• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS DAN ANALISIS BIAYA PROSES PENGERINGAN KAYU GERGAJIAN DI PT SUMALINDO LESTARI JAYA DAN PT KALINDO PACIFIC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKTIVITAS DAN ANALISIS BIAYA PROSES PENGERINGAN KAYU GERGAJIAN DI PT SUMALINDO LESTARI JAYA DAN PT KALINDO PACIFIC"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGERINGAN KAYU GERGAJIAN DI PT

SUMALINDO LESTARI JAYA DAN

PT KALINDO PACIFIC

Productivity and Cost Analysis of Drying Process of

Sawn Timber at PT Sumalindo Lestari Jaya and

PT Kalindo Pacific

Nancy Roosje Kuhu1), Muchlis Rachmat2) dan Edy Budiarso3)

Abstract. This research aimed at determining productivity factors influencing

the productivity of sawn timber of two wood industries at Samarinda. The research resulted that the productivity of dried sawn timber at PT Sumalindo Lestari Jaya was higher compared to that at PT Kalindo Pacific. Factors influencing time of drying process were the thickness of wood and the method of process. Factors influencing the productivity of drying process were location of the factory, kind of machine, capacity and work system of kiln dryer and also the species and the thickness of timber. For decreasing cost of drying process, it is recommended to rearrange lay out of the factory.

Kata kunci: produktivitas, waktu, jenis kayu.

Industri pengolahan kayu hadir dan berkembang di Indonesia selain karena adanya kenyataan dari besarnya potensi sumber bahan baku yang tersedia, juga karena adanya kebijaksanaan pemerintah yang mendorong untuk mengolah kayu dalam negeri. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan tiap-tiap industri kayu (khususnya industri penggergajian dan kayu lapis) yang mencolok setelah keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri pada tahun 1980 dan adanya larangan ekspor kayu bulat (log) oleh Menteri Kehutanan tahun 1985 (Supraptono, 1996). Pada masa itu, banyak orang mendirikan industri perkayuan mulai industri penggergajian (saw mill) sampai industri mebel atau interior.

Negara-negara importir kayu dari Indonesia menuntut kayu yang mempunyai kadar air yang berlainan, sesuai kondisi iklim dan cuaca negaranya masing-masing. Perubahan iklim atau cuaca dari Indonesia yang beriklim tropis dengan tingkat kelembapan udara tinggi ke negara Eropa yang berudara kering dapat membuat kayu retak, pecah atau melengkung. Selain itu, tingginya kelembapan udara di Indonesia juga berpengaruh baik terhadap berkembangnya jamur perusak kayu pada waktu kayu belum dikeringkan (Budianto, 1996).

Produk kayu pada sektor industri dan kerajinan kayu ada yang dikeringkan melalui pengeringan alami, namun ada juga yang dikeringkan dalam kamar pengering (kiln dryer) karena pengeringan secara alami hanya dapat menghasilkan _________________________________________________________________________

1) Fakultas Pertanian Universitas Sintuwu Maroso, Poso.

2) Laboratorium Rekayasa Pemanenan Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda. 3) Laboratorium Pengeringan dan Pengawetan Kayu Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda

(2)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005 39 kadar air kayu akhir berkisar 12–20 % dan ini masih dianggap cukup tinggi. Kadar air yang tinggi akan mempengaruhi mutu kayu terutama pada kestabilan dimensinya, sedangkan kayu yang dikeringkan dalam kamar pengering dapat mencapai kadar air akhir sebesar 4–6 %, sehingga perubahan dimensi kayu sangat kecil atau dapat diabaikan. Selain itu setiap jenis kayu juga mempunyai karakteristik yang khas, sehingga berpengaruh pada waktu pengeringan kayu yang dibutuhkan. Kayu yang keras dan berpori-pori kecil memerlukan waktu pengeringan yang lebih lama daripada kayu yang berpori-pori besar dan lunak.

Mulyono (1986) menjelaskan, bahwa mesin pabrik dan peralatan secara keseluruhan dalam banyak perusahaan merupakan bagian terbesar dari seluruh modal yang ditanamkan dalam usaha yang bersangkutan. Oleh karena itu perlu adanya pemanfaatan mesin secara optimal dalam kegiatan pengolahannya. Efisiensi mesin sangat berguna sebagai mekanisme kontrol dan landasan penyetelan kembali. Salah satu cara untuk mengoptimalkan fungsi mesin yang digunakan adalah dengan mengetahui waktu pemanfaatan mesinnya, yang terdiri dari waktu efektif dan waktu tidak efektif mesin. Dengan diketahuinya faktor-faktor penyebab waktu tidak efektif mesin diharapkan dapat dilakukan usaha untuk mengurangi waktu tidak efektif tersebut.

