• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro: Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan Permanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro: Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan Permanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah"

Copied!
361
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan

Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional

Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah

Golar

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro: Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan Permanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2007

G o l a r

(3)

Strengthening for Managing and Utilizing forest resources in Lore Lindu National Park (LLNP). Under the Supervision of DUDUNG DARUSMAN, DIDIK SUHARJITO, and SAMBAS BASUNI.

This research aims to explain how the local community manages interaction with the forest resources. The study presents a qualitative analysis, applied to better understanding the Toro’s institution strengthening, and analyze the strategy applied by the community in adaptation to environmental changes.

This case study shows that Toro’s has developed real effort which addressed problems met in her interaction with forest resources, namely Lore Lindu National Park (LLNP). In these cases, Toro has revitalized the institution concerning the natural resources management. The Institution Revitalization is one of the Toro’s adaptive strategies to response the environmental changes (market intervention and politic influences). The adaptive strategy is realized in among others solving the problem of the areas boundaries arrangement among Toro and LLNP, to secure forest resources property right. As a whole the Toro institution has proved its adequate ability in managing and utilizing forest resource sustainably.

This study recommends that the government could adopt the local institution as part of her policies concerning forest resources governance.

(4)

dalam mengelola dan mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan. Kajian-kajian tersebut menunjukkan adanya perdebatan tentang kemampuan atau ketidakmampuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Hal tersebut dipandang oleh sebagian peneliti sebagai masalah adaptasi, yang terkait dengan kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan, yang disebabkan oleh tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik (Alland 1975; Bennett 1967; Agrawal et al. 1997; Berkers et al. 2001; Suharjito 2002; Marks et al. 2005; Flint et al. 2005).

Fokus penelitian ini menjelaskan tentang wujud respon masyarakat adat Toro terhadap perubahan lingkungan melalui revitalisasi kelembagaan adat, khususnya dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Secara khusus bertujuan: (1) menjelaskan wujud revitalisasi kelembagaan adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan; (2) Menjelaskan performansi kelembagaan adat yang direvitalisasi; dan (3) Menjelaskan implikasi revitalisasi kelembagaan adat terhadap kelestarian sumberdaya hutan, utamanya terhadap integritas ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.

Konsep adaptasi dari Bennett (1967), digunakan sebagai kerangka teori utama dalam disertasi ini. Teori ini memandang adaptasi sebagai perilaku responsif masyarakat terhadap perubahan-perubahan lingkungan, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Selain Teori Bennett, Secara operasional di lapangan digunakan pula konsep lain di antaranya: Turnbull (1992) dan Ostrom (1994), utamanya dalam menganalisis performansi kelembagaan terhadap kelestarian sumberdaya hutan.

Penetapan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh tim STORMA, maupun peneliti-peneliti perorangan. Selain itu, dilakukan pula diskusi intensif dengan staf Balai Taman Nasional Lore Lindu. Melalui hasil penelusuran awal tersebut ditetapkan secara purposive Desa Toro sebagai lokasi penelitian. Penelitian berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan, yang dimulai pada awal bulan Mei 2005 dan diselesaikan pada bulan Maret 2006. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yang menggunakan metodologi studi kasus. Metode analisis yang digunakan terdiri atas: analisis sejarah (historical analysis); analisis hubungan sebab-akibat (causal relation analysis); analisis penilaian subjektif dan analisis perbandingan (comparative analysis).

(5)

lemahnya fungsi dan peran lembaga adat di dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dominansi pihak otoritas TNLL terhadap pengelolaan sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya wilayah adat Toro, menjadi salah satu penyebabnya. Dengan demikian fungsi kontrol lembaga adat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan semakin lemah, dan memicu

munculnya pelanggaran-pelangaran terhadap aturan yang ditetapkan

pemerintah, sebagai wujud protes terhadap kondisi “ketidak-seimbangan” yang dirasakan oleh masyarakat Toro.

Perusakan-perusakan lingkungan tersebut direspon dalam bentuk revitalisasi kelembagaan. Revitalisasi kelembagaan adat di Toro diawali oleh proses-proses pendokumentasian terhadap sistem nilai, norma sosial, hukum adat, dan sejumlah pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Dari proses awal tersebut, berhasil dibuat peta partisipatif wilayah hukum adat Toro. Melalui peta ini masyarakat Toro memberikan penegasan kembali prihal asal-usul hak terhadap wilayah hukum adat mereka, yang selama ini diklaim sebagai wilayah TNLL. Pasca pengakuan yang diberikan pihak TNLL terhadap wilayah hukum adat di Toro, masyarakat merevitalisasi struktur dan hubungan kerja antar lembaga yang selama ini dinilai belum berjalan baik di Toro, serta menyusun sejumlah aturan formal terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Toro. Dengan jelasnya struktur dan hubungan kerja antar lembaga serta adanya aturan main pengelolaan sumberdaya alam, maka semakin jelas pula fungsi dan peran lembaga yang ada di Toro, utamanya dalam mengatur pola pemanfaatan sumberdaya hutan dan mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku oportunistik, yang dapat merugikan ekosistem sumberdaya alam di Toro.

Revitalisasi yang berlangsung di Toro tidak lepas dari peran kepemimpinan lokal. Dalam hal ini, peran kepala desa amat menentukan utamanya dalam mengadaptasikan aspek-aspek tradisi dan kelembagan tradisional ke dalam kondisi saat ini. Para totua ngata dan tokoh-tokoh pemuda juga berperan dalam proses penggalian aspek-aspek pengetahuan tradisional, utamanya terkait dengan pengetahuan ekologis pemanfaatan sumberdaya hutan. Demikian halnya dengan tokoh-tokoh perempuan, yang turut berjuang dalam menggali kembali fungsi dan peran perempuan adat Toro (tina ngata) dalam konteks kekinian.

Hal penting yang dihasilkan melalui proses revitalisasi kelembagaan adat adalah sejumlah aturan-aturan tertulis, yang juga memuat sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang bersifat spesifik, di mana bentuk dan nilai dari sanksi atas pelanggaran ditetapkan menurut hukum adat dan melalui mekanisme musyawarah adat. Dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan, Toro memiliki mekanisme pengawasan yang telah ada jauh sebelum Lore Lindu ditetapkan sebagai taman nasional. Salah satu faktor yang turut mendukung keberhasilan dalam menjaga kelestarian hutan di wilayah hukum adat adalah tingginya kepedulian dan komitmen masyarakat dalam membantu tugas tondo ngata. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut merupakan cerminan bahwa kontrol sosial di Toro masih berjalan dengan baik.

(6)

adat memiliki kecenderungan mampu dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan di wilayah kelola adatnya. Beberapa hal yang mencirikan di antaranya: telah dilakukan penataan wilayah kelola adat; status dan batas lahan yang jelas; hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang telah didefenisikan; dimilikinya mekanisme resolusi konflik yang efektif; serta mekanisme pemantauan sumberdaya alam yang telah berjalan. Sementara itu, terkait dengan dimensi manajemen hutan utamanya pada komponen kelola produksi, masih dijumpai kelemahan di antaranya: tidak tersedianya informasi dan dokumentasi yang memadai terhadap dampak kegiatan produksi yang telah dilakukan; tidak tersedianya data potensi hutan yang dapat dipanen secara lestari; tidak jelasnya mekanisme pertangung-jawaban publik; rendahnya efisiensi pemanfaatan hasil hutan; belum tersedianya sistem informasi manajemen pengelolaan hutan; dan kurangnya tenaga terampil dan teknologi yang mampu memanfaatkan sumberdaya hutan secara efisien dan terkendali.

