• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Iklim Organisasi dan Perilaku Inovatif di Tempat Kerja pada Karyawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Iklim Organisasi dan Perilaku Inovatif di Tempat Kerja pada Karyawan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Iklim Organisasi dan Perilaku Inovatif di Tempat Kerja

pada Karyawan

Relationships between Organizational Climate and Innovative Work Behavior

among Employees

Indra Octara Alice Salendu

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara iklim organisasi dan perilaku inovatif di tempat kerja pada karyawan perusahaan, serta untuk mengetahui dimensi dari iklim organisasi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap perilaku inovatif di tempat kerja. Pengukuran perilaku inovatif di tempat kerja sendiri dilakukan dengan menggunakan

Janssen’s Innovative Work Behavior, sedangkan pengukuran iklim organisasi dilakukan

dengan menggunakan Organizational Climate Measure (OCM). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 205 karyawan perusahaan, yang terdiri dari berbagai macam divisi dalam satu perusahaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara perilaku inovatif di tempat kerja dan iklim organisasi pada karyawan perusahaan X (r = 0.685, n = 205, p < .01, one-tailed). Hasil tersebut memiliki arti bahwa semakin tinggi perilaku inovatif di tempat kerja yang dimiliki oleh individu, maka akan semakin tinggi iklim organisasi yang dimilikinya. Hasil lain dari penelitian ini diperoleh bahwa dimensi open

system dari iklim organisasi memberikan sumbangan terbesar terhadap perilaku inovatif di

tempat kerja, yang berarti peningkatan pada open system dari iklim organisasi akan diikuti oleh peningkatan terhadap perilaku inovatif di tempat kerja.

Kata Kunci:

Inovasi, Perilaku Inovatif, Innovative Work Behavior, Iklim Organisasi, OCM

ABSTRACT

This research was conducted to find the relationship between organizational climate and innovative work behavior among employee in company, to know how much each dimension of organizatioanl climate was given to innovative work behavior. Innovative work behavior was measured by using instrument named Janssen’s Innovative Work Behavior and organizational cimate was measured by using a modification instrument named Organizational Climate Measure (OCM). The participants of this research were 205 employee of company, consist of various divisions within company. The main result of this research showed that there was a positive significant correlation between innovative work behavior and organizational climate among employee (r = .685, n = 205, p < .01,one-tailed). This result means that the higher innovative work behavior of one’s own, the higher organizational climate of him. Another result of this research was that the biggest contribution of organizational climate to innovative work behavior was open system, which meant, an increase of open system component from organizational climate would be followed by an increase of innovative work behavior.

(2)

Key Words:

Inovation, Innovative Work Behavior, Organizational Climate, OCM

1. Pendahuluan

Pembahasan mengenai pertumbuhan dan perkembangan industri di berbagai sektor industri semakin menjadi topik hangat. Tema tersebut semakin menjadi booming setelah persaingan antar industri semakin ketat di berbagai bidang, seperti industri elektronik, otomotif, dan sebagainya. Pertumbuhan dan perkembangan yang dilakukan oleh industri-industri tidak hanya terbatas pada teknologi, tetapi juga termasuk kualitas pelayanan yang ditawarkan, proses yang lebih singkat, dan sebagainya. Persaingan yang ketat tersebut memperlihatkan bahwa perusahaan yang mampu membedakan diri dengan pesaingnya adalah perusahaan yang mampu bertahan dari perkembangan zaman (Smith, Collins, & Clark, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Sangeeta (2006) menunjukkan bahwa setiap perusahaan yang ingin bertahan dalam menghadapi tantangan di dunia industri harus mampu mengembangkan potensi yang ada dalam diri perusahaan tersebut, baik berupa teknologi yang digunakan, proses atau prosedur, peningkatan kualitas pelayanan, produk dan pasar, melalui para sumber daya manusia yang ada di perusahaan.

Imran, Saeed, Anis-ul-Haq, dan Fatima (2010) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa untuk dapat bersaing dalam era pertumbuhan teknologi ini, setiap perusahaan membutuhkan inovasi yang melahirkan ide-ide baru. Inovasi sendiri didefinisikan sebagai adalah segala pemikiran, tingkah laku, atau sesuatu yang baru karena secara kualitas berbeda dari bentuk-bentuk yang sudah ada (Barner, 1953). Senada dengan pendapat dari Barner, Robbins (1996), mengatakan bahwa inovasi merupakan suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk, proses, atau jasa. Dia menambahkan bahwa hampir semua inovasi menyangkut perubahan, tetapi tidak harus selalu mengenai ide-ide baru. Hal tersebut diperkuat oleh West (1997) yang menyatakan bahwa inovasi tidak hanya meliputi perubahan-perubahan teknologi seperti produk-produk, tetapi juga meliputi proses-proses produksi baru, pengenalan teknologi manufaktur canggih, atau pengenalan layanan-layanan pendukung komputer baru dalam suatu organisasi. Inovasi juga dapat ditemukan pada perubahan administratif, seperti kebijakan organisasional, pengenalan sistem tim kerja, strategi-strategi sumber daya manusia (Devita, 2003).

Perusahaan yang maju dengan visi dan misi yang bagus tidak luput dari penggerak di dalamnya, yakni sumber daya manusia (SDM). Menurut Oei (2010), karyawan atau sumber daya manusia (SDM) merupakan satu-satunya aset perusahaan yang bernapas atau hidup di samping aset-aset lain yang tidak bernapas atau bersifat kebendaan, seperti modal, bangunan,

(3)

gedung, kendaraan, mesin, dan sebagainya. Aset ini, SDM, mensyaratkan adanya pengelolaan yang berbeda dengan aset lain, sehingga apabila dikelola dengan baik mampu memberikan sumbangan bagi kemajuan perusahaan secara aktif. Ditambahkan bahwa sebuah organisasi atau perusahaan juga akan mampu memenangkan persaingan di dunia global dan mampu menunjukkan eksistensinya jika didukung oleh SDM yang berkualitas. Untuk dapat menjadi perusahaan yang inovatif, maka SDM sebagai penggerak dari organisasi juga harus memiliki karakter inovatif.

Penelitian yang dilakukan oleh Getz dan Robinson (2003) menunjukkan tentang siapa yang membuat suatu ide baru atau improvisasi di perusahaan, mereka menemukan bahwa 80% ide diinisiatifkan oleh karyawan perusahaan dan 20% lainnya adalah hasil dari rencana inovasi yang telah ditetapkan perusahaan. Penelitian tersebut memperkuat asumsi bahwa karyawan merupakan bagian penting untuk menghasilkan inovasi. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mewujudkan organisasi yang inovatif adalah dengan meningkatkan tingkah laku inovatif para karyawan.

