• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pengukuran Kinerja Menurut Saputra and Fithri (2012), sistem pengukuran kinerja adalah suatu mekanisme perbaikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pengukuran Kinerja Menurut Saputra and Fithri (2012), sistem pengukuran kinerja adalah suatu mekanisme perbaikan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

4

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pengukuran Kinerja

Menurut Saputra and Fithri (2012), sistem pengukuran kinerja adalah suatu mekanisme perbaikan terhadap keefektifan karyawan dalam melaksanakan kegiatan operasional yang ada pada perusahaan berdasarkan standar yang telah ditetapkan agar berhasil dalam menerapkan strategi perusahaan dan melakukan perbaikan dalam pengambilan keputusan. Adapun indikator-indikator dalam sistem pengukuran kinerja adalah peningkatan kinerja karyawan, pengharapan kinerja, penilaian kinerja dengan tepat, penilaian yang berbobot, dilakukan secara berkala, dan evaluasi kelayakan.

Menurut Saputra and Fithri (2012), sistem pengukuran kinerja diperlukan dalam berbagai hal antara lain:

1. Untuk memonitoring dan melakukan pengendalian.

2. Untuk melakukan komukasi mengenai tujuan organisasi ke dalam fungsi supply chain.

3. Untuk mengetahui posisi organisasi yang reaktif terhadap tujuan yang akan dicapai.

4. Dapat mengetahui arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan dalam bersaing.

2.2 Pengukuran Kinerja

2.2.1 Pengertian Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja adalah suatu proses pengukuran terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan yang bertujuan untuk mendukung perancangan tujuan perusahaan, evaluasi kinerja, dan penentuan langkah-langkah ke depan baik dalam level strategi, taktik, maupun operasional(Widya & Putri, 2018). Pengukuran kinerja perusahaan sangat penting dilakukan karena dapat mengurangi biaya-biaya, memenuhi kepuasan pelanggan, dan meningkatkan keuntungan perusahaan dengan cara melakukan pengukuran efektifitas dan efesiensi suatu sistem, selain itu juga

(2)

berfungsi sebagai peningkatan performansi rantai pasok perusahaan dengan cara melakukan perbaikan terhadap aktivitas-aktivitas kinerja perusahaan yang belum mencapai target(Wigati, 2017).

Terdapat beberapa elemen pokok dalam pengukuran kinerja antara lain:

1. Menetapkan tujuan, sasaran dan strategi

Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh perusahaan. Sasaran adalah suatu tujuan yang dinyatakan secara eksplit yang disertai dengan batasan waktu yang jelas. Sedangkan strategi adalah teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran perusahaan tersebut.

2. Merumuskan indikator dan ukuran kinerja

Indikator kinerja berfokus pada penilaian kinerja tidak langsung yang sifatnya merupakan indikasi kinerja, sedangkan ukuran kinerja berfokus pada penilaian kinerja langsung.

3. Mengukur tingkat pencapaian tujuan serta sasaran perusahaan Pengukuran tingkat pencapaian tujuan serta sasaran perusahaan dengan cara membandingkan hasil aktual dengan ketetapan perusahaan mengenai indikator kinerja.

4. Mengevaluasi kinerja

Dengan melakukan evaluasi kinerja, perusahaan dapat mengetahui gambaran informasi yang berisi mengenai nilai kinerja yang dapat dicapai oleh perusahaan tersebut.

Pengukuran kinerja mempunyai sasaran serta tujuan yang bukan hanya teknik mengukurnya saja, melainkan sebagai identifikasi kelemahan proses pada perusahaan. Adapun sasaran serta tujuan pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:

1. Sasaran Kerja

Sasaran kerja merupakan sebuah pencapaian hasil yang diberikan terhadap pencapaian sasaran perushaaan.

(3)

2. Sasaran pengembangan

Sasaran pengembangan merupakan sasaran pembelajaran bagi karyawan yang perlu diperhatikan dan dipelajari masing-masing individu agar kinerja dari setiap individu dapat terus meningkat.

