• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme penduduk. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi, antara lain :

1. Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim. 2. Pengaruh daratan atau lautan

3. Pengaruh ketinggian tempat (makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka suhu akan semakin rendah)

4. Pengaruh angin secara tidak langsung, misalnya angin yang membawa panas dari sumbernya secara horizontal.

5. Pengaruh panas laten, yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer.

6. Penutup tanah yaitu tanah yang ditutup vegetasi yang mempunyai temperatur yang lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi

7. Tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi

8. Pengaruh sudut sinar matahari. Sinar yang tegak lurus akan membuat suhu lebih panas daripada yang datangnya miring.

Perubahan terhadap keseimbangan pemanasan merupakan pengaruh meteorologi utama yang ditimbulkan oleh aktivitas perkotaan. Perubahan dapat terjadi karena perubahan karakteristik pemanasan pada permukaan dan perubahan penyinaran matahari (Soedomo 2001).

Banyaknya dinding bangunan tegak lurus di daerah perkotaan akan mengubah keseimbangan pemanasan pada siang hari, gelombang sinar matahari yang ada akan mengalami pemantulan berulang kali oleh permukaan tanah dan dinding-dinding tinggi, hingga gelombang sinar yang dapat terlepas langsung ke atmosfer sangat sedikit. Pada malam hari, pelepasan panas yang tertahan pada siang hari akan meningkatkan temperatur minimum. Hal ini berlangsung selama musim panas atau di perkotaan daerah tropis (Soedomo 2001).

Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 3°K dibandingkan dengan pinggir kota. Peningkatan suhu udara terjadi karena adanya perbedaan

(2)

dalam pemakaian energi, penyerapan dan pertukaran panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan (Landsberg 1981 dalam Wardhana 2003).

Akumulasi panas di daerah perkotaan pada siang hari akan mengakibatkan perbedaan keseimbangan radiatif yang berbeda dengan daerah pedesaan pada malam hari. Daerah pedesaan yang ada di sekitar perkotaan menyimpan panas lebih sedikit pada siang hari dibandingkan dengan daerah perkotaan. Perbedaan tersebut mengakibatkan terjadinya suatu gumpalan panas di daerah perkotaan yang isotermalnya biasanya terletak di daerah pusat kota (Soedomo 2001).

2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah

Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang menghasilkan rencana tata ruang (Bappeda 2009).

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang (Bappeda 2009). Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWKN) adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara (UU No. 26 tahun 2007 dan PP No. 26 tahun 2008). Menurut Tarigan (2005), perencanaan wilayah adalah penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut. Berdasarkan Jayadinata (1999), perencanaan wilayah meliputi: wilayah kota besar, wilayah pedesaan, tutupan lahan, pemusatan penduduk dan sebagainya.

2.3 Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Peningkatan Suhu Udara

Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open

spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi

(3)

kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai dengan kondisi wilayah studi merupakan ruang yang tidak terbangun, dengan perbandingan unsur tanaman yang lebih luas dan memiliki fungsi utamanya, yaitu untuk perlindungan kawasan sekitarnya. Manfaat lain RTH adalah akan memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam (Zulkarnain 2006).

2.3.1 Perubahan penggunaan lahan

Pengunaan lahan diartikan sebagai bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materi maupun spiritual (Soedomo 2001). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan serta pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di atas lahan tersebut seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya (Soedomo 2001). Perubahan penggunaan lahan dapat mengacu pada dua hal yang berbeda, yaitu penggunaan lahan sebelumnya atau rencana tata ruang yang ada (Bappeda 2009).

Berdasarkan Undang-Undang serta data RTRW 2004-2014 bahwa ruang terbuka hijau yang ada di Kota Palembang hanya berjumlah di atas 30% dari luas Kota Palembang (Bappeda 2009). Kawasan RTH di Palembang banyak dialihfungsikan menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar. Contohnya, ruang terbuka hijau yang ada dikawasan Rajawali (kawasan sungai Bayas dan sungai Bendung) misalnya dengan luas 16,72 Ha kini telah beralih fungsi menjadi lahan bisnis dan milik pribadi dengan dibangunnya puluhan ruko, supermarket serta lahan parkir kendaraan berat oleh sebuah perusahaan besar. Hal serupa juga terjadi di kawasan Taman Kota Kambang Iwak yang mempunyai luas sekitar 20 Ha, saat ini telah berubah menjadi kawasan bisnis dengan dibangunnya toko dan kafe-kafe di tempat tersebut, serta Ruang Terbuka Hijau dengan luas 21 Ha yang ada disimpang Patal telah beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan sehingga

(4)

alih fungsi lahan yang terjadi telah menyebabkan kawasan ini masuk dalam kawasan rawan banjir dan meningkatnya suhu udara di kota Palembang (Jatmiko 2009).

