun, menurut Syachrofi kata Jahiliyah yang disematkan kepada masyarakat arab pra Islam bukanlah suatu kata yang berkonotasi negatif karena mengingat masyarakatnya yang memiliki peradaban yang tinggi dan tidak terbelakang di dalam hal ilmu pengetahuan. oleh karenanya meminjam istilah yang digunakan oleh Philip K. Hitti sebagaimana yang dikutip oleh Syachrofi7 bahwa jahiliyah disini dimaksudkan untuk menunjukkan keadaan dimana masyarakatnya yang tidak mempunyai tatanan hukum yang jelas, nabi dan kitab suci. Sehingga hukum yang berjalan tidak ubah seperti hukum rimba siapa yang kuat dia yang berkuasa dan dapat hidup dengan baik, sebaliknya siapa yang lemah maka ia akan tertindas.

Kecerdasan masyarakat Arab jahiliyah juga diakui pula oleh Muhammad Quraish Shihab. Di dalam salah satu bukunya dengan tegas ia menjelaskan bahwa masyarakat jahiliyah Arab adalah masyarakat yang berpengetahuan, hanya saja beberapa kebiasaan dan kebudayaan yang mereka terapkan jauh dari kata pri kemanusiaan dan kebenaran. Hal tersebut setidaknya dapat di lihat kebelakang terkait kebiasaan masyarakatnya yang dengan mudah bergonta-ganti istri, karena pada masa ini perempuan dianggap sebagai barang dagangan, dijual ketika masih bagus dan dibuang ketika sudah rusak.8 Selain itu praktek mengubur anak perempuan, menjadikan manusia sebagai alat dagangan dan lain sebagainya merupakan dari sekian banyak bentuk budaya dan kebiasaan masyarakatnya yang bobrok.

Keadaan seperti yang penulis paparkan di atas tidak hanya terjadi diwilayah jazirah arab saja melainkan hampir merata diseluruh wilayah seperti Imperium Romawi yang terletak di Timur, Kerajaan Sassania di Iran, India, bahkan Eropa. Abdul Hasan an-Nadwi ketika menjelaskan kondisi di beberapa wilayah tersebut menegaskan bahwa kebiasaan seperti perbudakan, kekerasan, eksploitasi seksual adalah hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat pada zamannya.9 Misalnya pemerintahan Imperium Romawi yang terletak di bagian Timur pada abad ke VI M digambarkan oleh Abdul Hasan sebagai suatu kekuasaan yang kacau. Perbudakan, kekerasan serta pembunuhan menjadi sesuatu yang dianggap indah oleh masyarakatnya. Perempuan disemua tempat tidak pernah dianggap dan selalu disamakan dengan hewan.

Masyarakat jazirah Arab terutama daerah Timur Tengah ketika masa itu menganut sistem patriarkhi. Patriarkhi adalah sebutan bagi sebuah sistem dimana laki- laki mempunyai hak priorigatif atas segala keputusan dalam segala bidang mulai dari sistem yang terkecil seperti keluarga sampai kepada sistem yang luas seperti pemerintahan. Begitu juga dengan nama- nama

6Ibnu Khaldun terj. Masturi Irham dkk, Muqaddimah, Cet. X (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2019). 174- 175.

7Muhammad Syachrofi, “Hadis- Hadis Diskriminasi Agama dan Implikasinya Terhadap Kerukunan Umat Beragama (Kajian Hermeneutika Hadis)” (Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2019). 40.

8Muhammad Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadis- Hadis Shahih (Jakarta: Lentera Hati, 2012). 75.

9Abdul Hasan ’Ali Hasan An- Nadwi, Sirah Nabawiyyah: Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw (Yogyakarta: Darul Manar, 2011). 15- 24.