Pengukuran kinerja yang efektif mempunyi beberapa syarat antara lain:

1. Berdasar pada setiap aktifitas organisasi sesuai dengan sudut pandang pelanggan.

2. Evaluasi terhadap aktifitas-aktifitas dengan menggunakan ukuran kinerja yang Customer-Validated.

3. Sesuai dengan aspek kinerja aktifitas yang dapat mempengaruhi pelanggan, sehingga dapat menghasilkan pengukuran yang komprehensif.

4. Memberikan umpan balik guna membantu anggota karyawan mengenai permasalahan-permasalahan yang kemungkinan perlu perbaikan.

2.2.2 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja

Tujuan dan Manfaat pengukuran kinerja adalah sebagai berikut: • Tujuan pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi personil

dalam mencapai sasaran atau tujuan organisasi dan memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar dapat membuahkan hasil yang diinginkan oleh suatu organisasi.

• Manfaat pengukuran kinerja:

1. Dapat menganalisa kinerja yang diharapkan pelanggan sehingga dapat menjadikan perusahan lebih dekat dengan pelanggannya dan karyawan perusahaan dapat berkontribusi dalam uapaya memberi kepuasan pelanggan.

2. Dapat memberi motivasi kepada karyawan agar dapat melakukan pelayanan yang menjadi bagian dari mata rantai pelanggan dan pemasok internal.

(4)

3. Dapat menganalisa berbagai pemborosan kemudian usulan perbaikan untuk mengurangi pemborosan tersebut.

4. Dapat membuat tujuan strategi yang awalnya tidak jelas menjadi jelas, sehingga memperlancar proses bisnis perusahan.

5. Dapat memberikan penghargaan terhadap karyawan yang memiliki perilaku yang diharapkan oleh perusahaan.

2.3 Supply Chain Management (SCM) 2.3.1 Pengertian Supply Chain

Supply Chain merupakan suatu sistem jaringan di perusahaan yang saling terhubung, saling bergantung, dan saling menguntungkan dalam sebuah organisasi yang bekerjasama untuk mengatur, mengendalikan, dan mengembangkan suatu arus material, produk, jasa, dan informasi dari supplier, distributor, toko atau ritel, dan perusahaan jasa logistik hingga ke pelanggan sebagai end user (Widya & Putri, 2018).

2.3.2 Pengertian Supply Chain Management (SCM)

Supply Chain Management (SCM) merupakan rantai organisasi yang menggambarkan hubungan ke hulu (upstreams) dan ke hilir (downstreams) dalam suatu proses yang berbeda sehingga menghasilkan nilai suatu barang atau jasa hingga di tangan pelanggan (Widya & Putri, 2018).

Menurut Wigati (2017), Supply Chain Management (SCM) adalah metode yang dapat meng-integrasikan suatu proses bisnis dari raw material hingga distribusi barang jadi dengan cara meminimumkan biaya, memberikan kepuasan pelanggan, dan mendistribusikan produk dengan proses dan waktu yang tepat. Tujuan Supply Chain Management (SCM) menurut Wigati (2017) yaitu menghilangkan beberapa rantai pasok yang tidak penting, meminimumkan biaya, dan meningkatkan produktivitas perusahaan.

(5)

Dalam klasifikasi SCM terdapat beberapa kegiatan utama antara lain:

1. Perancangan produk baru (Product Development) 2. Pendapatan bahan baku (Procurement)

3. Perencanaan produksi dan persediaan (Planning and Control) 4. Produksi (Production)

5. Pengiriman (Distribution)

Terdapat beberapa ukuran performansi SCM antara lain:

1. Kualitas

Kualitas meliputi kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, serta ketepatan dalam pengiriman.

2. Waktu

Waktu meliputi total penambahan waktu dan waktu siklus bisnis. 3. Biaya

Biaya meliputi total biaya pengiriman dan efesiensi nilai tambah. 4. Fleksibilitas

Fleksibilitas meliputi jumlah serta spesifikasinya.

