• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

8

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STBM

2.1.1 Pengertian dan Tujuan STBM

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 STBM, singkatan dari Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Metode pemicuan dalam STBM tersebut dilakukan dengan menggunakan metode CLTS (Irwantoro, 2012). Dimana menurut Kar (2008), CLTS merupakan suatu pendekatan terintegrasi yang digunakan untuk mencapai keberhasilan dan mendukung status ODF. Dimana pihak luar yang memberikan fasilitasi, tidak memberikan pendidikan kepada anggota masyarakat selama proses pemicuan tersebut berlangsung. Melainkan melakukan kegiatan fasilitasi dengan proses menyemangati dan memberdayakan masyarakat setempat.

Sanitasi total merupakan kondisi dimana suatu kelompok masyarakat sudah tidak melakukan kegiatan buang air besar sembarangan, selalu mencuci tangan dengan menggunakan sabun, melakukan pengelolaan makanan dan minuman dengan aman, melakukan pengelolaan sampah rumah tangga dengan benar, dan melakukan pengelolaan limbah cair rumah tangga dengan aman (Anonim, 2008). Dalam STBM, kelima kondisi tersebut disebut sebagai lima pilar STBM. Tujuan dari pelaksanaan STBM adalah terciptanya suatu kondisi sanitasi total, seperti yang sudah dipaparkan di atas, dalam upaya mengurangi penyakit yang berbasis lingkungan (Anonim, 2012). Terdapat indikator output dan indikator outcome yang menjadi tolak ukur dari

(2)

pencapaian yang sudah terjadi (Anonim, 2008). Adapun indikator output dari program ini antara lain:

a. setiap individu dan komunitas mempunyai akses terhadap sarana sanitasi dasar sehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air besar di sembarang tempat (ODF),

b. tersedia fasilitas cuci tangan (air, sabun, sarana cuci tangan) di setiap rumah tangga dan sarana pelayanan umum dalam suatu komunitas (seperti sekolah, kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal), sehingga semua orang terbiasa mencuci tangan dengan benar,

c. setiap rumah tangga telah menerapkan pengelolaan air minum dan makanan yang aman,

d. setiap rumah tangga mengelola sampahnya dengan benar, dan e. setiap rumah tangga mengelola limbahnya dengan benar.

Sedangkan indikator outcome dari program STBM yaitu menurunnya kejadian penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku.

Demi tercapainya tujuan tersebut, maka pemerintah Indonesia melalui Kemenkes RI telah mengukuhkan enam strategi dalam STBM. Keenam strategi tersebut yaitu penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment), peningkatan kebutuhan (demand creation), peningkatan penyediaan (supply

improvement), pengelolaan pengetahuan (knowledge management), pembiayaan, dan

pemantauan dan evaluasi (monev). Dimana tiga komponen pertama disebut sebagai Komponen Sanitasi Total yang merupakan strategi utama dalam pelaksanaan STBM (Anonim, 2011b).

(3)

2.1.2 Metode STBM

Dalam pelaksanaannya, STBM tidak menggunakan metode penyuluhan seperti yang biasa dilakukan oleh program kesehatan lainnya. STBM menggunakan pemicuan yang menggunakan metode participatory rural appraisal (PRA) dan berprinsip pada pendekatan CLTS (Kar, 2004). Dengan menggunakan metode PRA, masyarakat dapat menganalisa perilaku higiene dan profil sanitasinya masing-masing. Misalnya saja dalam pemicuan pilar satu (berhenti buang air besar sembarangan) masyarakat dapat menganalisa sampai pada luasnya buang air besar di tempat terbuka dan penyebaran kontaminasi dari kotoran ke mulut yang memperburuk keadaan setiap orang. Untuk memfasilitasi masyarakat dalam menganalisa perilaku higiene dan profil sanitasinya, ada beberapa instrumen yang biasanya diterapkan dalam pendekatan CLTS.

