• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Sebagai pembanding, dalam penelitian ini peneliti menampilkan penelitian terdahulu baik berupa buku, tesis dan disertasi yang relevan dengan topik penelitian dan menjadi referensi kepustakaan yang peneliti anggab sesuai dengan penelitian.

Buku ”warna-warni tradisi Sasak Samawa Mbojo” (Naniek I. Taufan, 2012). Buku ini mendeskripsikan beberapa tradisi dalam kebudayaan masyarakat Nusa Tenggara Barat, termasuk di dalamnya tradisi ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige Kota Mataram. Tradisi ritual adat batetulak dalam buku ini dideskripsikan sejak awal proses dilaksanakannya acara ritual hingga akhir ritual, hanya gambaran deskripsi dan bersifat informasi saja, tidak ada analisa dan kajian makna di dalamnya.

Persamaan buku yang ditulis Naniek dengan penelitian ini adalah sama-sama menulis tentang ritual adat batetulak yang dilaksanakan oleh masyarakat Rembige, yang membedakan adalan tulisan Naniek hanya mendeskripsikan jalannya ritual adat batetulak tanpa menganalisis lebih jauh dengan metode penelitian ilmiah, sedang dalam tesis ini peneliti mengkaji ritual adat batetulak dari bentuk, fungsi dan makna

(2)

yang dikandungnya dengan metode kualitatif – interpretatis dan dengan pendekatan kajian budaya.

Buku ”Faradje‟ Ritual Bersih Negeri dari segala macam Marabahaya di Kalangan Masyarakat Melayu Kabupaten Sanggau” (2014). Buku yang ditulis oleh Tomi ini mendeskripsikan proses jalannya ritual Faradje‟ sejak awal hingga proses ritual selesai, sebelumnya ia menjelaskan sejarah lahirnya ritual faradje‟ dan mengurai makna di balik simbol serta bagian-bagian ritual. Faradje‟ merupakan ritual bersih negeri yang bertujuan untuk membersihkan negeri dari berbagai mara bahaya baik dari penyakit-penyakit yang disebabkan oleh lingkungan dan manusia maupun yang disebabkan oleh mahluk-mahluk halus.

Persamaan buku yang di tulis Tomi ini dengan tesis penulis adalah sama-sama mengkaji tentang ritual bersih negeri ( di Rembige Kota Mataram bernama ritual batetulak), sama-sama mencoba melacak sejarah, memotret proses ritualnya serta mencoba menggali makna-makna yang dikandungnya. Perbedaannya terletak pada kajian analisis, dibuku ini tidak menyinggung bagaimana varian keragaman pendapat masyarakat mengenai ritual faradje, bagaimana ritual ini sudah terkomodifikasi baik sengaja atau tidak oleh pihak pemerintah, sistem kapitalisme melalui pariwisata, sedang penulis dalam penelitian ini lebih jauh mengurai ritual batetulak dari berbagai sudut pandang dan pergulatan didalamnya dalam sebuah diskursus bukan hanya melihat sisi sakral seperti pendekatan antropologi tapi realitas keberadaannya

(3)

kini di tengah pergulatan masyarakat global yang kompleks dengan pendekatan kajian budaya.

Buku ”Semerbak dupa di Pulau Seribu Masjid Kontestasi, Integrasi, dan Resolusi Konflik Hindu-Muslim (2013) ditulis oleh Suprapto. Buku ini mengulas relasi antara komunitas etnis Bali yang beragama Hindu dengan etnis Sasak yang beragama Islam, penelitian ini mengurai akar-akar historis-sosiologis keberadaan etnis Bali di Pulau Lombok dan relasinya dengan etnis Sasak yang mayoritas beragama Islam di Pulau Lombok, lebih jauh buku ini mengurai akar konflik dan integritas sosial antar kedua etnis ini.

Model pembangunan yang hanya terkonsentrasi pada parameter-parameter ekonomis kerap memangkas nilai-nilai kearifan lokal masyarakat, padahal kearifan lokal tersebut – seperti ditunjukkan dalam buku ini- telah memberi kontribusi sangat berarti bagi penciptaan harmoni sosial. Pudarnya kearifan lokal masyarakat ditambah kurang tersedianya public space pada gilirannya menyumbang terbentuknya jarak sosial diantara kelompok masyarakat yang plural. Akibatnya, sejumlah unsur modal sosial pun menjadi melemah.

Salah satu bagian terpenting dari kajian mengenai konflik dan integrasi adalah penyelidikan mengenai pola-pola penanganan atau managemen konflik. Salah satu domain penting, tetapi banyak luput dari perhatian para elit dalam penanganan konflik adalah melalui pendekatan ”dari dalam” masyarakat sendiri. Masyarakat

(4)

sebenarnya memiliki kemampuan dan sensibilitas yang disebut ”kearifan lokal” dalam menjaga kelangsungan dinamika masyarakat termasuk mengantisipasi bahaya yang mengancam dan menyelesaikan konflik. Memberdayakan kearifan lokal sebagai alternatif solusi dalam penanganan konflik merupakan pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik.

Kearifan lokal, menurut John Haba sebagaimana dikutip oleh Irwan Abdullah, ”mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat dikenal, dipercaya, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial diantara warga masyarakat”. Setidaknya ada enam signifikasi dan fungsi kearifan lokal jika dimanfaatkan dalam resolusi konflik. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan lintas kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa, tetapi lebih merupakan kesadaran dari dalam. Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan sebuah komunitas. Kelima, kemampuan local wisdom dalam mengubah pola fikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dan meletakkannya di atas common ground. Keenam, kearifan lokal dapat mendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalkan anasir yang merusak solidaritas dan integrasi komunitas.