PT Sumalindo Lestari Jaya dan PT Kalindo Pacific merupakan dua di antara beberapa perusahaan kayu yang sebagian proses produksinya melalui tahap pengeringan dalam kamar pengering, namun informasi tentang produktivitas dan biaya dalam proses pengeringan belum banyak diketahui. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui berapa besar waktu kerja efektif dan yang tidak efektif, proses pengeringan serta biaya-biaya yang harus diperhitungkan dalam proses pengeringan kayu. Hal-hal tersebut perlu diteliti karena berhubungan erat dengan produktivitas dan biaya produksi proses pengeringan kayu kedua perusahaan tersebut yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan harga jual dan perencanaan produksi selanjutnya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas kerja proses pengeringan kayu gergajian dari dua jenis kayu dengan berbagai ukuran, mengetahui biaya yang diperlukan untuk pengeringan kayu per m3 nya, mengetahui nilai titik impas proses pengeringan kayu gergajian baik dalam rupiah penjualan maupun dalam satuan produk dan mengetahui indeks pemanfaatan dan efisiensi mesin dalam proses pengeringan kayu gergajian.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di PT Sumalindo Lestari Jaya (SLJ) dan PT Kalindo Pacific (KP) dengan waktu efektif 4 bulan yang meliputi pengambilan data utama dan data pendukung dari bulan Maret–Juni 2002.

Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah proses kerja pengeringan kayu gergajian serta jenis dan ukuran kayu yang dikeringkan.

Sampel yang diteliti dikategorikan berdasarkan jenis dan ukuran kayu yang dikeringkan dan masing-masing dilakukan 33 kali observasi dan dicatat di tally sheet.

(3)

Data utama meliputi: i) waktu penumpukan kayu (sticking) menjadi palet (bundelan), ii) waktu pengangkutan kayu gergajian dengan forklift dari areal sawmill menuju tempat penumpukan, iii) waktu pengangkutan kayu gergajian oleh forklift dari tempat penumpukan ke dalam kamar pengering (kiln dryer), iv) waktu pengeringan tiap jenis dan ukuran kayu di dalam kiln dryer, v) waktu pengeluaran kayu dari dalam kiln dryer sampai ke gudang, vi) waktu pengangkutan kayu gergajian dari areal sawmill sampai ke kamar pengering dan dari kamar pengering sampai penumpukan akhir (gudang). Waktu pemanfaatan mesin meliputi: i) waktu jalan mesin, ii) waktu menganggur mesin dan iii) waktu bongkar mesin dan jumlah produksi kayu yang dikeringkan per tahun serta kapasitas kamar pengering terpasang.

Data pendukung meliputi: keadaan umum perusahaan dan tata letak (lay out) pabrik pengeringan kayu.

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, sedangkan untuk membantu perhitungan, digunakan rumus-rumus sebagai berikut:

1. Produktivitas proses pengeringan kayu dihitung dengan menggunakan rumus menurut Anonim (1969) dikutip oleh Mulyono (1986), yaitu: Produktivitas = Hasil (m3) : Waktu kerja (jam)

2. Indeks Pemanfaatan Mesin (IPM) dihitung dengan menggunakan rumus menurut Anonim (1969) dikutip oleh Mulyono (1986), yaitu: IPM = Waktu jalan mesin : Waktu tersedia mesin

3. Indeks Efisiensi Mesin (IEM) dihitung dengan menggunakan rumus menurut Anonim (1969) dikutip oleh Mulyono (1986), yaitu: IEM = Waktu jalan mesin standar : Waktu jalan mesin

4. Indeks Pemanfaatan Efektif Mesin (EPM) dihitung dengan menggunakan rumus menurut Anonim (1969) dikutip oleh Mulyono (1986), yaitu: IPEM = Waktu jalan mesin standar : Waktu tersedia mesin. Untuk memperoleh waktu jalan mesin pada tingkat standar, maka diperlukan waktu normal dan kelonggaran waktu. Waktu normal di sini merupakan nilai rata-rata dari data penelitian waktu pemanfaatan mesin, sedangkan untuk kelonggaran waktu ditentukan sebesar 5 % dalam 1 hari kerja. Keadaan tersebut di atas dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut: Waktu standar = Waktu normal x 100 : (100 – kelonggaran)

5. Analisis produksi pengeringan kayu dengan menggunakan model “Cobb-Douglas”, yaitu dengan menjadikan regresi antara produksi (Y) dan faktor X yang mempengaruhi Y. Persamaan matematisnya menurut Soekartawi (1993) adalah sebagai berikut: Y = aXb. Y = waktu pengeringan (hari). X = ukuran kayu (indeks). a, b = besaran yang akan diduga, konstanta-konstanta regresi.

