• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPATUHAN MEDIKASI PADA PASIEN MULTIDRUG- RESISTANT TUBERCULOSIS (MDR-TB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPATUHAN MEDIKASI PADA PASIEN MULTIDRUG- RESISTANT TUBERCULOSIS (MDR-TB)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

KEPATUHAN MEDIKASI PADA PASIEN

MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS (MDR-TB)

OLEH

OMELIA MERCY TIKUPADANG 802016702

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

KEPATUHAN MEDIKASI PADA PASIEN

MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS (MDR-TB)

Omelia Mercy Tikupadang Aloysius L. S. Soesilo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perilaku kepatuhan medikasi pada pasien multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Partisipan yang dipilih dalam penelitian ini berusia 21-48 tahun yang sedang menjalani pengobatan MDR-TB selama kurang lebih 18-24 bulan dan berjumlah dua orang wanita. Hasil penelitian ini telah menunjukkan (1) Pemahaman yang kurang terhadap penyakit dan pengobatan telah menyebabkan gagalnya pengobatan, (2) Keluhan tentang efek samping obat MDR-TB yang dirasakan, (3) Keluhan penyakit lain yang dialami, (4) Pengobatan alternatif yang pernah dijalani selain pengobatan medis, dan (5) Dukungan sosial yang diterima pasien MDR-TB.

Kata kunci: kepatuhan, medikasi, pasien, multidrug-resistant

(9)

ii Abstract

This research aims to describe the behavior of patient’s adherence to multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) treatment.Usingqualitative method and this study uses interview and observation techniques as data collection. Participants in thisresearch was two women with range of age between 21-50 years old who underwent MDR-TB medication for about 24 months. Those participants has lack of knowledge about disease and treatment, side effect of medication, complaint of other disease, complementary and alternative medicine that had been undertaken, and social support.

Key words: adherence, medication, patient, multidrug-resistant tuberculosis

(10)

1

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) diketahui sebagai salah satu penyakit menular tertua. Beberapa literatur menjelaskan tentang penyakit TB sudah ada sejak peradaban manusia. Dulunya Hippocrates menyebut tentang penyakit TB sebagai “Phthisis” di mana ia mencatat tentang pasien yang memburuk keadaannya terkait dengan nyeri dada dan batuk, disertai darah dalam dahak (Jordao & Vieira, 2011). Istilah Phthisis ini digunakan pada abad ke-17 dan ke-18, hingga pertengahan abad ke-19 Johann Lukas Schönlein memperkenalkan istilah “Tuberkulosis” (Bragazzi, Galluzzo, & Martini, 2017). Kemudian pada tahun 1882, Heinrich Herman Robert Koch atau yang dikenal dengan Robert Koch, seorang dokter sekaligus juga ahli mikrobiologis asal Jerman yang menemukan basil (infeksi kuman) TB sebagai penyebabnya. Basil (infeksi kuman) yang menyebabkan penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosis atau disebut juga abasilus koch (Daniel, 2006). Bakteri Mycobacterium tuberculosis ini lebih banyak menyerang paru-paru, namun bisa juga menyerang organ dan jaringan lainnya. Bakteri Mycobacterium tuberculosisyang masuk dan terkumpul ke dalam paru-paru akan berkembang biak dan menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 1993).

Gejala awal dan utama yang dialami orang yang telah terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosisadalah batuk berdahak selama kurang lebih 2-3 minggu. Sedangkan, gejala-gejala penyakit TB termasuk demam, batuk darah atau batuk diikuti dahak bercampur darah, sesak nafas, kelelahan, keringat di malam hari tanpa adanya kegiatan fisik, serta berat badan menurun secara drastis.

(11)

2

Kebanyakan pasien memiliki gejala ringan atau tidak sama sekali ketika terinfeksi. Bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya dapat disebarkan oleh orang dengan penyakit tuberkulosis aktif dan penyebarannya melalui udara. Ketika orang yang terinfeksi melakukan kontak langsung dengan berbicara, tertawa, bersin, dan batuk, tetesan air liur yang mengandung bakteri dihirup oleh orang lain yang terdekat atau disekitarnya. Bakteri Mycobacterium tuberculosisakan hidup dan bertahan lama dalam ruangan gelap dan lembap, tetapi ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan dan matahari langsung dapat membunuh kuman dalam beberapa jam. Daya penularan orang dengan penyakit TB ditentukan dari banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru-parunya, makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien dan faktor yang memungkinkan terinfeksinya kuman TB yang ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Clinical Practice Guidelines In The Spanish National, 2010).

Penyakit TB merupakan penyebab morbilitas dan mortalitas di antara 10 kasus kematian lainnya. Laporan Badan Kesehatan Dunia pada tahun 2017 sekitar 10 juta orang mengembangkan penyakit tuberkulosis di seluruh dunia dan sekitar 4.500 orang meninggal dunia setiap hari. Indonesia juga termasuk dalam beban tuberkulosis tertinggi ketiga setelah India dan Cina. Kasus TB di Indonesia yang dilaporkan oleh Menteri Kesehatan RI tahun 2018 mencapai 889.000 orang dan 514.773 penderita yang dilaporkan (WHO, 2018). Selain itu, beberapa kasus TB yang belum dijangkau dan terdeteksi secara maksimal, sekalipun telah diobati namun belum juga dilaporkan. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya kasus multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB). Multidrug-resistant tuberculosis

(12)

3

(MDR-TB) didefinisikan sebagai resisten pada dua obat yang paling penting dan efektif di “first line” obat yaitu rifampicin dan isoniazid (Nellums, Rustage, Hargreaves, & Friedland, 2018).

