• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Memberikan kemudahan akses terhadap lahan dan hutan

7. Memberikan rasa aman 8. Penerapan sanksi bersifat adil 9. Kemudahan memperoleh lahan 10. Izin memanfaatkan kayu lebih mudah 11. Mampu membatasi pendatang

25 5 7 28 22 27 5 15 5 3 5 83.3 16.7 23.3 93.3 73.3 90.0 16.7 50.0 16.7 10.0 16.7 Sumber: Data primer setelah diolah 2006.

Tabel 23 menunjukkan bahwa dari 11 kriteria yang di sebutkan oleh responden, diperoleh 5 kriteria masyarakat yang memiliki nilai modus di atas 50%. Dengan demikian kriteria tersebut dianggap sebagai kriteria umum yang dapat digunakan untuk menilai sikap responden terhadap kinerja kelembagaan adat yang baru. Kriteria tersebut di antaranya; (a) aturan main yang mudah diterapkan; (b) ada penegasan terhadap tata batas; (c) kejelasan status penguasaan lahan; (d) kemudahan akses terhadap sumberdaya lahan dan hutan; dan (e) penerapan sanksi yang bersifat adil.

Dengan menggunakan model sikap Fishbein (Santoso 2005), kriteria- kriteria tersebut diukur berdasarkan keyakinan (belief) responden terhadap sejumlah kriteria yang diajukan, dan didasarkan atas evaluasi (evaluation) responden terhadap kinerja kelembagaan adat Toro. Dalam pengukuran belief, pertanyaan yang diajukan tidak dikaitkan dengan kriteria kinerja kelembagaan Toro, namun kriteria penilaian kinerja kelembagaan secara umum. Sementara itu pengukuran evaluation didasarkan atas penilaian kinerja kelembagaan adat Toro oleh responden. Hasil perhitungan keakinan dan evaluasi responden terhdap kinerja kelembagaan adat Toro disajikan pada Tabel 24 dan Gambar 32.

Tabel 24 Penilaian sikap responden terhadap kinerja kelembagaan adat dalam

mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro

No Kriteria Rata-rata

Belief

Rata-rata

Evaluation 1. Mudah diterapkan oleh seluruh masyarakat

2. Memberikan penegasan terhadap tata batas kawasan 3. Kejelasan status penguasaan lahan

4. Memberikan kemudahan akses terhadap lahan dan hutan 5. Penerapan sanksi bersifat adil

4.5 4.4 4.3 4.2 4.3 3.6 4.5 3.8 4.1 4.2 Sumber: Data primer setelah diolah 2006.

Keterangan: - belief : 1 = sangat tidak penting; 2 = tidak penting; 3 = cukup penting; 4 = penting ; dan 5 = sangat penting

- evaluation: 1 = sangat tidak puas; 2 = tidak puas; 3 = netral; 4 = puas; dan 5 = sangat puas

Keterangan :

Gambar 32 Diagram perbandingan antara nilai rata-rata belief dan evaluation.

Tabel 24 dan Gambar 32 di atas menunjukkan, bahwa kriteria-kriteria umum masyarakat tersebut di atas, di antaranya aturan yang mudah diterapkan; penegasan tata batas; kejelasan status penguasaan lahan; kemudahan akses terhadap lahan dan sumberdaya hutan; serta penerapan sanksi yang adil, dinilai penting oleh seluruh responden dalam mengukur kinerja suatu kelembagaan. Menurut mereka, kriteria baik-buruk suatu aturan dicirikan oleh beberapa hal, di antaranya (a) tingkat kemudahan untuk diterapkan, yang dicirikan oleh penggunaan bahasa yang sederhana, tidak bertentangan dengan nilai, norma, dan adat istiadat, memiliki pedoman pelaksanaan yang jelas, serta disosialisasikan secara terus-menerus kepada masyarakat; (b) aturan tersebut harus mampu memberikan penegasan terhadap batas-batas kawasan, sehingga dapat meredam munculnya konflik dalam pemanfaatannya; (c) tata guna lahan diatur secara jelas sehingga penguasaannya tidak tumpang tindih; (d) akses masyarakat terhadap lahan dan hutan relatif lebih mudah, serta; (e) penerapan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan bersifat adil, dan tidak memandang asal etnis, agama, dan status sosial.