Dari persamaan regresi tersebut selanjutnya dilakukan uji keberartian (significance) regresi menurut Sudjana (1996). Uji keberartian regresi dengan hipotesis: H0 : β = 0 vs H1 : β = 0. β = koefisien regresi yang diduga (estimated) oleh b. Kriteria pengujian: jika F < F tab maka H0 diterima dan jika F > F tab maka H1 diterima. F = terhitung yang diperoleh dari tabel analisis varians. F tab = F-tabel yang diperoleh dari F-tabel. Bila H1 diterima, maka regresi tersebut berarti.

(4)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005 41

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Produksi Kayu Kering di PT Sumalindo Lestari Jaya (SLJ)

Produksi kayu gergajian yang telah dikeringkan selama tahun 2001 di PT SLJ adalah 13.546 m3 yang terdiri dari jenis Sengon sebanyak 10.497 m3 dan Meranti 3.049 m3. Jika dihitung berdasarkan proporsi masing-masing kamar pengering (kiln dryer = KD), berarti di PT SLJ dengan KD kapasitas 75 m3 masing-masing memproduksi Sengon sebanyak 1.657,4210 m3/tahun dan jenis Meranti 481,4210 m3/tahun, sedangkan KD kapasitas 125 m3 masing-masing memproduksi 2.762,3684 m3 Sengon dan 802,3684 m3 Meranti per tahun.

Produksi Kayu Kering di PT Kalindo Pacific (KP)

Produksi kayu gergajian kering di PT KP selama bulan April 2001 sampai Maret 2002 adalah sebanyak 6.302,9353 m3 yang terdiri dari jenis Meranti sebanyak 4.216,1496 m3 dan Sengon sebanyak 2.086,7857 m3

Produktivitas Proses Pengeringan

1. Sticking. Sticking adalah kegiatan penumpukan kayu gergajian sesuai ukuran dan jenis dengan bantuan ganjal (sticker). Penyusunan kayu menggunakan ganjal merupakan cara yang dibuat agar pergerakan udara dapat mencapai bagian tengah susunan kayu pada waktu pengeringan alami maupun pengeringan buatan, sedangkan stacking factor biasanya digunakan untuk mengetahui volume kayu sebenarnya yang akan disusun atau volume ruang yang dibutuhkan. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa sticking hanya terdapat di PT SLJ karena bahan baku berupa kayu bulat (log) yang kemudian digergaji hanya ada di perusahaan ini, sedangkan PT KP hanya mengharapkan bahan baku dari pihak lain yang memerlukan jasa pengeringan dan biasanya bahan baku yang diterima sudah dalam bentuk palet (sudah disticking). Waktu yang dibutuhkan dalam proses sticking untuk jenis Meranti dan Sengon dapat dilihat pada Tabel 1.

Produktivitas sticking berhubungan dengan volume kayu yang disusun menjadi palet dan waktu kerja yang digunakan. Menurut Sanyoto (1958), waktu kerja dibedakan menjadi dua golongan, yaitu waktu kerja murni dan waktu kerja umum. Pada pekerjaan sticking, waktu kerja murni terdiri dari waktu mengambil kalang, menyusun kayu gergajian, memasang sticker dan waktu mengikat palet, sedangkan waktu kerja umum terdiri dari waktu istirahat.

Pada Tabel 3 terlihat, bahwa produktivitas sticking jenis meranti dan sengon ukuran 130 x 15 x 5 cm3 paling tinggi, yaitu masing-masing 4,7167 m3/jam dan 4,7768 m3/jam. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa untuk kayu ukuran panjang 130 cm dengan lebar 15 cm hanya memerlukan 7 x 11 = 77 potongan kayu untuk membentuk 1 palet, sedangkan kayu dengan panjang yang sama tapi lebarnya 12 cm diperlukan 88 potongan kayu untuk 1 palet, sementara kayu dengan lebar 10 cm diperlukan 99 potongan kayu untuk 1 palet, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan dan penyusunan palet lebih lama. Ukuran kayu 65 x 15 x 5 cm3 diperlukan waktu yang lebih sedikit untuk menyusun 1 palet, namun kalau dihitung

(5)

volumenya lebih sedikit, sehingga produktivitasnya juga rendah. Selanjutnya jika dibandingkan dengan ukuran yang lebih besar lainnya, ukuran besar mempunyai volume yang lebih besar, sehingga dapat dimengerti bahwa semakin besar volume kayu, semakin berat kayu tersebut dan semakin lama waktu yang diperlukan untuk mengangkut dan menyusunnya.

