• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Maluku Tenggara 6.1.1. Potensi Sumber Daya Ikan

Kabupaten Maluku Tenggara memiliki garis pantai yang sangat panjang, dibentuk oleh ratusan pulau-pulau kecil, dan diantaranya terdapat selat-selat sempit dan dangkal, berada diantara kawasan Laut Banda dan Laut Arafura. Sesuai hasil pemetaan wilayah pengelolaan sumberdaya perikanan oleh KOMNAS Pengkajian Stock 1998, Kabupaten Maluku Tenggara berada pada 2 (dua) wilayah pengelolaan yaitu Wilayah V (Laut

Banda) yang memiliki potensi sebesar 248.400 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang

diperbolehkan (JTB) sebesar 198.700 ton/tahun. Wilayah VI (Laut Arafura) yang memiliki potensi sebesar 793.100 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 633.600 ton/tahun.

Pada tahun 2001, Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseonologi LIPI melakukan pengkajian terhadap stok ikan di Indonesia, termasuk Laut Maluku. Untuk Laut Banda hasilnya adalah 248.400 ton/tahun. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 15.

Wilayah WPP Laut Arafura, hasil pengkajian stok yang dilakukan menunjukan adanya ketersediaan potensi sumber daya ikan sebesar 771.550 ton/tahun, hal ini tergambar pada tabel 15. Bila dibandingkan antara hasil produksi penangkapan tahun 2007 sebesar 160.784,9 ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) pada Wilayah V dan VI sebesar 832.300 ton/tahun, maka hasil produksi penangkapan baru mencapai 19,31%. Ini berarti bahwa Maluku Tenggara masih memiliki peluang produksi (penangkapan) sebesar 80,69% dari JTB atau sebanyak 671.515,1 ton yang belum termanfaatkan pada tahun 2007. Namun karena Laut Banda dan Laut Arafura merupakan wilayah tangkapan ikan dari Propinsi Maluku yang meliputi beberapa kabupaten, serta Propinsi Papua, ditambah lagi dengan perikanan illegal dan perikanan yang tidak dilaporkan serta tangkapan dari nelayan lokal, maka dapat dipastikan sudah terjadi over fishing di daerah ini. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseonologi LIPI,

(2)

bahwa Laut Banda telah terjadi over fishing pada jenis ikan pelagis kecil, ikan demersal dan cumi. Jenis yang masih boleh dilakukan penangkapan yaitu pelagis besar. Untuk Laut Arafura jenis yang masih boleh ditangkap adalah pelagis kecil sedangkan jenis lainya telah mengalami over fishing. Dibawah ini dapat disajikan potensi perikanan serta jumlah tangkapan yang dibolehkan pada Laut Banda dan Laut Arafura.

Tabel 15 Potensi perikanan serta jumlah tangkapan yang dibolehkan pada Laut Banda dan Laut Arafura.

Laut Banda Laut Arafura

No Jenis Ikan Potensi (Ton) JTB (Ton) Potensi (Ton) JTB (Ton) 1 Pelagis besar Tuna Paru Panjang Cakalang Tongkol Tenggiri 104.100 21.200. 38.000. 4.500. 22.200. 17.800 83.300. 17.000. 30.700. 3.600. 17.000. 14.200 50.900. 9.00. 17.500. 3.400. 15.400. 5.600. 40.700. 7.200. 14.000. 2.700. 12.300. 4.500 2 Pelagis Kecil 132.000 105.000 468.700. 375.000. 3 Demersal 9.300 7.400 246.800. 197.400. 4 Udang Penaeid Udang Karang 400 - 400 300 - 300 21.500 21.400 100 17.200 17.100 100 5 Cumi-Cumi 100 100 3.400 2.700 6 Ikan Karang 2.500 2.000 800. 600. 7 Total 245.400 195.700 797.100 633.600. 8 Ikan Hias 226.100 180.900. 9.200. 7.400.

Di lautan Maluku Tenggara dapat ditemukan berbagai jenis ikan yang dapat digolongkan ke dalam jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan ikan demersal serta jenis udang dan cumi. Jenis–jenis ikan ini tersebar hampir merata di seluruh wilayah perairan Maluku Tenggara. Hal tersebut dapat dijelaskan dibawah ini :

* Pada Pulau - Pulau Kei Kecil

Kelompok sumberdaya ikan pelagis besar terdiri atas tuna (Thunnus albacares, Thunnus obesus, Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonus pelamis), layar (Isthiopores tonnggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil terdiri atas selar (Selaroides

(3)

leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/lema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus). * Kecamatan PP. Kei Besar

Perairan sebelah utara Pulau Kei Besar (perairan sebelah utara mengarah ke selatan Laut Irian Jaya), jenis-jenis ikan yang mendominasi perairan ini adalah : kelompok sumberdaya ikan pelagis besar antara lain tuna (Thunnus albacares, Thunnus obesesus, Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonis pelamis), layar (Isthiopores tonggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil antara lain selar (Selaroides leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/lema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus).

Perairan sebelah barat Pulau Kei Besar (yang berbatas dengan perairan sebelah timur P. Kei Kecil), jenis-jenis ikan yang mendominasi perairan ini adalah : kelompok sumberdaya ikan pelagis besar terdiri atas cakalang (Katsuwonis pelamis), layar (Isthiopores tonggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil terdiri atas selar (Selaroides leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/lema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus).

Perairan sebelah barat Pulau Kei Besar (perairan sebelah timur yang mengarah ke perairan Laut Aru), jenis-jenis dominan di perairan ini adalah : kelompok sumberdaya ikan pelagis besar terdiri atas tuna (Thunnus albacares, Thunnus obesesus, Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonis pelamis), layar (Isthiopores tonggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil terdiri atas selar (Selaroides leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/lema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus).

(4)

Perairan sebelah selatan Pulau Kei Besar (tanjung Weduar Fer mengarah ke selatan Pulau Kei Kecil dan perairan PP. Aru), jenis-jenis ikan yang mendominasi perairan ini adalah : Kelompok sumberdaya ikan pelagis besar terdiri atas tuna (Thunnus albacares, Thunnus obesesus, Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonis pelamis), layar (Isthiopores tonggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil terdiri atas selar (Selaroides leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/ema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus)(Universitas Pattimura & Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku 2007 ).

Komposisi jenis ikan karang yang ditemukan pada sekitar perairan pulau-pulau Kei Kecil dan Kei Besar sebanyak 256 spesies, yang tergolong dalam 116 genera dan 35 famili. Famili-famili yang memiliki jumlah spesies > 10 antara lain Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Serranidae, Achanthuridae dan Scaridae. Famili yang memiliki jumlah spesies tertinggi yaitu famili Pomacentridae (48 spesies), selanjutnya genera yang memiliki jumlah spesies tertinggi adalah Chaetodon (19 spesies), (Universitas Pattimura & DKP Propinsi Maluku, 2007).

Tabel 16 Produksi hasil perikanan tangkap Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007.

Tahun Lokal Intersuler Eksport Total

1996 21,932 1,524.7 23,456.7 46,913 1997 36,448.6 2,121.4 38,570 77,140 1998 40,000 909.4 60,750 101,659.4 1999 52,827.8 1,114 69,833.6 123,775.4 2000 52,679.4 1,125 85,750 139,554.4 2001 24,122.9 1,245.3 74,442.8 99,811.0 2002 26,750 876.6 80,335.7 107,962.3 2003 26,789.7 300 84,686.9 111,776.6 2004 28,408.8 263.8 55.355.9 84,028.5 2005 27,703.5 568 103,082.4 131,353.9 2006 30,473.9 15,603.3 112,552 158,629.2 2007 35,302.97 1,563.92 123,918.011 160,784.9

(5)

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 Produksi (Ton) 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Lokal Intersuler Eksport

Gambar 7 Produksi hasil perikanan tangkap Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007.

Data diatas menunjukan bahwa produksi perikanan tangkap tertingi di Kabupaten Maluku Tenggara terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 160.784,9 ton. Dengan rincian sebagai berikut : kebutuhan eksport 123,918.011 ton, intersular 1.563,92 ton, pasar lokal 35.302,97 ton. Jenis ikan terdiri dari tuna, pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan komoditas perikanan lainnya. Terjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun, produksi terendah terjadi pada tahun 2004. Data diatas menunjukan bahwa terjadi peningkatan produksi perikanan tangkap dari tahun ke tahun. Data tersebut menunjukan bahwa produksi terbayak berasal dari Kecamatan Dullah Selatan, hal ini disebabkan karena disini dapat ditemukan pelabuhan perikanan sehingga banyak pendaratan ikan dari kapal– kapal nelayan asing maupun nelayan besar dari luar daerah.

Data diatas menunjukan bahwa terjadi peningkatan produksi dari tahun 2006 ke tahun 2007 sebesar 1,34%, yaitu produksi tahun 2006 sebesar 158,629.2 ton menjadi 160,784.9 ton pada tahun 2007. Sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2001 sebesar 199.811 ton, kemudian produksinya meningkat pada tahun 2003 sebesar 111.776,6 ton. Selanjutnya terjadi penurunan produksi pada tahun 2004 sebesar 84.028,5 ton.

