• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah dengan luas mencapai 42.516 hektar. Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 kecamatan, 123 desa, dan 9 kelurahan. Kudus merupakan daerah industri dan perdagangan. Dimana sektor tersebut merupakan sektor unggulan yang menopang sistem perekonomian yang ada dan berkontribusi besar terhadap PDRB.

Kabupaten Kudus mempunyai potensi yang besar di sektor pariwisata. Potensi tersebut antara lain potensi wisata alam, budaya, maupun religi. Potensi wisata alam sebagian besar berada di Kawasan Gunung Muria, diantaranya Wisata Colo, Air Terjun Montel, Rahtawu, Krida Wisata, Hutan Wisata Kajar. Wisata budaya diantaranya yaitu Situs Purbakala Patiayam, Tugu Identitas Kudus dan Museum Kretek. Selanjutnya untuk wisata religi yaitu dua makam Wali Songo yaitu makam Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sebagian besar wisatawan berkunjung ke obyek wisata religi dan budaya yakni sebanyak 80 %. Sisanya 20 % berkunjung ke obyek wisata alam (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus).

Sektor pariwisata di Kabupaten Kudus cukup mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 12 Tahun 2015. Anggaran untuk sektor pariwisata yaitu sebesar 4 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kudus Tahun Anggaran 2016. Besarnya anggaran tersebut turut serta dalam memajukan perkembangan sektor pariwisata di Kabupaten Kudus.

Anggaran untuk sektor pariwisata diantaranya digunakan untuk mengembangkan infrastruktur pendukung pariwisata. Infrastruktur tersebut turut serta dalam menunjang berkembangnya berbagai obyek wisata di Kabupaten Kudus. Dengan adanya perkembangan tersebut, bahkan menjadi

(2)

inisiasi terhadap berkembangnya sektor lain di sekitar lokasi obyek wisata. Contohnya sektor ekonomi masyarakat ikut terbantu akibat adanya potensi wisata. Korelasi lain yang ikut terbantu atau terkena dampak positif antara lain, sektor transportasi, biro perjalanan, akomodasi, dan tempat tinggal.

Salah satu obyek wisata di Kabupaten Kudus yang menjadi lokasi kajian penelitian adalah Situs Purbakala Patiayam. Situs ini terletak di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Potensi yang dimiliki oleh situs ini antara lain berupa potensi wisata alam, budaya, dan geologi. Banyaknya fosil-fosil yang ditemukan di daerah Patiayam menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Terhitung hingga kini sebanyak 2.751 jenis fosil telah ditemukan di situs ini (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus). Selain memiliki potensi di bidang wisata alam, sejarah, dan geologi, Situs Purbakala Patiayam juga merupakan salah satu Cagar Budaya di Kabupaten Kudus. Situs ini ditetapkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah terhitung sejak tanggal 22 September 2005. Situs ini juga merupakan satu-satunya Cagar Budaya prasejarah yang ada di Kabupaten Kudus. Meskipun situs ini telah ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya di Kabupaten Kudus, akan tetapi situs ini belum memiliki peraturan daerah sendiri yang mengatur. Hal tersebut mengakibatkan belum adanya biaya retribusi bagi pengunjung situs.

Penetapan Situs Purbakala Patiayam menjadi salah satu Cagar Budaya di Kabupaten Kudus, menunjukkan bahwa obyek wisata ini telah memiliki perlindungan hukum yang sah. Perlindungan hukum merupakan suatu hal penting, artinya upaya untuk melindungi dan menjaga keutuhan tinggalan Cagar Budaya dari kepunahan dan kerusakan. Perlindungan hukum didasarkan pada aturan-aturan atau norma-norma hukum, terutama yang tercantum di dalam perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang sudah jelas akan memberikan kepastian hukum dan arah tindakan yang tepat.

(3)

1.1.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, diketahui bahwa Situs Purbakala Patiayam memiliki potensi yang besar di bidang wisata alam, sejarah, geologi. Situs ini juga telah ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya di Kabupaten Kudus sehingga memiliki payung hukum yang jelas. Kemudian sektor pariwisata di Kabupaten Kudus juga mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah daerah setempat dilihat dari anggaran yang diberikan.

Ketiga hal tersebut dijadikan sebagai latar belakang mengapa Situs Purbakala Patiyam layak untuk dikembangkan. Bentuk pengembangan tersebut diharapkan tidak hanya berdampak pada peningkatan pendapatan daerah saja. Pengembangan pariwisata juga harus berdampak tidak langsung pada pelestarian Cagar Budaya dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat sekitar. Pengembangan tersebut menunjukkan bahwa pariwisata adalah satu bentuk pembangunan yang menjangkau luas ke banyak elemen. Wawasan pembangunan pariwisata mengupayakan terwujudnya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara industri pariwisata dan lingkungan setempat. Kegiatan pariwisata seperti ini sering disebut dengan istilah Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan.

Pembangunan Pariwisata Berkelanjuan dapat dicapai dengan memperhatikan kepentingan dan pengetahuan stakeholder terhadap obyek pariwisata. Obyek pariwisata dalam penelitian ini adalah Situs Purbakala Patiayam. Seluruh stakeholder terkait harus mengetahui beberapa pengetahuan mengenai situs tersebut. Pengetahuan tersebut antara lain terdiri dari pemahaman terhadap sejarah pengembangan pariwisata, prosedur dan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan dan pengelolaan pariwisata, dan jenis obyek wisata.

