• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Pendahuluan. sebagai mahluk berakal budi yang dikaruniai daya cipta, rasa dan karsa, membuatnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Pendahuluan. sebagai mahluk berakal budi yang dikaruniai daya cipta, rasa dan karsa, membuatnya"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berhubungan. Manusia sebagai mahluk berakal budi yang dikaruniai daya cipta, rasa dan karsa, membuatnya berbeda dengan mahluk lainnya karena dengan kelebihannya ini, manusia bukan hanya mampu berkomunikasi secara verbal, tapi juga mampu menuangkan ide, pikiran dan perasaannya ke dalam bentuk tulisan, gambar, benda, dan lain-lain. Hal ini pulalah yang memungkinkan keberadaan budaya, seperti yang dikemukakan Yoshimichi (2006: 178) sebagai berikut:

…kita seharusnya menyebut manusia sebagai mahluk psikomatik yang membawa budaya yang mereka ciptakan oleh dan untuk diri mereka sendiri. Karena mahluk psikomatik tidak dapat hidup tanpa kebudayaan, dia merupakan keseluruhan kompleksitas yang terdiri dari alam dan kebudayaan.

Definisi kebudayaan menurut Tylor dalam Gea (2004:33) merupakan keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Dari pengertian di atas, didapati bahwa kesenian merupakan satu dari sekian banyak hal yang dapat dikategorikan sebagai suatu kebudayaan. Bidang-bidang dalam kesenian itu sendiri memiliki cakupan yang luas, salah satunya adalah apa yang kita kenal dengan seni sastra. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Wellek (1989:3) yang mengatakan, “Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.” Senada dengan Wellek, Fananie (2000:6) mengemukakan, “Sastra adalah karya fiksi yang merupakan

(2)

2 hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahagiaan maupun aspek makna.”

Terlepas dari makna katanya, jenis-jenis sastra itu sendiri selalu mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Sama halnya dengan kesusastraan Jepang yang juga terus berubah dari masa ke masa. Secara garis besar, menurut Asoo (1983) kesusastraan Jepang dapat dibagi ke dalam lima babak besar kesusastraan, yakni kesusastraan zaman Joodai, kesusastraan zaman Heian, kesusastraan abad pertengahan, kesusastraan zaman pramodern, dan kesusastraan zaman modern. Setiap sastrawan pasti memiliki style atau gaya masing-masing yang membawa ciri khas tertentu yang secara dominan mewarnai kesusastraan di setiap zamannya. Bila pada zaman Joodai berkembang jenis-jenis sastra yang berpangkal pada cerita-cerita rakyat, seperti shinwa, densetsu, atau setsuwa, maka lain lagi dengan kesusastraan zaman modern yang sarat dengan pengaruh kebudayaan Barat.

Nama-nama seperti Fukuzawa Yukichi dan Nishi Amane adalah beberapa ahli sastra berkebangsaan Jepang yang membawa angin segar pada perkembangan kesusastraan modern di negaranya. Fukuzawa Yukichi terkenal dengan karyanya Gakumon no Susume, sementara Nishi Amane mengarang sebuah buku berjudul Hyakugaku Renkan. Kesusastraan terjemahan juga mengalami perkembangan pesat di zaman modern ini. Begitu pula dengan novel-novel bernuansa politik yang mencerminkan cita-cita zaman yang ingin membuat kesusastraan dan masyarakat saling berkaitan satu sama lain.

Kesusastraan di zaman modern ini ternyata tidak hanya diramaikan oleh sastrawan pria. Di era tahun 1900-an muncul seorang pengarang wanita bernama Higuchi Ichiyoo.

(3)

3 Asoo (1983:164) menyebutkan, “Awalnya ia menulis dengan meniru gaya dan cara penulisan yang sudah ada, tetapi akhirnya ia berusaha menulis tentang penderitaan yang dialami wanita yang hidup dalam alam feodal”.

Meskipun demikian, menurut Tanaka (1982:15) para penulis wanita baru membanjir di tahun 1960-an. Bukan hanya dari segi jumlah, namun kualitas karya mereka juga termasuk tinggi. Pengarang wanita terus bermunculan dan melanjutkan kiprahnya dalam seni sastra.