Kaitan buku ini dengan tesis penulis adalah penelitian dalam buku ini sama-sama di lakukan di kota Mataram, dalam buku ini dinamika sosio-kultural kota Mataram diurai dengan detail, selain persamaan tempat (Kota Mataram) sebagai

(5)

lokasi penelitian, dalam temuan Dr. Suprapto terkait relasi etnis Bali – Sasak di Mataram bahwa keberadaan pranata adat (kearifan lokal) menjadi faktor sangat penting terjadinya integrasi sosial pada kedua etnis yang berbeda agama ini. Persamaan dengan topik penelitian penulis adalah sama-sama mengkaji salah satu tradisi kearifan lokal yang ada di kota Mataram yaitu tradisi ritual adat batetulak. Kelurahan Rembige yang merupakan daerah dilaksanakannya ritual ini juga terdapat etnis Bali yang bermukim sejak lama di kelurahan ini, salah satu pesan yang dibawah oleh ritual ini adalah kerukunan dan saling menghargai antar etnis dan agama, dengan adanya kerukunan antar etnis dan agama ini maka lingkungan juga terhindar dari berbagai macam bala‟ atau malapetaka.

Perbedaan antara buku ini dengan penelitian penulis adalah dalam buku ini berfokus pada akar-akar konflik dan integrasi antara etnis Bali dan Sasak di kota Mataram dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan interdisipliner ( teologis – sosiologi – antropologis ) sedang penelitian penulis berfokus pada ritual adat batetulak dengan pendekatan kajian budaya dan metode kualitatif-interpretatif.

Tesis Putu Karina (2013), “Perubahan Ritual Matruna Nyoman pada Masyarakat Desa Tenganan Pagringsingan dalam Era Modernisasi” dalam tesis ini Karina menyimpulkan bahwa ritual Matruna Nyoman merupakan bagian dari ritual siklus hidup yang khusus diperuntukkan bagi anak laki-laki di Desa Tenganan Pagringsingan. Terdapat sebuah cerita , yakni “I Lelipi Selaan Bukit” yang berkembang di masyarakat desa tersebut dan menjadi sebuah dasar pijakan bagi

(6)

pelaksanaan ritual Matruna Nyoman. Masyarakat Desa Tenganan Pagringsingan menjadikan ritual ini sebagai media pembentukan karakter serta pelatihan kedewasaan agar siap memikul tanggung jawab sebagai krama desa.

Melalui ritual ini anak laki-laki ditempa selama satu tahun, baik fisik maupun mentalnya. Mereka melalui tahapan yang panjang dengan mengambil perumpamaan seperti siklus hidup seekor kupu-kupu yang dimulai dari ulat, kepompong, dan pada akhirnya menjadi seekor kupu-kupu. Ritual Matruna Nyoman juga seperti itu, para truna nyoman ketika mengikuti upacara kagedong diibaratkan sebagai seekor ulat yang masih berada di dalam kepompong dan tidak dapat dilihat siapa pun karena sifatnya kapingit. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara matamiang yang mengambil perumpamaan bahwa kepompong tersebut telah keluar, tetapi hanya sebagian.

Bagi masyarakat Desa Tenganan Pagringsingan, mengikuti ritual ini merupakan suatu keharusan karena nantinya berkaitan dengan sah tidaknya sebuah perkawinan. Jika seorang laki-laki menikah sebelum melalui prosesi ritual Matruna Nyoman, maka perkawinannya dianggap tidak sah. Selama mengikuti ritual ini para truna nyoman dibekali dengan pelajaran tentang kehidupan, bagaimana mereka harus bekerja sama antara anggota truna nyoman, bagaimana harus bersikap terhadap orang yang lebih senior, dan kedisiplinan. Di samping itu, mereka juga diajari mengenai adat istiadat dan budaya khas Desa Tenganan Pagringsingan.

(7)

Sebagai salah satu tradisi lokal (khas) ritual Matruna Nyoman, baik dalam historisnya maupun perkembangan zamannya, tampaknya tidak luput dari adanya perubahan-perubahan. Sentuhan modernisasi yang semakin mengglobal dalam kehidupan masyarakat mengakibatkan munculnya sikap pragmatisme dalam memaknai hakikat dari ritual, seperti kepraktisan, efisiensi, dan keberlanjutan. Implikasi dari sentuhan modernisasi terhadap bidang pendidikan, mata pencaharian, dan pariwisata di Desa Tenganan Pagringsingan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tersebut.

Persamaan dan perbedaan tesis Karina dengan penelitian penulis adalah sama-sama meneliti tentang ritual dengan pendekatan kajian budaya dan metode kualitatif, perbedaannya kalau lokasi penelitian Karina di Desa Tenganan Pagringsingan Karangasem sedang penelitian penulis di Kota Mataram Lombok, Karina melihat sisi pembentukan karakter selama proses ritual pada anak laki-laki yang sedang mengikuti ritual, sedang dalam penelitian penulis ritual dilihat dalam sebuah diskursus.

Desertasi Gede Arsana, “Eksistensi Jemaah Ahmadiyah Pascatragedi Ketapang Di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat” (2011). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif dan analisis interpretatif. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa kasus konflik Ahmadiyah di Lombok merupakan representasi dari keberlanjutan pergulatan wacana keagamaan (Islam) yang mensejarah. Problem dasarnya terpusat pada persoalan klaim kebenaran

(8)

(truth of claims) akibat perbedaan epistimologi dalam tafsir keagamaan. kesimpulan dari disertasi ini adalah keterpinggiran yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyah secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jemaah Ahmadiyah hidup dalam tekanan secara ideologis namun tetap berpegang teguh pada komitmen moral berkeyakinan Islam berdasarkan ajaran Ahmadiyah, dan menolak penyeragaman. Eksistensi Jemaah Ahmadiyah pascatragedi Ketapang berkembang semakin kompleks; dari seputar filosofi-teologis mengarah ke persoalan sosiologis, kultural dan politis.