Sementara itu, evaluasi (evaluation) responden terhadap kinerja kelembagaan adat menunjukkan nilai yang bervariasi, utamanya terhadap kriteria kemudahan dalam penerapan aturan dan kejelasan status penguasaan lahan. Kedua kriteria tersebut diberi skor lebih rendah oleh responden.

Belief Evaluation Penilaian 4.4 4.3 4.2 4.3 3.6 4.5 3.8 4.1 4.2 4.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 1 2 3 4 5 Kriteria

Aturan yang ada, khususnya tentang pemanfaatan dan pengolahan sumberdaya lahan dan hutan, belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh masyarakat. Hal tersebut lebih disebabkan karena aturan-aturan yang belum tersosialisasi dengan baik di tingkat masyarakat. Bahkan, beberapa responden mengaku belum mengetahui tentang adanya aturan tersebut. Hal berbeda disampaikan oleh responden lainnya, di mana mereka mengaku telah mengetahui tentang adanya aturan pemanfaatan sumberdaya alam, namun aturan tersebut belum sepenuhnya berjalan. Dicontohkan bahwa dalam aturan dijelaskan ‘mekanisme perizinan pemanfaatan lahan harus diajukan kepada kepala desa melalui lembaga adat’.

Namun kenyataannya, beberapa dari masyarakat dapat pula mengajukan izin secara langsung kepada pemerintah desa tanpa melalui lembaga adat. Kasus lain dicontohkan perihal aturan pembukaan lahan, di mana bagi masyarakat yang akan membuka lahan disyaratkan untuk memperhatikan musim berdasarkan perhitungan bulan dan bintang. Faktanya, proses perizinan dapat dilakukan kapan saja. Hal ini mengidikasikan belum konsistennya penerapan peraturan pemanfaatan sumberdaya alam di Toro. Sungguhpun demikian, sebagian besar masyarakat memandang hal tersebut sebagai suatu hal yang wajar, sebagai suatu proses dinamika ke arah pembenahan kelembagaan adat di Toro.

Terkait dengan kejelasan aturan tentang status penguasaan lahan, terdapat beberapa hal yang masih menimbulkan interpretasi ganda masyarakat. Dalam aturan disebutkan bahwa ‘batasan-batasan pembagian lahan diatur menurut asal-usul historis tanah, kebutuhan lahan, dan kemampuan mengolah dengan tetap memperhatikan rasa keadilan’. Bagi sebagian masyarakat utamanya etnis asli asal-usul historis diterjemahkan sebagai warisan dari pendahulu mereka, sehingga mereka secara otomatis berhak terhadap lahan tersebut. Berbeda dengan sikap etnis pendatang, yang memandang aturan tersebut sebagai ‘pembatasan’ terhadap kesempatan mereka untuk membuka lahan, utamanya pada lahan oma dan pangale.

Sementara itu, responden lain justeru memandang aturan pemanfaatan sumberdaya alam yang telah dibuat justeru berupaya untuk memberikan kesempatan yang merata bagi masyarakat Toro dalam memanfaatkan sumberdaya lahan di wilayah kelola adat. Hal ini dibuktikan dengan penegasan yang terdapat dalam aturan tersebut untuk memperhatikan ‘rasa keadilan’.

Penegasan ini mengandung makna bahwa siapa saja, tanpa memandang asal- usul etnis dan agama, asalkan warga Toro maka dia memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan sumberdaya alam di Toro.

Meskipun demikian, secara keseluruhan sikap masyarakat yang diukur berdasarkan kriteria umum masyarakat menunjukkan sikap positip terhadap kinerja kelembagaan yang baru, utamanya dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam di Toro. Hal ini mulai dirasakan sejak dilakukannya revitalisasi, atau menurut versi mereka setelah adanya pengakuan dari pihak BTNLL terhadap wilayah hukum adat Toro. Hal positif yang dirasakan, antara lain meningkatnya fungsi dan peran lembaga adat dalam mengatur tata batas di wilayah hukum adat. Dahulu, sebelum digulirkannya revitalisasi, konflik masyarakat dengan pihak TNLL, atau desa-desa lain sering terjadi.