2.3.2 Peranan hutan kota terhadap penurunan suhu udara pada iklim mikro Pepohonan dan vegetasi lainnya dapat memperbaiki suhu kota melalui evapotranspirasi. Tanaman yang tinggi memiliki laju evapotranspirasi yang lebih besar daripada tanaman yang rendah (Irwan 2005). Hutan kota dapat digunakan sebagai pencegah berkurangnya kelembaban udara. Hutan kota juga dapat menurunkan suhu di sekitarnya sebesar 3,46% di siang hari pada permulaan musim hujan. Hutan kota juga menaikkan kelembaban sebesar 0,81% di siang hari pada permulaan musim hujan (Irwan 2005).

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antena pemancar radio, televisi dan lain-lain, sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey 1978).

Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5°C-31,0°C dengan kelembaban 66%-92%.

2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7°C-33,1°C dengan kelembaban 62%-78%. 3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3°C-32,1°C dengan kelembaban

62%-78%.

Menurut Suryadi (2005), luasan hutan kota di Kota Palembang sebesar 368,19 Ha pada tahun 2005 atau sekitar 0,92% dari luas Kota Palembang, padahal seharusnya luasan hutan kota yang sesuai adalah 2.489,39 Ha dengan tingkat emisi CO2 sebesar 186.703,95 kg CO2/jam, sedangkan pada tahun 2010 diprediksi

(5)

sesuai seharusnya sebesar 2.822,73 Ha.

2.4 Iklim

2.4.1 Suhu udara

Menurut Santosa (1986) suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari ini akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tecapai.

Suhu maksimum adalah suhu tertinggi suatu tanaman dapat tumbuh, sedangkan suhu minimum adalah suhu terendah tanaman dapat hidup. Suhu optimum adalah suhu terbaik yang dibutuhkan tanaman agar proses pertumbuhannya dapat berjalan lancar (Kartasapoetra 2008).

Menurut Murtie (2006) suhu di Talangbetutu salah satu daerah yang ada di Kota Palembang meningkat pada bulan Juni hingga September, dan suhu tertinggi terjadi pada bulan Agustus yang nilainya hampir mencapai 28°C. Suhu minimum terjadi pada bulan Januari yang bernilai 26,3°C. Pola ini sesuai dengan pola curah hujan pada bulan Agustus memiliki tingkat curah hujan yang rendah, sedangkan pada bulan Januari memiliki tingkat curah hujan yang tinggi.

2.4.2 Kelembaban udara

Menurut Santosa (1986), kelembaban relatif adalah jumlah aktual uap air di udara relatif terhadap jumlah uap air pada waktu udara dalam keadaan jenuh pada suhu yang sama dinyatakan dalam persen. Pengukuran salah satunya dapat dilakukan dengan termometer bola kering dan bola basah. Sedangkan menurut Kartasapoetra (2008) kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah, seperti:

1. Kelembaban mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satu satuan udara yang dinyatakan dalam gram/m3

2. Kelembaban spesifik, merupakan perbandingan massa uap air di udara dengan satuan massa udara yang dinyatakan dalam gram/kilogram

(6)

3. Kelembaban relatif, merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu, yang dinyatakan dalam %. Angka kelembaban relatif dari 0-100%, dimana 0% artinya udara kering, sedangkan 100% artinya udara jenuh dengan uap air di mana akan terjadi titik-titik air.

Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya, kelembaban yang tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan yang terendah pada lintang 40o. Daerah rendah ini disebut horse latitude, curah hujannya kecil (Soedomo 2001).

Kelembaban udara yang lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada siang hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evapotranspirasi dari permukaan. Proses ini berlangsung karena permukaan tanah menyerap radiasi selama siang hari tersebut. Pada malam hari akan berlangsung proses kondensasi atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara. Oleh karena itu kandungan uap air di udara dekat permukaan tersebut akan berkurang (Soedomo 2001).

Kelembaban tertinggi di Kota Palembang ada pada bulan Agustus dengan nilai 79,8%. Antara kelembaban dan curah hujan memiliki pola yang sama, yaitu pada tingkat kelembaban yang tinggi akan diiringi juga dengan tingkat curah hujan yang tinggi pula (BPS 2009).

