• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Permasalahan"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

1 DAFTAR ISI LEMABARAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR ISI ABSTRAK I ii iii iv BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Permasalahan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan Pengembalian Aset Hasil Korupsi

2.1.1.Pidana Pembayaran Uang Pengganti 2.1.2.Pengembalian Aset Hasil Korupsi 2.2.Sistem Hukum

2.3.Kebijakan Penanggulangan Kejahatan 2.4.Tujuan Pemidanaan

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1.Tujuan Penelitian

3.2.Manfaat (keutamaan) Penelitian METODE PENELITIAN

4.1.Jenis Penelitian 4.2.Spesifikasi Penelirtian 4.3.Lokasi Penelitian 4.4.Data dan Sumber data 4.5.Teknik Pengumpulan Data 4.6.Pengolahan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang Pengganti di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Bali

5.2. Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana

1 1 3 6 6 6 8 9 10 12 16 16 16 18 18 18 19 19 19 20 21 21

(4)

2 BAB VI

Pembayaran Uang Pengganti di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali

5.2.1.Hal yang harus ada dalam Surat Putusan Pemidanaan 5.2.2Tatacara Penuntutan Pembayaran Uang Pengganti 5.2.3.Hal-hal yang telah dilakuan Penuntut Umum untuk

memudahkan hakim menjatuhkan putusan pemidanaan Pembayaran Uang Pengganti

5.3.Pelaksanaan Pembayaran Uang Pengganti dan Pengembalian Aset Hasil Korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali sebagai Pengganti Kerugian Negara

5.3.1.Mekanisme Pelaksanan Pidana Pembayaran Uang Pengganti

5.3.2.Pelaksanaan Eksekusi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti

5.4.Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pidana Pembayaran Uang Pengganti di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Bali dalam Upaya Pengembalian Aset Negara

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1.Kesimpulan 6.2.Rekomendasi 32 32 33 34 38 38 39 43 48 48 50

(5)

3 DAFTAR TABEL

No. Tabel

JUDUL TABEL Halaman

Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5

Frekuensi Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang pengganti di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 2012

Frekuensi Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang pengganti di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 2013

Frekuensi Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang pengganti di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 2014

Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang

Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi dari tahun 2012 -2014

Pelaksanaan Eksekusi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti

22 24 27 31 41

(6)

4 BAB I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Korupsi dewasa ini telah dianggap sebagai musuh bersama semua umat manusia , sehingga dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary

crime). Kejahatan yang telah menimbulkan kesengsaraan bagi umat manusia ini

oleh Selo Soemardjan bahkan dikatakan seperti penyakit ganas yang mengerogoti kesehatan masyarakat, seperti penyakit kanker yang setahap demi setahap menghabisi hidup manusia.1 Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa betapa bahayanya korupsi bagi sebuah bangsa, Susan Rose –Auckerman mengatakan bahwa korupsi dapat menyebabkan ketidak efisienan dan ketidak adilan. Korupsi dapat merusak legitimasi negara, korupsi merupakan suatu bukti terdapat masalah besar dalam hubungan negara dengan swasta.2

Demikian pula konsideran dari UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemeberantasan tindak pidana Korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi.

Indonesia sebagai satu bagian dari bangsa di dunia yang sedang membangun , tentu tidak terlepas dari korupsi. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks korupsi Indonesia yang dibuat oleh lembaga Tranparansi Internasional yang mencapai poin 32. Dari peringkat indeks tersebut Indonesia menduduki perngkat 118 dari 174 negara dunia, dan menduduki peringkat ke 56 negara

1

Robert klidgaart, Membasmi korupsi, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm. xiv.

2

Kimberly Ann Elliot, Korupsi dan Ekonomi Dunia, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), hlm. 64.

(7)

5 terkorup di dunia.3 Berbagai bentuk korupsi telah terjadi di Indonesia, dari penyuapan, memperkaya diri sendiri atau orang lain, menyelahgunakan kewenangan demi memperkaya diri sendiri atau orang lain telah terjadi. Diduga keuangan negara yang dikorupsi dari tahun 2004 - 2011 berjumlah 39,3 triliun rupiah.4

Perbuatan korupsi yang menimbulkan kerugian bagi suatu negara telah diupayakan untuk ditanggulangi demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Demikian pula dengan Indonesia sebagai negara berkembang telah berupaya menanggulangi korupsi melalui jalur penal maupun non penal. Upaya pemberantasan korupsi melalui jalur pencegahan dan penindakan telah dimulai sejak pemerintahan Presiden Soekarno sampai sekarang, namun hasilnya belum maksimal, bahkan boleh dikatakan semakin “menggurita”. Sekarang korupsi bukan lagi terjadi pada saat pelaksanaan proyek, tetapi sudah dimulai pada saat penentuan sebuah proyek. Banggar DPR disinyalir sebagai tempat melakukan

mark-up anggaran pengadaan barang dan jasa.5Daniel Kaufmann dalam laporannya mengenai bureaucratic and judicial bribery menyatakan praktek penyuapan di peradilan Indonesia merupakan yang tertinggi diantara negara-negara berkembang. Disinyalir tidak sedikit hakim di semua tingkatan peradilan yang melakukan korupsi. Akibat integritas yang rendah dan kemampuan terbatas dari hakim ini menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.6

Melihat kondisi korupsi yang sangat mengkhawatirkan, sementara itu upaya penanggulangan baik pencegahan atau penindakan dengan menggunakan

3

Republika.co.id, “Indonesia Berada di Peringkat 56 Negara Terkorup di Dunia Tahun 2012”, www.republika.co.id/berita /hukum/nasional/13/01/02

4

Fokus news, “Puluhan Trilun Rupiah Menguap karena Korupsi”, www.fokus news viva.co.id. 4 Dedsember 2012.

5

Kompas.com,”Banggar DPR dan Lingkaran Korupsi”, www.nasional.kompas.com, 17 Februari 2013.

6

Djoko Sumarjanto, Pembalikan Beban Pembuktian, Tindak pidana Korupsi dalam

(8)

6 sanksi pidana konvensional belum juga menunjukkan hasil, maka Indonesia melalui UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 memasukkan “Pidana pembayaran Uang pengganti dan Pengembalian Aset Hasil Kerugian (asset

recovery) ” sebagai salah satu sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Hal ini dilakukan selain berfungsi sebagai pencegahan, juga dapat mengembalikan kerugian negara. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18, Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999 jo. Pasal 37 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C UU No. 20 tahun 2001.

Dimasukkannya “Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan Pengembalian Aset Hasil Korupsi” dalam UU Pemberantasa Tindak pidana Korupsi tidak terlepas dari diratifikasinya konvensi Internasional tentang Pemberantasan korupsi (Konvensi Anti Korupsi) yang dalam pasal 37 ayat (8) dan Pasal 54 ayat (1) huruf c menyarankan negara anggota PBB untuk menggunakan sarana perampasan aset hasil kejahatan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi. Boleh dikatakan “Pengembalian Aset Hasil Krupsi” sebagai kebijakan yang telah diakui oleh dunia internasional sebagai sarana yang ampuh dalam memberantas korupsi. Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan Pengembalian Aset Hasil Korupsi dianggap lebih ampuh dari sanksi pidana konvensional, karena selain sebagai sarana penanggulangan korupsi, juga dapat menjadi alat untuk mendapatkan kembali aset negara yang dikorupsi, termasuk yang sudah dilarikan ke luar negeri.