2. Pengangkutan. Proses kerja pengangkutan kayu di dua perusahaan yang diteliti terdapat perbedaan, baik elemen kerjanya maupun dalam hal jarak angkut. Di PT Sumalindo Lestari Jaya proses pengangkutan dimulai dari sekitar sawmill, di mana dilakukan kegiatan sticking, selanjutnya diangkut dengan forklift menuju tempat penumpukan-1 (TP-1). Tempat penumpukan sebelum kayu dimasukkan ke dalam KD ada 2 dan TP-1 ini berjarak 100–150 m dari TP-2 yang berada di sekitar KD. TP-2 merupakan lahan yang tersisa di sekitar KD dan hanya mampu menampung

250 m3 kayu, sementara produksi kayu gergajiannya sebesar 2.025 m3 per bulan.

Tabel 1. Waktu Kerja Sticking di PT SLJ

No. Jenis dan ukuran Waktu Volume Produktivitas

(cm) menit detik (m3) (m3/jam)

Meranti 1 100 x 10 x 5 11 47 0,4950 2,5894 2 100 x 12 x 5 10 21 0,5280 3,1028 3 130 x 10 x 5 10 36 0,6435 3,7268 4 100 x 15 x 5 9 43 0,5775 3,6744 5 130 x 12 x 5 9 57 0,6864 4,3034 6 130 x 15 x 5 9 55 0,7507 4,7167 7 200 x 10 x 5 16 45 0,9900 3,6109 8 200 x 12 x 5 19 37 1,0560 3,2710 9 250 x 10 x 5 20 38 1,1550 3,4004 10 200 x 15 x 5 22 41 1,3200 3,5341 11 250 x 12 x 5 23 16 1,5840 4,1036 12 300 x 12 x 5 23 47 1,4437 3,6908 13 250 x 15 x 5 23 47 1,4437 3,6909 Sengon 1 130 x 10 x 2 10 07 0,4940 2,7701 2 150 x 10 x 2 18 58 0,5940 1,9182 3 200 x 10 x 2 26 55 0,7920 1,7898 4 65 x 15 x 5 8 41 0,3750 1,4356 5 130 x 10 x 5 10 54 0,6864 3,9074 6 130 x 12 x 5 9 43 0,7507 3,5651 7 150 x 12 x 5 18 59 0,9900 3,1946 8 130 x 15 x 5 14 58 0,8662 4,7768 9 200 x 10 x 5 20 35 1,0200 3,0074 10 150 x 15 x 5 22 51 1,2375 3,2985 11 200 x 12 x 5 29 11 1,1550 2,3806 12 200 x 15 x 5 27 51 1,4437 3,1484 13 250 x 12 x 5 31 04 1,4850 2,8376 14 250 x 15 x 5 29 06 1,5840 3,2108

(6)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005 43

Dengan demikian adanya TP-1 dan TP-2 ini semata-mata karena alasan kapasitas penampungan yang tidak mencukupi. Dari TP-1 kayu diangkut ke TP-2 kalau tempatnya sudah memungkinkan dan selanjutnya kayu diangkut ke dalam KD untuk proses pengeringan.

Di PT KP, sebagian pengangkutan dimulai dari TP-1 PT SLJ menuju TP-1 PT KP, karena PT KP tidak mempunyai bahan baku sendiri. Tempat penumpukan sebelum kayu dimasukkan ke dalam KD hanya satu, karena tempatnya mampu menampung 500 m3 kayu gergajian. Jarak angkut di dalam pabrik di PT SLJ lebih panjang dibandingkan PT KP. Jarak angkut yang panjang ini disebabkan oleh tata letak pabrik yang tidak tertata baik, di mana letak sawmill, tempat penumpukan, kiln dryer dan gudang terpisah pada beberapa lokasi, sehingga jarak angkutnya menjadi lebih panjang, sedangkan tata letak pabrik di PT KP lebih teratur, sehingga jarak angkutnya lebih pendek.

Jarak minimum di PT SLJ adalah 583 m dan jarak maksimumnya 820 m, sedangkan di PT KP jarak minimumnya 56 m dan maksimum 145 m, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengangkutan di PT SLJ lebih lama daripada di PT KP. Waktu pengangkutan sebelum kayu dimasukkan ke dalam KD tidak terlalu mempengaruhi kelancaran produksi, karena kayu ini harus ditumpuk dulu sambil menunggu kayu di dalam KD selesai dikeringkan.

Yang sangat mempengaruhi kelancaran proses kerja adalah pengangkutan kayu dari dalam KD ke gudang (TP-3 di PT SLJ dan TP-2 di PT KP), karena semua kayu dari dalam KD harus dikeluarkan dan diangkut ke gudang terlebih dahulu, kemudian kayu yang baru dimasukkan untuk pengeringan berikutnya. Dalam hal ini waktu pengangkutan tersebut akan sangat ditentukan oleh jarak angkut, sehingga semakin jauh jarak angkut, semakin lama waktu yang diperlukan untuk kegiatan tersebut dan ini secara langsung akan mempengaruhi kelancaran proses berikutnya.

