• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Psikologi ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Psikologi ISSN:"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Deskriptif Mengenai Subjective Well-Being pada Lansia di Panti

Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung

Descriptive Study of Subjective Well-Being In The Elderly In Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung

1

Hindun Handayani Fauzan, 2Siti Qodariah

1,2Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116

Email: 1hindunhandayani23@gmail.com1 , 2siti.qodariah@yahoo.co.id2

Abstract. Elderly times the last stage of the journey developmental process that occurs in humans.

According to Hurlock (2002), one of the development tasks in adolescence that create satisfaction in family as a place in the old days. As for the elderly who live in institutions, they do not live with his family. According to Hicks (2000) elderly who live at home will feel an increased sense of loneliness because of the lack of connection with others. In Bandung there’s had an old institutions that named PSTW Budi Pertiwi. According to the nursing board, the elderly here already fulfilled clothing, food and planks, but the nursing board can not fully meet the psychological needs, because at least the administrators who can take care of the elderly. Conditions elderly who were in the shelter, there is satisfaction at life today, and has positive feelings in life and some are not satisfied, giving rise to negative feelings. The purpose of this study was to obtain empirical data on subjective well-being in the elderly in PSTW Budi Pertiwi Bandung. The method used was a descriptive study with a total of 26 elderly subjects. Measuring instrument research using a questionnaire developed by the researchers based on the theory of subjective well-being of Diener (2009). The reliability of measuring instruments subjective well-being of 0.867. The results showed that most of the elderly who are in nursing have high levels of subjective well-being is high (54%).

Keywords: subjective well-being, elderly, panti werdha

Abstrak. Masa lanjut usia merupakan tahapan paling akhir dari perjalanan proses perkembangan yang

terjadi pada manusia. Menurut Hurlock (2002), salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa akhir yaitu menciptakan kepuasan dalam keluarga sebagai tempat di hari tua. Adapun lansia yang tinggal di panti, mereka tidak tinggal bersama keluarganya. Menurut Hicks (2000) lansia yang tinggal di panti akan merasakan peningkatan rasa kesepian karena kurangnya hubungan dengan orang lain. Di Bandung terdapat panti tertua yaitu PSTW Budi Pertiwi. Menurut pengurus panti, lansia disini memang sudah terpenuhi sandang, pangan dan papannya, namun pengurus panti tidak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan psikisnya, dikarenakan sedikitnya pengurus yang dapat mengurus lansia tersebut. Kondisi lansia yang berada di panti ini, ada yang merasa puas akan kehidupannya saat ini, serta memiliki perasaan positif dalam kehidupannya dan ada juga yang tidak puas sehingga menimbulkan perasaan negatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik mengenai subjective well-being pada lansia di PSTW Budi Pertiwi Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan subjek sebanyak 26 lansia. Alat ukur penelitian menggunakan kuesioner yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori

subjective well-being dari Diener (2009). Reliabilitas alat ukur subjective well-being sebesar 0,867. Hasil

yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar lansia yang berada di panti memiliki tingkat subjective

well-being tinggi (54%).

Kata kunci: subjective well-being, lansia, panti werdha

A. Pendahuluan

Masa lanjut usia merupakan bagian akhir rentang hidup manusia karena lansia memang tahapan paling akhir dari perjalanan proses perkembangan yang terjadi pada manusia. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa. Sedangkan berdasarkan data Susenas 2014, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia yakni 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03 persen dari seluruh penduduk Indonesia tahun 2014, sehingga masalah ini menjadi perhatian bagi pemerintah karena jumlah usia non produktif lebih tinggi dari usia produktif.

(2)

Kota Bandung merupakan kota yang berada di Jawa Barat yang memiliki persentase pertumbuhan lanjut usia yang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena salah satunya dipengaruhi oleh semakin meningkatnya usia harapan hidup di kota Bandung yang sudah mencapai 73,4 tahun. Padahal usia harapan hidup nasional hanya mencapai 70,7 tahun. Maka dari itu, banyak diantara mereka yang masih mau dan mampu untuk bekerja. Data tahun 2012 menunjukkan bahwa masih banyak lansia yang produktif. Dari keseluruhan penduduk lansia, sekitar 45% ternyata masih bekerja. Tingginya persentase lansia yang bekerja bisa dipandang bahwa mereka masih benar-benar mampu bekerja tapi juga bisa bermakna bahwa tingkat kesejateraan lansia masih rendah sehingga di usia senja mereka terpaksa masih harus bekerja menghidupi diri dan keluarganya (Wardhana, 2015).