(5)

82 | Faisal Haitomi & Maula Sari: Analisa Mubadalah Hadist....

anak dalam keluarga bangsa Arab yang selalu dinisbatkan kepada suami atau ayah dalam keluarga tersebut. Keikutsertaan perempuan hanya menjadi anggota keluarga, karena segala aktifitas perempuan sangat dibatasi dan terhalang oleh sistem yang telah disepakati yakni patriarkhi. Hal ini juga dikuatkan oleh keterangan yang diberikan oleh Hisyam Sharabi bahwa pemarginalan perempuan disebabkan oleh sistem patriarkhi yang sangat kuat serta mengharuskan mereka membatasi kegiatan baik di dalam maupun diluar rumah.10

Syarah Ulama Terkait Hadis “Fitnah Perempuan”

Secara spesifik hadis yang dimaksud di dalam paper ini memiliki redaksi sebagai berikut:

َي ضر ٍديز نب

ًةماسُأ نع َّي دهَّنلا نامثع ابأ ُتعمس :لاق ِّي ِمْيَّتلا ناميلس نع ُةبعش انثّدح َمدا اَنَث َّدَح

نم لاجِّرلا ىلع َّرضأ

ًةنْتِف ْيدعب ُتْكَرَت َام " :لاق مَّلسو هيلع الله ىّلص ِ ّيبّنلا نع امهنع الله

"ءاسِ

ّنلا

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami

Syu’bah dari Sulaiman al-Taimi ia berkata: aku mendengar Abu Usman al-Nahdi dari Usamah bin Zaid mudah-mudahan Allah meridhai keduanya dari Nabi Muhammad saw ia bersabda: “ tidak ada fitnah yang paling bahaya yang aku tinggal kepada laki- laki selain perempuan. ( HR. Bukhari ).

Redaksi hadis di atas jika ditelusuri lebih jauh maka akan terlihat bahwa hadis yang sama tidak hanya di tulis oleh imam Bukhari saja, tetapi juga tercantum dalam berbagai kitab koleksi hadis lain. Beberapa koleksi yang memuat hadis di atas adalah di antaranya Sunan Ibnu Majah yang di tahqiq oleh al-Arnauth,11 Sunan Kubra al- Baihaqi,12 Sunan Kubra al-Nasa’i,13 Sahih Ibnu Hibban,14 Musnad imam Ahmad bin Hanbal, Mu’jam Ibnu ‘Asyakir serta beberapa kitab lainnya yang tidak penulis sebutkan satu persatu di dalam paper ini. Dilihat dari segi kualitas, hadis ini sebenarnya digolongkan kedalam kategori hadis dhaif karena Usamah bin Zaid yang menjadi rawi pertama di dalam hadis tersebut oleh para kritikus hadis dipandang sebagai perawi yang lemah. Abdullah bin Ahmad misalnya pernah mendengar dari bapaknya bahwa Usamah bin Zaid disebut sebagai orang yang tidak kuat hafalannya dalam meriwayatkan hadis. Selain itu Juzjani menilainya sebagai orang yang paling lemah (al- dhu’afa) di dalam meriwayatkan hadis,15 Abu Hatim menilai Usamah bin Zaid banyak meriwayatkan hadis namun tidak satupun dari hadisnya yang bisa dijadikan hujjah, serta Abu Yusuf al- Qalusi juga menilai Usamah sebagai perawi yang tidak kuat hafalannya.16

10Hisyam Sharabi, Noepartiarchy A Theory of Distorted Change in Arab Society (New York, Oxford: Oxford University Press, 1988). 26.

11Abi Abdillah ibn Muhammad ibn Yazid ibn Majah al- Qazwaini, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al- Risalah al- ’Alamiyah, 2009).Vol 5, 135.

12Ahmad ibn Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al- Baihaqi, Sunan al- Kubra (Beirut- Lebanon: Dar Kitab al- Alamiyah, 2003).Vol 7, 147.

13Abu Abdul Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali Al- Khurasani an- Nasa’i, Sunan al- Kubra an- Nasa’i (Beirut: Muassasah al- Risalah, 2001).Vol 8, 255.

14Ahmad bin Hibban bin Muadz bin Ma’bad Al- Tamimi, Al-Ihsan fi Taqrib Sahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasah al- Risalah, 1988).Vol 13, 306.

15Yusuf bin Abdul Rahman bin Yusuf Abu Hajjaj Jamaluddin Abu al- Zaki al-Mizzi, Tahzib al- Kamal Fi Asma’ al- Rijal (Beirut: Muassasah al- Risalah, 1980).Vol 1, 323.