Biaya yang timbul dalam pengangkutan bahan baku dari PT SLJ ke TP-1 PT KP dan dari TP-2 PT KP ke TP-3 PT SLJ adalah tanggung jawab PT SLJ, sehingga dalam perhitungan produktivitas di PT KP yang dihitung hanya jarak angkut dari truk ke TP-1, TP-1 ke KD, KD ke TP-2 dan selanjutnya TP-2 ke atas truk. Untuk penyediaan bahan baku, PT SLJ menyediakannya secara bertahap dan kontinyu sesuai perjanjian kerja antara kedua perusahaan tersebut. Waktu pengangkutan untuk setiap tahap ditampilkan pada Tabel 2 dan 3. Pada Tabel 2 dan 3 terlihat, bahwa produktivitas antara kedua perusahaan berbeda untuk setiap elemen kerja. Di PT SLJ, produktivitas tertinggi terjadi pada elemen kerja pengangkutan dari TP-2 ke dalam KD. Hal ini disebabkan karena elemen kerja ini mempunyai jarak angkut yang paling pendek dibandingkan dengan semua elemen kerja yang lainnya. Demikian juga di PT KP, produktivitas tertinggi terjadi pada elemen kerja pembongkaran sekaligus pengangkutan ke TP-1 yang mempunyai jarak terpendek. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa produktivitas pengangkutan ini sangat dipengaruhi oleh waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan tersebut dan volume kayu yang diangkut. Dengan volume yang sama, semakin pendek jarak angkut,

(7)

semakin sedikit waktu yang digunakan sehingga semakin tinggi pula produktivitasnya.

Tabel 2. Waktu Pengangkutan Kayu Gergajian di PT SLJ

No. Elemen kerja Waktu Volume Produktivitas

jam menit detik (m3) (m3/jam)

1 Pengangkutan dari 2 25 30,40 65,3532 26,9485 sawmill (S) ke TP-1 2 Pengangkutan dari 1 45 24,00 56,2518 32,0231 TP-1 ke TP-2 3 Pengangkutan dari TP-2 ke KD a. KD kapasitas 75 m3 0 26 7,60 58,0848 133,3920 b. KD kapasitas 125 m3 0 59 11,00 124,0340 125,7455 4 Pengangkutan dari KD ke TP-3 a. KD kapasitas 75 m3 2 10 57,00 58,0848 26,1807 b. KD kapasitas 125 m3 3 6 39,20 124,0340 39,8709

Tabel 3. Waktu Pengangkutan Kayu Gergajian di PT KP

No. Elemen kerja Waktu Volume Produktivitas

jam menit detik (m3) (m3/jam)

1 Pengangkutan dari PT 7 21 9,4 243,0956 33,0625 SLJ ke TP-1 PT KP 2* Pembongkaran kayu 0 17 31,4 243,0956 832,3608 dari truk di TP-1 PT KP 3* Pengangkutan dari TP-1 0 24 21,1 44,6160 109,9292 ke KD 4* Pembongkaran dan pengangkutan dari KD ke TP-2 a. Jarak 4060 m 0 20 48,3 45,0120 129,8111 b. Jarak 7090 m 0 32 20,5 44,3640 82,3037 c. Jarak 100120 m 0 38 43,6 50,0920 77,6119

5* Pemuatan kayu dari TP-2 KP ke truk pengangkut

2 24 46,3 243,0956 100,7499

Keterangan: KD = kiln dryer (kamar pengering). TP = tempat penumpukan. SLJ = PT Sumalindo Lestari Jaya. KP = PT Kalindo Pacific. *) = elemen kerja pengangkutan di PT KP

.

3. Pengeringan kayu dalam kiln dryer. Pengeringan kayu di dalam KD merupakan kegiatan dalam proses pengeringan yang memerlukan waktu paling lama dibandingkan elemen kerja yang lain. Pengeringan di dalam KD di PT SLJ dan PT KP berbeda dalam hal waktu pengeringan walaupun jenis, ukuran dan kadar air awal kayunya sama. Kadar air awal bervariasi antara 40–95 % dan kadar air akhir antara 7–13 %. Di PT SLJ, waktu pengeringan rata-rata untuk jenis Meranti dengan ketebalan 5 cm yaitu 15,4167 hari, sedangkan untuk jenis Sengon

(8)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005 45

tebal 2–5 cm memerlukan waktu selama 8,2659 hari. Selanjutnya di PT KP, jenis Meranti dengan tebal 2–3 cm memerlukan waktu 9,7024 hari, Meranti tebal 5 cm 19,8558 hari dan Sengon tebal 5 cm 18,9583 hari. Untuk lebih jelasnya, waktu pengeringan di kedua perusahaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Pada tabel tersebut terlihat, bahwa waktu pengeringan antara kedua perusahaan tersebut berbeda untuk jenis dan ukuran kayu yang sama. Waktu pengeringan yang berbeda ini disebabkan oleh teknologi yang digunakan berupa konstruksi bangunan dan peralatan serta sistem kerja yang berbeda antara kedua perusahaan tersebut.

