• Tidak ada hasil yang ditemukan

NUGROHO ADI UTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NUGROHO ADI UTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN, RENCANA TATA

RUANG WILAYAH DAN IMPLIKASINYA BAGI

PELAKSANAAN INISIATIF REDD+ DI KABUPATEN

KATINGAN, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

NUGROHO ADI UTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013 Nugroho Adi Utomo NIM A156110111

(4)
(5)

RINGKASAN

NUGROHO ADI UTOMO. Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh SANTUN R. P. SITORUS dan IDA AJU PRADNJA RESOSUDARMO.

Fenomena Perubahan Iklim yang terjadi saat ini kebanyakan diakibatkan oleh emisi CO2 dari kegiatan industri dan berkurangnya luasan hutan. Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah melalui pendekatan REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus) yang merupakan upaya untuk menurunkan emisi dengan menghindari deforestasi dan degradasi hutan. Menurut CIFOR (2010), ide REDD+ ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan. Kabupaten Katingan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang saat ini ditunjuk sebagai provinsi pilot percontohan REDD+. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Katingan merupakan kebijakan payung dalam penataan ruang di tingkat Kabupaten untuk pembangunan daerah. Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan diharapkan dapat sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), di tengah permasalahan berupa menurunnya luasan hutan dan bertambahnya luasan lahan produksi pertanian (padi, karet dan kelapa sawit), serta belum tuntasnya RTRW.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis pola perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain di Kabupaten Katingan; (2) Menganalisis inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan pengalokasian ruang pada RTRW dan Kawasan Hutan; (3) Menganalisis isi kebijakan perencanaan tata ruang yang mendukung inisiatif REDD+; (4) Menganalisis pendapat stakeholder atas munculnya inisiatif REDD+; (5) Merumuskan arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan.

Analisis data yang digunakan adalah : analisis perubahan penggunaan lahan, analisis inkonsistensi penggunaan lahan, analisis isi, analisis hirarki proses (AHP), dan analisis deskriptif. Analisis perubahan penggunaan lahan digunakan untuk mengetahui trend perkembangan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan, khususnya perubahan penggunaan lahan hutan. Analisis inkonsitensi penggunaan lahan dilakukan untuk melihat konsistensi penggunaan lahan tahun 2012 dengan RTRW dan juga kawasan hutan. Dua analisis lainnya, Analisis isi dan AHP, digunakan untuk melihat elemen dasar dan proses REDD+ dalam dokumen kebijakan rencana pembangunan Kabupaten dan preferensi stakeholder akan keberlanjutan inisiatif REDD+. Analisis yang terakhir adalah analisis deskriptif, digunakan untuk menganalisis hasil dari tujuan penelitian 1 – 4 sebagai arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Katingan untuk keberlanjutan inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan.

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan hutan merupakan yang dominan di Kabupaten Katingan, sebesar 60,47% (1.242.554 ha). Pola perubahan penggunaan lahan hutan yang terjadi umumnya dari hutan menjadi semak belukar/tanah terbuka kemudian terakhir berubah menjadi penggunaan lahan tanaman tahunan/perkebunan, pertanian pangan dan pemukiman. Analisis

(6)

inkonsistensi penggunaan lahan menunjukkan tingkat inkonsistensi yang relatif kecil, hanya 3,2 % dari pengalokasian ruang pada RTRW dan 2 % di kawasan hutan.

Hasil analisis isi menunjukkan elemen dasar dan proses REDD+ terkandung dalam dokumen perencanaan daerah. Dalam dokumen RTRW, secara berurutan muatan elemen dasar dan proses REDD+ terbesar pada elemen manfaat tambahan, reduksi emisi dan ekuitas. Sementara dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) secara berurutan muatan elemen dasar dan proses REDD+ terbesar pada elemen manfaat tambahan, ekuitas dan reduksi emisi. Preferensi stakeholder (pemerintah daerah, pemerintah pusat, LSM, perusahaan dan masyarakat) menunjukkan ketertarikannya akan inisiatif REDD+ dengan harapan bisa memperoleh manfaat langsung, disamping pertimbangan manfaat tidak langsung, dan kekhawatiran kemungkinan potensi konflik yang akan muncul.

Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, inisiatif REDD+ sangat mungkin dilaksanakan di Kabupaten Katingan dengan beberapa penyempurnaan pada wilayah rencana tata ruang wilayah. Arahan dalam penyempurnaan rencana tata ruang adalah alokasi ruang untuk inisiatif REDD+ sebaiknya direncanakan pada kawasan lindung, dan sebagian kawasan budidaya (pada kawasan Hutan Produksi dan kawasan Hutan Produksi Terbatas).

Kata kunci: Penggunaan Lahan, Tata Ruang, Preferensi stakeholder, REDD+, Katingan

(7)

SUMMARY

NUGROHO ADI UTOMO. Land Use Change, Regional Spatial Plan and Its Implication for Implementation of REDD+ Initiative at Katingan District, Central Kalimantan Province. Under direction of SANTUN R. P. SITORUS and IDA AJU PRADNJA RESOSUDARMO.

The phenomenon of climate change that occurs today mostly caused by CO2

emissions from industrial activities and forest loss. One of climate change mitigation is through REDD+ approach (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus). According to CIFOR (2010), the idea of REDD+ is different from the previous forest conservation activities as directly linked with financial incentives for conservation aimed at storing carbon in forests. Katingan is one of the districts in the province of Central Kalimantan is currently designated as a REDD+ pilot project provinces. REDD+ initiatives in Katingan should go hand in hand with the Regional Spatial Plan (RTRW) which is a fundamental policy of regional development at district level, while facing the problems include forest area decreased and land area of agricultural production increased (rice, rubber and palm oil), as well as unfinished of RTRW.

This study aims: (1) to analyze the pattern of changes in the land use of forest to other land uses in Katingan, (2) to analyze inconsistencies with existing land use with space allocation on RTRW and Forest Area, (3) to analyze the contents of spatial plan policies that support the initiative REDD+, (4) to analyze the opinion of stakeholders on the emergence of REDD+ initiatives; (5) to formulate improvement direction of Katingan’s RTRW.

Analysis of the data used are: analysis of land use changes, land use inconsistency analysis, content analysis, analytical hierarchy process (AHP), and descriptive analysis, respectively, analysis of land use changes are used to determine the trend of the development of land use in particular Katingan forest land use. Inconsistency analysis of land use change is made to see the consistency of land use in 2012 with RTRW and forests status. Two other analysis, content analysis and AHP, are used to look at basic element and process of REDD+ in district development plan policy documents and stakeholder preferences for sustainability of REDD+ initiatives. The last analysis is descriptive analysis, is used to analyze the results of the research objectives 1 – 4 as Katingan improvement direction of Katingan’s RTRW for the sustainability of REDD+ initiatives in Katingan.

The study result shows a forest land use is dominant in Katingan, amounting to 60.47% (1,242,554 ha). Forest land use change patterns that generally occur were from forest to shrub/open land and finally turned into land use of annual crops/plantation, food dryland agriculture and settlement. Analysis of land use inconsistencies indicate a relatively small level of inconsistency, only 3,2 % in the RTRW and 2% in the forest status.

The results of the content analysis showed the basic element and process REDD+ contained within the local planning documents. In RTRW documents, sequentially the biggest basic element and process REDD+ are co-benefit, emission reduction and equity, while in the document of Long Term Regional Development Plan (RPJPD), sequentially the biggest basic element and process

(8)

REDD+ are co-benefit, equity and emission reduction. The preferences of stakeholders (local government, central government, NGOs, companies and communities) showed interest in the REDD+ initiative in the hope of direct benefit, in addition to consideration of indirect benefits and possible worries of potential conflicts that will arise.

