• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA BERSAMA MELALUI JUAL BELI OLEH SUAMI ATAU ISTERI (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA BERSAMA MELALUI JUAL BELI OLEH SUAMI ATAU ISTERI (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

10

Pages pp.

56

- 65

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 -

56

PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH HARTA BERSAMA

MELALUI JUAL BELI OLEH SUAMI ATAU ISTERI

(Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)

Abdul Kahar1, Ilyas Ismail2, Suhaimi2,

1) Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

2)Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Abstract: Regulation of the Minister of Agrarian / Head of National Land Agency number 3 of

1997, a trade agreement of land rights made with the knowing or approving of the husband or wife. In the certificate of the trade itself must be included the approval of both sides (husband or wife). Before taken out the State Minister of Agrarian Affairs / Head of National Land Agency number 3 of 1997, all trade agreement of land rights is performed without the knowing or without the approving of the husband or wife. Consideration of law need the approval of the husband or wife in a transfer of land rights as common property is to fulfill the requirements specified in the legislation and to minimize or avoid the legal problems later on. While the factors causing the transfer of land rights as common property without the approval of the husband or wife because not knowing of any requirement in the form of a husband or wife approval to transfer land rights of common property and one of the sides must give the approval (husband or wife) had died. Thetransfer of ounership right through the trade of common property without the approval of the husband or wife does not give legal consequences on real, because the State Minister of Agrarian / Head of National Land Agency number 3 of 1997 does not regulate on firm this issue. Factors causing the trade of land rights as common property created by A Law Postgraduate Studento of Syiah Kuala University certificate of trade without the approval of the wife or husband because lack of firmness of the laws that govern them and no sanctions as well as the legal consequences.

Keywords: Transfer of Ouner ship Rights, Marital Property, Sales and Purchase

Abstrak: Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa perjanjian jual beli hak milik atas tanah dilakukan dengan sepengetahuan atau persetujuan suami atau isteri. Dalam akta jual beli itu sendiri dicantumkan harus adanya persetujuan kedua belah pihak (suami atau isteri). Sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, semua perjanjian jual beli hak milik tanah dilakukan tanpa sepengetahuan atau tanpa persetujuan suami atau isteri. Pertimbangan hukum perlunya persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama adalah untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan untuk meminimalisir atau menghindari persoalan hukum di kemudian hari. Faktor penyebab terjadinya peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama tanpa persetujuan suami atau isteri karena tidak mengetahui adanya persyaratan berupa persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah harta bersama dan salah satu pihak yang harus memberi persetujuan (suami atau isteri) telah meninggal dunia. Peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli harta bersama tanpa persetujuan suami atau isteri tidak memberikan akibat hukum secara nyata, karena Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tidak tegas mengatur masalah ini. Faktor penyebab jual beli hak milik atas tanah sebagai harta bersama dibuatkan akta jual beli oleh PPAT tanpa adanya persetujuan isteri atau suami disebabkan tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan tidak adanya sanksi serta akibat hukumnya.

(2)

57

- Volume 2, No. 1, Agustus 2013

PENDAHULUAN

Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (yang disebut dengan undang-undang Pokok Agraria dan disingkat dengan UUPA) menyatakan bahwa : “hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Salah satu bentuk perbuatan hukum yang dapat dilakukan dalam peralihan hak milik atas tanah tersebut adalah jual beli.

Jual beli adalah suatu perjanjian antara penjual dan pembeli, di mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu barang atau benda dan pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dengan demikian jual beli hak milik atas tanah adalah suatu penyerahan hak milik atas tanah oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya dan pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian jual beli hak milik atas tanah tidak diatur di dalam UUPA, karena perjanjian jual beli itu sendiri tidak termasuk Hukum Agraria atau Hukum Tanah, melainkan termasuk Hukum Perjanjian atau Hukum Perutangan. Akan tetapi, proses pelaksanaan jual beli hak milik atas tanah dilakukan menurut peraturan perundangan-undangan di bidang agraria atau pertanahan. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan benar atau tidaknya telah terjadi perbuatan hukum (perjanjian) jual beli hak atas tanah. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk adanya kepastian hukum terhadap pemilik hak atas tanah. Misalnya, Peraturan Pemerintah No.