Tabel 17 Produksi hasil perikanan tangkap menurut jenis di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007.

(6)

PERKEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN DI KAB. MALRA TAHUN 2001 - 2006

Tahun N

o Jenis Ikan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Total 1 Udang 3076090 843000 868250 102566500 52838000 17600000 177791840 2 Cakalang 1659846 1212100 1307600 1158000 848500 871000 7057046 3 Kembung 1723698 1401700 1478400 1422200 29432500 36300200 71758698 4 Julung 51280 500200 467125 648900 535250 537000 2739755 5 Teri 189690 900400 1236800 1088000 1498000 1365500 19513090 6 Layang 1101464 873000 983250 923150 14732700 18214200 23508064 7 Selar 2089368 998100 1136100 945600 1413000 2025000 511675578 8 Lain-lain 269600724 270465250 388948915 287690590 504481410 682992629 2404179518 9 Tuna 1152906 419500 437500 421000 180000 0 2610906 Jumlah 280647066 277615251 396865942 396865943 605961364 759907534 3220834495 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara tahun2007.

Data diatas menunjukan produksi jenis ikan di Kabupaten Maluku Tenggara sejak tahun 2000–2005. Produksi tertingi terjadi pada tahun 2005, adalah jenis ikan campuran yaitu sebesar 682.992.629 ton. Kemudiankembung sebesar 36.300.200 ton, selanjutnya jenis ikan layang sebesar 18.214.200 ton. Jenis ikan yang dominan dalam produksi ini adalah udang, cakalang, kembung, julung, teri, layang, selar, tuna dan jenis ikan lainnya.

6.1.2. Armada Penangkapan

Armada penangkapan ikan yang terdata di Kabupaten Maluku Tengara terdiri atas tiga jenis dan ukuran yaitu perahu tanpa mesin (PTM), motor tempel (MT) dan kapal motor (KM). Jumlah armada tersebut dapat dilihat pada tabel 16. Data tersebut menunjukan bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan armada penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara. Jumlah armada terbanyak adalah perahu tanpa mesin (PTM), kemudian motor tempel (MT) dan kapal motor (KM). Perahu tanpa mesin mendominasi armada penangkapan ikan di Maluku Tenggara karena kebanyakan nelayan adalah nelayan tradisional. Sedangkan kapal motor yang ada di Maluku Tenggara kebanyakan dimiliki oleh nelayan berskala besar atau nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan dan mendaratkan di TPI Nusantara Dumar.

Data dibawah ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah armada penangkapan ikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlah armada penangkapan sebanyak 6.407 unit dengan rincian sebagai berikut : perahu tanpa motor (PTM) sebanyak 5.284 unit (82.47%), motor tempel (MT) sebanyak 894 unit (13.95%), kapal

(7)

motor (KM) sebanyak 229 unit (3.57%).

Tabel 18 Jumlah armada penangkapan ikan di Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007

Tahun PTM MT KM Total 1996 4.869 90 304 5.263 1997 4.905 112 434 5.451 1998 4.913 117 484 5.514 1999 4.919 124 491 5.534 2000 4.925 145 497 5.567 2001 3.220 115 375 3.710 2002 3.253 153 374 3.780 2003 3.336 180 377 3.893 2004 2.133 98 193 2.424 2005 2.093 167 170 2.430 2006 7.535 505 228 8.268 2007 5.284 894 229 6.407 Keterangan :

- PTM : Perahu Tanpa Motor - MT : Motor Tempel - KM : Kapal Motor 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 Jumlah Armada 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun PTM MT KM

Gambar 8 Jumlah armada penangkapan ikan di Maluku Tenggara tahun 1996-2007. 6.1.3. Jenis Alat Tangkap

Jenis-jenis alat penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Maluku Tenggara antara lain : pukat udang (shrimp trawl), pukat ikan (fish trawl) jaring insang permukaan (surface gill net), jaring insang dasar (bottom gill net), pancing (angling gear), bagan (lift net), bubu (fish trap) dan alat tangkap lainnya.

Tabel 19 Jumlah alat penangkapan ikan, trip di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007

(8)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Pukat Udang Pukat Ikan

Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Lingkar Jaring Insang Tetap Bagan Perahu Rakit Pancing Lain Pancing Tonda Pancing Ulur Pancing Tegak Pancing Dasar/Rawai Sero Bubu

Alat Pengumpul Kerang Alat Pengumpul Teripang Alat Penangkapan Lain

57 206 553 652 705 275 1.686 1.539 - - - - 190 735 167 888 57 210 570 669 695 285 1.703 1.545 - - - - 195 825 175 891 47 175 600 715 720 260 1.820 1.525 - - - - 192 935 177 980 15 120 440 435 445 175 635 590 600 585 - 75 650 45 150 1.335 10 120 455 440 452 120 610 605 580 608 - 50 295 160 200 1.613 13 128 849 780 1.043 118 322 4.497 4.572 6.032 404 45 261 19 197 1.506 13 128 1.130 810 1.217 71 62 3.093 3.335 4.540 321 4 345 77 25 1.618 Jumlah 7.652 7.820 8.146 6.295 6.318 20.786 16.789 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tenggara tahun 2007.

Jenis-jenis alat penangkapan utama yang dioperasikan oleh nelayan-nelayan Kabupaten Maluku Tenggara adalah pancing (angling gear), jaring insang (gill net), bubu (trap net) dan bagan (lift net). Jenis dan jumlah pukat udang (shrimp trawl) dan pukat ikan (fish trawl) yang terdata di Maluku Tenggara, adalah merupakan milik dari nelayan besar yang beroperasi di Maluku Tenggara. Dan terdata pada saat melakukan pendaratan ikan pada pelabuhan perikanan Nusantara Tual.

Nelayan lokal lebih banyak memiliki alat penangkapan berupa alat pancing, dimana terdapat 82.47% menggunakan perahu tanpa mesin, hal ini menandakan bahwa nelayan lokal memiliki peralatan penangkapan ikan secara tradisional. Sehingga pendapatan nelayan lokal sangat rendah jika dibandingkan dengan nelayan besar yang menggunakan sarana penangkapan yang sangat moderen.

Nelayan lokal memiliki sarana prasarana penangkapan yang sangat tradisional dan sudah dianggap maju jika dia memiliki sarana penangkapan ikan berupa motor tempel yang dilengkapi dengan jaring, dan sarana tangkap seperti bagan ikan.

(9)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 Pu ka t U da ng Jar ing I ns ang H any ut Jar ing I ns ang Te ta p Pa nc in g To nd a Pa nc in g Te ga k P anc ing Lai n Bu bu Al at P enangk ap Jenis Alat J u m lah A lat

Gambar 9 Jumah alat penangkapan ikan, trip di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007.

Jenis alat tangkap yang dioperasikan di Maluku Tenggara pada tahun 2007 adalah sebagai berikut. Jaring insang hanyut / permukaan (surface gill net) sebanyak 1.130 unit (6,73%) dan jaring insang lingkar (bottom gill net) sebanyak 810 unit (4,82%), kemudian jaring insang tetap sebanyak 1.217 unit (7,25%), bagan ikan sebanyak 71 unit (0,42%), pancing tonda sebanyak 3.093 unit (18,42%), pancing ulur sebanyak 3.335 unit (19,86%), pancing tegak 4.540 unit (27,04%), pancing dasar 321 unit (1,91%), bubu sebanyak 345 unit (2,06%), pukat udang sebanyak 13 unit (0,08%) dan pukat ikan sebanyak 128 unit (0,76%).

6.1.4. Nelayan, Kelompok Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan (RTP)

Jumlah nelayan, kelompok nelayan dan rumah tangga nelayan (RTN) di Kabupaten Maluku Tenggara terus mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun jumlah nelayan tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebanyak 19.030 nelayan, kemudian menurun pada tahun 2004 sebanyak 8.900 nelayan, pada tahun 2006 meningkat lagi menjadi 9.310 nelayan. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok nelayan, dimana kelompok nelayan tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebanyak 835, kemudian menurun sampai 520 kelompok pada tahun 2002, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 681 nelayan. Terjadinya fuktuasi jumlah nelayan ini diduga disebabkan oleh bebarapa hal diantaranya karena terjadinya konflik sosial di Maluku Tenggara pada bebrapa waktu lalu, sehingga dapat berpengaruh terhadap keinginan orang dalam berusaha menangkap ikan.

(10)

Tabel 20 Perkembangan rumah tangga perikanan (RTP), kelompok nelayan, nelayan, dan jumlah unit alat tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara

Tahun RTP Kelompok Nelayan Nelayan Unit Penangkapan 1996 5272 748 17250 9600 1997 5287 767 18174 10202 1998 5340 784 18530 10440 1999 5380 795 18750 10505 2000 5420 835 19030 10813 2001 3471 502 15020 7658 2002 3544 520 15100 7820 2003 3624 681 14210 8146 2004 2300 503 8900 6295 2005 2325 553 9100 6318 2006 3858 575 9310 20787

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Maluku Tenggara tahun 2007

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun NELAYAN KELOMPOK NELAYAN RTP

Gambar 10 Perkembangan rumah tangga perikanan (RTP), kelompok nelayan, nelayan, dan jumlah unit alat tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara.