Menurut Darmawan (2000) terdapat 3 masalah pokok psikologis yang dialami para lanjut usia : Pertama adalah masalah yang disebabkan oleh perubahan hidup dan kemunduran fisik yang dialami oleh lanjut usia. Kedua, lanjut usia sering mengalami kesepian yang disebabkan oleh putusnya hubungan dengan orang- orang yang paling dekat dan disayangi. Ketiga, Post Power Syndrom, hal ini banyak dialami lanjut usia yang baru saja mengalami pensiun, kehilangan kekuatan, penghasilan dan kebanggaan.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah yang dimiliki lanjut usia, pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mengupayakan suatu wadah atau sarana untuk menampung orang lanjut usia dalam satu institusi yang disebut Panti Werdha.

Para lansia yang berada di panti werdha, mereka akan cenderung kehilangan waktu untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga. Sehingga mereka merasa kurang mendapatkan kebahagian dari keluarganya. Menurut penelitian dari Hicks (2000) bahwa lansia yang tinggal di panti akan merasakan peningkatan rasa kesepian karena kurangnya hubungan dengan orang lain, meningkatnya ketergantungan dan merasa kehilangan.

Adapun salah satu panti werdha di Kota Bandung, yaitu Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi. Menurut pengurus panti, lansia di panti ini sudah tercukupi dalam hal sandang, pangan, dan papan, namun pengurus juga tidak dapat memenuhi kebutuhan psikisnya. Beberapa pengurus pun mengatakan bahwa para lansia di panti ini membutuhkan kasih sayang yang tulus. Pengurus panti disini pun yang mengurus lansia selama 24 jam hanyak ada 2 petugas perempuan dan 1 petugas laki-laki. Sehingga para lansia di panti ini, tidak sepenuhnya mendapatkan perhatian atau kasih sayang yang ia inginkan. Berdasarkan hasil wawancara pada lansia di panti ini, lansia tersebut merasa bahagia tinggal di panti dikarenakan dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat mereka bahagia. Menurut beberapa lansia, mereka merasa kesepian ketika tinggal di panti, namun seiring berjalannya waktu, mereka dapat merasakan kebahagiaan tinggal di panti tersebut. Selain itu adapun lansia yang mengatakan merasa bahagia karena dapat berbagi cerita dengan orang-orang yang seusianya dan mempunyai masalah yang sama. Adapun mereka yang merasa puas dengan kehidupan sekarang yang mereka alami dan mereka merasa menjadi pribadi yang lebih baik ketika tinggal di panti. Sebagian besar lansia merasa senang dengan adanya teman-teman seusianya yang membuat mereka merasa tidak tua karena dapat bersosialisasi dengan teman-teman seusianya. Mereka juga merasa lebih baik karena selalu saling mendukung jika ada temannya yang memiliki masalah. Lansia disini pun, mengaku selalu bersemangat jika melakukan kegiatan-kegiatan yang ada di panti karena dengan melakukan kegiatan tersebut, mereka merasa bahwa dirinya masih mampu untuk melakukan berbagai macam hal. Begitupun salah satu kegiatan senam yang ada di panti, membuat lansia merasa lebih sehat karena dilakukan secara rutin.

(3)

Meskipun demikian, mereka selalu merasa sedih dan takut ketika ada salah satu temannya yang lebih dulu dipanggil oleh sang Maha Pencipta.

Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif mengenai Subjective Well-Being pada lansia

di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung”. Selanjutnya, tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik mengenai subjective well-being pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung.

B. Landasan Teori

Subjective Well-being adalah keadaan yang di alami individu sebagai hasil

kepuasan hidup dan evaluasi terhadap domain-domain kehidupan yang penting seperti pekerjaan, kesehatan, dan hubungan. Juga termasuk emosi mereka, seperti kemarahan, kesedihan, dan ketakutan yang sedikit. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah nama yang diberikan untuk pikiran dan perasaan yang positif terhadap hidup seseorang (Diener, 2009). Diener menambahkan, lebih tinggi frekuensi munculnya afek postif daripada negatif dapat memberikan perasaan nyaman dan riang (Joyful) , sehingga pemaknaan individu akan hidupnya pun akan makin positif, demikian pula individu yang dapat mencapai tujuannya dan merasa puas akan semua pencapaiannya, maka pemaknaan mengenai hidupnya akan baik pula.