Based on the overall study results, it is possible REDD+ initiatives implemented in Katingan with some improvements in Katingan District spatial plan. Directives consideration improvements of RTRW are the allocation of space for REDD+ initiatives should be planned on a protected area and litle piece of productive area (Production Forests area and Limited Production Forests area). Keywords: Land Use, Spatial Plan, Stakeholder Preferences, REDD+, Katingan

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN, RENCANA TATA

RUANG WILAYAH DAN IMPLIKASINYA BAGI

PELAKSANAAN INISIATIF REDD+ DI KABUPATEN

KATINGAN, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(12)
(13)

Judul Tesis : Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah

Nama : Nugroho Adi Utomo NIM : A156110111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Santun R. P. Sitorus Ketua

Dr Ida Aju Pradnja Resosudarmo Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R. P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian Lapang yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 sampai Maret 2013 ini mengambil isu tata ruang di kabupaten yang dikaitkan dengan REDD+. Adapun judul tesisnya adalah mengenai Perubahan Penggunaan Lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Implikasinya bagi Pelaksanaan Inisiatif REDD+di Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ida Aju Pradnja Resosudarmo selaku anggota komisi pembimbing atas

segala dukungan dan motivasi tiada henti, arahan, serta bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini.

3. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F. selaku penguji luar komisi atas segala masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

5. Dr. William Sunderlin, selaku Project Leader dari Global Comparative Study on REDD+ (GCS-REDD) Module 2 yang telah memberikan dukungan finansial bagi kegiatan pengumpulan data di lapangan.

6. Pihak Manajemen CIFOR yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti studi pasca sarjana ini.

7. Marco, Aries dan Siraz atas kesediaannya menjadi rekan diskusi untuk mencari inspirasi-inspirasi baru dalam penelitian.

8. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun reguler angkatan 2011 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

Rasa bangga, gembira dan haru bersamaan dengan ucapan terima kasih sangat spesial teruntuk isteriku tercinta Yanti Rismayanti, SHut dan putra-putraku Dzaky Abiyyu Thariq dan Ali Hakim beserta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan tanpa kenal lelah yang telah diberikan selama ini. Innallaha ma’asshabiriin. Semoga pengalaman berharga ini menjadi isi sekaligus pembungkus kado yang indah di akhirat kelak.

Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Terimaksih.

Bogor, Agustus 2013 Nugroho Adi Utomo

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Tujuan Penelitian 5 1.4 Manfaat Penelitian 5

1.5 Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Perubahan dan Penggunaan Lahan 7

2.2 Penataan Ruang 9

2.3 Perubahan Iklim dan REDD+ 13

2.4 Elemen Dasar, Proses dan Prinsip Implementasi REDD+ 16

2.5 Indikator Harapan dan Kekhawatiran REDD+ 17

2.6 Preferensi dan Persepsi Para Pihak 18

3 METODE 19

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 20

3.2 Jenis Data dan Alat 21

3.3 Metode Pengumpulan Data 22

3.4 Metode Analisis Data 23

4 GAMBARAN UMUM DAN PERENCANAAN WILAYAH KABUPATEN

KATINGAN 31

4.1 Administrasi dan Karakteristik Fisik Wilayah 31

4.2 Aktivitas Perekonomian Daerah 35

4.3 Kebijakan Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang 40

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 45

5.1 Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan 45 5.2 Inkonsistensi RTRW Kabupaten dan Penunjukkan Kawasan Hutan

Kabupaten Katingan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012 60 5.3 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam Dokumen Perencanaan di

Kabupaten Katingan 63

5.4 Perkembangan Inisiatif REDD+, dan Preferensi Stakeholder 72 5.5 Arahan Kebijakan dalam RTRW Katingan terhadap inisiatif REDD+ 79

6 KESIMPULAN DAN SARAN 82

6.1 Kesimpulan 82

6.2 Saran 83

DAFTAR PUSTAKA 84

(16)

DAFTAR TABEL

1 Luas Kawasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV 2 2 Perkembangan luasan (ha) 3 besar komoditi pertanian di Katingan 4 3 Matrik Hubungan Antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik

Analisis dan Keluaran 21

4 Tabel Responden wawancara dan kuesioner preferensi para pihak 22 5 Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2000 - 2006 25

6 Arah perubahan penggunaan lahan 26

7 Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penggunaan Lahan Tahun 2012 di Kabupaten Katingan 27

8 Tahapan Prosedur Analisis Isi 28

9 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Katingan atas dasar harga berlaku (ADHB) dan harga konstan (ADHK) tahun 2000

periode 2003 – 2011 36

10 Kontribusi masing-masing Lapangan Usaha terhadap PDRB Kabupaten Katingan, Periode 2003 s/d 2011 (Atas Dasar Harga Konstan) 37 11 Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kabupaten Katingan Tahun

2008 – 2011 37

12 Potensi dan Produksi Ternak Kabupaten Katingan Tahun 2004 – 2007 38 13 Data Luas, dan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Katingan

Tahun 2003 – 2007 38

14 Target dan Realisasi Produksi Kayu Bulat HPH 39 15 Rencana Pola Ruang Kabupaten Katingan 2011 – 2031 44 16 Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000, 2006 dan 2012 49 17 Luas dan Laju Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Katingan

tahun 2000 – 2012 56

18 Matrik perubahan penggunaan lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 –

2006 57

19 Matrik perubahan penggunaan lahan Kabupaten Katingan Tahun 2006 –

2012 58

20 Pola Perubahan Penggunaan Lahan berdasarkan penggunaan lahan

tahun 2000, 2006 dan 2012 59

21 Overlay Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2012 terhadap RTRW

Kabupaten Katingan 61

22 Overlay Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2012 terhadap Kawasan

Hutan Kabupaten Katingan menurut SK 529/2012 62

23 Hasil Pengkodean Pada Analisis Isi (content analysis) RPJPD

Kabupaten Katingan Tahun 2005 - 2025 65

24 Interpretasi Hasil Analisis Isi (Content Analysis) RPJPD Kabupaten

Katingan tahun 2005 – 2025 67

25 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam RPJPD Kabupaten Katingan

tahun 2005 – 2025 67

26 Hasil Pengkodean Pada Analisis Isi (content analysis) RTRW

Kabupaten Katingan Tahun 2011 - 2031 69

27 Interpretasi Hasil Analisis Isi (Content Analysis) RTRW Kabupaten

(17)

28 Elemen Dasar dan Proses REDD+ dalam RTRW Kabupaten Katingan

tahun 2011 - 2031 71

29 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek

manfaat langsung 74

30 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek

manfaat tidak langsung 75

31 Sintesis Bobot Pertimbangan para pihak (Stakeholder) dalam aspek

biaya sosial - pertimbangan sosial 76

32 Sintesis Bobot Pertimbangan Seluruh Responden 77 33 Urutan Prefrensi Gabungan Seluruh Responden 78

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 6

2 Skema hubungan penataan ruang dan rencana pembangunan 10 3 Konsep tahapan Implementasi REDD di Indonesia 14 4 Sejumlah peristiwa penting yang berkaitan dengan proses penetapan

keputusan mengenai REDD+ di Indonesia 15

5 Peta Lokasi Penelitian 20

6 Bagan Alir Tahapan Penelitian 23

7 Diagram Alir pengolahan data penginderaan Jauh dengan kombinasi metode klasifikasi terbimbing dan interpretasi visual 25 8 Struktur hirarki preferensi keberlanjutan REDD+ dengan AHP 30