Bila ditinjau dari segi kajian penelitian, hasil penelitian Gede Arsana memiliki persamaan dengan hasil penelitian yang peneliti tulis, yakni sama-sama menggunkan pendekatan kajian budaya dan analisis interpretatif yang menjadi acuan penulis dalam membedah ritual adat batetulak dari segi diskursus agama. Perbedaanya terletak pada objek dan lokasi penelitian, Gede Arsana berkaitan dengan eksistensi Jemaah Ahmadiyah di Lombok Barat, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berhunbungan dengan tradisi ritual adat batetulak di kelurahan Rembige Kota Mataram.

Buku ”Pergulatan Elit Lokal Representasi Relasi Kuasa dan Identitas” (Anom Kumbara, 2011). Dalam buku ini Kumbara memaparkan berbagai faktor yang menyebabkan kompleksitas sosial, budaya dan agama masyarakat Sasak, misalnya Sasak pra Islam yakni animisme dan dinamisme, hegemoni Bali, dan masuknya Islam berfikiran modernis dari Sulawesi. Selanjutnya, Kumbara menyoroti peran besar Tuan Guru di tengah masyarakat Sasak melalui pondok pesantren dan

(9)

pengajian-pengajian yang diasuh langsung oleh Tuan Guru. Atas peran sentral Tuan Guru, menurut Kumbara, melahirkan benturan dengan tokoh yang berasal dari aristokrat. Untuk mempertahankan kuasa, kedua kelompok ini menancapkan legitimasi melalui berbagai macam ruang dan cara. Tuan Guru, misalnya, mempergunakan ruang pendidikan, politik, dan ritual. Lain halnya dengan kelompok aristokrat yang mempergunakan adat, politik, kebudayaan, dan institusi adat. Disamping kedua kelompok ini, Kumbara menjelaskan bahwa ada kelompok di tengah masyarakat Sasak yang muncul dari semangat modern dengan mempergunakan budaya, adat, kesenian, agama, dan etnisitas sebagai alat penguatan kekuasaan.

Kesimpulan yang disampaikan Kumbara dalam buku ini adalah identitas masyarakat Sasak beragam dan kompleks. Dalam upaya penguatan identitas masyarakat Sasak, Kumbara melihat bahwa elit Sasak mempergunakan adat, budaya, agama, etnisitas, kesenian sebagai alat pencapaian tujuan kekuasaan. Disamping itu, globalisasi telah menumbuhkan semangat masyarakat Sasak untuk membangkitkan identitas kesasakan yang menurut Kumbara, model yang paling tepat adalah reaktualisasi dimensi kultural, modernitas, dan relegius dalam mengontruksi masyarakat Sasak yang Islami.

Buku ini fokus pada persoalan identitas, bagaimana identitas dikontruksi sebagai alat penguatan masyarakat Sasak, meski pada akhirnya kontruksi identitas tersebut diselewengkan sebagai alat legitimasi oleh elit masyarakat Sasak. Model ideal yang ditawarkan Kumbara, perlu mendapatkan respon pengkajian lebih

(10)

mendalam, karena model ideal apapun yang dijadikan rujukan, tidak akan sampai pada sasaran apabila konflik kepentingan elit Sasak terus berlanjut.

Persamaan dan perbedaan buku ini dengan tulisan penulis adalah sama-sama mengkaji tentang masyarakat Sasak beserta pergumulan idiologi yang terjadi didalamnya. Perbedaannya, kalau buku ini ditulis dengan pendekatan antropologi dengan lokasi penelitian di Sakra Lombok Timur, tulisan ini memakai pendekatan kajian budaya dengan lokasi penelitian di Kelurahan Rembige Kota Mataram.

2.2 Konsep

Konsep merupakan istilah atau kata yang berasal dari kata Latin concipire berarti mencakup, mengandung, menangkap. Secara luas konsep adalah abstraksi suatu peristiwa, gambaran mental suatu objek. Setiap kata, bahkan setiap simbol yang memiliki makna tertentu dapat dianggap sebagai konsep. Konsep dibangun atas dasar data, bukan sebaliknya (Kuta Ratna, 2013: 236). Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa konsep untuk menjelaskan pilihan judul dan arti dibaliknya serta tujuan pemahaman yang hendak penulis kaji selama penelitian yaitu “Diskursus ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat”.

(11)

2.2.1 Diskursus

Istilah wacana (diskursus) dalam penggunaan sehari-hari yaitu sekumpulan teks atau tuturan yang mempunyai arti. Dalam pengertian yang lebih teknis, wacana “menyatukan” bahasa dan praktik dan merujuk pada sejumlah cara dengan

aturan-aturan tertentu untuk berbicara tentang subjek yang lewatnya berbagai objek dan praktik mendapatkan makna.

Menurut Foucault wacana adalah salah satu cara untuk memahami realitas (dunia). Karena wacana merupakan jalan bagi kita untuk mengetahui dan menjelaskan realitas, maka wacana merupakan satu faktor penting yang membentuk kita (kuasa wacana). Wacana merupakan cara berfikir, cara mengetahui dan menyatakan sesuatu. Karena ada beragam cara berfikir, cara menyatakan sesuatu, maka wacana tidak tunggal tapi beragam (plural atau multivokal). Lagi pula menurut Foucault ada berbagai perspektif, kepentingan dan kuasa yang berbeda dalam membentuk wacana. (Lubis, 2014: 83).

