• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberi panjar adalah pedagang pengumpul di Desa Toro, yang juga menerima pesanan dari eksportir di Palu.

Schwarze (2005), menjelaskan bahwa hasil yang diperoleh dari sektor pertanian pasca kesepakatan (2000-2004), utamanya untuk komoditas kakao, kopi, dan vanila telah memberikan kontribusi sebesar 44% terhadap total pendapatan rumahtangga di Toro. Demikian halnya terhadap peluang untuk memanfaatkan hasil hutan kayu, dirasakan sangat berarti oleh masyarakat, utamanya bagi mereka yang sedang mengembangkan usaha meubel berskala lokal.

Seperti dijelaskan terdahulu, bahwa bahan baku kayu yang digunakan oleh pengrajin meubel di Toro umumnya diperoleh dengan cara memesan pada seseorang yang berprofesi penebang (chainsaw man). Untuk setiap 1 m3 kayu, misanya untuk jenis tahiti dan cempaka, si pengrajin rata-rata membayar Rp 300.000.00 kepada si penebang (dalam bentuk papan atau balok sesuai pesanan). Harga tersebut tidak termasuk biaya angkut dari hutan ke tempat si pengrajin. Untuk jasa tersebut, biasanya dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 250.000.00 – Rp 300.000.00. Selain biaya tersebut, pemilik kayu berkewajiban pula untuk membayar kas desa sebesar Rp 25.000.00 untuk tiap 1 m3. Dengan demikian, setiap 1 m3 kayu di Toro memiliki harga berkisar Rp 550.000.00–Rp 600.000.00.

Meskipun demikian, nilai jual kembali dari produk yang telah dihasilkan dihasilkan, seperti: pintu, kusen, dan meubel jauh lebih menguntungkan. Sebagai ilustrasi, dalam 1 m3 kayu hasil tebangan dapat dibuat menjadi 30–50 lembar papan, tergantung ukuran dan ketebalannya. Dari papan-papan tersebut, bila ingin dibuat menjadi pintu sedikitnya dibutuhkan dua lembar papan. Bila telah menjadi pintu oleh si pengrajin dihargai Rp 200.000.00. Jika diasumsikan bahwa, dalam 1 m3 kayu dapat dibuat menjadi 20 buah pintu, maka pendapatan kotor yang dapat diterima pengrajin tersebut adalah sebesar Rp 4.000.000.00, atau berkisar Rp 2.500.000.00 (setelah dikurangi dengan komponen biaya).

Hal tersebut di atas membuktikan bahwa lembaga adat dan pemerintah desa Toro telah menjalankan salah satu fungsinya dalam mendukung dan menjaga keutuhan masyarakat, melalui jaminan kepastian usaha dan keberlanjutan sumber-sumber ekonomi komunitas. Indikator ini memiliki kesepadanan dengan kriteria “emik”, yaitu “adanya keterjaminan terhadap sumber-sumber ekonomi masyarakat melalui pemberian kesempatan dalam memanfaatkan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro”.

Peningkatan pendapatan masyarakat dapat diindikasikan melalui kemampuan masyarakat Toro dalam menginstalasi jaringan listrik; di mana lebih

dari setengah (60%) rumah tangga di Toro telah memasangnya secara individu, dan sekitar 20% yang mencantol pada keluarga lain. Selain itu, hal lain yang mencirikan adalah peningkatan daya beli masyarakat Toro terhadap kebutuhan sekunder, seperti: membeli pesawat televisi, radio, parabola, dan kendaraan bermotor (Tabel 27). Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat seiring digulirkannya revitalisasi kelembagaan adat, yang secara langsung telah memberikan proporsi berimbang dalam memanfaatkan sumberdaya lahan dan hutan di Toro.

Tabel 27 Data pemilikan asset ekonomi keluarga di Toro tahun 2004

No Jenis asset Jumlah

(Jiwa)

%

1. Sambungan listrik sendiri 2. Pesawat televisi 3. Pesawat radio 4. Parabola 5. VCD 6. Motor 317 72 375 43 116 70 61 14 72 8 22 13 Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan total rumahtangga di Toro (253 kk)

Meskipun saat ini motif ekonomi telah mewarnai sistem pemanfaatan lahan di Toro, namun prosesi adat, sebagai salah satu tahapan dalam aktivitas pemanfaatan lahan hutan masih tetap dijumpai. Namun, kini wujudnya lebih kepada pendekatan yang sifatnya keagamaan. Hal ini merupakan satu indikasi masih bertahannya sistem kearifan tradisional Toro dalam aktifitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan, yang mampu mengintegrasikan aktivitas sosial budaya, religius, dan non-ekonomis lainnya secara sinergis.

Untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro, secara tegas diatur tentang pembatasan kategori wilayah adat yang dapat dan tidak dapat dimanfaatkan kayunya. Tipe lahan yang diperkenankan untuk dimanfaatkan kayunya adalah oma (oma ntua dan oma ngura) dan pahawa pongko. Sementara itu, untuk tipe pangale kini tidak lagi diperkenankan untuk dimanfaatkan kayunya. Hal tersebut dimaksudkan agar sumberdaya hutan dan lahan yang dipertahankan, baik sebagai hutan yang dilindungi maupun sebagai hutan cadangan adat dapat terpelihara dengan baik. Upaya lain yang ditempuh oleh pemerintah desa dan lembaga adat di Toro adalah melalui himbauan

kepada warga masyarakat untuk tidak menjual lahan pada orang di luar Toro. Alasan yang mendasari himbauan tersebut adalah untuk menjaga tertib sosial, terutama yang berkaitan dengan kesinambungan tradisi. Alasan yang mendasari adalah “jika Toro secara turun-temurun dihuni, dan lahan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk lokal, maka ”sistem pengaturan sosial” yang diperankan oleh lembaga adat akan berjalan dengan baik. Semakin homogen suatu masyarakat, akan semakin mudah memelihara kesinambungan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat, yang tentunya menjadi insentif bagi kelestarian hutan di Toro” (bdk. Li 2002; Leach et al 1997).

Konsepsi pemikiran tokoh masyarakat di Toro, sejalan dengan studi yang pernah dilakukan oleh Universitas Idaho di Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa praktek-praktek yang dilakukan oleh penduduk asli di hutan lindung Bosawas, Nikaragua, secara drastis mampu mengurangi pembukaan hutan menjadi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang bukan penduduk asli. Dalam tahun 2002, rata-rata setiap petani yang bukan penduduk asli membuka hutan 17 kali lebih luas dibandingkan dengan penduduk asli. Para petani pendatang membuka hutan lebih luas karena pada saat mereka selesai berladang, mereka membiarkan lahannya ditumbuhi rumput. Sebaliknya, suku Mayangnas dan Miskitus (suku asli) tidak pernah membiarkan lahannya tidur. Mereka terus menerus menanami ladangnya dengan tanaman pertanian. Para petani pendatang menggunakan sebagian rumput yang tumbuh untuk makanan ternaknya. Sebagian dari mereka dengan mudah mengklaim lahan tersebut sebagai tanah peninggalan leluhur mereka. Para penduduk asli sebaliknya menjaga ternak mereka di dalam perkampungannya, dan mengelola lahan garapannya secara berkelompok (Hecht et al. 2006).

Studi tersebut di atas sekaligus menegaskan bahwa tindakan protektif yang dilakukan oleh lembaga adat Toro, dalam mencegah masuknya pendatang untuk mengelola lahan dan hutan di Toro cukup rasional. Sekaligus membuktikan komitment lembaga adat mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan untuk generasi mendatang.

Pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi

Kriteria ini digunakan dalam menilai bagaimana pola hubungan sosial yang terbangun dalam pengelolaan sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya kejelasan pembagian wewenang dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Toro.

Kewenangan yang jelas akan menunjukkan adanya kejelasan pertanggung- jawaban atas kinerja, maupun atas dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan dari segala aktifitas pengelolaan sumberdaya hutan. Pemberian skor terhadap kriteria tersebut disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Skor kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara dalam

proses produksi

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan merupakan hubungan sosial yang relatif sejajar