Pengetahuan secara umum terkait situs merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh setiap stakeholder. Pengetahuan ini nantinya dapat digunakan untuk menilai persepsi/pandangan masing-masing stakeholder terkait Situs Purbakala Patiayam. Dalam formulasi kebijakan menurut

(4)

Mustopadidjaja (2003), para stakeholder harus memiliki persepsi dan pandangan/views, yakni semacam intellectual ventures yang berkaitan dengan obyek pengamatan.

Salah satu fenomena yang sarat dalam pengelolaan potensi alam pada Cagar Budaya adalah kurangnya integrasi antara stakeholder. Integrasi yang baik antara masing-masing stakeholder dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan Situs Purbakala Patiayam. Pengetahuan dan persepsi tersebut diperlukan agar masing-masing stakeholder mengetahui nilai dan potensi apa saja yang dimiliki oleh situs sehingga layak untuk dikembangkan. Terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, antara lain :

1. Seperti apa sejarah, lokasi, dan karakteristik Situs Purbakala Patiayam?

2. Bagaimana persepsi stakeholder terhadap pengembangan Situs Purbakala Patiayam?

1.2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.2.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat dijabarkan tujuan dari penelitian ini, diantaranya :

1. Mengidentifikasi sejarah, lokasi, dan karakteristik Situs Purbakala Patiayam.

2. Menganalisis persepsi stakeholder terhadap pengembangan Situs Purbakala Patiayam.

(5)

1.2.2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan:

1. Teoritis : mendukung keilmuan dan memperkaya khasanah pengetahuan tentang Situs Purbakala Patiayam.

2. Praktis : dapat digunakan sebagai alternatif referensi bagi pemerintah daerah lainnya dalam upaya mengembangkan kawasan wisata sejenis lainnya.

1.3. Keaslian Penelitian

Penelitian ini didasarkan atas penelitian lain yang mempunyai kemiripan pada aspek judul, landasan teori, maupun metode penelitian yang digunakan. Penelitian mengenai persepsi masyarakat sebenarnya sudah banyak dilakukan, baik dari dalam maupun luar negeri. Terdapat lima penelitian yang dijadikan sebagai dasar dari adanya penelitian ini. Kelima penelitian tersebut antara lain berupa tiga jurnal dan dua skripsi.

Jurnal yang pertama oleh Shida Irwana Omar yang berjudul “George

Town, Penang as a World Heritage Site : The Stakeholder Perception”. Jurnal

tersebut memiliki kemiripan dengan penelitian ini khususnya pada bagian metode. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Obyek penelitian yaitu seluruh

stakeholder terkait dan masyarakat lokal. Hasil dari jurnal ini menyebutkan

bahwa sebagian besar stakeholder dan penduduk lokal sadar akan status dari

George Town sebagai salah satu warisan dunia dan setuju untuk

mengembangkannya .

Kemudian jurnal yang kedua oleh IGM. Konsukartha yang berjudul “Persepsi Masyarakat Adat Terhadap Implementasi RTRW di Nusa Ceningan, Klungkung, Bali”. Jurnal tersebut memiliki kemiripan dengan penelitian ini dalam aspek metode yang digunakan. Metode yang digunakan memiliki persamaan dengan jurnal yang pertama yaitu deskriptif kualitatif dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Obyek penelitian

(6)

yaitu masyarakat adat di Nusa Ceningan, Klungkung, Bali. Hasil dari jurnal ini menyebutkan bahwa masyarakat adat menolak dengan tegas akan adanya Implementasi RTRW di daerah penelitian karena tidak sesuai dengan budaya turun-menurun yang telah ada.

Jurnal yang ketiga oleh Dea Martha, dkk., yang berjudul “Strategi Pengembangan Situs Purbakala Patiayam Sebagai Aset Pariwisata Kabupaten Kudus”. Metode yang digunakan pada jurnal tersebut memiliki persamaan dengan kedua jurnal di atas yaitu deskriptif kualitatif. Sedangkan untuk analisis data yang digunakan adalah teknik analisis SWOT. Obyek penelitian yang digunakan sama dengan penelitian ini yaitu Situs Purbakala Patiayam. Hasil dari jurnal ini menunjukkan bahwa Situs Purbakala Patiayam layak untuk dikembangkan secara lebih lanjut. Bentuk kelayakan dari situs ini untuk dikembangkan adalah karena situs ini menyimpan berbagai jenis fosil yang memiliki kualitas yang baik. Hal tersebut menjadikan situs ini mempunyai daya tarik tersendiri karena fosil yang ditemukan utuh dan tidak rusak. Selain sebagai tempat wisata alam dan budaya situs ini juga dapat dijadikan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat. Adapun unsur-unsur yang perlu dikembangkan dalam situs ini diataranya adalah terkait sarana dan prasarana yang disediakan dan kurangnya tenaga ahli. Pemberdayaan ekonomi sekitar juga masih belum maksimal diakibatkan perkembangan dari situs ini yang cenderung stagnan dan lambat.

Penelitian selanjutnya adalah oleh Kaswandi yang berjudul “Kajian Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Lokal Kelurahan Sinar Baru Terhadap Pengembangan Kampung Wisata Matras di Kecamatan Sungai Liat Kabupaten Bangka”. Kemudian penelitian oleh Indah Marisa yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Potensi Pariwisata Arkeologis di Nagari Maek”. Kedua penelitian tersebut memiliki metode yang sama yaitu deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian skripsi yang pertama menunjukkan bahwa masyarakat lokal kurang setuju dengan pengembangan Kawasan Wisata Matras. Sedangkan hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa

(7)

terdapat potensi yang besar pada Cagar Budaya yang tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik oleh pemerintah daerah setempat.