2.3.3 Pemain Utama Dalam Supply Chain Management (SCM)

Dalam SCM, terdapat beberapa pemain utama yaitu komponen perusahaan yang memiliki kepentingan yang sama antara lain:

1. Supplier 2. Manufacturer 3. Distribution 4. Retail Outlets 5. Customer Chain 1: Supplier

Merupakan sumber penyedia bahan pertama. Bahan pertama ini dapat berupa bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, suku cadang, dan lain-lain. Jumlah supplier berkemungkinan sedikit atau banyak, tetapi suppliers seringkali berjumlah banyak sekali.

(6)

Chain 1-2 : Supplier > Manufacturer

Rantai pertama dihubungkan dengan rantai ke dua, yaitu manufacturer atau plaints atau assembler atau fabricator atau bentuk lainnya yang memiliki pekerjaan sebagai pembuat, pemfabrikasi, peng-assembly, dan lain sebagainya. Hubungan dengan mata rantai pertama sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan yang presentase penghematannya mencapai 40%-60% atau bahkan lebih dengan cara menggunkan konsep supplier partnering. Penghematan yang dilakukan seperti inventori bahan baku, bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang ada di suppliers, manufacturer, dan tempat transit.

Chain 1-2-3 : Supplier > Manufacturer > Distribution

Produk jadi yang dihasilkan oleh Manufacturer yang kemudian dikirimkan kepada pelanggan melalui distributor atau biasanya ditempuh oleh sebagian besar supply chain. Barang dari pabrik melalui gudang pabrik disalurkan ke gudang distributor atu pedagan besar kemudian para pedagang besar menyalurkan dalam jumlah kecil kepada pengecer.

Chain 1-2-3-4 : Supplier > Manufacturer > Distribution > Retail Outlets

Pedagang besar biasanya menyimpan atau menimbun barang sebelum disalurkan lagi kepada pengecer. Dari sini, ada kesempatan untuk memperoleh penghematan dalam jumlah inventories dan biaya gudang yaitu dengan cara melakukan mendesain ulang pola-pola pengiriman baik dimulai dari gudang manufactur maupun ke toko pengecer.

Chain 1-2-3-4-5 : Supplier > Manufacturer > Distribution > Retail Outlets > Customers

Yang termasuk Retail Otlets adalah toko, warung, pasar, swalayan, mall, dan lain sebagainya yang kemudian mereka akan menawarkan barangnya kepada pembeli atau pemakai barang tersebut

(7)

dengan cara mendatangi toko atau warung mereka. Mata rantai supply baru benar-benar berhenti apabila barang yang bersangkutan sudah sampai di tangan pelanggan atau pemakai.

2.3.4 Komponen Supply Chain Management (SCM)

Terdapat 3 komponen Supply Chain Management (SCM) antara lain: 1. Upstream Supply Chain

Yaitu bagian hulu supply chain yang meliputi aktivitas dari suatu perusahaan dengan para penyalurnya serta koneksi persuhaan tersebut dengan para penyalur.

2. Internal Supply Chain

Yaitu bagian yang meliputi semua proses inhouse yang digunakan dalam proses transformasi masukan dari para penyalur ke dalam keluaran perusahaan.

3. Downstream Supply Chain

Yaitu bagian hilir supply chain yang meliputi semua aktivitas pengiriman produk kepada pelanggan akhir.

2.3.5 Tujuan Supply Chain Management (SCM)

Tujuan Supply Chain Management (SCM) adalah memenangkan persaingan pangsa pasar dan memaksimalkan nilai keseluruhan yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan customer dengan cara menyediakan produk yang murah, berkualitas, tepat waktu dan bervariasi, selain itu SCM juga bertujuan untuk meminimalkan biaya secara keseluruhan seperti biaya pemesanan, penyimpanan, dan transportasi (Widya & Putri, 2018).

2.3.6 Manfaat Supply Chain Management (SCM)

Ada beberapa manfaat jika mengoptimalkan Supply Chain antara lain (Padillah et al., 2016):

1. Mengurangi inventory barang dengan cara menimbun barang di gudang agar biaya dapat diminimumkan

(8)

2. Menjamin kelancaran penyediaan barang mulai dari barang asal(pabrik), supplier, perusahaan sendiri, whosaler, retailer, sampai ke tangan konsumen akhir.