Diagnosis dan pengobatan yang tepat untuk orang dengan penyakit MDR-TB dapat menghindari resiko penularan serta tingkat kematian. Hal ini juga menyangkut hambatan pengobatan yang perlu dipertimbangkan dengan terus meningkatkan kemampuan pasien untuk mengikuti regimen pengobatan. Kepatuhan dalam medikasi didefinisikan sebagai sejauh mana pasien mengambil pengobatan seperti yang direkomendasikan penyedia kesehatan. Kata adherence telah menggantikan kata compliance dalam banyak literatur medis karena adanya kekhawatiran tentang makna konotasi yang menunjukkan “tunduk” dalam ketaatan pengobatan (Naidodo & Mwaba, 2010). Kata “adherence” lebih disukai oleh penyedia kesehatan atau profesional kesehatan dibandingkan dengan kata “compliance” karena lebih menunjukkan pasien aktif dalam mengikuti saran dari dokter dan rencana pengobatan tidak disarankan pada kontrak terapi yang ditetapkan antara pasien dan dokter (Osterberg & Blaschke, 2005) serta dianggap kurang menghakimi untuk mengklasifikasikan pasien “bandel”, “lalai”, dan “tidak bertanggungjawab” (Haynes dalam Nemes, Helena, Caraclolo, & Basso, 2009). Kemudian kata compliance dan adherence digunakan secara sinonim untuk menggambarkan sejauh mana pasien mengikuti rekomendasi dari profesional kesehatan dan mengenai obat yang digunakan serta manajemen penyakit (Gosh, Rubin, & Hawthorne, 2008).

Kepatuhan dalam pengobatan medis merupakan perilaku kesehatan yang kompleks. Identifikasi masalah termasuk didalamnya tidak ada inisiatif individu

(13)

4

untuk melakukan terapi, pemberhentian pengobatan secara mendadak, kesalahan waktu pengobatan atau melampaui dosis yang diberikan (Lay & Lyewen, 1985).Sedangkan, ketidakpatuhan pengobatan terjadi pada tahap di mana saja yakni memperhatikan pengobatan terapi tidak sepenuhnya mengikuti petunjuk yang diberikan, gagal mengikuti prosedur medis atau pengobatan dan gagal mengikuti sesi-sesi follow-up. Menurut Ray dan kawan-kawan (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kegagalan dalam mengendalikan penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar disebabkan ketidakmampuan mendeteksi dan mengobati semua kasus menular tuberkulosis paru secara tepat waktu, sehingga penularan bakteri Mycobacterium tuberculosisterus ada dalam masyarakat. Penularan ini berkontribusi pada penyebaran penyakit TB dan munculnya strain yang resisten terhadap obat (Farmer, 2005). Tantangan untuk solusi yang efektif termasuk kurangnya akses untuk mendiagnosis dan mengobati, ditambah dengan penanggulangan kasus HIV, serta peningkatan prevalensi tuberkulosis yang resisten terhadap obat (MDR-TB) (Ray, Talukdar, Kundu, Khanra, &Sonthalia, 2013).

Pasien tuberkulosis dengan resisten berbagai obat (MDR-TB) dalam pengobatan selanjutnya dapat menimbulkan masalah bagi pasien. Pasien yang dikategorikan MDR-TB berada pada resiko tinggi untuk kegagalan pengobatan dan juga beresiko untuk resistensi obat selanjutnya yaitu extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-TB) yang dapat mengancam jiwa pasien atau kematian. Tingkat kesembuhan relatif rendah dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pengobatan dan biaya relatif mahal baik pada kasus MDR-TB maupun XDR-TB (Jain & Dixit, 2008). Faktor-faktor dibawah kontrol pasien dan

(14)

5

interaksi antara penyedia layanan kesehatan atau sistem kesehatan serta pasien akan memiliki pengaruh pada peningkatan kepatuhan pengobatan. Dalam hal ini, para medis (dokter dan perawat) juga berkontribusi terhadap ketidakpatuhan pasien dengan regimen pengobatan yang kompleks (MDR-TB), gagal untuk menjelaskan manfaat dan efek samping dari obat-obatan yang digunakan, tidak memberikan pertimbangan kepada pasien tentang gaya hidup sehat dan biaya pengobatan, serta memiliki hubungan buruk antara terapi dan pasien.

Pada umumnya, penyedia kesehatan menciptakan hambatan untuk mematuhi pengobatan medis dengan membatasi akses pengobatan dengan mengunakan formularium, adanya biaya pengobatan yang tinggi (Osterberg & Blaschke, 2005). Hambatan kepatuhan juga terkait dengan kurangnya interaksi atau kurangnya komunikasi diantara pasien, penyedia layanan kesehatan, dan sistem kesehatan. Young-Au dan kawan-kawan (2001) menyatakan bahwa pada dasarnya, dokter dan ahli kesehatan lainnya telah ditunjuk untuk berperan dalam mencapai kepatuhan dengan menyediakan dasar pemikiran untuk pengobatan kepada pasien serta melibatkan keluarga dan pengasuh.

Dengan demikian, pentingnya kepatuhan medikasi pada pasien MDR-TB selama menjalani pengobatan akan memungkinkan pasien tidak mengulangi pengobatan dari awal dan tidak memperlukan biaya yang mahal serta pengobatan yang lama. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan perilaku kepatuhan medikasi pada pasien MDR-TB. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pihak akademisi untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, khususnya dalam psikologi kesehatan serta praktisi kesehatan yaitu dengan

(15)

6

memahami keadaan pasien MDR-TB tidak hanya dari masalah penyakit yang diderita, tetapi juga masalah psikologis.

METODE PENELITIAN Partisipan

Pemilihan partisipan ini disesuaikan dengan tujuan penelitian. Karakteristik partisipan merupakan pasien multidrug-resistant tuberculosis yang sedang menjalani pengobatan selama kurang lebih dua tahun (18-24 bulan). Berdasarkan karakteristik tersebut peneliti memperoleh dua partisipan wanita yang berusia 21-50 tahun yang bersedia terlibat dalam penelitian ini.

Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif di mana sumber data utama adalah kata-kata, tindakan, dan data tambahan seperti dokumen. Menurut Moleong (2005) (dalam Herdiansyah, 2012). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memahami suatu fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, seperti tindakan, persepsi, motivasi, perilaku, dan lain sebagainya. Untuk mendapatkan sumber data yang baik, lengkap dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode pengumpulan data yang digunakan meliputi wawancara dan observasi. Peneliti juga menggunakan handphone dan tape recorder untuk merekam hasil wawancara.

Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara kata perkata. Peneliti juga mengetik hasil observasi lapangan yang didapatkan pada saat pengambilan data. Kemudian, dilakukannya pengkodean pada transkrip

(16)

7

wawancara yang selanjutmya menentukan makna dibalik setiap kalimat yang diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal maupun nonverbal. Peneliti menggunakan pendekatan faktual dan menentukan tema-tema yang dimunculkan oleh kedua partisipan untuk memastikan kebenaran data yang diperoleh.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Partisipan 1

P1 adalah salah satu pasien multidrug-resistant tuberculosis yang telah menjalani pengobatan sejak Januari 2017. P1 bernama Ny. S, berumur 48 tahun, status menikah dan memiliki tiga orang anak serta tiga orang cucu. Pertama kali melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Demak dan menjalani pengobatan selama sembilan bulan ditambah suntik. Kemudian P1 dinyatakan sembuh setelah menjalani pengobatan. P1 kembali melakukan aktivitas seperti biasanya sebagai tukang urut bayi (dukun bayi) yang dijalaninya dari pagi hingga sore hari. Selain itu, P1 juga melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci dan memasak serta mencangkul di sawah. Hal inilah yang memicu P1 kelelahan dan mengalami demam selama sebulan disertai muntah darah, batuk dahak bercampur darah, badan meriang selama kurang lebih tiga bulan. Selanjutnya, P1 melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Demak dan dirawat inap selama sepuluh hari, diberi obat licodril dan beberapa tablet obat lainya serta tanpa pemeriksaan rontgen, dokter menyatakan P1 mengalami sakit paru-paru.

(17)

8

Setelah keluar dari rumah sakit, P1 memutuskan mengikuti terapi atau pengobatan alternatif sebagaimana yang disarankan teman-temannya yang pernah melakukannya. Alasan mengikuti pengobatan alternatif karena P1 tidak lagi meminum obat dokter. Pengobatan alternatif ini dilakukan sebanyak dua kali ditempat yang berbeda dan juga metode yang berbeda. Kemudian, P1 menghentikan pengobatan alternatif dengan alasan jauh dari tempat tinggal dan menghabiskan banyak biaya baik transportasi maupun pengobatan.

P1 yang merasa tubuhnya sudah kembali sehat, memutuskan kembali untuk bekerja seperti biasanya tanpa menyadari bahwa kelelahan dapat memicu kambuhnya penyakit yang diderita sebelumnya. Dokter dari Rumah Sakit Umum Demak memberikan rujukan ke Rumah Sakit Paru Salatiga untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Hasilnya menunjukkan P1 digolongkan dalam kategori multi-drug resistant tuberculosis, sehingga P1 harus menjalani pengobatan ulang selama kurang lebih 24 bulan.

Deskripsi Partisipan 2

P2 berinisial Ny. W, berumur 21 tahun, status menikah, dan memiliki satu orang anak perempuan. P2 merupakan salah satu pasien multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) yang sedang menjalani pengobatan sejak April 2017. P2 terjangkit oleh kakak perempuan pertama yang juga menderita penyakit yang sama dengan P2. Awalnya, P2 merasakan gejala seperti masuk angin, meriang, dan batuk selama kurang lebih sebulan. Kemudian, P2 memeriksakan kondisinya ke salah satu dokter di Jakarta, dan diberitahukan hanya masuk angin biasa serta adanya gejala tipes. P2 diberi obat untuk dikonsumsi selama beberapa hari,

(18)

9

obatnya habis tetapi P2 merasa tidak kunjung sembuh dan saat itu masih bekerja sebagai buruh pabrik kaleng, sehingga P2 melakukan pengobatan sendiri karena obat dokter dinilai tidak efektif dengan mengkonsumsi obat bebas seperti komix yang dibelinya di warung. Mengkonsumsi obat bebas “komix” dirasa P2 adanya perubahan, seperti tidak adanya batuk, tetapi disisi lain berat badan turun, kondisi badan kadang panas kadang dingin. Akhirnya, P2 diminta keluarganya untuk pulang ke Suruh, tempat tinggal orang tuanya untuk melakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan yang pertama dilakukan di Puskesmas dekat tempat tinggal orang tuanya, di daerah Suruh. Setelah itu, P2 dirujuk ke BP4 untuk melakukan tes dahak dan tes darah untuk mendapatkan hasil diagnosis yang tepat. Dari hasil pemeriksaan, P2 positif mengalami sakit tuberkulosis dan harus melakukan pengobatan kurang lebih enam bulan ditambah suntik, serta diberi empat butir obat. Pengobatan pertama ini dilakukan hingga selesai. Kemudian, P2 melakukan pemeriksaan lanjutan dan hasilnya masih positif, sehingga P2 diminta untuk menjalani pengobatan tambahan selama sebulan. P2 merasakan adanya perubahan yakni berat badan naik, sehingga tidak pemeriksaan lagi dan memilih ke Jakarta mengikuti suaminya. Pada saat di Jakarta, kondisi kesehatan P2 menurun lagi ditandai dengan berat badan terasa panas dan dingin, hemogloblin rendah, batuk hingga membuat tubuhnya lemas.

Pada pemeriksan yang kedua, P2 dinyatakan positif tuberkulosis lagi dan harus melanjutkan pengobatan selama enam bulan. Ketika memasuki bulan kedua, P2 harus menghentikan pengobatanya karena P2 sedang hamil dan obat yang diminum “keras” dapat berpengaruh pada kondisi janin. Setahun kemudian, ketika usia anak P2 enam bulan, dilanjutkan dengan pengobatan kedua yang dijalani

(19)

10

selama delapan bulan ditambah suntik. Pengobatan kedua ini dilakukan sampai selesai, namun P2 tidak melakukan pemeriksaan lanjutan. Ketika P2 mengalami penurunan berat badan drastis, kira-kira tiga puluh dua kilogram dan harus opname, dokter menyatakan bahwa P2 sudah dikategorikan dalam MDR-TB, sehingga harus menjalani pengibatan selama kurang lebih 24 bulan.

Hasil analisis data memunculkan beberapa tema berikut: Pemahaman yang kurang tentang penyakit dan pengobatan, keluhan tentang efek samping samping obat, keluhan penyakit lain, pengobatan alternatif, dan dukungan sosial.