Foucault berargumen bahwa wacana tidak hanya mengatur apa yang bisa dikatakan dalam kondisi-kondisi sosial serta kultural tertentu, namun juga siapa yang dapat bicara, kapan dan dimana. Lewat bekerjanya kekuasaan dalam praktik sosial, berbagai makna distabilkan, dijaga, dan diatur untuk sementara. Pembentukan wacana sendiri terjadi lewat keberulangan motif atau gugus ide, praktik-praktik, dan bentuk-bentuk pengetahuan yang meliputi sejumlah arena kegiatan manusia.

(12)

Peristiwa-peristiwa diskursif yang membentuk pola tertentu akan menampakkan objek yang sama di sejumlah wilayah pembahasan. Peristiwa-peristiwa diskursif tersebut mengatur “peta makna” (map of meaning) atau cara berbicara tertentu yang lewatnya sejumlah objek dan praktik memperoleh signifikasi (Barker, 2014: 79).

2.2.2 Ritual adat Batetulak

Kata ritual berasal dari kata rite yang artinya upacara atau tata cara. Selain kata rite ada kata ritus yang artinya tata cara dalam upacara keagamaan (Alwi, 2005 : 959). Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci (O‟Dea dalam Hadi, 2006: 31).

Van Gennep dalam Koentjaraningrat (1980 : 75--77) menyatakan bahwa semua ritus atau upacara dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yakni perpisahan atau separation, peralihan atau marge, dan integrasi kembali atau agregation. Berdasarkan data etnografinya tersebut diketahui bahwa ritus perpisahan sering kali berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan pengukuhan lebih sering berdiri sendiri lepas dari kedua ritus yang pertama. Berdasarkan fakta tersebut dapat dibedakan dengan saksama antara dua macam upacara religi, yaitu:

1. Upacara religi yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan.

(13)

2. Upacara religi yang bersifat integrasi atau pengukuhan.

Dari penjelasan ini ritual adat batetulak termasuk pada upacara religi yang bersifat integrasi atau pengukuhan, dalam ritual ini seluruh masyarakat kampung yang berpartisipasi meyakini bahwa dengan ritual ini kampung mereka akan terhindar dari berbagai malapetaka baik berupa penyakit fisik seperti wabah kolera dan lain-lain maupun penyakit yang disebabkan oleh mahluk halus, dengan ritual ini juga akan tercipta kerukunan sosial di lingkungan mereka.

Ritual adat batetulak adalah ritual adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Rembige sejak awal kedatangan Islam di Rembige. Ritual ini dilaksanakan pada awal bulan Muharram yaitu antara tanggal 1 - 10 setiap tahun. Tujuan diadakan ritual ini yaitu untuk melindungi kampung dari berbagai macam bencana sebelum bencana itu terjadi. kata tulak berarti kembali, yang artinya masyarakat Rembige berharap dengan berdo‟a dan melakukan ritual adat batetulak kampung mereka selamat dan aman.

Ritual ini berlangsung selama tiga hari, proses ritual dimulai dari pembacaan hikayat-hikayat (bakayat) sebelum jam 24.00 WITA, para pembaca hikayat duduk di brugak khas Sasak, mereka dikelilingi oleh para pendengar yang sebagian besar adalah generasi muda. Bakayat adalah tradisi sastra masyarakat Sasak di Lombok yang berupa pembacaan hikayat dengan cara menembangkan yang disertai terjemahan dan penafsiran dalam bahasa Sasak secara bergantian oleh penembang (pemace) dan tukang cerita (bujangge).

(14)

Acara puncak dari rangkaian ritual adat batetulak dilaksanakan tepat jam 00.00 dini hari dimana benda-benda pusaka peninggalan para penyebar Islam awal di Rembige yang berupa Al-Qur‟an, kitab ilmu fiqh, keris, tombak dan lain-lain diarak mengeliling kampung hingga dua kali putaran. Para pengarak terdiri dari para tokoh masyarakat diikuti oleh anggota masyarakat yang lain baik laki-laki maupun perempuan dari yang tua hingga generasi muda dan ada juga anak-anak.

2.2.3 Masyarakat Sasak Rembige

Masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang dianggap sama (Suyono, 1985 : 245). Perspektif sosiologi memahami masyarakat merupakan sekelompok orang yang bekerja sama dalam mengejar beberapa kepentingan dan tujuan bersama. Cuber merumuskannya sebagai sekelompok orang yang tinggal bersama dalam suatu waktu yang cukup lama sehingga ada susunan-susunan diantara mereka. Disamping itu, mereka melihat diri sendiri sebagai suatu unit tersendiri yang relatif berbeda dengan yang lain (Huky, 1982 : 71).

Dalam bahasa Inggris, masyarakat disebut society, berasal dari kata socius yang berarti kawan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan syirk, artinya bergaul. Adanya saling bergaul ini karena ada bentuk-bentuk aturan hidup, yang tidak disebabkan oleh manusia perorangan tetapi oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan. Wiratomo (1982: 5) mengungkapkan

(15)

bahwa masyarakat bukan hanya sekedar penjumlahan individu semata-mata melainkan suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antara mereka, sehingga menampilkan suatu realitas tertentu yang mempunyai ciri-ciri tertentu pula.