Perilaku inovatif dilihat sebagai perilaku yang berbeda dengan kreativitas, dimana kreativitas akan berhenti pada generasi ide, sedangkan perilaku inovatif akan terus belanjut hingga bagaimana ide tersebut dipromosikan dan diimplementasikan di pasaran (De Jong & Den Hartog, 2008). Perilaku inovatif dapat meningkatkan kinerja perusahaan karena tidak hanya mengubah hasil atau outcome dari perusahaan, tetapi juga termasuk ke proses dan prosedur yang ada di perusahaan. Janssen (2000, 2001) mengatakan bahwa kemampuan berinovasi dan mengimprovisasikan produk, service, dan proses kerja merupakan hal yang krusial dalam organisasi untuk saat ini. Setiap karyawan membutuhkan baik keinginan dan kemampuan berinovasi jika ingin dapat merealisasikan inovasinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Solomon, Winslow, dan Tarabishy (2004) menemukan bahwa iklim organisasi adalah faktor esensial yang mungkin mempengaruhi perilaku inovatif pada individu. Hal ini disebabkan karena iklim organisasi merefleksikan keyakinan dan

psychological meanings dari setiap karyawan kepada lingkungannya dan berusaha

mewujudkannya (Schneider & Reichers, 1983). Iklim organisasi didefinisikan sebagai suatu set perilaku, sikap, dan perasaan, dimana hal tersebut tampak pada keseharian dalam lingkungan organisasi dan setiap individu dari organisasi mengalami dan memahami hal tersebut (Isaksen & Lauer, 1999). Iklim secara garis besar berbeda dengan budaya organisasi, dimana Gibson (1996) menyatakan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas khusus dari suatu organisasi dan budaya organisasi merupakan suatu kualitas umum dari suatu organisasi. Pernyataan tersebut kemudian diperjelas bahwa iklim merupakan sekumpulan sifat dari suatu

(4)

lingkungan kerja yang dipersepsikan secara langsung atau tidak langsung oleh karyawan dan dianggap sebagai kekuatan utama yang dapat mempengaruhi tingkah laku karyawan. Sedangkan budaya merupakan suatu sistem nilai, keyakinan, dan norma yang telah tumbuh dalam suatu organisasi yang dapat mendorong ataupun menghambat efektivitas organisasi.

Quinn dan Rohbaugh (1983) membuat dasar dari alat ukur iklim organisasi dengan nama Competing Values Framework (CVF), yang kemudian oleh Patterson, West, Shackleton, Lawthom, Maitlis, Robinson, Dawson, dan Wallace, (2004, 2005) dikembangkan lagi menjadi Organizational Climate Measure (OCM). Pada alat ukur OCM, iklim organisasi dilihat sebagai variabel yang multidimensional dimana terdapat empat dimensi yang membagi konstruk tersebut, yakni yaitu Human Relations, Internal Process, Open System, dan Rational Goal (Patterson et al., 2005). Dalam penelitian ini, peneliti akan mengambil dua dimensi yang akan menjadi fokus, yaitu open system dan rational goal model. Hal ini dikarenakan meninjau hasil penelitian sebelumnya dimana Jung, Chow, dan Wu (2003) meneliti bahwa dimensi internal process menggambarkan keadaan dimana organisasi memiliki level yang rendah dalam iklim kreativitas, inovasi, dan tingginya produktivitas.

Internal process sendiri merupakan dimensi yang menggambarkan kekakuan dalam sebuah

organisasi, karena berisikan aturan pada birokrasi. Dimana pada sistem birokrasi yang ketat kreativitas dan inovasi bukan menjadi hal utama, dan lebih mengutamakan kuantitas, produktivitas tinggi (Patterson, et al., 2005). Sedangkan rational goal digambarkan sebagai iklim yang berorientasi pada perkembangan inovasi, begitu pula dengan dimensi open system (Jung, et al., 2003).

Secara empiris, iklim organisasi memiliki dampak pada inovasi (Ekvall & Ryhammar, 1999). Churcill, Ford, dan Walker (1976) pernah mengemukakan bahwa iklim organisasi menampilkan persepsi dari situasi kerja, karakteristik organisasi dan bagaimana hubungan antara karyawan dalam keseharian. Beberapa penelitian di luar negeri menyatakan bahwa perilaku inovatif tidak berhubungan dengan iklim organisasi (Bunce & West, 1996). Senada dengan penelitian sebelumnya, De Jong dan Den Hartog (2008) menemukan hubungan yang tidak signifikan antara kedua konstruk tersebut. Sedangkan di penelitian lain mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku inovatif dan iklim organisasi (Axtel, Holman, & Wall, 2006).

Peneliti memilih karyawan pada dua perusahaan jenis modul surya, PT X dan Y, dari enam jenis perusahaan yang di Indonesia sebagai partisipan dalam penelitian ini. Hal ini karena kedua perusahaan tersebut memiliki karakteristik yang sesuai dengan kebutuhan penelitian, dimana perusahaan terus bergerak dalam bidang inovasi, yakni bidang tenaga

(5)

surya. Hal tersebut tertera dalam visi dan misi kedua company profile untuk tetap mengadakan inovasi, sehingga mereka tetap mampu bertahan. Selain itu, menurut Miller dan Friesen (1984), perusahaan yang baru berkembang akan mengembangkan strateginya dalam hal memperluas pemasaran produk pada area yang relatif sama dan mengembangkan inovasi kecil, serta dilakukan oleh semua pihak terkait. Berbeda dengan perusahaan yang telah dewasa maupun perusahaan yang berada pada tahap revival, mereka akan memfokuskan strateginya dalam hal efisiensi penyebaran produk dan membuat produk baru dengan pasar yang jauh berbeda dengan produk sebelumnya. Hal tersebut yang membedakan perusahaan modul energi dengan perusahaan lainnya, yang telah lama berdiri dan memiliki konsumen yang berasal dari berbagai kalangan. Perusahaan modul surya yang berada pada tahap perkembangan dan memfokuskan diri dalam mengembangkan produk-produk yang lebih inovatif pada pasar yang relatif sama, sehingga inovasi merupakan hal yang utama pada perusahaan ini.