(6)

Meskipun hadis ini dikategorikan ke dalam hadis yang dha’if (lemah) karena salah satu perawinya dinilai banyak memiliki kecacatan dalam pandangan kritikus hadis, hadis ini mempunyai banyak sekali tabi’ dan Syahid sehingga dalam diskursus hadis, statusnya menjadi naik kepada sahih lighairihi maka wajar kemudian imam Bukhari berani mendokumentasikan hadis ini di dalam kitabnya. Selain itu, jika dilihat dari segi kuantitas maka menyitir apa yang dijelaskan oleh Nuruddin ‘itr, hadis ini dikategorikan ke dalam hadis masyhur,17karena memiliki sanad yang lebih dari dua sebagaimana disitir oleh Nuruddin ‘Itr dari Ibnu Hajar al- Asqalani. Dalam menanggapi hadis di atas imam al-Shan’ani di dalam kitabnya al-Tanwir

Syarh Jami’ al-Shagir18 menjelaskan bahwa perempuan memang benar adanya sebagai fitnah yang terbesar bagi manusia terutama bagi laki-laki. Karena dalam pandangan Shan’ani perempuan merupakan tali jemali yang dijadikan pengikat oleh syaitan dalam menjerumuskan manusia ke dalam keburukan dan kezaliman.

Penjelasan yang hampir sama juga diberikan oleh Nabil bin Hisyam al-Ghimari dalam memberikan pandangannya atas redaksi hadis tersebut. Menurutnya tidak ada pemahaman lain daripada keharusan untuk memahaminya seperti yang telah dinarasikan oleh teks pada hadis di atas. Menurutnya perempuan memang menjadi fitnah terbesar bagi laki-laki, oleh karenanya Nabi mewaspadai dengan menuturkan hadis tersebut supaya mereka (laki- laki) berhati-hati terhadap makhluk dengan nama perempuan tersebut. Mereka merupakan umpan bagi syaitan dalam memancing untuk kemudian menjerumuskan manusia ke dalam kemafsadatan. Lebih lanjut Nabil mengaitkan eksistensi hadis di atas dengan hadis lain yang menyatakan bahwa jika ada perempuan dan laki-laki bersama maka orang lainnya adalah syaitan.19

Sejalan dengan mayoritas ulama lainnya, Ibnu Khaldun di dalam kitabnya Taudih

al-Rasyid fi Syarh al-Tauhid menjelaskan bahwa redaksi hadis tersebut merupakan penjelasan

terhadap kejelekan-kejelekan yang terdapat di dalam diri perempuan. Lebih tegas Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa perempuan merupakan fitnah terbesar bagi laki-laki dan oleh karena fitnah tersebut merupakan salah satu dari bentuk kejelekan perempuan.20

Mendudukkan Makna “Fitnah Perempuan” Secara Mubadalah

Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian metode artikel ini, bahwa di dalam kerja mubadalah kiranya ada tiga langkah yang dilalui untuk sampai kepada kesimpulan dari pembacaan sebuah teks. Pada dasarnya semua teks agama bisa dipahami secara mubadalah termasuk redaksi hadis yang menjadi fokus di dalam penelitian ini. Pemaknaan secara mubadalah akan melihat bahwa di dalam diri manusia baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai potensi membawa fitnah bagi lawan jenisnya bahkan bagi dirinya sendiri. Untuk langkah pertama, mengembalikan teks-teks yang secara zahir terlihat menempatkan satu pihak lebih unggul daripada pihak lain kepada teks yang universal prinsipal. Teks ini akan

17Nuruddin ’Itr, ’Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012). 434.

18Imam Al- Shan’ani, Al- Tanwir Syarh Jami’ al- Shagir (Riyadh: Dar al- Salam, t.t.).Vol 2, 387. 19Abu Ashim Nabil bin Hisyam Al- Ghamri, Fathul Manan Syarh al- Darimi Bi Musnad al- Jami’ (Makkah: Dar al- Basyair al- Islamiyah, 1999).Vol 2, 476.

20Abu Abdillah Khaldun bin Mahmud bin Naghwi al- Huquwi, Al- Tawdih al- Rasyid fi Syarh Tauhid, t.t.Vol I, 259.