9 Peta Kelerengan Kabupaten Katingan 33

10 Peta Geologi Kabupaten Katingan 34

11 Penduduk Kabupaten Katingan Tahun 2003 - 2011 35 12 Grafik kontribusi Sub Sektor dalam sektor Pertanian Kabupaten

Katingan 36

13 Penggunaan Lahan Hutan 46

14 Penggunaan Lahan Tanaman Tahunan 46

15 Penggunaan Lahan Pemukiman 47

16 Penggunaan Lahan Pertanian Pangan 47

17 Penggunaan Lahan Semak Belukar/Tanah Terbuka 48

18 Penutupan Lahan Tubuh Air 48

19 Persentase Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000,

2006 dan 2012 50

20 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 51 21 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2006 52 22 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2012 53 23 Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Katingan Tahun 2000 –

2012 55

24 Laju Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Katingan periode

2000 - 2006 dan 2000 - 2012 56

25 Persentase Isi Pesan yang Berkaitan dengan Elemen Dasar dan Proses

(18)

26 Persentase Isi Pesan yang Berkaitan dengan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pada RTRW Kabupaten Katingan tahun 2011 – 2031. 70 27 Tampilan user interface dari software expert choice 11 74 28 Urutan preferensi stakeholder atas keberlanjutan inisiatif REDD+ di

Katingan 78

29 Peta Overlay inisiatif REDD+ dengan RTRW Kabupaten Katingan 81

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tanggal Akuisisi Citra Landsat tahun 2000, 2006 dan 2012 87 2 Tabel Nilai Indeks Konsistensi pada analisis hirarki proses (AHP) 87 3 Cuplikan Citra Landsat Tahun 2000 Kabupaten Katingan 88 4 Cuplikan Citra Landsat Tahun 2006 Kabupaten Katingan 89 5 Cuplikan Citra Landsat Tahun 2012 Kabupaten Katingan 90 6 Hasil Perhitungan Luas dan Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun

2000, 2006 dan 2012 di Kabupaten Katingan 91

7 Kuesioner untuk input data pada metode AHP 92

(19)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Planet bumi yang semakin berumur saat ini mengalami pemanasan global (global warming). Dampaknya adalah terjadi perubahan iklim yang tidak menentu, musim hujan yang tidak semestinya dan musim kemarau yang datang terlambat. Hal tersebut sebetulnya dipicu oleh kompetisi negara-negara maju di seluruh dunia yang berlomba-lomba mempercepat laju perekonomian melalui industri yang merupakan penyumbang emisi CO2 bagi planet bumi. Demikian juga dengan

negara-negara berkembang yang memiliki banyak hutan, turut menyumbang emisi CO2 melalui illegal logging dan kebakaran hutan. Hutan yang seharusnya bisa menjadi penyerap emisi, saat ini kondisinya begitu kritis dan perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan lebih banyak lagi. Hal inilah yang kemudian digagas oleh banyak pihak dan salah satunya adalah melalui pendekatan REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation plus). Menurut CIFOR (2010), ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan. Bahkan Pemerintah Norwegia menjanjikan sejumlah dana pada Indonesia, melalui LOI (Letter of Intent/Nota kesepakatan) Norwegia tertanggal 26 Mei 2010 dimana pihak Norwegia akan memberikan insentif sebesar 1 milyar US$ jika Indonesia berkomitmen tinggi dan berhasil menurunkan emisi hingga 26 % sebelum tahun 2020.

Menurut Kementerian Kehutanan (2010) dalam hal implementasi REDD+ di Indonesia , ada 3 tahapan penting yaitu fase persiapan di tahun 2007 – 2008 (identifikasi iptek dan kebijakan), fase kesiapan di tahun 2009 – 2012 (persiapan metodologi dan pilot project) dan fase implementasi setelah tahun 2012 (sesuai aturan bila REDD+ masuk dalam skema UNFCCC1- pasca 2012). Pada saat ini

ada beberapa pilot project yang sudah dilakukan, dan Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang dikembangkan inisiatif REDD+. Dalam lingkup kabupaten, khususnya di Kabupaten Katingan, pengembangan wilayah suatu daerah sangat ditentukan oleh proses perencanaan tata ruang di tingkat kabupaten. Menurut Niin (2010) persentase luasan penggunaan lahan hutan di Kabupaten Katingan pada tahun 2006 mencapai 69,4%. Luasan ini cukup potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi REDD+, tentunya dengan mempertimbangkan penataan ruang di Kabupaten Katingan serta melihat kebijakan pemerintah pusat berupa program REDD+ yang terintegrasi.

Sejauh ini, secara keruangan, inisiatif REDD+ yang ada di Kabupaten Katingan dikuatkan melalui SK. 6315/Menhut-VII//IPSDH/2012 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (Revisi III). Kawasan hutan dalam area PIPIB ini sering diistilahkan dengan kawasan moratorium. Moratorium ini dalam perkembangannya sudah mengalami 4 kali revisi, terakhir pada akhir Mei 2013 lalu (Tabel 1). Skema Inisiatif REDD+ lainnya di Kabupaten Katingan adalah

(20)

rencana IUPHHK-RE (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem) oleh PT. Rimba Makmur Utama.

Menurut Niin (2010), terjadi penurunan luasan penggunaan lahan hutan di Kabupaten Katingan selama 16 tahun (periode 1990 – 2006) hingga 243.255 ha. Sampai dengan tahun 2000, produksi kayu melalui perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) masih terus terjadi, namun pada tahun selanjutnya dimana HPH banyak mengalami kerugian dan gulung tikar, peralihan penggunaan lahan hutan lebih banyak dimanfaatkan untuk lahan pertanian, tanaman tahunan maupun permukiman. Kecenderungan adanya perubahan penggunaan lahan ini akan terus berlangsung dalam pembangunan Kabupaten Katingan. Inisiatif REDD+ yang muncul dari pemerintah pusat merupakan suatu peluang yang baik bagi pemerintah daerah, meskipun sejauh ini belum menghasilkan sesuatu apapun, khususnya dalam hal peningkatan perekonomian kabupaten.

Tabel 1 Luas Kawasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV No. PIPIB No. SK Menhut Tanggal Luas

Moratori-um (Ha) Pengurangan (Ha) 1 PIPIB SK.323/Menhut-II/2011 20 Juni 2011 69.144.073 - 2 PIPIB Revisi I SK.7416/Menhut-VII/IPSDH/2011 22 November 2011 65.374.252 3.769.821 3 PIPIB Revisi II SK.2771/Menhut-VII/IPSDH/2012 16 Mei 2012 65.281.892 92,36 4 PIPIB Revisi III SK.6315/Menhut-VII/IPSDH/2012 19 Nov 2012 64.796.237 485.655 5 PIPIB Revisi IV SK.2796/Menhut-VII/IPSDH/2013 16 Mei 2013 64.677.030 119.208 Sumber: Kementerian Kehutanan (2013)

Kabupaten Katingan merupakan salah satu Kabupaten dengan luasan hutan mencapai sekitar 70 % dari total luas kawasan yang ada. Sebagai Kabupaten yang relatif baru dimekarkan, sejak tahun 2002, wilayah ini berusaha menata tatanan pemerintahan melalui kebijakan otonomi daerah. Persoalan di level provinsi pun persis terjadi di kabupaten, penyelesaian multi dimensi diperlukan untuk dapat mencari solusi yang optimal guna pembangunan Kabupaten Katingan ke depan lebih baik lagi. Salah satunya adalah melalui telaah keruangan kabupaten yang disajikan secara time series untuk kemudian dibandingkan dan bisa menemukan konsistensi letak maupun posisi suatu wilayah. Sambil menata keruangan REDD+ yang baru akan digulirkan, diharapkan juga dapat memecah kebuntuan sekaligus mencari solusi untuk menata ruang Kabupaten Katingan secara komprehensif.