Komponen subjective well-being menurut Diener (dalam Ied & Larsen, 2008)

subjective well-being terbagi dalam dua komponen, yaitu: 1) komponen kognitif

adalah evaluasi dari kepuasaan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian dari hidup seseorang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi: (a) Evaluasi terhadap kepuasaan hidup secara global (life satisfaction), yaitu evaluasi respoden terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Kepuasan hidup secara global dimaksudkan untuk mempresentasikan penilaian respoden secara umum dan reflektif terhadap kehidupannya. Secara lebih spesifik, kepuasaan hidup secara global melibatkan persepsi seseorang terhadap perbandingan keadaan hidupnya dengan standard unik yang mereka punyai. (b) Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu, adalah penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan social dan keluarga. Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global merupakan refleksi dari persepsi seseorang terhadap hal-hal yang ada dalam hidupnya, ditambah dengan bagaimana kultur mempengaruhi pandangan hidup yang positif dari seseorang. 2) komponen afekif yaitu merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi didalam hidup seseorang. Dengan meneliti tipe-tipe dari reaksi afektif yang ada, seorang peneliti dapat memahami cara seseorang mengevaluasi kondisi dan peristiwa didalam hidupnya. Komponen afektif dapat dibagi menjadi: (a) Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari subjective well-being karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan. (b) Afektif negatif adalah pravelensi dari emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami. Afek negatif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti sedih atau susah (distressted), kecewa (disappointed), rasa bersalah (guilty), takut (scared), bermusuhan (hostile), lekas marah (irritable), malu (shamed), gelisah (nervous), gugup (jittery), khawatir (afraid).

(4)

C. Hasil Penelitian

Diagram 1. subjective well-being secara keseluruhan

Berdasarkan hasil pengukuran subjective well-being terhadap 26 lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung, diperoleh data terdapat 54% atau sebanyak 14 lansia yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi dan 46% atau sebanyak 12 lansia yang memiliki tingkat subjective well-being rendah.

Pada lansia yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi, lansia tersebut memiliki karakteristik yang sesuai dengan karakteristik subjective well-being tinggi, yaitu memiliki perasaan puas dalam menjalani kehidupannya secara kompleks, memiliki banyak afek positif dan sedikit afek negatif. Lansia tersebut memiliki kepuasan dalam hidupnya dalam hal kondisi kesehatan yang baik, hubungan dengan orang lain yang baik, memiliki waktu luang untuk pergi ke luar panti, memiliki keluarga yang rutin untuk mengunjunginnya dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di panti. Kegiatan yang sesuai dengan usianya dapat menimbulkan perasaan bahagia (Hurlock, 1993). Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective

well-being yaitu agama, lansia di panti rutin mengikuti pengajian sehingga mereka

merasa lebih memandang hidup secara positif. Menurut Carr (2004) juga menyatakan alasan mengikuti kegiatan keagamaan berhubungan dengan subjective well-being, sistem kepercayaan keagamaan membantu kebanyakan orang dalam menghadapi tekanan dan kehilangan dalam siklus kehidupan, memberikan optimisme bahwa dalam kehidupan selanjutnya masalah-masalah yang tidak bisa diatasi saat ini akan dapat diselesaikan. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan religius memberikan dukungan sosial komunitas bagi orang yang mengikutinya. Sehingga para lansia disini pun merasakan kesejahteraan dalam hidupnya. Banyaknya emosi positif yang mereka rasakan terlihat dari hasil pengukuran melalui kuesioner yang menunjukkan bahwa lansia tersebut sering merasa bahagia ketika melakukan kegiatan-kegiatan yang ada di panti secara rutin dan dapat mengendalikan emosi negatifnya.

Sedangkan lansia yang memiliki tingkat subjective well-being rendah, mereka tidak mampu mengendalikan emosi negatif yang ada pada dirinya. Sehingga sering terjadi pertengkaran antar lansia di dalam panti. Selain itu, mereka juga tidak mendapatkan kepuasan hidup yang menyenangkan karena merasa menyesal dengan keadaan mereka saat ini. Rendahnya tingkat subjective well-being pada lansia ini jika dilihat dari segi spesific domain satisfaction, hubungan dengan orang lainlah yang merupakan salah satu hal yang memberikan kontribusi terhadap rendahnya subjective

well-being mereka, dengan tidak memiliki hubungan yang baik dengan orang lain

tersebut maka lebih banyak merasa tidak sejahtera hidupnya dibandingkan yang dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan faktor-faktor yang

54% 46%

Subjective Well-Being

Tinggi Rendah

(5)

mempengaruhi subjective well-being yaitu kualitas hubungan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Seligman (dalam Diener & Scollon, 2003) menunjukan bahwa semua orang yang paling bahagia memiliki kualitas hubungan sosial yang dinilai baik. Maka dari itu, lansia yang tidak memiliki hubungan yang baik dengan orang lain dapat mempengaruhi subjective well-being yang rendah.

Diagram 2. Distribusi Frekuensi Aspek-Aspek Subjecive Well-Being

Berdasarkan diagram diatas menunjukkan bahwa terdapat 58% atau sebanyak 15 lansia yang memiliki aspek global life satisfaction dan spesific domain satisfaction tinggi. Lalu pada afek positif, terdapat 54% atau sebanyak 14 lansia yang memiliki afek positif tinggi. Selanjutnya pada aspek afek negatif terdapat 30% atau sebanyak 8 lansia yang memiliki afek negatif tinggi.