Di Indonesia usaha memberantas korupsi melalui Pengembalian Aset hasil Korupsi dan Pidana Pembayaran Uang Pengganti belum diterapkan dengan maksimal, hakim tidak selalu menjatuhkan pidana ini pada pelaku korupsi. Banyak kasus korupsi yang diidentifikasi merugikan keuangan negara, namun hakim tidak menyertakan keharusan membayar uang pengganti pada terpidana, walaupun jaksa selaku penuntut umum telah melakukan penuntutan. Hal ini terlihat dari kasus korupsi yang berkaitan dengan Bank Bumi Daya dan Bank

(9)

7 Pacific.7 Sebaliknya ada pula terpidana yang dijatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, namun penegak hukum kesulitan dalam melakukan eksekusinya. BPKP menyatakan tingkat penyelesain uang pengganti hanya berkisar 31,38 % dari keseluruhan uang pegganti yang diputus pengadilan. Sehingga efektivitas pembayaran uang pengganti dipertanyakan, padahal penjatuhan pembayaran uang pengganti diharapkan dapat membuat orang tidak berani melakukan korupsi (general and special prevention) karena takut dimiskinkan. Namun demikian kenyataannya korupsi masih tetap saja menjadi masalah serius, termasuk di Bali.

Bali yang merupakan salah satu provinsi yang sedang berkembang dengan andalan utama sektor pariwisata saat ini menduduki posisi ke lima terkorup di Indonesia. 8 Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi, walaupun sudah disertai dengan pidana tambahan pembayaran uang pengganti disinyalir tidak mampu dalam menanggulangi tindak pidana korupsi. Kegagalan dalam melakukan eksekusi pidana pembayaran uang pengganti juga dipandang sebagai salah satu penyebabnya. Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan Upaya Pengembalian Aset Hasil Korupsi di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Bali”.

1.2.Permasalahan :

1. Bagaimanakah frekuensi Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan pengembalian aset hasil korupsi pada pelaku tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali dari tahun 2012 -2014?

7

Gatot Spramono, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan, (Bandung : Alumni,

1994), hlm. 149.

8

Bali Post, “Peringkat Terkorup Kelima Dunia” , www.balipost.co.id/balipostcetak/ 2004/ 10/22/ o1.htm

(10)

8 2. Apakah yang menjadi pertimbangan penegak hukum dalam menjatuhkan Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan pengembalian aset hasil korusi pada pelaku tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali dari tahun 2012 - 2014?

3. Bagaimanakah pelaksanaan eksekusi Pembayaran Uang Pengganti dan pengambalian aset hasil korupsi yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Bali dari 2012 - 2014?

4. Hambatan-hambatan apakah yang dijumpai dalam pelaksanaan pidana Pembayaran Uang Pengganti dan pengembalian aset hasil korupsi yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Bali dari tahun 2012 – 2014?

(11)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan Pengembalian Aset Hasil Korupsi

2.1.1.Pidana Pembayaran Uang Pengganti

Pidana adalah suatu penderitaan yang secara sengaja dijatuhkan oleh pihak yang berwenang pada seseorang yang telah melakukan kejahatan. Dalam hukum pidana Indonesia dikenal adanya dua pengelompokan jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok merupakan pidana yang dapat dijatuhkan secara mandiri oleh hakim, dapat berupa pidana mati, penjara, kurungan, dan pidana denda. Berbeda dengan pidana Tambahan, pidana ini hanya dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok. Ada berbagai macam pidana tambahan, bahkan lebih banyak lagi jenisnya dalam perundang-undangan tindak pidana khusus, seprti dalam tindak pidana korupsi.9

Dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi, baik dalam Undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak pidana Korupsi, ataupun dalam undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang No. 31 tahun 1999 telah mengatur ganti kerugian atau pembayaran uang pengganti sebagai salah satu pidana tambahan. Dalam Undang-undang Pemberantasan korupsi No. 3 tahun 1971 diatur dalam Pasal 34 huruf c “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi”. Sedangkan Undang-undang No. 31 tahun 1999 dalam Pasal 18 huruf b, ditentukan, “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) ditentukan, “Jika terpidana tidak

9

Pasal 10 KUHP menentukan adanya pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Disamping itu ada pula pidana tambahan berupa pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

(12)

10 membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”. Ketentuan ini dilanjutkan dalam ayat (3), “Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”. Ada perbedaan antara Undang-undang tahun No. 3 tahun 1971 dengan undang-undang No. 31 tahun tahun 1999 berkaitan dengan pidana ganti kerugian atau pidana pembayaran uang pengganti dalam hal terjadi kegagalan eksekusinya. Bila dalam undang-undang No. 3 tahun 1971 tidak ada solusinya, sehingga bermuara pada penghapus bukuan, sedangkan berdasarkan undang-undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-undang-undang No. 20 tahun 2001 menentukan dalam hal terjadinya kegagalan pembayaran uang pengganti, jaksa dapat melakukan penyitaan terhadap harta benda terpidana sesuai dengan jumlah kerugian negara yang harus dbayarkan dan dilanjutkan dengan pelelangan. Bilamana hartanya tidak mencukupi maka terpidana dapat dipidana penjara dengan tidak melebihi pidana pokoknya, dan ketentuan ini sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Selain menekankan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi lewat sanksi pidana, Undang-undang No 31 tahun 1999 juga memberikan tempat penggunaan proses peradilan perdata dalam upaya mendapatkan ganti kerugian dari terpidana. Hal ini telah diatur dalam Pasal 32,33, 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999 dan Pasal 38 C Undang-undang No. 20 tahun 2001. Hal ini berkaitan dengan pengembalian aset negara yang diduga merupakan diperoleh oleh seseorang dengan cara yang tidak benar, namun sulit untuk dibuktikan dalam proses peradilan pidana. Demikian pula bilamana tersangka/terdakwa meninggal dunia dalam proses peradilan pidana, sehingga pengembalian aset tersebut dapat dibebankan pada ahli warisnya.

(13)

11 2.1.2.Pengembalian Aset Hasil Korupsi

Pengembalian aset hasil korupsi diatur dalam Pasal 32, 33, dan 34 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 38 UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999.

Pasal 32 ayat (1) menentukan :

Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

Selanjutnya dalam ayat (2) ditentukan, “ Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara”. Penjelasan Pasal 32 Ayat (1) menetukan, “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang

berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Sementara itu Pasal 33 mengatur :

Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Pasal 34

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Pasal 38 ayat (5) “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum

(14)

12 menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita” . Dalam ayat (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.

Upaya untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tidak saja ada dalam ranah hukum pidana, tetapi juga ada dalam ranah hukum perdata. Hal ini dapat dilakukan bilamana satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terbukti, namun secara nyata ada kerugian negara sebagai akibat dari perbuatan tersebut. Dalam hal ini jaksa sebagai pengacara negara atau instansi yang dirugikan diarahkan untuk melakukan penuntutan secara perdata. Kerugian negara yang dimaksud adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan dari instansi yang berwenang atau akuntan yang ditunjuk.

Selain itu gugatan perdata dapat dilakukan bilamana tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan ataupun pada saat terdakwa dalam pemeriksaan dipengadilan. Jadi gugatan dapat dilakukan walaupun belum dapat ditentukan terjadi/ tidak tindak pidana korupsi, hal ini dapat dilakukan berdasarkan berkas perkara hasil penyidikan. Demikian pula gugatan dapat dilakukan walaupun belum dapat ditentukan bahwa terdakwa adalah pelaku tindak pidana tersebut berdasarkan berita acara sidang pengadilan. Gugatan ini hanya dapat dilakukan bila kerugian negara telah nyata akibat dari perbuatan tersebut. Sasaran dari gugatan perdata ini adalah pada ahli waris tersangka yang dianggap sebagai pihak yang yang bertanggungjawab secara perdata.

Upaya untuk mengembalikan aset hasil korupsi dapat pula ditempuh dengan jalan penuntut umum melakukan penuntutan agar hakim menetapkan perampasan atas barang-barang yang berdasarkan bukti yang cukup kuat sebagai hasil dari tindak pidana korupsi terdakwa.