Salah satu pengarang wanita Jepang kontemporer yang cukup terkenal adalah Yoshimoto Banana. Dilahirkan pada tanggal 24 Juli 1964 di Tokyo, Yoshimoto memiliki nama asli Yoshimoto Mahoko. Ayahnya, Yoshimoto Takaaki, adalah seorang pujangga dan komentator yang cukup berpengaruh di Jepang. Seperti halnya sang ayah, sedari kecil, Yoshimoto juga sangat suka membaca buku. Dibesarkan dalam keluarga liberal, cara pemikirannya cukup radikal bahkan di saat SMU, ia sempat keluar dari rumah untuk tinggal bersama kekasihnya. Setelah lulus dari fakultas seni dengan bidang keahlian kesusastraan di Nihon University, dengan nama samaran “Banana”, ia mulai menapaki jalan sebagai seorang novelis. Sembari bekerja sebagai pelayan pada sebuah restoran klub golf, Yoshimoto mencuri-curi waktu untuk melanjutkan kesenangannya dalam bidang menulis. Di tahun 1986, karya perdananya berjudul Moonlight Shadow memenangkan Penghargaan Nobel Izumi Kyoka. Di tahun berikutnya, Yoshimoto kembali meraih penghargaan dari Kaien Magazine untuk novelnya yang berjudul Kicchin dengan kategori Penulis Pendatang Baru. Dia juga memperoleh banyak penghargaan untuk karya-karyanya yang lain, seperti Utakata dan Tugumi. Tidak berapa

(4)

4 lama kemudian, ia mendapat Nobel Murasakishikibu untuk karyanya berjudul Amurita. (Morton, 2003:194-199)

Kebanyakan dari novel Yoshimoto Banana selalu diwarnai oleh kisah-kisah kematian, namun tokoh-tokoh dalam karyanya akan berusaha untuk hidup dan bangkit dari kesedihannya. Dari sini terlihat bahwa bukan hanya kesengsaraan hidup, namun Yoshimoto juga berusaha menyampaikan harapan-harapan hidup dalam karya-karyanya, misalnya persahabatan, impian masa depan, cinta persaudaraan, dan keluarga. Dia juga menulis banyak buku-buku provokatif seputar incest dan lesbianisme. Buku-bukunya selalu memperkenalkan para pembaca kepada hal-hal baru yang memang nyata terjadi di sekitar kita (Inagaki, 1995).

Dalam salah satu novelnya, Kicchin, Yoshimoto menampilkan sosok seorang pria yang kehilangan identitas diri setelah kematian istrinya. Di dalam pencarian jati dirinya, akhirnya ia memutuskan untuk melakukan operasi plastik menjadi seorang wanita. Dalam dunia psikologi, hal ini mungkin dilakukan bila seorang mengidap kelainan yang disebut gender identity disorder. Menurut Martin (2006) bahwa:

...gender identity disorder (GID) is used to describe a male or female that feels a strong identification with the opposite sex and experiences considerable distress because of their actual sex. GID can affect children, adolescents, and adults. Individuals with gender identity disorder have strong cross-gender identification. They believe that they are, or should be, the opposite sex. They are uncomfortable with their sexual role and organs and may express a desire to alter their bodies. While not all persons with GID are labeled as transsexuals, there are those who are determined to undergo sex change procedures or have done so, and, therefore, are classified as transsexual. They often attempt to pass socially as the opposite sex. Transsexuals alter their physical appearance cosmetically and hormonally, and may eventually undergo a sex-change operation.

(5)

5 Terjemahan:

...gender identity disorder (GID) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi dimana seorang pria atau wanita merasakan identifikasi diri yang kuat sebagai orang dengan jenis kelamin yang berlawanan dan mengalami kesusahan yang amat sangat karena jenis kelamin mereka yang sebenarnya. GID dapat terjadi pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Seseorang yang mengalami GID memiliki pengenalan yang kuat tentang kesalahan gender. Mereka meyakini bahwa mereka, seharusnya, berjenis kelamin yang sebaliknya. Mereka merasa tidak nyaman dengan peran seksual mereka dan organ-organnya dan mereka mungkin juga memiliki keinginan untuk mengganti tubuh fisik mereka. Walaupun tidak semua penderita GID dikategorikan sebagai transeksual, namun ada juga diantara mereka yang memutuskan untuk menjalani penggantian alat kelamin atau telah melakukannya, oleh karena itulah mereka dikategorikan sebagai transeksual. Mereka seringkali berusaha menjalani kehidupan sebagai orang yang berbeda dari jenis kelaminnya. Transeksual mengubah penampilan fisik mereka dengan dandanan atau menyuntikan cairan hormonal dan bahkan terkadang melakukan operasi pengubahan alat kelamin.

Seorang penderita GID yang memiliki keinginan kuat untuk mengganti anatomi seksualnya dengan melakukan penyuntikan hormon bahkan menjalani operasi ganti kelamin lazim disebut transeksual dalam dunia psikologi. Fenomena tentang pria yang berganti wujud menjadi wanita dan sebaliknya menjadi isu hangat saat awal kemunculannya diekspos. Hingga sekarang hal ini pun masih dipertanyakan dari berbagai sudut pandang, khususnya dari segi agama (Gunawan, 2001:67).