Masyarakat Sasak Rembige adalah masyarakat beretnis Sasak yang tinggal di kelurahan Rembige Kota Mataram. Asal usul mereka berasal dari Lombok Timur. Mereka mayoritas beragama Islam. Etnis Sasak memiliki pencirian utamanya ialah beragama Islam, mata pencarian utama ialah bertani. Dengan demikian, masyarakat Sasak dapat disebut sebagai masyarakat agraris relegius. Sebagai masyarakat agraris, masyarakat Sasak secara alamiah terbentuk dalam karakter naturalistik, yakni bergerak, mengembangkan diri berdasarkan perputaran alam. Karakteristik inilah yang telah melahirkan bentuk masyarakat Sasak sebagai kelompok manusia yang berpegang teguh pada nilai, baik nilai agama maupun nilai yang sengaja dibentuk oleh masyarakat Sasak sendiri untuk menjaga ritme barmasyarakat.

Dalam kondisinya sebagai masyarakat agraris, pada dasarnya masyarakat Sasak tidak dengan mudah menerima sesuatu yang bertentangan. Akan tetapi, dalam sudut pandang berbeda, masyarakat Sasak sebenarnya cenderung tidak dengan cepat melakukan atau merespon hal-hal yang bersifat pertentangan, terutama pertentangan antar kelompok masyarakat Sasak sendiri. Terlebih apabila dikaitkan dengan agama, masyarakat Sasak akan menampakkan kesetiaan, atau keteguhan memegang ajaran agama yang tersimpul dalam nilai agama maupun nilai budaya dan adat istiadat. Akan tetapi, dalam sudut berbeda masyarakat Sasak dengan mudah membuka diri terhadap

(16)

sesuatu yang baru, yang dibawah oleh kelompok lain meskipun tidak berarti langsung menerima total (Salman, 2013: 38). Masyarakat Sasak di Rembige memiliki beragam pekerjaan dan masuk dalam kategori masyarakat urban perkotaan. Mereka memiliki budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Rembige yakni tradisi ritual adat batetulak.

2.2.4 Diskursus Ritual Adat Batetulak

Menurut Foucault (Lubis, 2014: 83), diskursus merupakan salah satu cara bagi peneliti untuk memahami, mengetahui dan menjelaskan realitas. Hayden White (Lubis, 2014: 163), diskursus sebagai dasar untuk memutuskan apa yang akan ditetapkan sebagai suatu fakta dalam masalah-masalah yang dibahas, dan untuk menentukan cara paling sesuai untuk memahami fakta-fakta yang kemudian ditetapkan. Atas dasar itu, perlunya penggalian lebih dalam tradisi ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige di Kota Mataram sebagai salah satu kearifan lokal yang perlu dilestarikan berdasarkan tinjauan kajian budaya.

Indikator adanya diskursus ritual adat batetulak pada masyarakat Sasak Rembige adalah adanya kelompok masyarakat yang tetap mempertahankan tradisi ritual ini sebagai suatu warisan tradisi dari leluhur mereka (kelompok pro ritual), disisi lain ada kelompok yang kontra terhadap ritual ini karena dianggab tidak sejalan dengan ajaran Islam murni. Kelompok masyarakat yang cenderung pro terhadap ritual ini adalah mereka yang praktik keagamaannya lebih dekat pada Islam kultural sedang

(17)

kelompok masyarakat yang kontra terhadap ritual batetulak lebih dekat pada praktik berislam beraliran purifikasi (aliran wahabi). Di luar kedua kelompok di atas, ada wacana dari pemerintah Kota Mataram yang memiliki pandangan tersendiri terkait ritual adat batetulak yaitu dengan adanya ritual adat batetulak Kota Mataram sebagai kota relegius dan berbudaya semakin tanpak disamping juga sebagai aset budaya bagi Kota Mataram.

2.3 Landasan Teoritis

2.3.1 Teori Diskursus

Kata discourse berasal dari bahasa latin „discursus‟ yang berarti „lari kesana kemari‟, „lari bolak-balik‟. Kata ini diturunkan dari „dis‟ (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Jadi discursus berarti „lari dari arah yang berbeda‟. Dalam bahasa Indonesia kata diskursus disamakan dengan wacana. Secara etimologis, wacana berasal dari kata vacana (Sansekerta) berarti cara berbicara, pandai berbicara, nasihat perintah. Dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah mawecana (berbicara) seperti dilakukan oleh orang-orang terhormat.

Menurut Ricoeur (Kuta Ratna, 2013: 529) wacana adalah peristiwa bahasa. Bahasa adalah “house of being” atau “rumah ada”. Maksudnya, bahasa adalah jalan bagi kita untuk menjelaskan dan memahami realitas dan tidak ada jalan lain. Bahasa berkaitan dengan subjek tertentu tetapi wacana dengan intersubjektif sebab wacana

(18)

selalu ditujukan pada subjek lain, merupakan pesan dengan ciri arbitrer dan kontingental, bergantung pada sesuatu.

Menurut Foucault wacana adalah salah satu cara untuk memahami realitas (dunia). Karena wacana merupakan jalan bagi kita untuk mengetahui dan menjelaskan realitas, maka wacana merupakan satu faktor penting yang membentuk kita (kuasa wacana). Wacana merupakan cara berfikir, cara mengetahui dan menyatakan sesuatu. Karena ada beragam cara berfikir, cara menyatakan sesuatu, maka wacana tidak tunggal tapi beragam (plural atau multivokal). Lagi pula menurut Foucault ada berbagai perspektif, kepentingan dan kuasa yang berbeda dalam membentuk wacana. (Lubis, 2014: 83).

Dikatan oleh para poststrukturalis bahwa bahasa (wacana) berperan penting dalam membentuk subjek, maka ada beragam wacana yang dapat membentuk individu, khususnya wacana yang dominan pada era dan masyarakat tertentu. Jalinan, hubungan antara bahasa, pikiran, pengetahuan dan tindakan oleh Foucault disebut sebagai “praktik diskursif”. Wacana dengan demikian sesungguhnya mempromosikan aktivitas-aktivitas tertentu dalam kehidupan sosial. Ada lima tahapan dalam proses menganalisis ranah peristiwa diskursif (wacana). Pertama; memahami pernyataan menurut kejadian yang benar-benar khas, kedua; menentukan kondisi keberadaannya, ketiga; menentukan batas-batasnya; keempat; mengkorelasikannya dengan pernyataan yang lain yang mungkin terkait dengannya (misalnya, keterkaitan wacana

(19)

dengan politik, sosial, ekonomi dan lain-lain); kelima; menunjukkan bentuk lain dari pernyataan yang dikemukakan. (Ritzer:69; Foucault dalam Lubis, 2014:84).

Diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektifitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada dibalik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan diantara semua aspek tersebut (Foucault, 2002: 9).

Teori diskurus ini dipakai untuk mengungkap keragaman wacana ritual adat batetulak yang berkembang pada masyarakat Rembige Kota Mataram. Keragaman wacana ini tak lepas dari perkembangan pemahaman masyarakat terkait tafsir mereka terhadap agama dan kebudayaan yang terus berkembang.

2.3.2 Teori Relasi Kekuasaan - Pengetahuan

Teori relasi kekuasaan - pengetahuan ini bersumber pada pandangan Foucault tentang hubungan antara diskursus (discourse), kekuasaan (power), dan pengetahuan (knowledge), dalam hal ini bagaimana diskursus mampu menjadi alat berkuasa (Erlinda, 2011: 38).

Foucault (dalam Hoed, 2011:284) berpendapat bahwa melalui wacana, seseorang, sekelompok orang, atau suatu lembaga dapat merealisasikan kuasa (baca: power). Untuk merealisasikan kuasa tersebut, seperti yang dikatakan oleh Foucault, tidak selalu diperoleh melalui fisik (badaniah atau senjata), tetapi juga melalui pengetahuan yang dimiliki. Foucault menempatkan kuasa dalam konteks sejarah dan

(20)

pengetahuan. Dalam sejarah manusia, kuasa diperoleh dengan menguasai pengetahuan. Para penguasa (baik dalam masyarakat primitif, tradisional, maupun perkotaan) memiliki kuasa terhadap yang dikuasainya, bisa karena kekuatan fisiknya; tetapi terutama karena menguasai pengetahuan yang lebih daripada mereka yang dikuasai (Hoed, 2011:284).

Kuasa dapat diperoleh dengan kekuatan fisik atau kekuatan keras (hard power), kekuatan ekonomi, atau kekuatan nonfisik atau kekuatan lunak (soft power). Dalam pelaksanaannya, kekuatan lunak dioperasikan melalui wacana, yakni dalam relasi antara dua pihak atau dalam sebuah struktur (mental) yang menguasai kita (Hoed, 2011:285).

Kekuatan lunak berada dalam struktur “kuasa” (power structure) dan sekaligus - ditinjau dari kacamata semiotik - sejumlah unsur budaya seseorang, sekelompok orang, atau suatu lembaga yang memiliki “kuasa” merupakan tanda simbolik yang disepakati dan patut ditiru oleh sebagian besar sekelompok orang atau masyarakat atau suatu bangsa yang dikuasai. Ketika tanda simbolik itu menguasai kita, terjadilah struktur mental yang menguasai diri kita atau suatu bangsa (Hoed, 2011:286).

Teori ini digunakan untuk mengungkap strategi kelompok wahabi dalam berwacana untuk menentang praktik ritual adat batetulak yang sudah lama dijalankan oleh masyarakat Kelurahan Rembige Kota Mataram. Dengan dalih pengetahuan

(21)

syariat agama mereka yang lebih murni (purifikasi) kelompok wahabi berusaha mewacanakan bahwa praktik ritual batetulak termasuk kategori bid‟ah.

2.3.3 Teori Semiotika

Berbicara tentang teori semiotika, meski dimulai dengan pemahaman tentang teori kebudayaan yang memiliki berbagai keragaman yang dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu perspektif perkembangan sejarah dan perspektif konseptual. Perspektif perkembangan sejarah melihat kebudayaan sebagai proses dinamika manusia dan nilai-nilai budayanya dalam pergumulan waktu atau dalam istilah antropologi di kenal dengan pendekatan diakronis, sedang kebudayaan perspektif konseptual lebih melihat kebudayaan sebagai hasil atau kekinian, dalam antropologi dikenal dengan pendekatan akronis. Pusat perhatian ilmu pengetahuan budaya adalah manusia sebagai mahluk budaya hasil perkembangan historis dan ideografis. Ilmu pengetahuan budaya berupaya memahami manusia yang bersifat lokal dengan simpati dan empati dalam perspektif kontekstual (Masinambow, 2004: 8).

Pengkajian terhadap perilaku budaya dalam masyarakat dengan tradisi lisan penting diperhatikan untuk menemukan makna tradisi dalam kehidupannya. Kebudayaan menurut konsep di atas berada di dalam kelompok yang mempertahankan kehidupannya secara seimbang dengan berbagai upacara dalam siklus hidup seperti kelahiran, perkawinan, kematian, tolak bala, dan lain-lain.

(22)

Banyak kode-kode budaya sebuah masyarakat yang dapat dicermati dalam sistem semiotik dan hermeneutik.

Seperti halnya tradisi ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige merupakan suatu budaya yang hidup dalam kehidupan mereka yang terus dipertahankan karena dianggab sebagai suatu bentuk upacara atau ritual tersendiri bagi mereka. Tentunya pemertahanan tradisi itu, mengandung nilai atau makna bagi kelangsungan hidup sehari-hari.

Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Ini berarti segala sesuatu yang hadir dalam kehidupan kita sebagai tanda, dan seharusnya diberi makna (Hoed, 2008: 3). Teori semiotik dikembangkan oleh beberapa ahli dengan latar belakang pemikiran dan disiplin ilmunya masing-masing. Namun secara garis besar pandangan mereka tentang tanda dapat digolongkan menjadi dua yaitu tanda tersebut dilihat sebagai semiotik struktural (bertumpuk pada structuralisme de Saussure) dan semiotik pragmatis.

Merujuk pada Pierce, para pragmatis melihat tanda sebagai yang mewakili sesuatu. Yang dimaksud “sesuatu” dapat berupa hal konkret ditangkap oleh panca

indera manusia, kemudian setelah melalui proses, mewakili sesuatu yang ada dalam kognisi manusia. Dalam teori Pierce, sesuatu yang konkret adalah suatu perwakilan yang disebut representamen, sedangkan sesuatu yang ada dalam kognisi disebut object. Proses hubungan kedua inilah yang disebut simiosis (tanda). Selanjutnya

(23)

Ferdinand de Saussure (Pradotokusumo, 2001: 9-10), dalam pengertian dasar linguistik bertolak dari dikotomi yang dalam bahasa Perancis disebut langue dan parole serta significant dan signifie. Langue adalah sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat, sementara parole penggunaan bahasa secara individual. Adapun signifiant (Inggris: signifier „penanda‟) adalah aspek formal atau citra akustik, bunyi bahasa sebagai tanda, sedangkan signifie (Inggris: signified „petanda‟) adalah aspek pemaknaan atau konseptual. Dua aspek significant dan signifie ini membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan, yang disebut tanda. Tanda mempunyai beberapa aspek yang khas, yakni tanda itu arbitrer, konvensional, dan sistematis. Bahasa bukanlah satu-satunya tanda. Lebih jauh Aart van Zoest mengembangkan tanda dari Pierce, ia menyatakan bahwa tanda itu merujuk pada sesuatu atau mewakili sesuatu. Jadi tanda itu, mempunyai sifat representatif, yaitu mewakili sesuatu. Tanda tidak dapat dipisahkan dari sifat representatif, tanda juga mempunyai sifat interpretatif, yaitu menafsirkan.

Menurut Pilliang (2008: 46), semiotika tidak saja sebagai “metode kajian” (decoding), tetapi juga sebagai “metode penciptaan” (ecoding) dimana ia termasuk sebuah disiplin keilmuan yang mempelajari “ilmu tentang tanda” (the scince of sign) dalam semiotika ini memiliki sistem, aturan, prinsip dan prosedur keilmuan yang khusus dan bersifat baku. Namun semiotika bukanlah ilmu yang mempunayi sifat lebih dinamis, dan terbuka dari berbagai interpretasi, dalam logika semiotika

(24)

interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya sebuah logika, melainkan berdasarkan kelogisan interpretasi dimana satu lebih masuk akal dari yang lainnya.

Dalam konteks semiotika, Geertz menawarkan cara penafsiran kebudayaan dengan memaparkan konfigurasi atau sistem simbol-simbol bermakna secara mendalam dan menyeluruh. Geertz berkesimpulan bahwa simbol-simbol yang tersedia di kehidupan umum sebuah masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarakat yang bersangkutan melihat, merasa, dan berfikir tentang dunia mereka dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Bagi Geertz, kebudayaan adalah semiotik; hal-hal yang berhubungan dengan simbol yang tersedia didepan umum dan dikenal oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Simbol adalah suatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran berikutnya dibagikan oleh dan kepada warga masyarakat dan diwariskan kepada anak cucu (Sukanto, 1993: VI-VII).

Semiotik dan hermeneutik merupakan dua sumber pengaruh terhadap teori kebudayaan (Hoed, 2004: 22) yang memberikan ciri eksistensi realitas objektif dalam pembentukan tanda. Baik semiotik ala Barthes (struktural) maupun Pierce (semiosis) melihat adanya proses primer expression, relation, dan content pada Barthes dan relation dan objek pada Pierce, tetapi berlanjut pada proses penafsiran dapat kita identifikasi sebagai “proses sekunder” (konotasi pada Barthes dan interpretan pada Pierce) (Hoed, 2004: 57). Karena itulah penelaahan dengan teori semiotik budaya lebih lengkap apabila diteruskan dengan kajian hermeneutik atau interpretasi sebuah wacana.

(25)

Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Hermeneia berarti penafsiran atau interpretasi. Hermeneutik pada dasarnya berhubungan dengan bahasa. Kita berfikir melalui bahasa; kita berbicara dan menulis dengan bahasa; kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa. Hermeneutik adalah cara untuk bergaul dengan bahasa (Sumaryono, 1999: 27) sebagai sebuah teks baik lisan maupun tulisan. Kebudayaan sebagai sistem semiotik atau sebagai teks sebagaimana ditegaskan oleh Geerts mengikuti pandangan Pierce yang menempatkan tanda dan acuannya (referent) diluar pengguna tanda itu, yaitu ke unsur-unsur dari realitas ekstrim (Masinambow, 2004: 18) untuk menjelaskan ikon, ideks, dan simbol (Kuta Ratna, 2006: 106).

Penjelasan semiotika berdasarkan konsep ikon, indek, dan simbol dilanjutkan dengan interpretasi makna menurut Richard E. Palmar dan Frederich Ast (2003: 87), hermeneutika adalah teori yang mengangkat makna spiritual (geistige) teks. Partisipasi umum kita dalam geist adalah alasan mengapa kita dapat memahami makna tulisan yang ditransmisikan dari antiquitas. Geist adalah titik tolak semua kehidupan dan prinsip-prinsip permanennya. Tugas ini secara ekplisit dibagi oleh Ast ke dalam tiga bagian: 1) historis, yaitu pemahaman yang terkait dengan isi sebuah karya, yang dapat berupa karya artistik, saintis, atau umum; 2) gramatis, yaitu pemahaman yang terkait dengan bahasa, 3) geistige, yaitu pemahaman karya yang terkait dengan pandangan utuh sang pengarang dan pandangan geist masa itu.