Kejelasan tata batas secara tidak langsung juga berpengaruh positif terhadap mekanisme pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro. Masyarakat merasa lebih mudah dalam memilah dan memilih bentuk pemanfaatan lahan yang sesuai dengan tipologi lahan di Toro. Selain itu, hal mendasar yang langsung dirasakan secara positif oleh masyarakat adalah adanya keberpihakan lembaga adat kepada upaya pengembangan ekonomi lokal, dengan kebijakan yang membatasi pemanfaatan sumberdaya hutan, utamanya kayu, hanya untuk masyarakat Toro. Salah satunya adalah adanya aturan yang secara tegas melarang penjualan kayu dalam bentuk log ke luar Toro, sehingga membatasi ruang gerak pengusaha-pengusaha luar maupun free rider lain yang ingin melakukan spekulasi di Toro. Sebaliknya, bagi usaha-usaha masyarakat berskala lokal, lembaga adat tetap memberikan izin untuk memanfaatkan kayu, tentunya melalui mekanisme dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan.

Bagi masyarakat, penetapan larangan bagi pihak luar untuk memanfaatkan kayu di Toro merupakan salah satu kebijakan strategis lembaga adat yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan adanya kebijakan tersebut, peluang pengembangan usaha meubel berskala lokal terbuka lebar, sehingga setiap warga Toro memiliki peluang yang sama untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Ringkasan

Semangat awal revitalisasi terhadap kelembagaan adat di Toro diawali oleh proses pendokumentasian terhadap sistem nilai, norma sosial, hukum adat, dan sejumlah pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, diikuti pula dengan pembuatan peta partisipatif. Melalui peta partisipatif tersebut mereka mengkomunikasikan hukum adat mereka prihal pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya membantu dalam menyelesaikan sengketa dengan pihak lain, memperoleh pengakuan atas wilayah adat, membantu menyusun rencana pengelolaan sumberdaya alam, serta membantu mewariskan kepada generasi yang akan datang tentang sejarah, tradisi,dan hukum adat di Toro. Melalui peta ini pula masyarakat Toro memberikan penegasan kembali prihal asal-usul hak terhadap wilayah hukum adat mereka, yang selama ini diklaim sebagai wilayah TNLL.

Pasca pengakuan dari pihak TNLL kepada masyarakat Toro, muncul berbagai kasus pemanfaatan hasil hutan kayu yang cenderung illegal. Hal ini disebabkan oleh “lemahnya” kinerja lembaga adat saat itu. Hal ini dicirikan oleh inkonsistensi penerapan sanksi adat, dan terkesan subjektif. Hal inilah yang memotivasi masyarakat Toro untuk segera melakukan revitalisasi terhadap kelembagaan adat. Hal utama yang dilakukan adalah pembenahan terhadap struktur dan hubungan kerja antar lembaga yang ada di Toro. Dengan jelasnya struktur dan hubungan kerja antar lembaga, maka semakin jelas pula sistem kelembagaan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku oportunistik yang dapat merugikan ekosistem sumberdaya alam d Toro (Kesper and Streit 1996)

Revitalisasi yang berlangsung di Toro tidak lepas dari peran kepemimpinan lokal. Peran kepala desa amat menentukan, utamanya dalam mengadaptasikan aspek-aspek tradisi dan kelembagan tradisional ke dalam kondisi saat ini. Para

totua ngata dan tokoh-tokoh pemuda yang juga berperan dalam proses penggalian aspek-aspek pengetahuan tradisional, utamanya terkait dengan pengetahuan ekologis pemanfaatan sumberdaya hutan. Demikian halnya dengan tokoh-tokoh perempuan berjuang dalam menggali kembali fungsi dan peran perempuan adat Toro (tina ngata).

Hal penting yang dihasilkan melalui proses revitalisasi kelembagaan adat adalah sejumlah aturan-aturan tertulis, yang juga memuat sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang bersifat spesifik, di mana bentuk dan nilai dari sanksi

atas pelanggaran ditetapkan menurut hukum adat dan melalui mekanisme musyawarah adat. Dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan, Toro memiliki mekanisme pengawasan yang telah ada jauh sebelum Lore Lindu ditetapkan sebagai taman nasional. Salah satu faktor yang turut mendukung keberhasilan dalam menjaga kelestarian hutan di wilayah hukum adat adalah tingginya kepedulian dan komitmen masyarakat dalam membantu tugas tondo ngata. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut merupakan cerminan bahwa kontrol sosial di Toro masih berjalan dengan baik.