Tabel 4. Waktu Pengeringan Kayu Gergajian dalam KD di PT SLJ dan PT KP

Jenis dan tebal kayu Waktu pengeringan (hari)

PT Sumalindo Lestari Jaya Meranti 5 cm Sengon 2–5 cm PT Kalindo Pacific Meranti 2–3 cm Meranti 5 cm Sengon 5 cm 15,4167 8,2659 9,7024 19,8558 18,9583

Budianto (1986) menjelaskan, bahwa kapasitas energi thermal yang dapat dipasok oleh mesin untuk dimasukkan ke dalam ruang KD harus dicocokkan dengan volume kayu yang akan dikeringkan. Bila energi thermal yang tersedia kecil, maka waktu proses pengeringannya juga relatif panjang. Sistem pemanas dan pemasokannya yang berbeda mengakibatkan adanya fluktuasi energi thermal yang dapat dipasok ke dalam KD. Di PT KP, dalam proses penyediaan energi thermal berasal dari tungku yang penanganannya secara manual dan sering terjadi perubahan jumlah bahan bakar dalam tungku, sehingga energi yang dapat dipasok ke dalam KD berfluktuasi yang pada akhirnya mempengaruhi temperatur media yang dipanaskan.

Dari hasil penelitian juga diketahui, bahwa waktu pengeringan antara dua jenis kayu yang dikeringkan (meranti dan sengon) berbeda walaupun ukurannya sama. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisika antara kedua jenis kayu tersebut. Setiap jenis kayu mempunyai karakteristik yang khas, sehingga mempengaruhi waktu pengeringan. Kayu yang keras (kerapatan tinggi) memerlukan waktu pengeringan yang lebih panjang daripada kayu yang lunak (kerapatan rendah). Kayu meranti termasuk kelompok kayu yang mempunyai kerapatan lebih tinggi dibandingkan kayu sengon, sehingga waktu pengeringan meranti lebih lama dibandingkan sengon pada ukuran yang sama.

4. Waktu pemanfaatan mesin. Produktivitas mesin kedua perusahaan yang diteliti terdapat perbedaan dalam hal indeks pemanfaatan mesin (IPM), indeks efisiensi mesin (IEM) dan indeks pemanfaatan efektif mesin (IPEM) (Tabel 5), yang mana dari ketiga komponen itu di PT SLJ lebih tinggi dibandingkan dengan di PT KP, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan waktu istirahat dan waktu bongkar mesin antara kedua perusahaan tersebut.

(9)

Waktu istirahat di PT KP lebih lama diakibatkan oleh waktu untuk menunggu pemeriksaan kadar air dari pihak konsumen dalam hal ini antara lain dari PT SLJ, sehingga banyak waktu yang terbuang untuk kegiatan tersebut dan hal ini mempengaruhi waktu pemanfaatan mesin secara keseluruhan. PT KP hendaknya berusaha untuk dapat melengkapi sistem pengukuran kadar airnya secara lebih memadai agar hasilnya lebih akurat, sehingga waktu yang terbuang akibat menunggu pemeriksaan kadar air ini dapat diatasi.

Tabel 5. Pemanfaatan Mesin di PT SLJ dan PT KP

Perusahaan IPM IEM IPEM

PT SLJ PT KP 0,9935 0,9881 0,9497 0,9493 0,9435 0,9381

Namun demikian, kalau dilihat waktu pemanfatan mesin secara keseluruhan baik IPM, IEM maupun IPEM di PT SLJ dan PT KP seperti pada Tabel 7, dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja mesin pada proses pengeringan di kedua perusahaan tersebut termasuk kategori baik. Syamsi (1994) menjelaskan, bahwa produktivitas kerja di atas 80 % termasuk kategori baik.