Instrumen tersebut antara lain jalan kaki transect, pemetaan tempat BABS, dan perhitungan jumlah kotoran manusia. Jalan kaki transect merupakan kegiatan berkeliling di wilayah desa bersama dengan anggota masyarakat untuk mengetahui jamban sehat yang telah dimiliki masyarakat dan tempat masyarakat melakukan kegiatan BAB. Keberadaan orang yang berasal dari luar komunitas yang melihat tempat BABS (bahkan kotoran yang berceceran) akan menimbulkan perasaan malu dalam diri masyarakat. Kemudian pemetaan tempat BABS dilakukan dengan menggambarkan kondisi wilayah tempat tinggal oleh seluruh warga dalam satu komunitas dan digambarkan juga tempat-tempat terbuka yang biasanya digunakan sebagai tempat buang air besar. Dengan pemetaan tersebut, perhatian para warga akan tertuju pada jarak yang harus ditempuh untuk mencari tempat buang air, segi keamanan, dan alur kotoran yang telah mereka buang dapat mencapai badan air terdekat dan mengontaminasi badan air tersebut. Lalu yang terakhir, perhitungan

(4)

jumlah kotoran manusia bertujuan untuk membantu fasilitator dalam mengilustrasikan besarnya masalah sanitasi yang dihadapi yang akan berpengaruh pada timbulnya penyakit.

Maka, dengan pendekatan CLTS tersebut dapat timbul perasaan jijik dan malu di antara masyarakat. Dan secara kolektif mereka akan menyadari dampak buruk dari buang air besar di tempat terbuka sehingga dengan kesadaran ini mereka akan tergerak untuk memprakarsai tindakan lokal secara kolektif untuk memperbaiki keadaan sanitasi di dalam komunitasnya sendiri (Kar, 2008).

2.2 Peran Sanitarian

Sanitarian puskesmas memiliki tugas sebagai fasilitator dalam pelaksanaan STBM. Dimana definisi fasilitator sendiri yaitu seseorang yang memiliki tugas untuk memfasilitasi atau mempermudah sekelompok orang dalam mencapai tujuannya (Purwindah, 2012a). Dalam pelaksanaan program STBM, sanitarian tidak hanya bertugas dalam melaksanakan pemicuan sebagai salah satu cara peningkatan kebutuhan sanitasi. Mereka juga memiliki tugas untuk memfasilitasi peningkatan penyediaan sanitasi, penciptaan lingkungan yang kondusif, dan pemantauan dan evaluasi.

Peningkatan penyediaan sanitasi dilakukan untuk memperbaiki pasokan pasaran barang-barang dan jasa-jasa sanitasi. Hal yang dapat dilakukan misalnya melakukan pembinaan pengusaha lokal dan pelatihan tukang bangunan untuk memberikan pilihan teknologi dengan jaminan kualitas, mengembangkan suatu kisaran opsi yang diinginkan dan terjangkau untuk semua katagori/lapisan masyarakat di provinsi (Anonim, 2012). Kemudian penciptaan lingkungan yang

(5)

kondusif dilakukan untuk membentuk lingkungan yang mendorong masyarakat untuk berperilaku hidup yang baik. Prinsip dari strategi ini yaitu meningkatkan dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam meningkatkan perilaku higienis dan saniter. Dimana salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan advokasi dan sosialisasi ke pemerintah dan pemangku kepentingan secara berjenjang (Anonim, 2008). Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui efektivitas sebuah program (Purwindah, 2012b). Hal yang dapat dilakukan untuk pemantauan dan evaluasi adalah memantau kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkup komunitas, terutama yang sudah mendapatkan pemicuan, sehingga dapat diketahui bagaimana pelaksanaan program di tingkat masyarakat.

Pada dasarnya, siapapun bisa menjadi seorang fasilitator asalkan memiliki komitmen, peduli terhadap lingkungan, dan mau belajar. Akan tetapi fasilitator yang berasal dari instansi pemerintah, seperti sanitarian puskesmas, akan lebih efektif dalam pendampingan program jika dibandingkan dengan fasilitator yang disediakan melalui bantuan program. Hal ini dikarenakan fasilitator yang disediakan oleh program akan menghentikan kegiatannya dalam memfasilitasi masyarakat dan mengunjungi daerah lain sesuai dengan jangka waktu kontrak dari program tersebut (Purwindah, 2012a).