Letak perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah metode yang digunakan, obyek penelitian, dan stakeholder yang dilibatkan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif yang digunakan sama dengan penelitian sebelumnya yaitu deksriptif kualititatif. Sedangkan metode kuantitatif dengan menggunakan alat bantu kuesioner dan software SPSS. Selanjutnya obyek penelitian pada penelitian sebelumnya memiliki persamaan dengan penelitian ini adalah pada jurnal oleh Dea Martha, dkk. Jurnal ini memiliki persamaan pada obyek penelitian yaitu di Situs Purbakala Patiayam. Selanjutnya untuk stakeholder terkait terdiri dari instansi terkait yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, pihak pengelola, wisatawan, dan masyarakat lokal.

(8)

Tabel 1.1. Tabel keaslian penelitian

NO PENULIS JUDUL METODE JENIS

PENELITIAN

HASIL PENELITIAN 1. Shida Irwana Omar George Town, Penang as a

World Heritage Site : The Stakeholder Perception

Deskriptif kualitatif Jurnal 70 % stakeholder dan penduduk merasa sadar akan status dari George Town sebagai salah satu warisan budaya dunia, terdapat 3 pendapat utama diantaranya, peningkatan daya tarik kawasan ini agar lebih banyak pengunjung, peningkatan pelayanan dengan bentuk pameran, dan peningkatan status George Town agar menarik wisatawan internasional.

2. IGM. Konsukartha Persepsi Masyarakat Adat Terhadap Implementasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di Nusa Ceningan, Klungkung, Bali

Deskriptif kualitatif Jurnal Pandangan masyarakat adat terhadap implementasi rencana tata ruang wilayah yang dibuat oleh pemerintah kurang sesuai. Hal tersebut diakibatkan oleh budaya turun menurun yang telah ada pada masyarakat lokal mengenai penggunaan lahan, sehingga tidak dapat diubah untuk kepentingan lainnya sebelum ada kesepakatan bersama antara berbagai elemen masyarakat adat yang ada. 3. Dea Martha, dkk Strategi Pengembangan Situs

Purbakala Patiayam Sebagai Aset Pariwisata Kabupaten

Kudus

Deskriptif kualitatif dan Analisis SWOT

Jurnal Dapat diketahui faktor internal dan eksternal dari pengembangan Situs Purbakala Patiayam. Terdapat dua masalah utama dalam pengembangan Situs Purbakala Patiayam. Kedua masalah tersebut adalah kekurangan dana akibat tidak adanya investor dan peningkatan kualitas dan fasilitas berupa sarana dan

(9)

prasarana yang dapat menunjang berkembangnya situs tersebut

4. Kaswandi Kajian Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Lokal

Kelurahan Sinar Baru Terhadap Pengembangan Kampung Wisata Matras di

Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka

Deskriptif kualitatif Skripsi Secara keseluruhan, sebagian besar responden (47,73%) memiliki tingkat persepsi sedang dalam berpartisipasi pengembangan Kampung Wisata Matras ini. Seluruh analisis menggunakan tabulasi silang, chi-square, dan Spearman menunjukkan bahwa semua variabel berhubungan dan arahnya positif dengan partisipasi, kecuali umur dan jumlah tanggungan yang arahnya negatif. 5. Indah Marisa Persepsi Masyarakat

Terhadap Potensi Pariwisata Arkeologis di Nagari Maek

Deskriptif kualitatif Skripsi Adanya potensi Cagar Budaya yang besar tidak diimbangi dengan upaya pengelolaan baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya sarana dan prasarana, fasilitas pendukung wisata, kurangnya sosialisasi mengenai potensi wisata ini, serta minat masyarakat yang cenderung minim untuk mengembangkan lokasi wisata ini.

6. Maulana Ghani Yusuf

Persepsi Stakeholder Terhadap Pengembangan Situs Purbakala Patiayam

Deskriptif kualitatif dan Analisis

Kuantitatif

Skripsi Situs Purbalaka Patiayam memiliki sejarah yang panjang dalam pembentukannya sebagai satu-satunya situs prasejarah di Kabupaten Kudus. Selain itu, aspek lokasi dan karakterisitik juga dibutuhkan dalam mengembangkan situs ini. Kemudian persepsi dari masing-masing stakeholder terkait menunjukkan bahwa situs ini sudah sangat layak untuk dikembangkan secara lebih lanjut.

(10)

1.4. Tinjauan Pustaka

1.4.1. Peran Pariwisata dalam Pembangunan

Memasuki abad ke 21 ini, perhatian terhadap sektor pariwisata mulai meluas. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat luas mulai menyadari bahwa pariwisata dapat mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara. Sekarang ini tiap negara mengembangkan pariwisata sebagai suatu industri. Rasanya ketinggalan kalau tidak ikut mengembangkan pariwisata sebagai katalisator dalam pembangunan, termasuk di Indonesia (Yoeti, 2008).

Peran pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara tidak dapat diragukan lagi. Banyak negara mengembangkan potensi pariwisata dengan serius. Hal tersebut diakibatkan karena pariwisata dapat mendatangkan devisa bagi negara, pengurangan angka pengangguran, dan pengentasan terhadap kemiskinan. Pariwisata yang berhasil akan mampu meningkatkan nilai investasi, dan selanjutnya akan mampu menyerap jumlah tenaga kerja, meningkatkan perputaran, dan pendistribusian uang di daerah wisata.

Arab Saudi misalnya, merupakan salah satu negara yang mengembangkan sektor pariwisata. Meskipun kaya akan hasil minyak bumi tetapi negara ini terus berupaya untuk mengembangkan sektor pariwisata. Hal tersebut disebabkan karena diperkirakan minyak bumi sebagai sumber devisa negaranya di tahun 2040 sudah mulai berkurang. Demikian pula dengan Indonesia, menurut beberapa pakar di tahun 2012 eksplorasi minyak bumi yang kini memberikan kontribusi devisa 70 - 80 % menjadi tidak ekonomis lagi. Selain sumbernya sudah menipis, diperkirakan biaya eksplorasinya semakin tidak efisien. Sebagai komoditi pengganti, pariwisata diharapkan menjadi komoditi prospektif sebagai daya tarik penghasil devisa negara yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan yang berkelanjutan (Yoeti, 2008).