Dalam perspektif emik terungkap bahwa kinerja kelembagaan adat yang baru belum sepenuhnya baik, utamanya dalam hal pengaturan tentang kejelasan hak penguasaan lahan. Namun secara keseluruhan masyarakat memberikan penilaian baik terhadap kinerja kelembagaan adat Toro, khususnya dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro. Penilaian emik ini secara umum memiliki kesesuaian dengan penilaian yang menggunakan kriteria Ostrom. Hanya saja, kriteria yang dikembangkan masyarakat relatif lebih sederhana dan faktual, bila dibandingkan kriteria yang dikembangkan Ostrom.

IMPLIKASI REVITALISASI KELEMBAGAAN ADAT TERHADAP

KELESTARIAN SUMBERDAYA HUTAN

Dalam bab terdahulu dijelaskan tentang bagaimana performansi kelembagaan adat Toro dalam mengelola sumberdaya hutan. Untuk menganalisnya telah digunakan kriteria Ostrom dan kriteria emik masyarakat,

di mana kedua kriteria tersebut memuat sejumlah kondisi sosial yang dibutuhkan dalam mengukur performansi kelembagaan dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam milik umum (common property resources). Namun demikian, kriteria tersebut masih perlu dilengkapi dengan implikasi kelembagaan yang direvitalisasi terhadap kelestarian sumberdaya hutan.

Disertasi ini menggunakan perangkat kriteria dan indikator (K&I), dalam menjelaskan sejauhmana implikasi dari aturan main dan struktur kelembagaan adat yang direvitalisasi terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Pendekatan K&I yang digunakan adalah perangkat Kriteria dan Indikator LEI (LEI 2004). Di dalam naskah akademik LEI dijelaskan bahwa, untuk melakukan penilaian perlu ditetapkan lebih awal variabel-variabel penting di antaranya: fungsi kawasan, status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Keempat Variabel tersebut digunakan untuk melihat keberagaman praktek pengelolaan hutan secara lebih spesifik, dan tentunya bermanfaat dalam memposisikan sumberdaya hutan yang dijadikan objek penelitian.

Variabel fungsi kawasandibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: kawasan budidaya kehutanan (KBK), kawasan budidaya non kehutanan (KBNK), dan kawasan yang dilindungi (KD). Bagi KBK dan KD, pertimbangan utama terletak pada kepentingan publik dibandingkan kepentingan pihak pengelola. Sedangkan pada KBNK berlaku sebaliknya.

Variabel status penguasaan lahan dibedakan menjadi lahan publik yang dikuasai negara, lahan adat, dan lahan dengan hak milik formal berdasarkan hukum positif. Variabel ini akan menentukan otoritas, hak, dan kewajiban bagi pemegang hak penguasaan lahan. Penggunaan variabel ini, selain merujuk pada ketetapan yang diberikan oleh hukum positif secara formal, juga mengacu dan bersandar pada pengakuan hukum adat setempat. Dengan demikian, secara teori maupun praktek, pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan pada semua status penguasaan lahan, di mana pada ketiganya terdapat perbedaan hak dan kewajiban bagi pelaku-pelakunya. Dengan demikian

kejelasan terhadap status penguasaan lahan sangat menentukan perilaku pengelola, sehingga akan menentukan pula terhadap pencapaian keberlanjutan fungsi hutan.

Variabel orientasi usaha, dibedakan menjadi orientasi usaha yang bersifat komersial dan subsisten. Secara teoritis, perilaku yang berorientasi komersial akan cenderung mengutamakan keuntungan dan akumulasi modal. Sebaliknya, perilaku subsisten cenderung akan memanfaatkan sumberdaya hutan secara terbatas, serta memperhatikan kapasitas produksi alamiahnya. Karena itu, di dalam pengelolaan hutan yang berorientasi komersial, kecenderungan untuk melakukan eksploitasi berlebih sangat terbuka dalam rangka mencapai tingkatan ekonomi tertentu, yang tentunya berorientasi pada keuntungan dan peningkatan modal (capital), melalui re-investasi (reinvestation) (Suharjito et al. 2003: 5). Olehnya, di dalam pola pengelolaan hutan yang berorientasi komersial, peluang terjadinya pengelolaan hutan yang tidak lestari akan sangat besar. Sebaliknya, pengelolaan hutan yang lebih pada tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten akan memiliki kecenderungan terhadap pemeliharaan kelestarian fungsi hutan yang lebih baik (LEI 2004).

