• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam Draft Perdes Desa Toro, istilah LMA didefinisikan sebagai lembaga adat yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat hukum adat di Toro, dan berakar pada sejarah asal- usul dan identitas sosial budayanya. Namun hingga penelitian ini selesai dilakukan masih diperdebatkan terkait penggunaan istilah LMA.

Struktur dan hubungan kerja antar lembaga

Komponen kelembagaan di Toro terdiri atas pemerintahan ngata dan

lembaga kemasyarakatan. Lembaga Pemerintahan ngata Toro terdiri atas: (a) Lembaga Pemerintah ngata dan (b) Lembaga Perwakilan Ngata (LPN).

Sedangkan lembaga kemasyarakatan di Toro terdiri atas (a) Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan (b) Organisasi Perempuan Ngata Toro (OPANT).

Dalam Perdes secara jelas diatur pula fungsi dan peran tiap-tiap lembaga beserta wewenang yang dimiliki. Pemerintah desa memiliki wewenang dalam menjalankan fungsi pemerintahan di tingkat desa. Selain menjalankan fungsi pemerintahan, pemerintah desa bersama dengan LPN menyusun, membahas, dan menetapkan sejumlah peraturan desa serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Selain dengan LPN, pemerintah bersama-sama dengan LMA mengeluarkan izin serta mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah adat Toro. LPN sebagai lembaga legislatif desa juga memiliki wewenang dan tugas dalam menyelenggarakan pemilihan kepala desa, dengan membentuk panitia pemilihan serta mengusulkan pelantikan dan pemberhentian kepala desa kepada bupati. Fungsi utama dan penting dari lembaga ini adalah dalam hal pelaksanakan pengawasan terhadap implementasi peraturan desa dan anggaran pendapatan dan belanja desa.

Sementara itu, LMA sebagai lembaga kemasyarakatan desa merupakan mitra pemerintahan desa dalam mendorong kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan yang berpedoman pada hukum adat. Olehnya, wewenang yang dimiliki oleh LMA di antaranya: (a) mewakili masyarakat adat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat adat; (b) bersama dengan pemerintah desa memberikan izin dan mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hukum adat Toro yang telah dipetakan secara partisipatif; (c) mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat; (d) membuat aturan dan sanksi adat mengenai hubungan antar manusia (hintuwu) dan interaksi manusia-alam (katuwua) yang dicakup dalam pengaturan hukum adat, serta (e) menyelenggarakan peradilan adat untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran adat ataupun sengketa antar warga masyarakat. Secara skematis, disajikan pada Gambar 28.

Keterangan

Dengan demikian, fungsi utama LMA di Toro adalah memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat serta kebiasaan hidup yang telah berlangsung turun-temurun untuk menjaga tata harmoni sosial, memperkaya identitas budaya, dan menjamin stabilitas ekologi, serta melakukan kerja sama dengan desa-desa di sekitar (tongki ngata) Toro dalam kerangka pelaksanaan wewenang dan tugasnya.

Dengan jelasnya struktur dan hubungan kerja antar lembaga, maka semakin jelas pulalah sistem kelembagaan di Toro, utamanya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku oportunistik yang dapat merugikan ekosistem sumberdaya hutan (la. Kasper el al. 1996 dan Basturo 2006).

Ketentuan pengelolaan sumberdaya alam

Dalam ketentuan pengelolaan sumberdaya alam di Toro secara eksplisit diatur prosedur pembukaan lahan, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, bahan obat-obatan tradisional, hingga pertambangan tradisional, termasuk prihal perizinan dan biaya yang dibebankan kepada pemohon. Dalam prosedur pembukaan lahan, aturan adat menetapkan bahwa kategori lahan yang dapat dibuka adalah Oma, utamanya Oma Ngura dan Oma Ntua. Sementara itu, kategori lahan lainnya terutama pangale tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun.

LMA : Lembaga Masyarakat Adat LPN : Lembaga Perwakian Ngata

OPANT : Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro Garis mitra kerja pengabdian

Garis pengawasan Garis perwakilan aspirasi

LPN L M A Masyarakat Adat Ngata Toro Pemerintah Ngata

Gambar 28 Struktur Hubungan antar Lembaga Hasil Musyawarah Tahun 2005.

Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan, dan luas lahan yang dibutuhkan. Pemberian izin akan diputuskan setelah sebelumya dilakukan musyawarah antara LMA dan pemerintah desa. Dasar yang digunakan dalam memutuskan pemberian izin tersebut adalah alasan yang dikemukakan si pemohon, lokasi dan luas lahan, serta prinsip- prinsip kearifan tradisional. Namun demikian, salah seorang informan kunci (AL) menjelaskan bahwa di antara empat persyaratan tersebut, prasyarat utama adalah mampu-tidaknya yang bersangkutan memenuhi prinsip-prinsip kearifan tradisional, di antaranya: kecermatannya dalam memperhatikan musim, tidak melakukan pembakaran dalam membuka lahan, memperhatikan kemiringan lahan, serta tidak mengganggu mata air yang berada di dekatnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan resiko kerusakan yang akan ditimbulkan.

Izin pengelolaan dikeluarkan oleh pemerintah desa. Dalam hal mana izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat “mohamele manu bula21” yang dilakukan sesuai kepercayaan yang dianut pemohon. Batasan-batasan pembagian lahan diatur menurut asal-usul historis tanah, kebutuhan lahan dan kemampuan mengolah dengan tetap memperhatikan rasa keadilan. Pengelolaan lahan dilakukan secara berkelompok atau gotong-royong (mome ala pale) dengan mengedepankan orientasi sosial dan bukan semata- mata ekonomis.

Dalam ketentuan izin pengambilan kayu dijelaskan bahwa izin dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik, seperti: bangunan sosial, ramuan rumah, perabot dapur, dan alat-alat pertanian. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk kebutuhan bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal.

Prosedur pengajuan izin menyerupai prosedur pembukaan lahan. Hanya saja, dalam izin pemanfaatan kayu, pemohon harus menyebutkan jenis kayu, lokasi penebangan, dan kubikasi kayu yang dibutuhkan. Namun demikian, dalam prosedur perizinan tidak diatur atau ditentukan batas kubikasi kayu yang diperbolehkan untuk ditebang. Izin penebangan dikeluarkan oleh pemerintah desa, dan si pemohon terlebih dahulu harus melakukan upacara adat “mowurera