(26)

Atas dasar uraian teori semiotika di atas, bahwa semiotik merupakan suatu budaya, suatu pesan atau tanda yang digunakan dalam membedah makna-makna budaya dalam keseluruhan struktur dan diinterpretasikan makna yang terdapat dalam tradisi ritual adat batetulak pada masyarakat Rembige. Hal ini dilakukan untuk mengetahui makna yang tersembunyi di dalamnya, sehingga masyarakat umum dan generasi muda sebagai pewaris serta penerus nilai-nilai budaya tersebut bisa menjadikannya sebagai pedoman hidup dalam kehidupan bermasyarakat.

(27)

2.4 Model Penelitian

Model penelitian ini dimaksudkan untuk menunjukkan dan menggambarkan pola berpikir dalam masalah penelitian secara keseluruhan. Model penelitian tersebut dapat digambarkan melalui bagan berikut.

Agama dan Modernisasi - Purifikasi Syari‟at - Pendidikan - Pengetahuan - Tradisi - Proses Pelaksanaan - Sarana & Prasarana

Masyarakat dan Budaya Lokal

Rembige

Diskursus Ritual Adat Batetulak pada Masyarakat Rembige Bentuk Diskursus ritual adat batetulak Mengapa terjadi diskursus ritual adat batetulak Implikasi diskursus ritual adat batetulak pada Masyarakat Rembige Strategi Pewarisan Ritual Adat Batetulak

pada Masyarakat Rembige

(28)

Keterangan:

:Menyesuaikan : Memengaruhi atau Menjadikan

: Relasi

Penelitian ini berangkat dari keberadaan ritual adat batetulak yang menjadi bagian budaya masyarakat Kelurahan Rembige. Kelurahan Rembige sendiri merupakan kelurahan atau desa tua yang masyarakatnya sejak awal mengalami proses islamisasi di Pulau Lombok. Di kelurahan ini terdapat tradisi lokal yakni ritual adat batetulak yang telah dilaksanakan secara turun temurun.

Ritual adat batetulak dipercaya oleh masyarakat Rembige bisa melindungi kampung mereka dari berbagai gangguan atau marabahaya baik berupa gangguan penyakit fisik yang disebabkan oleh lingkungan dan manusia maupun gangguan non fisik akibat mahluk-mahluk halus. Oleh karena itu ritual ini diikuti oleh hampir seluruh masyarakat Rembige baik laki-laki, perempuan, generasi tua, generasi muda hingga anak-anak. Seiring dengan berkembangnya zaman, ketika kelompok-kelompok yang memahami agama Islam dari sudut pandang baru yakni idiologi wahabi hadir di Kelurahan Rembige dengan dalih pemurnian Islam (purifikasi) sebagian kecil masyarakat menganggab bahwa ritual ini tidak sejalan lagi dengan agama Islam, ritual ini dianggab bid‟ah atau menyimpang dari ajaran agama.

(29)

Dengan hadirnya paham wahabi di Rembige maka muncul tafsir baru tentang ritual adat batetulak, keragaman tafsir ini melahirkan wacana (diskursus) yang disatu sisi mencoba mempertahankan tradisi ritual adat batetulak sebagai warisan yang sudah ratusan tahun dilaksanakan, disisi lain ada pihak yang menolak atau tidak setuju akan keberadaan ritual adat batetulak karena dianggab menyimpang dari ajaran agama Islam (bid‟ah).

Dari bagan di atas, penelitian ini mengurai bentuk diskursus (wacana) yang berkembang tentang ritual batetulak saat ini di Rembige, faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya wacana tersebut, kemudian danpak dan makna dari adanya wacana serta ritual adat batetulak bagi masyarakat Rembige, dan terakhir peneliti urai strategi pewarisan ritual ini antar generasi.

Referensi

Dokumen terkait

1(. Sebuah ledakan terjadi pada daerah industry perkebunan yang melibatkan 4 orang korban luka. Korban manakah kondisi tersebut yang harus perawat putuskan untuk dibawa ke rumah

R4.19 Kalo dari conference call for paper itu eemm pengetahuan tentang bahasa mungkin mas ya karena bahasa Inggris ini kan luas tidak hanya dari Amreika saja dari British saja

Berdasarkan keterangan setelah melakukan penelitian, rata-rata responden menyatakan bahwa factor yang melatar belakangi larangan nikah tersebut adalah, pertama, dikhawatirkan

Penyinaran Ultraviolet Dalam Produksi Selulosa Mikrokristalin Dari Bahan Alam (Kaji Ulang Literatur)” dapat terselesaikan dengan baik.. Penyusunan skripsi ini

Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.. Ilmu Patologi, Penerbit

Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jobdesk seorang staff marketing, upaya yang telah dilakukan Agrowisata Jollong dalam melakukan promosi dari

Begitu pula, suatu gerak konduktor di dalam medan magnet akan membangkitkan tegangan e = B l V dan bila dihubungkan dengan beban, akan mengalir arus listrik I atau

Zaskrbljenost je vrsta strahu, ki ga doţivljamo, kadar ocenimo, da bi neka okoliščina, ki je ne poznamo ali nimamo kontrole nad njo, lahko ogrozila nekaj, kar nam je pomembno ali za