Penataan ruang, menurut Rustiadi et al. (2011), memiliki tiga urgensi, yaitu (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan), dan (c) keberlanjutan (sustainability). Urgensi keberlanjutan ini sejalan dengan inisiatif REDD+, yang mengupayakan untuk tetap melakukan konservasi suatu wilayah kawasan berhutan sehingga pembangunan di tingkat kabupaten pun bisa seimbang dalam pemenuhan ekonomi, sosial dan lingkungan. Penelitian ini mengkaji inisiatif REDD+ yang muncul serta proses perencanaan tata ruang di Kabupaten Katingan, sehingga menjadi penting untuk melihat bagaimana perubahan penggunaan lahan yang terjadi, menyandingkan kebijakan perencanaan

(21)

tata ruang di Kabupaten Katingan dengan kebijakan inisiatif REDD+ yang sudah dimulai serta perlu melihat pendapat para pihak atas inisiatif REDD+ dengan perencanaan tata ruang.

1.2 Perumusan Masalah

Pada dasarnya penataan ruang merupakan instrumen antara kebijakan dan teknis yang menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan, sehingga implementasi kegiatan pembangunan seharusnya mengacu pada rencana tata ruang, yang di dalamnya terdapat strategi optimasi untuk mencapai tujuan dan memperhatikan kendala-kendala dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian rencana tata ruang dimaksud dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.

Hampir 11 tahun Kabupaten Katingan membangun daerahnya sejak pemekaran wilayah pada tahun 2002 dan menghadapi beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam daerah, proses penataan ruang dan inisiatif REDD+. Permasalahan tersebut antara lain meliputi :

1. Penurunan luasan hutan dan peningkatan luasan areal pertanian

Niin (2010) mengatakan berdasarkan hasil klasifikasi citra satelit terlihat bahwa penggunaan lahan hutan mendominasi penggunaan lahan di Kabupaten Katingan tahun 1990, 2000 dan 2006 dengan penyebaran di seluruh wilayah Kabupaten. Persentase luasan penggunaan lahan hutan di Kabupaten Katingan berturut-turut adalah 81,6 %, 72,1 % dan 69,4 %. Penggunaan lahan lain yang dominan di Kabupaten Katingan adalah semak belukar/tanah terbuka dengan persentase tahun 1990, 2000 dan 2006 berturut-turut di Kabupaten Katingan 12,9 %, 21,5% dan 22,3 %. Luasan Penggunaan lahan jenis lainnya relatif kecil yaitu kurang dari 5 % dari luasan wilayah. Desakan terhadap luasan hutan di Kabupaten Katingan menjadi catatan tersendiri di tengah perencanaan pengembangan wilayah dalam konteks paradigma pembangunan berkelanjutan. Sampai dengan tahun 2000, peralihan penggunaan lahan hutan lebih banyak dimanfaatkan untuk lahan pertanian, tanaman tahunan maupun permukiman.

Penggunaan lahan tanaman tahunan dan permukiman mengalami peningkatan yang cukup besar. Penambahan luasan tanaman tahunan terutama periode tahun 2000-2006 khususnya setelah otonomi daerah disebabkan berubahnya sumber pendapatan daerah yang semula lebih banyak mengandalkan sektor kehutanan terutama hasil hutan kayu dari hutan produksi mengarah pada hasil perkebunan terutama perkebunan sawit (Niin, 2010).

Pengembangan luasan areal pertanian menurut data statistik pun menunjukkan peningkatan luasan cukup besar dalam 3 tahun terakhir (Tabel 2). Kaitannya dengan upaya konservasi hutan dan inisiatif REDD+, perlu dilakukan upaya pemerintah daerah untuk merencanakan tata ruangnya supaya ke depan pengembangan luasan pertanian ini tetap memperhatikan dan menjaga kawasan hutan yang ada. Dengan demikian untuk membuat gambaran secara spasial atas permasalahan ini perlu dilakukan pemutakhiran data penggunaan lahan di Kabupaten Katingan setelah terakhir pernah dilakukan Niin (2010) pada tahun 1990, 2000, dan 2006.

(22)

Tabel 2 Perkembangan luasan (ha) 3 besar komoditi pertanian di Katingan

Komoditi 2009 2010 2011 Kelapa Sawit 35.442 40.891 58.580 Sawah 12.831 20.915 32.064 Karet 15.419 20.947 20.948 Sumber : BPS Katingan (2010, 2011 dan 2012) dan Dinas Perkebunan

(2011)

2. Belum adanya Padu Serasi RTRW (Provinsi dan Kabupaten) dengan Kawasan Hutan

Permasalahan lain yang menghambat proses penataan ruang khususnya di Kabupaten Katingan adalah lambatnya proses padu serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan RTRW Provinsi Kalimantan Tengah. 2 tahun yang lalu ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.292/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 1.168.656 (Satu Juta Seratus Enam Puluh Delapan Ribu Enam Ratus Lima Puluh Enam) Hektar, Perubahan Antar Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 689.666 (Enam Ratus Delapan Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Enam Puluh Enam) Hektar dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ± 29.672 (Dua Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Tujuh Puluh Dua) Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian SK 292/2011 direvisi kembali oleh Kementerian Kehutanan melalui SK Menteri Kehutanan no. SK.529/Menhut-II/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982 tentang penunjukkan areal hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas ± 15.300.000 ha. Dua SK Menteri Kehutanan ini punya jarak yang cukup jauh dengan SK Menteri kehutanan yang paling awal, yaitu setelah 20 tahun baru dilakukan proses padu serasi dengan menyisakan sedikit wilayah yang belum tuntas dipaduserasikan.

Proses ini juga akan dapat memicu konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penggunaan ruang. Misalnya dengan munculnya gugatan dari beberapa bupati di Kalimantan Tengah untuk melakukan uji materi UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 1 Ayat 3. Akhirnya pada 21 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2001 tertanggal 22 Februari 2012 mengabulkan gugatan para bupati tersebut bahwasanya kawasan hutan harus diproses tidak hanya melalui penunjukkan tetapi juga melalui proses menyeluruh melalui penetapan kawasan hutan (penunjukkan, penataan, pemetaan dan penetapan). Dengan demikian perlu adanya evaluasi penggunaan lahan dengan rencana tata ruang yang ada juga dengan status kawasan hutan untuk melihat sejauh mana ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting dengan perencanaan ruang yang telah dibuat.

3. Inisiatif REDD+ dan sinkronisasinya dengan RTRW yang masih baru Dalam kancah dunia internasional, REDD+ sendiri merupakan hal baru yang masih perlu diuji coba dan diteliti pelaksanaan programnya ke depan. Bahkan di tingkat Kabupaten Katingan sendiri, program REDD+ merupakan hal yang sangat baru, meskipun sudah terbentuk Kelompok Kerja REDD+ Kabupaten Katingan pada tahun 2011, masih belum diketahui apakah inisiatif REDD+ sejalan dengan RTRW Kabupaten. Secara aspek kelembagaan, untuk mengetahui kesesuaian inisiatif REDD+ dengan RTRW, salah satu upaya yang dapat

(23)

dilakukan adalah melalui kajian identifikasi elemen dasar dan proses REDD+ dalam suatu kebijakan daerah, diantaranya dalam dokumen kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Disamping itu, juga bisa dilakukan kajian untuk melihat preferensi stakeholder atas inisiatif REDD+.