Sementara itu, dimensi penataan kelembagaan (akuntabilitas publik, penatan organisasi, peningkatan sumberdaya manusia, dan manajemen keuangan), yang merupakan “syarat perlu” bagi pencapaian pengelolaan hutan yang lestari, belum dipenuhi oleh kelembagaan di Toro. Beberapa indikator dimaksud di antaranya: (a) tidak jelasnya mekanisme pertangung-jawaban publik, (b) rendahnya efisiensi pemanfatan hasil hutan, (c) belum tersedianya sistem informasi manajemen pengelolaan hutan; dan (d) masih kurangnya tenaga terampil, yang mampu memanfaatkan sumberdaya hutan secara efisien dan terkendali. Namun demikian, kekurangan-kekurangan tersebut terus diupayakan perbaikannya oleh masyarakat Toro. Hal ini nampak melalui usaha pemerintah desa dan lembaga adat di Toro untuk meningkatkan kemampuan manajerial melalui peningkatan intensitas kerjasama dengan pihak LSM, lembaga penelitian dalam dan luar negeri, serta peningkatan kemampuan sumberdaya manusianya melalui keikutsertaan dalam berbagai pelatihan dan pertemuan di tingkat regional, nasional, bahkan internasional.

(7)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(8)

Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan

Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional

Lore LinduPropinsi Sulawesi Tengah

Golar

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Sulawesi Tengah Nama : Golar

NIM : E061030081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof Dr.Ir. Dudung Darusman, MA Ketua

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

(10)

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga saya dapat merampungkan disertasi ini. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya selama perkuliahan dan penyusunan disertasi ini.

Ucapan terima kasih yang amat sangat saya haturkan kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku pembimbing utama, Dr. Ir. Didik Suharjito, MS dan Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku pembimbing anggota. Beliau-beliau telah mengarahkan, membukakan pikiran, dan meluangkan waktunya untuk membimbing saya melalui pertanyaan-pertanyaan kritis dan saran-saran yang diajukan kepada saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada yang terhormat Dr. Satyawan Sunito, yang telah bersedia sebagai dosen penguji pada ujian tertutup saya dan Dr. Ir. Yetty Rusli, M.Sc dan Prof.Dr. Hadi Sukadi Alikodra, MS., selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka saya, melalui saran-saran yang diajukan, telah memperkaya saya dengan konsep dan teori sehingga saya dapat menyusun disertasi ini lebih baik.

Terimakasih saya kepada Rektor, Dekan Fakultas Pertanian, dan Ketua Jurusan Manajemen Hutan Universitas Tadulako, atas izin dan dorongannya sehingga saya dapat melanjutkan studi pada program doktor di IPB. Kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui beasiswa yang diberikan,

Management Board program BMZ-STORMA atas bantuan dana penyelesaian studi, saya ucapkan banyak terimakasih.

Kepada Keluarga besar komunitas adat Toro, Naftali B. Porentjo (kepala Ngata Toro), Tokoh Masyarakat Adat Toro; CH. Towaha, Ace Lagimpu, Andreas Lagimpu, Rukmini Rizal, Pdt. Ferdy Lumba, Sahid Tohola (Tondo Ngata Toro), dan Berwin P. Toheke (tokoh pemuda Toro) atas segala bantuannya selama penelitian ini dilakukan diucapkan banyak terimakasih. Demikian halnya dengan rekan-rekan yang saya tidak dapat sebutkan satu per satu, dan kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerjasamanya yang telah diberikan kepada saya selama ini.

(11)

saya Misykah Aulia Golar dan Ahmad Fadlan Golar, yang selalu mendampingi dalam suka dan duka, dan memberikan semangat kepada saya saat menempuh studi ini. Semoga Allah SWT membalasnya lebih baik. Saya berharap disertasi ini merupakan amalan sholeh, amin.

Bogor, Mei 2007

(12)

Sekolah dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat atas (SLTA) diselesaikan di Jakarta. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada Program Pascasarjana di universitas yang sama atas bantuan beasiswa pendidikan yang diperoleh dari program URGE-DIKTI, dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institutut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2003, melalui bantuan beasiswa BPPS-DIKTI dan BMZ-STROMA.

Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Program Studi Manajemen Hutan pada Jurusan Kehutanan di Universitas Tadulako-Palu sejak tahun 1999. Sebelumnya, penulis diperbantukan pada Pusat Kajian Perhutanan Sosial pada Lembaga Pusat Penelitian (LPM) UNHAS (periode 1997-1999).

(13)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Pertanyaan Penelitian ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat (Community Forest Management) ... 6

Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama ... 9

Konsep Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan ... 11

Konsep Adaptasi ... 13

METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Teori ... 18

Pendekatan Penelitian ... 21

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Pengumpulan Data ... 23

Metode Analisis ... 26

TORO DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN Selintas Sejarah Toro ... 43

Kondisi Geografis dan Kependudukan ... 44

Struktur Sosial dan Kelembagaan ... 53

Tekanan Penduduk, Ekonomi Pasar, dan Dinamika Politik ... 66

Ringkasan ... 80

REVITALISASI KELEMBAGAAN ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM Dinamika Kolektif Komunitas Toro ... 82

Performansi Kelembagaan Adat ... 100

Ringkasan ... 110

IMPLIKASI REVITALISASI KELEMBAGAAN ADAT TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA HUTAN Tipologi Hutan di Toro ... 113

Kelestarian Fungsi Sosial ... 116

Kelestarian Fungsi Produksi ... 127

Kelestarian Fungsi Ekologis ... 134

Penilaian terhadap Tingkat Kelestarian Hutan ... 139

(14)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 150

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi sosial ... 29

2 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi produksi ... 29

3 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi ekologi ... 30

4 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal ... 31

5 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi Komunitas ... 32

6 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria terbangun pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi ... 33

7 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas ... 34

8 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian sumberdaya ... 35

9 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian hasil ... 36

10 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian usaha ... 38

11 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola ... 39

12 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan... 40

13 Jenis-jenis lahan yang dikuasai rumahtangga di Toro (tahun 2004)... 46

14 Jumlah penduduk di Toro menurut kelompok umur (tahun 2004)... 48

15 Rasio jumlah penduduk Toro berdasarkan mata pencaharian ... 49

16 Tingkat pendidikan penduduk Toro tahun 2004 ... 53

17 Bentuk-bentuk akses atas lahan komunitas adat Toro ... 64

18 Tingkat rata-rata pertumbuhan penduduk di Toro 1978 – 2004 ... 66

19 Karateristik demografi untuk tiap-tiap kecamatan di sekitar TNLL dan Toro periode tahun 1980 – 2002... 67

20 Perbandingan antara masyarakat yang menggunakan pupuk dengan yang tidak menggunakan pupuk pada tanaman kakao di Toro ... 69

21 Ragam pekerjaan sampingan di Toro ... 72

22 Komponen biaya pemanfaatan sumberdaya alam di Toro ... 96

(16)

24 Penilaian sikap pesponden terhadap kinerja kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di

Toro ... 106

25 Skor kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan ... 117

26 Skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas ... 119

27 Data pemilikan asset ekonomi keluarga di Toro tahun 2004 ... 122

28 Skor kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi ... 124

29 Skor kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas ... 126

30 Skor kriteria kelestarian sumberdaya ... 127

31 Skor kriteria kelestarian hasil ... 130

32 Skor kriteria kelestarian usaha ... 132

33 Skor kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola ... 135

34 Skor kriteria sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan ... 137

35 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi sosial ... 140

36 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi produksi... 140

37 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi ekologi ... 141

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur prinsip dan kriteria kelestarian hutan (LEI 2004) ... 12