1.0 5.0 5.0

2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis

dalam kelembagaan pengelolaan SDH 1.0 4.0 4.0

Rerata nilai Skor 4.5

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 28 menunjukkan bahwa kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi masuk dalam kategori baik (skor= 4.5). Seperti dijelaskan sebelumnya, terdapat dua tipologi penguasaan lahan di wilayah kelola adat Toro yakni: (a) tipologi lahan yang dikuasai secara kolektif (nanu hangkani), seperti: wanangkiki, wana, pangale, dan pahawa pongko, dan (b) tipologi lahan yang kuasai secara individu (nanu handua), seperti oma dan

balingkea. Pengaturan pemanfaatan lahan-lahan tersebut merupakan wewenang lembaga adat dan pemerintah desa. Hal ini berarti bahwa, meskipun lahan yang akan dikelola oleh masyarakat masuk dalam tipologi lahan yang dapat dikuasai secara individu, namun bila ingin mengelolanya mereka tetap harus melalui proses perizinan kepada pemerintah desa dan lembaga adat.

Hal tersebut di atas dimaksudkan agar pemerintah desa dan lembaga adat dapat tetap memantau segala aktifitas pemanfaatan lahan dan hasil hutan di wilayah kelola adat Toro. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan agar bila terjadi konflik internal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan lahan dan hasil hutan pihak lembaga adat telah memiliki data konkrit terkait penguasaan dan pemanfaatan lahan di wilayah kelola adatnya, sehingga penyelesaian yang ditempuh oleh pihak lembaga adat diharapkan tidak merugikan salah satu pihak yang bertikai.

Dalam proses perizinan, masyarakat diminta untuk mengemukakan tujuan pemanfaatan lahan atau hasil hutan, dan letak lokasi lahan tersebut. Bila lokasi

terletak pada lahan yang dapat dikuasai secara individu, maka si pemohon berkewajiban menyertakan informasi luasan, sejarah kepemilikan, serta data atau informasi menyangkut pemilik lahan yang berbatasan langsung dengan lokasi yang akan diajukan untuk dikelola atau dimanfaatkan hasilnya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan munculnya tuntutan di kemudian hari terkait pemanfaatan lahan tersebut, dan aturan ini diberlakukan bagi setiap warga Toro, tanpa melihat asal-usul etnisnya. Dengan demikian, pola hubungan sosial yang terbangun di Toro, utamanya dalam memanfaatkan dan mengelola hutan merupakan hubungan sosial yang relatif sejajar.

Sebelum pemerintah desa mengeluarkan izin akan dilakukan konsultasi antara pemerintah desa dengan pihak lembaga adat, dalam hal ini pihak tondo ngata. Hal tersebut dilakukan karena tondo ngata selaku tenaga operasional lembaga adat dianggap mengetahui dan menguasai kondisi lokasi di wilayah hukum adat Toro. Keputusan yang akan diambil pihak pemerintah sangat bergantung pada hasil konsultasi tersebut. Namun demikian, di tingkat lapangan masih ditemukan bahwa proses perizinan ada kalanya diperoleh langsung dari pemerintah desa tanpa melalui proses konsultasi dengan lembaga adat, utamanya bagi mereka yang mengajukan izin pemanfaatan di lokasi nanu handua. Hal ini mengindikasikan bahwa pembagian tugas dan wewenang pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah desa dan pihak lembaga adat belum berjalan baik. Proses perizinan untuk memanfaatkan lahan dan sumberdaya hutan disajikan pada Gambar 37.

Pengajuan masyarakat Kepala desa Toro Lembaga Adat (Tondo ngata) Layak/ tidak

Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas

Kriteria ini digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya kompensasi yang diberikan oleh pihak lembaga adat dan pemerintah desa kepada masyarakat Toro, utamanya terhadap kerugian yang diakibatkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan; sejauhmana tingkat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, kesamaan hak yang dimiliki anggota komunitas, dan ada-tidaknya diskriminasi etnis dan agama. Selain itu, kriteria ini digunakan pula untuk mengetahui mekanisme pertanggung-jawaban lembaga adat kepada masyarakat, terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Hasil skor terhadap kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas disajikan pada Tabel 29.