(7)

84 | Faisal Haitomi & Maula Sari: Analisa Mubadalah Hadist....

dijadikan sebagai pondasi dasar dalam pemaknaan mubadalah untuk melewati langkah selanjutnya.

Ada banyak teks universal prinsipil yang dinarasikan oleh al-Qur’an dan hadis yang netral dalam menilai laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang sama dihadapan Allah swt. Dalam konteks penelitian ini, surah al-Mulk [ 67 ]: 1-2 salah satunya bisa dijadikan teks universal yang menentang teks hadis tersebut. lebih jelasnya redaksi hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:













































Artinya: “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha

Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Dari ayat di atas setidaknya bisa dilihat bahwa Allah menegaskan bahwa kehidupan yang dalam hal ini mencakup laki-laki dan perempuan di dalamnya adalah ujian untuk meningkatkan kebaikan dan menjaga diri dari keburukan. Selain itu jika mau melihat lebih jauh, jika perempuan dikatakan sebagai pihak penggoda dan bisa mendatangkan fitnah bagi laki-laki, maka yang patut dipertanyakan adalah apakah laki-laki lepas dari semua kemungkinan menggoda terhadap lawan jenis? Dan apakah laki- laki tidak bisa menimbulkan fitnah?. Pertanyaan seperti ini kiranya patut diketengahkan supaya ada keseimbangan dalam memperlakukan dua jenis manusia yang berbeda kelamin ini. Dari pertanyaan tersebut pada akhirnya menggiring penulis kepada asumsi bahwa laki-laki tidaklah bisa terlepas dari fitnah tersebut. Dalam artian bahwa setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kemungkinan mendatangkan fitnah antar sesama. Asumsi diatas diperkuat oleh sejumlah riset yang pada dasarnya menunjukkan akan kemungkinan fitnah yang dapat ditimbulkan oleh keduanya terutama laki-laki.

Menurut Novi Kurnia21 laki- laki yang mempunyai postur tubuh ideal (dalam pandangan

‘urf), oleh lawan jenis dianggap sangat bisa memancing hasrat seksual mereka, bahkan lebih

jauh ini juga menarik perhatian kaum sesama jenis. Didukung pula oleh Franky yang melakukan riset tentang iklan salah satu produk untuk meningkatkan dan membentuk tubuh pria. Diskusi yang dihadirkannya sampai pada kesimpulan bahwa menurut respondennya citra laki-laki yang ditampilkan di iklan tersebut sangat memancing nafsu seksual mereka yang hetero, terlebih lagi kaum homoseksual.22

21Novi Kurnia, “Representasi Maskulinitas Dalam Iklan,” Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Vol 8, no. No.1 (2004). 17- 36.

22Franky E, “Pemaknaan Mengenai Nilai- nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh Dalam Program Komunikasi Pemasaran Oleh Laki- laki Homoseksual dan Heteroseksual” (Universitas Indonesia, 2012).

(8)

Teks hadis yang menjadi fokus di dalam penelitian ini pada dasarnya memiliki maqashid yang lebih dalam dari pada makna zahirnya. Jika ditelaah lebih dalam, ditemukan bahwa ideal moral dari hadis tersebut adalah menjaga diri baik laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dari fitnah dan pesona, yang di dalam teks hadis terkait subjek yang diajak bicara adalah jelas laki- laki. Maka dengan fitnah dan pesona bisa saja timbul dari laki-laki maupun perempuan dan keduanya diminta waspada atas pesona dan fitnah tersebut. artinya hadis ini berarti berbicara timbal balik antara keduanya mengenai pentingnya menjaga diri dari kemungkinan terjerumus akibat pesona orang lain. Dengan ini dapat pula dipahami bahwa redaksi hadis seperti yang disebutkan di atas tidaklah menempatkan dan memberi citra negatif terhadap perempuan baik itu dalam bentuk fitnah, maupun sebagai penggoda.