Pemahaman yang kurang tentang penyakit dan pengobatan

Pengobatan awal yang dijalani oleh P1 tidak diteruskan hingga tuntas karena merasa sudah sembuh. Kemudian, P1 bekerja kembali sebagai tukang urut bayi (dukun bayi) seperti biasa. P1 memutuskan hal ini karena tidak memahami dengan baik bahwa pengobatan harus dilakukan secara teratur dan tuntas. P1 merasa kelelahan dan berakibat pada kekambuhan penyakit TB:

“Ya kerja, kerjanya kan ngurut setiap hari, apa cuci-cucian kan banyak, masak, cucian rumah keluarga sini, kan anak yang satu sekolah, yang satu kerja, yang bungsu sekolah, bapak ya kerja, saya kan nyuci terus kerja, la jadinya gitu mbak.”

Ketidakpahaman tentang penyakit dan pengobatan juga dialami oleh P2. Gejala awal yang dialami yaitu batuk-batuk dan kemudian minum obat bebas (komix). Setelah melakukan pemeriksaan berikutnya, P2 didiagnosis mengidap TB:

“…katanya kena TB terus dikasih obat yang empat butir selama enam bulan, tapi minumnya cuma beberapa bulan udah kerasa baik, gak batuk-batuk lagi…”

(20)

11

P2 diketahui hamil pada saat menjalani pengobatan kedua, sehingga dokter menyarankan untuk menghentikan pengobatan`karena dikhawatirkan obat TB yang dikonsumsi akan berpengaruhi pada kandungannya:

“…pemeriksaan lagi tapi saya gak bisa minum obat karena saya sedang hamil enam bulan, jadinya pengobatan ditunda mbak…”

Akibat dari penghentian pengobatan awal, kedua partisipan harus menjalani pengobatan yang dikategorikan dalam MDR-TB, di mana adanya perubahan pada dosis obat dan waktu pengobatan lebih lama dari pengobatan sebelumnya.

“…ini pengobatannya dua, dua empat bulan, suntikannya delapan bulan…”

P2 juga mengalami hal yang sama ketika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa telah dikategorikan MDR.

“Kalo obatnya, tiga belas biji diminumnya dua jam harus habis, mau diselang, mau lima biji, lima menit lima belas menit gak papa…”

Keluhan tentang efek samping obat

Kedua partisipan mengeluhkan adanya berbagai gangguan setelah mengkonsumsi obat MDR-TB, seperti telinga berdenging bahkan terasa tuli, pegal-pegal pada badan, nyeri dada, tidak nyaman pada perut, dan detak jantung yang lebih cepat. Efek samping ini dirasakan oleh P1 setiap harinya bahkan sampai memuntahkan makanan yang dimakannya karena rasa mual, pusing, dan panas di bagian perutnya:

“Yaa, itu kalo ingat obatnya paru-paru, saya apa itu, minum, telan, disini tu (mengusap area leher) di tenggorakan udah kerasa mual. Kalo, kalo minum itu ya pusing (mengerutkan dahi). Yaa, di sini tu pusing (mengusap dahi), di sini pegal-pegal (memegang pundak kiri), reaksinya banyak sekali,”

(21)

12

Oleh karena kondisi demikian, P1 menyatakan bahwa nafsu makannya berkurang. P1 harus mengkonsumsi makanan yang dibuat lembek seperti bubur. Di samping itu, P1 juga mengkonsumsi rempah-rempah tradisional seperti temulawak untuk meningkatkan nafsu makan dan kunyit putih untuk mengurangi rasa nyeri pada perutnya:

“Kalo minum yang ini ya masih ya rasanya ya masih panas yo memang kalo tetangga sini ada bilang yang gini ada maag ni, aah kalo buat ini buat maag, trus dibilangin sama dokter cina yang dekat sama tetangga anu pak Ma’aruf, udah gak usah dipake obat itu, pakenya itu kunyit putih diparut.”

P2 mengalami efek samping obat sejak awal mengkonsumsi obat MDR-TB, seperti muntah, kesulitan buang air besar, kepala pusing, suhu badan panas, dan jantung berdetak cepat:

“Tau, rasanya mo kayak orang apa aja gitu. Rasanya kenceng, panas, terus perutnya rasanya begah, kayak pengen muntahlah, pengen beol tapi gak bisa.”

Atas keluhan gangguan pada mata, P2 disarankan untuk melakukan pemeriksaan: “Kayak ada beleknya kalo ngeliat itu, kayak

ketutupan belek trus kadang rasanya gimana ya, kadang perih kayak kurang cairan…”

Terbebani oleh pengobatan yang harus dilakukan dan reaksi efek samping obat yang mengganggu, kedua partisipan mengeluhkan kesulitan tidur di malam hari. Seperti yang diungkapkan P2 dengan melakukan ritual keagaaman untuk mengatasi kesulitan tidurnya:

“…kalo malam udah gak bisa tidur sampai pagi. Kadang dibawa ngaji baru bisa tidur…”

(22)

13

Keluhan tentang penyakit lain

Selain mengkonsumsi obat MDR-TB, kedua partisipan juga

mengkonsusmsi obat-obatan untuk keluhan penyakit lainnya. Keluhan penyakit lain yang dialami P1 diantaranya diabetes, asam urat, lambung, dan kolesterol. Hal inilah yang menjadi alasan P1 tidak makan beberapa sayuran seperti bayam, kangkung, ketela pendem, dan godong glambir serta menghindari makanan berminyak karena takut akan mengalami batuk. Tetapi, dokter menyarankan P1 untuk boleh makan apa saja:

“Ya, makan semua boleh tapi saya menghindari sendiri, ikan laut gak pernah, telur tuh yang putihnya kata pak dokter bu dokter tapi saya gak pernah (tersenyum).”

P2 tidak bisa minum susu dan akan mengalami mual dan muntah, sehingga dokter menyarankan untuk mengkonsumsi jus untuk pengganti susu dan ditambahkan obat untuk keluhatan sakit maag yang sudah dideritanya sejak SMA serta vitamin:

“…Paling obat tambahannya sekiranya kurang baik, tambahin obat apa. Kemarin cuma dikasih vitamin…” Pengobatan alternatif

Kedua partisipan pernah menjalani pengobatan alternatif. P1 yang pernah melakukan pemeriksaan lanjutan, hasilnya mengharuskan untuk melanjutkan pengobatan, tetapi tidak dilakukannya melainkan memilih pengobatan alternatif berupa tubuh disetrum dan tenaga dalam sebagaimana yang disarankan oleh teman-temannya yang pernah mengikuti. Selain itu, alasan mengikuti pengobatan alternatif karena P1 merasa tidak perlu lagi mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter:

“Periksa lagi mbak, periksa lagi dahaknya merah tapi kan saya gak ke dokter lagi, saya ke terapi gitu loh asal usulnya gitu,..”