2.3 Kinerja Sanitarian

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 373 tahun 2007 tentang Standar Profesi Sanitarian, batasan dan ruang lingkup sanitarian adalah tenaga profesional di bidang kesehatan lingkungan yang memberikan perhatian terhadap

(6)

aspek kesehatan lingkungan air, udara, tanah, makanan, vektor penyakit pada kawasan perumahan, tempat-tempat umum, tempat kerja, industri, transportasi, dan matra. Oleh karena aspek kesehatan lingkungan yang dipaparkan tersebut sangat erat kaitannya dengan lima pilar STBM maka, sanitarian puskesmas ditempatkan sebagai pengkoordinir kegiatan STBM di masing-masing puskesmas. Dan karenanya, sanitarian sangat berperan dalam pelaksanaan STBM dan berpengaruh pada perkembangan program STBM ke depannya. Seperti yang dijelaskan oleh Sedarmayanti (2009) bahwa, meningkatnya kinerja seorang pegawai akan berpengaruh/meningkatkan prestasi tempat kerja pegawai tersebut, yang selanjutnya berkontribusi dalam tercapainya tujuan tempat kerja pegawai tersebut. Inilah yang diharapkan dari para sanitarian. Sanitarian diharapkan dapat menunjukkan kinerja yang baik dalam pelaksanaan program STBM, seperti dalam kegiatan memfasilitasi peningkatan penyediaan sanitasi, penciptaan lingkungan yang kondusif, dan pemantauan dan evaluasi program. Menurut Mangkunegara (2007), kinerja SDM adalah hasil kerja dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas yang sudah ditentukan sebagai tanggung jawabnya.

Kinerja SDM termasuk kinerja sanitarian dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut A. Dale Timple (1992) dalam Mangkunegara (2007), faktor-faktor kinerja terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal. Dimana yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor-faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Ardana, dkk (2009) menjelaskan kinerja seseorang dipengaruhi oleh karakteristik orang tersebut. Karakteristik individu yang dimaksud antara lain biografis/ciri-ciri biografis, kemampuan, kepribadian, pembelajaran, persepsi, sikap, kepuasan kerja,

(7)

dan stres. Selanjutnya menurut Triton (2010) dan Rusmiyati (2012) pelatihan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang. Sedangkan menurut Hennry Simamora (1995) dalam Mangkunegara (2007), kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

a. Faktor individual, terdiri atas: 1. Kemampuan dan keahlian 2. Latar belakang

3. Demografi

b. Faktor psikologis, terdiri atas: 1. Persepsi

2. Sikap 3. Kepribadian 4. Pembelajaran 5. Motivasi

c. Faktor organisasi, terdiri atas: 1. Sumber daya

2. Kepemimpinan 3. Penghargaan 4. Struktur

5. Desain pekerjaan

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja 2.4.1 Kemampuan

Menurut Caplin (1997) dalam Gamrin, dkk (2012) ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan)

(8)

untuk melakukan suatu perbuatan. Sedangkan menurut Robbins (2000) dalam Gamrin, dkk (2012) kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek. Kemudian menurut Robbins (2001) dalam Ardana, dkk (2009) kemampuan merupakan suatu kapasitas yang dimiliki seseorang atau individu untuk mengerjakan berbagai tugas atau pekerjaan. Dimana kemampuan dibagi atas kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual terdiri atas kecerdasan numerik, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan kemampuan mengingat. Sedangkan kemampuan fisik merupakan kemampuan yang menuntut daya stamina, kecekatan, dan ketrampilan. Ardana, dkk (2009) menjelaskan bahwa meningkatnya kinerja pegawai dapat terjadi apabila terdapat kesesuaian antara kemampuan yang dimiliki oleh seorang pegawai dengan jabatannya.

2.4.2 Latar Belakang

Latar belakang dalam hal ini dihubungkan dengan biografis dari pekerja. Biografis tersebut terdiri dari umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan masa kerja.