Jika lebih terbuka, maka akan dapat dilihat bahwa al-Qur’an yang merupakan sumber otoritatif di dalam Islam, menarasikan kata “ Fitnah “ sendiri sebagai bentuk yang timbal balik. Seperti yang terekam di antaranya di dalam surah al-Anbiya’ [21]: 35, al-Dukhan [44]: 17- 18, al-Maidah [5]: 49, al-Mumtahanah [60]: 5, al- An’am [6]: 53, serta al-Buruj [85]: 10. Lebih jelasnya berikut penulis paparkan redaksi selengkapnya:























“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” ( Qs. al- Anbiya’: 5).

                   

“Sesungguhnya sebelum mereka telah Kami uji kaum Fir'aun dan telah datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia, (dengan berkata): "Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu.” (Qs. al- Dukhan: 17- 18)

                                   

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan

(9)

86 | Faisal Haitomi & Maula Sari: Analisa Mubadalah Hadist....

Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” ( Qs. al- Maidah: 49)





























"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan Kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. dan ampunilah Kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Qs. al- Mumtahanah: 5)

Dari pemaparan beberapa ayat di atas, kiranya dapatlah dilihat bahwa al-Qur’an dalam menarasikan kata fitnah dalam bentuk timbal balik, mubadalah atau resiprokal tidak hanya berhenti pada satu pihak saja. Di dalam surah al-Anbiya’ [21]: 35 misalnya Allah menyebutkan kebaikan adalah fitnah dan keburukan juga adalah fitnah. Kemudian di dalam surah ad-Dukhan [44]: 49 dijelaskan pula bahwa rasul adalah fitnah bagi kaumnya dan sebaliknya kaumnya pun adalah fitnah bagi rasul yang dinarasikan di dalam surah al-Maidah [5]: 49, orang kafir merupakan fitnah bagi orang mukmin yang terdapat di dalam surah al-Buruj [85]: 10, dan orang mukmin adalah fitnah bagi orang kafir di dalam surah al- Mumtahanah [60]: 5. Kamudian yang lebih tegas adalah apa yang dinarasikan di dalam surah al-An’am [6]: 53 bahwa setiap orang adalah fitnah bagi yang lainnya atau sebagian orang atas sebagian yang lain.

Dengan pemaknaan seperti ini, term “fitnah“ tidak hanya berhenti pada satu jenis kelamin saja tetapi lebih dari itu juga mencakup jenis kelamin yang lain. Dalam artian sederhana bahwa fitnah tidak hanya melekat pada tubuh perempuan bagi laki- laki, tetapi melekat juga pada tubuh laki-laki bagi perempuan. Hal ini kemudian diperkuat dengan apa yang telah penulis paparkan di atas bahwa di dalam banyak penelitian ilmiah membuktikan bahwa citra tubuh ideal pada laki- laki juga sangat berpengaruh atas rangsangan terhadap lawan jenis. Bahkan lebih mencengangkan adalah citra tubuh ideal pada laki-laki juga mungkin menarik rangsangan pada sesama jenis. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak berlebihan kiranya jika diungkapkan bahwa term “fitnah” yang diungkapkan lebih proporsional daripada apa yang dinarasikan di dalam hadis yang menganggap bahwa perempuan adalah fitnah yang sangat membahayakan.

Oleh karenanya laki-laki dan perempuan keduanya memiliki potensi fitnah, yang pada saat yang bersamaan pula keduanya juga sama-sama mempunyai potensi maslahah. Berbagai macam streotip yang dialamatkan kepada perempuan adalah tidak dapat diterima karena bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh al-Qur’an seperti yang penulis paparkan dalam beberapa ayat di atas. Oleh karena menurut Nur Rofi’ah setiap teks ataupun pemahaman terhadap teks agama yang mendiskriminasi, memarginalisasi, mensubordinasi harus dipandang sebagai refleksi dari kesadaran manusia terhadap pemanusiaan perempuan.23

Lebih lanjut Nur Rofi’ah menjelaskan bahwa ada tiga tingkat kesadaran manusia atas pemanusiaan perempuan di antaranya: pertama, level terendah, yaitu hanya laki-laki yang dianggap sebagai manusia, sebaliknya perempuan sama sekali tidak dianggap sebagai manusia dan disetarakan dengan hewan dan benda mati hanya karena mereka terlahir sebagai perempuan. Kedua, level menengah, pada level ini perempuan telah dianggap sebagai manusia

23Nur Rofiah, Nalar Kritis Muslimah: Refleksi Atas Keperempuanan, Kemanusiaan, dan Keislaman (Bandung: Afkaruna, 2020). 25.