2.2. Sistem Hukum

Suatu sistem hukum menurut Lawrence Friedman, terdiri dari substansi hukum , struktur hukum, dan kultur hukum. Dikatakannya ” Substance is

(15)

13

composed of substantive rule and rules about how institution should behave”.10

Struktur hukum dikatakannya sebagai ” ...one basic element and obvious element

of the legal system”. Selanjutnya dikatakannya pula, “ The structure of a system it is skeletal frame work; it is a permanent shape, the institutional body of the system, the though, a rigid bones that keep the process flowing within bounds”.11

Struktur dalam hal ini adalah rancangan kerja; suatu kelembagaan yang permanen yang menjadi unsur penting dari sistem hukum. Struktur hukum berkitan dengan bagaimanakah lembaga-lembaga seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian diorganisir, bagaimanakah kewenangannya, bentuk kelembagaannya dan sebagainya. Sedangkan Kultur hukum dikatakannya, ”It is the element of

social attitude and value”12 Dengan demikian dalam suatu pembentukan sistem hukum maka pembentuk undang-undang harus menentukan norma yang diatur, menentukan validitas norma dan bagaimana norma tersebut ditegakkan, tapi hal ini tidak akan berarti bila bentuk kelembagaannya (instrumen pelaksananya) dan bagaimana bekerjanya (kewenangan yang dimiliki) tidak mendukung. Terakhir semuanya akan bersentuhan dengan prilaku masyarakat, apakah sesuai dengan nilai-nilai yang mereka miliki, apakah mereka akan menerima dan melaksanakannya. Dengan demikian dalam membahas tentang pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi perlu dilakukan pengkajian dari sisi substansi hukum (norma-norma hukum), lembaga (struktur hukum) dan budaya hukum.

2.3.Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal) merupakan bagian dari kebijakan sosial yang berupa upaya penal, non penal, dan merubah cara pandang masyarakat tentang penjahat dan pidana. Hal seperti ini diungkapkan Hofnagels.

10

Lawrence Friedman, The Legel System, (New York : Russel Sage Foundation, 1975), hlm. 14.

11 Ibid. 12

(16)

14 Ungkapan Hofnagels ini sesuai dengan harapan dari PBB yang menghendaki pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilihat dari kebijakan sosial masyarakat dunia. Keinginan PBB ini nampak dalam kongres-kongres PBB tentang ”The Prevention of crime and the Treatment of Offenders”. Dalam Kongres ke-6 dan ke-7, secara jelas ditegaskan bahwa penanggulangan kejahatan hendaknya mengedepankan pencegahan dengan menghilangkan faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan. Terakhir dalam Deklarasi Wina ditegaskan kembali “Comprehensive crime prevention strategis as the

international, national, regional, and local levels must address the root causes and risk factor releted to crime and victimization through social, economic, helth, education, and justice policies”.

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal merupakan upaya penanggulangan yang bersifat preventif, sedangkan kebijakan penal merupakan kebijakan yang bersifat represif. Upaya preventif ditekankan pada usaha untuk menghilangkan faktor-faktor yang bersifat kriminogen, serta menggugah masyarakat untuk mencegah terjadinya kejahatan, sedangkan upaya represif ditekankan pada penanggulangan melalui sistem peradilan pidana. Upaya preventif menurut beberapa sarjana dibagi dalam tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosial, pendekatan, situasional, dan pendekatan kemasyarakatan.13 Sedangkan penggunaan hukum pidana dalam mananggulangi kejahatan dapat dilihat dari kebijakan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kebijakan legislatif adalah melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi, atau depenalisasi terhadap suatu perbuatan, sedangkan kebijakan yudikatif adalah menegakkan hukum (dari proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan), sementara itu kebijakan eksekutif adalah melaksanakan putusan pengadilan (lembaga pemasyarakatan).14 Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan harus dilihat sebagai

13

Moh. Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 34.

14

(17)

15 upaya terakhir (subsider), karena hukum pidana memiliki sanksi yang menderitakan.

Namun demikian penggunaan sanksi yang bersifat non fisik dan diperkirakan akan dapat memberikan manfaat baik bagi pelaku tindak pidana, masyarakat, ataupun korban kejahatan perlu di kedepankan. Hal ini nampaknya telah berkembang baik di negara maju ataupun di negara yang berkembang. Pidana denda yang bersifat administratif, menjadi solusi untuk menghindarkan pelaku dari pidana penjara yang memiliki banyak persoalan. Demikian pula dengan kehadiran pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupasi, dianggap sebagai upaya yang sangat baik, karena dapat memberikan manfaat tidak saja bagi masyarakat, tapi juga pelaku, dan korban tindak pidana korupsi tersebut.

2.4.Tujuan Pemidanaan

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan merupakan upaya untuk mengatasi persoalan kejahatan yang termasuk dalam bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan sosial yang berusaha untuk melindungi masyarakat dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Menurut Barda Nawawi maka upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana penal, khusus dalam kebijakan yudikatif/aplikatif harus mengarah pada tercapainya tujuan dan kebijakan sosial. Tahap penal policy oprasionalisasinya melalui tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi.15

Tahap formulasi adalah tahap penentuan aturan baik yang bersifat subtantif ataupun formal, sedangkan tahap aplikasi dan eksekusi merupakan tahap penegakan hukum. Jadi tercapainya tujuan hukum atau berfungsinya hukum dengan baik menurut Soerjono Soekanto tergantung dari hukum atau peraturan itu sendiri, mentalitas penegak hukum, fasilitas yang diharapkan mendukung

15

Barda nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta : Prenada Media Group, 2007), hlm. 77-79.

(18)

16 pelaksanaan hukum, dan kesadaran atau kepatuhan hukum dan prilaku masyarakat.16

Sebagaimana diuraikan di atas maka salah satu yang penting dalam kebijakan Kriminal adalah kebijakan penal. Kebijakan penal dianggap oleh masyarakat sebagai sarana penting untuk menanggulangi kejahatan. Penggunaan sarana penal sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan berarti mengedepankan pembebanan penderitaan pada pelaku kejahatan. Hal ini menjadi dilema karena sampai sekarang keberhasilan sanksi pidana masih dipersoalkan. Herbert L. Packer “Punishment is a

necessary but lamentable form of social control. It is lamentable because its inflict suffering in the name of goals whose achievement is a matter of chance”.17 Untuk mengatasi persoalan ini para sarjana kemudian mengatasinya dengan meletakkan tujuan pemidanaan sebagai alasan pembenar.

Berbagai pembenaran tersebut kemudian berkembang menjadi teori-teori pemidanaan. Ada berbagai teori pemidanaan yang berkembang, namun demikian teori-teori tersebut kemudian dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu : Teori Retributif, Teori Utilitarian, dan Teori Gabungan.

1. Teori Retributif

Teori ini pada dasarnya melihat bahwa setiap orang bertangguingjawab atas perbuatannya, sehingga sudah selayaknya seseorang yang melakukan kejahatan dijatuhi pidana. Teori ini muncul karena anggapan bahwa manusia itu adalah makhluk yang bebas (freewill), sehingga perbuatannya yang baik akan memperoleh penghargaan, sementara perbuatannya yang jahat akan memperoleh ganjaran berupa penderitaan. Pidana adalah penderitaan, jadi bila seseorang melakukan kejahatan maka pidana adalah balasan yang setimpal dari perbuatan yang dilakukannya.18

16

Soerjono Soekanto, Beberapa permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan, (Jakarta : Penerbit universitas Indonesia, 1983), hlm. 36.

17

Herbert L Packer, Toward an Integrated Theory of Criminal Punishment”, From The Limit of the Criminal Sanction, (Stanford, California : Stanford University Press, 1986) dalam Sistem (Bacaan Wajib Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana Pada Program Pendidikan Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1983), hal. 30.