2.4.2.1 Umur

Menurut Suryabrata (1998) dalam Nasution (2009) tingkat perkembangan manusia ditentukan berdasarkan umur. Adapun pengkategorian umur tersebut adalah sebagai berikut:

0-1 tahun : bayi

2-5 tahun : balita

6-12 tahun : kanak-kanak akhir

(9)

17-18 tahun : remaja akhir

18-40 tahun : dewasa awal

40-60 tahun : dewasa madya

Lebih dari 60 tahun : usia lanjut

Kemudian Ardana, dkk (2009) memaparkan bahwa umur memiliki hubungan positif dengan tingkat keluar masuknya pegawai dalam perusahaan, produktivitas pegawai, dan kepuasan kerja. Dimana semakin tua umur seorang pegawai, maka akan semakin kecil keinginannya untuk keluar dari perusahaan, semakin produktif, dan puas atau menikmati pekerjaannya. Kemudian ditambahkan Lutiarsi (2002) umur merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang. Hal ini dikarenakan pertambahan umur akan mempengaruhi perubahan kondisi fisik dan mental serta pengalaman seseorang. Pada umur lanjut, seseorang akan memiliki tenaga fisik yang lebih rendah, walaupun biasanya mereka lebih berpengalaman. Sebaliknya, pada umur muda relatif memiliki rasa tanggung jawab yang kurang dalam pekerjaannya.

2.4.2.2 Jenis Kelamin

Menurut Sumiyati (2006) pengaruh jenis kelamin dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang akan dikerjakan. Pada pekerjaan yang bersifat khusus misalnya mencangkul dan mengecor tembok maka jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kerja. Akan tetapi pada pekerjaan yang pada umumnya dapat dikerjakan semua orang maka jenis kelamin tidak memberikan pengaruh terhadap hasil kerja. Ada pekerjaan yang secara umum lebih baik dikerjakan oleh laki-laki akan tetapi pemberian ketrampilan yang cukup memadai pada wanitapun mendapatkan hasil pekerjaan yang cukup memuaskan. Ada sisi lain

(10)

yang positif dalam karakter wanita yaitu ketaatan dan kepatuhan dalam bekerja. Hal ini mempengaruhi kinerja secara personal.

2.4.2.3 Tingkat pendidikan

Menurut Grossmann (1999) dalam Faizin et al (2008) dijelaskan, bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk mengembangkan diri. Dan mendukung pendapat Grossman, Arfida (2003) dalam Faizin et al (2008) menambahkan, bahwa pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan secara langsung untuk pelaksanaan tugas, namun juga menjadi landasan untuk mengembangkan diri dan kemampuan memanfaatkan sarana untuk kelancaran tugas. Dimana menurut Grossman dan Arfida, tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat produktivitasnya. Kemudian dalam penelitian Faizin et al (2008) ditemukan hasil, bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dan kinerja seseorang.

2.4.2.4 Masa kerja

Menurut Yatino (2005) masa kerja adalah jangka waktu yang telah dilalui oleh seseorang dalam menekuni pekerjaannya. Dan menurut Andi Mapiare dalam Faizin et al (2008), masa kerja akan membentuk suatu pengalaman dalam diri seseorang yang akan menentukan pertumbuhan pekerjaan dan jabatan, sehingga diharapkan individu tersebut akan memiliki kecakapan dan ketrampilan kerja yang semakin baik dari segi kualitas dan kuantitas. Memperkuat pendapat Andi Mapiare, menurut Ranupendoyo dan Saud (1990) dalam Faizin et al (2008) menunjukkan bahwa semakin lama orang bekerja dalam suatu organisasi maka akan semakin berpengalaman orang tersebut sehingga akan semakin baik pula tingkat kecakapan kerjanya. Begitu pula yang dijelaskan Gibson, dkk (1997) dalam Nasution (2009),

(11)

masa kerja seseorang akan menentukan prestasi individu yang merupakan dasar prestasi dan kinerja organisasi. Semakin lama seseorang bekerja di suatu organisasi, maka tingkat prestasi individu akan semakin meningkat yang dibuktikan dengan tingginya tingkat penjualan dan akan berdampak kepada kinerja dan keuntungan organisasi yang menjadi lebih baik, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan promosi atau kenaikan jabatan.