Keberadaan transeksual dapat dikatakan tidak terbatas pada satu negara saja, karena hampir di seluruh dunia kita bisa menjumpai komunitas tertentu yang memang mengalami GID. Di Indonesia misalnya, dapat kita lihat beberapa public figure yang mengalami hal serupa dan dengan terang-terangan mengakui jati dirinya sebagai transeksual. Sebut saja Dorce Gamalama seorang artis kenamaan ibukota yang memang merupakan contoh nyata dalam dunia transeksualitas (Syarifudin, 2005). Di Jepang, seorang pembalap wanita, Chinatsu Ando, berganti nama menjadi Hiromasa Ando

(6)

6 setelah menjalani operasi ganti kelamin. Begitu juga dengan aktor kawakan, Yu Tomita yang merupakan seorang transeksual wanita, yakni keadaan dimana wanita menjadi pria (Matsumoto, 2002).

Gunawan (2001:67-71) secara gamblang mengemukakan bahwa sama sulitnya ketika harus menjalani prosedur operasi ganti kelamin dan segala usaha untuk “membetulkan” fungsi peran seksualnya yang diyakininya salah, demikian sulitnyalah kehidupan kaum transeksual dalam masyarakat. Sebagai kelompok manusia yang merasa salah dengan tubuh seksualnya, mereka masih harus menghadapi rentetan masalah di dalam kehidupan bermasyarakatnya. Tidak jarang mereka mendapati diri mereka dicerca dan dihina bahkan dikucilkan karena kelainan yang mereka alami. Berbagai kritik mengalir deras ketika mereka memutuskan untuk menjalani hidup mereka sebagai seorang transeksual murni. Hal-hal yang bagi orang normal mudah untuk dilakukan seperti mendapatkan paspor, menandatangani kontrak, bekerja, atau menikah menjadi sesuatu yang sangat sulit bahkan tidak mungkin bagi para transeksual. Mereka juga menemui kesulitan berkaitan dengan status mereka di mata hukum, apalagi di dalam hal pencatatan akte keluarga. Ditambahkan Greenwald (2006) mengenai hal ini, demikian:

“I don't think that employers necessarily discriminate against transsexuals because they fail to conform with stereotypes," he added. “In many cases, they do so because they think it's weird. They don't understand it. They think someone who has this gender identity is in some sense sick or unstable, or they worry about the image of their business”

Terjemahan:

“Menurut saya, para majikan tidak perlu mendiskrisminasikan transeksual karena merasa tidak nyaman dengan stereotipe transeksualitas,” tambahnya. “Dalam banyak kasus, mereka melakukannya karena mereka pikir transeksualitas itu aneh. Mereka tidak memahaminya. Mereka pikir seseorang

(7)

7 yang memiliki identitas gender transeksual berada dalam kondisi sakit atau tidak stabil, atau mereka khawatir dengan citra bisnis mereka”

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin menggemanya tuntutan persamaan hak azasi manusia dalam berbagai aspek dan bidang, maka aturan-aturan baru berkenaan dengan hak dan kewajiban kaum transeksual pun mulai diterapkan. Seperti tercantum pada 2003 Japan Law : Transsexual Right dalam Seeman (2004), bahwa pemerintah Jepang akhirnya memberlakukan sebuah hukum yakni, the Law Concerning Special Cases in Handling Gender for People with Gender Identity Disorder yang mengatur pasien penderita GID yang boleh melakukan operasi penggantian kelamin pada bulan Juli 2004 lalu. Menurut hukum ini seorang boleh melakukan operasi ganti kelamin bila ia telah berusia lebih dari 20 tahun, tidak menikah, dan tidak memiliki anak serta sekurang-kurangnya harus ada pernyataan dari dua orang dokter yang menyatakan pasien menderita GID. Keberadaan aturan semacam ini menurut Oetomo (2001:233-235) sedikit banyak telah memberikan suatu perlindungan hukum bagi kaum transeksual, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih saja ada banyak pandangan negatif dari orang-orang di luar komunitas transeksual yang terkadang bahkan menjurus ke arah prasangka sosial dan diskriminasi.

Melihat fenomena sosial yang mau tak mau harus kita hadapi ini, penulis tertarik untuk meneliti pandangan masyarakat Jepang terhadap keberadaan sosok transeksual ditinjau dari sebuah novel karya Yoshimoto Banana berjudul Kicchin. Penulis memilih novel ini karena di dalamnya muncul seorang tokoh transeksual yang sangat menarik dan bagaimana tokoh-tokoh dalam novel ini menghadapi sosok transeksual di Jepang, juga membuat penulis tertarik untuk menganalisis novel ini. Sebagai bahan penelitian,

(8)

8 penulis akan menggunakan novel Kicchin dalam dua versi, yakni versi bahasa Jepang dan versi bahasa Inggris.

1.2 Rumusan Permasalahan

Dalam skripsi ini, penulis akan menganalisis pandangan tokoh-tokoh dalam novel Kicchin mengenai keberadaan transeksual untuk kemudian ditarik simpulan dari pandangan para tokoh-tokoh tersebut mengenai penerimaan terhadap sosok transeksual.