Tabel 29 Skor kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Ada kompensasi atas kerugian yang diderita komunitas secara keseluruhan akibat pengelolaan hutan oleh kelompok dan disepakati seluruh warga komunitas

1.0 3.0 3.0

2. Seluruh warga komunitas dan publik terbuka untuk terlibat dalam penyelenggaraan pengelolaan SDH

1.0 3.0 3.0

3. Ada mekanisme pertanggungjawaban publik

dari pengelola terhadap komunitas 1.0 5.0 5.0

Rerata nilai Skor 3.6

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 29 menunjukkan bahwa secara keseluruhan penilaian terhadap kriteria keadilan manfaat masuk dalam kategori sedang (3.60). Hal ini didasari oleh fakta bahwa mekanisme konpensasi terhadap dampak pemanfaatan hutan belum diatur secara khusus di Toro. Berdasarkan penjelasan informan kunci, dan dipadu dengan hasil focus group discussion, diketahui bahwa makna kompensasi di Toro adalah ”pemberian atau perolehan kesempatan yang sama”, terutama bagi setiap warga Toro dalam memanfaatkan sumberdaya hutan di wilayah kelola adat. Di sini nampak bahwa kompensasi hanya diberlakukan khusus bagi masyarakat Toro. Hal ini menunjukkan tingkat pemahaman, dan tingkat pengakuan terhadap kepentingan masyarakat yang berada di luar Toro belum memadai. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tingkat pemahaman masyarakat Toro terhadap kelestariaan hutan masih “bersifat lokal”. Artinya,

dalam konteks pemikiran masyarakat tentang kelestarian hutan masih sebatas kepentingan warga masyarakat Toro.

Sementara itu, mekanisme pertangung-jawaban publik dari pihak lembaga adat dan pemerintah desa kepada masyarakat telah berjalan di Toro. Pemerintah desa dan lembaga adat menginformasikan prihal kondisi sumberdaya hutan di Toro saat ini melalui forum non-formal, seperti saat ibadah Shalat Jum’at, maupun kebaktian di gereja-gereja yang ada di Toro. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat didasarkan pada informasi yang diperoleh dari patroli tondo ngata.

Kelestarian Fungsi Produksi Kelestarian Sumberdaya

Dalam mengukur kriteria kelestarian sumberdaya hutan digunakan beberapa indikator di antaranya: kejelasan status dan batas lahan; perubahan luas lahan yang diakibatkan gangguan alam maupun manusia; manajemen pemeliharaan hutan yang dilakukan; dan penggunaan sistem silvikultur yang sesuai daya dukung hutan. Hasil skor terhadap kriteria kelestarian sumberdaya disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Skor kriteria kelestarian sumberdaya

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Status dan batas lahan jelas 1.0 5.0 5.0 2. Perubahan luas lahan yang ditumbuhi tanaman,

terutama yang diakibatkan gangguan alam maupun manusia

1.0 4.0 4.0

3. Manajemen pemeliharaan hutan 1.0 3.0 3.0 4. Teknik silvikultur sesuai daya dukung hutan 1.0 4.0 4.0

Rerata nilai Skor 4.00

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 30 menunjukkan bahwa penilaian terhadap kriteria kelestarian sumberdaya termasuk dalam kategori baik (4.00). Pada uraian terdahulu dijelasan, bahwa sejak digagasnya revitalisasi di Toro, status dan batas kawasan telah terdefenisikan secara jelas, dan dikonkritkan ke dalam peta partisipatif komunitas adat Toro. Peta ini pula yang dijadikan dasar untuk memperoleh pengakuan pihak BTNLL terhadap wilayah kelola adat mereka.

Pengakuan yang diberikan oleh pihak BTNLL, melalui surat pernyataan no. 651/VI.BTNLL.1/2000, tentang pengakuan terhadap eksistensi lembaga adat

Toro dalam mengelola sumberdaya hutan, semakin memperkuat status wilayah kelola adat yang selama ini diklaim sebagai bagian dari TNLL, seluas ± 18.360 ha. Dengan demikian, total luas defenitif wilayah kelola adat Toro adalah seluas 22.950 ha sesuai peta partisipatifnya.