(23)

14

“Caranya ya tangannya diletakan di dada, keluar darah (pegang dada), kalo gula darah keluar air (pegang lutut). Saya anu dua kali mbak, gak pake apa-apa. Semacam tenaga dalam, lah yang di Semarang itu kalo itu disetrum kayak disetrum tu, kain ngeten iki terasa seperti disetrum.”

Sedangkan P2, pengobatan alternatif yang pernah diikuti berupa pengobatan tradisional atau herbal dan jamu:

“Dalam bentuk jamu si kayak apa ya kunyit tu parut sama daun sirsak direbus dikasih madu. Udah. Kuning telor ayam Jawa, madu, susu trus jeruk nipis dicampur, udah. Apa makan kuning telornya, madu, udah.”

P2 juga mengkonsumsi makanan yang tidak biasa seperti daging kelinci, daging kelelawar, sebagaimana yang disarankan oleh teman-temannya untuk upaya kesembuhannya:

“Kalo ada orang kasih tau ini ini. trus disuruh makan daging kelinci, daging kelelawar,….Trus apa si katanya soda dicampur susu, madu, dicampur apa kali jeruk nipis dibuatin mertua tiap hari. pokoknya kalo ada bilangin aja, dicoba.”

Dukungan sosial

Kedua partisipan mendapatkan dukungan yang secara berbeda selama menjalani pengobatan. P1 yang dibantu oleh keluarganya baik suami, anak, dan menantu dalam hal merawat diri. Keluarga memahami bahwa penyakit yang dialami P1 bisa menjadi beban yang akan memparah kondisinya, sehingan keluarga meminta untuk tetap fokus pada pengobatan:

“Kalo ini ya anak-anak, suami ya gak usah kerja, pokoknya hidup tenang, ditenangke, jangan bekerja dulu, nanti kalo udah sembuh ya gak usah mikir-mikir kerja apa-apa lihat cucu, lihat suami anak-anak, anak kan bilang gitu suami kan bilang gitu”

(24)

15

P1 juga tidak merasakan kesulitan berada di lingkungan rumahnya. P1 hanya merasa tidak nyaman menggunakan masker ketika bersama tetangga. Hal yang berbeda dialami oleh P2 yang di awal pengobatan dijauhi oleh para tetangganya yang berpikir bahwa penyakit yang dideritanya adalah penyakit yang berbahaya, membuatnya merasa tidak percaya diri dan ingin mneghentikan pengobatan:

“Awal-awalnya tu mbak, mereka gak mau dekat-dekat saya, pas liat saya langsung lari. Ya sayanya merasa minder mbak, jadi cuma di rumah aja, paling cuma keluar ke puskesmas atau beli susu untuk anak.”

“Denger sendiri, pas denger sendiri pulang langsung nangis, kecil hati aduh udahlah mak aku gak mau berobat, aku mau pulang aja mau berobat disana, yang waktu kemarin pengobatan yang pengobatan sekarang, pas udah sebulan, nyari ojek tetangga semua minta anter pada gak mau trus apa yakalo ini jangan deket di si W (menyebutnya namanya sendiri) ini inilah, sampe bilang ni sama dokter puskesmas dok saya pindahin aja lagi ya ke Tanggerang…”

Kesulitan biaya pengobatan dan transportasi menjadi masalah bagi kedua partisipan. Biaya pengobatan alternatif yang pernah dilakukan dinilai sangat mahal sehingga, P1 menghentikan karena tidak sanggup membiayai dan juga jarak tempuh perjalanan ke tempat pengobatan membutuhkan biaya yang besar. Terbatasnya dana transportasi juga dialami P2, di mana seringkali menumpang pada mobil yang mengangkut barang-barang material atau meminjam motor tetangga. Suami P2 juga selama empat bulan pengobatan MDR-TB tidak mendukung secara finansial dengan alasan kehilangan pekerjaan. Hal ini juga memengaruhi komunikasi yang kurang baik diantara P2 dan suaminya:

“Iya, tapi sekarang udah gak lagi kerja mbak, katanya mau cari kerja yang baru (memandang keluar warung bakso). Jadi, udah empat bulan ini saya gak dikirimin duit.”

(25)

16

“Udah mulai jarang mbak, ya kalo ingat dihubungin, kalo gak ya sudahlah…”

Kemudian P2 menerima dukungan dalam bentuk finansial dari rumah sakit setiap bulannya dan terkadang dibantu oleh doker Puskesmas untuk biaya transportasinya. Selain itu, keluarga P2 baik ibu kandung, saudara kandung, ibu mertua, dan saudara ipar memotivasi P2 untuk tetap menjalani pengobatan sampai sembuh agar bisa berkumpul dengan keluarga:

“Ya motivasi, kalo nelpon itu jangan mikirin yang aneh-aneh, udah mikirinnya yang penting sembuh, bisa kumpul.”

“Dulu sich gak mah kalo obat telat mbak, soalnya apa keluarga disana galak semua soal obat, bawel, ya jadi kalo ketahuan belum minum ditungguin, ditungguin sampe minum jadi gak pernah bolos minum obat, gak pernah”

Setelah kematian kakak perempuan P2 yang juga mengalami sakit yang sama, hubungan dengan suami P2 kembali membaik:

“Baik. Semenjak kakak pulang, yang meninggal itu, udah nelpon, komunikasi lagi sampai sekarang…”

(26)

17

PEMBAHASAN

Kepatuhan medikasi pada pasien multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) penting bagi kesehatan. Resisten obat dapat berpengaruh pada respon medikasi antituberkulosis dan kepatuhan adalah mungkin menjadi faktor utama yang menentukan berhasilnya pengobatan.Ketika gejala-gejala tetap bertahan atau kembali, pasien berusaha melakukan pengobatan di awal atau pasien merasa penyakit tersebut menjadi serius, pasien termotivasi untuk mendatangi fasilitas untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Kedua partisipan yang dikategorikan MDR-TB, sebelumnya tidak melanjutkan atau menyelesaikan pengobatan awal dengan alasan kondisi kesehatan sudah membaik dan ketidakpahaman kedua partisipan tentang penyakit serta pengobatan yang harus dilakukan secara teratur sampai tuntas juga menjadi alasan untuk tidak melanjutkan pengobatan sehingga menyebabkan kekambuhan penyakit. Menurut Hoeppner dan kawan-kawan (dalam Orr, 2010) bahwa berbagai alasan kegagalan ketidakpatuhan medikasi pasien tuberkulosis selama menjalani pengobatan dan yang paling umum adalah kegagalan pengobatan awal dan kekambuhan. Hal yang sama ditambahkan oleh Ayisi dan kawan-kawan (2011) bahwa kurangnya informasi atau pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis memengaruhi kepatuhan pengobatan.