(10)

tetapi tetap yang menjadi standar kemanusiaan tetaplah laki-laki. Berbagai macam pengalaman yang dialami oleh perempuan seperti perkosaan belum dianggap sebagai problem kemanusiaan. Ketiga, level tertinggi, pada level ini perempuan telah dianggap sebagai manusia seutuhnya dan setara dengan laki-laki. Standar kemanusiaan keduanya adalah sama, sambil memperhatikan dua pengalaman khas yang menimpa perempuan.24

Oleh karena itu teks hadis “fitnah perempuan“ di dalam narasi yang telah dipaparkan di atas dalam arti yang labih jauh adalah ajakan kepada laki-laki dan perempuan dari kemungkinan potensi fitnah dari diri masing-masing. Bukan untuk menyudutkan dan mendiskriminasi perempuan, apalagi sampai mengurung mereka di dalam kerangkeng-kerangkeng rumah dengan segala aturan yang menyulitkan. Dengan demikian ayat dan hadis tentang adanya fitnah perempuan sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk melegitimasi setiap perbuatan yang merendahkan, melecehkan ataupun mendiskriminasi mereka. Hal ini didasarkan pada dua alasan yang mendasar yaitu: pertama, prinsip meritokrasi Islam dimana kemuliaan di dasarkan pada keimanan dan amal perbuatan. Sebuah potensi yang ada pada diri seseorang jika tidak dibarengi tindakan nyata, maka tidak akan mempunyai nilai apapun. Kedua, bahwa jelas potensi fitnah juga ada pada laki-laki yang tentu saja dapat membuat mereka lebih jahat dari perempuan. Jika dua pondasi ini diyakini dan dijalankan di dalam kehidupan sehari-hari maka bisa dipastikan segala cara pandang yang mendiskriminasi perempuan, dengan basis fitnah akan bisa dihentikan. Perlu menumbuhkan cara pandang yang positif terhadap kemanusiaan perempuan seperti yang selama ini diberikan kepada laki-laki. Cara pandang yang positif akan menjadi modal dalam menumbuhkan rasa empati sebagai basis kesalingan dan kerjasama dalam mewujudkan kehidupan yang maslahat baik dalam ruang keluarga maupun ranah sosial.

Kesimpulan

Dari diskusi yang dihadirkan di atas maka kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa teks hadis terkait fitnah perempuan tidaklah berbicara seperti zahirnya, tetapi lebih dalam daripada itu bahwa antara laki-laki dan perempuan dianjurkan untuk saling waspada dari potensi fitnah yang bisa saja lahir dari keduanya. Selain itu setiap teks yang secara zahir mendiskriminasi, memarginalisasi serta mensubordinasi perempuan harus dipandang sebagai refleksi dari rendahnya pemahaman terhadap pemanusiaan perempuan. Perempuan harus dipandang sebagai manusia seutuhnya sama seperti laki-laki. Jika pemaknaan seperti ini dihadirkan dalam setiap lini kehidupan, maka bisa dipastikan ketimpangan relasi antara laki- laki dan perempuan akan bisa dihentikan.

(11)

88 | Faisal Haitomi & Maula Sari: Analisa Mubadalah Hadist....

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Kodir, Faqihuddin. Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender

dalam Islam. Yogyakarta: IRCiSoD, 2019.

Abi Abdillah ibn Muhammad ibn Yazid ibn Majah al- Qazwaini. Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dar al- Risalah al- ’Alamiyah, 2009.

Abi Fadl Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur al- Afriqi al- Mishri. Lisan al-

Arab. Beirut: Dar al- Sader, t.t.

Abu Bakar al- Baihaqi, Ahmad ibn Husain bin Ali bin Musa. Sunan al- Kubra. Beirut- Lebanon: Dar Kitab al- Alamiyah, 2003.