Pada umumnya, pariwisata dianggap dan diperlakukan hanya sebagai sebuah “industri”. Padahal sebagaimana dikemukaan oleh Smith dan Eadington dalam buku Pengantar Pariwisata I (Pitana, 2009) menyebutkan bahwa pariwisata sangat layak untuk dipandang sebagai obyek kajian dan

(11)

dikembangkan sebagai ilmu. Hal tersebut disebabkan karena ilmu mengenai pariwisata mempunyai sejarah, pustaka, dan prinsip-prinsip yang terstruktur serta aspek keilmuan lainnya.

Salah satu penelitian yang mendasari bahwa pariwisata dapat dipandang sebagai suatu ilmu atau kajian pustaka adalah penelitian dari Siddiqui dan Reajesh (2004) dalam (Mudrikah dkk, 2014). Penelitian ini menyebutkan tentang nilai ekonomi pada industri pariwisata di India dalam kaitannya dengan kontribusi yang diberikan terhadap GDP dan kesempatan kerja. Sektor pariwisata tersebut mampu memberikan kontribusi sebesar 5,8 % terhadap GDP dan 8,3 % terhadap kesempatan kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran pariwisata sangatlah besar dan menjadi salah satu industri yang penting di India.

Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa pariwisata mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara. Pariwisata merupakan salah satu sektor andalan pemerintah. Pariwiata mampu digunakan untuk memperoleh keuntungan (devisa), memperluas lapangan usaha, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sektor pariwisata mempunyai peran yang sangat besar bagi pembangunan di suatu negara.

1.4.2. Nilai Penting Pengembangan Situs Purbakala Patiayam

Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan masa lampau melalui peninggalannya. Peninggalan tersebut dijadikan acuan sebagai modal untuk menapaki kehidupan pada masa kini dan masa depan. Modal tersebut digunakan untuk menginspirasi generasi sekarang dalam bersikap, bertindak, dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu karakter dari adanya peninggalan tersebut adalah kemampuan manusia masa lampau dalam beradaptasi dan arif terhadap alam, dan tanpa harus tergantung sepenuhnya terhadap alam (Rahardjo, W., 2012)

Peninggalan arkeologi merupakan salah satu warisan budaya bangsa. Peninggalan ini memiliki makna dan peran penting dalam rangka

(12)

membangun karakter bangsa. Karakter tersebut dibangun berdasarkan warisan budaya yang bernilai tinggi dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Di dalam arkeologi, situs purbakala diartikan sebagai lokasi tempat ditemukannya peninggalan purbakala sebagai bukti dari adanya aktivitas manusia pada masa lampau. Tanda-tanda umum yang dapat dilihat mengenai keberadaan suatu situs adalah adanya artefak. Artefak tersebut dapat ditemukan baik di permukaan tanah maupun dibawah tanah (Imron, 2015).

Situs purbakala menurut pengertian monumental ordonnatie Nomor 238 Tahun 1931, merupakan monumen yang dilindungi dari kerusakan atau perusakan (Imron, 2015). Di dalam pasal 1 ayat 1 monumen tersebut disebutkan bahwa yang dianggap sebagai monumen dalam peraturan tersebut antara lain :

 Benda bergerak maupun tidak bergerak yang dibuat oleh tangan manusia, bagian atau kelompok benda-benda dan juga sisanya yang pokoknya berumur 50 tahun atau paling sedikit 50 tahun dan dianggap memiliki nilai penting bagi prasejarah, sejarah, atau kesenian.

 Benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting dipandang dari sudut paleoantropologi.

 Situs yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa di dalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada poin 1 dan 2 di atas

Situs purbakala di Indonesia, banyak yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Penetapan sebagai Cagar Budaya ini menunjukkan bahwa situs tersebut telah mempunyai dasar hukum yang jelas, baik dalam pengelolaan, perawatan, pelestarian maupun pengembangannya. Undang-undang yang mengatur mengenai Cagar Budaya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010. Di dalam undang-undang tersebut, dapat dilihat adanya perhatian yang besar pada Cagar Budaya. Perhatian tersebut

(13)

membawa konsekuensi pada cara-cara pelestarian yang tidak hanya terpusat pada peninggalan purbakala. Akan tetapi juga harus memperhatikan unsur lingkungan fisik yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan Cagar Budaya tersebut. Undang-undang mengenai Cagar Budaya juga berkaitkan dengan pembagian kewenangan dalam pengelolaan Cagar Budaya di suatu daerah. Pembagian wewenang pada Cagar Budaya yang tidak atau belum diberikan peringkat menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan Cagar Budaya yang telah diberikan peringkat, dapat menjadi wewenang dari pemerintah pusat.

Cagar Budaya erat kaitannya dengan upaya untuk pelestarian. Untuk memahami makna pelestarian Cagar Budaya kiranya perlu ditegaskan prinsip-prinsip umum yang melandasinya. Rahardjo (2013) mengatakan bahwa terdapat empat prinsip dalam melestarikan suatu cagar budaya, antara lain : Pertama, setiap upaya pelestarian dilakukan berdasarkan studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis dan administratif. Kedua, kegiatan pelestarian harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian. Ketiga, tata cara pelestarian harus mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian. Dan keempat pelestarian harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.