Pengetahuan yang kurang akan durasi pengobatan multidrug-resistant tuberculosis selama kurang lebih 24 bulan seringkali menyebabkan pasien tuberkulosis tidak melengkapi pengobatan bila merasa pengobatan terlalu lama, khususnya setelah gejala telah hilang, dan kemudian pasien berhenti melakukan pengobatan karena merasa lebih baik.Kasus kegagalan lainnya adalah tidak cukupnya regimen pengobatan, penghentian terapi sebelum waktunya, dan

(27)

18

keracunan obat (Pilheu dalam Clark, Karagoz, Apikoglu-Rabus & Izzettin, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Samman dan kawan-kawan(2002)

mengungkapkan bahwa kegagalan pengobatan diasosiasikan sebagian besar dengan ketidakpatuhan, walaupun adanya faktor-faktor lain yang berkontribusi seperti resistensi obat yang mungkin saja mengambil peran penting.

Kedua partisipan merasakan gangguan fisio-psikologis setiap harinya sebagai akibat dari reaksi efek samping obat yang dikonsumsinya. Pasien tidak tahu bahwa tuberkulosis diobati dengan obat-obatan antibiotik (Amigos, Weigel, Qincha, & Ulloa, 2008). Bhardwaj, Kumar, Dabas, dan Alam (2012) menyatakan bahwa reaksi efek samping yang dirasakan pasien MDR-TB seringkali menjadi masalah untuk melanjutkan pengobatan. Efek samping obat bisa jadi prediktor kepatuhan medikasi yang dilakukan oleh pasien (Machado-Souza, Santos & Crus, 2010). Hal yang berbeda diungkapkan oleh Mital dan Gupta (2011) bahwa efek samping merupakan alasan umum pasien gagal melakukan pengobatan. Hal ini juga ada kaitannya dengan kurang pengetahuan pengobatan, padahal efek samping obat dapat ditangani dan dosis dapat diubah jika ditemukan bahwa efek obat tidak mencukupi atau merugikan selama ada ketentuan menjamin. Karakteristik obat seringkali dikaitkan atau dihubungkan dengan ketidakpatuhan yang umumnya memiliki efek samping obat yang buruk seperti mual dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh penggunaan obat (Brewer, Chapman, Brownlee, & Leventhal, 2002).

Pengobatan MDR-TB menjadi lebih sulit apabila pasien memiliki riwayat penyakit lain. Kedua partisipan memiliki riwayat penyakit yang lain sehingga ada penambahan obat untuk penyakit diabetes, kolesterol, asam urat, dan maag yang

(28)

19

dideritanya serta obat keluhan dari efek samping obat MDR-TB. Orang-orang dengan tuberkulosis yang juga memiliki riwayat penyakit diabetes diketahui hasil pengobatan menjadi lebih buruk (Bates, Marais, & Zumla, 2015). Girardi dan kawan-kawan (2017) menjelaskan bahwa komorbitas penyakit tuberkulosis dan diabetes memberikan contoh transisi epidemiologis di mana penyakit kronis muncul bersamaan dengan penyakit menular. Pasien tuberkulosis dengan kontrol gula darah yang buruk memiliki tingkat kegagalan pengobatan, kambuh, dan menyebabkan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan kontrol glikemik yang baik dan pasien diabetes dengan tuberkulosis juga lebih mungkin mengembangkan MDR-TB.

Pada pengobatan sebelumnya, kedua partisipan menghentikan pengobatan medis dan kemudian menggantinya dengan pengobatan alternatif berupa tenaga dalam sebagaimana yang dilakukan salah satu partisipan. Partisipan kedua mengkonsumsi obat herbal danjamu. Keputusan kedua partisipan untuk menjalani pengobatan alternatif didukung oleh orang-orang terdekat mereka dan dengan alasan tidak lagi meminum obat yang diberikan dokter serta mengurangi gangguan fisio-psikologis dari efek samping obat. Badan Kesehatan Dunia (2003) menyatakan bahwa penggunaan obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer. Menurut Sukandar (2006) (dalam Sari, 2006), peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antara kanker serta semakin luas akses informasi mengenai

(29)

20

obat herbal di seluruh dunia. Dengan kata lain, pengobatan alternatif yang dilakukan oleh kedua partisipan semakin memparah kondisi kesehatan.

Selama menjalani pengobatan MDR-TB, kedua partisipan menghadapi tekanan penyakit yang berkepanjangan dan ancaman kematian.Partisipan kedua menghadapi kematian kakak perempuan yang juga menderita komplikasi penyakit MDR-TB, dan jantung serta mengalami perlakuan tidak menyenangkan, di mana partisipan dijauhkan dari tetangga karena dianggap menularkan penyakit. Stigma sosial ini berhubungan dengan kurangnya pengetahuan akan penyakit dan hal ini juga sebagai alasan lain perilaku ketidakpatuhan pasien tuberkulosis (Liefooghe dkk, 1995; Liefoofghe dkk, 1999; Meuleman, 2001 dalam Meuleman dkk, 2002). Pyne (dalam Burtea, Ifteni & Constantin, 2011) menyatakan bahwa lingkungan pasien; keluarga dan masyarakat turut berperan. Pasien yang tinggal sendiri dan dari golongan sosial ‘rendah’ diketahui memiliki hubungan sosial yang buruk dengan lingkungan di mana pasien tersebut berada. Kualitas dukungan sosial antara hubungan pasien dan keluarga, pasien dan teman sebaya akan memberikan dampak positif bagi kepatuhan pengobatan pasien. Kedua partisipan juga menerima dukungan sosial baik secara emosional, informasi, dan finansial dari tim medis. Levesque dkk (2012) mengungkapkan tentang hubungan dokter dan pasien dilihat dari kualitas komunikasi yang baik selama pasien menjalani pengobatan, misalnya cara penyampaian informasi kesehatan dari dokter ke pasien, melibatkan pasien dalam keputusan, memberikan dukungan dengan menunjukkan kepedulian kepada pasien akan memengaruhi kepatuhan pengobatan.