Al- Ghamri, Abu ;Ashim Nabil bin Hisyam. Fathul Manan Syarh al- Darimi Bi Musnad al-

Jami’. Makkah: Dar al- Basyair al- Islamiyah, 1999.

Al- Khurasani an- Nasa’i, Abu Abdul Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali. Sunan al- Kubra

an- Nasa’i. Beirut: Muassasah al- Risalah, 2001.

Al- Shan’ani, Imam. Al- Tanwir Syarh Jami’ al- Shagir. Riyadh: Dar al- Salam, t.t. Al- Tamimi, Ahmad bin Hibban bin Muadz bin Ma’bad. Al-Ihsan fi Taqrib Sahih Ibnu

Hibban. Beirut: Muassasah al- Risalah, 1988.

E, Franky. “Pemaknaan Mengenai Nilai- nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh Dalam Program Komunikasi Pemasaran Oleh Laki- laki Homoseksual dan Heteroseksual.” Universitas Indonesia, 2012.

Hasan An- Nadwi, Abdul Hasan ’Ali. Sirah Nabawiyyah: Sejarah Lengkap Nabi Muhammad

saw. Yogyakarta: Darul Manar, 2011.

’Itr, Nuruddin. ’Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.

Kodir, Faqihuddin Abdul. “Mafhum Mubadalah: Ikhtiar Memahami Qur’an Dan Hadits Untuk Meneguhkan Keadilan Resiprokal Islam Dalam Isu-Isu Gender.” Jurnal Islam

Indonesia 6, no. 02 (2016).

http://jurnal-islam-indonesia.isif.ac.id/index.php/Jurnal-Islam-Indonesia/article/view/28.

Kurnia, Novi. “Representasi Maskulinitas Dalam Iklan.” Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Vol 8, no. No.1 (2004).

Masturi Irham dkk, Ibnu Khaldun terj. Muqaddimah. Cet. X. Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2019.

Mizzi, Yusuf bin Abdul Rahman bin Yusuf Abu Hajjaj Jamaluddin Abu al- Zaki al-. Tahzib

al- Kamal Fi Asma’ al- Rijal. Beirut: Muassasah al- Risalah, 1980.

Naghwi al- Huquwi, Abu Abdillah Khaldun bin Mahmud bin. Al- Tawdih al- Rasyid fi Syarh

Tauhid, t.t.

Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: PARAMADINA, 2001.

Rofiah, Nur. Nalar Kritis Muslimah: Refleksi Atas Keperempuanan, Kemanusiaan, dan

Keislaman. Bandung: Afkaruna, 2020.

Sharabi, Hisyam. Noepartiarchy A Theory of Distorted Change in Arab Society. New York, Oxford: Oxford University Press, 1988.

(12)

Shihab, Muhammad Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan

al-Qur’an dan Hadis- Hadis Shahih. Jakarta: Lentera Hati, 2012.

Syachrofi, Muhammad. “Hadis- Hadis Diskriminasi Agama dan Implikasinya Terhadap Kerukunan Umat Beragama ( Kajian Hermeneutika Hadis).” UIN Sunan Kalijaga, 2019.

Referensi

Dokumen terkait

Larutan baku nitrit konsentrasi 1,4 ppm diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi Griess selanjutnya dibaca absorbansinya

elama bulan Oktober 2020 Bidang Pendidikan Pelatihan Teknis disibukan dengan serangkaian kegiatan diklat lainnya, pandemi bukan sebuah hambatan untuk terus bekerja dalam

Berdasarkan beberapa definisi diatas, diharapkan dapat memperjelas arah pembahasan tentang masalah pembagian waris yang terjadi di Desa Kramat Jegu Kecamatan Taman

Kedudukan perempuan perspektif hadis menyebutkan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, baik di bidang keluarga, masyarakat, dan pendidikan. Yang

Program Kampung Iklim (ProKlim) adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka meningkatkan

Berdasarkan pengertian dari pembinaan rohani Islam itu sendiri, maka menurut Ainur Rahim Faqih, pembinaan atau bimbingan rohani Islam dapat dilakukan baik secara

[r]

metode ABA/teknik DTT adalah sebuah metode penanganan berbasis perubahan perilaku yang paling banyak digunakan untuk menangani permasalahan perilaku pada anak