D. Simpulan

1. Sebagian besar lansia yang berada di panti memiliki tingkat subjective

well-being yang tinggi dengan persentase 54%. Artinya lansia yang tinggal di Panti

Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung memiliki kepuasaan dalam menjalani kehidupannya, serta memiliki afek positif yang tinggi dan sedikit merasakan afek negatif. ;

2. Sebagian besar lansia yang berada di panti memiliki komponen kognitif atau kepuasan hidup yang tinggi dengan persentase 58%. Artinya sebagian besar lansia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung merasa bahwa dirinya merasakan kepuasan dalam kehidupannya baik itu kepuasan secara umum maupun secara spesifik seperti mengikuti kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh panti dan kunjungan keluarga yang rutin. ;

3. Sebagian besar lansia yang berada di panti memiliki afektif positif yang tinggi dengan persentase 54% dan memiliki afektif negatif yang tinggi dengan persentase 30%. Artinya lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung merasakan banyak emosi positif dan sedikit emosi negatif.

58% 58% 54% 30% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% Global life satisfaction Spesific domain satisfaction

Afek Positif Afek Negatif

(6)

Daftar Pustaka

Carr, Allan. (2004). Positive psychology, the science of happiness and human strength. New York: brunner-routledge.

Diener, Ed. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin American Psychological, Inc, Vol. 95, No. 3, 542-575.

_______. (2009). The science of subjective well-being. The Collected Works Of Ed Diener. Social Indicators Research Series, Vol. 37, New York, NY: Springer. Eddington, & Shuman. (2008). Subjective Well-Being (Happiness [Online].

www.texcpe.com/html/pdf/ncc/nccSWB.pdf. diunduh pada tanggal 8 November 2016.

Eid. M. & Larsen R.J (2008). The science of subjective well-being. London: The Guilford Pers.

Hicks, T. J. (2000). What is your life like now? Loneliness and elderly individuals residing in nursing homes. http://www.healio.com/nursing/journals/jgn/2000-8-26-8/%7B7e28350- 8367-4984-9b6b-0150d5808c42%7D/What-is-your-life-like-now loneliness-and-elderly-individuals-residing-in-nursing-homes

Hurlock, E. B (2002). Psikologi Perkembangan. 5th edition. Jakarta: Erlangga.

Maryam, R. Siti, dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba medika

Noor, Hasanuddin. (2009). Psikometri, aplikasi dalam penyusunan instrumen penukuran perilaku. Bandung: Fakultas Psikologi Unisba.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementrian RI tahun 2013. Diakses pada tanggal 10 Agustus

2016, dari

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2020 13.pdf

.

Sugiyono, Dr. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tuntichaivanit, C., Munsawaengsub, C., Nanthamongkolchai, S., Charupoonphol, P. (2009). Life happiness of elderly in rayong province. Journal public health, Vol 39 (1), 34-47

Gambar

Diagram 1. subjective well-being secara keseluruhan
Diagram 2. Distribusi Frekuensi Aspek-Aspek Subjecive Well-Being

Referensi

Dokumen terkait

Para pedagang komoditi dan konsumen mereka, harus bekerja bersama-sama untuk memberlakukan larangan melakukan perdagangan dengan perusahaan yang terus merusak hutan dan lahan

Ayam, burung kakatua dan itik diinfeksi oleh ketiga spesies agen penyakit yang lumrah terdapat di Indonesia, yaitu Aspergillus fumigatus, Asper gillus flavus dan Aspergillus

Anastasia Rose Steele adalah toko utama sekaligus narator dalam novel Fifty Shades Darker, Fifty Shades of Grey bercerita tentang Anastasia "Ana" Steele, seorang

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang telah melimpahkan segala kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian serta menyelesaikan Laporan

Maka dari itu, dengan adanya penelitian ini mengenai generasi millenial dan resep kuliner tradisional Indonesia sebagai salah satu budaya Indonesia, diharapkan dapat

Contoh kasus gambar 1b, saat sinyal input bernilai positif (mengarah ke atas) maka dioda akan berada dalam keadaan reverse bias sehingga tidak ada arus yang mengalir pada R,

Hasil presentase data shortest 10% 1/RT pada Tabel 2 menunjukan bahwa kondisi setelah praktikum mengalami peningkatan kewaspadaan sebesar 32,45% dibandingkan dengan kondisi

Teknik observasi merupakan teknik data dengan cara pengamatan langsung ke lokasi penelitian dengan objek yang akan di teliti sehingga data yang diperoleh sesuai