2 Bagan alir kerangka pikir penelitian ... 20

3 Transisi antara fenomena dan pengamatan yang berbeda ... 22

4 Bagan alir tahapan metode analisis hubungan sebab-akibat ... 26

5 Bagan alir tahapan penilaian internal terhadap performansi kelembagaan adat ... 27

6 Bagan alir penelitian ... 42

7 Letak lokasi penelitian ... 45

8 Rata-rata jumlah lokasi lahan masyarakat di Toro ... 47

9 Periodesasi pengkonversian menjadi lahan yang ditanami kakao di Toro ... 48

10 Komposisi etnis di Toro ... 51

11 Periodesasi kedatangan penduduk di Toro ... 51

12 Peta penyebaran dusun di Toro ... 52

13 Siklus pengolahan dan pemanfaatan lahan bergilir ... 63

14 Kelompok maromu dalam pengelolaan lahan sawah ... 65

15 Kelompok maromu dalam kegiatan menenam padi di sawah ... 65

16 Tanaman kopi masyarakat di bawah tegakan hutan ... 68

17 Tanaman kakao masyarakat di bawah tegakan hutan ... 68

18 Perbandingan penduduk yang menggunakan pestisida dengan yang tidak menggunakannya pada tanaman kakao di Toro ... 70

19 Usaha pembuatan kusen masyarakat Toro ... 71

20 Usaha pembuatan meubel masyarakat Toro ... 71

21 Persentase jumlah tenaga kerja upahan di Toro berdasarkan pembagian jenis kelamin ... 72

22 Lobo, bangunan adat Toro ... 83

23 Peta partisipatif wilayah adat Toro ... 85

24 Keselarasan sistem zonasi TNLL dan kategorisasi lahan adat Toro 86 25 Salah seorang anggota Totua Ngata menyerahkan piagam kesepakatan kepada Kepala Balai TNLL ... 87

26 Masyarakat Adat Toro berpose bersama di sekeliling prasasti pengakuan ... 87

27 Struktur hubungan antar lembaga hasil musyawarah I, tahun 2001 ... 89

28 Struktur hubungan antar lembaga hasil musyawarah tahun 2005 ... 93

29 Skema mekanisme penjatuhan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro ... 98

(18)

32 Diagram perbandingan antara nilai rata-rata belief dan evaluation ... 107 33 Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Sulawesi Tengah

(1998), (Dishut 2000) ... 115

34 Rapat penyelesaian sengketa lahan antar masyarakat Toro ... 118 35 Makan bersama sebagai simbolisasi selesainya sengketa di antara

mereka ...

118 36 Peluang akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan pasca

revitalisasi ...

119

37 Bagan alir proses perizinan pemanfaatan kayu di Toro ... 125 38 Limbah kayu yang dihasilkan dalam proses penebangan pohon di Toro ... 131 39 Alat yang digunakan dalam melakukan kegiatan penebangan pohon di

Toro ... 131

40 Perbandingan tingkat temuan jejak kotoran Anoa dan babi liar Sulawesi

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Piagam kesepakatan konservasi sumberdaya alam masyarakat adat

Ngata Toro ... 162 2 Surat pernyataan Balai Taman Nasional Lore Lindu ... 163 3 Darft peraturan Desa Toro Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi

Tengah ... 165 4 Aturan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Toro ... 175 5 Inisiatif dan aktifitas yang dilakukan komunitas adat Toro, phase

(20)

Latar Belakang

Di beberapa kawasan konservasi, utamanya taman nasional, interaksi antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam masih sangat kuat. Bahkan di beberapa lokasi, pola interaksi yang terjalin memberikan kecenderungan positif terhadap kelestarian hutan (Wiratno et al. 2004; Dear & Meyers 2005; Kameri-Mbote 2006). Walaupun demikian, konflik atas sumberdaya hutan dan masyarakat di taman nasional juga telah terjadi di banyak tempat.

Di Indonesia, konflik antara masyarakat lokal dengan taman nasional terjadi di TN Komodo, TN Siberut, TN Tanjung Puting, TN Lauser; dan TN Boganani Nani Wartabone (Iskandar 1992; Soekmadi 2002; Wiratno et al. 2004). Di manca negara dapat dijumpai pada TN Waza (Bauer 2003), TN Alaskan (Dear & Meyers 2005), dan TN Virunga (Kameri-Mbote 2006). Pada umumnya konflik tersebut berakar pada permasalahan kelembagaan, utamanya menyangkut hak penguasaan (property right) dan pengelolaan sumberdaya alam (resources management), antara pemerintah dan masyarakat lokal (bdk. Sunito 2004; Pagde et al. 2006; Telfer & Garde 2006).

Situasi tersebut terjadi pula di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah. Hilangnya hak pemilikan dan penguasaan lahan masyarakat lokal menjadi pemicu utama terjadinya konflik, menyusul ditetapkannya kawasan

tersebut sebagai kawasan konservasi1. Sebagian besar tanah-tanah yang

dikelola oleh masyarakat diklaim pemerintah sebagai bagian dari kawasan konservasi. Bersama itu pula, akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya lahan dan hutan menjadi terbatas. Kondisi ini dirasakan pula oleh masyarakat adat Toro, salah satu komunitas lokal yang hidup dan berinteraksi dengan sumberdaya hutan secara turun-temurun2.

Toro menghadapi persoalan sosial-ekonomi yang harus dipenuhi dan cenderung meningkat. Di sisi lain, pemerintah menerapkan konsep taman nasional, yang pada prinsipnya memiliki perbedaan dengan konsep pengelolaan sumberdaya alam di Toro. Perbedaan pertama terletak pada sistem kategorisasi

1 TNLL ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 593/kpts-II/1993 tanggal 5 Oktober 1993

dengan luas 229.000 Ha. Setelah dilakukan tata batas definitif hingga temu gelang, maka dilakukan pengukuhan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas 217.991,98 ha.

2

(21)

pemanfaatan lahan tradisional Toro dengan konsep zonasi taman nasional. Perbedaan kedua terletak pada definisi tentang hak penguasaan (property right), yang menyebabkan lebih dari 80% wilayah kelola adat Toro3 ditetapkan oleh

pemerintah sebagai bagian dari kawasan TNLL. Hal tersebut memicu terjadinya situasi konflik (conflicting situation) di Toro, yang diindikasikan oleh maraknya kegiatan penebangan liar dan perambahan hutan, sebagai wujud protes masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

Terdapat sejumlah kajian terdahulu tentang kelembagaan lokal, yang memiliki fokus dan tujuan beragam. Wade (1988); Ostrom (1990); Rasmussen & Meinzen-Dick (1995); Balland & Platteau (1996); Campbell (2003); Ghate (2004); Badstue et al. (2006:249-273); Murray et al. (2006) telah mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendukung keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat lokal, di antaranya: property right yang jelas, dimilikinya aturan main tentang pengelolaan sumberdaya hutan, serta berfungsinya dengan baik sistem kelembagaan lokal, yang meliputi norma (norm), sanksi (sanction), nilai (value), dan kepercayaan (belief), yang mengakar dan diterima secara luas oleh masyarakat.

