• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Gulma pada Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengendalian Gulma pada Kedelai"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pengendalian Gulma pada Kedelai

Budhi Santoso Radjit dan Runik Diah Purwaningrahayu

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang

PENDAHULUAN

Tanaman kedelai di wilayah tropika seperti Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan gulma yang bertindak sebagai kompetitor tanaman. Dampak negatif gulma yang tidak dikendalikan pada kedelai sama besarnya dengan serangan OPT. Pengendalian gulma merupakan suatu usaha untuk menekan populasi gulma sampai jumlah tertentu sehingga tidak menimbulkan kerugian pada tanaman yang dibudi dayakan. Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma biasanya disebabkan oleh sifat gulma yang mempunyai daya saing tinggi terhadap lingkungan tumbuh yang digunakan secara bersamaan. Menurut Moenandir (1993) persaingan terjadi bila unsur-unsur yang tersedia diperebutkan dalam jumlah terbatas atau persediaan dibawah kebutuhan masing-masing. Gulma yang dibiarkan tumbuh selama pertumbuhan tanaman kedelai dapat menurunkan hasil 12-80% (Stooler and Wooly 1985).

Komponen teknologi pengendalian gulma termasuk salah satu komponen budi daya yang memerlukan biaya tinggi. Usaha pengendalian telah dilakukan dengan berbagai cara, namun belum menuntaskan masalah kehadiran gulma di lapang. Banyak faktor yang masih perlu diteliti seperti sifat setiap jenis gulma, pengelolaan tanaman, kesuburan tanah, dan iklim. Menurut Madkar et al. (1986) bahwa pengendalian akan berhasil bila didasari pengetahuan yang cukup dari sifat biologis gulma. Identifikasi gulma yang benar merupakan langkah awal untuk menentukan cara pengendalian yang benar. Selama ini, pengendalian gulma yang sering dilakukan oleh petani adalah secara manual yaitu disiang dengan tangan. Cara ini terbatas pada waktu, ketersediaan tenaga, dan biaya. Menurut Adisarwanto et al. (1996) bahwa tenaga penyiangan secara manual pada kedelai dapat mencapai 26-40 HOK/ha. Di beberapa tempat tenaga sebanyak ini sulit diperoleh sehingga pelaksanaan penyiangan menjadi tertunda. Agar gulma tidak berpengaruh lebih besar terhadap tanaman budi daya, penyiangan harus dilakukan tepat waktu. Penggunaan herbisida di tingkat petani masih belum difahami dengan benar spesifikasinya sehingga hasilnya kurang efektif. Dilaporkan oleh Chisaka (1977) bahwa penggunaan metode tertentu secara terus menerus dapat menyebabkan pergeseran populasi gulma tertentu yang mendominasi pertanaman sehingga dapat menyebabkan masalah baru. Sebagai contoh seperti yang dilaporkan oleh Glaze et al. (1984) bahwa gulma Amaranthus tumbuh subur pada tanah yang diolah, tetapi dapat

(2)

dikendalikan secara efektif dengan herbisida Ametryn atau Atrazine. Sebaliknya, gulma Cyperus esculentus tumbuh subur dengan herbisida tersebut tetapi tidak dijumpai pada petak yang diolah. Lawrence et al.(1984) melaporkan bahwa gulma Eleucine indica menjadi resisten terhadap herbisida Dinitroaniline bila digunakan secara terus menerus. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas tampaknya terdapat keterkaitan yang erat antara jenis dan sifat gulma dengan cara pengendalian, baik secara mekanis maupun kimia. Dalam makalah ini dibahas cara-cara pengendalian gulma yang cukup efektif dan efisien khususnya pada pertanaman kedelai.

GULMA-GULMA PENTING PADA PERTANAMAN KEDELAI

Gulma selalu dijumpai pada pertanaman yang dibudi dayakan, baik di lahan kering maupun di lahan sawah. Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat khusus dari gulma yaitu:

1. Gulma mempunyai kecepatan tumbuh yang tinggi, baik yang ber-kembang dari biji, rhizome maupun stolon.

2. Berkembang biak dengan cepat.

3. Mempunyai daya adaptasi tinggi dan dapat bertahan hidup di bawah kondisi yang tidak menguntungkan.

4. Mempunyai sifat dormansi yang panjang.

Gulma yang sering dijumpai di pertanaman budi daya tanaman pangan biasanya adalah gulma semusim. Gulma ini mempunyai sifat tumbuh cepat dan dapat menghasilkan biji dalam periode yang amat singkat sehingga cukup menyulitkan dalam pengendaliannya karena selalu tumbuh pada saat pengolahan tanah yang dilakukan setiap musim dan didukung oleh kelembaban air yang cukup. Pertumbuhan yang terjadi kemungkinan termasuk dari biji-biji yang dorman dari musim sebelumnya.