Berangkat dari fenomena ini, peneliti ingin membuat suatu penelitian replikasi dengan karakteristik partisipan yang berbeda dan konteks budaya yang berbeda. Peneliti ingin melihat apakah ada hubungan antara variabel perilaku inovatif dengan dimensi-dimensi iklim organisasi pada karyawan perusahaan tersebut. Oleh karena itu, peneliti berasumsi bahwa terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh peneliti mengenai kedua variabel, yakni iklim organisasi dan perilaku inovatif, penting untuk dapat mengetahui dinamika hubungan kedua variabel. Hal ini dikarenakan untuk dapat meningkatkan perilaku inovatif dari para karyawannya, perusahaan tersebut harus mengetahui apa saja yang mempengaruhi, salah satunya iklim organisasi. Selain itu, penting pula mengetahui mengenai hubungan kedua variabel pada kondisi budaya Indonesia. Penelitian mengenai kedua hal ini di Indonesia sendiri masih kurang banyak diperdalam sehingga kebanyakan rujukan diperoleh dari luar. Kiranya, hasil penelitian ini dapat membawa gambaran lebih jelas mengenai hubungan antara perilaku inovatif di tempat kerja dan iklim organisasi pada karyawan perusahaan.

Berdasarkan latar belakang, pertanyaan penelitian yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah:  

1. Apakah terdapat hubungan antara iklim organisasi dan perilaku inovatif di tempat kerja pada karyawan?

2. Manakah dimensi dari iklim organisasi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap perilaku inovatif di tempat kerja pada karyawan?

(6)

2. Tinjauan Teoritis 2.1 Iklim Organisasi

Iklim Organisasi didefinisikan sebagai kualitas lingkungan yang relatif bertahan di dalam perusahaan yang dialami oleh para karyawannya, mempengaruhi tingkah laku mereka dan dapat digambarkan dalam bentuk nilai-nilai dari seperangkat karakteristik tertentu dari perusahaan (Litwin & Stringer, 1968). Definisi tersebut yang kemudian mendasari penelitian-penelitian lainnya dalam bidang iklim organisasi, salah satunya adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Patterson et al. (2004). Patterson et al. (2004) melakukan pengembangan alat ukur berdasarkan teori yang digunakan oleh penelitian sebelumnya dan menghasilkan alat ukur yang dinamakan Organizational Climate Measure (OCM). Alat ukur tersebut memiliki 4 dimensi yang setiap dimensinya memiliki sub-dimensi di bawahnya. Pada penelitian ini, dimensi yang digunakan berjumlah dua, yakni open system dan rational goal. Hal ini didasari oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa kedua dimensi tersebut merupakan dimensi penyokong untuk jenis perusahaan yang tidak mengandalkan birokrasi (Imran et al., 2010).

a. Open system

Model ini menekankan pada fokus eksternal dan fleksibilitas pada organisasi, dimana perubahan dan inovasi telah dipersiapkan. Norma dan nilai diasosiasikan dengan pertumbuhan, perolehan sumber, kreativitas, dan adaptasi. Beberapa hal yang merefleksikan yaitu Flexibility, yaitu adanya orientasi terhadap perubahan. Innovation, yaitu tingkat dorongan dan dukungan mengenai ide-ide baru dan pendekatan inovatif. Outward focus, yaitu tingkat respon organisasi dalam menanggapi kebutuhan konsumen dan pasar secara umum. Reflexivity, yaitu fokus pada meninjau kembali tujuan, strategi, proses kerja dan lingkungan yang lebih luas.

b. Rational goal

Dimensi lain yang digunakan pada penelitian ini adalah rational goal model. Model ini menekankan pada fokus eksternal tetapi memiliki kontrol yang ketat di dalam organisasi, seperti pengejaran dan pencapaian dari tujuan-tujuan organisasi, dimana norma dan nilai yang ada dalam organisasi diasosiasikan dengan produktivitas, efisiensi, pencapaian goal, dan umpan balik performa (Patterson et al., 2004). Beberapa hal yang merefleksikan dimensi ini adalah clarity of organizational goals, yaitu fokus pada mendefinisikan tujuan organisasi dengan jelas. Effort, yaitu melihat pada seberapa keras usaha yang dilakukan oleh orang-orang di organisasi dalam mencapai tujuan. Efficiency, yaitu penempatan derajat kepentingan pada efisiensi dan produktivitas di tempat kerja. Quality, yaitu menekankan pada kualitas dari

(7)

prosedur. Pressure to produce, yaitu tekanan pekerja dalam mencapai target. Performance

feedback, yaitu penilaian dan umpan balik dari performa kerja.

2.2 Perilaku Inovatif di Tempat Kerja

Beberapa orang menyamakan antara perilaku inovatif dan kreativitas pada level yang setara. Namun, pada dasarnya, kedua hal tersebut berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari proses pembentukannya. Perilaku inovatif meliputi pembentukan ide, promosi ide dan pelaksanaan ide (Janssen, 2000), dimana kreativitas hanya akan terhenti pada pembentukan ide (De Jong & Den Hartog, 2008). Beberapa tahun sebelumnya, Torrington et al. (2005) juga telah mengemukakan bahwa kreativitas lebih menekankan pada sesuatu yang benar-benar baru, sedangkan inovasi lebih pada kebaruan sifatnya. Perilaku inovatif di tempat kerja didefinisikan sebagai intensi untuk generasi, promosi dan realisasi pad aide-ide baru dalam peraturan kerja, grup atau organisasi, supaya menguntungkan performa kerja, grup atau organisasi. (West & Farr, 1989). Definisi yang diungkapkan oleh West dan Farr (1989) ini sendiri lebih mengutamakan adanya keinginan dari individu untuk memperoleh, mempromosikan dan mengimplementasikan ide yang diperoleh. Selain itu, individu juga berkeinginan untuk menguntukan perusahaan atau organisasi tempat dia bekerja. Dalam pembahasan lain, perilaku inovatif menurut West dan Farr ini dapat diartikan sebagai perilaku individu yang diarahkan untuk menghasilkan, memperkenalkan, dan mengaplikasikan hal-hal ‘baru’ yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi. Definisi tersebut kemudian dijadikan dasar oleh Janssen untuk mengembangkan alat ukurnya, yakni Innovative Work Behavior (IWB).