Lahan-lahan yang dikuasai oleh masyarakat di Toro pada umumnya telah mendapatkan pengakuan dari lembaga adat. Hal ini secara jelas diatur dalam peraturan tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSDA) Tahun 2002, Bab I, point 3 (Lampiran 5), dan Perdes Toro No.1 Tahun 2004, Bab V pasal 16-18, tentang kedudukan, wewenang, dan tugas pemerintah desa, dan pasal 21-23 tentang kedudukan, wewenang, dan tugas LMA (lampiran 4), yang intinya bahwa, bagi setiap warga Toro yang ingin membuka lahan harus mengajukan ijin kepada pihak lembaga adat dan pemerintah desa. Tanpa melalui mekanisme tersebut, segala aktifitas pembukaan lahan yang dilakukan oleh warga Toro dianggap illegal.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa mekanisme perizinan tersebut di atas telah berjalan di Toro. Aturan yang diberlakukan tersebut telah mampu meredam laju konversi lahan hutan dan aktifitas pemanfaatan sumberdaya hutan secara berlebihan. Menurut masyarakat, bila dibandingkan sebelum digulirkannya revitalisasi, laju konversi lahan hutan di Toro saat ini lebih terkendali. Dengan demikian akan berdampak positif terhadap kelestarian sumberdaya hutan di wilayah adat Toro.

Sementara itu, prosedur pemeliharaan hutan yang diterapkan di Toro memiliki perbedaan dengan prosedur pemeliharaan hutan yang sering diterapkan pada pengelolaan hutan yang berskala komersil (sesuai arahan kriteria LEI). Mekanisme pemeliharaan terhadap sumberdaya hutan di Toro terintegrasi dengan sistem pemanfaatan tradisional. Artinya, dalam setiap aktifitas pemanfaatan yang dilakukan masyarakat, baik itu pemanfaatan lahan maupun hasil hutan diwajibkan kepadanya untuk melakukan pemeliharaan. Komitmen tersebut disepakati sejak proses awal pengajuan izin pemanfaatan lahan dan hasil hutan di Toro. suatu bentuk kontrak sosial yang terjalin antara masyarakat sebagai pihak pemanfaat hutan dengan lembaga adat sebagai pihak pengelola hutan.

Hal tersebut di atas didukung pula oleh teknik “silvikultur tradisional,”27 di Toro, yang mencakup upaya regenerasi, pemeliharaan, dan teknik pemungutan hasil. Kegiatan regenerasi dan pemungutan hasil merupakan dua kegiatan yang merupakan satu kesatuan tidak terpisah. Dalam ilmu silvikultur, pemungutan hasil adalah upaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terjadinya proses regenerasi atau pertumbuhan dari anakan dengan kualiatas baik (Soekotjo 2006). Di Toro, meskipun masyarakat tidak melakukan penanaman kembali pada lahan-lahan yang telah di tebang kayunya, namun mereka sangat memperhatikan dan menjaga kondisi anakan alam sebelum dilakukan kegiatan penebangan. Bermodalkan keyakinan dan sejumlah pengalaman yang diperoleh dari pendahulu mereka, diyakini bahwa anakan-anakan tersebut akan tumbuh dengan baik dan siap menggantikan pohon yang telah di tebang, asalkan dalam proses penebangan anakan-anakan tersebut tidak terganggu.

Beberapa informan di Toro tidak satupun yang mampu memberikan penjelasan secara rinci prihal kriteria yang digunakan untuk menentukan kualitas anakan alam, yang terjamin pertumbuhannya dan berapa jumlah minimal yang seharusnya tersedia di lapangan, sehingga lokasi tersebut dianggap layak untuk dipanen kayunya. Hal ini penting diketahui, sebab jaminan terhadap regenerasi pohon yang akan ditebang sangat bergantung pada anakan yang memiliki jaminan pertumbuhan yang baik, meskipun lokasi tersebut tidak diperuntukan secara khusus sebagai hutan produksi.

Namun demikian, kelembagaan adat Toro yang direvitalisasi dapat dipandang sebagai suatu upaya penataan hutan yang dilakukan oleh pemerintah desa dan lembaga adat di Toro dalam rangka mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan di wilayah hukum adatnya.

Kelestarian Hasil

Tingkat kelestarian hasil dari suatu unit pengelolaan hutan biasanya dicirikan oleh dilakukannya penataan areal, adanya kepastian potensi hutan yang akan di produksi; dilakukan pengaturan terhadap hasil hutan serta; ada upaya efisiensi dalam pemanfaatannya. Secara lebih rinci kriteria dan indikator LEI menambahkan beberapa komponen yang perlu diukur terkait dengan penilaian terhadap kelestarian hasil, di antaranya: keabsahan sistem lacak balak; dan