(30)

21

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kegagalan pengobatan yang dialami oleh pasien MDR-TB disebabkan oleh pemahaman yang kurang tentang penyakit dan pengobatan. Pengetahuan yang kurang tentang obat yang diminum memiliki efek samping obat yang dirasa bisa menjadi faktor kepatuhan dan ketidakpatuhan pengobatan. Pengetahuan yang kurang tentang pengobatan juga dikaitkan dengan penambahan obat atau menghentikan pengobatan medis dan menggantikannya dengan pengobatan alternatif baik pengobatan supranatural maupun pengobatan herbal. Pengetahuan yang kurang tentang penyakit dan pengobatan juga turut berpengaruh pada dukungan sosial yang diterima pasien MDR-TB.

SARAN

Dalam penyusunan tugas akhir ini, peneliti menyadari berbagai keterbatasan penelitian. Agar penelitian yang telah dilakukan dapat bermanfaat baik kepada pembaca dan peneliti yang lain, peneliti menyarankan dari penelitian ini bahwa pihak profesional kesehatan (dokter, perawat, dan lain-lain) dapat meningkatkan pemahaman kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit yang dialami, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pengobatan, resiko penghentian pengobatan sebelum waktunya, resiko mengambil pengobatan lain selain pengobatan medis, efek samping yang ditimbulkan akibat meminum obat, pola hidup sehat terkait dengan beberapa penyakit komorbit yang dialami oleh pasien, dan dukungan sosial dari keluarga untuk membantu pasien tuberkulosis

(31)

22

selama menjalani pengobatan. Selain itu, profesional kesehatan harus melakukan monitor secara berkala atau rutin kepada pasien MDR-TB.

Kedua, promosi tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat harus dilakukan sehubungan dengan penyakit ini bisa disembuhkan dan sebagai bentuk dukungan masyarakat terhadap orang-orang dengan penyakit tuberkulosis. Promosi dapat dilakukan melalui poster di rumah sakit dan puskesmas, serta pendidikan kesehatan secara berkala atau rutin kepada masyarakat. Ketiga,peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya yaitu pengambilan data tidak hanya berpusat pada pasien tuberkulosis tetapi juga kepada keluarga pasien dan profesional kesehatan (dokter, perawat, dan lain-lain) yang terkait dalam pengobatan pasien tuberkulosis.

(32)

23

DAFTAR PUSTAKA

Amo-adjei, J., & Awusabo-Asare, K. (2013). Reflections on tuberculosis and treatment outcomes in Ghana. Archieve of Public Health, 22, 1-8.

Armijos, X. R., Weigel, M. M., Qincha, M., & Ulloa, B. (2008). The meaning and consequences of tuberculosis for an at-risk urban group in Ecuador. Pan America Journal Public Health, 23, 188-197.

Atipo-Tsiba, W. P., Eballe, O., Koulimaya, A. M. R., Bel’hantier, S., Diomande, A. I., & Abayi, M. A. (2017). Multidrug-Resistant Tuberculosis: Review of the literature from a case of chroroidal Granuloma associated with a Pott’s Disease secondary to a pulmonary localization.Juniper Publishers, 4, 1-3. Ayisi, J. G., Hoog, H. Van’t., Anna, J. A. A., Mchembere, W., Nyamthimba, P.

O., Muhenje, O., & Marston, B. J. (2011). Care seeking and attitudes towards treatment compliance by newly enrolled tuberculosis patients in the district treatment programme in rural western Kenya: A qualitative study. BMC Public Health, 11, 1-10.

Bañul, A-L., Sanou, A., Anh, V. T. T. N., & Godreuil, S. (2015). Mycobacterium tuberculosis: ecology and evolution of a human bacterium. Journal of Medical Microbiology, 64, 1261-1269.

Bates, M., Marais, J. B., & Zumla, A. (2015). Tuberculosis comorbidity with communicable and noncommunicable diseases. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, 5,

Bhardwaj, A., Kumar, R., Dabas, V., & Alam, N. (2012). Assessment and enchancing adherence to treatment regimen in tuberculosis out patients. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical sciences, 4, 517-522.

Bragazzi, N. L. B., Galluzzo, L., & Martini, M. (2017). The history of tuberculosis: from the first historical records to the isolation of Koch’s bacillus. Journal of Preventive Medicine and Hygiene, 59, 9-12.

Brewer, T, N., Chapman, B. G., Brownlee.,& Leventhal, A. E. (2002). Cholesterol control, medication adherence and illness cognition. British Journal of Health Psychology, 7, 433-477.

Clark, P. M., Karagoz, T., Apikoglu-Rabus, S., & Izzettin, F. V. (2007). Effect of pharmacist-led patient education on adherence to tuberculosis treatment. American Journal Health-System Pharmacology, 4, 497-507.

Clinical Practice Guidelines In the Spanish National. (2010). Clinical practice guideline on the diagnosis, treatment, and prevention of tuberculosis. Spain: Ministry of Scienc and Innovation.

Cramm, M. J., Finkenflügel, JM. H., Moller, V., & Nieboer, P. A. (2010). TB treatment initiation and adherence in a South African community influenced

(33)

24

more by perceptions than by knowledge of tuberculosis. BMC Public Health, 72, 1-8.

Daniel, M. T. (2006). The history of tuberculosis. Resporatory Medicine, 100. 1862-1870.

Deshmukh, D. R., Dhande, J. D., Sachdeva, S. K., Sreenivas, N. A., Kumar, V. M. A., & Parmar, M. (2018). Social support a key factor for adherence to multidrug-resistant tuberculosis treatment. Indian Journal of Tuberculosis, 65, 41-47.