6.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Tangkap 6.2.1. Standarisasi Unit Upaya

Standarisasi alat tangkap digunakan dengan maksud agar terjadi penyaragaman kekuatan alat tangkap, karena setiap alat tangkap mempunyai kemampuan tangkap yang berbeda. Dengan melakukan standarisasi alat tangkap maka kita dapat mengetahui jumlah total input dari usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fauzi dan Anna (2005), bahwa melakukan standarisasi alat tangkap diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap. Jika standarisasi tidak dilakukan, kita tidak mungkin bisa menjumlahkan total unit input agregat (total effort) dari perikanan yang dianalisis.

(11)

Alat yang distandarisasi untuk nelayan yang menggunakan mesin adalah bagan ikan (BI), jaring isang hanyut (JI) dan pancing ulur (PU), sedangkan nelayan yang tidak menggunakan mesin, alat yang distandarisasi adalah pancing ulur (PU), jaring tasi (JT) dan jaring insang hanyut (JIH). Standarisasi effort dilakukan dengan cara membandingkan jumlah effort tertinggi terhadap effort terendah dari alat yang digunakan. Dimana digunakan jumlah trip per tahun dari ketiga alat tangkap. Ketiga alat tangkap ini digunakan karena mempunyai daya tangkap yang paling banyak, serta ketiga alat tangkap ini banyak digunakan oleh nelayan. Hasil tangkapan yang diperoleh terjadi fluktuasi dari tahun ke tahun.

6.2.2. Aspek Biologi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Tangkap

Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) pada perikanan tangkap di Maluku Tenggara selama tahun 1997-2008, pada nelayan menggunakan mesin dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah bagan ikan, jaring insang hanyut dan pancing ulur. Bagan ikan mempunyai hasil produksi tertinggi jika dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan pancing ulur. Hal ini disebabkan karena jenis ikan yang ditangkap oleh bagan ikan merupakan jenis ikan yang hidupnya berkelompok seperti teri, tembang, kembung, lema, dll. Dan juga karena bagan ikan umumnya berada pada daerah teluk sehingga tidak mengenal musim ombak atau musim teduh, sehingga nelayan hampir setiap malam melakukan penangkapan. Kemudian pada saat ikan bertelur pada bulan Juni–Agustus terjadi peningkatan pendapatan, rata-rata 1 - 2 ton per malam. Penangkapan ikan teri, tembang dan jenis lainya pada musim bulan gelap (malam 15-30) rata-rata hasil tangkapan sebesar 50 – 60 kg per malam.

Sedangkan jaring insang hanyut dan pancing ulur kemampuan tangkapnya sangat tergantung musim karena nelayan harus melakukan penangkapan pada laut dalam yang jaraknya sekitar 4 – 5 mil dari pantai. Hal ini dapat mempengaruhi hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan. Karena nelayan umumnya menggunakan mesin katinting dengan bodi perahu kecil yang daya jangkau sangat terbatas.

Pada nelayan tanpa mesin alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah pancing ulur, hal ini disebabkan karena harga alat pancing ulur lebih murah sehingga

(12)

dapat dijangkau oleh nelayan lokal. Sedangkan jaring tasi, dan jaring insang hanyut, hanya beberapa orang nelayan saja yang menggunakannya. Pancing ulur mempunyai hasil produksi tertinggi, karena alat tangkap ini banyak digunakan oleh nelayan. Jenis ikan yang ditangkap, seperti tongkol, kakap, bawal, baronang, tenggiri, kembung, kerapu, dll. Hasil tangkapan nelayan pancing ulur ini rata-rata 1-3 kg per hari. Sedangkan jaring tasi maupun jaring insang hanyut mempunyai hasil tangkapan rata-rata 5-10 kg per hari.

Pada nelayan bermesin rata-rata effort aktual yang dilakukan oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan adalah sebesar 4.424 trip per tahun dengan rata-rata produksi aktual sebesar 366.210 ton per tahun, sedangkan pada nelayan tanpa mesin rata-rata effort aktual yang dilakukan oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan (produksi) sebesar 464 trip per tahun, dengan rata-rata produksi (catch) aktual sebesar 112.33 ton per tahun. Data tersebut menunjukan bahwa upaya (effort) oleh nelayan mesin lebih sedikit tetapi hasil tangkapan ikan (produksi) yang diperoleh lebih banyak bila dibandingkan dengan upaya yang dilakukan oleh nelayan tanpa mesin, dimana upaya yang dilakukan lebih besar tetapi hasil (produksi) dari penangkapan lebih kecil.

Kondisi tersebut diatas menggambarkan kepada kita bahwa apabila input yang digunakan oleh nelayan bila ditingkatkan menjadi lebih baik maka hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan lebih banyak. Karena dengan input (sarana prasarana) yang lebih baik maka nelayan dapat menempuh jarak lebih jauh sehingga hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 21 Standarisasi alat tangkap nelayan pakai mesin dan nelayan belum pakai mesin di Maluku Tenggara tahun 1997-2008.

NELAYAN MESIN NELAYAN TANPA MESIN

Tahun Total Effort (Trip) Total Produksi (Ton) Total CPUE Total Effort (Trip) Total Produksi (Ton) Total CPUE 1997 3336 332.54 0.0997 370 93.93 0.2539 1998 3695 357.24 0.0967 472 120.48 0.2553 1999 3220 362.78 0.1127 469 123.36 0.2630 2000 3330 378.19 0.1136 382 99.23 0.2598 2001 3541 314.02 0.0887 396 94.57 0.2388 2002 3344 338.24 0.1011 501 136.80 0.2731 2003 4471 376.70 0.0843 471 119.81 0.2544 2004 3766 353.14 0.0938 395 107.42 0.2719 2005 3321 259.49 0.0781 501 110.06 0.2197

(13)

2006 5005 377.28 0.0754 517 114.66 0.2218

2007 5320 364.75 0.0686 507 103.32 0.2038

2008 10736 580.15 0.0540 588 124.32 0.2114

Jumlah 53085 4394.52 1.0666 5569 1348 2.9268

Rata-rata 4424 366.210 0.0889 464 112 0.2439

Sumber : Data hasil penelitian dan data Dinas Perikanan dan Kelautan Malra.

Tabel diatas menunjukan bahwa baik pada nelayan bermesin maupun pada nelayan tanpa mesin terjadi fluktuasi hasil tangkapan (produksi) pada setiap tahun, walaupun terjadi kecendrungan meningkat produksinya tetapi tidak terjadi perubahan yang besar. Produksi tertinggi pada nelayan bermesin terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 580,15 ton, dengan effort tertinggi yaitu sebesar 10.736 trip. Nelayan tanpa mesin peningkatan produksi terjadi pada tahun 2002, produksi sebesar 136,80 ton, dengan effort tertinggi pada tahun 2008 sebesar 588 trip.

0 100 200 300 400 500 600 Ton 1997 1999 2001 2003 2005 2007 Tahun Produksi Mesin Produksi T.Mesin

Gambar 11 Standarisasi alat tangkap pada nelayan bermesin dan tanpa mesin Grafik diatas menunjukan bahwa nelayan bermesin mempunyai hasil tangkapan (produksi) lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan tanpa mesin. Karena nelayan bermesin telah menggunakan jenis alat tangkap bagan ikan yang mempunyai daya tangkap cukup tinggi dibandingkan dengan alat lainnya. Sedangkan nelayan tanpa mesin belum menggunakan bagan ikan sebagai alat tangkap ikan, hal ini disebabkan karena biaya pembuatan bagan ikan sangat mahal. Untuk membuat 1 buah bagan ikan memerlukan biaya rata-rata 60-75 juta, sehingga nelayan tanpa mesin sudah otomatis tidak mampu untuk memiliki bagan ikan. Ada juga alat tangkap yang mempunyai daya

(14)

tangkap besar seperti rumpon dan jaring bobo (istilah lokal) tetapi pada saat penelitian belum terjadi musim penangkapan sehingga tidak masuk dalam penelitian ini.

Nilai CPUE mempunyai hubungan yang negatif terhadap nilai effort, artinya semakin tinggi nilai effort maka nilai CPUE semakin berkurang atau produktivitas alat tangkap yang digunakan akan berkurang jika dilakukan penambahan effort. Berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh pada nilai upaya per unit penangkapan (CPUE) tertinggi pada nelayan mesin dalam periode waktu 1997-2008 terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 0,1136. CPUE pada nelayan tanpa mesin tertinggi pada tahun 2002 sebesar 0,2731.

6.2.3. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap

Optimasi pemanfaatan perikanan dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mempertimbangkan segala keuntungan dan kerugian pada aspek biologi, ekonomi, hukum (legal), sosial dan politik. Dalam pengelolaan perikanan sebaiknya tidak hanya ditujukan pada aspek keberlanjutan sumber daya dan usaha perikanan, tetapi juga pada masalah keadalian dan pemerataan. Sehingga pertimbangan optimum sustainable yield (OSY) merupakan salah satu kunci dalam tujuan pengelolaan. Karena dengan keuntungan ekonomi yang optimal hanya akan bernilai jika diikuti oleh keuntungan maksimal secara sosial berupa pengurangan angka kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan.

Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana atau ordinary least squart (OLS) pada perikanan tangkap di lokasi desa nelayan bermesin diperoleh hasil parameter-parameter biologi sebagai berikut r = 1,061827859%, q = 0,000166045, K = 972,9717759 dengan R2 sebesar 74.40%. Hal ini menunjukan bahwa variabel yang dianalisis berpengaruh nyata terhadap populasi sebesar 74,40%, sedangkan faktor lain berpengaruh sebesar 25,60%. Persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil kriteria (least squares criterion) adalah :

Y = -1.264342862 + 0.306409173x1 – 5.42308E-05x2

Sedangkan effort optimal (Emsy) dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan yang menggunakan mesin sebesar = 8.81558E-05 trip. Pertumbuhan

(15)

biomassa optimal dapat diperoleh sebesar = 486,4858879 ton. Dan hMSY (hoptimal) sebesar 258,2821344 ton. Rata-rata produk aktual setiap tahun sebesar 366,21 ton, rata-rata effort aktual sebesar 4.424 trip per tahun.

Data analisis menunjukan bahwa pada daerah-daerah yang nelayannya menggunakan mesin katinting ataupun mesin tempel dengan motor jonson dan speed boat yang dilengkapi jaring atau pancing ulur dan bagan ikan maka telah terjadi tangkap lebih terhadap stok (over fishing) sebesar 29,47%. Kondisi over fishing dapat dicirikan dengan beberapa hal diantaranya adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, dan diikuti produktifitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip, CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil, serta biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat.

Rata-rata harga per ton sebesar Rp. 20.548.611. untuk melakukan kegiatan penangkapan memerlukan biaya sebesar 187.756 per trip. Untuk produksi dan upaya optimal diperoleh nilai masing-masing sebesar 0,161557455 gompertz dan 6394,805709 gompertz. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 22 Hasil analisis parameter r, q, K, Emsy, hMsy, over fishing dll. pada nelayan menggunakan mesin pada tahun 1997 – 2008 di Maluku Tenggara

Unit Nilai Satuan

a -1.264342862 b 0.306409173 c -5.42308E-05 r 1.061827859 % q 0.000166045 K 972.9717759 Ton

Effort Opt (Emsy) 8.81558E-05 Trip

Biomass MSY ( xopt) 486.4858879 Ton

hMSY (hopt) 258.2821344 Ton

Rata-rata Prod Aktual 366.21 Ton

Rata-rata Effort Aktual 4424 Trip

% Overfishing 29.47163572 %

Price 20,548,611.11 Rp/ton

Cost 187,756.81 Rp/trip

Emsy 6394.805709 Gompertz

hMSY 0.161557455 Gompertz

Berdasarkan hasil analisis tingkat optimasi bioekonomi dapat dilihat bahwa tingkat upaya yang dibutuhkan pada rezim pengelolaan akses terbuka (open access)

(16)

sebesar 6,033.13 trip. Sedangkan pada kondisi perikanan yang dikelola secara pribadi (sole owner) upaya yang dibutuhkan sebesar 3,016.57 trip, hal ini menandakan bahwa pengelolaan secara open access membutuhkan upaya dua kali lebih banyak dari pada pengelolaan secara sole owner. Hasil tangkapan yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner (MEY) sebesar 257.46 sedangkan hasil tangkapan pada kondisi open access sebesar 55,13. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan secara privat lebih menguntungkan secara ekonomi dari pada pengelolaan secara open access. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 23 Optimasi bioekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan pada nelayan bermesin di Kabupaten Maluku Tenggara (1997-2008)

MEY OA MSY Dinamik*

Yield (h*) 257,46 55,13 258,28 11,55

Effort (E*) 3.016,57 6.033,13 3.197,40 658,40

Phi* 4.723.981.514,08 - 4.707.004.969,77 113.755.745,22 Sumber : Hasil penelitian

Berdasarkan gambar perbandingan rezim pengelolaan sumber daya perikanan pada nelayan menggunakan mesin menunjukan bahwa effort (upaya) yang dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan secara open access lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan perikanan secara sole owner, maupun pada kondisi masimum sustainable yeild, hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

-1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 5,000.00 6,000.00 7,000.00 MEY OA MSY To n -500,000,000.00 1,000,000,000.00 1,500,000,000.00 2,000,000,000.00 2,500,000,000.00 3,000,000,000.00 3,500,000,000.00 4,000,000,000.00 4,500,000,000.00 5,000,000,000.00 Rp Yield (h*) Effort (E*) Phi*

Gambar 12 Perbandingan rezim pengelolaan sumber daya perikanan oleh nelayan menggunakan mesin di Maluku Tenggara tahun 1997 - 2008.

Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana atau ordinary least squart (OLS) pada perikanan tangkap di lokasi desa nelayan belum bermesin, diperoleh hasil parameter-parameter biologi sebagai berikut r = 1.048842555, q = 0.001333493, K =

(17)

324.1311524 dengan R2 sebesar 39,86%. Hal ini menunjukan bahwa variabel yang dianalisis berpengaruh terhadap populasi sebesar 39,86% sedangkan faktor lain berpengaruh sebesar 60,14%. Persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil kriteria (least squares criterion) adalah:

Y = - 0.577120638 + 0.311973291x1 – 0.000437377x2

Sedangkan effort optimal (Emsy) dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tanpa mesin sebesar = 0.000699312 trip. Pertumbuhan biomassa optimal (xopt) dapat diperoleh sebesar = 162.0655762 ton. Dan hMSY (hoptimal) sebesar 84.99063649 ton. Rata-rata produk aktual setiap tahun sebesar 112.33 ton, rata-rata effort aktual sebesar 464 trip per tahun. Data analisis menunjukan bahwa pada daerah-daerah yang nelayannya menggunakan perahu tanpa mesin tempel yang dilengkapi jaring atau pancing ulur maka telah terjadi tangkap lebih terhadap stok (over fishing) sebesar 76,79%.

Rata-rata harga ikan per ton sebesar Rp 7.065.625. untuk melakukan kegiatan penangkapan memerlukan biaya sebesar Rp 57.580.02 per trip. Untuk produksi dan upaya optimal diperoleh nilai masing-masing sebesar 0.432226478 gompertz dan 786.5379912 gompertz. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 24 Hasil analisis parameter r, q, K, Emsy, hMSY, over fishing dll. pada nelayan tanpa mesin pada tahun 1997–2008 di Maluku Tenggara

Unit Nilai Satuan

a -0.577120638 b 0.311973291 c -0.000437377 r 1.048842555 % q 0.001333493 K 324.1311524 Ton

Effort Opt (Emsy) 0.000699312 Trip

Biomass MSY ( xopt) 162.0655762 Ton

hMSY (hopt) 84.99063649 Ton

Rata-rata Prod Aktual 366.21 Ton

Rata-rata Effort Aktual 464 Trip

% Overfishing 76.7918498 %

Price 20,548,611.11 Rp/ton

Cost 187,756.81 Rp/trip

Emsy 786.5379912 Gompertz

hMSY 0.432226478 Gompertz

Berdasarkan hasil analisis tingkat optimasi bioekonomi dapat dilihat bahwa tingkat upaya yang dibutuhkan pada rezim pengelolaan akses terbuka (open access)

(18)

sebesar 769,91trip. Sedangkan pada kondisi perikanan yang dikelola secara pribadi (sole owner) upaya yang dibutuhkan sebesar 384,96 trip. Hal ini menandakan bahwa pengelolaan secara open access membutuhkan upaya dua kali lebih banyak dari pada pengelolaan secara sole owner. Hasil tangkapan yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner (MEY) sebesar 84,95 ton sedangkan hasil tangkapan pada kondisi open access sebesar 7,03ton. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan secara privat lebih menguntungkan secara ekonomi dari pada pengelolaan secara open access. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 25 Optimasi bioekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh nelayan tanpa mesin di Kabupaten Maluku Tenggara (1997-2008)

MEY OA MSY Dinamik*

Yield (h*) 84,95 7,03 84,99 3,20

Effort (E*) 384,96 769,91 393,27 101,13

Phi* 1.673.381.076,32 - 1.672.600.604,41 46.778.005,61 Sumber : Data hasil penelitian

Berdasarkan gambar perbandingan rezim pengelolaan sumber daya perikanan pada nelayan bermesin menunjukan bahwa effort (upaya) yang dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan secara open access (OA) lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan perikanan secara sole owner (MEY), maupun pada kondisi MSY (masimum sustainable yeild), hal tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

-100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00 800.00 900.00 MEY OA MSY To n -200,000,000.00 400,000,000.00 600,000,000.00 800,000,000.00 1,000,000,000.00 1,200,000,000.00 1,400,000,000.00 1,600,000,000.00 1,800,000,000.00 Rp Yield (h*) Effort (E*) Phi*

Gambar 13 Perbandingan rejim pengelolaan sumber daya perikanan pada nelayan tanpa mesin di Maluku Tenggara tahun 1997 - 2008

6.2.4. Model Pengelolaan Perikanan 1. Nelayan Bermesin

(19)

Maksimum sustainable yield (MSY) adalah hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan dari tahun ke tahun oleh suatu perikanan. Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Schaefer yang paling sederhana, (Widodo dkk, 2006).