Variabel jenis produk, membedakan produk utama yang hendak dikelola, kayu dan atau non kayu dari hutan. Pembedaan ini sedikit-banyaknya akan berpengaruh terhadap kelestarian fungsi ekologis hutan. Pemanenan kayu akan cenderung memberikan dampak ekologis lebih besar, dibandingkan pemanenan non-kayu maupun jasa, meskipun tidak berarti bahwa, seluruh usaha pengelolaan hasil hutan non kayu tidak akan menimbulkan kerusakan fungsi ekologis hutan.

Tipologi Hutan di Toro

Mengacu pada variabel fungsi kawasan, wilayah Toro sebagian dimasukkan dalam kawasan TNLL, selebihnya merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) (Gambar 33). Namun demikian, berdasarkan status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan, wilayah desa Toro dikategorikan sebagai tanah adat25. Hal ini disebabkan karena sebagian besar tipologi lahan

25

Lahan adat diterminologikan sebagai sebidang tanah yang diklaim sebagai hak milik suatu komunitas tertentu, dan pengelolaannya diatur berdasarkan hukum adat mereka, terlepas dari keberadaannya yang terletak di dalam kawasan yang diklaim sebagai Tanah Negara (TN) oleh pemerintah maupun yang berada di luar kawasan TN dan yang dalam hal penguasaannya bersifat individual maupun komunal (LEI 2004).

adat, utamanya wana dan pangale, dikuasai secara komunal atau bersama oleh seluruh anggota komunitas (communal-customary land), dan sepenuhnya dikelola oleh lembaga adat Toro.

Berdasarkan karakterisitik kedua wilayah di atas, serta sumberdaya alam yang dimiliki desa Toro, instrument K&I LEI yang sesuai untuk digunakan dalam mengukur secara relatif kelestarian sumberdaya hutan yang dikelola oleh lembaga adat adalah kategori K-II, no. 09 dan no. 10. Kategori tersebut diperuntukkan bagi sumberdaya hutan yang menghasilkan kayu secara komersial pada tanah publik/negara, dan tanah-tanah adat yang dikuasai secara komunal.

Meskipun wilayah kelola adat Toro sebagian besar merupakan kawasan lindung, namun di beberapa tipologi lahan adat, seperti: pangale, pahawa pongko dan oma, masyarakat masih diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya lahan, hasil hutan kayu dan non kayu, sehingga dapat dikategorikan ”sama” dengan kawasan budidaya kehutanan. Selain itu, kategori tersebut juga menekankan pada kebutuhan dalam menjaga sejumlah kepentingan komunal, meliputi kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial yang berimbang. Olehnya, sangat sesuai dengan konsep pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Toro.

Sumber: Direktorat Jenderal Inventarisasi Tata Guna Hutan dan Kebun, DEPHUTBUN, 1998.

Gambar 33 Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Sulawesi Tengah (1998), (Dishut 2000). Toro

Kelestarian Fungsi Sosial

Kelestarian fungsi sosial memiliki pengertian, bahwa kelembagaan adat yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dapat memberikan jaminan keberlanjutan fungsi pengelolaan dan pemanfaatan hutan, utamanya bagi kehidupan seluruh anggota komunitas secara lintas generasi (LEI 2004). Dengan demikian jelas bahwa sasaran dari kelestarian fungsi sosial adalah dibuatnya aturan main yang dapat memberikan jaminan bagi kesejahteraan masyarakat, utamanya mereka yang berinteraksi secara langsung dengan sumberdaya hutan.

Kelestarian fungsi sosial diukur dengan menggunakan empat kriteria, di antaranya: (1) kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan yang dipergunakan; (2) keterjaminan dalam pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas; (3) terbangun pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi; dan (4) keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas.

Kejelasan Hak Penguasaan dan Pengelolaan Lahan atau Areal Hutan

Kriteria ini digunakan untuk menganalisis pola hubungan kuasa antara komunitas Toro dengan sumberdaya lahan dan hasil hutan. Melalui pola hubungan kuasa akan ditentukan pola-pola pemanfaatan/penggunaan lahan hutan. Analisis ditujukan terhadap kelembagaan yang mengatur pola-pola pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan, status peguasaan lahan, kejelasan batas-batas kawasan, dan mekanisme resolusi konflik yang dimiliki oleh lembaga adat Toro.