Beberapa permasalahan tersebut menunjukkan bahwa perencanaan penataan ruang berusaha memaksimalkan kelola sumberdaya alamnya dalam menjawab berbagai permasalahan yang terjadi. Inisiatif REDD+ yang juga memaksimalkan sumberdaya alam, khususnya melalui upaya konservasi hutan perlu disesuaikan kebijakannya dengan kebijakan pembangunan di Kabupaten, khususnya dengan RTRW Kabupaten.

Dari beberapa uraian permasalahan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) yang dikaji dalam penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain pada

tahun 2000 – 2012 ?

2. Bagaimana kesesuaian penggunaan lahan eksisting dengan dokumen RTRW Kabupaten ?

3. Bagaimana kebijakan perencanaan tata ruang dapat mendukung inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan ?

4. Bagaimana pendapat para pihak di Kabupaten Katingan atas inisiatif REDD+ agar sejalan dengan perencanaan tata ruang ?

5. Apa saja pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam penyusunan arahan RTRWK atas munculnya inisiatif REDD+ ?

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis pola perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain di Kabupaten Katingan

2. Menganalisis konsistensi penggunaan lahan eksisting dengan pengalokasian ruang pada RTRW Kabupaten Katingan

3. Menganalisis isi kebijakan terkait perencanaan tata ruang yang mendukung inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan

4. Menganalisis preferensi para pihak atas munculnya inisiatif REDD+ di Kabupaten Katingan

5. Merumuskan arahan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Katingan

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang bisa diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Katingan sebagai

evaluasi atas proses perencanaan tata ruang yang telah berlangsung

2. Memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk keberlanjutan program REDD+

(24)

1.5 Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Penelitian

Kabupaten Katingan merupakan kabupaten yang belum lama dimekarkan, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah. Permasalahan seperti penurunan luasan hutan, meningkatnya luas lahan pertanian, lambatnya proses padu serasi TGHK dan RTRWP serta belum diketahuinya pendapat/preferensi stakeholder, menjadi penting untuk ditelaah guna menghasilkan pelaksanaan REDD+ yang sejalan dengan perencanaan tata ruang.

Menurut Koespramoedyo (2009) peranan penataan ruang dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dijabarkan pada rencana pembangunan sangatlah penting. Segala kegiatan yang tentu saja membutuhkan ruang sebagai wadah pendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur di dalam rencana tata ruang. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai kendala dan tantangan yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang serta kelembagaan penataan ruang.

Jika melihat kembali pada 4 (empat) tujuan pertama dalam penelitian ini, diharapkan dapat membantu membangun sekaligus menciptakan arahan yang terbaik untuk menyusun RTRW kabupaten sebagai alternatif yang dapat mengakomodasi kepentingan program nasional, khususnya progam REDD+. Kerangka pemikiran penelitian disusun seperti dalam Gambar 1.

Ruang lingkup dalam penelitian ini, sebagaimana telah dibahas dalam sub bab latar belakang, akan membatasi inisiatif REDD+ secara keruangan yang ada dalam kebijakan dari Pemerintah Pusat dan Daerah. Inisiatif REDD+ yang ada di Kabupaten Katingan saat ini adalah area moratorium kawasan hutan dan area IUPHHK-RE yang akan diusahakan oleh PT. Rimba Makmur Utama.

(25)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan dan Penggunaan Lahan

Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penggunaan lahan (land use) terkait aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik. Sejalan dengan hal tersebut Lillesand dan Kiefer (1993) mendefinisikan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan, sedangkan penutup lahan (land cover) lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut.

Arsyad (2000) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut; (2) penggunaan lahan non pertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan lahan. Dengan demikian sebagai keputusan manusia untuk memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu selain disebabkan oleh faktor permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan hidup, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan (suitability), perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi (feasibility) yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor budaya masyarakat (culture) dan faktor kebijakan pemerintah (policy).

Menurut FAO (1976) penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu (1) penggunaan lahan secara umum (major kind of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi, (2) penggunaan lahan secara terinci atau dikenal sebagai Land Utilization Type (LUT) yaitu tipe penggunaan lahan yang dirinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Contohnya “Tanaman pangan tadah hujan dengan padi sebagai tanaman utama, modal kecil, pengolahan lahan dengan ternak, banyak tenaga kerja dan luas bidang lahan kecil 2 – 5 ha”.

Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible) tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan

(26)

fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat (Winoto et al., 1996).

Perubahan Penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu system yang sama dengan ekosistem. Hal ini disebabkan pada satu kasus dalam sebuah sistem dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya menimbulkan kerusakan spesies lainnya.

Bila dicermati secara seksama, faktor utama penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan adalah peningkatan penduduk sedangkan perkembangan ekonomi adalah faktor turunannya. Barlowe (1986) menyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap hasil non-pertanian, kebutuhan perumahan dan sarana prasarana. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan.

Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal yaitu adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Mc Neil et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong perubahan pengunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan yang akan memberikan pengaruh terhadap manusia itu sendiri dan kondisi lingkungannya.

2.1.1 Analisis Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan

Menurut Rustiadi et al. (2002) pemahaman dinamika pembangunan lahan dan analisis pemanfatan ruang suatu wilayah membutuhkan syarat perlu (necessary condition) pemahaman yang lengkap tentang berbagai aspek dinamis di wilayah tersebut seperti aspek perkembangan kebijakan penataan ruang, aspek perubahan kondisi fisik lingkungan dan wilayah, perubahan aktifitas perekonomian dan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu diperlukan tolak ukur objektif dalam bentuk peubah-peubah yang akan dikaji untuk mengevaluasi keseluruhan dari aspek tersebut.

Winoto et al. (1996) menyatakan bahwa dinamika struktur penggunaan lahan dapat mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Arah perubahan penggunaan khususnya penggunaan pertanian ke non-pertanian secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat,

(27)

perekonomian wilayah dan tara ruang wilayah. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan akan memperlihatkan kecenderungan meningkat atau menurun dalam tata ruang dengan arah mendekati atau menjauhi pusat aktifitas manusia, sehingga membentuk suatu pola yang dapat dipelajari dan diprediksi. Dengan demikian mempelajari dan memprediksi dinamika struktur penggunaan lahan dan perubahannya terkait dengan analisis spasial karena penggunaan lahan mempunyai lokasi yang melekat pada posisi geografi.

Analisis spasial merupakan kumpulan teknik untuk mengatur secara keruangan dari tiap kejadian atas aktivitas manusia pada suatu wilayah. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi geografis obyek - obyek dimana atribut melekat di dalamnya (Rustiadi et al. 2002).

Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah :

1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat.

2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.

3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang geografis.

Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. Menurut Rustiadi et al. (2002), tujuan utama SIG adalah pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi (zoning) dan network analysis. Kebanyakan ahli geografi menyatakan bahwa yang selama ini disebut analisis spasial dan permodelan dengan SIG ternyata tidak lebih dari proses-proses manipulasi data seperti overlay polygon, buffering, dan sebagainya yang pada dasarnya “tidak cukup pantas” menggunakan terminologi analisis.