2.4.3 THI (Temperature Humidity Index)

Beberapa ahli telah berusaha untuk menyatakan pengaruh parameter-parameter iklim terhadap kenyamanan manusia dengan bantuan persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter iklim. Menurut Niewolt (1975), kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan yang dapat dinyatakan secara kuantitatif melalui hubungan kelembaban udara dan suhu udara yang disebut Temperature Humidity Index (THI). Selain itu, hasil penelitian Niewolt (1975) menyatakan bahwa THI di Indonesia antara 20-26. Hasil penelitian lain yang telah dilakukan Mulyana et al. (2003), menyatakan bahwa indeks kenyamanan dalam kondisi nyaman berada pada kisaran THI 20-26.

(7)

Prinsip dasar penginderaan jauh yaitu menangkap energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh atau dhitung dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi pada satelit adalah Thermal Infrared (Lillesand 1997).

Penginderaan jauh thermal menjelaskan secara ringkas kemungkinan untuk memperoleh, menggambarkan dan menginterpretasikan keadaan panas dipermukaan bumi. Pendefenisian energi thermal lebih sering mengacu kepada energi yang dipancarkan dari permukaan bumi. Berdasarkan sumber energi radiasi dari matahari, panjang gelombang dipancarkan dari energi matahari lebih pendek daripada gelombang panjang dari permukaan bumi (Lillesand 1997).

Menurut Lillesand (1997) semua benda di alam yang mempunyai suhu mutlak di atas 0oC atau setara dengan 273oK akan mempunyai radiasi termal. Sebagai dasar dari pernyataan tersebut dicirikan oleh :

1. Suatu benda akan mengabsorbsi seluruh energi yang diterima dari segala sudut penerimaan.

2. Suatu benda akan mengemisikan semua energinya ke segala arah dengan seluruh kisaran panjang gelombang yang ada/terbatas.

Fakta di alam, hampir semua benda tidak mempunyai kesempurnaan sifat seperti yang digambarkan oleh benda hitam sempurna tersebut (Risdiyanto 2003). Sebuah teori tentang benda hitam dinyatakan oleh Wilhelm Wien (1928) yang menjelaskan hubungan antara pancaran maksimum, panjang gelombang dan suhu permukaan objek. Teori ini dikenal dengan hukum pergeseran Wien yang dirumuskan sebagai :

Keterangan:

λmaks = Panjang gelombang pada pancaran maksimum (µm)

Ts = Suhu permukaan objek (K)

Berdasarkan persamaan di atas, dengan menganggap bahwa nilai suhu mutlak permukaan matahari adalah 5780 K, maka didapatkan nilai panjang

(8)

gelombang maksimum radiasi matahari yang mampu memberikan pancaran puncak maksimum terjadi pada panjang gelombang 0,5 µm yang dapat disebutkan sebagai nilai tengah dari spektral radiasi tampak.

Dengan fakta ini, maka radiasi matahari akan memberikan energi maksimumnya pada kisaran spektral tampak (0,3-0,7 µm). Sedangkan untuk permukaan bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9,7 µm yang merupakan kisaran radiasi infrared. Itulah sebabnya, maka penginderaan jauh thermal banyak dilakukan pada daerah spektrum antara 8-14 µm (Lillesand 1997).

Pada saat estimasi suhu permukaan dari citra thermal, rona yang lebih gelap pada citra mewakili suhu tampak yang lebih dingin dan rona yang lebih cerah mewakili citra yang lebih panas. Pengukuran sensor thermal atas suhu dapat dilakukan pada ketinggian sebesar 300 m. Kondisi cuaca mempengaruhi thermal atmosferik. Kabut dan awan tidak dapat ditembus oleh radiasi thermal walaupun hari cerah, aerosol dapat menyebabkan perubahan yang besar pada sinyal yang diindera. Abu, partikel arang, asap dan titik air dapat mengubah pengukuran

thermal. Unsur pembentukan atmosferik bervariasi menurut situs, ketinggian,

waktu dan kondisi cuaca setempat (Sutanto 1989).

Menurut Effendy (2007), pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda dengan setiap pengurangan 50% RTH menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 0,4°C hingga 1,8oC sedangan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0,2°C hingga 0,5oC. Hal ini membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH.

Pengukuran suhu biasanya meliputi penempatan instrumen pengukur yang bersentuhan dengan atau terbenamkan dalam badan yang diukur suhunya (suhu kinetik). Suhu kinetik merupakan ungkapan “internal” terjemahan tenaga rata-rata molekul yang menyusun tubuh. Disamping ungkapan internal, objek memancarkan tenaga sebagai fungsi suhunya. Tenaga yang dipancarkan merupakan ungkapan “eksternal” keadaan tenaga objek yang dapat diindera dari jarak jauh dan digunakan untuk menentukan suhu pancaran (radiant temperature) objek (Lillesand 1997).