Dormansi gulma di suatu daerah sebagian besar disebabkan oleh kapasitas reproduksi yang tinggi dan mekanisme adaptasi yang efisien. Lamanya dormansi berbeda tergantung dari jenis gulma yaitu berkisar antara 1 minggu – 15 tahun. Dan hampir semua gulma mempunyai kemampuan dorman yang tinggi baik itu biji ataupun bagian lain yang tumbuh. Sifat dorman dan tingginya kapasitas reproduksi inilah yang menyebakan pengendalian menjadi sulit. Sebagai contoh adalah Echinocloa crussgali yang dapat menghasilkan 40.000 biji semusim dan terlepasnya sedikit demi sedikit sehingga memperpanjang masa perkecambahannya. Menurut Munandir (1990) dan Sastroutomo (1990, dalam Zainudin 1992) bahwa gulma yang biasa tumbuh di pertanaman kedelai sekitar 56 species yang terdiri atas 20 jenis rerumputan, 6 jenis teki-tekian, dan 30 jenis berdaun

(3)

lebar. Di antaranya terdapat jenis-jenis gulma yang sangat merugikan seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Kemungkinan masih banyak jenis-jenis gulma lain yang tumbuh di beberapa lokasi pertanaman kedelai mengingat banyak ragam gulma yang dapat tumbuh dengan baik pada berbagai agroekologi. Kerugian tanaman budi daya yang diakibatkan oleh kehadiran gulma cukup beragam tergantung jenis dan populasi gulma. Dari segi jenis dan populasi gulma telah dilaporkan oleh Suhartina dan Riwanodja (1997) bahwa tingkat populasi gulma sebesar 20% dari populasi kedelai untuk gulma Amaranthus sp, Digitaria ciliaris, dan Cyperus rotundus dapat menurunkan hasil kedelai masing-masing sebesar 35%, 21%, dan 15% dari perlakuan bebas gulma. Dilaporkan oleh Radjit et al. (2006) bahwa di lahan kering masam yang didominasi oleh gulma Barreria alata dengan kerapatan nisbi sebesar 79% dapat menurunkan hasil biji kedelai sebesar 60%. Selain kerugian yang dilihat dari sisi kompetisi, terdapat juga beberapa jenis gulma yang mempunyai sifat alelopati yaitu kemampuan mengeluarkan zat yang bersifat racun dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman tertentu. Misalnya Imperata cylindrica menghasilkan zat phenol, Juglans nigra dapat memproduksi hydroksi juglon, Artemisia absinthium mengeluarkan zat absintin. Tetapi gejala alelopati ini masih sulit diamati di lapang karena gejala yang lebih menonjol biasanya disebabkan oleh sifat kimia tanah seperti keracunan Fe, Al maupun Mg.

Tabel 1. Beberapa jenis gulma yang merugikan pada tanaman kedelai.

No. Jenis gulma Type gulma

1 Eleusine indica Rumput

2 Cyperus sp. Teki

3 Cynodon dactylon Rumput

4 Digitaria ciliaris Rumput

5 Amaranthus sp. Daun lebar

6 Ageratum conyoides Daun lebar

7 Echinocloa colonum Rumput

8 Hedyotis corymbosa Daun lebar

9 Cleome rutidosperma Daun lebar

10 Boreria alata Daun lebar

11 Ludwigia sp. Daun lebar

12 Cyanotis cristata Daun lebar

13 Polytrias amaura Rumput

14 Digitaria sp. Rumput

15 Imperata cylindrica Rumput

Sumber: Madkar et al. (1986), Arifin et al. (1995), Radjit (1998) dan Radjit (2006)

(4)

METODE PENGENDALIAN GULMA

Gulma di lahan pertanian tidak harus selalu dikendalikan dari awal sampai panen. Pengendalian harus dilakukan pada waktu yang tepat, sehingga biaya, waktu, dan tenaga dapat lebih hemat. Waktu yang tepat untuk mengendalikan gulma adalah waktu periode kritis tanaman, yaitu periode di mana tanaman sangat peka terhadap faktor lingkungan. Periode ini biasanya terjadi umur 1/4 atau 1/3 sampai 1/2 umur tanaman (Zakaria dan Burhan 1999). Pada tanaman kedelai, gulma mulai banyak tumbuh kira-kira dua minggu setelah tanam, sehingga pada saat tanaman berumur 2-3 minggu perlu segera dilakukan pengendalian atau biasa disebut dengan tindakan penyiangan gulma. Penyiangan kedua dilakukan 6 minggu setelah tanam atau setelah selesai masa berbunga (Adisarwanto dan Wudianto 1999). Di Indonesia, pengendalian gulma pada tanaman kedelai masih belum ada kemajuan kecuali munculnya beberapa herbisida baru di pasaran. Beberapa metode pengendalian gulma pada tanaman kedelai yang telah umum dilakukan petani adalah: cara mekanis, cara kimia, rotasi tanaman, penyiapan lahan (olah tanah), cara biologi dan pengendalian gulma secara terpadu.