3. Menjamin mutu tidak hanya mutu pada proses produksinya saja, melainkan dari bahan mentah dan mutu dalam proses pengirimannya.

4. Mengurangi jumlah supplier yang bertujuan untuk mengurangi ketidakseragaman, biaya-biaya negosiasi, dan pelacakan.

5. Mengembangkan supplier pasrtnership dengan cara mengadakan kejasama dengan supplier dan juga mengembangkan strategic allience sehingga dapat menjamin lancarnya pergerakan barang dalm supplier.

2.4 Supply Chain Operation Reference (SCOR)

Supply Chain Operation Reference (SCOR) adalah model yang dikembangkan oleh sebuah lembaga profesional yaitu Supply Chain Council (SCC) pada tahun 1996. Menurut Widya and Putri (2018), SCOR yaitu metode yang berfungsi untuk menjelasakan kerangka mengenai rantai pasok dan mengkategorikan proses yang dapat membangun indikator dalam pengukuran kinerja rantai pasok.

Model SCOR berfokus pada fungsi manajemen rantai pasok dari prespektif operasional yang meliputi interaksi pelanggan, transaksi fisik, dan interaksi pasar(Supply, Operations, & Scor, 2018). Dalam model Supply Chain Operation Reference (SCOR) terdapat beberapa tingkatan metrik diantaranya: Reliability, Responsiveness, Flexibility, Cost, dan Asset, dengan begitu perusahaan dapat melakukan pengukuran kinerja secara objektif dengan dilakukan identifikasi data yang kemudian dilakukan perbaikan pada indikator-indikator yang perlu diperbaiki(Wigati, 2017).

Terdapat 5 proses inti dalam model Supply Chain Operation Reference (SCORE) yaitu: Plan, Source, Make, Deliver, dan Return(Padillah et al., 2016).

(9)

Gambar 2.1 Lima proses inti dalam model SCOR Lima proses inti tersebut memiliki fungsi antara lain:

1. Plan

Berfungsi untuk menyeimbangkan permintaan dan pasokan untuk menentukan tindakan terbaik dalam memenuhi kebutuhan pengadaan, produksi, dan pengiriman.

2. Source

Berfungsi sebagai pengadaan barang atau jasa untuk memenuhi permintaan konsumen. Proses yang dicakup termasuk penjadwalan pengiriman dari supplier, menerima, mengecek, dan memberikan otorisasi pembayaran untuk barang yang dikirim supplier, memilih supplier, mengevaluasi kinerja supplier, dan lain sebagainya. Jenis proses tersebut dapat berubah-ubah tergantung pada apakah barang yang diminta termasuk stocked, make to order, atau engineer to order product.

3. Make

Berfungsi untuk mentranformasi bahan baku menjadi produk yang diinginkan pelanggan. Kegiatan produksi ini dilakukan atas dasar ramalan untuk memenuhi stok, atau dasar pesanan, atau teknik pemesanan. Proses yang terlibat adalah penjadwalan, kegiatan produksi, quality control, mengelola barang setengah jadi, memelihara fasilitas, dan lain-lain.

4. Deliver

Berfungsi memenuhi permintaan terhadap barang ataupun jasa yang meliputi order management, transportasi, maupun distribusi. Proses yang

(10)

terlibat yaitu penanganan pesanan dari pelanggan, pemilihan jasa distributor, penanganan pergudangan produk jadi, dan pengiriman tagihan pelanggan.

5. Return

Berfungsi sebagai proses pengembalian barang karena berbagai masalah. Proses yang terlibat adalah mengidentifikasi kondisi produk, meminta otorisasi pengembalian cacat, penjadwalan pengembalian, pengembalian barang, dan post-delivery customer support.