Terdapat tiga tahapan yang membentuk perilaku inovatif di tempat kerja menurut Janssen (2000). Tahapan pertama, idea generation menggambarkan bagaimana usaha individu untuk memperoleh ide-ide atau cara baru untuk menguntungkan perusahaan. (De Jong & Den Hartog, 2008). West (1997) mengatakan sebelumnya bahwa produk inovatif atau perilaku inovatif tidak terbatas meliputi pada produk melainkan cara pelayanan atau sebagainya. Dorner (2012) menambahkan bahwa ide yang mungkin digunakan oleh organisasi atau perusahaan lain, tetapi belum pernah diterapkan ke dalam organisasi sendiri merupakan salah satu contoh kecil dari perilaku inovasi. Oleh karena itu, idea generation tidak terbatas pada produk, dapat berupa berbagai macam hal.

Tahapan kedua adalah idea promoting, dimana menggambarkan bagaimana individu mencari dukungan dari lingkungan sekitar untuk mewujudkan ide atau cara yang telah dia temukan (De Jong & Den Hartog, 2008). Pada tahapan ini, perilaku inovasi yang sebelumnya

(8)

baru berupa munculnya ide, memperoleh dukungan dari lingkungan sekitar, sehingga menjadi semakin terlihat nyata. Tahapan kedua dan ketiga yang membedakan perilaku inovasi dan kreativitas.

Tahapan ketiga adalah idea realization, dimana menggambarkan bagaimana individu mewujudkan ide atau cara secara nyata. Pada tahapan ini ide-ide yang telah diperoleh direalisasikan pada kebutuhan perusahaan.

2.3 Hipotesis

Ho: “Tidak ada korelasi antara skor iklim organisasi yang diperoleh dari dari alat ukur

Organizational Climate Measure dan skor total perilaku inovatif di tempat kerja yang

diperoleh dari alat ukur Innovative Work Behavior pada karyawan.”

Ha: “Ada korelasi antara skor iklim organisasi yang diperoleh dari dari alat ukur

Organizational Climate Measure dan skor total perilaku inovatif di tempat kerja yang

diperoleh dari alat ukur Innovative Work Behavior pada karyawan.”

3. Metode

Karakteristik responden pada penelitian ini adalah karyawan perusahaan modul surya dari 2 perusahaan yang terletak di Jakarta dan Bandung. Kedua perusahaan tersebut sedang melakukan inovasi baik dari sisi produk/proses/pelayanan dan sebagainya. Keterangan mengenai inovasi di perusahaan diperoleh berdasarkan hasil wawancara singkat dan penelusuran mengenai company profile (visi dan misi). Selain itu batasan usiayang digunakan berdasarkan tahap perkembangan karir oleh Dessler (2000), yakni rentang antara 15 – 65 tahun. Pendidikan akhir yang dimiliki oleh responden dibatasi yakni minimal SMA/SMK/STM, karena partisipan diharapkan telah mampu mengerti bahasa Indonesia, mengerti istilah yang mungkin muncul sesuai dengan kontes pekerjaa dan memahami konteks dari pernyataan. Masa kerja minimal 1 tahun. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa karyawan yang telah bekerja di perusahaan selama satu tahun telah memahami lingkungan perusahaan dan memiliki persepsi sendiri mengenai perusahaan (Ornstein, Cron, & Slocum, 1989).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling, dimana Kumar (2005) menyatakan bahwa sampel dipilih berdasarkan kemudahan dalam mengakses responden. Kumar (2005) menyebutkan bahwa teknik sampling tersebut tergolong pada

(9)

di dalam populasi untuk menjadi partisipan penelitian. Penelitian ini memperoleh total 223 partisipan, tetapi hanya 205 kuesioner yang dapat diolah.

Peneliti menggunakan alat ukur Organizational Climate Measure (OCM) yang dikembangkan oleh Patterson et al. (2005) untuk mengukur iklim organisasi pada karyawan perusahaan. Alat ukur ini telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Alat ukur OCM terdiri dari 39 item yang mengukur pandangan karyawan terhadap iklim organisasi di perusahaan. Alat ukur ini menggunakan skala Likert dengan rentang pilihan respon 1 hingga 6, yaitu “Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS), Agak Tidak Sesuai (ATS), Agak Sesuai (AS), Sesuai (S), dan Sangat Sesuai (SS). Imran et al. (2010) telah melakukan pengujian terhadap alat ukur tersebut, yakni reliabilitas dari alat ukur iklim organisasi sebesar 0.86 dan 0.87 pada dimensi open system dan rational goal.

Peneliti menggunakan alat ukur Innovative Work Behavior (IWB) yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Jannsen (2000) untuk mengukur intensi individu dalam melakukan perilaku inovatif. Alat ukur ini telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Jumlah item pada alat ukur ini adalah 9 buah item. Janssen (2000) telah mengujicobakan alat ukur tersebut pada 170 (85% dari responden pria) dengan rata-rata umur 43.35 tahun (SD = 8.08) responden pada satu perusahaan. Rentang jenis pekerjaan dari partisipan sendiri dari berbagai bidang, seperti produksi, quality control, dan lain-lain. Alat ukur ini menggunakan skala Likert dengan rentang pilihan respon 1 hingga 6, yakni tidak pernah, sangat jarang, jarang, kadang-kadang, sangat sering, dan selalu.

4. Hasil

Berikut merupakan gambaran umum 205 subjek penelitian jika ditinjau dari data demografis.

Penyebaran Demografis Subjek

Karakteristik Partisipan Data Partisipan Frekuensi Persentase Masa Kerja 1-2 tahun

3-10 tahun >10 tahun 73 80 52 35.6% 39.0% 25.37%

(10)

Penyebaran Demografis Subjek (lanjutan)

Karakteristik Partisipan Data Partisipan Frekuensi Persentase Divisi/Departemen Elektrikal HR Implementasi IT Keuangan Marketing Mekanikal Procurement Produksi Staff IFA Umum Warehouse Managemen Strategi dan Operasional (MSO) PUSTEKIN Sekretaris Satuan Pengawas Internal (SPI) 23 14 2 15 19 8 9 2 58 9 9 12 5 9 3 8 11.2% 6.8% 0.9% 7.3% 9.3% 3.9% 4.4% 0.9% 28.3% 4.4% 4.4% 5.9% 2.4% 4.4% 1.5% 3.9% Level Jabatan Managerial

Non-managerial 73 132 35.6% 64.4% Usia 15-24 tahun 25-44 tahun 45-65 tahun 68 108 29 33.2% 52.9% 14.2% Jenis Kelamin Laki-Laki

Perempuan 164 41 80.0% 40.0% Pendidikan SMA/SMK/STM D3 S1 96 38 71 46.8% 18.5% 34.6% Status Pernikahan Menikah

Belum Menikah 95 110 46.3% 53.7% Total 205 100%

Kemudian, berikut merupakan tabel perhitungan korelasi antara iklim organisasi dan perilaku inovatif di tempat kerja.