Cara Mekanis

Cara ini merupakan salah satu upaya untuk menekan pertumbuhan gulma dengan jalan menghilangkan gulma. Praktek ini sudah umum dilakukan oleh petani dengan alat yang sederhana seperti cangkul, sabit, koret maupun landak yang membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Di samping itu, dalam pelaksanaannya sering dilakukan secara terlambat karena sangat tergantung ketersediaan tenaga kerja. Cara mekanis ini dapat memberikan hasil yang cukup bagus dilihat dari sisi penekanan pertumbuhan gulma. Namun demikian, cara mekanis ini sulit dilakukan bila tanaman kedelai sudah berumur 4 minggu karena kanopi sudah saling menutup. Penggunaan alat penyiang gulma yang dioperasikan menggunakan mesin masih belum berkembang. Dari hasil penelitian Wahono et al. (1995) menunjukkan penggunaan alat penyiang model Maros tipe implemen cakar paling menguntungkan dilihat dari analisis ekonomi dan besarnya prioritas (nilai harapan) pengguna masing-masing alat yang didasarkan atas variabel nilai produksi, efektivitas kerja, efisiensi kerja, kemusnahan gulma, kerusakan tanaman dan biaya operasi per ha (Tabel 2), sehingga kemungkinan dapat dikembangkan di tingkat petani. Di Taiwan dan Amerika, alat siang dengan mesin sudah umum dilakukan karena sistim penanamanya dengan sistim barisan yang lebar (70-80 cm) sehingga tidak mengganggu tanaman.

(5)

Dengan cara yang sederhana seperti penggunaan koret dapat meng-hasilkan pengendalian gulma yang kurang efektif dibandingkan herbisida. Hasil penelitian Sutoto et al. (2001) efisiensi pengendalian gulma tertinggi dicapai pada perlakuan pengendalian dengan herbisida fomesafen pada umur 2 MST, sehingga pengendalian herbisida fomesafen merupakan cara yang tepat untuk mengendalikan gulma pada tanaman kedelai (Tabel 3). Penggunaan koret efisiensi pengendalian gulmanya sama dengan penyemprotan herbisida fomesafen.

Cara Kimiawi

Herbisida merupakan bahan kimia yang dapat mematikan atau meng-hambat pertumbuhan gulma. Keuntungan dari penggunaan herbisida antara lain dapat menghemat waktu dan tenaga kerja. Penyemprotan herbisida dapat dilakukan satu orang dalam waktu 1-2 hari untuk satu hektar, sedangkan apabila dikerjakan dengan tenaga manusia memerlukan tenaga

Tabel 2. Nilai harapan beberapa alat penyiang tanaman kedelai berdasarkan prioritas.

Jenis alat Keuntungan/th Nilai harapan

(%) pengguna Model Coleman - 2.240 5,5 Model Gilson - 158 4,1 Model Mantice - 371 4,2 Model Maros 364.221 5,3 Koret 87 3,5

Sumber: Wahono et al.(1995)

Tabel 3. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap efisiensi pengendalian gulma, bobot biji/tanaman dan bobot biji/petak tanaman kedelai.

Bobot biji/ Bobot biji/ Efisiensi Perlakuan tanaman petak pengendalian gulma

(g) (g) (%)

Tanpa penyiangan 5,3 d 120 d

-Koret 3 MST dan 6 MST 11,6 b 184 b 46,8 b Fomesafen (Reflek 3 l/ha) 13,2 a 206 a 88,7 a

Mulsa jerami 10,3 c 180 c 36,8 b

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

(6)

20-40 orang. Saat penyemprotan dapat disesuaikan dengan waktu yang tersedia, mengurangi gangguan terhadap struktur tanah. Penggunaan herbisida yang terus-menerus pada lahan pertanian berdampak merugikan seperti terjadinya pergeseran gulma dominan, peristiwa resistensi beberapa jenis gulma terhadap herbisida tertentu, gangguan kesehatan pemakai, keracunan pada tanaman dan hewan peliharaan. Sebenarnya herbisida untuk tanaman kedelai sudah dikenal oleh petani tetapi tidak berkembang karena penggunaan herbisida dinilai kurang ekonomis untuk tanaman kedelai.

Berdasarkan waktu aplikasi, herbisida dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu: pra tanam (pre planting) yang disemprotkan pada permukaan lahan sebelum tanam, biasanya digunakan pada olah tanah minimum, pra tumbuh (pre emergence) yaitu herbisida digunakan sebelum gulma dan tanamam tumbuh misalnya alachlor pada kedelai. Aplikasi pasca tumbuh (post emergence) adalah herbisida yang diberikan setelah gulma dan tanaman tumbuh.

Penggolongan herbisida menurut selektivitasnya dibagi menjadi dua yaitu herbisida selektif dan herbisida tidak selektif. Herbisida selektif jika herbisida dapat membrantas jenis gulma tertentu, sedangkan herbisida tidak selektif jika herbisida ini dapat mematikan gulma maupun tanamannya. Pada umumnya herbisida selektif kurang efektif bila diaplikasikan pada lahan yang sangat beragam jenis gulmanya. Berdasarkan pergerakan dalam tanaman diketahui ada tiga macam herbisida yaitu herbisida kontak, sistemik, dan kontak-sistemik. Herbisida bersifat kontak bekerja pada bagian yang terkena semprot saja misalnya daun, yang bersifat sistemik bekerja dengan cara ditranslokasikan dalam jaringan tanaman dan mematikan jaringan sasarannya misalnya titik tumbuh dan akar (Bangun dan Pane 1984). Herbisida kontak-sistemik dapat bekerja melalui kedua cara tersebut di atas. Pemilihan herbisida yang tepat sasaran, tepat dosis dan tepat aplikasi sangat menentukan keberhasilan dan efisiensi pengendalian gulma.

Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada penggunaan herbisida adalah: jenis, takaran dan waktu aplikasi harus tepat agar tidak merugikan tanaman yang diusahakan karena herbisida mempunyai spesifikasi daya kerja yang berbeda. Seperti dilaporkan oleh Kearny dan Kaufman (1978,

dalam Sudiman dan Bangun 1986) bahwa herbisida golongan S.Triazina

pada takaran sublethal dapat berperan sebagai pemacu tumbuh. Demikian juga Klingman (1973) bahwa penggunaan glyfosat di atas dosis anjuran dapat menekan perkembangan rhizobium pada kedelai.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma pada tanaman kedelai cukup efektif. Dilaporkan oleh Didiek (2001) dan Hasanudin et al. (2001) bahwa penggunaan herbisida

(7)

Glyfosat sebanyak 3l/ha secara pratanam dapat menekan pertumbuhan gulma antara 23,6-58,6%, tetapi hasil ini masih belum menyamai cara manual sebanyak 2 kali penyiangan pada umur 14 hari dan 28 hari. Hasil penelitian Kuntyastuti et al. (2000) menunjukkan penyemprotan herbisida berbahan aktif Imazethapyr dan Sulfentrazone satu kali dengan cara yang benar dapat mencegah kehilangan hasil 0,15-0,52 t/ha. Namun pengaruhnya terhadap peningkatan hasil biji belum dapat menyamai cara rekomendasi penyiangan dua kali. Demikian juga halnya dengan hasil penelitian Riwanodja (2001)seperti yang tercantum dalam Tabel 4 . Radjit (2006) mendapatkan bahwa penyemprotan herbisida Paraquat sebelum tanam dapat menekan gulma cukup efektif tetapi pengaruhnya terhadap peningkatan hasil biji belum menyamai cara penyiangan manual dua kali. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Tohari (2001) bahwa penggunaan herbisida Fomesafen hasilnya kurang efektif terhadap peningkatan hasil biji dibandingkan cara manual. Hal ini disebabkan oleh besarnya penekanan pertumbuhan gulma pada cara manual dibandingkan dengan penggunaan herbisida.

Bila kondisi lahan sangat beragam jenis gulmanya, penggunaan herbisida selektif kurang efektif maka dapat dilakukan dengan pencampuran beberapa jenis herbisida dengan tujuan untuk memperoleh herbisida yang berspektrum luas aktivitasnya dengan syarat herbisida yang dicampur harus bersifat synergistik. Hasanudin et al. (1999) menyatakan bahwa kombinasi herbisida dapat memperluas spektrum kerja herbisida yang secara langsung dapat mengendalikan beberapa jenis gulma. Dilaporkan oleh Turner (1985) bahwa glyfosat dosis rendah dicampur dengan dengan 2,4D akan memberikan pengaruh synergistik.

Tabel 4. Hasil biji kedelai dengan berbagai cara pengendalian gulma pada empat lokasi. MK 1999.

Hasil biji (t/ha) Perlakuan

Muneng Jambegede Kendalpayak Genteng

Kontrol 1) 1,14 b 1,51 c 1,07 c 0,80 d

Imazethapyr 100 g/ha 1,24 b 1,74 bc 1,44 ab 1,13 b Sulfentranzone 42,2 g/ha 1,96 a 1,79 b 1,42 ab 0,97 c Disiang umur 21 & 42 HST 2,48 a 2,17 a 1,66 a 1,53 a

Kontrol 2) - - 0,95 0,97

Dimethyl Amonium - - 0,74 0,98

Sulfentrazon - - 1,31 1,58

Isopropilamina glyfosat - - 1,28 1,10

Disiang 2 kali - - 1,27 1,63

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

(8)

Pengendalian Gulma secara Kultur Teknis

Cara ini biasanya dilakukan pada daerah-daerah yang petaninya sudah maju sehingga dapat dilaksanakan dengan baik. Cara kultur teknis dapat dilaku-kan dengan olah tanah, pengaturan jarak tanam, penggunaan mulsa, dan rotasi tanaman. Kebanyakan tanaman kedelai di lahan sawah dilakukan tanpa olah tanah sehingga sangat menyulitkan dalam pelaksanaan penyiangan terutama bila permukaan tanah sudah mengeras karena kekurangan air. Penanaman kedelai dengan jarak optimal sangat dianjurkan karena bila terlalu jarang akan memberi kesempatan pada gulma untuk tumbuh.