Analisis spasial saat ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan ilmu geografi kuantitatif dan ilmu pengembangan wilayah (regional science) yang dimulai sejak tahun 1960-an. Perkembangannya diawali dengan digunakannya beberapa teknik dan prosedur kuantitatif (melalui statistik) untuk menganalisis pola-pola sebaran titik, garis, dan area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi. Dalam perkembangannya, penekanan dilakukan pada fitur spesifik lokal dari ruang geografis pada proses-proses pilihan spasial (spatial choices) dan implikasinya secara spatio-temporal.

2.2 Penataan Ruang

Menurut Koespramoedyo (2009), UU No. 25 Tahun 2004 (UU 25/2004) tentang Sistem Perencanaan Pembangunan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan perencanaan pembangunan didalam menjamin tercapainya tujuan negara. UU ini digunakan juga untuk mengarahkan sistem perencanaan

(28)

pembangunan secara nasional. Rencana pembangunan, menurut UU 25/2004, terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Rencana pembangunan tersebut didalamnya terdapat arahan kebijakan pembangunan yang menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Terkait hal ini, daerah akan menyusun RPJPD dan RPJMD yang mengacu pada RPJP dan RPJM Nasional serta membuat program pembangunan dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh Kementerian/Lembaga.

Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 (UU 26/2007) tentang Penataan Ruang dan turunannya adalah satu hal penting untuk menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia dalam beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang sendiri pada dasarnya ada 3 (tiga) kegiatan inti, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penataan ruang tersebut mempunyai produk dalam rencana tata ruang, dalam hal ini disebut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka UU 26/2007 diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Skema hubungan antara penataan ruang dan rencana pembangunan ditampilkan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Skema hubungan penataan ruang dan rencana pembangunan (Koespramoedyo, 2009)

Penjelasan Skema:

1. RPJPN merupakan amanat yang disusun berdasarkan UU No. 25/2004, sedangkan RTRWN disusun berdasarkan amanat yang terdapat pada UU No. 26/2007.

2. Rencana Pembangunan (Nasional dan Daerah) dan Rencana Tata Ruang harus dapat saling mengacu dan mengisi. Berdasarkan pasal 19 UU No. 26/2007

UU No. 25/2004 RPJPN UU No. 26/2007

RPJMN

RKP

RTRWN

Keterangan:

 = mengacu dan mengisi  = mengamanatkan

(29)

tentang Penataan Ruang, bahwa di dalam penyusunan RTRWN harus memperhatikan RPJPN, dan pada pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa RTRWN menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPN. RTRWN merupakan pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan kegiatan yang bersifat “keruangan”. RPJPN dan RTRWN memiliki batas waktu selama 20 tahun. Untuk RTRWN dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis seperti terjadi bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan UU, perubahan batas wilayah provinsi yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWP dan RTRWK), dan perubahan batas wilayah kabupaten/kota yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWK). 3. RPJMN merupakan turunan dari RPJPN yang memiliki batas waktu selama 5

tahun. Penjabaran RPJMN tertuang di dalam RKP yang dirumuskan setiap tahun dan disusun melalui Murenbangnas.

Koespramoedyo (2009) menegaskan bahwa peranan penataan ruang sangat penting dalam melaksanakan kegiatan pembangunan yang dijabarkan pada rencana pembangunan. Seluruh kegiatan yang memerlukan ruang untuk mendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur didalam rencana tata ruang, meskipun dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai hambatan yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Perencanaan Tata Ruang

Penyusunan rencana tata ruang di masa lalu, umumnya sudah baik meskipun dalam beberapa hal produk rencana tata ruang yang dihasilkan masih belum menjadi acuan pada pelaksanaan pembangunan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: data dan informasi yang tersedia kurang akurat dan belum mencakup analisis pemanfaatan sumberdaya kedepan. Seringkali rencana tata ruang ini dibuat hanya untuk memenuhi kewajiban pemerintah (Pusat dan Daerah) sesuai UU 26/2007. Demikian halnya dengan penyusunan rencana tata ruang didaerah khususnya, ada anggapan produk ini merupakan hasil dari satu instansi tertentu dan belum menjadi dokumen bersama (seluruh instansi) karena penyusunannya belum dilakukan secara partisipatif.

Permasalahan lainnya yang sering muncul juga adalah perencanaan suatu kegiatan yang menggunakan ruang secara blue print tidak tergambar secara detail dalam suatu peta rencana yang dapat menyebabkan pada pelanggaran dalam pemanfaatan ruang.

2. Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah terkadang tidak sesuai dengan peruntukannya yang ada dalam rencana tata ruang suatu wilayah. Kebutuhan mendesak yang memerlukan ruang, oleh sebab pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah mengakibatkan tidak terkendalinya alih fungsi lahan. Hal demikian erat kaitannya dengan rencana tata ruang yang inkonsisten dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam jangka menengah dan panjang, serta ketiadaan sanksi hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang. Kebutuhan ruang bagi masyarakat dan pemerintah (daerah) terutama terjadi di daerah-daerah baru akibat pemekaran daerah.

Pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pemerintah sedemikian rupa memerlukan antisipasi yang baik. Berubahnya rencana tata ruang maupun peraturan dan perundangan yang mengatur tata ruang seringkali sulit dilakukan

(30)

dengan segera dan membutuhkan waktu proses yang lama. Misalnya dalam proses alih fungsi kawasan hutan (produksi maupun lindung) yang diminta oleh daerah, maka prosesnya harus mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku. Lamanya proses bergantung pada kepentingan pemerintah pusat dan daerah, yang biasanya hampir bertahun-tahun lebih.

3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang adalah bagian dari penataan ruang yang berguna sebagai alat untuk menertibkan kegiatan yang akan dan atau telah melanggar tata ruang.

Tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, terutama disebabkan oleh arus urbanisasi mengakibatkan pengelolaan ruang kota semakin berat. Selain itu, daya dukung lingkungan dan sosial juga mengalami penurunan, sehingga tidak bisa menyeimbangkan kebutuhan yang disebabkan oleh tekanan penduduk. Masalah perekonomian sekaligus menjadi pemicu dalam pembangunan nasional, disamping kemudian menciptakan berbagai kegiatan pendukung ekonomi yang menjadi faktor utama dalam kegiatan pembangunan. Hal demikian mengakibatkan pada maraknya alih fungsi lahan yang dilakukan dalam rangka melangsungkan dan mendukung kegiatan ekonomi.

Dalam era otonomi daerah saat ini, sudah banyak kewenangan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, yang memberikan kesempatan bagi daerah untuk mencari beragam sumber pendapatan baru guna meningkatkan pendapatan asli daerah melalui berbagai kegiatan ekonomi, termasuk alih fungsi lahan dilakukan tanpa memperhitungkan keberlanjutannya dalam jangka panjang. Misalnya, salah satu upayanya adalah melalui pemberian perizinan, namun sayangnya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam rencana tata ruang. Sehingga dampaknya kemudian adalah bentuk pelanggaran-pelanggaran tata ruang semakin marak terjadi serta terganggunya lingkungan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan bencana yang tentunya merugikan bagi masyarakat.