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Penulis akan membatasi penelitian pada pandangan para tokoh mengenai keberadaan transeksual di Jepang dalam novel Kicchin. Tokoh-tokoh yang akan dianalisis pandangannya adalah tokoh utama Mikage Sakurai, Yuichi Tanabe anak dari Eriko Tanabe, Yuji Tanabe yang berganti nama menjadi Eriko Tanabe setelah melakukan operasi ganti kelamin, mantan mertua Eriko Tanabe, serta seorang tokoh penggemar fanatik Eriko.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan para tokoh dalam novel Kicchin mengenai keberadaan kaum transeksual, apakah mereka menerima atau tidak, dan bagaimanakah bila ditinjau dari segi psikologis sosok transeksual itu sendiri

(9)

9 1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperdalam pemahaman tentang keberadaan transeksual di Jepang dilihat dari novel Kicchin secara khusus dan dalam kehidupan nyata di sekitar kita sendiri secara umum. Selain itu, juga sebagai informasi yang kiranya dapat menambah pengetahuan tentang kehidupan sosial di Jepang bagi masyarakat peminat kebudayaan Jepang dan membuka wawasan tentang kesusastraan Jepang bagi para mahasiswa jurusan sastra Jepang.

1.5 Metode Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, penulis akan menggunakan metode kepustakaan deskriptif analitis. Penulis akan menggunakan sumber-sumber tertulis yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Sumber-sumber tertulis itu mencakup buku referensi, internet, dan lain sebagainya.

1.6 Sistematika Penulisan

Skripsi ini tersusun dari 5 bab yang terdiri atas bab 1 pendahuluan, bab 2 landasan teori, bab 3 analisis data, bab 4 simpulan dan saran, serta bab 5 ringkasan.

Bab 1 pendahuluan merupakan pendahuluan dari penulisan skripsi. Pada bab ini, penulis akan menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi ini.

(10)

10 Bab 2 Landasan Teori berisikan teori-teori yang akan menjadi landasan penelitian penulis. Dalam bab ini, akan dituliskan teori-teori yang digunakan untuk penulisan skripsi ini. Teori-teori ini berguna untuk menganalisis topik skripsi yang akan dibahas pada bab 3. Teori-teori yang akan digunakan adalah teori penokohan, konsep transeksualitas, teori sikap dan persepsi dalam interaksi sosial, dan konsep budaya omoiyari dalam masyarakat Jepang.

Bab 3 Analisis Data merupakan penjabaran data yang akan dianalisis lebih lanjut. Dalam bab ini akan diuraikan analisis data dengan menggunakan teori-teori yang ada dalam bab 2.

Bab 4 Simpulan dan Saran berisikan simpulan hasil analisis korpus data berdasarkan teori dan saran penulis terhadap hasil permasalahan yang diangkat penulis.

Bab 5 Ringkasan merupakan ringkasan dari keseluruhan isi skripsi yang akan dituliskan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Bab ini adalah rumusan dari seluruh permasalahan serta jawaban yang dituliskan kembali secara singkat.

Referensi

Dokumen terkait

Berhasilnya pelacakan atas kitab tafsir awal karya Sa’id dan al-Marbawi pada tahun 1938 itu dengan sendirinya membantah tesis Peter G. Riddell yang mengatakan bahwa kitab-kitab

Klaten 15031022010073 754 SUHARI SMK (STM) YAYASAN PENDIDIKAN DELANGGU Pendidikan Jasmani dan Kesehatan PENJAS.04 MENGULANG KE-1 OBJEKTIF, URAIAN.. AZIZ SMP ISLAM INTEGRAL LUQMAN

Penelitian ini dilakukan di LAZ PT Semen Padang dnagan tujuan untuk mengetahui : (1) Untuk mengetahui pelaksanaan dari pengelolaan serta pengunaan dana yang

 Tujuan : (i) Untuk menghindari atau meminimalkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dengan menghindari atau meminimalkan pencemaran dari kegiatan proyek,

(2) Biaya bahan bakar minyak (BBM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebagai pengganti biaya transport dengan menunjukan bukti pembelian bahan bakar

menerima murid dari jenjang TK hingga SMA. Di sekolah ini ada tahap persiapan sebelum anak mengikuti kegiatan belajar secara rutin, yang berlangsung selama 1 – 2

5 Demmalino dan Wicaksono.Utang Budaya Perempuan Tana Toraja.Yogyakarta.PSKK UGM.2004 hlm.124.. namun progresivitas norma UU ini masih setengah hati, yang melahirkan multi

Varietas Towuti merupakan varietas dengan produksi tertinggi yaitu sebesar 9.62 gram terhadap parameter bobot gabah per sampel, pada parameter jumlah gabah