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah di mana dalam Pasal 37 ayat (1) dinyatakan bahwa:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,hibah,pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuatolehPPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan tersebut di atas mensyaratkan bahwa peralihan hak atas tanah (termasuk jual beli), baru dapat didaftarkan apabila perjanjian jual beli hak atas tanah tersebut dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara implisit ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa perjanjian jual beli hak atas tanah harus dilakukan di depan PPAT dan hal ini dibuktikan dengan adanya akta PPAT dimaksud.

Berikut ini dikemukakan salah satu transaksi (perjanjian) jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan di depan PPAT Kecamatan Kuta Cot Glie dengan Nomor Akta 462/KCG/IV/2012 tanggal 26 April 2012. Dalam proses jual beli tersebut PPAT menolak untuk menandatangani akta jual beli karena pihak penjual tidak dapat menghadirkan isterinya ke Kantor PPAT (Kantor Camat Kuta CotGlie) untuk memberikan persetujuan dan menandatangani akta jual beli hak milik atas tanah tersebut, padahal tanah tersebut bukan harta bersama melainkan harta bawaan suami. PPAT baru menandatangani akta jual beli

(3)

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 -

58

tersebut setelah pihak penjual dapat

menghadirkan isterinya di Kantor PPAT dan memberikan persetujuan sekaligus menandatangani akta jual beli tersebut.

Sementara itu dalam kasus yang lain, PPAT Kecamatan Kuta Cot Glie bersedia menandatangani Akta Jual Beli hak milik atas tanah (Akta Nomor 513/KCG/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012), padahal hak milik atas tanah tersebut merupakan harta bersama suami isteri yang bersangkutan.

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Dalam KUH Perdata pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga”.

Purwahid Patrik merumuskan ”perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum, perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan di mana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu”.

Van Dunne mengartikan perjanjian adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.

Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

Suatu perjanjian menimbulkan suatu hubungan antara pihak-pihak dalam perjanjian, yang dinamakan perikatan. Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.

Peralihan hak atas tanah merupakan sesuatu hal yang menyebabkan hak atas tanah berpindah atau beralih dari seseorang/Badan Hukum kepada orang lain/Badan Hukum. Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Peralihan hak atas tanah yang terjadi karena perbuatan hukum adalah peralihan hak atas tanah yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari pihak yang

(4)

59

- Volume 2, No. 1, Agustus 2013 mengalihkan kepada pihak yang menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Dalam hal ini pemindahan hak milik atas tanah tersebut diketahui atau diinginkan oleh pihak yang melakukan perjanjian peralihan hak atas tanah.

Adapun prosedur peralihan milik atas tanah (khususnya peralihan hak melalui jual beli), diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan secara musyawarah di antara mereka sendiri, yaitu antara calon penjual dengan calon pembeli. Setelah mereka memperoleh kata sepakat mengenai harga tanah tersebut, biasanya calon pembeli menyerahkan uang panjar sebagai tanda jadi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengungkapkan pertimbangan perlunya persetujuan isteri atau suami dalam peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama, keabsahan peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama yang dilakukan oleh suami atau isteri tanpa persetujuan isteri atau suami dan pihak yang harus memberi persetujuan dalam jual beli hak milik atas tanah, jika salah satu pihak (suami atau isteri) sudah meninggal dunia.

Oleh karena itu, penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif, sehingga metode pendekatan yang dipergunakan adalah yuridis normatif. Di samping itu juga penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris

dengan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Pendekatan yuridis empiris, dilakukan dengan meneliti mengenai keberlakuan hukum itu dalam kenyataannya atau dalam masyarakat.

HASIL PEMBAHASAN

Faktor Penyebab Peralihan Hak Milik Atas Tanah Sebagai Harta Bersama Tanpa Persetujuan Suami atau Isteri

Pasal 35 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama bagi suami dan isteri. Oleh karena itu, jika sebidang tanah atau suatu hak milik atas tanah diperoleh selama perkawinan, maka jelas hak milik atas tanah tersebut merupakan harta bersama. Mengenai harta bersama ini, menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Selanjutnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, di samping harta bersama juga mengenal adanya harta bawaan masing-masing suami dan isteri. Hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa terhadap harta bawaan masing-masing suami dan isteri atau harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan isteri, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

(5)

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 -

60

Terhadap harta bawaan masing-masing pihak

ini, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya.