4. Kelembagaan Penataan Ruang

Kelembagaan penataan ruang ini punya peran penting dalam menyelaraskan kegiatan pembangunan dengan rencana tata ruang. Permasalahan yang terjadi seringkali sulit untuk menciptakan sinergisitas kelembagaan dan hal ini mengakibatkan konflik penataan ruang yang disebabkan oleh tidak selarasnya kegiatan pembangunan, baik antar sektor maupun antar daerah. Dengan kata lain, permasalahan utama dalam penataan ruang ini disebabkan oleh ego sektoral dan daerah yang masih mengemuka. Disamping itu, konflik kewenangan pun terjadi antar instansi pemerintahan secara hirarki. Misalnya, konflik antar sektor kehutanan dengan pemerintah daerah dalam pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini tentunya akan menyebabkan kesulitan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyusunan rencana tata ruang wilayahnya. Oleh sebab itu, peran kelembagaan penataan ruang dalam mencari win-win solution atas permasalahan tersebut menjadi penting dilakukan.

(31)

2.3 Perubahan Iklim dan REDD+

Hasil kajian IPCC dalam Hilman (2008) menunjukan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi sepanjang 12 tahun terakhir. Hasil kajian ini memperlihatkan adanya data total kenaikan suhu dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,760 Celcius dan kenaikan muka air laut rata-rata

1,8 mm/tahun dalam rentang waktu antara tahun 1061 hingga tahun 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Perubahan iklim tersebut, menurut IPCC disebabkan adanya perbuatan manusia sendiri. Mekanisme yang terjadi didalam tubuh, dimana manusia melakukan pembakaran yang menghasilkan gas rumah kaca, begitupun dengan mekanisme diluar tubuh berupa aktivitas pembukaan lahan yang terus dilakukan akibat peningkatan jumlah penduduk serta akibat dari aktifitas pembangunan lainnya.

Dalam konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), terdapat 6 golongan jenis gas yang digolongkan sebagai gas rumah kaca yaitu karbondioksida (CO2),

dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflourida (SFe), perfluorokarbon

(PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). Dari 6 golongan yang disebutkan itu, hampir 75% dari komposisi gas rumah kaca di atmosfer tergolong dalam jenis gas CO2 (karbondioksida). Kenaikan suhu dunia ini akan menyebabkan naiknya

penguapan air, dan penguapan ini berakibat pada peningkatan kelembaban yang membentuk hujan. Selain itu, berdasarkan hasil observasi satelit, meningkatnya aktifitas cyclone di Atlantik Utara sejak tahun 1970 memiliki korelasi dengan kenaikan temperatur pada permukaan laut (Hilman, 2008).

Menurut Hilman (2008) Negara Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim mengingat karakter geografis dan geologisnya, yaitu sebagai negara kepulauan (terdapat 17.500 pulau kecil), memiliki garis pantai yang panjang (81.000 km), memiliki daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Indonesia juga mempunyai potensi hutan luas yang belakangan ini menghadapi ancaman berupa rusaknya hutan secara cepat, rentan terhadap bencana alam dan cuaca ekstrim, memiliki tingkat pencemaran yang tinggi di daerah urban, serta adanya ekosistem dalam area pegunungan dan lahan gambut yang mengalami kerusakan. Selain itu, kegiatan ekonomi yang dilakukan Indonesia masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil yang tingkat keterbaharuannya sangat rendah ketimbangan bahan bakar alternatif dari tumbuhan (biofuel misalnya).

Upaya lain adalah dibidang LULUCF (Land Use, Land Use Change, and Forestry). Menurut Statistik Kementerian Kehutanan (2011) luas daratan di Indonesia mencapai 187 juta ha dengan komposisi 131 juta ha kawasan hutan (71 %) dan 54 juta ha lahan bukan kawasan hutan (39 %). Dari 131 juta ha lahan kawasan hutan itu hanya 68 % (91 juta ha) saja yang punya tutupan hutan dan sisanya 32 % (42 juta ha) mengalami degradasi. Kondisi hutan yang terdegradasi tersebut diperkirakan menyebabkan hilangnya potensi serapan karbon sebesar 2,1 Gigaton CO2/tahun pada tahun 2005 (Hilman, 2008). Terbukanya suatu lahan ini disebabkan oleh perambahan hutan, ilegal logging, kebakaran hutan, dan lain-lain. Selain itu, terjadinya peningkatan pada aktivitas pembukaan lahan disebabkan

(32)

seiring dengan bertambahnya penduduk untuk lahan permukiman, pertanian, perkebunan, dan sarana prasarana jalan.

Upaya mitigasi harus mengutamakan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri. Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD, kependekan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). REDD+ merupakan perluasan cakupan REDD itu sendiri yang tidak hanya pada upaya penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga meliputi upaya konservasi keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari dan upaya peningkatan cadangan karbon lainnya. Istilah REDD+ diperkenalkan dalam Conference Of Parties ke-14 yang diselenggarakan di Poznan, Polandia (lihat Gambar 4).

Menurut CIFOR (2010), cara kerja REDD+ untuk mengurangi emisi melalui penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan ini dimulai dengan memperhitungkannya sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang telah didapatkan tersebut bisa dijual di pasar karbon internasional. Ada juga pilihan lainnya dimana kredit yang diperoleh bisa diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk penyediaan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD+ ini pada akhirnya dapat mendudukkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dan sejajar dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang dapat menimbulkan deforestasi. Kegiatan ekonomi lainnya tersebut saat ini umumnya menjadi penyebab penggundulan hutan dan konversi lahan hutan untuk penggunaan lainnya, seperti lahan pertanian, perkebunan dan peternakan.

Menurut Resosudarmo, et al. (2012) meskipun REDD+ merupakan inisiatif yang relatif baru, sejumlah pemangku kepentingan telah menunjukkan minat dan mulai membangun atau merencanakan inisiatif REDD+ di Indonesia. Jumlah proyek REDD+ yang dilaporkan tahun 2011 berkisar antara 32 dan 36. Proyek-proyek ini mengambil berbagai bentuk dan dilaksanakan oleh aktor yang berbeda. Mulai dari kegiatan demonstrasi, dilaksanakan oleh lembaga bantuan bilateral atau LSM konservasi internasional (Kalimantan Forest Carbon Partnership di Kalimantan Tengah dan Program Karbon Hutan Berau di Kalimantan Timur), konsesi Restorasi Ekosistem dilakukan oleh sektor swasta (misalnya, Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah), Proyek Karbon Komunitas (Ketapang Community Carbon Project di Kalimantan Barat), skala besar proyek pemerintah daerah (misalnya, proyek Ulu Masen di Aceh). Ada 3 tahapan (fase) di Indonesia, menurut IFCA dalam Kementerian Kehutanan (2010), yang dijadikan strategi pendekatan untuk mengimplementasikan REDD+ (lihat Gambar 3).