Demikian halnya terhadap kajian yang dilakukan McKean (1992); Basuni (2003); Flint & Luloff (2005); Pagdee et al. (2006), menjelaskan bahwa aturan-aturan lokal yang disepakati, diimplementasikan dengan baik, serta didukung oleh identitas komunal yang kuat, terbukti mampu menunjang kelestarian fungsi hutan. Kejelasan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya alam, terutama yang merupakan milik umum (common-property resources) merupakan insentif penting bagi kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Basurto 2005; Marks et al. 2005). Sementara itu, kajian terhadap komunitas adat Baduy yang dilakukan Iskandar (1992) membuktikan pula bahwa unsur-unsur kelembagaan, yang direpresentasikan melalui sistem pengaturan tata ruang lahan tradisional, terbukti mampu mengkonservasi sumberdaya hutan dengan lebih baik. Hal tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan Widjono (1998), yang membuktikan pula kemampuan masyarakat dayak Benuaq dalam mempertahankan kelestarian hutan melalui sistem kategorisasi lahan tradisional. Selain kajian-kajian tersebut di atas, terdapat pula kajian yang memperdebatkan perihal kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola dan mempertahankan kelestarian sumberdaya alam. Maertens et al. (2002) melalui

3

(22)

kajiannya menjelaskan bahwa faktor tekanan penduduk (laju imigrasi) dan intervensi ekonomi pasar menyebabkan terjadinya perluasan kebun-kebun coklat yang berlangsung cepat di dalam kawasan hutan. Hal tersebut diakibatkan oleh terjadinya perubahan mendasar pada struktur sosial masyarakat, di mana penduduk asli menjual lahan miliknya kepada pendatang dan kemudian mereka kembali merambah hutan dalam memecahkan masalah keterjaminan sosial ekonominya (lihat a.l. Faust et al. 2003; Sitorus 2004).

Lebih jauh Burkard (2002) menjelaskan bahwa intervensi ekonomi pasar, melalui masuknya pedagang pengumpul hasil bumi, telah menyebabkan terjadinya perubahan terhadap sistem pertanian dan tanaman masyarakat lokal yang cenderung komersil. Hal tersebut berdampak terhadap melemahnya struktur kelembagaan tradisional, yang selama ini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, dan berdampak langsung terhadap meningkatnya laju degradasi hutan.

Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya perdebatan tentang kemampuan atau ketidakmampuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kemampuan maupun ketidakmampuan masyarakat lokal dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan, dipandang oleh sebagian peneliti sebagai masalah adaptasi. Hal tersebut terkait dengan kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan, yang disebabkan tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik (Alland 1975; Bennett 1967; Agrawal et al. 1997; Berkers et al. 2001; Suharjito 2002; Marks et al. 2005; Flint et al. 2005). Hal yang sama dikemukakan oleh Bohensky et al. (2005), bahwa faktor-faktor yang mencirikan efektifitas respon yang dimiliki masyarakat adalah kemampuan dalam mempertahankan resiliensi ekologi dan sosial, serta kemampuan dalam melawan perubahan yang terjadi dalam suatu sistem yang kompleks.

(23)

Pertanyaan Penelitian

Bertitik tolak dari uraian latar belakang, penelitian ini bermaksud menjelaskan wujud respon masyarakat Toro terhadap perubahan lingkungan, dan implikasinya terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah:

(a) mengapa revitalisasi kelembagaan adat menjadi pilihan masyarakat dalam merespon perubahan lingkungan;

(b) bagaimana kelembagaan adat mengatur tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, utamanya dalam merespon tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik; dan

(c) bagaimana implikasi revitalisasi kelembagaan adat terhadap kelestarian sumberdaya hutan.

Revitalisasi kelembagaan didefinisikan sebagai bentuk respon masyarakat Toro melalui perubahan aturan main dan struktur lembaga adat, yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Sementara itu, kelembagaan didefinisikan sebagai seperangkat norma, perilaku, struktur, dan peranan-peranan yang beradaptasi dari waktu-kewaktu, dan memenuhi kebutuhan kolektif yang diakui dan diterima oleh masyarakat Toro. Dengan demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dan aspek struktural berupa peranan-peranan sosial. Sementara itu, adaptasi didefinisikan sebagai perilaku responsive masyarakat Toro terhadap perubahan-perubahan lingkungan agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh masyarakat Toro dalam merespon perubahan lingkungan (intervensi ekonomi pasar dan tekanan politik).

Performansi kelembagaan adat didefinisikan sebagai kinerja kelembagaan yang telah direvitalisasi dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Performansi diukur melalui implikasi yang dihasilkan dari pengelolaan terhadap kelestarian sumberdaya hutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

(24)

Tujuan Khusus

1. Menjelaskan wujud revitalisasi kelembagaan adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Hal ini akan menjawab permasalahan tentang unsur-unsur kelembagaan adat (aturan main dan struktur kelembagaan) yang berubah, terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

2. Menjelaskan performansi kelembagaan adat yang direvitalisasi. Hal ini akan menjawab apakah revitalisasi yang dilakukan terhadap kelembagaan adat akan memperkuat, atau sebaliknya memperlemah kinerja kelembagaan adat di dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat (Community Forest

Management)

Konsep Community Forest Management (CFM) telah diterima dan diakui sejak dua dekade yang lalu, sebagai salah satu pendekatan potensial dalam mencapai kelestarian hutan (Pagde et al. 2006; Murray et al. 2006; Telfer &

Garde 2006). Pendekatan tersebut difokuskan terhadap upaya-upaya

penyediaan mata pencaharian dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dalam rangka mempertahankan konservasi sumberdaya hutan. Pemikiran tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran di antara mereka, memberi jaminan keadilan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan, serta tanggung-jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan (Borrini-Feyerabend et al. 2000). Keberhasilan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan tergantung pada tingkat keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya hutan. Keeratan hubungan dapat dibangun melalui kejelasan hak milik (property right) dan aturan-aturan lokal, yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Bromley 1989).

Kajian-kajian tentang masyarakat lokal menjadi penting tidak hanya dalam memahami bagaimana komunitas lokal memperlakukan sumberdaya alam di sekitarnya, namun juga bagaimana ”memanfaatkan” berbagai hal positif darinya untuk kepentingan generasi mendatang. Disamping itu, diketahuinya pola-pola interaksi antara komunitas masyarakat lokal dengan hutan akan teridentifikasi sejumlah kebutuhan, yang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam memformulasi rencana pengelolaan sumberdaya hutan, dengan menempatkan peran aktif dan akses masyarakat melalui kombinasi manajemen dan teknik-teknik modern dengan konsep, pola, dan teknik-teknik-teknik-teknik tradisional berdasarkan karakteristik yang dimiliki tiap-tiap komunitas (Wibowo 1993: 27-38; Sardjono 2004; Cundill et al. 2006).

Aspek penting terkait dengan eksistensi masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan sumberdaya hutan adalah fenomena pengetahuan

(26)

kehidupan masyarakat lokal. Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat lokal mengembangkan praktek-praktek pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan yang bervariasi, sebagai upaya dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan (Atran et al. 1999; Berkers 2001). Sistem-sistem pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan yang dimiliki oleh masyarakat lokal tidak selamanya berasal dari tradisi atau pengetahuan tradisional yang dimiliki, namun dapat pula berasal dari respon-respon adaptif yang dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Berkes 2004).

Masyarakat lokal mempunyai pandangan yang holistik tentang ekosistem dalam sistem sosialnya. Pandangan yang seharusnya benar ini sering dianggap utopia, dan pengetahuan tradisional yang tepat-guna ini hanyalah romantisme ahli ekologi manusia dan antropologi belaka. Sebenarnya, ekosistem alami tidak dapat dimengerti, dikonservasi, dan dikelola secara lestari tanpa memahami budaya manusia yang membentuknya. Keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati saling tergantung dan mempengaruhi. Inilah kunci untuk menjamin ketahanan sistem sosial dan ekologi (Soedjito & Sukara 2006). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pandey (1993); Li (2000) bahwa masyarakat lokal pada dasarnya memiliki harmonisasi dengan sumberdaya alam, dan pada hakekatnya pengetahuan indigenous bersifat konservatif, serta menunjukkan suatu struktur sosial dan ekonomi yang adil.

Masyarakat indigenous mampu dan telah mengakumulasikan pengetahuan empirik yang berharga dari pengalaman mereka berinteraksi dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Kearifan ini berdasarkan pemahaman yang dalam, bahwa manusia dan alam membentuk kesatuan yang tak terpisahkan sehingga harus hidup selaras dengan alam. Pandangan ekologi-sentris ini secara umum direfleksikan dalam sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan lingkungan alamnya (Adimihardja 1999; Legawa 1999; Purwanto 2004).