Secara lebih khusus pelestarian kawasan Cagar Budaya perlu memperhatikan permasalahan utama yang melandasi keempat unsurnya, yaitu perlindungan, pengembangan, pengelolaan, dan pemanfaatan. Berikut ini dijelaskan mengenai permasalahan berdasarkan keempat unsur tersebut (Rahardjo, 2013) :

1. Perlindungan

Perlindungan pada dasarnya merupakan upaya untuk mencegah (preventif) dan menanggulangi (kuratif) Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran dan kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan,

(14)

zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Dalam kaitannya dengan kawasan Cagar Budaya, zonasi merupakan tindakan perlindungan yang paling penting. Zonasi sebagai sarana untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang dilakukan tidak hanya terhadap kawasan tetapi juga terhadap situs. Selain zonasi, terdapat kegiatan-kegiatan lain yang biasanya ditujukan untuk melindungi benda, bangunan, dan struktur. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, dan pemugaran.

2. Pengembangan

Dalam konteks pelestarian, upaya pengembangan didefiniskan sebagai peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui penelitian, revitalisasi, dan adaptasi. Kegiatan pengembangan harus memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya. Adapun arah pengembangan adalah untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya untuk pemeliharaan Cagar Budaya dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian dalam konteks pengembangan ini dilakukan untuk menghimpun informasi serta mengungkap, mendalami, dan menjelaskan nilai-nilai budaya. Penelitian untuk pengembangan dapat dilakukan sebagai bagian yang berdiri sendiri, baik berupa penelitian dasar atau penelitian terapan. Penelitian juga dapat dilaksanakan dalam kerangka analisis mengenai dampak lingkungan.

Adapun revitalisasi ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Revitalisasi hanya dilakukan terhadap situs dan kawasan Cagar Budaya untuk memunculkan potensi dengan memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lansekap budaya asli berdasarkan kajian. Revitalisasi ini dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang Cagar Budaya. Di samping

(15)

itu revitalisasi juga harus memperhatikan ciri budaya lokal. Mengikuti prinsip pengembangan pada umumnya, revitalisasi harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Sedangkan adaptasi merupakan upaya pengembangan terhadap bangunan, struktur, situs, dan kawasan Cagar Budaya untuk disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Adaptasi dilakukan dengan mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya, menambah fasilitas sesuai kebutuhan, mengubah susunan ruang secara terbatas dan/atau mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya. 3. Pemanfaatan

Pemanfaatan merupakan pendayagunaan Cagar Budaya yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Pemanfaatan Cagar Budaya dapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Untuk kepentingan ini pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pemanfaatan dalam bentuk pemberian izin pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan. Di samping itu diberikan juga fasilitas melalui promosi Cagar Budaya untuk memperkuat identitas budaya dan meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat.

Pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan. Terhadap Cagar Budaya yang ketika ditemukan sudah tidak berfungsi dimungkinkan untuk dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Ketentuan mengenai pemanfaatan sebenarnya cukup ketat termasuk kewajiban untuk meminta izin pemanfaatan, memperhatikan fungsi ruang, dan perlindungannya dan kewajiban untuk

(16)

mengembalikan kondisi semula sebelum dimanfaatkan apabila Cagar Budaya tersebut tidak lagi dimanfaatkan. Ketentuan lainnya terutama berkaitan dengan penggandaan benda-benda atau koleksi benda Cagar Budaya yang disimpan di museum.

4. Pengelolaan

Berbeda dengan pelestarian yang dapat dipilah-pilah ke dalam tiga aspeknya, yaitu perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pengelolaan merupakan upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan demikian pengelolaan pada dasarnya merupakan aspek manajemen dari pelestarian. Tujuan yang menjiwai pengelolaan adalah memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Cagar Budaya memiliki nilai penting pada suatu daerah. Cagar Budaya berupa situs purbakala dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui kehidupan di masa lalu. Dengan diketahuinya kehidupan tersebut, dapat digunakan untuk menapaki kehidupan di masa kini dan mendatang. Selain itu, Cagar Budaya juga dapat dijadikan sebagai cermin atau gambaran dari jati diri suatu bangsa.

1.4.3. Persepsi dalam Pengembangan Situs Purbakala Patiayam

Munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 merupakan tonggak perubahan arah kebijakan pengelolaan Cagar Budaya di Indonesia. Perubahan arah kebijakan itu diantaranya berupa perubahan pada sistem perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan pada Cagar Budaya. Selain itu, undang-undang tersebut juga mempunyai perubahan orientasi pada manajemen pengelolaan Cagar Budaya yang bersifat partisipatif atau lebih melibatkan masyarakat lokal.

Manajemen pengelolaan tidak hanya diserahkan kepada pemerintah pusat atau daerah saja. Pemerintah baik pusat maupun daerah tidak

(17)

mengambil peran sebagai penanggungjawab tunggal dalam sistem pengelolaan manajemen Cagar Budaya. Akan tetapi selalu melibatkan para

stakeholder terkait. Stakeholder tersebut terdiri dari masyarakat, akademisi,

pihak swasta, pihak pengelola, pemerintah daerah, dan wisatawan.

Pelestarian Cagar Budaya mencakup tiga tugas penting yaitu perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Perlindungan dalam hal ini yaitu melakukan penyelamatan, pengamanan, zonasi kawasan, pemeliharaan dan pemugaran Cagar Budaya. Kemudian pengembangan yang mencakup kegiatan penelitian, revitalisasi Cagar Budaya, dan adaptasi. Sedangkan pemanfaatan adalah mencakup kegiatan pemanfaatan untuk bidang agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Ketiga fokus kegiatan pelestarian ini merupakan suatu kegiatan yang terkait dan saling mendukung (Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2015).