MSY dikenalkan oleh Schaefer (1954) bahwa pengelolaan ikan didasarkan pada pendekatan biologi semata, dengan tujuan memperoleh produksi setinggi-tingginya. Jika sumber daya ikan dipanen pada tingkat MSY (tidak lebih tidak kurang), sumber daya ikan akan lestari, (Fauzi dan Anna, 2005).

Berdasarkan kurva produksi dibawah ini menunjukan bahwa jika upaya terus ditingkatkan maka produksi pun meningkat akan tetapi pada titik pertumbuhan maksimum jika upaya ditingkatkan lagi maka terjadi penurunan produksi hal ini disebabkan karena daya dukung sumber daya terbatas, sehingga terjadi penurunan hasil penangkapan yang disebut dengan “diminising return” (kenaikan hasil yang semakin berkurang). Jika suatu perikanan telah mengalami kondisi demikian, maka dipastikan telah terjadi over fishing. Hal ini dapat terjadi karena pemanfaatan perikanan secara terbuka atau sering disebut open access, dengan ciri sebagai berikut tidak ada pemilikan individual (individual property right) atas daerah-daerah penangkapan, dan tidak ada regulasi yang mengontrol tingkat upaya penangkapan. Dengan demikian untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit saja, harus membutuhkan upaya yang sangat besar. Kondisi ini bila dibiarkan maka akan terjadi kelangkaan sumber daya dan rusaknya habitat dari sumber daya perikanan.

(20)

Berdasarkan penggunaan alat analisis maple dengan perhitungan tingkat MSY mengikuti solusi Clark (1985) dalam Fauzi (2005), yaitu : diperoleh hasil MSY sebesar 259,8145650, EMSY = 3216,380677 trip dan xMSY = 486,4858881 ton.

Gambar 15 Kurva produksi lestari – upaya (yield-effort curve) pada nelayan bermesin

b. Optimum Sustainable Yield (OSY)

Alokasi optimal pada kondisi delta 0,95% diperoleh populasi ikan optimal (xOpt) sebesar = 200, 0683945 ton, produksi (hOpt) sebesar = 169,7566103 ton, dan effort (Eopt) sebesar = 5110,017709 trip.

Gambar 16 Kurva produksi optimum sustainable yield pada nelayan bermesin

Keuntungan optimal (RentOpt) = sebesar 2,534937303 x 109, dan keuntungan

over time pertama (Rent Overtime) sebesar = 2,668355056 x 109. Pada delta = 0,95% diperoleh stok ikan (xOpt1) sebesar = 200, 0683945 ton, produksi (hOpt1) sebesar = 169,7566103 ton , effort optimal (Eopt) sebesar = 5110,017709 trip.

Pada delta = 0,15% diperoleh stok ikan (xOpt2) sebesar = 453,9014246 ton, produksi (hOpt) sebesar 114,0060005 ton, effort optimal (Eopt) sebesar = 1512,656653. Keuntungan optimal (RentOptn1) sebesar = 2,534937303 x 109, keuntungan optimal (RetOptn2) = 2,062758810 x 109, keuntungan pada over time pertama (RentOverTime1)

(21)

= 2,668355056 x 109, keuntungan pada over time ke dua (RentOverTime2) = 1,375172540 x 1010.

c. Perhitungan Bioekonomi pada Kondisi Open Access (OP) dan Sole Owner (SO).

Total cost sebesar 187756E, TR = 3,325590027 x 106 E (1-0,0001554542357E), stok ikan pada kondisi open access (xOA) = 54,93199319 ton, effort pada kondisi open access (EOA) = 6069,580828 trip, produksi pada kondisi open access (hOA) = 55,36175631 ton, marginal revenue (MR) = 3,325590027 x 106 – 1033, 954112E, Marginal cost (MC) = 187.756. Sedangkan pada kondisi privat (sole owner) effort (ESO) = 3034,790413 trip, total revenue pada kondisi sole owner (TRSO) = 5,331134421 x 109, total cost pada kondisi sole owner (TCSO) = 5,698001088 x 108, keuntungan pada kondisi privat (RentSO) = 4,761334312 x 109, produksi pada kondisi sole owner (hSO) sebesar = 258,9864060 ton, dan stok ikan pada kondisi sole owner (xSO) sebesar = 513,9518846 ton.

Tabel 26 Kondisi pemanfaatan sumber daya perikanan oleh nelayan bermesin

Kondisi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Variabel

Open Access Sole Owner

Stok Ikan (ton) 54,93199319 513,9518846

Produksi (ton) 55,36175631 258,9864060 Effort (trip) 6069,580828 3034, 790413 MR (Rp) 3,325590027 x 106 – 1033, 954112E - MC (Rp) 187.756 - TR (Rp) 3,325590027 x 106 E (1-0,0001554542357E) 5,331134421 x 109 TC (Rp) 187.756E 5,698001088 x 108 RentSO - 4,761334312 x 109

Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa pengelolaan ikan pada rezim sole owner (SO) jauh lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan ikan pada rezim open access. Hal ini disebabkan karena pada pengelolaan sole owner telah diterapkan aturan– aturan pengelolaan sumber daya, baik aturan positif negara (perda, undang-undang, dll.) maupun hukum adat, seperti di Maluku dapat diterapkan hukum sasi sehingga hukum adat tersebut dapat mengontrol pengambilan hasil pada waktu-waktu tertentu saja. Sedangkan rezim open access tidak terdapat aturan yang dapat mengatur pengelolaan sumber daya perikanan sehingga siapa saja bebas melakukan penangkapan ikan kapan dan dimana saja boleh. Sehingga kondisi open access ini mengakibatkan over fishing dan lambat laun akan terjadi kelangkaan sumber daya.

(22)

2. Nelayan Tanpa Mesin

a. Maximum Sustainable Yield (MSY) pada Nelayan Tanpa Mesin

Berdasarkan kurva produksi lestari pada nelayan tanpa mesin dibawah ini menunjukan bahwa jika upaya terus ditingkatkan maka produksi pun meningkat akan tetapi pada titik pertumbuhan maksimum jika upaya ditingkatkan lagi maka terjadi penurunan produksi hal ini disebabkan karena daya dukung sumber daya terbatas, sehingga terjadi penurunan hasil penangkapan yang disebut dengan “diminising return” (kenaikan hasil yang semakin berkurang). Jika suatu perikanan telah mengalami kondisi demikian, maka dipastikan telah terjadi over fishing. Hal ini terjadi karena pemanfaatan perikanan secara terbuka atau sering disebut open access, dengan ciri sebagai berikut tidak ada pemilikan individual (individual property right) atas daerah-daerah penangkapan, dan tidak ada regulasi yang mengontrol tingkat upaya penangkapan. Dengan demikian untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit saja, harus membutuhkan upaya yang sangat besar. Kondisi ini bila dibiarkan maka akan terjadi kelangkaan sumber daya dan rusaknya habitat.

Gambar 17 Kurva pertumbuhan logistik pada nelayan tanpa mesin

Berdasarkan penggunaan alat analisis maple dengan perhitungan tingkat MSY mengikuti solusi Clark (1985) dalam Fauzi (2005) yaitu : diperoleh hasil MSY sebesar 84,99063650, EMSY sebesar 393,2688642 trip dan xMSY sebesar 162, 0655762 ton, produksi (h) = 0.001333493 ton, grout (g) = 32413111524 – 0, 4120986708 E.

(23)

Gambar 18. Kurva produksi lestari – upaya (yield-effort curve) pada nelayan tanpa mesin b. Optimum Sustainable Yeild (OSY)

Pada nelayan tanpa mesin terdapat alokasi optimal pada kondisi delta 0,95% diperoleh populasi ikan optimal (xOpt) sebesar = 40,49637397, produksi (hOpt) sebesar = 37,15978581 ton, dan effort (Eopt) sebesar = 688,2933592 trip. RentOpt = 2,229251800 x 108, RentOvertime = 2,346580842 x 108.

Gambar 19. Kurva produksi optimum sustainable yield pada nelayan tanpa mesin

Delta 0,95 diperoleh stok ikan pertama (xOpt1) = 40,48637397 ton, produksi pertama (hOpt1) = 37,15978581 ton, effort optimum pertama (Eopt1) = 688,2933592 trip.

Delta 0,15% diperoleh stok ikan kedua (xOpt2) = 142,9344094 ton, produks optimum kedua (hOpt2) = 23,73825528, effort optimum kedua (Eopt2) = 124,5435567 trip, keuntungan optimum pertama (RentOpt1) = 2,229251800 x 108. Keuntungan over

(24)

time pertama (RentOvertime1) Rp = 2,346580842 x 108, keuntungan optimum kedua (RentOpt2) = 1,605543920 x 108, keuntungan over time kedua (RenOvertime2) = 1.070362613 x 109.

c. Perhitungan Bioekonomi pada Kondisi Open Access dan Sole Owner (SO).