Dengan demikian, menurut ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, harta benda (termasuk tanah atau hak milik atas tanah) yang diperoleh selama perkawinan termasuk dalam harta bersama dan peralihan haknya juga harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan hak milik atas tanah yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak, merupakan hak sepenuhnya masing-masing pihak dalam melakukan peralihan haknya.

Dalam praktek dijumpai adanya peralihan hak milik atas tanah harta bersama melalui perjanjian jual beli yang dilakukan oleh suami tanpa adanya persetujuan isteri. Berdasarkan hasil penelitian dalam Tahun 2012 ditemukan ada 2 (dua) Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, yaitu Kecamatan Suka Makmur dan Kecamatan Kuta Cot Glie yang terjadi transaksi (perjanjian) jual beli hak milik atas tanah harta bersama yang dilakukan baik dengan persetujuan suami atau isteri maupun tanpa persetujuan suami atau isteri. Di Kecamatan Suka Makmur terdapat 31 (tiga puluh satu) perjanjian jual beli hak milik atas tanah harta bersama yang dilakukan dengan persetujuan isteri atau suami dan 8 (delapan) perjanjian jual beli hak milik atas tanah harta bersama yang dilakukan tanpa persetujuan isteri atau suami. Sementara itu di Kecamatan Kuta Cot Glie terdapat 47 (empat puluh tujuh) perjanjian jual

beli hak milik atas tanah harta bersama yang dilakukan dengan persetujuan isteri atau suami dan 6 (enam) perjanjian jual beli hak milik atas tanah harta bersama yang dilakukan tanpa persetujuan isteri atau suami.

Sehubungan dengan ini, berikut dikemukakan salah satu transaksi (perjanjian) jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan di depan PPAT Kecamatan Kuta Cot Glie dengan Nomor Akta 462/KCG/IV/2012 tanggal 26 April 2012. Dalam proses jual beli tersebut PPATmenolak untuk menandatangani akta jual beli karena pihak penjual (Nurdin Puteh) tidak dapat menghadirkan isterinya (Ramlah) ke Kantor PPAT (Kantor Camat Kuta Cot Glie) untuk memberikan persetujuan dan menandatangani akta jual beli hak milik atas tanah tersebut. PPAT baru menandatangani akta jual beli tersebut setelah pihak penjual dapat menghadirkan isterinya di Kantor PPAT dan memberikan persetujuan sekaligus menandatangani akta jual beli tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi pertimbangan hukum perlunya persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama adalah untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.

Pertimbangan hukum selanjutnya perlunya persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama adalah untuk meminimalisir atau menghindari

(6)

61

- Volume 2, No. 1, Agustus 2013 persoalan hukum di kemudian hari. Dalam arti bahwa apabila harta tersebut merupakan harta bersama, maka pentingnya persetujuan isteri atau suami adalah supaya salah satu pihak mengetahui bahwa hak milik atas tanah tersebut sudah dialihkan (dijual) kepada pihak lain. Hal ini penting apalagi jika tanah tersebut adalah harta bersama, karena dalam harta bersama terdapat hak bersama antara suami dan isteri. Oleh karena itu apabila hak milik atas tanah yang merupakan harta bersama dijual oleh salah satu pihak (suami atau isteri), maka salah satu pihak yang lainnya (isteri atau suami) harus mengetahuinya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa perlunya persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama adalah untuk meminimalisir atau menghindari persoalan hukum di kemudian hari. Dengan demikian tidak terjadinya penjualan harta bersama oleh salah satu pihak tanpa diketahui oleh pihak yang lainnya. Apabila hal tersebut terjadi, dimana salah satu pihak dengan tanpa diketahui oleh pihak yang lainnya telah mengalihkan atau menjual hak milik atas tanah sebagai harta bersama, maka pihak yang lainnya yang tidak mengetahui hal tersebut akan mempersoalkannya dan bahkan menggugat sampai ke pengadilan.