(9)

memiliki hasil yang cukup nyata. Berdasarkan hasil penelitian Wardhana (2003) yang telah melakukan pengukuran suhu udara berdasarkan estimasi dari band 7 yang dikorelasikan dengan data suhu stasiun klimatologi, menghasilkan model regresi umum untuk kasus Kota Bogor tahun 2001 adalah y = 0,045x + 24,964 dengan y adalah suhu permukaan dan x adalah nilai digital number dari data band 7. Diperoleh kelas suhu di tahun 2001 yang tertinggi adalah kelas penutupan lahan industri dan pemukiman yaitu 27°C-29°C.

Penelitian Okarda (2005) tentang distribusi suhu permukaan di Kabupaten Cianjur berdasarkan estimasi band 7 pada citra landsat 5 TM pada periode tahun 1997 dan 2001. Hasil penelitian diperoleh adalah distribusi suhu permukaan di Kabupaten Cianjur pada tahun 1997 dan 2001 berkisar antara 19°C hingga 30°C.

Penelitian Wahyudi (2006) tentang menduga suhu udara menggunakan citra satelit TERRA/ASTER band 10 sampai band 14 untuk menduga suhu udara dari suhu permukaan digunakan persamaan untuk menduga suhu tanah pada kedalaman tertentu. Hasil dengan menggunakan band 14 nilai rata-rata suhu permukaan terlalu rendah yaitu 24°C.

Penelitian Effendy (2007) tentang pengukuran suhu permukaan di JABOTABEK berdasarkan dugaan suhu udara yang diektrak dari landsat tahun 1991, 1997, dan 2004. Hasil penelitian menunjukkan nilai yang lebih rendah dari data sesungguhnya pada hasil pengukuran di stasiun yang tersebar di JABOTABEK pada waktu yang sama, sehingga mutlak dilakukan kalibrasi agar data hasil ektrak landsat sesuai dengan data observasi. Kalibrasi dilakukan dengan cara analisis regresi antara peubah prediktor suhu dengan hasil ektrak landsat sedangkan peubah respon suhu udara hasil observasi dari 12 stasiun di JABOTABEK.

Penelitian Maulida (2008) tentang suhu permukaan di Kota Bandung berdasarkan korelasi antara NDVI dengan suhu permukaan serta estimasi band 6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 1997, 2002 dan 2006. Sebaran suhu permukaan di Kota Bandung berbentuk mengelompok yaitu di daerah rural meliputi selang suhu ≥14°C sampai dengan selang <22°C, daerah sub urban meliputi selang suhu ≥22°C sampai dengan <25°C, sedangkan daerah urban meliputi selang suhu ≥26°C sampai dengan selang ≥31°C.

(10)

Hasil penelitian Khusaini (2008) menyatakan bahwa secara umum di Kota Bogor tipe penutupan lahan yang mengalami perluasan yang paling banyak adalah tipe pemukiman, sejalan dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar luas pemukiman, maka suhu semakin meningkat.

Penelitian Waluyo (2009) tentang distribusi suhu permukaan di Kota Semarang berdasarkan korelasi antara NDVI dengan suhu permukaan serta estimasi band 6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 2001-2006 mempunyai nilai suhu antara ≥20,0°C-≥34,0°C. Nilai suhu dengan luasan distribusi terbesar adalah suhu ≥34,0°C yang terdistribusi di seluruh wilayah Kota Semarang.

2.6 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

NDVI merupakan salah satu parameter awal yang dapat ditentukan dari data satelit. Pigmen pada daun, klorofil, menyerap gelombang cahaya tampak (0,4 µm sampai 0,7 µm). Sementara itu, struktur sel daun memantulkan gelombang inframerah dekat (0,7 µm sampai 1,1 µm). Oleh karena itu, estimasi NDVI berbasis data satelit merupakan perhitungan kanal cahaya tampak dan inframerah dekat. Nilai NDVI menggambarkan tingkat kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status (kesehatan, kerapatan) vegetasi pada suatu wilayah namun tidak berhubungan langsung dengan ketersediaan air tanah di wilayah tersebut (Hung 2000).

Referensi

Dokumen terkait

e. Dalam hal LPHE tidak mengeluarkan harga pasar wajar terhadap Efek dari perusahaan yang dinyatakan pailit atau kemungkinan besar akan pailit, atau gagal membayar pokok utang

Dari hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa dengan Metode Boole dan Gauss-Legendre tidak dapat mendapatkan hasil integral numerik yang memiliki tingkat kesalahan kecil

Pembuatan alat pembelah durian ini dirancang melalui beberapa tahapan, mulai dari observasi bagaimana proses pembelahan buah durian, kemudian melakukan perencanaan

Jadi dapat dirumuskan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar yang telah dicapai menurut kemampuan yang dimiliki dan ditandai dengan perkembangan serta

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)