18

(19)

17 Pidana dijatuhkan pada seseorang yang melakukan kejahatan , adalah sebuah keadilan dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang telah dirusaknya. Penjatuhan pidana adalah sebuah upaya untuk memelihara ketertiban.19

2. Teori Utilitarian

Teori ini meletakkan pembenaran pemidanaan pada hal-hal yang bermanfaat, baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat. Penjatuhan pidana hanya dapat dibenarkan bila ada kegunaannya, seperti pencegahan, memperbaiki terpidana, maupun perlindungan masyarakat.20

Upaya pencegahan kejahatan dapat dicapai melalui masyarakat umum. Penjatuhan pidana pada seorang pelaku kejahatan diharapkan menciptakan ketakutan pada masyarakat sehingga mereka tidak akan melakukan perbuatan tersebut (pencegahan umum). Selain itu sasaran pencegahan diletakkan pada pelaku kejahatan itu sendiri, dengan penjatuhan pidana diharapkan seseorang tidak akan mengulangi perbuatannya (pencegahan khusus). Tujuan pencegahan ini dilatar belakangi pemikiran bahwa sebagai makhluk yang rasional, manusia akan tercegah untuk melakukan tindak pidana apabila ia pernah menerima derita atau mengetahui akan menerima derita.21

Selain itu terori utilitarian juga dapat dilakukan dengan menolong pelaku kejahatan, dengan jalan memperbaikinya agar menjadi orang yang taat pada aturan-aturan hukum (rehabilitasi). Dengan diperbaikinya pelaku maka ia akan tercegah melakukan tindak pidana lagi.

3.Teori Gabungan

Teori Gabungan adalah menggabungkan beberapa tujuan pemidanaan, baik teori yang digolongkan dalam teori pembalasan ataupun teori yang digolongkan pada teori utilitarian. Jadi tujuan pemidaan adalah plural, berbagai tujuan pemidaan ini diintegrasikan, sehingga sering disebut sebagai teori integratif.22 Teori Integratif ini

19

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1985), hal.. 50. 20 Ibid.

21 Ibid. 22

(20)

18 meletakkan tujuan pidana sesuai dengan kebutuhan, dalam arti pembenaran pemidanan disesuaikan dengan oprasionalisasi dan fungsionalisasi pidana.

Berbagai teori di atas seharusnya menjadi pertimbangan penegak hukum dalam menjatuhkan Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan Upaya Pengembalian Aset hasil Korupsi. Namun demikian dalam upaya melakukan analisis terhadap Pembayaran uang Pengganti dan Upaya Pengembalian Aset Negara penekanannya adalah pada tujuan pemidanaan yang bersifat retributif. Tujuan pemidanaan yang bersifat retributif dalam hal ini dikaitkan dengan teori keadilan. Teori retributif menekankan pada prinsip keadilan, yaitu merupakan keniscayaan bagi seorang yang melakukan kejahatan harus diberikan sanksi pidana (dibebani penderitaan sesuai dengan perbuatannya yang menimbulkan penderitaan pada orang lain).23Prinsip keadilan dalam sanksi pengembalian kerugian negara sebagai akibat dari perbuatan yang korup adalah demi kepentingan warga masyarakat. Merupakan suatu keadilan menyuruh pelaku korupsi dan para pihak yang menikmati hasil korupsi (uang yang seharusnya dipergunakan untuk mensejahterakan rakyat) diharuskan mengembalikan uang tersebut.

Demikian pula perlu memperhatikan Keadilan Restoratif, walaupun sebenarnya berseberangan dengan Retributif Justice, karena konsep restoratif justice sebenarnya bukan konsep untuk membela kepentingan negara, namun dalam hal ini dapat dipergunakan karena kondisi negara yang sangat lemah berhadapan dengan para koruptor.

Restorative justice menurut Martin Wright ”A form of criminal justice based on reparation, in the serve given above”. 24Hal ini untuk mencapai tujuan meletakkan kep utusan ditangan pihak yang lemah, menciptakan keadilan yang ideal (memuaskan semua pihak), lebih transformatif, serta mengurangi kemungkinan pelanggaran di masa depan.25

BAB III

23

Muladi dan barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm.11.

24

Martin Wright, justice for victim Offender (A Restorative Respon to Crime), (Winchester : Waterside Press, 1966), hlm.IV.

25 Ibid.

(21)

19 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang akan diteliti, maka dapat dikemukakan tujuan khusus penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui frekuensi penjatuhan pidana Pembayaran Uang Pengganti dalam kasus korupsi di wilayah hukum Pengadilan tinggi Bali. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan penegak hukum di Pengadilan

Tinggi Bali dalam menjatuhkan pidana Pembayaran Uang Pengganti pada pelaku tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali. 3. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana Pembayaran Uang Pemngganti

dalam tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali. 4. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan upaya yang telah dilakukan

untuk mengatasi hambatan pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti di wsilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali.

3.2.Manfaat (Keutamaan) Penelitian

Tingkat Korupsi yang tinggi di Indonesia, termasuk di Bali memerlukan keterlibatan hukum untuk mengatasinya. Regulasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberantas korupsi sudah cukup banyak, namun korupsi masih terus berkembang. Sehingga dapat dikatakan persoalan bukan pada substansi hukum, tapi mungkin dalam pelaksanaannya. Hal ini memunculkan keingin tahuan tentang sisi lain dari persoalan hukum, yaitu penegakan hukum. Penelitian tentang penegakkan hukum terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi bukan lagi upaya penal yang konvensional, tetapi terkait dengan upaya baru yang disarankan oleh United Nation Convention against Corruption

(UNCAC) dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia yaitu tentang

pembayaran uang pengganti dan pengembalian aset hasil korupsi. Walaupun telah dilakukan regulasi namun hasil yang dicapai masih jauh dari maksimal,

(22)

20 sehingga perlu dilakukan penelitian tentang sisi yang lain yaitu pelaksanaan (eksekusi) putusan, baik yang bersifat pidana maupun perdata. Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat diketahui hambatan-hambatan dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut oleh penegak hukum terkait, sehingga ditemukan langkah-langkah baru, termasuk hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memformulasi ketentuan baru atau untuk melakukan revisi terhadap ketentuan yang sudah ada.

(23)

21 BAB IV.

METODE PENELITIAN 4.1.Jenis Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris menggunakan pola-pola penelitian ilmu sosial, khususnya Sosiologi. Penggunaan ini tidak hanya menggambarkan masalah saja (deskriptif) tetapi merupakan korelasi dengan menggunakan desain-desain pembuktian yang penuh kreativitas, menggunakan analisis multi varian dan disain-disain eksperimental yang terkontrol. Metode Penelitian hukum empiris ini menggunakan data primer. Tetapi didukung pula dengan data sekunder yang berupa bahan hukum. Bahan hukum yang akan dijadikan pijakan awal dalam melakukan penelitian tersebut berupa norma-norma hukum, baik dalam bentuk undang-undang ataupun ketentuan perundangan lainnya. Bahan hukum akan diseleksi sehingga sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan dan tujuan dari penelitian.

Penelitian ini akan meneropong fenomena hukum, yaitu : Pelaksanaan Pidana Pembayaran Uang Pengganti dan upaya Pengembalian Aset Hasil Korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali.

4.2.Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitis. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini bermaksud untuk

menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan pelaksanaan pidana Pembayaran uang Pengganti dan pengembalian aset hasil korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali.

Penelitian ini tidak hanya bertujuan memberikan gambaran tentang fakta-fakta yang ada yang diperoleh di lapangan maupun dari studi kepustakaan. Tetapi setelah dipelajari ketentuan hukumnya dan diteliti di lapangan, diadakan analisis untuk memperoleh substansi yang diperlukan dalam menyusun pembaharuan ketentuan atau revisi terhadap ketentuan yang sudah ada.

(24)

22

4.3.Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan akan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali, meliputi Pengadilan Negeri Denpasar, dan Pengadilan Tipikor. Pertimbangannya adalah banyaknya kasus korupsi yang ditangani oleh dua lembaga pengadilan ini dibandingkan dengan pengadilan lainnya di Bali. Sedangkan data yang akan diteliti meliputi data tahun 2010-2014. Tidak disertakannya data tahun 2015 karena data tahun ini masih sedang dalam proses penanganan dan belum semuanya tuntas ditangani.