Pada desa nelayan tanpa mesin terdapat total cost sebesar 57.580 E, TR = 3,053951232 x 106 E (1-0.001271394828E), stok ikan pada kondisi open access (xOA) = 6,111254025 ton, effort pada kondisi open access (EOA) = 771,7081392 trip, produksi pada kondisi open access (hOA) = 6,288892301 ton, marginal revenue (MR) = 3,053951232 x 106 – 7765,555603E, marginal cost (MC) = 57.580, sedangkan pada kondisi privat (sole owner) effort (ESO) = 385,8540696, total revenue pada kondisi sole owner (TRSO) = 6,002984941 x 108, total cost pada kondisi sole owner (TCSO) = 2,221747733 x 107, RentSO = 5,780810168 x 108, produksi pada kondisi sole owner

(hSO) sebesar = 84,96042377 ton, dan stok ikan pada kondisi sole owner (xSO) sebesar = 165,1212032 ton.

Tabel 27 Kondisi pemanfaatan sumber daya perikanan oleh nelayan tanpa mesin Kondisi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan

Variabel

Open Access Sole Owner

Stok Ikan (ton) 6,111254025 165,1212032

Produksi (ton) 6,288892301 84,96042377 Effort (trip) 771,7081392 385,8540696 MR (Rp) 3,053951232 x 106 – 7765,555603E - MC (Rp) 57.580 - TR (Rp) 3,053951232 x 106 E (1-0.001271394828E) 6,002984941 x 108 TC (Rp) 57.580 E 2,221747733 x 107 RentSO - 5,780810168 x 108

Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa pengelolaan ikan pada rezim sole owner (SO) jauh lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan ikan pada rezim open access. Hal ini disebabkan karena pada pengelolaan sole owner telah diterapkan aturan– aturan pengelolaan sumber daya, baik aturan positif negara (perda, undang-undang, dll.) maupun hukum adat, seperti di Maluku dapat diterapkan hukum sasi sehingga hukum adat tersebut dapat mengontrol pengambilan hasil pada waktu-waktu tertentu saja. Sedangkan rezim open access tidak terdapat aturan sehingga siapa saja bebas melakukan

(25)

penangkapan ikan kapan dan dimana saja boleh. Sehingga kondisi open access ini dapat mengakibatkan over fishing dan lambat laun akan terjadi kelangkaan sumber daya. 6.3. Analisis Pendapatan

Dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan diperlukan beberapa komponen biaya, antara lain adalah biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel terdiri dari BBM, konsumsi dan rokok yang digunakan nelayan dalam 1 trip melaut, sedangkan biaya tetap adalah biaya penyusutan dan pemeliharaan dari sarana prasarana penangkapan ikan yang digunakan.

Menurut Subri (2007), bahwa ongkos produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua katagori, yaitu ongkos berupa pengeluaran nyata (actuil cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran nyata (inputed cost). Dalam hal ini, pengeluaran-pengeluaran nyata ada yang kontan dan ada yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah : (1) bahan bakar dan oli (2) bahan pengawet (es dan garam), (3) pengeluaran untuk makanan/konsumsi awak, (4) pengeluaran untuk reparasi, (5) pengeluaran untuk retribusi dan pajak.

Pengeluaran-pengeluaran yang kontan adalah upah/gaji awak nelayan pekerjaan yang umumnya bersifat bagi hasil dan dibayar sesudah hasil dijual. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak nyata ialah penyusutan dari boat/sampan, mesin-mesin dan alat penangkap. Karena pengeluaran ini hanya merupakan penilaian yang tidak pasti.

Tingkat pendapatan bersih nelayan dapat diperoleh setelah hasil penjualan dikurangi dengan biaya produksi yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Dari sini dapat kita mengetahui berapa besarnya pendapatan seorang nelayan dalam satu trip melaut.

Sesuai dengan hasil analisis tingkat pendapatan nelayan di Maluku Tenggara menunjukan bahwa terjadi fluktuasi pendapatan antara satu nelayan dengan nelayan yang lain. Rata-rata hasil pendapatan nelayan per hari pada nelayan tanpa mesin sebesar Rp. 13.865. Pendapatan terendah sebesar Rp. 3.723 per hari, sedangkan pendapatan tertinggi sebesar 68.853 rupiah per hari. Dari tingkat pendapatan demikian membuktikan bahwa pendapatan nelayan di Maluku Tenggara rata-rata dibawah US$2 per hari, artinya masih dibawah standar tingkat kemiskinan yang ditetapkan oleh UNDP sebesar US$2 per kapita per hari.

(26)

Sementara pada nelayan bermesin rata-rata tingkat pendapatan yang diperoleh melalui hasil analisis pendapatan dari nelayan bermesin adalah sebesar 77.798 rupiah per hari. Namun pendapatan rata-rata terendah adalah sebesar 5.042 rupiah per hari, dan pendapatan rata-rata tertinggi adalah sebesar 265.339 rupiah per hari. Pendapatan tertinggi diperoleh dari nelayan bermesin dengan sarana penangkapan berupa bagan ikan, dimana hasil tangkapan dari bagan ikan ini sangat besar, dan rata-rata 60-70 kg per malam, dan pada musim panen ikan antara bulan Desember hingga bulan Maret pendapatan rata-rata per malam sebesar 2 ton ikan. Pendapatan yang tinggi tersebut dapat mempengaruhi pendapatan rata-rata nelayan menjadi besar, namun masih banyak nelayan yang berpendapatan dibawah 10.000 rupiah per hari yaitu 17,86%.

6.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan a. Nelayan Menggunakan Mesin

Nilai R2 (R square) dari tabel Model Summary sebesar 84,2% menunjukan bahwa variasi “income/pendapatan” nelayan yang menggunakan mesin dapat dijelaskan oleh perubahan dalam variabel pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan.

Tabel 28 Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan bermesin

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson

1 .918 .842 .776 73873791.52 1.085

Sumber : data primer, diolah dari hasil penelitian.

Hal ini diperkuat dengan analisa dari tabel ANOVA yang merupakan pengujian secara bersama antara semua variabel bebas terhadap variabel terikat (pendapatan nelayan). Hasil analisa uji F pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa nilai uji F sebesar 12,679 dengan P-value 0,000 yang berarti bahwa pendapatan nelayan yang memiliki sarana penangkapan yang dilengkapi dengan mesin dipengaruhi oleh variabel pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan. Tabel uji F dibawah ini :

(27)

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 553538554940219000. 8 69192319367527400. 12.679 .000

Residual 103689404397573600. 19 5457337073556500.

Total 657227959337793000. 27

Sumber : data primer, diolah

Walaupun hasil pengujian secara bersama menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan dalam model memiliki pengaruh terhadap pendapatan nelayan, namun pengujian tersebut belum menunjukkan variabel-variabel apa yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Oleh karena itu, tahapan selanjutnya melakukan pengujian terhadap variabel-variabel secara parsial dengan menggunakan uji t. Namun sebelum melakukan uji t perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi model OLS yakni tidak terdapat autokorelasi, multikolinearitas dan heteroskedastisitas dan data menyebar secara normal.

Selanjutnya nilai uji statistik Durbin-Watson = 1.085, nilai tersebut berada di daerah tanpa pengambilan keputusan dalam uji Durbin-Watson sehingga dapat diasumsikan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Sedangkan pengujian multikolieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Apabila nilai VIF < 10 yang berarti tidak ada multikolinearitas antar variabel bebas (Rockmery dan Deck, 1982 dalam Juanda 2007). Hasil analisa sebagaimana ditampilkan pada tabel di bawah ini menunjukkan nilai VIF dari seluruh variabel yang dimasukkan di dalam model < 10 yang berarti bahwa tidak terjadi multikoliearitas.

Oleh karena itu, pengujian partial untuk mengetahui variabel apa saja yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan dapat dilakukan. Hasil analisa dengan menggunakan SPSS dapat ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 30 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan.

Variabel Coefficients Std. Error t Sig VIF

(Constant) 514839395.940 164065165.892 3.138 .005 pengalaman nelayan -506492.402 2074608.903 -.244 .810 2.306 jumlah tanggungan 1760395.022 15414452.479 .114 .910 2.306 tingkat pendidikan nelayan 95630399.731 66068435.650 1.447 .164 2.742 musim menangkap ikan 128619637.997 49549106.743 2.596 .018** 1.848 akses ke pasar -240007477.963 95129224.509 -2.523 .021** 3.080 sarana menangkap ikan 78487889.055 43983191.129 1.784 .090* 2.431 jarak menangkap ikan 13540133 37702003.324 -3.591 .002*** 1.786 jumlah orang menangkap

ikan 51733974.658

21196606.000 2.441 .025** 2.293

(28)

Berdasarkan nilai pada tabel di atas maka persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least squares) adalah : Y = 514839395.940 - 506492.402x1 + 1760395.022x2 + 95630399.731x3 +

128619637.997x4 - 240007477.963x5 + 78487889.055x6 + 13540133x7 +

51733974.658x8.