2.4.3 Persepsi

Menurut Indriyo Gitosudarmo (1997) dalam Ardana, dkk (2009) persepsi merupakan proses memberikan perhatian, menyeleksi, mengorganisasikan, kemudian menafsirkan stimulasi lingkungan. Kemudian menurut Kreitner dan Kinicki (2003) dalam Ardana, dkk (2009) persepsi adalah proses interpretasi seseorang terhadap lingkungannya. Sedangkan Robbins (2001) dalam Ardana, dkk (2009) menyatakan persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesannya untuk memberi arti tertentu pada lingkungannya. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi adalah karakteristik si pemberi kesan, karakteristik sasaran atau obyek, dan situasi saat melihat suatu kejadian dan obyek. 2.4.4 Sikap

Menurut Robbins (2001) dalam Ardana, dkk (2009) menyebutkan bahwa sikap adalah pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan atau tidak tentang objek, orang atau peristiwa. Sedangkan menurut Umar Nimran (1999) dalam Ardana, dkk (2009) menyebutkan bahwa dari setiap perspektif individu, sikap dapat menjadi dasar bagi setiap interaksi yang dilakukan individu dengan individu lainnya dan dengan dunia disekelilingnya. Kemudian menurut Sumiyati (2006), sikap merupakan sebuah itikat dalam diri seseorang untuk tidak melakukan atau melakukan pekerjaan tersebut sebagai bagian dan aktivitas yang menyenangkan. Sikap yang baik adalah

(12)

sikap dimana dia mau mengerjakan pekerjaan tersebut tanpa terbebani oleh sesuatu hal yang menjadi konflik internal. Perilaku bekerja seseorang sangat dipengaruhi oleh sikap dalam bekerja. Hal ini sama dengan yang disampaikan oleh Ardana, dkk (2009) bahwa sikap dalam suatu organisasi akan sangat penting karena sikap dapat mempengaruhi perilaku kerja seseorang.

2.4.5 Pembelajaran

Menurut Robbins (2001) dalam Ardana, dkk (2009) pembelajaran dalam perspektif perilaku keorganisasian adalah proses perubahan yang relatif konstan dalam tingkah laku yang terjadi karena pengalaman atau pelatihan. Terdapat tiga teori yang menjelaskan cara seseorang mendapatkan pola prilaku, yaitu:

a. Pengkondisian klasik

Teori ini menjelaskan bahwa respon seseorang terhadap stimulus tak selalu menghasilkan suatu tanggapan tertentu. Teori ini diperkenalkan oleh Ivan Pavlov (seorang psikolog Rusia). Dimana dalam percobaannya dengan menggunakan anjing dengan stimulus daging dan bunyi bel atau lonceng, anjing tersebut merespon dengan mengeluarkan air liur. Kemudian seterusnya anjing belajar bahwa setiap lonceng tersebut berbunyi maka dia akan mendapatkan daging sehingga dia merespon dengan mengeluarkan liur.

b. Pengkondisian operan

Teori ini menjelaskan bahwa perilaku merupakan fungsi dari akibat itu sendiri. Jadi, orang akan belajar untuk berperilaku dalam rangka mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.

c. Teori pembelajaran sosial

Dalam teori ini seseorang belajar melalui observasi atau pengamatan dan pengalaman langsung baik tehadap kejadian yang menimpa diri sendiri maupun

(13)

orang lain. Proses belajar dari orang lain atau model banyak diperoleh dari orang tua, guru, teman, atasan, atau pemeran di media televisi.

2.4.6 Motivasi

Menurut Siagian (1997) dalam Mulyanto (2007), motivasi merupakan suatu akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya, sehingga terdapat perbedaan dalam kekuatan motivasi yang ditunjukan oleh seseorang dengan orang yang lain dalam menghadapi situasi yang sama. Dalam teori “Model Dua Faktor” Herzberg dalam Siagian (2011) dipaparkan, bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang yaitu faktor motivasional dan faktor higiene.