(27)

kasus di mana masyarakat indigenous merupakan pendatang baru pada zona ekologi yang berbeda, di mana mereka belum memiliki banyak pengetahuan yang relevan dengan lingkungan yang baru, menyebabkan beberapa pengetahuan indegenous bawaan mereka menimbulkan masalah terhadap lingkungan yang baru (Flint & Luloff 2005).

Pada kasus yang lain dijelaskan bahwa pengetahuan indigenous yang telah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mempertahankan kehidupan mereka, dalam kondisi tertentu menjadi tidak sesuai lagi di bawah kondisi lingkungan yang telah terdegradasi (Thrupp 1989). Meskipun pada dasarnya pengetahuan indigenous memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut drastis dan cepat, pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut menjadi tidak sesuai lagi. Bahkan penerapan pengetahuan lama yang tidak sesuai akan memperparah kerusakan lingkungan (Grenier 1998).

Dalam kasus yang lain, Turnbull (2002) menjelaskan bahwa adanya

pengaruh modernisasi terhadap pengetahuan indigenous menyebabkan

perubahan yang bersifat radikal. Perubahan tersebut sering dipicu oleh adanya pengaruh yang datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan berdagang, pengembangan usaha, maupun kolonialisasi. Greiner (1998); Li (2000) menjelaskan bahwa terancamnya pengetahuan indigenous dipengaruhi pula oleh globalisasi, yang mau tidak mau akan memaksa masyarakat indigenous untuk menjadi bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Hal ini menyebabkan pengatahuan indigenous yang dimiliki menjadi tidak relevan. Di samping itu, kekuatan ekonomi dan sosial secara perlahan dan pasti seringkali menghancurkan struktur sosial, yang mampu menciptakan pengetahuan dan praktek indigenous tersebut (Sunito 1999, 2004).

(28)

pelosok-pelosok hutan, termasuk di dalamnya lokasi-lokasi berburu mereka, menyebabkan kemampuan dalam mengontrol sumberdaya alam semakin lemah (Turnbull 2002: 140-147).

Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama

Sumberdaya alam milik bersama (common property resources) sering diartikan secara beragam. Arnold (1998) mendefinisikan commond property resources (CPR)“...used to refer both to land or resources available to all and consequently not owned or managed by anyone, and also to situations where access is limited to a specific groups that holds rights in common”. Dalam penerapannya, Istilah CPR sering digunakan secara bergantian, yakni untuk menjelaskan sifat sumberdaya alamnya, dan terkadang pula digunakan untuk menjelaskan sistem kolektif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. McKean

et al. (1995) mendefinisikan common property resources lebih kepada situasi di mana sumberdaya alam tersebut dikelola sebagai sumberdaya milik bersama.

Terdapat dua wacana penting yang saling bertentangan terkait pengelolaan

common property resources. Wacana pertama berpendapat bahwa pemanfaatan sumberdaya alam secara kolektif tidak akan mampu memberikan insentif terhadap pengelolaan sumberdaya yang lestari. Pandangan yang mendasari wacana tersebut adalah munculnya anggapan bahwa peluang akses dan penguasaan sumberdaya alam secara kolektif, dengan pola pengelolaan yang terbuka, menyebabkan minimnya insentif masyarakat terhadap kelestarian lingkungan (Nemarundwe 2001). Pandangan ini mendukung teori Hardin (1968) tentang “Tragedy of the Commons”. Teori ini menegaskan bahwa jika banyak individu memanfaatkan sumberdaya terbatas secara bersama-sama, maka dapat dipastikan akan berakhir dengan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi ini tidak ada satupun yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumberdaya alam, sehingga laju kerusakannya berlangsung cepat (Rasmussen 1995).

Wacana kedua didasari oleh pandangan bahwa kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan tidak disebabkan oleh sifat sumberdaya alamnya, namun lebih pada fokus pengelolaan yang bersifat

neglectif terhadap kerangka kelembagaan4 di lokasi pengelolaan. Hal ini lebih

4

(29)

disebabkan oleh tidak jelasnya property right5, sehingga penggunaan sumberdaya menjadi bersifat open access (Bromley 1992).

Sejalan dengan wacana pertama, kajian yang dilakukan Sitorus (2002) memberikan gambaran tentang perubahan cepat yang mendasar pada ekologi pedesaan, sebagai akibat dari perluasan perkebunan kakao yang berlangsung cepat. Hal ini mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal bentukan sosial setempat, yang telah memudahkan peralihan sistem kepemilikan tanah dari jenis kolektif (common resources) menjadi jenis kepemilikan pribadi, di mana distribusi lahan tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah). Situasi ini memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga menyebabkan perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, di mana penduduk asli telah diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara pendatang diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”. Perubahan dalam struktur agraria tersebut menandakan penurunan keterjaminan sosial ekonomi penduduk asli dan sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang. Kondisi ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan masalah ketidak-terjaminan sosial ekonomi dengan cara merambah kawasan hutan.

Sementara itu, pendapat lain yang mendukung wacana kedua dikemukakan oleh Ostrom (1990); Parlee et al. (2006); Murray et al. (2006), menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam milik bersama sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya alamnya. Hal ini dapat terwujud bilamana kelembagaan lokal berjalan dengan baik, sehingga mampu membentuk perilaku arif manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Aturan main dan peraturan yang digunakan oleh masyarakat dapat menentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegakkan aturan ini. Dengan demikian, tindakan-tindakan opportunistik dapat diredam melalui penataan kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

5

(30)

Berfungsinya kelembagaan lokal diharapkan mampu meredam tekanan faktor internal maupun eksternal seperti: pertambahan jumlah penduduk (Wade 1988), heterogenitas sosial dan ekonomi (Baland dan Platteu 1996), struktur penguasaan lahan (Hanna et al. 1995; Ostrom 1999; Smith et al. 2000), dan faktor eksternal seperti: interpensi kebijakan nasional (Wade 1988; Ostrom 1999), dan tekanan pasar dan teknologi (Wade 1988).

Konsep Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan

Pada berbagai kajian kelembagaan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan, seringkali disebutkan bahwa untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial (Hanna et al. 1995; Sardjono 2004; Bohensky 2005). Hal tersebut sejalan dengan konsep kelestarian atau keberlanjutan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh International Tropical Timber Organization (ITTO 1998), sebagai suatu proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu dalam menghasilkan barang dan jasa hutan, yang diperlukan secara berkelanjutan tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang, dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial.

Demikian halnya dengan hasil UNCED (Rio de Janeiro 19920), yang mendefinisikan “...sustainable forest management is the practice of meeting the forest resources needs and values of the present with out compromising the similar capability of future generations..”. Dari batasan tersebut, pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini, tidak boleh mengorbankan kamampuan hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai yang sama dengan generasi yang akan datang. Hal tersebut hanya dapat terwujud apabila kualitas, fungsi, dan produktivitas hutan pada saat ini, setidak-tidaknya sama dengan kualitas, fungsi, dan produktifitas hutan pada masa yang akan datang secara berkelanjutan. Dari uraian tersebut, nampak bahwa konsep

Sustainable Forest Management secara eksplisit mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat terhadap fungsi-fungsi ekonomis (produksi), ekologis (lingkungan), dan sosial hutan secara optimal dan lestari (Suhendang 2004).