(33)

G a mbar 4 Sej um la h p eri st iw a pent ing y a ng berka it a n deng an proses p e n eta p an k eput usan m e ng enai REDD+ di Indon esia ( Indrarto et al. , 2013) 2007 200 8 2 009 2010 2011

(34)

2.4 Elemen Dasar, Proses dan Prinsip Implementasi REDD+

Menurut Stern (2008), setidaknya ada tiga elemen penting berupa prinsip-prinsip agar program perubahan iklim terutama REDD bisa berjalan dengan baik, yaitu : efektifitas, efisiensi dan kesetaraan. Sementara Angelsen dan Wertz-Kanounnikoff dalam Angelsen et al. (2010), Efektivitas merupakan kriteria (pertimbangan) yang meliputi kekuatan, nilai tambah, pengendalian dan sejauh mana suatu tindakan dapat mengatasi penyebab utama dari deforestasi dan degradasi. Begitu juga dengan tata kelola pemerintahan dan korupsi yang menjadi penting dalam prinsip efektivitas. Efisiensi merupakan kriteria yang meliputi seluruh biaya mulai dari capacity building, biaya operasional Monitoring, Reporting and Valuation (MRV), dan biaya kompensasi lahan. Berbagai macam biaya harus dipertimbangkan ketika mengembangkan skema REDD. Selain biaya operasional yang digunakan dengan prinsip efisiensi ini, biaya dengan tujuan non perubahan iklim yang berkaitan dengan pembagian manfaat (manfaat tambahan) dan biaya juga diperhitungkan, misalnya penurunan tingkat kemiskinan, perlindungan hak, dan/atau keanekaragaman hayati. Ekuitas merupakan kriteria yang meliputi pertimbangan dengan skala yang berbeda (global, nasional dan tingkat lokal) dan beragam stakeholder atas dasar pendapatan, asset berupa lahan, suku, jenis kelamin dan sebagainya. Prinsip ini memiliki beberapa dimensi, termasuk didalamnya antara lain : pembagian manfaat REDD+ yang adil dan merata, serta dampak yang sampai ke tingkat masyarakat adat dan penduduk lokal.

Menurut Satgas REDD (2012), implementasi REDD+ di Indonesia berlandaskan lima prinsip implementasi, yaitu : efektif, efisien, adil, transparan, dan akuntabel. Kesemuanya dijabarkan sebagai berikut:

1. Efektif: Penurunan emisi dan bertambahnya penghasilan berupa manfaat tambahan yang nyata dan dapat diukur pada kegiatan REDD+.

2. Efisien: upaya REDD+ merupakan kegiatan jangka panjang yang memberikan keuntungan finansial, ekologis, dan sosial.

3. Adil: Implementasi REDD+ dilaksanakan atas prinsip kesetaraan untuk semua orang dan perlindungan hak asasi manusia dalam pengelolaan hutan termasuk kelompok perempuan (gender) dan masyarakat yang rentan perubahan sosial-ekonomi dan lingkungan.

4. Transparan: Hal ini sekaligus memberi pemahaman yang utuh dan kesempatan kepada semua pemangku kepentingan untuk terlibat.

5. Akuntabel: Implementasi REDD+ dapat dipertanggungjawabkan di tingkat nasional dan internasional dari sisi relevansi, proses, pendanaan, maupun hasil yang diperoleh.

Adapun ruang lingkup kegiatan REDD+ di Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut (Satgas REDD, 2012) :

1. Penurunan emisi dari deforestasi

2. Penurunan emisi dari degradasi hutan dan/atau lahan gambut a. Pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon melalui: b. Konservasi hutan

c. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan d. Rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak

(35)

3. Penciptaan manfaat tambahan bersamaan dengan peningkatan manfaat dari karbon melalui:

a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal b. Peningkatan kelestarian kenakeragaman hayati

Selain upaya pada aktivitas menurunkan emisi, REDD+ juga punya tujuan lain yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai manfaat tambahan yang bisa diperoleh dari aktivitas utamanya. Menurut Angelsen dan Wertz-Kanounnikoff (2012) manfaat tambahan yang menjadi pertimbangan penting sedikitnya ada 4 macam:

1. Konservasi hutan, upaya ini selain menyimpan karbon juga menyediakan jasa lingkungan seperti terjaganya keanekaragaman hayati

2. Keuntungan sosial dan ekonomi, upaya ini meliputi menurunkan kemiskinan, meningkatnya sumber mata pencaharian dan mendorong pembangunan ekonomi

3. Berkurangnya korupsi dan sikap lebih menghargai hak-hak individu, upaya ini tercipta atas berubahnya kondisi politik dengan tata kelola yang baik.

4. Kemampuan hutan dan masyarakat yang adaptif terhadap perubahan iklim Dengan demikian elemen dasar REDD+ itu sendiri meliputi pencapaian upaya perubahan iklim dan juga pencapaian upaya memperoleh manfaat tambahan. Elemen dasar REDD+ ini kemudian didalam pelaksanaannya juga perlu mengacu pada elemen proses yang meliputi keadilan (hak publik dan gender), transparansi dan akuntabel.

2.5 Indikator Harapan dan Kekhawatiran REDD+

Menurut Resosudarmo et al. (2013) dalam penelitiannya di 4 negara (Brasil, Kamerun, Indonesia dan Tanzania), tiap responden pada survei tingkat rumah tangga memberikan pendapatnya terkait harapan dan kekhawatiran atas proyek REDD+ di tingkat lokal. Tanggapan mereka sebagian besar dapat dikelompokkan dalam lima tema: peningkatan pendapatan, perlindungan hutan, pengurangan ancaman perubahan iklim, keamanan penguasaan lahan dan realisasi proyek. Harapan‑harapan lokal, yang dimaksud disini adalah refleksi dari tema‑tema yang telah disebutkan sebelumnya seperti peningkatan pendapatan, perlindungan hutan dan pengurangan ancaman perubahan iklim. Sementara yang dimaksud kekhawatiran disini adalah refleksi atas ketakutan bahwa suatu proyek akan gagal menemui targetnya berupa ketidakmampuan untuk meningkatkan pendapatan, keamanan penguasaan lahan, dan realisasi proyek.

Peningkatan pendapatan, secara umum, adalah output dalam bentuk pendapatan dengan harapan dan kekhawatiran yang paling sering dinyatakan dalam kaitannya dengan proyek‑proyek REDD+ lokal. Perlindungan hutan, oleh mayoritas penduduk desa yang terlibat aktif dan serius dalam proyek‑proyek REDD+, memahaminya sebagai manfaat yang bersifat sekunder. Kemudian temuan ini juga berhasil menunjukkan bahwa penduduk desa memberikan perbedaan antara target proyek dengan potensi manfaat pribadi yang bias mereka hasilkan dari proyek. Temuan ini sekaligus juga memberikan saran, dengan pendapatan yang lebih baik sebagai kompensasi perlindungan hutan mungkin

Gambar

Tabel 1 Luas Kawasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV  No.  PIPIB  No. SK Menhut  Tanggal  Luas
Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
Tabel 3   Matrik  Hubungan  Antara  Tujuan,  Jenis  Data,  Sumber  Data,  Teknik  Analisis dan Keluaran
Gambar 6  Bagan Alir Tahapan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perencanaan jalan Blitar - Srengat ini penulis menggunakan perkerasan lentur dengan metode AASHTO, penulis menyarankan kepada pembaca yang ingin berminat mengambil tugas

Pada proses ini Dilakukan perataan hujan menggunakan metode rata-rata aljabar dari data hujan harian hasil pencatatan curah hujan dari daerah masing-masing

Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pasien dalam meningkatkan. keberhasilan terapi DM

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Memperoleh informasi model penilaian pendidikan karakter pada mata pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, (2) Menemukan model

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas. Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling

Untuk data usahatani musim tanam yang dianalisis adalah Februari hingga Oktober 2008, disesuaikan dengan masa panen (tujuh bulan). Penerimaan usahatani adalah selisih antara

Pengujian perkembangan populasi dan preferensi makan kutudaun dilakukan pada tanaman dan daun kacang panjang yang diberi perlakuan kitosan.. Tanaman kontrol tidak diberi

Fungsi perencanaan, perusahaan membuat perencanaan dana yang akan digunakan baik itu dana operasional maupun non operasional yang di aktualisasikan dalam bentuk anggaran