Hasil Perhitungan Korelasi antara Iklim Organisasi dan Perilaku Inovatif di Tempat Kerja

Variabel R Sig r2

Perilaku Inovatif di Tempat Kerja

(11)

Iklim Organisasi

**signifikan pada los .01

Hasil perhitungan mengenai hubungan antara perilaku inovatif di tempat kerja dan iklim organisasi diperoleh dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment berdasarkan skor total dari masing-masing variabel, yakni perilaku inovatif di tempat kerja dan iklim organisasi dari 205 subjek. Pada tabel 4.6 di atas, hasil koefisien korelasi (r) diperoleh sebesar 0.685 dengan signifikasi (p) di bawah 0.01 yang berarti signifikan pada los 0.01, atau dapat ditulis sebagai r = 0.709, n = 205, p < .01, one-tailed. Hasil tersebut menandakan bahwa hipotesis null (Ho) penelitian ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara perilaku inovatif di tempat kerja dan iklim organisasi pada karyawan perusahaan X. Hasil dari r2 adalah sebesar 0.469 atau 46.9%, yang berarti bahwa sebesar 46.9% varians skor iklim organisasi dapat dijelaskan melalui skor perilaku inovatif di tempat kerja atau sebaliknya.

Berikutnya adalah besar sumbangan dari setiap dimensi iklim organisasi terhadap perilaku inovatif di tempat kerja.

Hasil Perhitungan Regresi Ganda Dimensi Iklim Organisasi terhadap Perilaku Inovatif di Tempat Kerja

R r2 sig.

0.719a 0.517 .000**

a Prediktor: (Konstan), rational goal, open system **signifikan pada los .01, one-tailed

Hasil menunjukkan bahwa koefisien r sebesar 0.719 dan signifikan di bawah los 0.01. hasil dari r2 sebesar 0.517 atau 51.7% dapat diinterpretasikan bahwa kedua dimensi dari iklim organisasi, yakni rational goal dan open system, secara bersama-sama menyumbang sebesar 51.7% terhadap perilaku inovatif di tempat kerja, sedangkan 48.3% sisanya merupakan sumbangan dari faktor lain. Perhitungan regresi ganda juga digunakan untuk melihat dimensi dari iklim organisasi yang paling menyumbang terhadap perilaku inovatif di tempat kerja.

Hasil Perhitungan Regresi Ganda mengenai Besar Sumbangan Dimensi Iklim Organisasi terhadap Perilaku Inovatif di Tempat Kerja

(12)

(Standardized

Coefficients) a

Rational Goal 0.151 .018

Open System 0.614 .000**

a Variabel dependen: Perilaku Inovatif di Tempat Kerja ** signifikan pada los .01

Nilai β pada dimensi rational goal dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan sebesar 1 standar deviasi (SD) pada dimensi rational goal akan diikuti oleh peningkatan sebesar 0.151 pada variabel perilaku inovatif di tempat kerja. Atau, penurunan sebesar 1 SD pada dimensi rational goal akan diikuti oleh penurunan sebesar 0.151 pada variabel perilaku inovatif di tempat kerja. Sementara itu, nilai β pada dimensi open system dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan sebesar 1 SD pada dimensi open system akan diikuti oleh kenaikan sebesar 0.614 pada variabel perilaku inovatif di tempat kerja. Atau, penurunan sebesar 1 SD pada dimensi open system akan diikuti oleh peningkatan sebesar 0.614 pada variabel perilaku inovatif di tempat kerja. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dimensi

open system (β = 0.614; p = .000) memberikan sumbangan paling besar terhadap perilaku

inovatif di tempat kerja. Dimensi rational goal tidak cukup besar dalam menyumbang bagi perilaku inovatif di tempat kerja.

5. Diskusi

Hasil dari penelitian ditunjukkan dengan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara perilaku inovatif di tempat kerja dan iklim organisasi pada karyawan perusahaan. Dengan kata lain, hasil penelitian ini bernilai positif, yang dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi perilaku inovatif di tempat kerja, semakin tinggi pula iklim organisasi atau sebaliknya. Adanya hubungan positif yang terjadi antara perilaku inovatif di tempat kerja dan iklim organisasi pada karyawan perusahaan X terkait dengan konstruk perilaku inovatif sendiri yang lekat dengan istilah perubahan, dimana pada iklim organisasi hal tersebut juga dianggap penting. Hal ini dipaparkan oleh Quinn dan Rohrbaugh (1983) dimana kualitas hubungan yang bersifat fleksibel terkait dengan perubahan atau inovasi. Pada iklim organisasi sendiri, kelenturan atau fleksibilitas merupakan salah satu komponen penting dari konstruk tersebut. Kedua dimensi yang digunakan oleh peneliti dari variabel iklim organisasi, merupakan dimensi yang menenkankan adanya fleksibilitas pada nilai-nilai yang dianut oleh individu-individu di perusahaan.

(13)

Hasil penelitian berikutnya terkait dengan besar sumbangan dari setiap dimensi dalam iklim organisasi terhadap perilaku inovatif di tempat kerja. Jika merujuk pada dimensi yang dikutsertakan dalam alat ukur OCM pada penelitian ini, yaitu rational goal dan open system, keduanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku inovatif di tempat kerja. Dimensi rational goal terkait dengan perilaku inovatif di tempat kerja karena dimensi ini berfokus pada external perusahaan. Fokus eksternal mengindikasikan adanya keinginan untuk menerima dan mengubah diri sesuati dengan kebutuhan. Perusahaan melihat ke lingkungan dimana kebutuhan dan adaptasi untuk diri sendiri sesuai dengan tuntutan yang ada (Patterson et al., 2005). Dimensi open system dari iklim organisasi merupakan dimensi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap perilaku inovatif di tempat kerja, karena secara tidak langsung dimensi ini terkait langsung dengan perilaku inovatif di tempat kerja. Beberapa hal yang membangun dimensi ini adalah fokus terhadap eksternal, inovasi, refleksifitas, dan fleksibilitas (Patterson et al., 2005).

6. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai hasil penelitian yang telah ditulis pada bab sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan mengenai hasil utama dari penelitian, yaitu:

1. Adanya hubungan positif dan signifikan antara iklim organisasi dan perilaku inovatif di tempat kerja pada karyawan perusahaan. Hasil perhitungan menunjukkan tidak adanya tanda minus di depan koefisien korelasi yang berarti hubungan yang dimiliki kedua variabel adalah positif dan signifikan, dimana semakin tinggi iklim organisasi individu, maka akan semakin tinggi perilaku inovatif di tempat kerja yang dimiliki individu tersebut. Dengan kata lain, semakin kuat persepsi atau pandangan individu tersebut kepada perusahaan, semakin tinggi perilaku inovatif di tempat kerja yang akan ditampilkan.

2. Dimensi dari iklim organisasi, yakni open system, merupakan dimensi yang memiliki peran paling besar terhadap perilaku inovatif di tempat kerja pada karyawan perusahaan X. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi open

system individu, maka akan semakin tinggi pula perilaku inovatif di tempat kerja

pada individu tersebut. Dengan kata lain, pandangan positif bahwa perusahaan merupakan tempat yang siap dan dapat menerima perubahan akan semakin memperkuat perilaku inovatif di tempat kerja bagi individu.

(14)

7. Saran

7.1 Saran Metodologis

Berdasarkan pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan dan hasil penelitian yang diperoleh, terdapat beberapa saran metodologis yang bisa dipertimbangkan untuk penelitian-penelitian selanjutnya, antara lain:

1. Penelitian selanjutnya dapat memperkaya data partisipan seperti, gaji atau suku untuk dapat ditambahkan dalam data kontrol. Selain itu, peneliti tidak harus kaku dalam proses pengambilan data. Peneliti dapat melakukan wawancara untuk memperoleh data yang lebih kaya, seperti inovasi yang sedang dilakukan oleh perusahaan atau divisi.

2. Melakukan penelitian lain dengan mengikutsertakan kedua dimensi lain pada iklim organisasi, yakni human relation dan internal process. Selain itu, dapat melakukan perbandingan dengan variabel lain yang setipe dengan iklim organisasi, seperti

psychologcial climate atau organizational culture. Hal ini dilakukan untuk

memperoleh gambaran mengenai variabel mana yang terkait dengan organisasi yang berhubungan atau berpengaruh pada perilaku inovatif di tempat kerja.

3. Melakukan penelitian lebih lanjut dengan membawa perbedaan karakteristik dari ukuran perusahaan (organizational size). Patterson et al. (2005) tidak menemukan adanya hubungan antara inovasi dan ukuran dari perusahaan (organizational size), sedangkan terdapat asumsi bahwa perusahaan yang lebih kecil lebih inovatif dibandingkan perusahaan besar (Acs & Audretsch, 1991, dalam Imran et al., 2010).

7.2 Saran Praktis

Selain saran metodologis yang terkait dengan pelaksanaan penelitian dan hasil penelitian, terdapat pula beberapa saran praktis yang bisa dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut:

1. Hasil utama penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara perilaku inovatif di tempat kerja dan iklim organisasi menandakan bahwa perilaku inovatif dapat meningkat dan ditampilkan oleh karyawan apabila kualitas lingkungan tersebut bersifat positif dan membangun. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pada intervensi untuk meningkatkan perilaku inovatif. Berdasarkan hasil wawancara kepada staff SDM di perusahaan, inovasi pada suatu perusahaan memang wajib adanya untuk menjamin keberlangsungan perusaaan tersebut. Hal tersebut bisa

(15)

dilakukan dengan adanya pelatihan-pelatihan yang terkait dengan peningkatan perilaku inovatif.

2. Penerapan perilaku sederhana seperti melakukan rapat mingguan terkait dengan ide-ide yang muncul untuk dapat dikembangkan dapat memicu iklim positif di organisasi. Hal ini sesuai dengan tahapan dari Rogers (1983) dimana proses terjadinya inovasi harus dimulai dengan pemantaun masalah dan mencari cara menyelesaikannya. Setelah itu terdapat tahapan routinizing, dimana setiap karena melakukan rutinitas inovasi yang diperoleh agar melekat pada individu.

3. Hasil penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan mean pada level jabatan, yakni level jabatan non-managerial lebih tinggi dibandingkan dengan level managerial, meski tidak signifikan, dapat menjadi acuan dimana seharusnya semua level pada organisasi mampu berinovasi.

4. Pada penelitian ini tipe inovasi yang dilihat adalah tipe inovasi teknikal, dimana inovasi difokuskan pada produksi barang. Hal ini karena jenis perusahaan yang dijadikan tempat pengambilan data adalah perusahaan produksi. Berdasarkan hasil yang diperoleh, divisi yang paling tinggi menampilkan perilaku inovatif adalah divisi seperti sekretaris dan HR. Berdasarkan gambaran dari divisi tersebut, inovasi administratif, seperti sekretaris dan HR, tidak terkekang pada jenis perusaaan produksi. Peneliti berpendapat bahwa usaha untuk melakukan inovasi tidak harus terfokus pada satu divisi atau bagian, seperti R&D, melainkan diusahakan oleh seluruh divisi.

5. Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dimensi open system lebih berhubungan dengan perilaku inovatif di tempat kerja, perusahaan dapat secara perlahan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan. Dimensi open system digambarkan sebagai dimensi yang fleksibel, terbuka terhadap lingkungan dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dimana setiap perusahaan harus mampu bertahan dalam persaingan yang semakin berat. Perusahaan dapat melihat perilaku inovatif yang dilakukan oleh perusahaan lain dan mencoba mengadaptasikan ke dalam perusahaan.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, D. S., & Adedoyin, S. I. (2011). Influences of firm size, age and organizational climate on the adoption of strategic human resource management practices.

International Review of Business and Social Sciences. Vol. 1, No. 7, 22-36.

Aiken, L. R., & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and assessment (12th ed.). Boston: Pearson Education.

Al-Saudi, M, A. (2012). The impact of organizational climate upon the innovative behavior at Jordanian private universities as perceived by employees: a field study. Internatioanal

Business and Management. Vol. 5, No. 2, 14-27. DOI: 10.3968/j.ibm.1923842820120502.1025

Amabile, T. (1988). A model of creativity and innovation in organizations. In B. M. Staw & L. L. Cummings (Eds.), Research in organizational behavior. Vol. 10, 123-167. Greenwich, CT: JAI Press.

Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological Testing (7th Ed.). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Axtell, C., Holman, D., & Wall, T. (2006). Promoting innovation: A change study, J.

Organizational Occupational Psychology. Vol. 79, No. 3, 509-516.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman.

Barnet, H. G. (1953). Innovation: the basis of cultural change, series in sociology &

anthropology. New York: McGraw-Hill.

Bunce, D. and West, M. A. (1996). Stress management and innovation interventions at work,

Human Relations. Vol. 49, No. 2, 209-224.

Byrd, J. & Brown, P. L. (2003). The innovation equation: Building creativity and risk taking

in your organization. San Fransisco: Jossey-Bass/Pfeiffer. A Wiley Imprint.

Churchill, G. A. Jr., Ford, N. M., & Walker, O. C. Jr. (1976). Organizational climate and job satisfaction in the sales force. J. Mark. Res., No. 13, 323- 332.

Damanpour, F., & Evan, W.M. (1984). Organisational innovation and performance: The problem of “organisational lag”. Administrative Science Quarterly. Vol. 29, No. 3, 392-409.

De Jong, J. & Den Hartog, D. N. (2008). Innovative work behaviour : measurement and

validation. November, 2008. Scientific Analysis of Entrepreneurship and SMEs. http://www.entrepreneurship-sme.eu/pdf-ez/h200820.pdf

Devita, I. (2003). Hubungan antara Leader-Member Exchange dan Iklim Organisasi dengan

Perilaku Inovatif. Depok: Tesis (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia.

(17)

Dorner, N. (2012). Innovative work behavior: the roles of employee expectations and effects

on job performance. (Disertasi). Diunduh pada 3 Februari 2013 dari http://verdi.unisg.ch/www/edis.nsf/SysLkpByIdentifier/4007/$FILE/dis4007.pdf   Ekvall, G., & Ryhammer, L. (1999). The creative climate: its determinants and effects at a

Swedish university. Creat. Res. J., No. 12, 303-310.

Farr, J. L., & Ford, C. M. (1990). Individual innovation. In M. A. West & J. L. Farr (Eds.), Innovation and creativity at work. New York, NY: John Wiley & Sons.

Furlong, N., Lovelace, E., & Lovelace, K. (2000). Research methods and statistics: An

integrated approach (Custom ed.). New York: Wadsworth.

Getz, I. & Robinson, A. G. (2003). Innovative or die: is that a fact?. Creativity Innovation

Manage. Vol. 12, No. 3, 130-136.

Gibson, J. L. (1996). Organisasi: perilaku, struktur dan proses. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., & Donnelly, J.H. (1997). Organizations: Behavior, structure,

processes (9th ed). Chicago: Irwin.

Gilmer, B, Von Heller. (1971). Industrial and organizational psychology. Japan: Mc-Graw Hill Publisher.

Gravetter, F. J. & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences (3rd Ed.). California: Wadsworth Cengange Learning.

Gravetter, F. J. & Wallnau, L. B. (2007). Statistics for the behavioral sciences. Canada: Thomson Learning Inc.

Guildford, J. P., & Fruchter, B. (1981). Fundamental statistic in psychology and education. New York: McGraw-Hill.

Gonzalez-Roma, V., Peiro, J. M., & Tordera, N. (2002). An examination of the antecendents and moderator of climate strength. Journal of Applied Psychology. Vol. 87, No. 3, 465-473. DOI: 10.1037//0021-9010.87.3.465

Imran, R., Saeed, T., Anil-ul-Haq, M., & Fatima, A. (2010). Organizational climate as predictor of innovative work behaviour. African Journal of Business Management. Vol. 4, No. 15, 3337-3343.

Imran, R., & Anil-ul-Haque, M. (2011). Mediating effect of organizational climate between transformational leadership and innovative work behaviour. Pakistan Journal of

Psychological Research. Vol. 26, No. 2, 183-199.

Isaksen, S.G., & Lauer, K. J. (1999). The relationship between cognitive style and individual psychological climate: Reflections on a previous study. Studia Psychologica. No. 41, 177–191.

Janssen, O. (2000). Job demand perception of effort-reward fairness and innovative behaviour. Journal of Occupational and Organizational Psychology. Vol. 73, No. 3, 287-302.

(18)

Janssen, O. (2003). Innovative behaviour and job involvement at the price of conflict and less satisfactory relation with co-workers. Journal of Occupational and Organizational

Psychology. Vol. 74, 347-364.

Janssen, O. (2005). The joint impact of perceived influence and supervisor supportiveness on employee innovative behavior. Journal of Occupationa and Organizational

Psychology. Vol. 78, 573-579.

Janssen, O., & Van der Vegt, G, S,. (2003). Joint impact of interdependence and group diversity on innovation. Journal of Management. Vol. 29, 729-751.

Janssen, O., Van de Vliert, E., & West, M. (2004). The bright and dark sides of individual and group innovation: a special issue introduction. Journal of Organizational

Behavior. Vol. 25, 129-145. DOI: 10.1002/job.242

Janssen, O., & van Yperen, N. W. (2004). Employees’s goal orientation, the quality of leader-member exchange, and the outcomes of job performance and job satisfaction.

Academy of Management Journal. Vol. 47, No. 3, 368-384.

Jung, D.I., Chow, C., & Wu, A. (2003). The role of transformational leadership in enhancing organizational innovation: Hypotheses and some preliminary findings. Leadership. Q., No. 14, 525-544.

Kaplan, R. M., & Sacuzzo, D. P. (1993). Psychological Testing: Principles, Applications, and

Issues (3rd Ed). California: Brooks/Cole Publishing Company.

Kimmel, D.C. (1974). Adulthood and Aging: An Interdisciplinary, Developmental View. New York: John Wiley and Sons.

King, N. (1990). Innovation at work: the research literature. In M. A. West & J. L. Farr (Ed.),

Innovation and creativity at work (pp.58-87). Chicester: John Wiley & Sons.

Kumar, Ranjit. (2005). Research Methodology: A step-By-Step Guide for Beginners (2nd Ed.). London: SAGE Publication, Inc.

Landy, F. J., & Trumbo, D. A. (1980). Psychology of work behavior. Homewood: Dorsey Press.

Litwin, G. H., & Stringer, R. A. (1968), Motivation and organizational climate. Cambridge, MA: Harvard Business School, Division of Research.