(31)

(indicator) pengelolaan hutan. Olehnya, disertasi ini mengadaptasi perangkat kriteria dan indikator kelestarian sumberdaya hutan yang dikembangkan oleh LEI (2004), yang terdiri atas prinsip, kriteria, dan indikator, serta verifer. Keberadaan C&I pengelolaan hutan lestari mutlak diperlukan dalam kegiatan pengelolaan hutan, agar kegiatan pengelolaan yang dilakukan dapat diukur secara relatif terhadap berbagai tujuan dan persyaratan lain yang telah ditetapkan lebih dahulu (Suhendang 2004). Untuk jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur prinsip dan kriteria kelestarian hutan (LEI 2004).

(32)

Di dalam naskah akademik LEI dijelaskan bahwa, untuk melakukan penilaian perlu ditetapkan lebih awal variabel-variabel penting di antaranya:

fungsi kawasan, status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Keempat Variabel tersebut digunakan untuk melihat keberagaman praktek pengelolaan hutan secara lebih spesifik, dan tentunya bermanfaat dalam memposisikan sumberdaya hutan yang dijadikan objek penelitian. Variabel fungsi kawasan dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: kawasan budidaya kehutanan (KBK), kawasan budidaya non kehutanan (KBNK), dan kawasan yang dilindungi (KD). Variabel ini akan menentukan otoritas, hak, dan kewajiban bagi pemegang hak penguasaan lahan. Variabel orientasi usaha, dibedakan menjadi orientasi usaha yang bersifat komersial dan subsisten. Variabel jenis produk, membedakan produk utama yang hendak dikelola, kayu dan atau non kayu dari hutan.

Prinsip dalam konteks pengelolaan hutan lestari diperlakukan sebagai kerangka primer bagi terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Selain itu, prinsip berfungsi untuk memberikan landasan pemikiran pada kriteria, indikator, dan pengukur. Kriteria didefinisikan sebagai sejumlah aspek yang dianggap penting untuk menilai kinerja pengelolaan hutan lestari, di mana sebuah kriterium dicirikan atau dilengkapi dengan sekumpulan indikator yang dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif, atau dinyatakan secara deskriptif, yang apabila diukur atau dipantau secara periodik, dapat memberikan petunjuk arah perubahan (Suhendang 2004).

Konsep Adaptasi

(33)

Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Alland 1975; Barlett: 1980 551-553).

Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan. Olehnya, adaptasi merupakan suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku manusia dapat mengubah suatu lingkungan dan sebaliknya, lingkungan yang berubah memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharui agar manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (Bennett 1976: 247).

Beberapa contoh kajian tentang respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan di antaranya: Pranowo (1985), yang menjelaskan tentang terjadinya perubahan sistem pertanian masyarakat lereng gunung Merapi akibat intervensi politik pemerintah kolonial Belanda, melalui penetapan program konservasi kawasan hutan. Mereka yang awalnya hidup dalam hutan dan menerapkan pola usaha tani sistem bero, kemudian dimukimkan ke lereng bawah. Kehidupan di lereng bawah bagi mereka merupakan hal yang sangat sulit karena sebagian besar tanah yang subur sebelumnya telah dikerjakan oleh penduduk di daerah tersebut. Kesempatan mereka untuk memperoleh tanah yang luas dan subur, terutama untuk dijadikan daerah pertanian tidak memungkinkan lagi. Hal ini memaksa mereka untuk mempraktekkan sistem pertanian yang intensif melalui teknik tegalan. Di samping itu, terjadi perubahan sistem bero panjang yang khas untuk daerah lereng Merapi ke dalam penggunaan pupuk kandang. Meskipun demikian, perubahan sistem ini terhadap pola umum kehidupan ekonomi masyarakat amatlah kecil. Masuknya pelbagai jenis tanaman tumpang sari ke dalam sistem tegalan tidak banyak mengubah struktur esensial. Tanaman tumpang sari yang jumlahnya semakin banyak hanya untuk menyesuaikan kebutuhan hidup keluarga. Hal ini disebabkan oleh semakin terbatasnya penguasaan dan pemilikan lahan.

(34)

baru. Selain itu, mereka juga menduduki lahan-lahan eks-HPH yang telah ditinggalkan oleh perusahaan, dan sebagian dari mereka terpaksa mencuri kayu atau dalam istilah mereka adalah berbalok.

Kajian lain tentang respon masyarakat terhadap intervensi ekonomi pasar ditunjukkan oleh Levine (1999) dalam Suharjito (2002). Berdasarkan kasus masyarakat peternak nomaden, suku bangsa Tibet, Sichuan-Cina, dijelaskan bahwa perubahan kebijakan terhadap sistem penguasaan ternak, dari penguasaan kolektif menjadi individu, telah direspon oleh masing-masing keluarga dengan cara meningkatkan produksi hasil ternaknya. Hal tersebut membawa implikasi terhadap perubahan struktur sosial, yakni terbentuknya klas-klas sosial, perbedaan status sosial, dan gaya hidup.

Meskipun demikian, nilai religi tetap tertanam dan tak mampu diubah oleh faktor lingkungan. Kajian ini menjelaskan adaptasi sosial-kultural yang terjadi pada tingkat komunitas (interaktif antar keluarga/rumahtangga) dalam bentuk perubahan struktur sosial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perubahan dapat terjadi pada salah satu unsur budaya (orientasi produksi, status sosial, dan gaya hidup), sedangkan unsur budaya lainnya dapat bertahan atau tidak mengalami perubahan (Suharjito 2002).

Ayoola (1998) mengkaji respon penduduk desa Igalas, Nigeria Tengah, terhadap kelangkaan lahan akibat tekanan penduduk. Mereka merespon dengan cara pengaturan pola tanam campuran (mix cropping) pada lahan-lahan milik maupun lahan komunal. Demikian halnya dengan Gomes (1993), yang mengkaji strategi adaptasi suku asli Semai, Malaysia, terhadap resiko kegagalan produksi lahan melalui penganekaragaman aktivitas produksi. Penganekaragaman tersebut memberikan proteksi yang besar terhadap kegagalan-kegagalan ekonomi. Bilamana terjadi hasil yang kurang baik dalam produksi buah-buahan, mereka dapat berpaling kepada salah satu di antara aktivitas-aktivitas lain yang menghasilkan uang, seperti menyadap karet, mengumpulkan hasil hutan, serta berburu.

(35)

pertama gagal (karena ada paceklik) maka mereka masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau, dan kuda). Mereka akan menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan. Bila penyangga kedua masih tidak berhasil, maka mereka masih memiliki peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi hutan, talas liar, dan lain-lain. Bentuk respon yang dilakukan oleh komunitas lokal tersebut menjelaskan wujud adaptasi terhadap perubahan lingkungan (intervensi ekonomi pasar dan tekanan penduduk). Hal tersebut sesuai dengan konsep strategi adaptasi yang dinyatakan oleh Bennett, sebagai suatu tindakan spesifik yang dipilih oleh individu atau masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat diprediksi (predictible).

Konsep strategi adaptasi sosial-kultural dari Bennett (1976) digunakan pula oleh Suharjito (2002) untuk menjelaskan bagaimana keluarga/rumahtangga mengembangkan sistem agroforestry kebun-talun, dalam menghadapi tekanan penduduk dan intervensi ekonomi pasar. Dijelaskan bahwa pasar telah

mendorong keluarga/rumahtangga, yang sebelumnya subsisten, untuk

mengkonsumsi barang-barang pasar yang tidak diproduksi sendiri, sehingga petani dipaksa untuk menghasilkan surplus produksi yang akan digunakan membeli barang-barang tersebut. Di sisi yang lain, tekanan terhadap lahan meningkat, baik karena jumlah atau rasio penduduk-lahan yang terus bertambah, maupun disebabkan oleh kebutuhan hidup yang terus meningkat.