Adapun faktor penyebab terjadinya hak milik atas tanah sebagai harta bersama tanpa persetujuan suami atau isteri adalah sebagai berikut:

a. Tidak mengetahui adanya persyaratan berupa persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah harta bersama.

Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 telah menentukan bentuk-bentuk akta peralihan hak atas tanah (termasuk akta jual beli). Salah satu persyaratan yang dicantumkan dalam akta tersebut adalah perlunya persetujuan dalam peralihan hak milik atas tanah. Namun demikian dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tersebut tidak ditentukan siapa yang harus memberi persetujuan dalam peralihan hak milik atas tanah. Di samping itu juga Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut tidak menentukan atau membedakan antara harta bersama atau harta bawaan masing-masing suami atau isteri, yang disyaratkan dalam peralihan hak milik atas tanah adalah bahwa peralihan hak milik tersebut harus mendapat persetujuan dan tidak ditentukan siapa yang harus memberi persetujuan dimaksud.

b. Salah satu pihak yang harus member persetujuan (suami atau isteri) telah meninggal dunia.

Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama tanpa persetujuan suami atau isteri adalah karena salah satu pihak yang harus memberi persetujuan telah meninggal dunia. Dalam arti bahwa apabila hak milik atas sebidang tanah yang dijual tersebut atas nama

(7)

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 -

62

suami, maka ketika menjualnya harus ada

persetujuan isteri. Begitu juga sebaliknya, jika hak milik atas sebidang tanah tersebut atas nama isteri. Begitu juga sebaliknya, jika hak milik atas sebidang tanah tersebut atas nama isteri, maka waktu menjualnya harus ada persetujuan suami. Oleh karena itu apabila salah satu pihak yang harus memberi persetujuan tersebut telah meninggal dunia, maka jelas bahwa peralihan (jual beli) hak milik atas tanah sebagai harta bersama dilakukan tanpa persetujuan dari suami atau isteri.

Akibat Hukum Jika Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Sebagai Harta Bersama Tanpa Persetujuan Suami atau Isteri

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa apabila isteri sudah meninggal dunia, sementara suaminya bermaksud mengalihkan hak milik atas tanah dengan cara jual beli, maka suami bertindak sebagai penjual. Pada saat pembuatan akta jual beli di depan PPAT, biasanya PPAT baru menandatangani akta jual beli jika para pihak (penjual dan pembeli), pihak yang memberi persetujuan dan 2 (dua) orang saksi sudah menandatangani akta jual beli tersebut. Untuk pihak yang harus memberi persetujuan pertama sekali dimintakan isteri dari penjual untuk menandatangani akta jual beli tersebut. Apabila isteri pihak penjual sudah meninggal dunia, PPAT meminta anak kandung (terutama sekali anak-anak) dari pihak penjual untuk memberi persetujuan dan menandatanganinya akta jual beli. Jika anak laki-laki tidak ada atau tidak dapat hadir, maka

dimintakan anak perempuannya untuk memberi persetujuan dan menandatangani akta jual belinya. Jika anak perempuannya juga tidak ada atau tidak dapat hadir untuk memberi persetujuan dan menandatangani akta jual beli tersebut, maka PPAT akan menandatangani akta jual beli tersebut dan membiarkan bagian “persetujuan” dari akta jual beli itu dalam keadaan kosong.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa ternyata dalam praktek tidak terdapat ketegasan pihak yang harus memberi persetujuan dalam jual beli hak milik atas tanah oleh pihak suami dalam hal isteri meninggal dunia. Tidak adanya ketegasan dalam praktek tentu disebabkan karena tidak adanya ketegasan dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan di atas bahwa alasan atau pertimbangan dibuatkannya akta jual beli hak milik atas tanah sebagai harta bersama oleh PPAT tanpa adanya persetujuan isteri atau suami, karena tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Faktor Penyebab Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Sebagai Harta Bersama Dibuat Akta PPAT Tanpa Persetujuan Suami Atau Isteri