Lund Research. (2013). Pearson Product Moment Correlation. Diunduh pada 23 Mei 2013, dari https://statistics.laerd.com/statistical-guides/pearson-correlation-coefficient-statistical-guide.php

Malhotra, N. K. (1996). Marketing research: An applied orientation. New Jersey: Prentice Hall.

Montes, F. J. L., Moreno, A. R., & Fernandez, L. M. M. (2004). Assessing the organizational climate and contractual relationship for perceptions of support for innovation.

International Journal of Manpower. Vol. 25, No. 2, 167-180.

Mumford, M. D. & Licuanan, B. (2004). Leading for innovation: conclucsions, issues, and directions. Leadership Quaterly. Vol. 15, No. 1, 163-171.

(19)

Mumford, M. D., Scott, G. M., Gaddis, B., & Strange, J. M. (2002). Leading creative people: orchestrating expertise and relationship. Leadership Quaterly. Vol. 13. No. 6, 705-750. Munandar, A. S. (2001). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: UI-Press.

Noor, M. H. & Dzulkifli, B. (2013). Assesing leadership practices, organizational climate and its effect towards innovative work behavior in R&D. International Journal of Social

Science and Humanity. Vol. 3, No. 2.

Oei, I. (2010). Riset sumber daya manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Oktary, J. (2004). Hubungan Iklim Organisasi dengan Keterlibatan Kerja Karyawan. Depok: Skripsi (Tidak Diterbitkan) Fakultasi Psikologi Universtitas Indonesia.

Ornstein, S., Cron, W. L., & Slocum, J.W. (1989). Life stages versus career stage: A comparative test of the theories of levinson and super. Journal of Organizational

Behavior, 10, 117-133.DOI: 10.1002/job.4030100203

Patterson, M., West, M., Shackleton, V., Lawthom, R., Maitlis, S., Robinson, D., Dawson, J., & Wallace, A. (2004). Development and validation of an organizational climate measure. Journal of Organizational Behaviour. Vol. 30, 408-530.

Patterson, M., West, M., Shackleton, V., Lawthom, R., Maitlis, S., Robinson, D., Dawson, J. F., & Wallace, A. (2005). Validating the organizational measure: links to managerial practices, productivity and innovation. Journal of Organizational Behaviour. Vol. 26, 379-408.

Pfeifer, C. & Wagner, J. (2012). Is innovative firm behavior correlated with age and gender

composition of the workforce? Evidence from a new type of data for German enterprise. German: University Lueneburg.

Quinn, R.E. & Rohrbaugh, J. (1983). A spatial model of effectiveness criteria: Towards a competing values approach to organizational analysis. Management Science. No. 29, 363-377.

Robbins, S. P. (1996). Organizational behavior (6th ed). New Jersey: Prentice Hall. Rogers, E. M. (1983). Diffusion of innovation. New York: Free Press.

Sangeeta, Singh. (2006). Cultural differences in, and influences on, consumers propensity to adopt innovations. International Marketing Reviews. London: 2006. Vol.23, No. 2, 173.

Seniati, A. N. L. (2002). Pengaruh Masa Kerja, Trait Kepribadiam, Kepuasan kerja dan

Iklim Psikologis terhadap Komitmen pada Dosen Universitas Indonesia. Depok:

(Tidak Diterbitkan) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2009). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT Indeks Gramedia.

Shane, Scott. (1995). Uncertainty avoidance and the preferences for innovation cham.

Journal of International Business Studies. Washington: First Quarter. Vol. 26, No. 1,

(20)

Shih, H. & Susanto, E. (2010). Innovative work behavior, conflict with coworkers and turnover intention: moderating roles of perceived distributive fairness. Journal of

Organizational Behavior. Vol. 30, No. 2, 67-80.

Smith, K. G., Collins, C. J., & Clark, K. D. (2005). Existing knowledge, knowledge creation capability, and the rate of new product introduction in high-technology firms.

Academy of Management Journal, No. 48, 346-357.

Schneider, B. & Reichers, A. (1983). On the etiology of climates. Personnel Psychology. No. 36, 19-39.

Solomon, T. G., Winslow, K. E., & Tarabishy, A. (2004). The role of climate in fostering innovative behavior in entrepreneurial SMEs. Diunduh pada February 2, 2013, dari

http://www.sbaer.uca.edu/research/1998/USASBE/98usa221.txt

Stringer, R. (2002). Leadership and organizational climate: The cloud chamber effect. Upper Sadle River. NJ: Prentice Hall.

Suwisno, A. (2012, Mei 16). Penjualan LG dan Polytron tumbuh dua digit di kuartal I.

Electronics. Diunduh dari

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/26818/Penjualan-LG-dan-Polytron-Tumbuh-Dua-Digit-di-Kuartal-I

Torrington, D., Hall, L. & Taylor, S. (2005) Human Resource Management. Harlow: Financial Times.

Veeramah, S. (2011). Pearson’s r Correlation – A Rule of Thumb. Diunduh pada 23 Mei 2013, dari http://faculty.quinnipiac.edu/libarts/polsci/Statistics.html

West, M. A. (1997). Developing creativity in organizations. Leicester UK: British Psychological Society.

West, M., & Farr, J. (1989). Innovation at work: Psychological perspectives. Social Behavior. No. 4, 15-30.

Yuan, F., & Woodman, R. W. (2010). Innovative behavior in the workplace: The role of performance and image outcome expectations. Academy of Management Journal. Vol. 53, No. 2, 323-342.

Referensi

Dokumen terkait

UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL HERBA BENALU MANGGA (Dendrophthoe petandra L. Miq.) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus ATCC 6538 DAN Escherichia coli ATCC 11229i.

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa Reliabilitas tes bentuk pilihan ganda dengan tiga pilihan jawaban lebih tinggi

LAHIR KELAMIN PERKAWINAN KELUARGA.. 815 Sawahan Pendowoharjo Sewon

Mikrokontroler akan menerima identitas objek dari pembaca RFID kemudian menampilkan nama objek di LCD, mengendalikan MP3 player agar memainkan rekaman penjelasan

(1992) menemukan bahwa pengalaman pribadi dan word of mouth merupakan rekomendasi yang paling kuat, informasi dua sumber yang digunakan ketika wisatawan berusia

Prihyugiarto, dari Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi BKKBN yang menyatakan bahwa remaja yang mempunyai teman pernah me-lakukan hubungan seksual pra nikah dan

Dalam proses itu akan mengikat zeolit arang aktif dilakukan bersama dengan emisi ketika dimasukkan pada tabung kedua.Setelah proses uji coba dan alat ini