(36)
(37)

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Teori

Bennett memandang adaptasi sebagai perilaku adaptif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku adaptif dapat dilihat sebagai inovatif, mencari perubahan, atau sebaliknya konservatif (Bennett 1976). Secara operasional, Turnbull (1992) menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan antara lain: intervensi ekonomi pasar, tekanan penduduk, dan politik. Perubahan-perubahan tersebut direspon dalam bentuk yang beragam.

Lebih jauh dijelaskan bahwa di dalam peradaban tradisional, pemenuhan kebutuhan merupakan urusan unit-unit kekerabatan (production is located in kinship units), di mana peradaban-peradaban tersebut pada umumnya tidak memerlukan sistem pasar dan penggunaan uang dalam mendorong produksi barang dan jasa. Menjaga suplai makanan, melestarikan keturunan, menyebarkan ilmu, hiburan dan sebagainya, merupakan bagian kegiatan kekerabatan tradisional. Namun demikian, pengaruh faktor eksternal seperti

intervensi pasar”, menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Perubahan tersebut mendorong respon masyarakat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) terhadap pola-pola interaksi dalam sistem sosial. Perilaku tersebut menurut Bennett terkait erat dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melalui keadaan-keadaan tertentu, dan kemudian membangun suatu strategi untuk menghadapi keadaan-keadaan yang akan datang.

(38)

pengambilan keputusan dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat diperkirakan (Bennett 1976: 271-272).

Untuk tujuan analisis terdapat dua model pendekatan terhadap perilaku adaptif. Pertama, memfokuskan perhatian pada tindakan-tindakan individu atau keluarga yang terpisah dari individu atau keluarga lainnya. Kedua, memfokuskan perhatian pada perilaku interaktif atau transaksional (interactive or transactional behavior) individu dengan individu lain dalam kelompok. Perilaku ini biasanya diarahkan oleh aturan-aturan (rules), dan komponen-komponen nilai normatif (normative value) yang beragam. Penelitian ini menggunakan model ke dua, yang hanya memperhatikan tindakan interaktif yang menghubungkan satu individu/rumahtangga dengan individu/rumahtangga lain.

Untuk mengetahui apakah revitalisasi kelembagaan adat telah memberikan performansi yang lebih baik dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan digunakan rancangan kriteria dari Ostrom (1994). Melalui rancangan tersebut akan dianalisis sejauhmana kelembagaan yang direvitalisasi mampu memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Untuk itu, informasi mengenai cakupan aturan-aturan main yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, terutama sebelum dilakukan revitalisasi terhadap kelembagaan adat akan dikaji, sebagai pembanding aturan-aturan bentukan revitalisasi.

Dalam konsep Ostrom diuraikan delapan prinsip rancangan, yang jika terpenuhi akan mengarah kepada kelembagaan pengelolaan yang efektif terhadap sumberdaya alam lokal milik bersama (common property), di antaranya: (1) Batas wilayah kelola - tata batas wilayah kelola masyarakat, hak-hak yang

diakui, dan mekanisme pembagian hasil hutan dirumuskan dengan jelas serta disepakati bersama.

(2) Mekanisme pemanfaatan sumberdaya hutan yang spesifik dan sesuai dengan kondisi lokal - masyarakat melalui kelembagaannya mampu secara

mandiri memanfaatkan, memelihara, melindungi, dan memulihkan

sumberdaya alam setempat.

(39)

(4) Dimilikinya mekanisme pemantauan sumberdaya alam - secara informal masyarakat adat telah memiliki kemampuan memantau sumberdaya alam yang ada di wilayah kelolanya.

(5) Penyelesaian konflik - masyarakat adat mempunyai cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik, baik internal maupun eksternal.

(6) Penerapan sanksi spesifik yang mengikat - masyarakat Toro memiliki bentuk dan nilai sanksi atas pelanggaran ketentuan-ketentuan, yang ditetapkan menurut hukum adat dalam musyawarah lembaga adat.

(7) Berbagai bentuk masukan - masyarakat setempat memiliki kekuatan yang dapat digunakan dalam mengelola sumberdaya hutan, seperti: tenaga kerja, teknologi, informasi, dan modal sosial.

(8) Dimilikinya komitmen terhadap kelestarian SDA - masyarakat setempat menghargai nilai konservasi hutan dan berusaha mempertahankan kualitas sumberdaya hutan.

Secara skematis kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 2.

Perubahan Lingkungan Revitalisasi Kelembagaan

Explanandum Explanant

-

Norma I

-

Struktur I

-

Norma II

-

Struktur II

--

IInntteerrvveennssiippaassaarrII

--

IInntteerrvveennssiippoolliittiikkII

-

Intervensi pasar II

-

Intervensi politik II

- Apakah kelembagaan yang direvitalisasi lebih kuat atau lebih lemah

- Bagaimana implikasi terhadap Kelestarian SDH dan

(40)

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif6, menggunakan metodologi studi kasus. Secara umum, studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar-variabel, serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu, studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian

yang lebih besar dan mendalam, dalam rangka pengembangan ilmu (Yin 1997; Azis 2003).

Black dan Champion (1992) menyebutkan beberapa keunggulan spesifik studi kasus, di antaranya: (1) bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan; (2) keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki; (3) dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial; (4) studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori. Disamping keunggulan, juga terdapat sejumlah kelemahan: pertama, studi kasus kurang memberikan dasar yang kuat terhadap suatu generalisasi ilmiah; Kedua, ada kecenderungan studi kasus kurang mampu mengendalikan bias subjektifitas peneliti.

Untuk mengatasi hal tersebut, empat hal penting yang perlu diperhatikan sebelum menetapkan penggunaan metode studi kasus: pertama, studi kasus harus signifikan. Artinya, kasus yang diangkat mengisyaratkan sebuah keunikan dan betul-betul khas, serta menyangkut kepentingan publik atau masyarakat umum. Kedua, studi kasus harus lengkap. Kelengkapan ini dicirikan oleh tiga hal: (1) kasus yang diteliti memiliki batas-batas yang jelas (ada perbedaan yang tegas antara fenomena dengan konteksnya); (2) tersedianya bukti-bukti relevan yang meyakinkan; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan kondisi buatan tertentu. Ketiga, studi kasus mempertimbangkan alternatif perspektif. Keempat, studi kasus harus menampilkan bukti yang memadai dan secara bijak mendukung atas kasus yang diteliti (Yin 1997; Bungin 2003).

6

(41)

Pendekatan studi kasus yang digunakan tidaklah kaku sifatnya, dan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan perkembangan fakta empiris yang tengah dicermati. Hal ini tidak berarti terjadinya inkonsistensi, melainkan terhadap fenomena sosial yang menjadi unit analisis, lebih dikedepankan dan diutamakan aspek emik daripada etik-nya. Hal ini menyangkut prinsip dalam penelitian kualitatif. Sebab, fenomena dan praktek-praktek sosial, sebagai sasaran ”buruan” penelitian kualitatif tidak bersifat mekanistik, melainkan penuh dinamika dan keunikan, dan karenanya tidak bisa diciptakan dalam otak dan menurut kehendak peneliti semata. (Bungin 2003; Vayda 1996). Transisi -transisi antara penomena dan pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.

Metode Penelitian

Lokasi dan waktu penelitian

Penetapan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh tim STORMA, maupun peneliti-peneliti perorangan, serta diskusi dengan staf Balai Taman Nasional Lore Lindu. Melalui hasil penelusuran awal ditetapkan secara purposive Desa Toro sebagai lokasi penelitian. Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan Desa Toro sebagai lokasi penelitian, di antaranya: (1) Sebagian besar wilayah

Gambar 3 Transisi-transisi antara fenomena dan pengamatan yang berbeda. I: Informan, R: peneliti, P: fenomena,

PI: fenomena yang diinterpretasikan oleh I, PR(I) : PI

yang diinterpretasikan oleh R. (diadaptasi dari Gooner 2001).