Selanjutnya untuk menguji masing-masing koefisien regresi digunakan uji – t dengan hasil sebagai berikut :

Hasil analisa dapat dibandingkan dengan P-value yang terdapat pada tabel yang telah dinalisis dengan menggunakan SPSS. Analisis secara partial menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan nelayan adalah musim menangkap ikan (taraf nyata 5%), akses ke pasar (taraf nyata 5%), sarana menangkap ikan (nyata pada taraf 10%), jarak menangkap ikan (taraf nyata 1%) dan jumlah orang yang menangkap ikan (taraf nyata 5%) sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil analisa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Variabel pengalaman kerja, hasil uji t menunjukkan bahwa pengalaman kerja tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena umumnya masyarakat di desa tersebut memiliki keahlian secara turun-termurun sehingga melaut merupakan bagian dari kehidupan masyarakat bahkan sejak anak-anak mereka sudah terbiasa dengan melaut.

2. Variabel jumlah tanggungan, hasil uji t menunjukkan bahwa jumlah tanggungan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena anak-anak sejak kecil mereka sudah membantu orang tua dalam bekerja apakah sebagai nelayan ataupun sebagai petani.

3. Variabel tingkat pendidikan, hasil uji t menunjukkan bahwa pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena menjadi nelayan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, hanya membutuhkan ketrampilan yang diperoleh diluar sekolah-sekolah formal, dan sarana penangkapan ikan yang digunakan sangat tradisional sehingga tidak membutuhkan pendidikan tinggi. 4. Variabel musim penangkapan ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b4 =

128619637,997 dan nyata pada taraf 5% yang berarti bahwa pada musim timur masyarakat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena pada musim timur laut lebih teduh sehingga nelayan dengan leluasa melakukan

(29)

aktifitas penangkapan ikan. Dan jenis ikan tertentu seperti komo, cakalang (tongkol) lebih banyak muncul dan makan umpan nelayan pada musim timur. 5. Variabel akses ke pasar, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b5 = -240007477.963

dan nyata pada taraf 5 % yang berarti bahwa semakin jauh dari pusat pasar, nelayan yang memiliki sarana penangkapan ikan yang dilengkapi mesin memiliki pendapatan yang tinggi karena pasar yang berada jauh dari nelayan, tidak dapat diakses oleh nelayan tanpa mesin sehingga nelayan bermesin yang memiliki peluang untuk menjual hasil ke pasar.

6. Variabel sarana menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b6 =

78487889,055 nyata pada taraf 10% yang berarti nelayan yang memiliki mesin dan perahu yang besar dapat menempuh jarak yang tidak bisa ditempuh oleh nelayan tanpa mesin, sehingga pendapatan yang diperoleh nelayan akan bertambah sebesar Rp 78.487.889,055. Hal initerjadi karena pada wilayah pesisir pantai telah terjadi over fishing sehingga stok ikan yang tersedia sudah semakin berkurang.

7. Variabel jarak menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b7 =

13540133 nyata pada taraf 1% yang berarti nelayan yang memiliki mesin dan perahu yang besar dapat menempuh jarak yang tidak bisa ditempuh oleh nelayan tanpa mesin, sehingga pendapatan yang diperoleh nelayan akan bertambah sebesar Rp 13.540.133. Hal ini terjadi karena pada wilayah pesisir pantai telah terjadi over fishing sehingga stok ikan yang tersedia sudah semakin berkurang. 8. Variabel jumlah orang yang menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai

b8 = 51733974.658nyatapada taraf 5% yang berarti bahwa peningkatan jumlah

orang yang menangkap ikan sebanyak 1 orang akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 51.733.974,658. Hal ini mengindikasikan bahwa nelayan yang menangkap ikan yang dilengkapi dengan sarana mesin membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk aktifitas penangkapan sehingga perlu ditingkatkan jumlah orang yang diikutkan dalam penangkapan ikan.

(30)

Nilai R2 (R square) dari tabel Model Summary sebesar 66,2% menunjukan bahwa variasi “income/pendapatan” nelayan yang tidak menggunakan mesin dapat dijelaskan oleh perubahan dalam variable pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan.

Tabel 31 Hasil analisis faktor-faktor mempengaruhi pendapatan nelayan tanpa mesin

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 .814 .662 .544 60715581.51 2.223

Sumber : data primer, diolah

Hal ini diperkuat dengan analisa dari tabel ANOVA yang merupakan pengujian secara bersama antara semua variabel bebas terhadap variabel terikat (pendapatan nelayan). Hasil analisa uji F pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa nilai uji F sebesar 5,596 dengan P-value 0,001 yang berarti bahwa pendapatan nelayan yang tidak memiliki mesin dipengaruhi oleh variabel pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan. Adapun uji F dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 32 Hasil analisis of varians pada nelayan tanpa mesin

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 144401165796401000.000 7 20628737970914420.000 5.596 .001 Residual 73727636760782400.000 20 3686381838039118.000

Total 218128802557183300.000 27

Sumber : data primer, diolah

Walaupun hasil pengujian secara bersama menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan dalam model memiliki pengaruh terhadap pendapatan nelayan, namun pengujian tersebut belum menunjukkan variabel-variabel mana yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Oleh karena itu, tahapan selanjutnya melakukan pengujian terhadap variabel-variabel secara parsial dengan menggunakan uji t. Namun sebelum melakukan uji t perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi model OLS yakni tidak terdapat autokorelasi, multikolinearitas dan heteroskedastisitas dan data menyebar secara normal.

(31)

Selanjutnya nilai uji statistik Durban-Watson = 2.223, nilai tersebut mendekati nilai 2 sehingga mengindikasikan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Sedangkan pengujian multikolieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Apabila nilai VIF < 10 yang berarti tidak ada multikolinearitas antar variabel bebas (rockmery dan deck, 1982 dalam Juanda, 2007 ). Hasil analisa sebagaimana ditampilkan pada tabel di bawah ini menunjukkan nilai VIF dari seluruh variabel yang dimasukkan di dalam model < 10 yang berarti bahwa tidak terjadi multikoliearitas.

Oleh karena itu, pengujian partial untuk mengetahui variabel apa saja yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan dapat dilakukan. Hasil analisa dengan menggunakan SPSS dapat ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 33 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan.

Variabel Coefficients Std. Error t Sig VIF

(Constant) 228637788.597 171260907.125 1.335 .197 jumlah tanggungan -26650183.974 11477860.758 -2.322 .031** 2.348 tingkat pendidikan nelayan -104030269.244 37415277.894 -2.780 .012** 1.790 musim menangkap ikan -223632895.998 47274236.750 -4.731 .000*** 3.183 akses ke pasar 201135650.511 57530558.748 3.496 .002*** 3.688 sarana menangkap ikan 75721855.957 48858310.065 1.550 .137 1.203 jarak menangkap ikan 4365205.742 39547438.341 .110 .913 1.136 jumlah orang yg menangkap

ikan -25015724.907 35173269.828 -.711 .485 1.294

Sumber : data primer, diolah

Berdasarkan nilai pada tabel di atas maka persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least squares) adalah : Y = 228637788.597 - 26650183.974x1 - 104030269.244x2 - 223632895.998x3 +

201135650.511x4 + 201135650.511x5 + 75721855.957x6 +

4365205.742x7 - 25015724.907x8

Selanjutnya untuk menguji masing-masing koefisien regresi digunakan uji – t dengan hasil sebagai berikut :

Hasil analisa dapat dibandingkan dengan P-value yang terdapat pada tabel yang telah dinalisa dengan menggunakan SPSS. Analisis secara partial menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan nelayan adalah jumlah tanggungan keluarga (taraf nyata 1%), tingkat pendidikan nelayan (taraf nyata 10%), musim menangkap ikan (taraf nyata 1%) dan akses ke pasar (taraf nyata 1%), sedangkan

(32)

variabel lainnya tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil analisa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Variabel jumlah tanggungan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b1 = -26650183,974

dan nyata pada taraf 5% yang berarti dengan peningkatan jumlah tanggungan 1 orang keluarga menambah beban sebesar Rp 26.650.183,974 karena penambahan jumlah anggota keluarga menjadi beban bagi kepala keluarga untuk memberi nafkah dan anggota keluarga tersebut belum berusaha secara produktif untuk meningkatkan pendapatan di dalam keluarga.

2. Variabel tingkat pendidikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b2 =

-104030269,244 dan nyata pada taraf 5 % yang berarti bahwa masyarakat yang berpendidikan rendah (tidak tamat SD) tidak merasa beban (gengsi) jika tidak menggunakan peralatan tanpa mesin saat menangkap ikan, sehingga dengan senang hati dia menangkap ikan. Sementara nelayan yang berpendidikan lebih tinggi, jika tidak menggunakan mesin dia merasa gengsi. sehingga untuk melakukan penangkapan dia tidak bergaira. Selain itu, masyarakat yang berpendidikan tinggi memiliki peluang usaha lain dan tidak bergantung sepenuhnya pada usaha penangkapan ikan.

3. Variabel musim penangkapan ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b3 =

-223632895,998 dan nyata pada taraf 1% yang berarti bahwa pada musim barat masyarakat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena letak wilayah penangkapan lebih cocok untuk menangkap ikan pada musim barat. Dan pada musim barat terjadi musim peningkatan aktifitas melaut karena nelayan tidak melakukan aktifitas sampingan mereka sebagai tani serabutan ataupun usaha lainnya. 4. Variabel akses ke pasar, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b4 = 201135650,511

dan nyata pada taraf 1% yang berarti bahwa semakin mudah akses nelayan ke pasar, maka pendapatan nelayan semakin tinggi karena nelayan mudah memasarkan hasil tangkapannya, sehingga ikan hasil tangkapan habis terjual dan biaya transportasi ke pasar semakin kecil .

5. Variabel sarana menangkap ikan, tidak nyata berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat nelayan yang tidak memiliki mesin karena umumnya sarana yang dimiliki hanya berupa sampan dan dayung dilengkapi alat pancing ulur sehingga mereka tetap

(33)

menggunakan sarana tersebut untuk melakukan aktifitas penangkapan pada pesisir pantai dimana telah terjadi over fishing sehingga pendapatan nelayan tidak meningkat. 6. Variabel jarak menangkap ikan, tidak nyata berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat nelayan yang tidak memiliki mesin karena keterbatasan sarana maka lokasi penangkapan ikan umumnya berada pada lokasi pesisir pantai sehingga hasil tangkapan nelayan menjadi sedikit akibat dari terjadinya over fishing pada wilayah pesisir.

7. Variabel jumlah orang yang menangkap ikan, tidak nyata berpengaruh terhadap pendapatan nelayan karena umumnya nelayan yang tidak memiliki mesin hanya mengandalkan sampan dan alat pancing sehingga, 1 perahu kecil hanya 1 orang nelayan, karena jumlah orang tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan.

c. Gabungan Nelayan Mesin dan Nelayan Tanpa Mesin

Nilai R2 (R square) dari tabel Model Summary sebesar 81% menunjukan bahwa variasi “income/pendapatan” nelayan dapat dijelaskan oleh perubahan dalam variable pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan.

Tabel 34 Hasil analisis faktor-faktor mempengaruhi pendapatan nelayan tanpa mesin

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .900 .810 .783 20296837.04 2.416

Sumber : data primer, diolah

Hal ini diperkuat dengan analisa dari tabel ANOVA yang merupakan pengujian secara bersama antara semua variabel bebas terhadap variabel terikat (pendapatan nelayan). Hasil analisa uji F pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa nilai uji F sebesar 29,302 dengan P-value 0,000 yang berarti bahwa pendapatan nelayan dipengaruhi oleh variabel pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, tehnologi, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan.

Tabel 35 Hasil analisis of varians pada nelayan tanpa mesin

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 84500160027602600.000 7 12071451432514650.000 29.302 .000

(34)

Total 104274316527694600.000 55 Sumber : data primer, diolah

Walaupun hasil pengujian secara bersama menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam model memiliki pengaruh terhadap pendapatan nelayan, namun pengujian tersebut belum menunjukkan variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Oleh karena itu, tahapan selanjutnya melakukan pengujian terhadap variabel-variabel secara parsial dengan menggunakan uji t.

Namun sebelum melakukan uji t perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi model OLS yakni tidak terdapat autokorelasi, multikolinearitas dan heteroskedastisitas dan data menyebar secara normal.

Selanjutnya nilai uji statistik Durban-Watson = 2,416, nilai tersebut mendekati nilai 2 sehingga mengindikasikan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Sedangkan pengujian multikolieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Apabila nilai VIF < 10 yang berarti tidak ada multikolinearitas antar variabel bebas (Rockmery dan Deck, 1982 dalam Juanda, 2007). Hasil analisa sebagaimana ditampilkan pada tabel di bawah ini menunjukkan nilai VIF dari seluruh variabel yang dimasukkan di dalam model < 10 yang berarti bahwa tidak terjadi multikoliearitas.

Oleh karena itu, pengujian partial untuk mengetahui variabel apa saja yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan dapat dilakukan. Hasil analisa dengan menggunakan SPSS dapat ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 36 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan.

Variabel Coefficients Std. Error t Sig VIF

(Constant) -184759634.710 34447343.844 -5.364 .000 jumlah tanggungan -738745.996 2249959.179 -.328 .744 1.469 tingkat pendidikan nelayan 1523798.042 8181126.482 .186 .853 1.335 musim menangkap ikan -4047863.681 7546183.041 -.536 .594 1.873 akses ke pasar 62271049.107 10578301.202 5.887 .000*** 2.561 sarana penangkapan 68014094.414 14623389.776 4.651 .000*** 6.674 jarak menangkap ikan 42425119.165 11378895.042 3.728 .001*** 2.963 jumlah orang yg melaut 4160761.715 3405393.312 1.222 .228 1.526

Sumber : data primer, diolah

Berdasarkan nilai pada tabel di atas maka persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least squares) adalah :

(35)

Y = -184759634.710 - 738745.996x1 + 1523798.042x2 - 4047863.681x3 +

62271049.107x4 + 68014094.414x5 + 42425119.165x6 + 4160761.715x7

Selanjutnya untuk menguji masing-masing koefisien regresi digunakan uji – t dengan hasil sebagai berikut :

Hasil analisa dapat dibandingkan dengan P-value yang terdapat pada tabel yang telah dinalisa dengan menggunakan SPSS. Analisis secara partial menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan nelayan adalah akses ke pasar (taraf nyata 1%), sarana penangkapan (taraf nyata 1%), dan jarak melaut (taraf nyata 1%), sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil analisa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Variabel jumlah tanggungan, hasil uji t menunjukkan bahwa jumlah tanggungan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena anak-anak sejak kecil mereka sudah membantu orang tua dalam bekerja apakah sebagai nelayan maupun sebagai petani, sehingga anak tidak merupakan beban bagi orang tua.

2. Variabel tingkat pendidikan, hasil uji t menunjukkan bahwa pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena menjadi nelayan tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Dan sarana penangkapan ikan yang digunakan hanya membutuhkan ketrampilan yang diperoleh diluar sekolah-sekolah formal. 3. Variabel musim penangkapan ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa musim

penangkapan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena pada musim barat maupun musim timur masyarakat memperoleh pendapatan yang hampir sama. Hal ini terjadi karena letak wilayah penangkapan cocok untuk menangkap ikan pada kedua musim tersebut.

4. Variabel akses ke pasar, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b4 = 62271049,107dan

nyata pada taraf 1% yang berarti bahwa semakin mudah nelayan memiliki akses ke pasar, maka pendapatannya semakin tinggi. Sehingga semakin dekat jarak dengan pasar maka pendapatan nelayan akan bertambah sebesar Rp 62.271.049,107.Hal ini terjadikarena semakin dekat nelayan mudah memasarkan produknya sehingga ikan hasil tangkapan habis terjual dan biaya transportasi ke pasar semakin kecil .

5. Variabel sarana menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b5 =

Gambar

Tabel 15  Potensi perikanan serta jumlah tangkapan yang dibolehkan pada Laut Banda  dan Laut Arafura
Tabel  16  Produksi  hasil perikanan tangkap Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007
Gambar  7  Produksi  hasil perikanan tangkap Kabupaten Maluku Tenggara tahun            1996  - 2007
Tabel 19   Jumlah  alat  penangkapan  ikan,  trip  di  Kabupaten  Maluku  Tenggara         tahun 1996 - 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misal: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), usaha sepi. b) Nasabah memindahtangankan atau jual beli bawah tangan tanpa sepengetahuan pihak bank. Hal ini sering terjadi saat

Fakta-fakta tersebut diatas menimbulkan keinginan peneliti untuk menggali persoalan ini lebih dalam apakah benar locus of control dapat mempengaruhi tinggi atau

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Fadholi (2015) yang berjudul “Pengaruh pembiayaan murabahah, musyarakah dan mudharabah terhadap

Dengan menggunakan analisis regresi multilinier, sebanyak 20 senyawa xanton yang sudah diketahui nilai IC50-nya digunakan sebagai senyawa fitting untuk mendapatkan

Berdasarkan asumsi peneliti bahwa ada pengaruh BEST terhadap teknik perlekatan menyusu, hal ini dikarenakan intervensi yang dilakukan pada responden pada ibu

Gambar V.6 Diagram pareto dari tabel D-optimal design of experiment tahap kedua yang menunjukkan urut-urutan atau rangking dari efek ketidakpastian variabel terhadap hasil

Dalam penelitian ini data primer diperoleh secara langsung dari pelaku perkawinan anak di bawah umur, pejabat desa serta para ulama Desa Tegaldowo, KUA kecamatan Gunem

Pengaruh pemberian kalium terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman manggis (Garcinia mangostana, L.) [skripsi].. Fakultas