Pada sistem tanpa olah tanah, herbisida berperan penting dalam mengendalikan gulma agar lahan siap tanam. Hasil penelitian Syam’un (2001) menunjukkan dengan penerapan tanpa olah tanah disertai penggunaan herbisida pratanam, hasil kedelai meningkat sekitar 17% dibandingkan olah tanah dengan menggunakan cangkul sedalam 20 cm (Tabel 5). Kondisi ini berlaku juga bila pengendalian gulma dilakukan seawal mungkin. Periode bebas gulma dari sejak stadia V1 sampai R1 dapat meningkatkan hasil kedelai. Batas tertinggi bebas gulma adalah sampai umur 8 minggu (Tabel 6).

Pengaturan pola tanam dengan melakukan rotasi tanaman akan memotong siklus pertumbuhan jenis gulma tertentu, karena adanya perbedaaan gulma yang berkembang pada setiap jenis komoditas tanaman. Pola tanam yang dianjurkan berdasarkan iklim dan lokasi tanam. Untuk lahan kering beriklim basah dengan pola tanam padi/jagung/ubi kayu-kedelai-kacang-kacangan atau jagung tumpangsari kedelai-kedelai-bera. Pada lahan sawah tadah hujan dengan pola tanam padi-kedelai-palawija lain, sawah irigasi semiteknis seperti pola tanam padi-kedelai-kedelai, sawah dengan irigasi teknis seperti padi-padi-kedelai atau padi-kedelai-kedelai. Pemilihan komoditas tanaman untuk pola tanam didasarkan pada

Tabel 5 . Hasil kedelai pada sistem olah tanah berbeda. Bandung 1998. Sistem olah tanah*) Rata-rata hasil (t/ha) Tanpa olah tanah + herbisida Polaris 4 l/ha 3,86 a

Olah tanah minimum 2,54 c

Olah tanah konvensional 3,30 b

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

*) Tanpa olah tanah: satu minggu sebelum penanaman dilakukan penyemprotan herbisida Polaris 4 l/ha;

Olah tanah minimum: tanah diolah hanya pada barisan yang akan ditanami; Olah tanah konvensional: tanah diolah dengan cangkul sedalam 20 cm Sumber: Syam’un (2001)

(9)

ketersediaan airnya (Adisarwanto dan Wudianto 1999). Dengan penerapan pola tanam di atas akan diperoleh penutupan lahan sepanjang tahun sehingga pertumbuhan gulma dapat ditekan karena banyak jenis gulma yang tidak tahan naungan dan penggenangan. Hal ini dapat mengurangi jenis gulma yang tumbuh untuk tanaman berikutnya sehingga dapat dikendalikan dengan ringan dan dapat mengurangi biaya penyiangan.

Pada kondisi tertentu, cara tanam teratur (40 x 10 cm) dapat memberikan peluang gulma untuk tumbuh lebih baik dibandingkan dengan cara sebar. Hal ini disebabkan pada cara sebar populasi kedelainya lebih rapat dibandingkan tanam teratur sehingga banyaknya gulma yang ternaungi. Namun demikian dalam pelaksanaan pengendalian gulma menjadi lebih mudah dan waktunya lebih efisien pada cara tanam teratur. Pengendalian secara manual masih lebih efektif dibandingkan penggunaan herbisida pratanam Lasso, masing-masing dapat menekan pertumbuhan gulma sebesar 51% dan 48% (Tabel 7).

Tabel 7. Pengaruh cara tanam dan pengendalian gulma terhadap berat kering gulma. Pengendalian gulma Cara tanam Berat kering gulma

(kg/ha)

Tanpa penyiangan Benih disebar 176 bc

Benih ditugal 40 x 10 cm 328 a Penyiangan 15 dan 30 HST Benih disebar 40 d Benih ditugal 40 x 10 cm 47 d Herbisida pra tumbuh Lasso Benih disebar 150 bc

Benih ditugal 40 x 10 cm 110 c Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

Sumber: Adisarwanto et al. (1992).

Tabel 6. Hasil kedelai pada periode bebas gulma. Bandung 1998. Lama bebas gulma (MST)1 Rata-rata hasil (t/ha)

2 minggu setelah tanam 2,90 b

4 minggu setelah tanam 3,28 ab

6 minggu setelah tanam 3,15 b

8 minggu setelah tanam 3,60 a

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

1 setelah periode tersebut tidak dilakukan pengendalian gulma

(10)

Cara pemberian mulsa merupakan salah satu tindakan kultur teknis untuk menekan pertumbuhan gulma. Pemberian mulsa secara disebar lebih efektif dibandingkan mulsa yang dibakar (Tabel 8). Tetapi hal ini sangat tergantung keadaan di lapang yaitu apabila populasi gulma rendah maka mulsa dapat dibakar. Hasil penelitian Adisarwanto dan Suhartina (1993) menunjukkan tindakan penyiangan pada tanaman kedelai tidak perlu dilakukan apabila hamparan diberi mulsa jerami padi sekitar 5 t/ha dan populasi gulma rendah, hasil biji diperoleh sama dengan apabila disiang 2x maupun memakai herbisida pra tumbuh Roundup masing-masing memberikan hasil 2,43 t, 2,68 t dan 2,68t/ha. Jerami padi sebanyak 5 t/ha yang dihamparkan sebagai mulsa pada pertanaman kedelai dapat meningkatkan hasil sebesar 30%. Penggunaan mulsa jerami dapat dianjurkan pada lahan dengan saluran drainase. Apabila saluran drainase tidak dibuat dan tanah becek maka penggunaan mulsa jerami tidak menguntungkan. Penggunaan jerami padi sebagai mulsa dapat mengurangi perkembangan gulma sampai sebesar 60-65% sehingga penyiangan cukup dilakukan 1-2 x sebelum tanaman berbunga.