Setiap proses inti terdapat indikator supply chain. Adapun indikator supply chain adalah sebagai berikut:

1. Reliability merupakan tingkat kehandalan dalam suatu proses.

2. Responsiveness merupakan tingkat kecepatan waktu dalam merespon adanya perubahan.

3. Agility merupakan tingkat kemampuan dalam merespon perubahan peningkatan maupun penurunan permintaan.

4. Cost merupakan biaya-biaya supply chain.

5. Assets merupakan tingkat kemampuan dalam pemanfaatan setiap aset. Model SCOR memiliki tiga hierarki yang menunjukkan bahwa SCOR melakukan dekomposisi proses dari yang umum ke yang detail. Adapun tiga level tersebut adalah sebagai berikut (Hanugrani, Setyanto, & Efranto, 2005):

1. Level 1

Merupakan level tertinggi yang berisikan lima proses pada model SCOR (plan, source, make, deliver, return).

2. Level 2

Merupakan hasil konfigurasi dari beberapa proses inti yang berisikan konfigurasi saat ini ataupun yang diinginkan.

3. Level 3

Merupakan elemen proses yaitu yang level yang mengandung input dan output serta metrik dari setiap elemes proses.

(11)

2.5 Key Performance Indicator (KPI)

Menurut Wigati (2017), Key Performance Indicator (KPI) merupakan suatu tolak ukur keberhasilan yang digunakan untuk mengukur kinerja dan membandingkan antar kinerja guna mengetahui seberapa jauh strategi yang dilakukan oleh perusahaan dalam mencapai target/sasaran yang telah ditetapkan yang kemudian dilakukan evaluasi serta dilakukan perbaikan kinerja. Terdapat 4 kriteria dasar pada proses implementasi KPI dalam kegiatan operasional. 4 kriteria dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kolaborasi antar pemasok, karyawan, serta pelanggan.

2. Desentralisasi mulai dari level manajemen sampai ke level operasional. 3. Keterkaitan antara ukuran, laporan serta tindakan.

4. Hubungan antara KPI dengan tujuan strategi. 2.6 Analytical Hierachy Process (AHP)

2.6.1 Pengertin Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. Menurut Widya and Putri (2018), Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu teknik pengukuran yang digunakan untuk mengetahui skala rasio, baik dari perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinu.

Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan untuk pembobotan Key Performance Indicator (KPI) guna untuk mengetahui bobot di tiap level dan metrik pengukuran(Padillah et al., 2016).

2.6.2 Kelebihan Dalam Menggunakan Metode Analytical Hierarchy

Process (AHP)

Kelebihan AHP dibanding dengan metode laSinnya yaitu:

1. Struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari indikator yang dipilih hingga indikator yang paling dalam.

(12)

3. Perhitungan validasi sampai dengan batas toleransi inkonsistensi dengan berbagai indikator atau kriteria dan alternatif yang dipilih. 4. Memperhitungkan daya output analisis sensitivitas pengambilan

keputusan.

5. Merupakan metode pengambilan keputusan yang komprehensif. Yaitu mampu memecahkan permasalahan multi objektif maupun multi kriteria berdasarkan perbandingan prefensi pada setiap elemen hierarki.

2.6.3 Pemodelan Analytical Hierarchy Process (AHP)

Menurut Anwar (2018), Dalam penyusunan AHP terdapat 3 langkah dasar. Adapun 3 langkah dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Desain Hirarki

Dilakukan pemecahan persoalan yang kompleks serta multikriteria menjadi hirarki.

2. Memprioritaskan prosedur

Dilakukan pemilihan prioritas prosedur agar mendapatkan nilai yang relatif dari setiap elemen di tiap level.

3. Munghitung hasil

Dilakukan proses matematis umtuk normalisasi serta menemukan bobot prioritas pada setiap matriks.

Menurut Anwar (2018), prosedur metode AHP terdapat 5 langkah yaitu:

1. Pembentukan hirarki

Pembentukan hirarki berfungsi untuk mengetahui tujuan tertinggi dan terendah serta permasalahan yang kompleks dapat tersusun secara sistematis.

2. Perbandingan berpasangan

Perbandingan berpasangan berfungsi sebagai alat pertimbangan faktor keputusan yaitu dengan melakukan perhitungan antar faktor dengan sub faktor maupun antar kriteria dengan sub kriteria.

(13)

3. Pengecekan konsistensi

Berfungsi untuk mengetahui apakah perbandingan berpasangan yang telah dibuat dalam batas kontrol yang sudah ditetapkan atau tidak.