Faktor motivasional adalah faktor yang mendorong prestasi yang muncul dari dalam diri seseorang. Contoh faktor motivasional antara lain pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan untuk bertumbuh, kemajuan dalam berkarier, dan pengakuan yang diperoleh dari orang lain. Sedangkan faktor higiene adalah faktor yang bersumber dari luar diri seseorang. Contoh faktor higiene antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan pekerja dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan sekerjanya, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja, dan sistem imbalan yang berkala.

Dalam penelitian Razee, et al (2012) ditunjukkan, bahwa salah satu faktor sosial yang mempengaruhi motivasi kerja kader kesehatan di Papua Nugini yaitu dukungan dan kerjasama masyarakat dalam melaksanakan program. Dijelaskan bahwa dengan tanpa adanya dukungan dari masyarakat, maka para kader meyakini program yang direncanakan tidak akan dapat berjalan. Selanjutnya, hasil penelitian Mulyanto (2007) tentang pengaruh motivasi dan kemampuan manajerial terhadap kinerja usaha pedagang kaki lima menetap menunjukkan, bahwa motivasi

(14)

berpengaruh positif terhadap kinerja pedagang kaki lima di Pusat Wisata. Hal ini berarti apabila motivasi pedagang kaki lima meningkat maka kinerjanya akan meningkat pula.

2.4.7 Kepemimpinan

Menurut Nursalam (2002) dalam Sumiyati (2006), kepemimpinan adalah proses untuk melakukan pengembangan secara langsung dengan melakukan koordinasi pada anggota kelompok serta memiliki karakteristik untuk dapat meningkatkan kesuksesan dan pengembangan dalam mencapai tujuan organisasi. Kemudian dalam Standar Pelayanan Rumah Sakit oleh Departemen Kesehatan RI (1995) dalam Sumiyati (2006) disebutkan bahwa kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu bawahan atau karyawan yang akan dipimpin juga melibatkan pembagian kekuasaan atau delegasi wewenang.

Selain itu, menurut Sigit (2003) dalam Lewa dan Subowo (2005) dijelaskan, bahwa kepemimpinan merupakan suatu usaha mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan sesuai dengan yang dikehendaki. Sedangkan Lewa dan Subowo sendiri memaparkan, bahwa kepemimpinan yang mereka teliti merupakan keseluruhan aktivitas dalam rangka mempengaruhi orang lain agar mau bekerja secara sukarela untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan dan diinginkan bersama. Data yang mereka ukur yaitu kualitas komunikasi pimpinan terhadap bawahan, tingkat kepercayaan yang diberikan pimpinan untuk bawahannya, motivasi yang diberikan pimpinan kepada bawahan agar bekerja secara optimal, pengetahuan pimpinan tentang pekerjaan yang ditugaskan baik secara teori maupun praktek, dan keteladanan yang diperlihatkan oleh pemimpin. Dimana hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan.

(15)

2.4.8 Pelatihan

Menurut Rusmiyati (2012) pelatihan adalah proses mengembangkan kebiasaan berfikir dan bertindak, keterampilan, pengetahuan, sikap serta pengertian pegawai untuk melaksanakan tugas dan pekerjaannya sehingga pegawai akan memiliki efektivitas dalam melaksanakan pekerjaannya sekarang maupun di kemudian hari. Sedangkan menurut Triton (2010) pelatihan bertujuan untuk memperbaiki penguasaan berbagai teknik ketrampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu untuk kebutuhan sekarang. Ditambahkan Sheal (2003) dalam Triton (2010) pelatihan untuk staf sekarang semakin penting karena perubahan-perubahan yang cepat dalam teknologi serta tugas-tugas yang dilakukan orang-orang, kurangnya ketrampilan langsung dan ketrampilan jangka panjang, perubahan-perubahan dalam harapan dan komposisi angkatan kerja, serta adanya kompetisi dan tekanan-tekanan pasar demi peningkatan dalam kualitas baik produk maupu jasa. Dalam hasil penelitian Rusmiyati (2012) menunjukkan bahwa semakin naik jumlah pelatihan yang dilakukan maka akan semakin menaikkan kinerja karyawan.