Pengendalian Gulma secara Biologi

Pengendalian gulma dengan cara biologi merupakan suatu pendekatan yang penting untuk masa mendatang karena memberikan keuntungan seperti tidak adanya residu pada tanaman dan lingkungan. Ada sejenis belalang hijau yang memakan daun rumput jajagoan (Echinochloa sp.) dan

Setaria sp., orong-orong memakan kerokot (Portulaca sp.). Penanaman

jenis kacang-kacangan sebagai cover crops juga termasuk dalam pengendali-an gulma secara biologi (Ardjasa dpengendali-an Bpengendali-angun 1985).

Tabel 8. Pengaruh cara pemberian mulsa terhadap berat kering gulma dan hasil biji kedelai di KP Genteng dan KP Jambegede.

KP Genteng KP Jambegede Perlakuan

Berat kering Hasil biji Berat kering Hasil biji gulma (g/m2) (t/ha) gulma (g/m2) (t/ha)

Tanpa mulsa 73,7 1,34 67,2 2,86

Mulsa dibakar 50,9 1,31 46,3 2,62

Mulsa ditebar 28,1 1,37 49,0 3,05

(11)

Pengendalian Gulma secara Terpilih

Pengendalian ini dapat dilakukan pada kondisi tertentu seperti tanah terlalu keras sehingga sulit diberantas secara manual, gangguan gulma pada saat tanaman kedelai dalam fase berbunga dan tidak tersedianya tenaga kerja. Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengeluarkan jenis-jenis gulma yang sulit dikendalikan dan mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dari tanaman kedelai serta meninggalkan gulma yang dianggap tidak merugi-kan tanaman. Biasanya gulma yang dipilih untuk dicabut adalah gulma yang keras, pertumbuhannya melebihi tanaman kedelai seperti Amaranthus sp.,

Paspalum conyugatum dan Imperata cylindrica. Pengendalian Gulma Terpadu

Pengendalian gulma terpadu dilakukan dengan cara mengkombinasikan semua cara pengendalian gulma baik secara langsung (manual, mekanis, dan kimiawi) maupun dengan cara tidak langsung (penyiapan lahan, cara tanam, air, irigasi, varietas, dan rotasi tanaman). Sistem pengendalian terpadu biasanya ditekankan kepada pendekatan agroekosistim untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Dalam hal ini mengandung suatu pengertian hubungan timbal balik dalam pola ekosistem seperti masalah insekta, penyakit, binatang piaraan maupun masalah sosial ekonomi. Pengendalian gulma terpadu secara lintas disiplin masih belum berkembang karena diperlukan rumusan teknologinya yang tepat, untuk memperoleh hasil optimal.

Kombinasi penggunaan mulsa dan cara penyiangan yang tepat diharap-kan dapat menediharap-kan pertumbuhan gulma dan meningkatdiharap-kan produksi kedelai seperti hasil penelitian Harsono dan Kuntaystuti (1990). Pemberian mulsa 5 dan 10 t/ha jerami padi kering panen dapat menekan pertumbuhan gulma pada fase tumbuh kedelai V4 sebesar 35 dan 51% sedangkan penyiangan pada fase tumbuh V4 dan V7 dapat menekan pertumbuhan gulma sampai 92%. Bila dikombinasi antara penyiangan manual dengan herbisida pratanam Lasso dapat menekan pertumbuhan gulma sebesar 48,3% pada fase R6 dan memberikan hasil biji 1,47 t/ha (Tabel 9). Demikian juga hasil penelitian Radjit (2006) menyatakan bahwa pengendalian cara manual pada umur 14 HST dan 28 HST dapat menekan pertumbuhan gulma tertinggi yaitu 95% dengan kenaikan biji sebesar 21%, sedangkan kombinasi cara manual 14 HST dengan herbisida pra tanam dapat menekan per-tumbuhan gulma sebesar 88% dengan kenaikan hasil biji 4% (Tabel 9). Hal serupa dikemukakan oleh Mawardi dan Ramli (1990) dan Wiroatmodjo dan Bangun (1990) bahwa penyiangan manual sebanyak dua kali sangat efektif mengendalikan gulma dan mampu memberikan pertumbuhan yang baik terhadap kedelai.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto. 1989. Telaah komponen teknologi menunjang supra insus kedelai di lahan sawah. Penl. Palawija Vol 4.(2):156-161.