Doenges, E. M., Moorhouse, F. M., & Geissler, C. A. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.

Farmer, T. (2005). Factors influencing adherence to tuberculosis directle observed therapy: A review of the literature. Prepared for Toronto Public Health, 1-42.

Girardi, E., Schepisi, S. M., Goletti, D., Bates, M., Mwaba, P., Yeboah-Manu, D., … Ippolito, G. (2017). The global dynamics of diabetes and tuberculosis; the impact of migration and policy implications. International Journal of Infectious Disease, 56, 45-53.

Herdiansyah, H. (2012). Metode penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Jain, A., & Dixit, P. (2008). Multidrug resistant to extensively drug resistant tuberculosis: What is next?.Journal Bioscience Indian Academy of Sciences, 33, 605-616.

Jianzhao, H., van den Hof, Susan., Lin, X., Yubang, Q., Jinglong, H., & van der Werf, M. (2011). Risk factors for non-cure among new sputum smear positive tuberculosis patients treated in tuberculosis dispensaries in Yunnan, China. BMC Health Service Research, 11, 1-7.

Jordao, L., & Vieira, V. O. (2011). Tuberculosis: New aspects of an old disease. International Journal of Cell Biology, 1-13.

Levesque, A., Li, Z. H., & Pahal, S. J. (2012). Factors related to patients’ adherence to medication and lifestyle change recommendations: Data from Canada.

Mittal, C., Gupta, SC. (2011). Noncompliance to DOTS: How it can be decreased. Indian Journal of Community Medicine, 36, 27-30.

Moleong, L. J. (2010). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(34)

25

Murray, F. J., Schraufnagel, E. D., & Hopewell, C. P. (2015). Treatment of tuberculosis. A historical perspective. Annals American Thorac Society, 12, 1749-1759

Naidodo, P., & Mwaba, K. (2010). Helplessness, depression, and social support among people being treated for tuberculosis in South Africa. Social Behavior and Personality. Societyfor Personality Research, 38, 1323-1334. Naidoo, P., Peltzer, K., Louw, J., Matseke, G., Mchunu, G., & Tutshana, B.

(2013). Predictors of tuberculosis (TB) and antiretroviral (ARV) medication non-adherence in public primary care patients in South Africa: sectional study. BMC Public Health, 13, 1-10.

Nellums, B. L., Rustage, K., Hargreaves, S., & Friedland, S. J. (2018). Multidrug-resistant tuberculosis treatment adherence in migrants: a systematic review and meta-analysis.BMC Medicine, 16, 1-11.

Ngamvithayapong, J., Uthaivoravit, W., Yanai, Akarasewi, P., & Sawanpanyalert, P. (1996). Adherence to tuberculosis preventive therapy among HIV-infected persons in Chiang Rai, Thailand. Rapid Science Publishers ISSN, 11, 107-112.

O. K. O., & E. J. K. (2015). Assessment of knowledge, attitude and tuberculosis-related social stigma among school adolescent in a semi-urban town in cross river state, Nigeria. International Journal of Education and Research, 3, 519-528.

Orr, P. (2010). Adherence to tuberculosis cara in Canadian Aboriginal populations. Part I: definition, measurement, responsibilitum barriers. International Journal of Circumpolar Health, 2, 113-127.

Osterberg, L., & Blaschke, T. (2005). Drug Therapy. Andherence to Medication. The New England Journal of Medicine, 353, 487-497.

Ray, S., Talukdar, A., Kundu, S., Khanra, S., & Sonthalia, N. (2013). Diagnosis and management of military tuberculosis: current state and future perspective. Dove Medical Press Limited, 9, 9-26.

Rutherford, M. E., Ruslami, R., Maharani, W., Yulita, I., Lovell, S., Crevel, R. Van., …Hill, P. C. (2012). Adherence to isoniazid preventive therapy in Indonesian children: A quantitave and qualitative investigation. BMC Research Note, 5, 1-7.

Samman, Y., Krayem, A., Haidar, M., Mimesh, S., Osaba, A., Al-Mowaalaad, A., Abdelaziz, M., & Wali, S. (2002). Treatment outcome of tuberculosis among Saudi nationals: Role of drug resistance and compliance. Clinical Microbiology Infection, 9, 289-294.

Sari, K. R. O. L. (2006). Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, 3, 1-7.

(35)

26

World Health Organization. (2003). Adherence to long-term therapies. Switzerland: WHO Library Cataloguing-in-Publications Data.

World Health Organization. (2018). End TB. Global tuberculosis reports. France: WHO

Young-Au, Y. K., Moon, D. G., Roberson, L. T., DiCarlo, A. L., Epstein, S. M., Weis, E. S., Rever, R. R., Engel, G. (2011). Early clinical experience with networked system for promoting patient self-management. The American Journal of Managed Care, 17, 277-287.

Referensi

Dokumen terkait

Suspensi ibuprofen yang dihasilkan mempunyai organoleptis, massa jenis dan viskositas yang tidak stabil setelah penyimpanan selama 30 hari. F2 mempunyai ketabilan fisik

Pendidikan program diploma, sarjana, di STMIK Bina Nusantara Jaya Lubuk Linggau diselenggarakan dengan sistem kredit semester dan diakhiri dengan ujian tugas akhir. Proses

Steers (1988) mengatakan, komitmen organisasi menjelaskan kekuatan relatif dari sebuah identifikasi individu dengan keterlibatan dalam sebuah organisasi. Komitmen menghadirkan

Dalam menyusun skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Marketing Mix dengan Communal Activation terhadap Keputusan Membeli untuk Meningkatkan Brand Loyalty pada produk Teh

Wajib mengadakan pertemuan atau tatap muka terjadwal dengan mahasiswa dalam kelas yang diampu sesuai dengan jadwal konseling yang telah ditetapkan.. Membina dan

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

RENCANA STRATEGI 2016-2021 Hidup Penyusunan Profil BLHD Kabupaten Tersedianya data profil BLHD Dokumen 1 BLHD Penyusunan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)

Pendidikan merupakan faktor penting dalam mendukung berkembangnya suatu bangsa. Pendidikan menunjang berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan ilmu