2.4.9 Insentif

Insentif merupakan bagian dari sistem imbalan yang berlaku bagi para karyawan organisasi. Menurut Siagian (2011) sistem insentif dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu insentif untuk tingkat individual dan tingkat kelompok. Beberapa yang termasuk sistem insentif tingkat individual antara lain “piecework”, bonus produksi, komisi, kurva “kematangan” dan insentif bagi para eksekutif. Sedangkan sistem insentif pada tingkat kelompok mencakup insentif produksi, bagi keuntungan dan pengurangan biaya.

Sedangkan menurut sebuah penelitian yang dilakukan Alam, et al (2012) tentang kinerja sukarelawan wanita sebagai kader kesehatan masyarakat di Dhaka,

(16)

memaparkan bahwa kombinasi penggunaan sistem insentif finansial dan insentif non-finansial perlu dilakukan guna meningkatkan kinerja dari sukarelawan wanita tersebut. Insentif finansial dalam penelitian tersebut digambarkan sebagai upah atau gaji, sedangkan insentif non-finansial yaitu pengakuan sosial terhadap keberadaan mereka dan umpan balik positif dari masyarakat.

Sistem-sistem pemberian insentif seperti yang dijelaskan tersebut merupakan salah satu faktor yang mampu memicu kinerja pegawai. Seperti yang disebutkan dalam penelitian Zebua (2009) bahwa secara signifikan insentif yang diterima oleh pegawai berpengaruh terhadap kinerja dari pegawai. Dan hasil penelitian Alam, et al (2012) menunjukkan bahwa, pengakuan sosial dari masyarakat akan meningkatkan sebanyak empat kali keaktifan sukarelawan. Sedangkan, umpan balik positif yang diterima dari masyarakat akan meningkatkan sebanyak tiga kali keaktifan sukarelawan.

2.4.10 Sumber Daya

Menurut Ellitan (2003) keberadaan sumber daya mencakup sumber daya manusia dan material yaitu bahan baku dan bahan pembantu/pelengkap. Ketersediaan sumber daya (manusia, dana, dan sarana prasarana) dalam sebuah perusahaan tentu akan mempengaruhi produktivitas perusahaan tersebut. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Stekelenburg, et al (2002). Penelitian mereka tentang buruknya kinerja kader kesehatan di Kalabo, Zambia menjelaskan, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu tidak tersedianya sumber daya manusia yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pada saat pemilihan kader kesehatan dilakukan, kriteria pemilihan diabaikan dan pemilihan dilakukan oleh tokoh masyarakat maupun staf pusat kesehatan. Hal ini

(17)

menyebabkan beberapa kriteria tidak terpenuhi, dan akhirnya mempengaruhi kinerja kader kesehatan.

Menurut Setiarini (2012) untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Disebutkan pula salah satu faktor pendukung terjadinya produktifitas kerja dan kualitas kerja yang baik adalah ketersediaan fasilitas, sarana prasarana yang baik.

Selain ketersediaan sumber daya manusia dan sarana prasarana, ketersediaan dana dalam sebuah organisasi juga akan mempengaruhi produktivitas. Salah satu bantuan dana yang diturunkan oleh pemerintah melalui Kementrian Kesehatan adalah Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) (Sarasdyani, 2013). Bantuan dana ini ditujukan untuk membantu pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal. Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten yang sukses dalam memanfaatkan dana BOK. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang bersama dengan tim kerja yang aktif di puskesmas, membangun inisiasi pemanfaatan dana BOK. Dimana dana BOK ditujukan untuk mendukung upaya promotif dan preventif dalam rangka mencapai MDGs. Berdasarkan hal tersebut, mereka memanfaatkan dana BOK dalam percepatan program STBM.

2.4.11 Struktur Organisasi

Menurut Gibson, dkk (1996) dalam Ardana, dkk (2009) sturktur organisasi merupakan pola dan pengelompokkan pekerjaan dalam suatu organisasi. Sedangkan menurut Robbins dan Coulter (2004) dalam Ardana, dkk (2009) menyebutkan bahwa struktur organisasi adalah kerangka kerja formal dari suatu organisasi dengan kerangka tugas atau pekerjaan yang dibagi-bagi, dikelompokkan, dan

(18)

dikoordinasikan. Kemudian T. Hani Handoko (2003) lebih jauh mengatakan bahwa struktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan pola tetap hubungan-hubungan di antara fungsi-fungsi, bagian-bagian, tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda dalam suatu organisasi. Struktur tersebut mengandung unsur spesialisasi kerja, standardisasi, koordinasi, sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan keputusan dan besarnya satuan kerja.