Adisarwanto, Suyamto, Rudi S., Masyitah, dan Sinaga. 1992. Cara tanam dan pengendalian gulma untuk kedelai sesudah padi gora. Risl. Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani di NTB, Balittan:41-46.

Adisarwanto, T. dan Suhartina. 1993. Perbaikan cara tanam kedelai di lahan sawah. p. 159-165. Dalam: Adisarwanto et al. (Eds.). Risalah seminar komponen teknologi budi daya tanaman pangan di Prop. Bali. Denpasar Bali 25 Nov 1992. Balittan.

Adisarwanto, T, H. Kuntyastuti, dan Suhartina. 1996. Paket teknologi usahatani kedelai setelah padi di lahan sawah. p. 27-41. Dalam: Heriyanto et al. (Eds.). Edisi khusus Balitkabi no. 8. 1996. Risalah Lokakarya Pemantapan Teknologi Usaha Tani Palawija untuk Mendukung Sistem Usaha Tani Berbasis Padi dengan Wawasan Agribisnis (SUTPA). Diseminarkan di Balitkabi tgl 8-9 Mei 1996. Badan Litbang Pertanian, Puslitbangtan, Balitkabi.

Adisarwanto, T. dan Wudianto. 1999. Meningkatkan hasil panen kedelai di lahan sawah-kering-pasang surut. Penebar Swadaya. 84 p.

Tabel 9. Pengaruh mulsa dan cara penyiangan terhadap bobot kering gulma fase V4 dan R6. Mojosari. MK 1989.

Bobot kering gulma (g/m2) pada fase

Perlakuan Hasil biji

V4 R6 (t/ha)

Mulsa:

Tanpa mulsa 61 a 36 a 1,21 a

Mulsa jerami 5 t/ha 39 b 44 a 1,22 a

Mulsa jerami 10 t/ha 30 c 37 a 1,21 a

Penyiangan:

Tanpa penyiangan 58 a 75 a 0,83 c

Disiang 2 kali 42 b 5 c 1,47 a

Disiang 1 kali + Lasso 30 c 38 b 1,34 b Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

(13)

Ardjasa, W.S. dan P. Bangun. 1985. Pengendalian gulma pada kedelai. p. 357-367. Dalam: Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan. Bogor.

Arifin,Z., Husin, M.T., dan I.P. Wardana. 1995. Pengaruh pengolahan tanah dan mulsa terhadap populasi gulma dan hasil kedelai. J.Pen.Pert. 14(2): 95-102.

Bangun, P. dan H. Pane. 1984. Pengantar penggunaan herbisida pada tanaman pangan. Buletin Teknik no.7. Puslitbangtan. 66 p.

Chisaka,H. 1977. Kerusakan oleh gulma pada tanaman. kerugian hasil disebabkan oleh persaingan gulma. Dalam: J.D.Fryer dan Shooici Matsunaka (Eds). Penanggulan gulma secara terpadu (terjemahan). Bina Aksara Jakarta: 3-22.

Didiek, S. 2001. Pengaruh Glyfosat dan legin terhadap pertumbuhan gulma dan hasil kedelai (Glycine max L.).Konferensi Nas. XV. HIGI di Surakarta: 430-437.

Glaze, N.C., C. Dowler, A.W. Jhonson and D.R.Summer.1984. Influence of weed control programs in intensive croping sysiem. Weed Sci. 32: 762-767.

Harsono, A, dan H. Kunytastuti. 1990. Pengendalian gulma tanaman kedelai dengan berbagai cara budi daya. p. 109-114. Dalam: Dahlan et al. (Eds.). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1990 (diseminarkan tgl 14-15 Maret 1990) Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan.

Hasanuddin, Yardha, dan Darwin. 1999. Aplikasi herbisida pratumbuh secara tunggal dan kombinasi untuk mengendalikan gulma di pertanaman kedelai pada berbagai sistim olah tanah p: 170-176. Dalam: E.Purba (Ed) Pros. I Konfr. Nas. XIV HIGI.Medan.

Hasanuddin, G. Erida, Basyir dan Khairudin. 2001. Aplikasi herbisida glyfosat secara tunggal dan kombinasi pada waktu yang berbeda serta pengaruhnya terhadap efisiensi pengendalian gulma dan hasil kedelai. Konferensi Nas. XV. HIGI di Surakarta: 454-459.

Kuntyastuti, H, Marwoto, N. Saleh. 2000. Penggunaan Imazethapyr dan Sulfentrazone untuk pengendalian gulma pada tanaman kedelai. p. 41-57. Dalam Prosiding seminar Kinerja Teknologi untuk Meningkat-kan Produktivitas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi tgl. 29-30 Agustus 2000.

Lawrence, C.M., B.J. Goesett and T.R Murphy. 1984. Resitence of goosgrass (Eleusine indica) to dinitroaniline herbicides. Weed Sci. 32 (5): 591-594.

(14)

Madkar,U.R., T.Kuntohartono dan S.Mangunsukardjo. 1986. Masalah gulma dan cara pengendaliannya. HIGI Bandung.