Adapun alasan atau pertimbangan dibuatkannya akta jual beli hak milik atas tanah sebagai harta bersama oleh PPAT tanpa adanya persetujuan isteri atau suami adalah sebagai berikut:

(8)

63

- Volume 2, No. 1, Agustus 2013 a. Tidak tegasnya peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 telah menentukan bentuk-bentuk akta peralihan hak atas tanah (termasuk akta jual beli), dimana salah satu persyaratan yang dicantumkan dalam akta tersebut adalah perlunya persetujuan dalam peralihan hak milik atas tanah. Akan tetapi dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tersebut tidak ditentukan siapa yang harus member persetujuan dalam peralihan hak milik atas tanah. Di samping itu juga Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut tidak menentukan atau membedakan antara harta bersama atau harta bawaan masing-masing suami atau isteri, yang disyaratkan dalam peralihan hak milik atas tanah adalah bahwa peralihan hak milik tersebut harus mendapat persetujuan dan tidak ditentukan siapa yang harus member persetujuan dimaksud.

b. Tidak adanya sanksi dan akibat hukumnya. Adapun alasan lain atau pertimbangan dibuatkannya akta jual beli hak milik atas tanah sebagai harta bersama oleh PPAT walaupun tanpa adanya persetujuan isteri atau suami, karena tidak adanya sanksi dan akibat hukumnya. Apabila PPAT membuat akta jual beli hak milik atas tanah sebagai harta bersama yang dijual oleh suami tanpa adanya

persetujuan isteri atau yang dijual oleh isteri tanpa adanya persetujuan suami, maka tidak ada suatu sanksi pun yang dapat dikenakan terhadap PPAT. Di samping itu juga tidak dicantumkannya persetujuan isteri atau suami dalam akta jual beli tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum apa-apa, kecuali beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, berikut dapat diambil beberapa kesimpulan dan disertai beberapa saran, sebagai berikut :

Kesimpulan

a. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa di Kecamatan Suka Makmur dan Kecamatan Kuta Cot Glie Kabupaten Aceh Besar, pada tahun 2012 terdapat 92 (sembilan puluh dua) perjanjian jual beli hak milik atas tanah harta bersama, 14 (empat belas) perjanjian jual beli di antaranya dilakukan tanpa persetujuan isteri atau suami, sedangkan 78 (tujuh puluh delapan) perjanjian jual beli lainnya dilakukan dengan persetujuan isteri atau suami. Pertimbangan hukum perlunya persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama adalah untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan untuk meminimalisir atau menghindari persoalan hukum di kemudian hari.

(9)

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 1, Agustus 2013 -

64

Sedangkan faktor penyebab terjadinya

peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama tanpa persetujuan suami atau isteri karena tidak mengetahui adanya persyaratan berupa persetujuan suami atau isteri dalam peralihan hak milik atas tanah harta bersama dan salah satu pihak yang harus memberi persetujuan (suami atau isteri) telah meninggal dunia.

b. Peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli harta bersama tanpa persetujuan suami atau isteri tidak memberikan akibat hukum secara nyata, karena Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tidak tegas mengatur masalah ini. Sedangkan peralihan hak milik atas tanah itu sendiri melalui jual beli telah sah secara hukum, karena telah memenuhi ketentuan syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan juga Pasal 1457 KUHPerdata.

c. Faktor penyebab jual beli hak milik atas tanah sebagai harta bersama dibuatkan akta jual beli oleh PPAT tanpa adanya persetujuan isteri atau suami disebabkan tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan tidak adanya sanksi serta akibat hukumnya.

Saran

a. Mengingat harta benda (termasuk hak milik atas tanah) yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama, maka diharapkan kepada Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat mengeluarkan peraturan yang tegas tentang pengalihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama. Dalam hal ini yang menjadi pihak penjual adalah suami dan isteri secara bersama-sama, sehingga tidak terjadinya pengalihan hak milik atas tanah sebagai harta bersama kepada pihak lain oleh salah satu pihak (suami atau isteri) secara diam-diam.

b. Apabila terjadi peralihan hak milik atas tanah sebagai harta bawaan masing-masing suami atau isteri melalui jual beli, kiranya PPAT tidak perlu meminta persetujuan siapapun dalam peralihan hak tersebut, karena baik suami maupun isteri mempunyai hak dan bebas untuk bertindak apa saja terhadap harta benda bawaannya masing-masing.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, S.,1968. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Tinta Mas Djakarta.