Pelestarian Cagar Budaya membutuhkan suatu perencanaan yang jelas dan terarah. Dalam merencanakan sesuatu bila dilakukan dengan baik tentu akan memberikan manfaat yang besar dan memperkecil semua efek samping yang tidak menguntungkan. Karena itu, perencanaan merupakan suatu hal yang penting dalam pengembangan pariwisata guna mencapai sasaran yang dikehendaki. Sasaran tersebut dapat ditinjau dari banyak segi, diantranya ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup (Yoeti, 2008). Salah satu aspek yang diperlukan dalam perencanaan obyek wisata berupa Cagar Budaya adalah diketahuinya persepsi dari masing-masing stakeholder terkait pengembangan obyek wisata. Persepsi tersebut nantinya akan dijadikan dasar dalam merencanakan pengembangan pada obyek wisata.

Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan Situs Purbakala

Patiayam antara lain terdiri dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, pihak pengelola museum yang terdiri dari Paguyuban Pelestari Situs Purbakala Patiayam, Balai Pelestari Manusia Purba Sangiran, Balai Arkeologi Yogyakarta, kepala desa, masyarakat lokal dan wisatawan. Persepsi yang diperlukan dari pengembangan Situs Purbakala Patiayam yaitu

(18)

persepsi mengenai situs itu sendiri, upaya pengembangan, kendala dalam mengembangkan, serta rencana pengembangan ke depan.

Perbedaan persepsi tiap stakeholder disebabkan oleh posisi dan tugas dari stakeholder itu sendiri dalam mengembangkan Situs Purbakala Patiayam. Dibutuhkan adanya keselarasan persepsi antara masing-masing

stakeholder dengan membuat triangulasi. Triangulasi ini bertujuan untuk

membagi stakeholder ke dalam beberapa tahapan sesuai dengan persepsi mereka terhadap pengembangan Situs Purbakala Patiayam. Selain itu, triangulasi persepsi stakeholder juga bertujuan untuk mengetahui berbagai permasalahan dan solusi alternatif tiap tahapan yang telah ditentukan.

1.5. Landasan Teori

1.5.1. Tujuan Pertama

 Pengertian Sejarah

Kata Bahasa Inggris history atau sejarah berasal dari kata benda Yunani “istoria”, yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak hidup di dalam bahasa Inggris di dalam sebutan natural history. Sedangkan kata

istoria biasanya diperuntukkan bagi gejala-gejala terutama hal-ihwal

manusia dalam urutan kronologis (Notosusanto, 2015).

Notosusanto (2015), menambahkan bahwa masa lampau untuk sebagian besar tidak dapat ditampikan kembali. Bahkan juga mereka yang dikaruniai ingatan yang tajam sekalipun tidak akan dapat menyusun kembali masa lampaunya. Untuk itu, sejarah mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan segala sesuatu. Dengan adanya sejarah, setiap orang baik itu pelaku sejarah maupun bukan pelaku sejarah akan mengetahui cerita di balik masa lalu. Dari cerita-cerita tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pelajaran untuk menapaki kehidupan pada masa kini dan masa mendatang.

(19)

 Pengertian Karakteristik

Karakteristik dapat diartikan sebagai sifat atau ciri khas dari sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (Yustina dkk, 2013). Karakteristik yang dimaksud pada tujuan kedua adalah karakteristik fisik dan budaya dari obyek penelitian. Karakteristik fisik ini meliputi keadaan fisik seperti fisiografi, stratigrafi, morfologi wilayah, penggunaan lahan, dan ketersediaan fasilitas pada Situs Purbakala Patiayam. Sedangkan untuk karakteristik budaya terdiri dari adat istiadat, perilaku/kebiasaan, tata cara/tata sosial, dll.

 Pengertian Lokasi

Menurut Yunus (2004) dalam ilmu geografi terdapat tiga pendekatan utama yang menjadi acuan bagi geograf, yaitu pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologikal (ecological approach), dan pendekatan kompleks wilayah (regional

complex approach). Pendekatan-pendekatan tersebut menjadi

batasan kegiatan penelitian dalam keilmuan geografi, namun penelitian juga dapat dilengkapi dengan pendekatan-pendekatan baru yang muncul dari disiplin ilmu lain.

Terkait dengan ketiga pendekatan utama dalam ilmu geografi, penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan yang menekankan analisisnya pada keberadaan ruang. Keberadaan ruang merupakan tempat berlangsungnya seluruh kegiatan manusia. Dalam penelitian ini keberadaan ruang yang dimaksud adalah lokasi Situs Purbakala Patiayam. Sedangkan konsep geografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep lokasi. Lokasi digunakan untuk mengetahui dimana suatu fenomena itu dapat terjadi (Bambang, 2007). Lokasi sendiri dibagi menjadi dua yaitu lokasi absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut adalah letak atau tempat yang dilihat dari garis lintang dan garis bujur (garis astronomis). Lokasi absolult keadaannya tetap dan tidak dapat berpindah karena berpedoman pada garis astronomis bumi.

(20)

Sedangkan lokasi relatif adalah letak atau tempat yang dilihat dari daerah sekitarnya. Lokasi relatif dapat berganti-ganti sesuai dengan obyek yang ada di sekitarnya. Salah satu contoh dari letak relatif Situs Purbakala Patiayam adalah letak dari situs ini sangat strategis karena berada dekat dengan Jalan Arteri Pantai Utara Jawa Tengah. Jalan ini berfungsi untuk menghubungkan tiap provinsi di Pulau Jawa. Akses yang bagus dan fasilitas yang lengkap menjadi keunggulan bagi situs ini karena mudah untuk dijangkau.