4. Evaluasi dari seluruh pembobotan

Berfungsi untuk mengetahui bobot alternatif dengan dilakukan penilaian sitesis menggunakan pembobotan dan penambahan proses yang kemudian dilakukan normalisasi pada tiap matriknya. 5. Pengelompokan keputusan dan penilaian

Dilakukan dengan melakukan pembuatan seluruh penilaian model yang kemudian dilakukan kombinasi dari hasil penilaian tersebut guna mengetahui hasil penilaian secara berkelompok.

2.7 Objective Matrix (OMAX)

Objective Matrix (OMAX) ditemukan oleh James L. Riggs di Oregon State University pada tahun 1975. Objectieve Matrix (OMAX) merupakan model yang menghubungkan kriteria-kriteria produktivitas ke dalam suatu bentuk terpadu dan berhubungan satu sama lain, metode OMAX juga berfungsi untuk menyamakan nilai dari masing-masing indikator-indikator KPI dengan perhitungan interval mulai dari level 0-10(Widya & Putri, 2018).

Menurut Setiowati (2017), kerangka kerja metode Objective Matrix (OMAX) terdiri atas 3 bagian dapat dilihat pada gambar 2.1.

(14)

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Metode OMAX Keterangan:

1. Bagian A

Blok pendefinisian yang terdiri atas keriteria dan tingkat pencapaian kinerja (performance) sekarang.

2. Bagian B

Blok kuantifikasi yang berisi sel-sel matriks. Sel-sel matriks terdiri atas 11 level pencapaian, berkisar dari level 0 untuk performansi yang tidak memuaskan hingga level 10 yang merupakan target tertinggi dengan nilai 3 berposisi sebagai nilai rata-rata. Target awal kinerja dioperasikan diletakkan pada level 3, adapun target yang buruk dari kinerja pertama diletakkan di bawah level 3. Semakin besar level, maka semakin baik produktivitasnya. Dari 11 level tersebut dibagi menjadi 3 bagian antara lain:

a. Level 0, merupakan rating dari skor produktifitas yang tidak baik. b. Level 3, merupakan rating dari skor produktifitas performasi saat ini. c. Level 10, merupakan rating dari skor produktifitas yang diinginkan

sampai periode tertentu.

(15)

e. Level 4,5,6,7,8, dan 9 dilakukan perhitungan dengan interpolasi antara 3-10.

Perhitungan menentukan nilai pada level 1 dan 2 dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: (Contoh mencari nilai level 1)

𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 (𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 3) − 𝑥 𝑛𝑖𝑙𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 (𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 3) − 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 0=

3 − 1 3 − 0

Perhitungan menentukan nilai pada level 4 sampai dengan sembilan dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: (Contoh mencari nilai level 8) 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 (𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 10) − 𝑥 𝑛𝑖𝑙𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 (𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 10) − 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 3= 10 − 8 10 − 3 3. Bagian C

Terdiri atas baris skor, bobot, nilai, dan indikator performansi. a. Skor merupakan nilai level pengukuran produktivitas.

b. Bobot merupakan nilai bobot dari tiap kriteria kinerja terhadap total kinejra yang dapat ditentukan menggunakan metode AHP dengan bantuan software expert choice.

c. Nilai merupakan hasil perkalian antara skor dengan bobot. 2.7.1 Penyusunan Matriks

Menurut Setiowati (2017), ada beberapa langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan matriks antara lain:

1. Menentukan Kriteria Produktivitas

Melakukan identifikasi terhadap kriteria kinerja yang tepat bagi unit kerja pada tempat pengukuran ini dilaksanakan.

2. Identifikasi kriteria

Melakukan identifikasi terhadap kriteria kinerja secara terperinci. 3. Menentukan pencapaian mula-mula (level 3)

Pencapaian awal diposisikan pada level yang lebih rendah agar dapat memberikan kelongaran dan perbaikan apabila terjadi penurunan.