4.4.Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian ini adalah data Primer dan data Sekunder. Data Primer adalah data yang sumbernya langsung dari pihak- pihak yang terlibat dalam objek penelitian (penegak hukum, utamanya adalah hakim, jaksa eksekutor, panitera pengadilan) atau dengan kata lain data yang diperoleh dari penelitian lapangan yaitu di Pengadilan Tinggi Bali. Sedangkan data Sekunder adalah terdiri dari : Bahan Hukum Primer yang berupa asas dan kaedah hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen resmi negara; . Bahan Hukum Sekunder yang bersumber dari buku-buku atau jurnal hukum, hasil penelitian hukum, kamus hukum, karya tulis berupa peper/makalah yang diseminarkan dan artikel yang dimuat di media massa ; serta bahan non hukum yaitu bahan penelitian yang terdiri atas buku teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian. Bahan-bahan hukum ini akan membantu dalam mempersiapkan penelitian lapangan dan juga dalam analisis data yang diperoleh dari penelitian lapangangan. Akhirnya diharapkan penelitian ini dapat memberikan hasil maksimal untuk langkah pemerantasan korupsi ke depan.

4.5.Teknik Pengumpulan Data

Penelitian untuk memperoleh data sekunder berupa bahan hukum dilakukan melalui tehnik Studi Kepustakaan (studi dokumen) serta studi perbandingan

(25)

23 yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data yang berupa bahan hukum dengan jalan menelaah, mengklasifikasikan, mengidentifikasikan, mengkaji, memotret dan melakukan scanning atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pidana pembayaran uang pengganti dan pengembalian aset hasil korupsi. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dianalisis secara sistematis, interpretative dan argumentative.

Penelitian untuk memperoleh data primer dilakukan dengan studi lapangan. Studi lapangan dilakukan dengan jalan terjun langsung ke lapangan, dalam hal ini akan dilakukan wawancara (interview). Teknik penelitian wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide), untuk mendapatkan data kualitatif. Dalam hal ini instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, pedoman wawancara, disertai alat perekam. Sedangkan sumber informasi diharapkan mereka yang berkompeten (informan kunci) dengan menggunakan teknik snow bowling.

4.6.Teknik Pengelolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian tersebut akan diolah, hal ini dimula dengan editing, coding dan tabulasi data. Setelah data tersebut diolah maka dilakukan analisis data. Hal ini dilakukan dengan analisis kualitatif atau deskriptif analitis. Keseluruhan data yang telah diolah dan disusun secara sistematis, kemudian dilakukan interpretasi untuk memahami makna data, dan selanjutnya diberikan argumentasi. Proses analisis akan dilakukan terus menerus sejak pencarian data sampai pada tahap analisis akhir. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif maka data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.

(26)

24 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang Pengganti di wilayah Pengadilan Tinggi Bali

Sebagaimana telah diungkapkan di depan bahwa walaupun penelitian ini melingkupi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali, namun ruang lingkup yang diteliti hanyalah putusan Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Denpasar. Hal ini disebabkan oleh karena seluruh perkara Korupsi yang ditangani Pengadilan Negeri yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali ditangani oleh Pengadilan Tipikor Denpasar.

Pengadilan Tipikor Denpasar di Pengadilan Negeri Denpasar merupakan Pengadilan untuk Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 153/KMA/SK/X/2011 tertanggal 11 Oktober 2011. Berdasarkan ketentuan tersebut Pengadilan Tipikor Denpasar telah mulai menangani perkara, kecuali perkara yang sedang berjalan masih tetap berlangsung di lembaga-lembaga pengadilan yang memiliki kewenangan sebelumnya sampai putusannnya memiliki kekuatan tetap.

Sesuai dengan ketentuan tersebut maka penelitian ini akan melihat putusan-putusan korupsi yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali. Putusan-putusan yang akan diteliti dan selanjutnya akan dianalisis, adalah putusan-putusan Pengadilan Tipikor Denpasar.

Beberapa putusan Tipikor Denpasar ternyata telah menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti.. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian terhadap putusan Pengadilan Tipikor Denpasar dalam kurun waktu 2012 – 2014.

(27)

25 Tabel : 1

Frekuensi Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang pengganti di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 2012

No .

No. Perkara Terdakwa Tuntutan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti 1. 1/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps Desak Putu Ari Padmini 290.998.750,00 290.998.750,00 2. 2/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps I Md. Widarma - - 3. 3/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps I W. Gunawan - - 4. 4/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps H Asmuni Turyadi - - 5. 5/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps I W. Arnawa - - 6. 6/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps Bambang Subagyo - - 7. 7/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps Dra. Tety Gemeniaw ati - - 8. 8/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps I M Budiarta - - 9. 9/Pid.Sus/TPK/2012/PN. Dps Ni N. Rusmini - -

(28)

26 10. 10/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps I Gd. Pt. Sunarta - - 11. 11/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps Priat Eko Purwo - - 12. 12/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps Rudi Hartono - Bebas 13. 13/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps I Ngh. Arnawa 1.395.000.000,00 1.395.000.000,00 14. 14/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps I N Oka Diputra - - 15. 15/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps Nengah Sugita - Bebas 16. 16/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps N. Pastika 29.921.753,00 29.921.753,00 17. 17/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps I W Kari Bagas P 625.670.000,00 625.670.000,00 18. 18/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps I A Sriastuti - - 19. 19/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps Pt. Bagiada 574.709.326,00 574.709326,00 20. 20/Pid.Sus/TPK/2012/PN Dps I W. Gobang Edi Sucipto - -

Sumber : Buku Register Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2012 PN. Dps.

(29)

27 Keterangan Tabel I :

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar telah memutuskan 20 kasus tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2012. Dari 20 kasus tersebut sebanyak 5 kasus yang mengharuskan terpidana membayar uang pengganti.

Tabel : 2

Frekuensi Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang pengganti di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 2013

No .

No. Perkara Terdakwa Tuntutan Pidana

Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti 1. 1/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I W. Sukaja 455.000.000,00 455.000.000,00 2. 2/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I M Wardana - - 3. 3/Pid.Sus/TPK/2013/PN.D ps I.Kt. Rana - - 4. 4/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps Ngh. London - - 5. 5/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps

IM. Yasa - Bebas

6. 6/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps Ngh. Artabawa - - 7, 7/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I Dw. Gd. Ramayana 63.820.000,00 62.745.000,00

(30)

28 8. 8/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps Pt. Santika 85.567.500,00 Bebas 9. 9/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps Gd. Budiasa 1.863.126.650,00 1.863.126.650,00 10. 10/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I M Kangen - - 11. 11/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I W. Budiarsa 91.510.000,00 102.890.000,00 12. 12/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I W. Ranuh 135.000.000,00 135.000.000,00 13. 13/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I Kt. Rustiani 25.200.000,00 25.200.000,00 14 14/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I Dw. Pt. Jati - Bebas 15. 15/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I Dw. N. Putra - Bebas 16. 16/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I N Mudjarta - Bebas 17. 17/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I K. Suardi 100.000.000,00 Bebas 18. 18/Pid.S us/TPK/2013/PN.Dps I Kt. Tamtam 2.693.498,92 - 19. 19/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I Ngh. Wijaya 200.000.000,00 200.000.000,00- 20. 20/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I B. Dedi Mahendra 65.200.500,00 65.200.500,00 21. 21/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps I.B. Pt. Sutika 10.000.000,00 - 22. 22/Pid.Sus/TPK/2013/PN. I W. - -

(31)

29 Dps Budra 23. 23/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps Indrapura Barnoza - 24. 24/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps Makhael Maksi - - 25. 25/Pid.Sus/TPK/2013/PN. Dps Rudi Jhonson Sitorus - -

Sumber : Buku Register Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2013 PN. Dps.