 Pengertian Cagar Budaya dan Situs

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air. Cagar Budaya perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Sedangkan situs sendiri adalah lokasi yang mengandung ataupun diduga mengandung benda Cagar Budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamannya. Menurut Suwarno (2004), situs adalah tempat atau wilayah yang ditemukan benda-benda Cagar Budaya yang ada hubungannya dengan kehidupan masa lalu berdasarkan bukti-bukti yang ada.

1.5.2. Tujuan Kedua :

 Pengertian Persepsi

Persepsi adalah proses kognitif dari seseorang dalam memahami situasi lingkungan di sekitarnya melalui penginderaan (Thoha, 2007). Persepsi yang digunakan pada penelitian ini adalah persepsi

(21)

Persepi stakeholder terkait ini terdiri dari persepsi instansi terkait, pihak pengelola, masyarakat lokal, dan wisatawan.

 Pengertian Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut. Teknik tersebut diperlukan untuk pengecekan atau sebagai pembanding data. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong, 2007).

1.6. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dijabarkan dari tinjauan pustaka dan disusun sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian. Dalam hal ini dijelaskan hubungan antara variabel atas kajian teoritis dan penelitian sebelumnya. Kerangka pemikiran sebaiknya tertuang dalam bentuk model matematis, diagram alir atau persamaan yang menggambarkan hubungan antara variabel. Model atau diagarm alir tersebut disusun berlandaskan teori-teori dari hasil telaah kepustakaan, yang digunakan sebagai premis atau pernyataan yang telah diterima kebenarannya (Fakultas Geografi, 2005).

Latar belakang adanya penelitian ini ada tiga. Yang pertama adalah adanya potensi besar yang dimiliki oleh Situs Purbakala Patiayam dari segi potensi wisata alam, sejarah, dan geologi. Yang kedua adalah penetapan situs ini menjadi satu-satunya Cagar Budaya prasejarah di Kabupaten Kudus. Kemudian yang terakhir adalah adanya perhatian yang besar dari pemerintah daerah dalam pengembangan situs ini. Ketiga latar belakang tersebut digunakan sebagai dasar upaya pengembangan Situs Purbakala Patiayam. Di dalam mengembangkan situs, dibutuhkan analisis mengenai sejarah, lokasi, dan karakteristik dari situs ini. Tujuan dari analisis terhadap ketiga aspek tersebut adalah agar pengembangan yang dilakukan berdasarkan nilai sejarah yang ada dan sesuai dengan karakteristik baik fisik maupun budaya dari masyarakat sekitar.

(22)

Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan yang pertama yaitu dengan metode kualitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) kepada pihak-pihak yang mengetahui latar belakang dan sejarah Situs Purbakala Patiayam. Pengetahuan tersebut antara lain terdiri dari sejarah terbentuknya situs dan penetapan situs ini sebagai salah satu obyek wisata Cagar Budaya di Kabupaten Kudus. Selain wawancara secara mendalam, pencarian data dari buku atau data-data yang sudah ada sebelumnya juga diperlukan. Pencarian data ini penting untuk menunjang penjelasan dari pihak-pihak yang telah dilakukan wawancara secara mendalam tersebut.

Kemudian untuk menjawab tujuan yang kedua, metode yang digunakan memiliki persamaan dengan tujuan pertama. Metode tersebut adalah dengan melakukan wawancara yang mendalam (indepth interview) kepada stakeholder terkait. Wawancara secara mendalam tersebut dilakukan diantaranya kepada (1.) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus yang diwakili oleh Kasi Kepurbakalaan, (2.) Paguyuban Pelestari Situs Purbakala Patiayam, (3.) Balai Pelestari Manusia Purba Sangiran yang diwakili oleh Humas Kasi Pengembangan, (4.) Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, dan (5.) Masyarakat lokal.

Metode wawancara secara mendalam dilakukan agar nantinya persepsi dari masing-masing stakeholder dapat diketahui. Setelah persepsi tersebut diketahui, kemudian dibuat perbandingan persepsi antara masing-masing

stakeholder ke dalam tabulasi silang. Di dalam tabulasi tersebut terdapat 3

persepsi yang akan dibandingkan. Persepsi tersebut antara lain, apa yang sudah dan akan dilakukan untuk mengembangkan Situs Purbakala Patiayam dan harapan dalam pengembangan tersebut.

Sedangkan metode untuk wisatawan adalah dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Alat bantu tersebut digunakan untuk mengetahui persepsi dari wisatawan mengenai Situs Purbakala Patiayam. Di dalam kuesioner ini terdapat lima buah indikator yang digunakan untuk menilai persepsi wisatawan tersebut. Kelima buah indikator tersebut antara lain nilai pelayanan, informasi

(23)

yang diberikan, penampilan, fasilitas pendukung, dan kepuasan. Kelima indikator tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar penilaian persepsi wisatawan terhadap Situs Purbakala Patiayam. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dimana skala pemeringkatannya menggunakan Skala Likert.

Pemilihan metode wawancara secara mendalam kepada lima stakeholder dikarenakan data yang diperoleh lebih detail dan lengkap. Berbeda dengan metode yang digunakan pada wisatawan yaitu dengan alat bantu kuesioner. Pemilihan metode dengan alat bantu kuesioner tersebut dilakukan karena wisatawan yang berkunjung tidak pasti dan jumlahnya tidak menentu. Oleh karena itu, data mengenai persepsi wisatawan yang diperoleh tidak sedetail dengan menggunakan wawancara secara mendalam.