(42)

Toro (80%) berada di dalam kawasan TNLL; (2) Desa ini adalah satu-satunya desa di sekitar TNLL yang telah merevitalisasi kelembagaan adat dalam mengatur pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan; (3) Data-data penunjang penelitian ini relatif tersedia, sehingga dapat mendukung jalannya penelitian.

Selain itu, beberapa pertimbangan penting lainnya adalah: pertama, desa ini merupakan salah satu site utama penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian asing seperti STORMA dan TNC, serta LSM-LSM lokal maupun nasional lainnya. Dengan demikian, sedikit—banyaknya keberadaan mereka memberikan pengaruh terhadap eksistensi masyarakat di Toro. Kedua, dinamika sosial politik di Toro berlangsung cepat, yang ditandai oleh terjadinya beberapa

perubahan sistem kelembagaan dalam waktu yang relatif singkat (Fremerey 2002; Shohibuddin 2003; Bukard 2004). Penelitian berlangsung

selama 10 bulan, yang dimulai pada awal bulan Mei 2005 dan diselesaikan pada bulan Maret 2006.

Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan terdiri atas: (a) wawancara individual (individual interview); (b) pengamatan terlibat (participant observation); dan (c) diskusi kelompok terfokus (focused group discussion).

Wawancara Individual (individual interview)

Metode ini dilakukan dengan wawancara indept interview dan wawancara bertipe open-ended, menggunakan pedoman wawancara dan kuesioner. Indept interview digunakan untuk mengumpulkan data-data menyangkut perubahan lingkungan yang terjadi. Selain itu, digunakan pula dalam penelusuran sejarah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dalam rentang waktu tertentu (Vayda 1996). Opini masyarakat mengenai performansi kelembagaan adat yang direvitalisasi dikumpulkan. Sementara itu, wawancara open-ended digunakan untuk mengumpulkan data mengenai performansi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat Toro, yang didasarkan pada kriteria Ostrom (Ostrom 1994) dan Kriteria dan Indikator (K&I) LEI (LEI 2004).

(43)

informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada, dan c) menghentikan pemilihan responden lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi. Dalam menempuh tiga tahapan tersebut digunakan metode

snowball sampling.

Dalam pemilihan informan kunci awal digunakan empat kriteria, sebagai berikut: (Santo 2005).

1) Subjek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas revitalisasi kelembagaan di Toro, serta menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatannya yang cukup lama dengan kegiatan yang bersangkutan. Hal ini ditandai oleh kemampuannya dalam memberikan informasi (hapal “di luar kepala”) tentang sesuatu yang dtanyakan.

2) Subyek masih terlibat secara penuh/aktif pada kegiatan revitalisasi yang menjadi perhatian peneliti.

3) Subjek yang mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan untuk diwawancarai.

4) Subjek yang dalam memberikam informasi tidak cenderung diolah atau dipersiapkan terlebih dahulu. Mereka ini tergolong “lugu” (apa adanya) dalam memberikan informasi, sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi yang lebih faktual.

Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, selain menggunakan metode wawancara dilakukan pula studi pustaka, terutama terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya.

Pengamatan Terlibat (participant observation)

(44)

Dalam metode ini ditetapkan dua orang responden kunci (key informan), yang merupakan sumber informasi utama dan juga sebagai mitra yang membantu peneliti berinteraksi dengan masyarakat Toro. Responden pertama adalah salah seorang tokoh masyarakat adat Toro, dan responden kedua adalah tokoh pemuda Toro, yang juga aktif dalam organisasi pemuda adat di Toro. Melalui reponden inti, peneliti ikut menjalani aktifitas sehari-hari masyarakat desa, sehingga peneliti dapat diterima di komunitas tersebut.

Diskusi kelompok terfokus (focused group discussion)

Metode ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu “temuan” menurut pemahaman sebuah kelompok, berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada permasalahan tertentu. Penggunaan PGD mengacu pada Bugin (2003) di antaranya: (a) penetapan tujuan, di mana tujuan tersebut harus diketahui oleh peserta FGD melalui pemberitahuan sebelum dilaksanakan FGD, meliputi topik-topik penting yang akan diangkat, tujuan-tujuan umum FGD, serta peserta yang akan dilibatkan; (b) FGD tidak bisa dilepas dari interview pribadi (individual interviewing), artinya pada proses pelaksanaan FGD, proses interview pribadi menjadi teknik-teknik penting yang digunakan untuk mengungkapkan persoalan sebenarnya; (c) hasil FGD akan lebih bermakna, apabila penggunaannya dikombinasikan dengan metode observasi partisipasi. Mengkombinasikan kedua metode ini bermanfaat untuk mengulas fokus masalah secara lebih efisien.

Penentuan siapa yang terlibat dalam FGD didasarkan pada kriteria (a) pengetahuannya terhadap kasus yang akan didiskusikan; (b) pengalaman

(45)

Metode Analisis

Analisis Sejarah (historical analysis)

Metode ini digunakan untuk menganalisis perubahan lingkungan yang terjadi di Toro akibat tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik yang terjadi di Toro dalam rentang waktu tertentu. Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebelum dan sesudah dilakukannya revitalisasi kelembagaan adat di Toro.

Analisis Hubungan Sebab-Akibat (causal relation analysis)

Analisis ini digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena dengan menetapkan serangkaian keterkaitan timbal balik mengenai fenomena tersebut (Gambar 4). Kaitan timbal balik ini dijelaskan melalui beberapa proposisi yang signifikan secara teoritis. Penjelasan dilakukan berdasarkan penetapan serangkaian keterkaitan timbal balik (causality) dari hasil wawancara individual, pengamatan terlibat, dan kegiatan FGD, terhadap proposisi awal yang telah ditetapkan sebelumnya. Analisis ini digunakan untuk mengungkap pertanyaan: ‘mengapa revitalisasi kelembagaan dijadikan pilihan masyarakat Toro dalam merespon perubahan lingkungan’; bagaimana wujud revitalisasi yang dilakukan terhadap kelembagaan di Toro.

Gambar 4 Bagan alir tahapan metode analisis hubungan sebab-kibat. Pernyataan

teoritis (proposisi)

Konfirmasi

Relevan ?

Temuan-temuan lapangan

Tidak

Rumuskan kembali

ya

Gambar

Gambar  1  Struktur prinsip dan kriteria kelestarian hutan (LEI 2004).
Gambar 2   Bagan alir kerangka pikir penelitian.
Gambar 3  Transisi-transisi antara fenomena dan pengamatan I:R:P
Gambar 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada materi sumber daya alam, siswa dapat diajak untuk keluar kelas dan mengobservasi sumber daya alam yang ada di lingkungan sekolah yang

Pengaruh Penerapan Metode Mind Map Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Siswa Kelas VIII di SMP YANURI Tegal Alur Kalideres Jakarta Barat.. Tujuan penelitian

Peserta didik dinyatakan lulus dari Satuan Pendidikan setelah memenuhi kriteria : a.. menyelesaikan seluruh program

Pengaruh Aplikasi Media Komputer Coreldraw Terhadap Peningkatan Belajar Menggambar Tabung Untuk Anak Tunarungu Kelas X SMALB.. Universitas Pendidikan Indonesia |

From the classroom observation, it can be concluded that the active teachers’ use of English gave most of the students positive influence on their activeness in the class, strong

Demikian pengumuman penyedia ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih. Pejabat

Kepada para peserta lelang yang berkeberatan atas penetapan pemenang Pelelangan Umum tersebut di atas dapat mengajukan sanggahan kepada Panitia Pengadaan Barang

This conference, which is organized by the Faculty of Science and Mathematics, Satya Wacana Christian University Salatiga, is held at Laras Asri Resort and