Mawardi, D., dan S. Ramli. Efikasi herbisida imazethapyr dan pendhimethalin pada tanaman kedelai. Prosd. Konf.Gulma ke X. HIGI di Malang: 327-334.

Moenandir, J. 1990. Ilmu Gulma (Buku I, II III). Rajawali Press Jakarta. Moenandir, J. 1993. Persaingan tanaman budi daya dengan gulma (Buku

III). PT Grafindo Persada Jakarta: 101 p.

Radjit, B.S. 1998. Pengendalian gulma pada kacang hijau dalam sistem tanpa olah tanah dan olah tanah. Pros. Teknologi Spesifik lokasi dalam pengembangan pertanian dengan orientasi agribisnis. Pusat Penl. dan Pengb. Sosial Ekonomi Pertania. 11 p.

Radjit, B.S. 2006. Evaluasi teknologi pengendalian gulma pada kedelai di lahan masam. J. Agritek Vol.14 No.3: 695-704.

Riwanodja. 2001. Peranan herbisida untuk pengendalian gulma dan peningkatan hasil kedelai. Konferensi Nas. XV. HIGI di Surakarta: 479-486.

Sudiman, A. dan P. Bangun. 1986. Pengaruh pemberian Alaclhor, Metolachlor, Thiorin dan Chlorbomuron terhadap pertumbuhan kedelai dan gulma. Penlt. Pertanian Bogor. 6 (2): 87-93.

Suhartina dan Riwanodja. 1997. Ambang kendali gulma pada tanaman kedelai. Laporan Teknis Balitkabi 1997. 11 p.

Stooler,E.W. and J.T.Wooly. 1985. Competition for light by broadleaf weeds in soybeans (Glycine max). Weeds Sci. 33: 199-203.

Sutoto, S.B, O.S. Padmini, dan I.Nenden, K. 2001. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai. p. 278-284. Dalam Didiek et al. (Eds.). Prosiding Konferensi Nasional XV Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Surakarta. 17-19 Juli 2001.

Syam’un, E. 2001. Pengaruh sistem olah tanah dan periode bebas gulma terhadap hasil kedelai (Glycine max (L.) Merr). p. 263-268. Dalam Didiek et al. (Eds.). Prosiding Konferensi Nasional XV Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Surakarta. 17-19 Juli 2001.

Tohari. 2001. Pengendalian gulma kedelai menggunakan herbisida Fenoksi. Konferensi Nas. XV. HIGI di Surakarta: 487-495.

Wahono, T.C, Afdhal J.P.T, dan Harnel. 1995. Beberapa alat penyiang tanaman kedelai. p. 198-207. Risalah Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami. Balittan Sukarami.

(15)

Wiroatmodjo, J. dan P. Bangun. 1990. Pengendalian dan pemupukan Nitrogen pada nodulasi dan hasilo kedelai. Prosd. Konf.Gulma ke X. HIGI di Malang: 335-347.

Zaenudin, A. 1992. Herbisida yang efektif untuk pengendalian gulma. J. Pert. Tropika (11): 7 p.

Zakaria, Z. dan H. Burhan. 1999. Rujukan teknologi integrated weed management (IWM) dalam mendukung program Bimas intensifikasi. p. 48-67 dalam Prosiding Seminar Sehari Integrated Weed Management (IWM) dalam Mendukung Program Bimas Intensifikasi. Sekretariat Pengendali Bimas. Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Beberapa jenis gulma yang merugikan pada tanaman kedelai.
Tabel 3. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap efisiensi pengendalian gulma, bobot biji/tanaman dan bobot biji/petak tanaman kedelai.
Tabel 4. Hasil biji kedelai dengan berbagai cara pengendalian gulma pada empat lokasi.
Tabel 5 . Hasil kedelai pada sistem olah tanah berbeda. Bandung 1998.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga ditunjang dengan kultur masyarakat Gresik yang mayoritas warga nahdliyin yang selalu memilih partai ataupun calon yang dipilih pemimpinnya, apalagi

Keputusan pendanaan akan mempengaruhi terhadap arus kas operasi yang akan diperoleh para investor, oleh karena itu investor akan dapat menjadikan arus kas dari

Dalam Kolb (1992), konflik dapat saja terjadi karena timbulnya perbedaan dalam minat, pola pikir, dan tujuan. Lebih jauh dinyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena

Berdasarkan tabel klasifikasi aset yang sudah dibahas pada subbab sebelumnya, maka perlu diketahui frekuensi kejadian serangan atau ancaman terhadap aset dalam

Sistem informasi adalah suatu sistem didalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang mendukung fungsi operasi organisasi yang bersifat

Kemajuan teknologi saat ini berkembang sangat pesat.Baik perusahaan besar maupun kecil sudah menggunakan sentuhan teknologi untuk membantu mengolah data

Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Aini (2013) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing saham pada perusahaan yang

ABSTRAK PENGEMBANGAN LKS MATEMATIKA DENG AN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF SISWA Ria Widiarty riawidiarty85@grnail.com