Keterangan Tabel 2 :

Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah kasus tindak pidana korupsi yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar berjumlah 25 kasus. Dari jumlah tersebut yang dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan ancaman pembayaran uang pengganti sejumlah 12 kasus, sedangkan terpidana yang akhirnya diputus harus membayar uang pengganti berjumlah 8 orang.

(32)

30 Tabel : 3

Frekuensi Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang pengganti di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 2014

No .

No. Perkara Terdakwa Tuntutan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Pidana pembayaran Uang Pengganti 1. 01/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Chris Saridana 19.432.277.917,00 19.432.277.917,00 2. 02/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Pt. Wibawa - - 3. 03/Pid.Sus/2014/PT.T PK.Dps. Gst. Lanang Bagus Arnawa - - 4. 04/Pid.Sus/2014/PT.T PK.Dps. I W Misi - - 5. 05/Pid.Sus/2014/PT.T PK.Dps. Kt. Rata - - 6. 06/Pid.Sus/2014/PT.T PK.Dps. Hening Puspita R - - 7. 07/Pid.Sus/2014/PT.T PK.Dps. Yudho Kardianto Rp. 263.368.150,- Rp. 2 63.368.150, -8. 8/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Cening Arca - -

(33)

31 9. 9/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps N. Pt. Indra Maritin 379.009.500,00 379.009.500,00 10. 10/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps I W Sudiasa 99.172.152,00 99.172.152,00 11. 11/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps I N. Sueca - - 12. 12/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Rudi Suhartono 2.338.300.200,00 2.338.300.200,00 13. 13/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Prof. I M. Titib - - 14. 14/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps IK. Sutapa - - 15. 15/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Ni Made Vina H - - 16. 16/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Gd. Suadnya na - - 17. 17/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Gst. Ngurah Karjaya - - 18. 18/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Md. Ngurah Adi PD - - 19. 19/Pid.Sus/TPK/2014/ IW 1.650.060.020,00 1.650.060.020,00

(34)

32 PN.Dps Budiasa,S E dan I.W Mendi SE 20. 20/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps I W. Kawiada - - 21 21/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps IK Suwirta - - 22 22/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps I W. Arnawa - - 23. 23/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Gd. Pt Wigraha Rp. 61.209.200- Rp. 61.209.200- 24. 24/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Kd. Ari K - - 25. 25/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Ni Md. Ayu A - - 26. 26/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps Gd. Rasa D - - 27. 27/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps IK. Mantra Gandi - - 28. 28/Pid.Sus/TPK/2014/ PN .Dps K. Suatika - - 29. 29/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps AA Rai A dan I B - -

(35)

33 Raka 30. 30/Pid.Sus/2014/PN. Dps I Sandi - - 31. 31/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps W. Suaedika - - 32. 32/Pid.Sus/2014 Kd. Aristana Rp. 36.487.500,- Rp. 36.487.500,- 33. 33/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps M.Darna Yasa - - 34. 34/Pid.Sus/TPK/2014/ PN.Dps I K. Manuaba Rp. 447.686.325,- Rp. 447.686.325,-

Sumber : Register Buku Tindak Pidana Korupsi Tahun 2014 PN. Dps. Keterangan Tabel 3

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Pengadilan Tipikorv Denpasar sepanjang tahun 2014 telah memutuskan 34 kasus. Dari tiga puluh empat kasus hanya 9 (sembilan) kasus yang akhirnya dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti

(36)

34 Tabel : IV

Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi dari tahun 2012 -2014

Tahun Jumlah kasus yang diadili di Pengadilan Tipikor Denpasar Jumlah Kasus Korupsi yang dijatuhi pidana Pembayaran uang Pengganti Jumlah Pembayaran Uang Pengganti Eksekusi pidana Pembayaran Uang Pengganti 2012 2013 2014 20 25. 34 5 8 9 2.916.299.829,00 2.987.118.148,92 24.707.470.964,00 2.916.299.829,00 2.987.118.148,92 24.707.470.964,00

Sumber : Register Buku Tindak Pidana Korupsi PN. Denpasar Tahun 2012,2013,2014

Keterangan Tabel IV :

Tabel di atas menggambarkan perkembangan jumlah kasus korupsi yang ditangani, jumlah kasus korupsi yang dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti, dan besaran pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan hakim pengadilan Tipikor Denpasar. Tahun 2012 Pengadilan Tipikor menangani 20 kasus, dari dua puluh kasus tersebut yang dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti berjumlah 5 kasus dengan totol besaran jumlah pembayaran uang penggantinya adalah Rp. 2.916.299.829,00. Tahun 2013 kasus korupsi yang ditangani berjumlah 25 kasus, dengan 8 kasus dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti, dengan jumlah besaran 2.987.118.148,92. Selanjutnya dalam tahun 2013 Pengadilan Tipikor Denpasar menangani 34 kasus korupsi, 9 diantaranya

(37)

35 dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti, dengan besaran total berjumlah Rp. 24.707.470.964,00

Tabel di atas menunjukkan terjadi kenaikan jumlah kasus korupsi yang ditangani, meningkatnya kasus yang diputus dengan penjatuhan pembayaran uang pengganti, dan semakin meningkatnya jumlah uang pengganti yang diharapkan dapat diterima negara kembali dari kasus korupsi. Namun demikian tiada satupun kasus korupsi yang berkaitan dengan pengembalian aset negara.

5.2.Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang Pengganti di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali

5.2.1.Hal yang harus ada dalam Surat Putusan Pemidanaan

Dalam KUHAP Pasal 197 ditentukan isi surat putusan pemidanaan yang harus memuat :

1. Kepala putusan yang berisikan tulisan “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”

2. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa

3. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan

4. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaaan alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar tuntutan kesalahan terdakwa

5. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan

6. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa

7. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal

8. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan

(38)

36 9. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlah yang pasti dari ketentuan mengenai barang bukti

10. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu

11. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan

12. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera.

Pada pokoknya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan tuntutan dari jaksa penuntut umum dan hasil pemeriksaan dipersidangan berkaitan dengan dakwaan jaksa. Hakim menjatuhkan putusan memperhatikan perbuatan tersebut sebagai bagian dari tindak pidana, berat ringannya perbuatan yang dilakukan tersebut berdasarkan penilaian masyarakat atas kerugian yang diakibatkan, siapa pelaku dari perbuatan tersebut, apa alasannya melakukan perbuatan tersebut, modus yang dilakukan, ancaman pidana terhadap perbuatan tersebut, dan tuntutan pidana jaksa penuntut umum. Hal-hal ini menunjukkan bahwa dakwaan ataupun tuntutan penuntut umum menjadi sangat penting sebagai dasar pemeriksaan dan dasar pengambilan keputusan.

5.2.2Tatacara Penuntutan Pembayaran Uang Pengganti

Jaksa selaku penuntut umum diharapkan dalam melakukan penuntutan juga menyertakan tuntutan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Dalam menentukan besaran penuntutan yang harus dilakukan Jaksa Agung sudah mengeluarkan pedoman dalam Surat Jaksa Agung No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tertanggal 11 Mei 2009. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penuntutan adalah :

1. Pembayaran uang pengganti sedapat mungkin ditujukan pada instansi yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi.

2. Demi menciptakan keadilan pada terpidana yang hanya membayar sebagain pidana pembayaran uang pengganti, maka dalam amar tuntutan

(39)

37 supaya ditambahkan klausul, “apabila terdakwa/terpidana membayara uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti. 3. Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih

dari satu orang supaya di dalam amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi yang terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing terdak wa/terpidana maupun terhadap terpidana yang tidak membayar (atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti tersebut.

4. Apabila tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomani untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi turut serta dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP. 5. Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian keuangan negara oleh KejaksaanAgung.

5.2.3.Hal-hal yang telah dilakuan Penuntut Umum untuk memudahkan hakim menjatuhkan putusan pemidanaan Pembayaran Uang Pengganti

Penuntut umum dalam uapayanya memudahkan hakim melakukan pemeriksaan dan mengambilan keputusan berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti selama masa waktu 2012-2014, telah :

(40)

38 1. Berusaha membuat dakwaan secara cermat. Jaksa selaku penuntut umum merasakan bahwa perbuatan korupsi adalah perbuatan yang rumit untuk diungkapkan karena merupakan kejahatan berjamaah (kejahatan kolegial). Pelaku tindak pidana ini akan saling melindungi. Pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-orang pintar (orang-orang yang berdasi).

2. Jaksa melakukan tuntutan selalu mencantumkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti selain pidana pokoknya.

3. Bilamana putusan telah dibuat oleh hakim, namun putusan tersebut tidak sesuai dengan dakwaan atau tuntutan, maka jaksa selaku penuntut umum akan melakukan banding atau kasasi.

4. Dalam hal meminimalisir kehilangan barang bukti yang merupakan bagian dari alat bukti, selain penting untuk melakukan pembuktian juga sangat penting untuk pengembalian kerugian negara, maka jaksa selalu berusaha melakukan upaya paksa dengan melakukan penyitaan.

5. Melakukan penahanan terdakwa, agar terhindar dari kesulitan karena kaburnya terdakwa.

6. Melibatkan aparat keuangan negara dalam hal mencari dan menghitung kerugian negara yang telah terjadi (dalam hal ini dilakukan kerja sama dengan BPK, BPKP, dan PPATK).

7. Kegagalan dalam melakukan dakwaan dan penuntutan bukanlah akhir dari perjuangan. Jaksa sebagai pengacara negara seharusnya berusaha melakukan gugatan perdata untuk dapat mengembalikan aset-aset negara yang telah dikorupsi. Namun hal ini tidak dilakukan.

Sementara itu hakim seharusnya dalam pertimbangan-pertimbangannya berkaitan dengan pidana Pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi,memperhatikan :

1. alasan penjatuhan pidana, besaran kerugian negara, tujuan pemidanaannya.

2. Selalu menuntut pembayaran uang pengganti 3. Jaksa diharapkan agar mengajukan banding/kasasi

(41)

39 Dari pertimbangan pertimbangan hakim terhadap putusan-putusan tersebut maka dapat diketahui alasan utama dari penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti dilandasi pertimbangan bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa telah merugikan negara, sehingga terdakwa harus mengembalikan hasil korupsinya dengan sejumlah uang, sesuai dengan kerugian negara. Pengembalian kerugian negara secara langsung wajib dibayarkan pada institusi yang dirugikan.

Alasan penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti, sebagai ganti kerugian terhadap negara dapat diketahui dari beberapa putusan Pengadilan seperti putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar No. 7 /Pid.Sus/TPK/2014 tanggal 1 Juli 2014 yang menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti sejumlah sama dengan kerugian yang diderita negara sebagai akibat dari perbuatan terpidana. Namun Pengadilan Tinggi melalui putusannya No. 04/Pid.Sus./2014/PT.TPK.DPS tanggal 3 September 2014 membatalkan putusan tersebut berdasarkan pada proses persidangan ternyata terdakwa mengembalikan uang yang telah disalahgunakan tersebut pada instansi yang bersangkutan (lembaga yang menderita kerugian sebagai tindakkan terdakwa) yaitu Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Kecamatan Denpasar Selatan.

Hal ini juga dapat diketahui dari adanya putusan Pengadilan Tinggi yang membatalkan putusan pengadilan negeri berkaitan dengan pidana pembayaran uang pengganti. Pembatalan penjatuhan pidana tersebut sebagai konsekuensi dari pembayaran kerugian negara yang dilakukan terdakwa dalam masa waktu banding atas putusan pengdilan negeri yang menjatuhkan pidana tambahan berupa Pembayaran uang pengganti. Jadi terpidana dalam proses banding telah mengembalikan kerugian negara tersebut.

Demikian pula alasan putusan Pengadilan Negeri tidak mencantumkan pembayaran Uang Pengganti dikarenakan, terdakwa pada masa proses peradilan/masa persidangan di pengadilan negeri melakukan pengembalian kerugian negara. Hal ini tidak dikaitkan dengan sanksi yang lain, kecuali pembayaran uang pengganti saja. Hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Negeri No. 15/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Dps. tanggal 25 September 2015. Jo.

(42)

40 Putusan Pengadilan Tinggi bali No. 05/PID.SUS/2014.TPK.DPS tanggal 1 Desember 2014.

Sementara itu besaran kerugian yang harus dibayarkan setara dengan kerugian yang diderita negara sebagai akibat dari perbuatan terpidana. Jumlah tersebut diperoleh dari hasil audit dari lembaga yang berwenang seperti BPKP atau auditor dari institusi yang dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Pengadilan Negeri No. 15/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Dps. tanggal 25 September 2015. Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Bali . No. 05/PID.SUS/2014.TPK.DPS tanggal 1 Desember 2014.

Adapun tujuan pemidanaan merupakan rangkaian yang bersifat preventif, reresif dan edukatif, dan korektif. Disamping itu diharapkan memberikan efek jera pada para pelaku agar orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan terdakwa. Hal ini secara jelas dapat dilihat dari pertimbangan Pengadilan Tinggi Denpasar dalam putusannya Pengadilan Tinggi Bali . No. 05/PID.SUS/2014.TPK.DPS tanggal 1 Desember 2014. Jadi pemidanaan pada umumnya dan juga termasuk di dalamnya penjatuhan pembayaran uang pengganti sangat diharapkan sebagai sarana pencegahan, yaitu agar terpidana tidak kembali melakukan perbuatan tersebut. Penggunaan pidana pembayaran uang pengganti dapat dipastikan menjadi salah satu upaya untuk mencegah seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Pidana pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan oleh hakim biasanya jumlahnya sama dengan kerugian yang diderita negara sebagai akibat dari perbuatan tersebut. Dengan mengetahui bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi akan dijatuhkan pidana pembayaran uang pengganti, akan membuat seseorang merasa percuma melakukan tindak pidana tersebut.

Tujuan pemidanaan yang lain adalah berupa pembalasan. Hal ini dapat diketahui dari bunyi pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi Bali No. 05/PID.SUS/2014.TPK.DPS tanggal 1 Desember 2014 yang dalam kalusul menimbangnya menyatakan “...mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan oleh Majelis hakim tingkat pertama terhadap terdakwa menurut Pengadilan Tinggi terlalu ringan , sehingga perlu diperberat sebagai pertanggungjawaban terdakwa

(43)

41 atas perbuatan yang telah menyalahgunakan kewenangan sebagai kasir yang dipercayakan padanya sebagai amanah untuk menerima pajak...”

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hakim tidak spesifik menyebutkan pertimbangan pemidanaan tersebut berkaitan dengan pembayaran uang pengganti. Hakim memberikan pertimbangan terhadap keseluruhan jenis pidana yang dijatuhkan. Dari berbagai putusan tersebut ada beberapa pertimbangan hakim yang berbeda-beda, yaitu ada yang lebih menekankan pada tujuan pembalasan, ada dengan tujuan prevensi khusus, dan ada pula yang memilki tujuan prevensi umum, namun tidak ada putusan yang secara tegas menyatakan bahwa pemidanaan tersebut bertujuan untuk merehabilitasi pelaku.

Sementara itu berkaitan dengan tiada satupun kasus korupsi yang diproses dikaitkan dengan pengembalian aset hasil korupsi maka, tentu tiada juga pertimbangan yang dihasilkan dari penelitian ini.

5.3.Pelaksanaan Pembayaran Uang Pengganti dan Pengembalian Aset Hasil Korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bali sebagai Pengganti Kerugian Negara

5.3.1.Mekanisme Pelaksanan Pidana Pembayaran Uang Pengganti

Mekanisme pelaksanaan Pidana Pembayaran Uang Pengganti diatur dalam Keputusan Kejaksaan Agung Republik Indonesia No. KEP-158/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001. Menurut ketentuan ini pembayaran pidana pembayaran uang pengganti dilakukan dengan jalan :

a. dibuatkan surat panggilan (D-1) dengan prihal tagihan uang pengganti kepada terpidana untuk menghadap pada jaksa eksekutor di kantor kejaksaan setempat.

b. Terpidana setelah dipanggil dan menghadap jaksa eksekutor ditanya tentang kewajiban membayar uang pengganti yang telah dijatuhkan oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada tahap ini terpidana dibuatkan surat pernyataan (D-2) yang isinya sanggup atau tidak sanggup membayar uang pengganti.

(44)

42 c. Pada saat membayar uang pengganti, maka dibuatkan tanda terima pembayaran (D-3) uang telah diterima dari terpidana, dan ditanda tangani oleh kasi pidana khusus atas nama kepala kejaksaan negeri.

d. Setelah diterima uang pengganti dari terpidana maka kepala kejaksaan negri/ tinggi setempat membuat surat perintah (D-4) yang memerintahkan Pada jaksa eksekutor/kasi pidana khusus/kasubsi penuntutan pidsus untuk menyerahkan uang pengganti atas nama terpidana yang bersangkutan kepada Kasubag Bin Kejaksaan setempat Cq. Bendahara khusu/Penerima dalam waktu 1 x 24 jam setelah diterima,

e. Bendahara khusus/penerima setelah menerima uang pengganti dalam waktu 1 x 24 jam harus menyetorkan uang pengganti dengan blanko surat setoran penerimaan negara bukan pajak (SSBP) ke kas negara dengan mata Anggran Penerimaan (MAP) 423473 melalui Bank. Namun berdasarkan surat Jambin No. 005/C/Cu/01/08 dan Permen Keu No. 91/PMK.05/2007 MAP diubah menjadi No. 423614 berlaku sejak Januari 2008.26

5.3.2 Pelaksanaan Eksekusi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Pelaksanaan pembayaran uang pengganti mengikuti aturan yang telah ditentukan namun demikian pada umumnya petugas eksekusi memberikan jangka waktu kurang lebih sebulan untuk terpidana mempersiapkan diri melaksanakan pembayaran. Setelah batas waktu tersebut tidak ada pembayaran maka, dianggap pelaku tidak mampu melunasi uang pengganti tersebut. Untuk memastikan bahwa terpidana tidak mampu membayar uang pengganti seringkali terpidana membuat surat pernyataan dengan disertai tanda tangan kepala desa/lurah sebagai pihak yang mengetahui ketidak mampuan terpidana.

Terlampauinya batas waktu sebulan yang telah disepakati antara petugas eksekusi dengan terpidana, maka berarti terpidana telah memilih melaksanakan

26

Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Depok : Solusi Publihsing,2010), hlm.37 – 38.

(45)

43 hukum subsidernya. Petugas dengan segera menyerahkan terpidana pada Lapas agar pidana subsider yang telah diputuskan oleh hakim segera dilaksanakan.

Sebagian besar pidana tambahan pembayaran uang pengganti tidak terlaksana. Pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti tidak berjalan dengan baik, karena hampir semua pidana pembayaran pengganti tidak dapat dieksekusi. Kegagalan dalam melaksanakan eksekusi tersebut bukan semata-mata karena tidak bersedianya terpidana melakukan pembayaran, tapi juga karena pembayaran uang hasil korupsi sudah dilakukan sebelum putusan diambil oleh hakim. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa pelaku yang bersedia bekerja sama mengembalikan uang hasil korupsi akan mendapat peringanan hukuman.

Kesediaan menyerahkan uang hasil korupsi tersebut dimanfaatkan oleh penyidik untuk memudahkan penyidikan. Dengan memberikan harapan bahwa tersangka/terdakwa akan dihapuskan atau dikurangi hukumannya bilamana bersedia mengembalikan jumlah uang yang dikorupsi, maka dengan mudah akan diperoleh kesaksian terdakwa. Kesaksian ini akan membantu mengungkap baik modus ataupun pelaku –pelaku lainnya.

Petugas eksekusi kurang tegas dalam melaksanakan eksekusi pembayaran uang pengganti. Mereka akan menerima saja bilamana terpidana menyatakan diri tidak memiliki lagi harta benda untuk dipakai membayar uang pengganti. Terpidana cukup melampirkan surat keterangan dari kepala desa yang menyatakan bahwa terpidana sudah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pembayaran uang pengganti.

(46)

44 Tabel : 5

Pelaksanaan Eksekusi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti

No. No. Putusan Terpidana Jumlah pidana

Pembayaran Uang Pengganti Hasil Eksekusi 1. 1/Pid.Sus/TPK/2012/ PN.Dps Desak Putu Ari Padmini 290.998.750,00 - 2. 13/Pid.Sus/TPK/2012 /PN.Dps I Ngh. Arnawa 1.395.000.000,00 - 3. 16/Pid.Sus/TPK/2012 /PN.Dps N. Pastika 29.921.753,00 - 4. 17/Pid.Sus/TPK/2012 /PN.Dps I W Kari Bagas P 625.670.000,00 - 5. 19/Pid.Sus/TPK/2012 /PN.Dps Pt. Bagiada 574.709.326,00 - 6. 1/Pid.Sus/TPK/2013/ PN.Dps I W. Sukaja 455.000.000,00 - 7. 7/Pid.Sus/TPK/2013/ PN.Dps I Dw. Gd. Ramayana 63.820.000,00 - 8. 9/Pid.Sus/TPK/2013/ PN.Dps Gd. Budiasa 1.863.126.650,00 - 9. 11/Pid.Sus/TPK/2013 /PN.Dps I W. Budiarsa 91.510.000,00 - 10. 12/Pid.Sus/TPK/2013 /PN.Dps I W. Ranuh 135.000.000,00 - 11. 13/Pid.Sus/TPK/2013 /PN.Dps I Kt. Rustiani 25.200.000,00 - 12. 19/Pid.Sus/TPK/2013 /PN.Dps I Ngh. Wijaya 200.000.000,00 -

Gambar

Tabel  di  atas  menggambarkan  perkembangan    jumlah  kasus  korupsi  yang  ditangani, jumlah kasus korupsi yang dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang  pengganti,  dan  besaran  pembayaran  uang  pengganti  yang  dijatuhkan  hakim  pengadilan  Tipikor
Tabel  V  memberikan  gambaran  betapa  susahnya  melaksanakan  eksekusi  untuk  pidana tambahan pembayaran uang pengganti

Referensi

Dokumen terkait

Sebelumnya dikatakan bahwa Kecamatan Reok lolos untuk menjadi Pusat Kegiatan Lokal dikarenakan memiliki pelabuhan kelas III dan jalan areteri yang mendukung

(5) Tenaga kependidikan berstatus kontrak dan relawan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang diperuntukan bagi jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh

ketika negara ingin membangun infrastruktur seharusnya alokasi anggaran ditingkatkan. Tidak akan tercapai pembangunan infrastruktur yang maksimal apabila tidak

Oleh karena itu, maka komunikasi penyuluhan yang dilakukan baik dari segi teknik, bahasa, dan sarana yang digunakan harus disesuaikan dengan daya nalar masyarakat yang dilihat

Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Puguh Harianto sebagai Ketua Pelaksana yaitu tugas dari dua divisi ini hampir sama dan sesuai dengan keputusan dari DPM agar

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur yang digunakan mengukur apa yang perlu diukur. Suatu alat ukur yang validitasnya tinggi akan mempunyai tingkat kesalahan

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Islam "Ibnu Sina" Yarsi Sumbar Bukittinggi menunjukkan bahwa 54,7% perawat memiliki kecendrungan turnover, dari

value Teks default yang akan dimunculkan jika user hendak mengisi input maxlength Panjang teks maksimum yang dapat dimasukkan. emptyok Bernilai true jika user dapat tidak