Abdurrahman, 1980. Beberapa Aspek tentang

Hukum Agraria. Seri Hukum Agraria.

Bandung: Alumni.

---, dan Riduan Syahrani, 1978.

Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia.

Bandung: Alumni.

Bachsan, M., 1982. Pokok-pokok Hukum

Administrasi Negara. Bandung: Alumni.

---, 1988. Hukum Agraria Dalam

Perspektif. Bandung: Remaja Karya.

Boedi, H., 1986. Beberapa Analisa Tentang Hukum

Agraria. Bagian 2. Jakarta: Esa Study Club.

---, 2003. Hukum Agraria Indonesia

(Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraris, Isi dan Pelaksanaannya).

Djambatan.

Frieda, H.H., 2002. Hukum Kebendaan Perdata

Hak-hak yang Memberi Jaminan. Jilid 2.

Jakarta: Ind Hill-Co.

Hilman, H., 1990. Hukum Perkawinan Indonesia

(10)

65

- Volume 2, No. 1, Agustus 2013 Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju.

Bandung.

Idris, R.M., 2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Iman, S., 1983. Politik Agraria Nasional.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

John, S., 1988. Masalah Tanah Dalam

Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika.

Kartini, M., dan Gunawan, W., 2004. Perikatan

Yang Lahir Dari Perjanjian. PT. Raja

Grafindo Persada.

Lili, R.,1982. Dasar-dasar Filsafat Hukum.

Bandung: Alumni.

---, 1991. Filsafat Hukum (Apakah Hukum

Itu). Bandung: Remaja Rosdakarya.

---, 2001. Dasar-dasar Filsafat dan Teori

Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

---, dan Wyasa Putra B., 2003.Hukum

Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Mandar

Maju.

Mahadi, 1983. Hukum Benda Dalam Sistem Hukum

Perdata Nasional. Jakarta: Bina Cipta.

Mariam, D., dkk., 2001. Kompilasi Hukum

Perikatan. Bandung: Citra Adtya Bakti.

Mochtar, K., 2002. Konsep-konsep Hukum dalam

Pembangunan. Bandung: Penerbit Alumni.

Munir, F., 2002. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT. Aditya Bakti.

Otje. H.R. dan Anton F. Susanto. 2004. Teori

Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali). Bandung: Refika

Aditama.

Padmo, W., 1993. Indonesia Negara Berdasarkan

Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Purwahid, P., 1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan. Bandung: Mandar Maju, Bandung.

Riduan, S., 2004. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Telah diterima oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar

(8) Menyimpang dari ayat (1) sampai (6), laba usaha yang diterima oleh penduduk salah satu Negara Pihak pada Perjanjian dari bentuk usaha tetap yang dimilikinya di

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa angket atau kuesioner dan pedomana wawancara. 142) “kuesioner merupakan teknik pengumpulan data

Negara berkembang merupakan Negara yang sedang dalam proses dalam kemajuan dari setiap aspek Negara tersebut.. Komponen-komponen dari aspek Negara

Mengetahui prevalensi hidronefrosis pada kasus batu saluran kemih (nefrolitiasis dan vesicolitiasis) berdasarkan temuan ultrasonografi sehingga dapat dilakukan

Dengan hasil empat orang ahli yang menyatakan bahwa pola latihan fastbreak menggunakan media video dapat digunakan pada kegiatan ekstrakurikuler bolabasket di SMP

Alat perawatan sistem transmisi I ini dirancang untuk memperagakan transmisi secara manual, karena dalam perpindahan sistem transmisi satu dengan yang lainnya masih menggunakan

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengetahui proses bisnis internal serta aspek pertumbuhan dan pembelajaran pada UMKM Alas Kaki Ciomas, (2) Mengidentifikasi faktor