Dalam proses pengeringan menggunakan KD, untuk kayu yang nilai kerapatannya rendah seperti Sengon, gradien pengeringannya dapat ditingkatkan, sehingga dapat dilihat adanya perbedaan waktu pengeringan yang mencolok pada jenis Sengon antara kedua perusahaan tersebut. Konstruksi bangunan, sistem kerja dan peralatan KD yang lebih modern di PT SLJ memungkinkan peningkatan gradien pengeringan yang lebih besar dibandingkan KD di PT KP, sehingga waktu pengeringan untuk jenis dan ukuran kayu yang sama antara kedua perusahaan tersebut berbeda. Waktu pengeringan antara kedua jenis kayu ini berbeda, yang mana Meranti mempunyai nilai kerapatan kayu yang lebih tinggi dibandingkan Sengon. Budiarso (1997) menjelaskan, bahwa kayu yang mempunyai nilai kerapatan tinggi mempunyai dinding sel yang lebih tebal, sehingga proses pengeluaran air dari dalam sel-sel kayu relatif lebih lambat dibandingkan kayu yang mempunyai dinding sel yang lebih tipis, sehingga proses pengeringannya lebih lama.

5. Analisis regresi model Cobb-Douglas. Untuk mengetahui hubungan antara ukuran kayu dengan waktu pengeringan, maka dilakukan analisis regresi model Cobb-Douglas. Dari hasil analisis data, diperoleh persamaan regresi untuk masing-masing produk di kedua perusahaan sebagai berikut:

PT SLJ a. Meranti: Y = 14,4553 X0,0459 …..(1) (r = 0,5089 dan r2 = 25,89 %) PT KP a. Meranti: Y = 8,2699 X0,5698 …. (3) (r = 0,9026 dan r2 = 81,46 %) b. Sengon: Y = 7,6996 X0,0104 ... (2) (r = 0,0321 dan r2 = 0,1 %) b. Sengon Y = 18,21377 X0,0036 … (4) (r = 0,3901 dan r2 = 15,22 %)

Y = Waktu pengeringan (hari) X = Ukuran kayu (indeks)

(10)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005 47 Untuk mengetahui keberartian persamaan regresi pada masing-masing persamaan tersebut, maka dilakukan uji F. Dari 4 persamaan yang diuji, hanya persamaan (3) yang mempunyai nilai F>F-tab pada tingkat kepercayaan 95 %. Dengan demikian persamaan (3) tersebut berarti dan dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan mengenai pengaruh ukuran kayu terhadap waktu pengeringan. Persamaan (3) menunjukkan, bahwa ukuran kayu mempunyai hubungan yang erat dengan waktu pengeringan. Variasi yang terjadi pada waktu pengeringan dapat dijelaskan oleh ukuran kayu sebesar 81,46 %. Dengan demikian persentase variasi yang terjadi pada waktu pengeringan yang tidak dapat dijelaskan oleh ukuran kayu adalah sebesar 18,54 %. Persentase yang tidak dapat dijelaskan hanya oleh ukuran kayu memberi arti bahwa ada sebagian faktor yang mempengaruhi waktu pengeringan bukan terletak pada ukuran kayu, melainkan pada faktor yang lain seperti kadar air awal kayu pada waktu dikeringkan.

Di PT KP, dalam sistem pengeringannya dilakukan pemisahan antara meranti dengan ketebalan 2–3 cm dan tebal 5 cm, sehingga dapat dilihat dengan jelas adanya perbedaan waktu pengeringan kayu dengan ukuran tersebut. Hal ini menunjukkan, bahwa kayu yang dikeringkan secara terpisah ini memberi pengaruh yang berarti terhadap waktu pengeringan.

Persamaan (1), (2) dan (4) menunjukkan F<F-tab, dengan demikian ukuran kayu pada penelitian ini tidak mempunyai hubungan yang erat dengan waktu pengeringan, karena seperti diuraikan sebelumnya bahwa banyak faktor yang mempengaruhi waktu pengeringan kayu. Variasi ukuran kayu yang ada pada persamaan (1), (2) dan (4) hanya terletak pada panjang dan lebar kayu saja, sementara variasi ketebalan kayu hanya dua jenis (2 dan 5 cm) dan di PT SLJ pengeringan kayu dengan ketebalan 2 dan 5 cm tersebut dimasukkan bersamaan dalam KD (dikeringkan dengan menggunakan skedul pengeringan yang sama), sehingga waktu pengeringannya juga sama. Jadi yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah ketebalan kayu dan cara pengeringan dalam KD; semakin tebal kayu, semakin lama waktu yang diperlukan untuk pengeringan. Namun demikian, variasi ukuran kayu yang ada tidak mempunyai hubungan yang erat dengan waktu pengeringan jika pengeringannya dilakukan dalam satu KD dengan menggunakan skedul pengeringan yang sama.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Produktivitas proses pengeringan kayu gergajian di PT SLJ secara keseluruhan lebih tinggi (3.049 m3/tahun untuk jenis Meranti dan 10.497 m3/tahun untuk jenis Sengon) dibandingkan dengan PT KP (4.216 m3/tahun untuk jenis Meranti dan 2.086 m3/tahun untuk jenis Sengon).

Waktu pengeringan rata-rata dalam KD untuk jenis dan ukuran kayu yang sama di PT SLJ lebih cepat (Meranti tebal 5 cm selama 15,4167 hari dan sengon tebal 25 cm selama 8,2659 hari) dibandingkan dengan PT KP (jenis Meranti tebal 23 cm selama 9,7024 hari, meranti tebal 5 cm selama 19,8558 hari dan sengon tebal 5 cm selama 18,9583 hari).

(11)

Pemanfaatan mesin di PT SLJ dan PT KP termasuk kategori baik, masing-masing dengan nilai Indeks Pemanfaatan Mesin (IPM) 0,9935 dan 0,9881; Indeks Efisiensi Mesin (IEM) 0,9497 dan 0,9493 serta Indeks Pemanfaatan Efektif Mesin (IPEM) 0,9435 dan 0,9381.

Waktu pengeringan kayu dipengaruhi oleh ketebalan kayu dan cara pengeringan dalam KD. Waktu pengeringan kayu berbanding lurus dengan ketebalan kayu, semakin tebal kayu, semakin lama waktu yang diperlukan untuk pengeringan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dan biaya dalam proses pengeringan kayu gergajian di PT SLJ dan PT KP yaitu tata letak pabrik, jenis mesin, kapasitas mesin, sistem kerja KD, jenis dan tebal kayu.

Saran

Waktu dan biaya pengangkutan di PT SLJ dapat dikurangi dengan jalan mengatur tata letak pabrik. Untuk meningkatkan produktivitas kerja di PT KP dapat dilakukan dengan sistem pengukuran kadar air akhir kayu diusahakan dapat dilakukan sendiri tanpa menunggu pihak konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Budianto, A.D. 1996. Sistem Pengeringan Kayu. Kanisius, Semarang.

Budiarso, E. 1997. Pengaruh Kerapatan dan Struktur Anatomi Kayu terhadap Sifat Pengeringan Kayu. Universitas Mulawarman, Samarinda.

Elias, 1987. Analisis Biaya Eksploitasi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Mulyadi. 1993. Akuntansi Biaya. Edisi ke-5. Balai Penerbit STIE YKPN, Yogyakarta. Mulyono, S. 1986. Ilmu Kerja Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman,

Samarinda.

Rony, H. 1990. Akuntansi Biaya. Pengantar untuk Perencanaan dan Pengendalian Biaya. PT Bina Aksara, Jakarta.

Salim, H. 1979. Produktivitas Peralatan Mekanis pada Pengusahaan Hutan Tanaman Industri di PT Inhutani Kalimantan Timur. Universitas Mulawarman, Samarinda. Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Sudjana. 1996. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi Bagi Para Peneliti. Tarsito, Bandung. Supraptono, B. 1996. Peningkatan Efisiensi Industri Kehutanan di Indonesia. Bahan

Seminar Strategi Pembangunan Industri Kehutanan Terpadu (Integrated Wood Industry) di Kalimantan Timur dalam Menghadapi Perdagangan Bebas. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.

Supriyono, R.A. 1993. Akuntansi Biaya. Pengumpulan Biaya dan Penentuan Harga Pokok. Bagian Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

pelanggan.Berdasarkan latar belakang yang ada dan kondisi yang ada di lapangan maka penelitian ini termotivasi untuk meneliti lebih lanjut tentang “ Pengaruh Penerapan

Pada tahun keempat, tanaman lada mulai berproduksi dengan nilai produksi mencapai Rp.7,682 juta dan pendapatan sebanyak Rp.4,376 juta.. Nilai produksi tertinggi terjadi pada

1) Pengguna Facebook menjadikan media ini sebagai media komunikasi dan bersosialisasi. Oleh karena itu, perlu menanamkan sikap bahasa yang baik agar penggunaannya tepat dan

Adler dan Dumas (1984) menunjukkan bahwa sekalipun perusahaan melakukan seluruh kegiatan operasinya di dalam negeri dapat terpengaruh oleh pergerakan kurs, jika harga input

memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan

Data profil memuat identias partisipan M, S, L, dan T. Partisipan M telah menjadi guru pendamping siswa autis sejak tahun 2017. Berawal dari menjadi seorang terapi lalu

Bagi mereka yang ingin memperoleh secara khusus karya hukum dari yuridiksi atau wilayah tertentu dipilih kombinasi 1 s.d 4 berarti notasi dasar 34, disusul digit dengan

Dari data kunjungan pasien rawat jalan dan rawat inap kasus Bedah Plastik ke RSUD Syarifah Ambami Rato Ebhu Bangkalan Madura, tahun 2015 didapatkan ada total 129 pasien baru