(16)

4. Menentapkan sasaran (level 10)

Nilai pada skor 10 berhubungan dengan sasaran yang ngin dicapai dalam 2 atau 3 tahun ke depan sesuai dengan lama pengukuran yang dilaksanakan, maka harus terkesan optimis dan realistis. 5. Menentukan derajat kepentingan (bobot)

Menentukan derajat kepentingan (bobot) dilakukan agar dapat mengetahui berapa besar derajat kepentingan pada tiap kriteria. Pembobotan dilakukan oleh pihak pengambil keputusan atau juga dapat dilakukan oleh seorang yang dianggap mengerti mengenai kondisi unit kerja yang akan diukur.

6. Pengoperasian matriks

Pengoperasian matriks dilakukan apabila keseluruhan langkah sebelumnya telah dipenuhi. Kemudian, dapat diukur indeks kinerja dari unit kerja yang diukur.

2.7.2 Scorring System

Menurut Setiowati (2017), scorring system berfungsi untuk mengetahui hasil performansi apakah mencapai target yang telah ditetapkan perusahaan atau tidak. Ada beberapa tipe dalam penentuan KPI antara lain:

1. Smaller is better, memiliki arti bahwa apabila tipe KPI yang memiliki nilai semakin rendah maka kualitas KPI semakin baik. 2. Large is better, memiliki arti bahwa apabila tipe KPI yang

memiliki nilai semakin tinggi maka kualitas KPI semakin baik. 3. Nominal is better, memiliki arti bahwa apabila tipe KPI yang

memiliki nilai mendekati ketetapan nilai tertentu maka kualitas KPI semakin baik.

2.8 Trafic Light System (TLS)

Menurut Widya and Putri (2018), Trafic Light System (TLS) merupakan model yang dapat mempermudah dalam melakukan evaluasi kinerja perusahaan yang dianggap belum mencapai target perusahaan yang telah ditetapkan dengan bantuan 3 warna yaitu warna merha, kuning, dan

(17)

hijau. Adapun makna dari 3 warna tersebut adalah sebagai berikut (Hamdala, Azlia, Swara, Teknik, & Universitas, 2017):

1. Warna merah menandakan skor berada di level 0-3 yang berarti bahwa penilaian performa kinerja yang kurang baik dan berada di bawah target yang sudah ditetapkan perusahaan.

2. Warna kuning menandakan skor skor berada di level 4-7 yang berarti bahwa penilaian performa kinerja belum mencapai targer maksimum yang sudah ditetapkan perusahaan sebelumnya.

3. Warna hijau menandakan skor berada di level 8-10 yang berarti bahwa penilaian performa kinerja sudah mencapai target maksimum perusahaan.

Gambar

Gambar 2.1 Lima proses inti dalam  model SCOR
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Metode OMAX

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi berjudul "Laskar Putri tndonesia: Penggabungan dengan Laskar Wanita Indonesia dan Peranannya dalam Revolusi Fisik di Yogyakarta (1948-1949)" ini telah

Untuk memelihara konsistensi memperhatikan batas-batas secara visual legislatif, Pemerintah, dalam hal ini untuk pemanfaatan setiap zona yang Menteri Kelautan dan

Berdasarkan hasil uji parsial yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kesadaran Wajib Pajak (X2), Pelayanan (X3), dan Pengawasan (X4) berpengaruh positif

Ditemukan juga bahwa Faktor-faktor yang berhubungan secara statistik dengan kejadian CVS seperti riwayat penggunaan kacamata saat paparan penggunaan lensa kontak saat paparan,

Pemeriksaan mata dan penilaian penglihatan sangat penting untuk mendeteksi kondisi yang dapat menyebab- kan kebutaan, kondisi sistemik serius, yang memicu masalah dengan

Dg memahami pendapat sang linguis ini dan dikaitkan dengan konteks teks, maka pembangunan Menara Babel menjadi sebuah aksi menjaga satu-satunya bangsa, budaya, dan

Pengaruh Daya Tarik Pesan Iklan Layanan Masyarakat di Youtube dan Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Keputusan Menggunakan Vaksin Measles dan Rubella (Mr) pada

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Keputusan Menteri Koperasi,