Tujuan pertama akan menghasilkan hasil identifikasi sejarah, lokasi, dan karakteristik dari Situs Purbakala Patiayam. Hasil identifikasi tersebut dijabarkan dalam bentuk eksplanasi dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sedangkan untuk tujuan kedua akan menghasilkan dua identifikasi. Identifikasi yang pertama yaitu mengenai persepsi masing-masing stakeholder yang dimasukkan ke dalam tabulasi silang. Kemudian identifikasi kedua yaitu pemeringkatan persepsi wisatawan dengan indikator yang telah ditetapkan. Hasil dari identifikasi pada tujuan kedua, akan dilakukan triangulasi persepsi antara masing-masing stakeholder dan wisatawan.

Setelah tujuan yang pertama dan kedua diketahui, akan dihasilkan suatu rekomendasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus. Rekomendasi tersebut dapat digunakan sebagai referensi alternatif dalam mengembangkan Situs Purbakala Patiayam. Pengembangan tersebut nantinya akan mempertimbangkan terhadap aspek sejarah, lokasi, dan karekateristik dari situs. Selain itu, dapat diketahui juga mengenai persepsi dari masing-masing

(24)

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

Penetapan sebagai salah satu Cagar Budaya di

Kabupaten Kudus

Pengembangan Situs Purbakala Patiayam

Persepsi masing-masing stakeholder Sejarah, lokasi, dan

karakteristik Situs Purbakala Patiayam Tujuan kedua Tujuan pertama Sejarawan, tokoh-tokoh masyarakat, dan data-data manuskript Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Wisatawan Pihak Pengelola Masyarakat Lokal Wisatawa n Kepala Desa Paguyuban Pelestari Situs Purbakala Patiayam Balai Arkeologi Yogyakarta Balai Pelestari Manusia Purba Sangiran Identifikasi persepsi masing-masing stakeholder

ke dalam tabulasi silang

Identifikasi pemeringkatan persepsi wisatawan dengan indikator yang telah ditetapkan

Melakukan triangulasi persepsi masing-masing

stakeholder dan wisatawan

 Identifikasi sejarah terbentuknya situs sebagai obyek wisata dan cagar budaya

 Identifikasi lokasi keberadaan Situs Purbakala Patiayam.

 Identifikasi karakteristik fisik situs dilihat dari aspek geologi, fisiografi, stratigrafi, morfologi, dan

penggunaan lahan.

 Identifikasi karakteristik budaya masyarakat sekitar dilihat dari adat istiadat, perilaku/kebiasaan dan tata cara/tata sosial.

Melakukan penjabaran hasil identifikasi dengan metode deskriptif kualitatif.

Rekomendasi mengenai Pengembangan Situs Purbakala Patiayam Indepth interview Purposive sampling Adanya potensi wisata

alam, sejarah, dan geologi

Adanya perhatian yang besar dari Pemerintah

(25)

1.6.1. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua berdasarkan tujuannya, yaitu sebagai berikut :

1. Akan ditelaah lebih lanjut mengenai sejarah, lokasi, dan karakteristik Situs Purbakala Patiayam. Maka pertanyaan penelitian yang akan digunakan antara lain bagaimanakah sejarah Situs Purbakala Patiayam? Di manakah letak lokasi Situs Purbakala Patiayam? Bagaimanakah sejarah letak lokasi Situs Purbakala Patiayam? Dan Bagaimanakah karakteristik fisik dan budaya masyarakat di sekitar Situs Purbakala Patiayam?

2. Akan ditelaah lebih lanjut mengenai persepsi stakeholder terhadap pengembangan Situs Purbakala Patiayam. Maka pertanyaan penelitian yang akan digunakan antara lain apakah ada rencana pengembangan Situs Purbakala Patiayam? Seperti apakah rencana pengembangan tersebut ? Upaya seperti apakah yang pernah dilakukan dalam mengembangkan Situs Purbakala Patiayam? Bagaimanakah persepsi dari pengembangan Situs Purbakala Patiayam? Apakah tanah yang digunakan Situs Purbakala Patiayam termasuk tanah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus? Kendala apa saja yang dihadapi dalam mengelola Situs Purbakala Patiayam? Apakah masyarakat terlibat aktif daam pengembangan Situs Purbakala Patiayam? Apakah ada dampak yang diterima oleh masyarakat terhadap adanya pengembangan Situs Purbakala Patiayam? Dan apakah ada saran yang dapat diberikan kepada tiap stakeholder agar pengembangan Situs Purbakala Patiayam dapat berjalan dengan baik?

Gambar

Tabel 1.1. Tabel keaslian penelitian
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Lain halnya dengan penlitian yang dilakukan oleh Kaunang (2013) yaitu Pengujian yang dilakukan untuk variabel kinerja keuangan perusahaan Economic Value Added (EVA)

Berdasarkan hasil perbandingan nilai akurasi, precision, recall dan f-measure pada Tabel 5 maka dapat disimpulkan bahwa pada pengujian evaluasi faktor usability aplikasi

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah perolehan bahasa pada anak semata-mata merupakan hasil imitasi terhadap lingkungannya atau karena kreativitas anak yang

Dengan hasil penelitian ini dapat dilihat keakuratan diagnostik potong beku, sitologi imprint intraoperasi, dan gambaran USG pada pasien dengan diagnosa tumor ovarium untuk

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Terkait dengan model pembelajaran Ponpes Darul Falah, dimiliki kurikulum, sistem, persiapan sumber daya untuk mendukung penciptaan output yang dicita-citakan,

Dalam setiap kegiatan yang berlangsung dibutuhkan suatu proses yang sangat penting yaitu pengawalan, pengawalan adalah bahwa seluruh tugas dan kegiatan siswa selalu

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja