• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. dan hutan produksi yang dapat dikonversi ha (Simon, 2000).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. dan hutan produksi yang dapat dikonversi ha (Simon, 2000)."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Indonesia

Indonesia dikaruniai dengan hutan alam tropika yang sangat luas (144 juta

hektar). Dari luas tersebut 113 juta hektar ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap,

sedang 30 juta hektar lainnya dicadangkan untuk peruntukan lain (APHI 1998).

Tetapi menurut data dari BPS (1996:216), luas hutan Indonesia adalah 130 juta

hektar. Dari luas itu yang ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap 111.713.000 ha

dan hutan produksi yang dapat dikonversi 19.039.000 ha (Simon, 2000).

Indonesia secara keseluruhan telah kehilangan lebih 20 juta ha tutupan

hutannya antara tahun 1985 dan 1997 – atau sekitar 17 persen dari kawasan hutan

yang ada pada tahun 1985. Pulau-pulau yang mengalami deforestasi terberat

selama periode waktu ini adalah Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan, yang secara

keseluruhan kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Tabel 1

menyajikan perkiraan laju deforestasi yang dibuat oleh Holmes, berdasarkan

perbandingan dengan data dari RePPProT dan analisis terhadap citra satelit pada

sekitar tahun 1997. Angka-angka estimasi tersebut harus diperlakukan sebagai

perkiraan. Data tutupan hutan khususnya untuk tahun 1997 diliputi oleh berbagai

ketidakpastian. Pertama, angka perkiraannya semata-mata didasarkan pada citra

satelit yang tidak dilacak di lapangan untuk verifikasi. Kedua, citra satelit ini di

beberapa tempat tertutup kabut awan atau dengan kata lain tidak dimasukkan

dalam klasifikasi. Di tiga pulau besar Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, luas

kawasan yang dikategorikan dalam "tidak ada data" luasnya mencapai 5,3 juta ha,

(2)

Tabel 1. Kawasan Hutan dan Deforestasi, 1985-1997 (Perkiraan PI/Bank Dunia). 1985 1997 Pulau Luas lahan (juta Ha) Tutupan hutan (juta Ha) Luas hutan sebagai % luas lahan Luas lahan (juta Ha) Tutupan hutan (juta Ha) Luas hutan sebagai % luas lahan Perubahan tutupan hutan 1985-97 (Ha) Persen perubahan hutan (%) Sumatera 47,53 23,32 49 47,06 16,63 35 6,69 -29 Jawa dan Bali 13,82 1,35 10 nd nd nd nd nd Nusa Tenggara 8,07 2,47 31 nd nd nd nd nd Kalimantan 53,58 39,99 75 53,00 31,51 60 8,47 -21 Sulawesi 18,61 11,27 61 18,46 9,00 49 2,27 -20 Maluku 7,80 6,35 81 nd 5,54 nd 0,80 -13 Irian Jaya 41,48 34,96 84 40,87 33,16 81 1,80 -5 Total 190,89 119,71 63 189,70 100,00 50 20,50 47

Sumber: Kawasan hutan tahun 1985 adalah hasil estimasi GFW dari data UNEP-WCMC, Tropical Moist

Forests and Protected Areas: The Digital Files. Version 1. (Cambridge: World Conservation Monitoring Centre, Centre for International Forestry Research, and Overseas Development Adminstration of the United Kingdom, 1996). Kawasan hutan tahun 1997 adalah hasil estimasi GFW dari data Departemen Kehutanan, Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia (PI/Bank Dunia), set data digital dari CD-ROM (Jakarta, 2000).

Catatan: nd = tidak ada data. Holmes meninggal dunia sebelum menyelesaikan analisisnya dan tidak

membuat estimasi tentang hutan di Jawa, Bali, atau Nusa Tenggara. Angka-angka yang dicetak miring adalah estimasi oleh Holmes berdasarkan asumsi luas lahan yang belum dipetakan pada tahun 1997.

Hasil analisis GFW (Global Forest Watch) menghasilkan estimasi nilai

total tutupan hutan pada tahun 1997 yang lebih rendah daripada yang dibuat oleh

Holmes, dan angka laju deforestasi sedikit agak lebih tinggi, tetapi perbedaan ini

tidak begitu mencolok. Namun jika GFW berasumsi bahwa data dari Inventarisasi

Hutan Nasional dapat diandalkan, maka 6,6 juta ha yang oleh Holmes

teridentifikasi sebagai hutan, sebenarnya adalah perkebunan. Dengan demikian

luas total tutupan hutan mungkin akan menurun menjadi 92-93 juta ha pada tahun

1997, dan laju deforestasi rata-rata antara tahun 1985 dan 1997 menjadi 2,2 juta

ha. Tanpa adanya pengecekan di lapangan, angka estimasi yang lebih tinggi ini

tidak dapat dikutip langsung tanpa keterangan. Tabel 2 menyajikan perkiraan laju

(3)

Tabel 2. Kawasan Hutan dan Deforestasi, 1985-1997 (Perkiraan GFW). 1985 1997 Pulau Luas lahan (juta Ha) Tutupan hutan (juta Ha) Luas hutan sebagai % luas lahan Luas lahan (juta Ha) Tutupan hutan (juta Ha) Luas hutan sebagai % luas lahan Perubahan tutupan hutan 1985-97 (Ha) Persen perubahan hutan (%) Sumatera 47,58 23,94 48 47,57 16,43 35 -6,51 -28 Jawa dan Bali 13,88 1,37 27 13,88 1,94 28 0,57 27 Nusa Tenggara 8,15 1,06 35 8,15 0,46 8 -0,60 -131 Kalimantan 53,72 39,64 74 53,72 29,64 55 -10,00 -25 Sulawesi 18,76 11,19 60 18,75 7,95 42 -3,24 -29 Maluku 7,85 5,79 74 7,85 5,82 74 0,03 1 Irian Jaya 41,41 35,19 85 41,40 33,38 81 -1,81 -5 Total 191,35 118,18 61 191,32 95,62 50 21,56 -18 Sumber: Luas kawasan hutan 1985 berdasarkan rujukan dari WCMC, 1996. Luas kawasan hutan

tahun 1997 didasarkan pada rujukan PI/Bank Dunia, 2000.

Catatan: Pertambahan luas kawasan di Jawa antara 1985 dan 1997 mungkin karena

pengembangan perkebunan. Kualitas data spasial perkebunan yang dimiliki kurang baik, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk melakukan verifikasi asumsi ini. Informasi lebih lanjut tentang penghitungan luas kawasan hutan, dan masalah-masalah yang terkait dengan kawasan yang dikategorikan sebagai “tidak ada data”.

Hasil perhitungan berdasarkan citra SPOT Vegetation yang mempunyai

resolusi rendah, yaitu 1.000 meter oleh Badan Planologi Statistika Kehutanan

tahun 2008, laju deforestasi 7 (tujuh) pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, serta Bali dan Nusa Tenggara pada periode tahun

2000-2005 rata-rata sebesar 1,09 juta hektar/tahun.

Tabel 3. Laju Deforestasi Indonesia Tahun 2000-2010

No Tahun Deforestasi (1000Ha/Tahun)

Sumatera Kalimantan Sulawesi Papua Jawa Indonesia

1 2000-2001 259,50 212,00 154,00 147,20 118,30 1.018.200 2 2001-2002 202,60 129,70 150,40 160,50 142,10 926.300 3 2002-2003 339,00 480,40 385,80 140,80 343,40 1.906.100 4 2003-2004 208,70 173,30 41,50 100,80 71,70 634.700 5 2004-2005 335,70 234,70 134,60 169,10 37,30 962.500 Jumlah 1.345,50 1.230,10 866,30 718,40 712,80 5.447,80 Rata-rata 269,10 246,02 173,26 143,68 142,560 1.089,56

Sumber :Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan

(4)

Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) lahir dari

kesadaran Pemerintah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan

sekaligus keberlanjutan peran sosial ekonominya. Dengan asumsi produksi kayu

hutan alam 47 juta m3/tahun dan pertumbuhan industri perkayuan nasional

rata-rata 2-20 persen melalui pendekatan kebutuhan bahan baku industri akan terjadi

defisit kayu pertukangan dan kayu pulp masing-masing sebanyak 1,92 juta

m3/tahun dan 0,7 juta m3/tahun mulai tahun 1988/1989 (Poerwowidodo, 1991).

Atas dasar tersebut pada awal dekade 1990-an, Pemerintah meluncurkan

kebijakan pembangunan HTI yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 7

tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Dalam

kebijakan tersebut dinyatakan bahwa HPHTI adalah hak untuk mengusahakan

hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya terdiri dari penanaman

pemeliharaan, pemungutan, pengolahan hingga pemasaran. Hak itu diberikan

selama jangka 35 tahun ditambah daur tanaman pokok yang diusahakan

(Aswandi et al., 2007).

Pembangunan HTI merupakan jawaban yang paling tepat dan rasional

karena memiliki berbagai kelebihan. Di satu sisi dapat mengatasi persoalan

kerusakan hutan dan di sisi lain mampu mempertahankan kelangsungan dan

keberlanjutan peran sosial ekonomi hutan yang tercermin dari keberadaan industri

kehutanan. Perbedaan mendasar penyelenggaraan pembangunan hutan berbasis

hutan alam dengan pembangunan hutan berbasis budidaya hutan terletak pada

perubahan bentuk pengusahaan dari pemungutan menjadi bentuk budidaya

(5)

Sesuai dengan konsepsi kebijakan pembangunan HTI, Pemerintah

sesungguhnya telah memiliki sebuah grand design dalam upaya mewujudkan

kelestarian hutan dan keberlanjutan peran industri kehutanan. Intinya,

pembangunan hutan tanaman merupakan jawaban bagi kelestarian sumber daya

hutan. Keterlibatan pihak swasta dalam kegiatan rehabilitasi kawasan yang tidak

produktif menjadi penting. Selain memiliki infrastruktur dan permodalan yang

lebih baik, pihak swasta telah berpengalaman mengelola hutan alam dalam bentuk

konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Meskipun belum memiliki pengalaman

dalam membangun hutan tanaman, setidaknya pengenalan kawasan hutan alam

dapat dimanfaatkan dalam bentuk pengelolaan hutan tanaman. Keterlibatan

pengusaha juga berkaitan dengan upaya percepatan pembangunannya sehingga

dapat berlangsung sesuai dengan rencana. Hal ini tentu akan sangat berbeda bila

hanya bertumpu pada peran dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang

terjadi selama ini. Kenyataannya, realisasi kegiatan rehabilitasi hutan yang

dilakukan Pemerintah relatif masih rendah, baik dalam aspek kuantitas maupun

kualitas (Yudhiwati, 2010).

Walau perluasan hutan tanaman untuk pembangunan jangka panjang dan

keberlanjutan industri bubur kayu dan kertas serta kelapa sawit memang penting,

perlu disadari pula adanya kompromi. Menyejajarkan tujuan ganda perluasan

areal penanaman dan pengurangan emisi karbon akan bergantung pada alokasi

lahan yang tepat (misalnya, dengan menargetkan areal tidak berhutan, lahan

terdegradasi, yang disebut dengan lahan kritis, untuk perluasan hutan tanaman

daripada membuka hutan yang baru) dan sejumlah insentif supaya areal lahan

(6)

Tanpa pendekatan yang terkoordinasi antara berbagai tujuan, upaya pada

suatu areal dalam mencapai satu tujuan tertentu dapat menghambat usaha untuk

mencapai tujuan yang lain. Sebagai contoh, potensi investasi besar untuk

pembangunan fasilitas pengolahan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi jika

pengalokasian lahan untuk penyerapan karbon mengakibatkan kekurangan bahan

baku bagi industri ini. Di sisi lain, meningkatkan produksi hutan tanaman untuk

menyediakan bahan baku bagi industri pengolahan juga dapat menghambat

berbagai usaha nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, jika perluasan

lahannya berakibat deforestasi yang meningkat (Poerwowidodo, 1991).

Klasifikasi Ilmiah Eukaliptus

Berdasarkan World Agroforestry Center (2004), tanaman

Eucalyptus hybrid mempunyai sistematika sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Class : Dycotyledone

Ordo : Myrtiflorae

Famili : Myrtaceae

Genus : Eucalyptus

Species : Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla (Eucalyptus hybrid)

Eukaliptus merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam

pembangunan hutan tanaman Industri. Kayu Eukaliptus digunakan antara lain

untuk bangunan di bawah atap, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan

pembungkus korek api, pulp dan kayu bakar. Beberapa jenis digunakan untuk

(7)

Eucalyptus sp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing (tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus sp. juga dikenal sebagai tanaman yang dapat

bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem perakaran

yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit maka

perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah untuk

memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut

(Poerwowidodo, 1991).

Marga Eukaliptus terdiri dari 500 jenis yang kebanyakan endemik di

Australia. Hanya dua jenis yang tersebar di wilayah Malesia (Nugini, Maluku,

Sulawesi, Asia Tenggara dan Filipina). Beberapa jenis menyebar dari Australia

bagian utara menuju Malesia bagian Timur. Kergaman terbesar di daerah-daerah

pantai New South Wales dan Australia bagian barat daya (Basuki, 2007).

Hampir semua jenis Eukaliptus beradaptasi dengan iklim muson. Beberapa

jenis dapat hidup pada iklim yang sangat dingin, misalnya jenis-jenis yang telah

dibudidayakan yakni: Eucalyptus alba, Eucalyptus camaldulensis dan

Eucalyptus citriodora. Eucalyptus deglupta adalah jenis yang beradaptasi pada habitat hutan dataran rendah dan hutan pegunungan dataran rendah pada

ketinggian 1800 mdpl dengan curah hujan tahunan 2.500 – 3.000 mm, suhu

minimum rata-rata 230 C dan maksimum 310 C di dataran rendah dan suhu

minimum rata-rata 130 C dan maksimum 290 C di pegunungan (Basuki, 2007).

Eucalyptus hybrid biasanya dikenal dengan sebutan flooded gum atau rose gum. Pohonnya dapat mencapai tinggi 75 m, dengan kulit kayu putih halus.

E. hybrid umumnya ditanam dalam skala besar untuk produksi kayu, dengan penanaman total diperkirakan mencapai 2 M ha pada tahun 1987. Sebagian besar

(8)

dari jumlah ini ditanam di Brazil (>1 M ha) dan Afrika Selatan (300 000 ha).

Selain itu, E. hybrid juga ditanam dalm jumlah yang besar di Argentina, Australia,

India, Uruguay, Zambia, Zimbabwe dan negara-negara lain (Mardin, 2009).

Hutan Tanaman Industri Eukaliptus

Hutan Tanaman Industri (HTI) pada saat ini menghadapi tantangan yang

cukup berat berkaitan dengan adanya ketimpangan kebutuhan bahan baku

industri dengan kemampuan produksi kayu secara lestari. Permintaan kayu oleh

industri hasil hutan yang semakin meningkat harus dapat dipenuhi oleh HTI.

Permasalahan yang timbul adalah persediaan kayu HTI semakin lama semakin

menurun sebagai akibat kurangnya pohon yang layak untuk ditebang. Keadaan

tersebut mendorong HTI untuk melakukan penanaman tanaman cepat tumbuh

(fast growing). Salah satu tanaman yang diajukan oleh Departemen Kehutanan

sebagai tanaman pokok industri kehutanan adalah Eucalyptus sp (Basuki, 2007).

Salah satu bentuk HTI yang saat ini memegang peranan penting dalam

menunjang pengembangan industri kayu serat domestic adalah HTI kayu serat

atau HTI pulp. Pentingnya pembangunan HTI pulp antara lain dapat dilihat dari

kenyataan besarnya ketergantungan jenis industri ini kepada kayu serat. Serat

dapat dihasilkan dari bahan yang mengandung selulosa tinggi seperti kayu,

bamboo dan lainnya. Namun pada saat ini lebih dari 90% bahan baku pulp dan

kertas berasal dari kayu, karena kayu mempunyai sifat unggu yaitu, rendemen

yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah dan kekuatan pulp dan

kertas yang dihasilkan tinggi (Pasaribu dan Tampubolon, 2007).

Eucalyptus sp. Seperti jenis Eucalyptus urophylla, Eucalyptus grandis dan Eucalyptus pelita merupakan jenis tumbuh cepat yang dikembangkan sebagai

(9)

bahan baku industri pulp secara luas di PT Toba Pulp Lestari dengan daur tebang

7-8 tahun. Selain itu, jenis Eucalyptus hybrid terseleksi telah berhasil

dikembangkan secara luas dengan karakter pertumbuhan yang lebih baik jika

dibandingkan tanaman lainnya. Pengembangan Eucalyptus hybrid di Indonesia

masih tertinggal dibandingkan dengan Negara lain seperti China, Kongo, Brazil

dan Afrika Selatan yang telah mengusahakan tanaman jenis ini secara komersial

dengan perbanyakan secara vegetatif (Nikles, 1996).

Hasil-hasil penelitian tentang pertumbuhan atau produktivitas tegakan

Eucalyptus hybrid telah banyak dilakukan di Australia, Brazil dan China, sedangkan di Indonesia jenis Eucalyptus hybrid belum lama dikembangkan secara

luas sehingga hasil penelitian masih sangat sedikit dan bersifat parsial. Budidaya

Eucalyptus hybrid di Brazil telah menghasilkan pertumbuhan pohon yang spektakuler, seragam dan kemampuan pangkas yang tinggi. Menurut Goncalves et

al. (1997) pertumbuhan Eucalyptus hybrid di Brazil pada tanah ultisol sangat beragam dengan kisaran riap rata-rata tahunan pada umur 5 tahun sebesar 1248

m3/ha/tahun (Campinhos, 1993).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, Eucalyptus sp.

memiliki banyak kelebihan-kelebihan dibanding penanaman tanaman lain baik

dari segi manfaat kayu maupun dari segi pertumbuhannya. Dari segi manfaat,

kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, kusen pintu atau jendela, kayu

lapis, bahan pembungkus, korek api dan sebagai bahan pulp dan kertas. Dari segi

laju pertumbuhannya, tanaman Eukaliptus memiliki tingkat pertumbuhan yang

tergolong cepat. Sehingga pemanfaatan dari tanaman ini dapat dilakukan dengan

(10)

Pemanasan Global

Perubahan iklim global akan memberikan dampak yang sangat parah bagi

Indonesia karena posisi geografis yang terletak di ekuator, antara dua benua dan

dua samudera, negara kepulauan dengan 81.000 km garis pantai dengan dua

pertiga lautan, populasi penduduk nomor empat terbesar di dunia. Posisi geografis

Indonesia menyebabkan bahwa pada setiap saat di dalam wilayah negara ini ada

musim-musim yang saling berlawanan dan bersifat ekstrim, di satu wilayah terjadi

kekeringan dan kekurangan air, di wilayah lain terjadi banjir. Musibah angin

kencang dan gelombang pasang bisa terjadi setiap waktu dan sulit diprediksi

(Winarso, 2009).

Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari Matahari. Energi

matahari berbentuk radiasi gelombang pendek (termasuk cahaya tampak) yang

ketika terkena permukaan bumi dan menjadi panas yang menghangatkan bumi.

Permukaan Bumi, menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya

yang berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa. Sebagian

gelombang panas tetap terperangkap di atmosfer bumi karena tertahan gas rumah

kaca (uap air, karbon dioksida, dan metana) yang kemudian dipantulkan kembali

ke bumi dan terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan

bumi terus meningkat yang disebut dengan efek rumah kaca

(Susandi et al, 2008).

Selain efek rumah kaca, pemanasan global juga dipengaruhi proses umpan

balik dari reaksi lingkungan terhadap peningkatan suhu bumi. Sebagai contoh

adalah pada penguapan air. Peningkatan suhu bumi akibat bertambahnya gas-gas

(11)

atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan

terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu

kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkan uap air lebih

besar bila dibandingkan oleh dengan gas CO2. Namun umpan balik ini hanya

berdampak sementara, karena uap air berada di atmosfer dalam kurun waktu

relatif pendek bila dibandingkan dengan CO2 yang relatif lebih lama di atmosfer

(Susandi et al, 2008).

Efek umpan balik yang disebabkan oleh uap air di udara tentunya akan

mengundang pertanyaan tentang keberadaan awan sebagai faktor penyebab efek

umpan balik. Secara logika, awan memantulkan langsung radiasi matahari yang

diterimanya sehingga memberikan efek naungan terhadap permukaan bumi.

Namun disatu sisi, gelombang pendek yang diterima oleh awan dari radiasi

permukaan bumi akan dikembalikan oleh awan sehingga meningkatkan suhu

lingkungan. Peningkatan suhu lingkungan dengan keberadaan awan dapat

langsung dirasakan adalah ketika mendung yang cukup jenuh air menaungi suatu

wilayah yang sebelumnya terkena matahari dalam jangka waktu relatif lama.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa awan memiliki peranan terhadap peningkatan

suhu lingkungan yang terjadi melalui proses umpan balik (Susandi et al, 2008).

Menurut Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang

termasuk dalam gas rumah kaca diantaranya CO2, NO2, CH4, SF6, PFCs, dan

HFCs. CO2, NO2, dan CH4 sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan

bakar fosil baik dari sektor industri maupun dari transportasi. Sementara SF6,

PFCs, dan HFCs sebagian besar merupakan hasil pemakaian aerosol. Gas-gas ini

(12)

dibandingkan CO2, NO2, maupun CH4. Tingkat pemanasan ini ditunjukkan oleh

indeks potensi pemanasan global. Dalam indeks ini CO2 digunakan sebagai

parameter. Berikut ini adalah tabel gas rumah kaca dan potensi pemanasan global

yang menurut UNFCCC (CIFOR, 2010).

Tabel 4 : Tabel Indeks Potensi Gas Rumah Kaca pada Pemanasan Global

No Nama Rumus Kimia GWP untuk 100 tahun

1 Carbon Dioxide CO2 1 2 Methane CH4 21 3 Nitrous Oxide N2O 310 4 Perflouromethane CF4 6500 5 Perflouroethane C2F6 9200 6 Perflourobutane C4F10 7000 7 SulphurHexaflouride SF6 23900 8 HFC-23 CHF3 11700 9 HFC-32 CH2F2 650 10 HFC-43-10 C5H2F10 1300 11 HFC-125 C2HF5 2800 12 HFC-134a CH2FCF3 1300 13 HFC-143a C2H3F3 3800

Dampak Pemanasan Global

Pemanasan global membawa berbagai perubahan yang signifikan terhadap

lingkungan, sebagaimana telah kita rasakan sekarang. Bila ditarik benang merah

dari pemanasan global mengakibatkan berbagai efek beruntun sebagai berikut:

1. Ketidakseimbangan iklim secara global. Pemasanan global mengakibatkan

lebih banyak air yang menguap keudara (yang akan memberikan umpan

balik), yang tentunya akan mengakibatkan curah hujan meningkat (secara

global 1%). Seiring dengan peningkatan hujan dan kelembaban udara secara

global, maka akan lebih sering terjadi badai dan bencana alam lain yang

melibatkan udara.

2. Peningkatan suhu permukaan air laut mengakibatkan mencairnya es di

kutub-kutub bumi dan Greendland sehingga terjadi peningkatan permukaan air laut

(13)

dapat mempengaruhi kehidupan terumbu karang dan penyerapan karbon oleh

plankton di laut.

3. Peningkatan suhu global akan mengakibatkan pencairan es pada sumber mata

air dari es (sungai gletser) yang ada di pegunungan sehingga daerah yang

bergantung pada cadangan air ini akan mengalami kekeringan.

4. Peningkatan suhu juga memicu timbulnya berbagai jenis penyakit tumbuhan,

sehingga tanaman pangan akan berkurang produktifitasnya.

5. Gangguan siklus migrasi hewan dan tumbuhan untuk mencari daerah yang

lebih nyaman suhunya. Namun karena perkembangan manusia, tidak dapat

terjadi imigrasi yang seharusnya, sehingga populasi hewan dan tumbuhan

akan semakin berkurang (Soemarwoto 2005).

6. Dampak sosial dan politik akan diderita manusia, Dimana peningkatan suhu

meningkatkan risiko penyakit yang menular melalui air dan vector (malaria,

demam berdarah). Karena penyakit tanaman akan terjadi kelaparan dan

malnutrision sehingga secara keseluruhan akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kestabilan negara. Peningkatan suhu tentunya

juga dapat menyebabkan kebakaran hutan yang semakin memperburuk

kondisi udara serta gangguang kesehatan manusia (ISPA) (Mitchel 1997).

Karbon Hutan

Karbon di permukaan bumi tersimpan dalam empat reservoir, yakni fosil

dan formasi batuan, atmosfer, samudra dan ekosistem daratan termasuk hutan.

Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai

materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang

(14)

pokok dari produktivitas hutan. Tumbuhan memerlukan sinar matahari dan gas

asam arang (CO ) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari

dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di

udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan

ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa

daun, batang, ranting, bunga dan buah (Hairiah et. al., 2007).

Pada ekosistem di darat, C tersimpan dalam 3 komponen pokok), yaitu: − Biomassa merupakan massa bagian vegetasi dalam kondisi hidup yakni tajuk

pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim

− Nekromassa merupakan massa bagian pohon yang telah mati baik yang masih dalam kondisi tegak di suatu lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah

tumbang/tergeletak pada permukaan tanah, tonggak atau ranting dan

daun-daun gugur (seresah) yang belum terurai.

− Bahan organik tanah merupakan sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya

dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikelnya lebih kecil dari 2 mm

(Hairiah et. al., 2007).

Berdasarkan kondisinya di alam, ketiga komponen karbon tersebut dapat

dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

A. Kelompok karbon di atas permukaan tanah, meliputi:

− Biomasa pohon. Proporsi terbesar penyimpanan karbon di daratan terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama

pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan

(15)

− Biomasa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah berupa semak belukar berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau

gulma. Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil

bagian tanaman (secara destruktif).

− Nekromasa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah merupakan komponen penting dari karbon

dan harus diukur agar diperoleh estimasi penyimpanan karbon yang akurat. − Serasah. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur yang dapat

berupa daun dan ranting-ranting terletak di permukaan tanah

(Hairiah et. al., 2007).

B. Karbon di dalam tanah, meliputi:

− Biomassa akar. Akar mentransfer karbon dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah

hutan biomassa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter >2 mm),

sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang

lebih pendek daur hidupnya. Biomassa akar dapat diestimasi berdasarkan

diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa

pohon yang didasarkan pada diameter batang.

− Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh

organisma tanah berupa organism pengurai sehingga melapuk dan menyatu

dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah (Hairiah et. al., 2007).

Proses penimbunan karbon dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses

(16)

disimpan dalam tubuh tanaman hidup pada lahan dapat menggambarkan

banyaknya CO di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran

karbon yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati

(nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan

ke udara lewat pembakaran (Hairiah et. al., 2007).

Jasa Lingkungan Hutan Sebagai Penyerap Karbon

Kegiatan di sektor kehutanan yang secara potensial dapat menekan

terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi,

peningkatan pengambilan karbon dan subtitusi penggunaan bahan bakar fosil

dengan biomass. Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi

dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan pengambilan karbon (rosot)

dilakukan melalui kegiatan perluasan luas hutan dengan penanaman pohon di

lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan (reforestasi) dan

bukan hutan (afforestasi) serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem

pengelolaan yang berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil dengan energi

biomass akan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara langsung akibat

dari penurunan tingkat konsumsi bahan bakar fosil dan penanaman lahan kosong

untuk memproduksi biomassa (CIFOR, 2010).

Selama pertumbuhannya, pohon menyerap C dari atmosfer melalui proses

fotosintesis dan menyimpannya dalam biomassa. Pada perkembangan tegakan,

kematian disebabkan oleh persaingan atau bencana alam menghasilkan

perpindahan beberapa cadangan C pada pohon ke bahan organik yang mati atau

ke atmosfer. Pemanenan hutan, melepaskan C dalam jumlah yang besar, namun

(17)

menghasilkan energi (menggantikan bahan bakar fosil), sementara yang lainnya

digunakan untuk berbagai produk kayu dengan waktu penggunaan tertentu

(Brown, 1997).

Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya

sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang

tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan

pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran

kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas

physiologinya. Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga

besarnya potensi penyerapan CO2 dan biomassa dalam umur tertentu yang dapat

dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan (Heriyanto et al, 2005).

Biomassa kering dapat dikonversi menjadi cadangan karbon yakni 50%

dari biomassa. Metode ini dianggap akurat untuk beberapa tempat. Tidak ada

sebuah metode yang secara langsung dapat mengukur cadangan karbon yang

terdapat pada suatu bentang lahan. Keadaan ini mendorong usaha pengembangan

alat dan model yang dapat menghitung dalam skala besar yang didasarkan pada

pengukuran di lapangan atau penginderaan jauh (Onrizal, 2004).

Secara umum, metode pendugaan cadangan karbon ada dua kategori,

yakni metode destruktif dan metode non destruktif. Metode destruktif dapat

dilakukan dengan (1) menebang semua pohon, (2) menebang beberapa pohon

yang mewakili kelas tegakan dan (3) menebang satu pohon dan membuat model

hubungan biomassa dengan parameter pohon yang mudah diukur, seperti diameter

(18)

Model Alometrik

Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas

permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan

karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman

hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan

bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun,

cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan

karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati,

organisme tanah dan bahan organik tanah.

Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu bakar),

resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak menyebabkan berkurangnya

cadangan karbon dalam skala Petak ukur, tetapi belum tentu demikian jika kita

perhitungkan dalam skala global. Demikian juga halnya dengan hilangnya bahan

organik tanah melalui erosi. Beberapa penilaian karbon global memperhitungkan

aliran karbon (khususnya yang berkaitan dengan pohon/kayu) dan dekomposisi

yang terjadi. Tetapi memperoleh hasil penilaian yang konsisten cukup sulit

apabila metode penilaian tidak memperhitungan keseluruhan cadangan karbon

yang ada, khususnya di daerah perkotaan. Canadell (2002) dalam Hairiyah dan

Rahayu (2007) mengatakan bahwa untuk memperoleh potensial penyerapan

karbon yang maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomasa di

atas permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan

organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat.

Hubungan alometrik merupakan hubungan antara suatu peubah tak bebas

(19)

karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya hubungan antara volume

pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon, yang disebut

sebagai peubah bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan

alometrik (Hairiah et. al. , 2007).

Dalam pembuatan model, dibutuhkan peubah-peubah yang mendukung

keberadaan model tersebut, yakni adanya korelasi yang tinggi antar

peubah-peubah penciri. Berbagai model biomassa tegakan hutan yang telah dibangun

didasarkan fungsi dimensi pohon (diameter dan tinggi) dengan analisis regresi

alometrik, fungsi taper, atau persamaan polynomial (Onrizal, 2004).

Johnsen (2001) dalam Onrizal (2004) menyatakan bahwa model penduga

karbon dapat diduga melalui persamaan regresi alometrik dari biomassa pohon

yang didasarkan pada fungsi dari diameter pohon. Hilmi (2003) dalam Onrizal

(2004) telah membangun model penduga karbon untuk kelompok jenis

Rhizophora spp dan Bruguiera spp., dimana kandungan karbon pohon merupakan fungsi diameter dan atau tinggi pohon, dan fungsi dari biomassa pohon dengan

menggunakan pesamaan regresi alometrik.

Penyusunan model menggunakan analisis regresi dengan metode

pendugaan koefisien regresi metode OLS (Ordinary Least Squares) atau metode

kuadrat terkecil. Metode kuadrat terkecil ini dapat digunakan jika asumsi -asumsi

regresi terpenuhi, yaitu setiap nilai variabel bebas independen terhadap variabel

bebas lainnya, nilai sisaan bersifat acak serta berdistribusi normal dengan rata-rata

nol dan variannya konstan (Sembiring, 1995).

Menurut Draper dan Smith (1992), untuk memilih atau membandingkan

(20)

perbandingan model, yaitu : koefisien determinasi (R²), nilai sisaan (s) dan

predicted residual sum of squares (PRESS) sebagai uji validasi untuk memilih persamaan terbaik. Dari 3 kriteria diatas model yang baik adalah R² besar, PRESS

dan sisaan yang kecil. Model yang baik akan dapat digunakan jika memenuhi

asumsi kenormalan sisaan dan keaditifan model (Kuncahyo, 1991).

Hasil Penelitian Karbon Beberapa Jenis Tanaman

Menurut Daping et al. (2005) dalam Fernando (2009), persentase

biomassa di atas permukaan tanah pada jenis Eucalyptus urophylla yang terbesar

terdapat pada bagian batang. Hasil penelitian Daping et al. disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Biomassa di atas permukaan tanah pada tanaman Eucalyptus urophylla

Bagian 2 Tahun (%) 3 Tahun (%)

Batang 60,2 63,3

Kulit 8,9 7,7

Cabang 14,7 14,1

Daun 16,2 14,6

Sumber : Daping et al. (2005) dalam Fernando (2009)

Produktivitas primer bersih tanaman Eucalyptus urophylla berumur antara

2-3 tahun sebesar 20,5 ton/ha dengan lebih dari 50 % merupakan pertambahan

biomassa pada batang dan 16,7 % serasah. Terlihat bahwa biomassa pada bagian

batang meningkat dengan meningkatnya umur, sebaliknya pada bagian kulit,

cabang dan daun mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil penelitian Budiyanto (2006) dalam Fernando (2009)

bagian batang dalam pohon sengon memiliki proporsi terbesar yaitu 71,77 %.

Kadar karbon pohon sengon juga menunjukkan proporsi karbon yang terbesar

pada bagian batang dibandingkan bagian lain (cabang, ranting, daun, kulit), serta

serasah dan tumbuhan bawah. Hasil penelitian Budiyanto disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Proporsi bobot rata-rata pada bagian pohon sengon

(21)

Batang 71.7 45.59 53.73 0.68 Cabang 12.00 37.08 61.89 1.03 Ranting 7.75 34.38 64.30 1.31 Daun 8.48 30.28 66.70 2.95 Kulit 0.07 28.79 67.19 4.02 Serasah - 16.99 65.32 17.68 Tumbuhan Bawah - 15.77 66.93 17.28

Sumber : Budiyanto (2006) dalam Fernando (2009)

Selanjutnya hasil penelitian Wicaksono (2004) dalam Fernando (2009),

juga menyatakan bahwa bagian batang pohon mangium merupakan bagian yang

memiliki proporsi biomassa terbanyak. Biomassa batang mengalami peningkatan

sejalan dengan bertambahnya umur tanaman, sebaliknya pada bagian cabang,

ranting dan daun mengalami penurunan. Hasil penelitian Wicaksono disajikan

pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi biomassa menurut bagian-bagian pohon mangium

Bagian Pohon 2 Tahun 4 Tahun 6 Tahun 8 Tahun

Batang (%) 62 70 78 85

Cabang (%) 15 14 13 9

Ranting (%) 7 6 5 3

Daun (%) 16 10 4 2

Sumber : Wicaksono (2004) dalam Fernando (2009)

Penelitian mengenai rumus persamaan allometrik untuk menduga

biomassa tanaman juga telah dilakukan pada berbagai jenis pohon dan spesies

pohon. Rumus persamaan allometrik penduga biomassa untuk beberapa jenis

tanaman disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Model penduga biomassa untuk berbagai kriteria dan jenis pohon

Jenis Pohon Model Biomassa Sumber

Pohon Bercabang DW= 0.11ρD2.62 Ketterings, 2001

Pohon Tidak Bercabang DW= (µ/40) ρHD² Hairiah et al., 1999

Sengon DW= 0.0272D2.831 Sugiharto, 2002

Sumber: Fernando (2009) Keterangan :

DW = Estimasi biomassa (kg/pohon) D = Diameter pohon (cm)

π = Konstanta (3,14) H = Tinggi pohon (m) ρ = Kerapatan kayu (g/cm3)

(22)

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk merupakan jenis perusahaan Kayu Serat

dengan produk berupa pulp yang terletak pada 01°-03° LU dan 98°15’00”

100°00’00” BT. Secara geografis terletak di Desa Desa Sosor Ladang, Kecamatan

Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Hak Pengusahaan Hutan

Tanaman Industri (HPHTI) yang dimiliki oleh PT TPL, Tbk terletak pada

beberapa kabupaten di Sumatera Utara dengan luas ijin HPHTI berdasarkan SK.

Menhut No. 493/Kpts-II/1992 seluas 269.060 ha dengan jangka pengelolaan 43

tahun. Selain HPHTI, PT TPL, Tbk juga memiliki ijin Pemanfaatan Pinus

berdasarkan SK. Menhut No. 236/Kpts-IV/1984 seluas 15.763 ha. Luas total areal

pengelolaan PT TPL, Tbk adalah 284.816 ha.

Areal konsesi PT TPL, Tbk terdiri dari enam sektor yang terletak pada

kabupaten yang berbeda, yakni:

1. Sektor Tele, terletak pada 02°15’00” – 02°50’00” LU dan 98°20’00” –

98°50’00” BT, meliputi Kabupaten Samosir (Kecamatan Harian Boho),

Kabupaten Pak-pak Bharat (Kecamatan Salak dan Kerajaan) dan Kabupaten

Dairi (Kecamatan Sumbul, Parbuluan, dan Sidikalang).

2. Sektor Aek Nauli, terletak pada 02°40’00” – 02°50’00” LU dan 98°50’00” –

99°10’00” BT, meliputi Kabupaten Simalungun (Kecamatan Dolok Panribuan,

Tanah Jawa, Sidamanik, Jorlang Hataran, dan Girsang Sipangan Bolon).

3. Sektor Habinsaran, terletak pada 02°07’00” – 02°21’00” LU dan 99°05’00” –

99°18’00” BT, meliputi Kabupaten Toba Samosir (Kecamatan Habinsaran,

(23)

4. Sektor Aek Raja/Tarutung, terletak pada 01°54’00” – 02°15’00” 98°42’00” –

98°58’00” BT, meliputi Kabupaten Tapanuli Utara (Kecamatan

Siborong-borong, Sipahutar, Gaya Baru Tarutung, Adian Koting, dan Parmonangan)

Kabupaten Humbang Hasundutan (Kecamatan Dolok Sanggul, Lintong Ni

Huta, Onan Ganjang, dan Parlilitan).

5. Sektor Padang Sidempuan, terletak pada 01°15’00” – 02°15’00” LU dan

99°13’00” – 99°33’00” BT, meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan

Padang Bolak, Sosopan, Padang Sidimpuan, Sipirok) dan Kabupaten Tapanuli

Tengah (Kecamatan Sorkam dan Batang Toru).

Kondisi Umum Sektor Aek Nauli

Penelitian dilakukan di Sektor Aek Nauli, terletak pada 02°40’00” – 02°50’00”

LU dan 98°50’00” – 99°10’00” BT. Keadaan lahan Sektor Aek Nauli seluruhnya

adalah kering dengan ketingian 250-1.700 m dpl. Jenis tanah di daerah penelitian

adalah Dystropepts, Hydrandepts, Dystrandepts, Humitropepts dan jenis batuan

Tapanuli, Peusangan, Sihapas, Vulkan Tersier, dan Toba. Sektor Aek Nauli

beriklim A (sangat basah) menurut klasifikasi Schmidt Fergusson; 1951, dengan

curah hujan rata-rata 238 mm bulan tertinggi Oktober dan bulan terendah

Agustus. Sungai /anak sungai yang terdapat di areal kerja adalah Bah Parlianan,

Gambar

Tabel 1. Kawasan Hutan dan Deforestasi, 1985-1997 (Perkiraan PI/Bank Dunia).  1985  1997  Pulau  Luas  lahan  (juta  Ha)  Tutupan  hutan           (juta Ha)  Luas  hutan  sebagai % luas  lahan  Luas  lahan (juta Ha)  Tutupan hutan (juta Ha)  Luas  hutan  s

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Anggota DPRD memiliki peran baik dalam pengajuan maupun pembahasan RAPERDA menjadi PERDA, (2) Dalam pelaksanaannya,

Sebagai kelanjutan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penu- lis, berkenaan dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di

Dari sifat fisiko kimia tersebut menunjukkan bahwa minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh tinggi memiliki titik leleh, bilangan penyabunan, densitas, viskositas dan

Hipotesis penelitian ini bertujuan untuk melihat peningkatan kemampuan Berpikir Kritis matematis siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran yaitu: “Peningkatan kemampuan

materi pembelajaran dari seorang tenaga pendidik kepada para peserta didik yang dimilikinya. Karenanya kegiatan pembelajaran ini sangat bergantung pada komponen- dimilikinya.

Oleh umat Islam, institusi ini dipelihara dan dikembangkan dan ditambah dengan jenis kuttab bercorak khusus yaitu aktivitas pendidikannya lebih ditekankan pada pelajaran membaca

Ia juga menambah maklumat sejarah terutama mengenai Mat Kilau yang selama ini kebanyakan para penulis tidak menyebut peranan guru dan ayah angkatnya Haji Uthman bin Haji Senik

a. Mulai dengan satu konsep diantaranya sebarkan pokok-pokok yangterkait dengan menghubungkan dan memberikan garis-garis berwarna supaya siswa mudah untuk