Ardana, dkk (2009) menambahkan setiap organisasi pasti memiliki struktur organisasi yang berbeda dengan organisasi lainnya. Struktur organisasi ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai. Manfaat dari adanya struktur organisasi menurut antara lain:

a. Pimpinan mengetahui dengan mudah segala tugas, tanggungjawab, dan wewenang baik untuk dirinya sendiri maupun bawahannya.

b. Menghindari terjadinya perselisihan, saling menyalahkan, dan saling lempar tanggungjawab antara pegawai.

c. Terjadinya penghematan biaya.

d. Pembagian kerja dapat dilakukan dengan lebih tepat dan jelas. 2.4.12 Desain Pekerjaan

Menurut Gibson, dkk (1997) dalam Ardana, dkk (2009) desain pekerjaan adalah proses dimana manajer memutuskan tugas-tugas dan wewenang individual. Sedangkan menurut Robbins dan Coulter (2004) dalam Ardana, dkk (2009) desain pekerjaan adalah cara tugas-tugas digabung untuk membentuk pekerjaan yang lengkap. Kemudian menurut Indriyo Gitosudarmo dan Sudita (1997) dalam Ardana, dkk (2009) desain pekerjaan berkaitan dengan penentuan struktur hubungan tugas dan hubungan antar pribadi dari suatu pekerjaan dengan menentukan berapa banyak

(19)

keanekaragaman pekerjaan, tanggungjawab, signifikansi, dan ekonomi pekerja diberikan oleh pekerjaannya.

Ardana, dkk (2009) menambahkan desain pekerjaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya efektifitas dan kesehatan suatu organisasi. Dimana pekerjaan yang didesain dengan baik akan mempu meningkatkna motivasi, produktivitas, dan kepuasan kerja pegawai. Namun dengan berkembangnya lingkungan dan organisasi yang begitu cepat dan dinamis maka suatu organisasi perlu melakukan perancangan ulang (desain ulang) terhadap suatu pekerjaan. Ada tiga strategi utama dalam mendesain ulang sebuah pekerjaan. Pertama dengan melakukan penyederhanaan tugas dimana cakupan dan kedalaman pekerjaan dikurangi. Yang kedua dengan melakukan pemekaran pekerjaan dimana tugas yang diberikan ditambah jumlah dan keragamannya. Yang terakhir adalah dengan memperkaya pekerjaan yaitu dengan mengembangkan pekerjaan secara vertikal.

Referensi

Dokumen terkait

Pengurus menjadi pengepul jamur hasil tanam anggota, pengurus sudah memiliki jaringan dengan para pedagang jamur. Antara pengurus dan pedagang jamur membuat kesepakatan

Sistem ini berfungsi sebagai bahan evaluasi dalam menentukan kebijakan berdasarkan kebutuhan masing-masing wilayah per kecamatan atau per kelurahan meliputi Informasi penyebaran

Surabaya pada putusan No.31/ARB/BANI-SBY/l/2012, dimana amar putusannya adalah: (a) Mengabulkan untuk sebagian atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon telah sesuai

Bahan bakar yang digunakan oleh Kapal Container Tanto Fajar 3 adalah MFO (Marine Fuel Oil). MFO merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari jenis residu yang

T ermome ermometter ada er adallah ah aallaatt yang d yang diigunakan un gunakan unttuk mengukur suhu dengan uk mengukur suhu dengan ttepa epatt dan

Function tersebut berguna untuk mengambil data, menampilkan data yang telah diambil dan membandingkan produk yang telah dipilih oleh user.. Function Product

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran di kelas eksperimen (mengunakan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berbasis pemahaman nilai-nilai sosial) lebih

Antara yang berikut, yang manakah berkaitan dengan hak Yang di-pertuan berdasarkan sistem tersebut. I Bertindak atas nasihat