Keempat indikator tersebut di atas memiliki kesepadanan dengan kriteria kelestarian berdasarkan pemahaman masyarakat Toro, utamanya terhadap “kejelasan status lahan” dan “jaminan kelembagaan terhadap penyelesaian konflik pemanfaatan lahan dan hasil hutan yang bersifat adil”. Kedua kriteria tersebut dapat memberikan jaminan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan oleh masyarakat secara aman. Pemberian skor terhadap kriteria kejelasan hak penguasan dan pengelolaan lahan atau areal hutan disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Skor kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Pengelola hutan adalah warga komunitas 1.0 5.0 5.0 2. Status lahan tidak dalam sengketa dengan

warga anggota komunitas maupun pihak lain 1.0 5.0 5.0 3. Kejelasan batas-batas areal hutan yang

dipergunakan 1.0 5.0 5.0

4. Digunakan tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang berkeadilan terhadap klaim/sengketa yang terjadi

1.0 5.0 5.0

Rerata Skor 5.0

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 25 menunjukkan bahwa rerata skor yang dihasilkan oleh kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan masuk dalam kategori baik (5.0). Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa sumberdaya hutan di Toro dikelola oleh lembaga adat, dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat lokal. Sebenarnya, jauh sebelum adanya pengakuan dari pihak BTNLL, wilayah kelola adat Toro telah mendapatkan pengakuan dari desa-desa lain, terutama yang berbatasan langsung dengan wilayah desa Toro, seperti desa Katu, Oo Parese, dan Sungku. Olehnya, peluang terjadinya sengketa terhadap pemanfaatan lahan, utamanya dengan desa lain, sangatlah kecil. Kalaupun ada, lembaga adat telah memiliki resolusi konflik yang diakui dan disepakati bersama baik internal maupun eksternal Toro, meliputi: metode musyawarah, mediasi, dan mekanisme peradilan adat.

Dalam penerapannya, khususnya terhadap konflik internal di Toro, lembaga adat tidak sekedar menyelesaikan sengketa yang terjadi, namun lebih jauh mengupayakan untuk merekatkan kembali kekerabatan kedua belah pihak yang bertikai. Upaya tersebut biasanya dilakukan melalui ”upacara pendamaian”, di mana penyelenggaraan ditanggung sepenuhnya oleh kedua belah pihak. Hal ini pula yang menyebabkan hampir setiap sengketa lahan yang terjadi di Toro dapat diselesaikan dengan baik (Gambar 34 & 35).

Meskipun batas-batas lahan tidak nampak secara fisik, namun masyarakat mampu mengenali dengan mudah di lapangan. Hal ini lebih disebabkan karena lembaga adat menggunakan batas-batas alam sebagai penandanya, seperti: punggung bukit dan sungai. Sementara itu, untuk membedakan tiap-tiap tipologi lahan tradisional digunakan “tanaman indikator” (damar dan rotan), “karakteristik

biofisik lahan” (kemiringan dan ketinggian tempat); dan sejumlah “tanda-tanda lain yang mencirikan lokasi yang dilindungi” (mata air dan tanaman obat-obatan).

Keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi Komunitas

Kriteria ini digunakan untuk menganalisis sejauhmana kelembagaan adat yang direvitalisasi mampu mengatur dan mempertahankan pola keseimbangan di dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya hutan, baik untuk kepentingan ekonomi, sosial, maupun budaya. Secara mikro, kriteria ini bermanfaat untuk mengetahui efektifitas dari aturan main yang telah direvitalisasi dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, utamanya dalam memperkuat kemampuan pengembangan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, secara relatif diharapkan bahwa tiap-tiap warga masyarakat dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya melalui aktifitas produksi di dalam hutan. Pemberian skor terhadap kriteria keterjaminan pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas disajikan pada Tabel 26.

Gambar 34 Rapat penyelesaian sengketa lahan antar masyarakat Toro (Foto: Golar 2005).

Gambar 35 Makan Bersama sebagai simbolisasi selesainya sengketa di antara mereka (Foto: Golar 2005).

17.2 71 9.6 2.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 (%)

sangat baik baik sedang buruk

kategori

Tabel 26 Skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan

Ekonomi komunitas

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga dan mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas dalam lintas generasi

1.0 4.0 4.0

2. Terjaganya integrasi kegiatan ekonomi kayu dengan kegiatan non ekonomi di dalam kawasan hutan

1.0 5.0 5.0

3. Penerapan teknologi produksi dan sistem pengelolaan dapat mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja laki-laki maupun perempuan

1.0 5.0 5.0

Rerata nilai Skor 4.6

Sumber: Data Primer setelah diolah 2006.

Tabel 26 menunjukkan bahwa secara umum skor kriteria keterjaminan