• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Tinjauan Pustaka.

Posisi teori dan konsep adalah sebagai elemen dasar yang memberikan batasan-batasan pengertian di dalam penelitian sosiologi. Konsep-konsep yang saling berhubungan akan membentuk proposisi. Sementara itu teori merupakan sebuah sistem dari antar hubungan (interrelated) antara konsep dan proposisi. Teori ini berfungsi memberikan penjelasan pola logis (logical pattern) terhadap perilaku manusia.1 Oleh karena itu, untuk memberi gambaran kesamaan pemahaman teori dan konsep didalam penelitian, maka Bab ini menguraikan kedua hal tersebut.

2.1.1. Nilai-Nilai Budaya, Pembangunan dan Modernisasi

Modernisasi merupakan sebuah isyu dalam rangka pencapaian proses pembangunan pasca berakhirnya perang dunia (PD II), yang melibatkan beberapa ilmuan sosial barat sebagai sebuah tantangan untuk memiliki model pembangunan dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi di negara barat. Pada awal 1950-an mulai muncul berbagai varian dari konsep modernisasi dan pada akhir 1960-an berbagai disiplin ilmu berhasil mengembangkan konsep modernisasi ini. Namun menjelang akhir 1970-an perkembangan konsep modernisasi mulai menurun. Kekurangan dan kelemahan konsep modernisasi semakin tampak nyata sehingga kaum ilmuan sosial mulai mencari paradigma alternatif.

Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Negara maju semakin banyak menjadi sponsor pembangunan negara berkembang. Konsep modernisasi ternyata mempunyai beberapa kelemahan apabila diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor pembeda yang utama antara negara dunia kedua dan ketiga. Modernisasi walaupun berhasil memajukan perekonomian negara dunia kedua namun gagal mewujudkan hal yang sama pada negara dunia kedua. Bagi negara dunia ketiga modernisasi tak ubahnya dianggap

1

(2)

sebagai “westernisasi”. Modernisasi dianggap telah menghilangkan nilai - nilai budaya yang ada. Modern dipandang sebagai perilaku hidup yang digambarkan oleh masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara dimana terdapat pandangan yang rasional terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Selanjutnya modernisasi akan menghasilkan suatu pola perkembangan pembangunan dengan mendifusikan secara aktif segala sesuatu yang diperlukan dalam pembangunan, terutama nilai-nilai „modern‟, teknologi, keahlian, dan modal. Disisi lain, industrilasiasi, ekspansi modal yang merupakan bagian dari modernisasi adalah merupakan salah satu faktor penyebab yang akan mentarnsformasikan secara cepat ketertinggalan, atau kemunduran tradisi dalam suatu komunitas pedelaman pedesaan. Pemikiran mengenai pembangunan berhubungan dengan beberapa ide tentang kemajuan, yang melibatkan suatu perubahan, mungkin sebuah evolusi, dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Di sisi lain penganut teori modernisasi melihat industrialisasi kapitalis sebagai jalur paling efektif dari pembangunan, kurang tulus dan bermoral dalam hubungannya dengan kesejahteraan manusia daripada penganut teori underdevelopment (dan teori lainnya) yang menekankan kesamaan dalam distribusi dan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar.

Kemudian, apakah perbedaan antara pembangunan dan modernisasi? Pembangunan adalah sebuah perubahan menuju status yang dihargai, yang mungkin atau tidak mungkin diperoleh pada beberapa konteks sosial lain dan yang tidak mungkin terjangkau. Modernisasi merupakan suatu proses yang sama. Ia merupakan sesuatu yang terjadi secara aktual, baik atau buruk: rangkaian dari pola dengan konsekwensi yang dapat digambarkan, diargumentasikan dan dievaluasi. Jika dinilai sebagai baik atau progresif, perubahan dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap pembangunan, namun tidak perlu dievaluasi dengan cara ini.

Menurut Schoorl, modernisasi itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Modernisasi itu adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara-negara berkembang dan dapat dilakukan jika bersentuhan dengan negara-negara maju. Hal ini didasarkan pada bahwa modernisasi itu adalah sesuatu yang baik. Michael dove sepakat bahwa kemajuan itu harus mengacu pada dunia-dunia maju. Namun, tidak semua modernisasi itu merusak nilai-nilai tradisional, dalam beberapa hal terdapat adaptasi.Hal ini dasarkan pada kajian historis. Padahal,

(3)

jangan-jangan proses modern itu tidak seperti di negara-negara maju. Namun, kenyataannya modernisasi memang telah menggerus tatanan tradisional masyarakat. Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat beberapa konsep kunci sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses modernisasi seperti industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi, perubahan struktur masyarakat baik melalui kemajuan politik maupun mobilitas penduduk, perkembangan teknologi sebagai peningkatan pengetahuan.

Menurut Schoorl asumsi-asumsi dasar modernisasi sesuatu masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.

Batasan gejala modernisasi dapat dilihat dari pertanggungjawaban ilmiah dalam menerapkan pengetahuan, sejauh mana struktur sosio-politik masyarakat dan lainnya. Modernisasi sama artinya dengan evolusi bila dibatasi pada perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan. Namun menurut Linton, modernisasi dan masyarakat modern itu dapat bermacam-macam arahnya. Tergantung pada nilai-nilai dan norma-norma yang digunakan apakah modernisasi tertentu itu juga dipandang sebagai kemajuan atau bukan.

Proses evolusi merupakan pertumbuhan yang mutlak dan manusia sesuai dengan posisi dan situasinya, sampai batas-batas tertentu bertanggung jawab atas perkembangan masyarakat dan kebudayaannya. Dube (1988), mengatakan Ciri manusia modern ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan nilai pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan menghasilkan inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan hubungan yang selaras antara kepribadian dan istem sosial budaya. .

Modernisasi yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan untuk membangun masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan mengaanggap kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan bahkan sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia semakin terbelakang bahkan semakin carut-marut akibat masuknya budaya-budaya asing yang menghancurkan indegenous knowledge masyarakat lokal. Pemerintah secara sepihak telah memutuskan bentuk pembangunan yang dilakukan di Indonesia tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan. Dalam hal ini,

(4)

oleh pemerintah masyarakat dijadikan obyek pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan sehingga masyarakat tidak pernah dilbatkan secara langsung. Masuknya beragam program pemerintah untuk mengubah kondisi masyarakat dari keadaan terbelakang menuju kepada sebuah kemajuan, menjadikan masyarakat terpaksa meninggalkan nilai-nilai kulturalnya. Pemerintah selalu menganggap kondisi masyarakat adalah sebuah kondisi yang harus mendapat pembenahan. Ternyata pembenahan yang dilakukan pemerintah terkadang menjadi negatif setelah dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki nilai kultural yang bertolak belakang dengan program pembangunan pemerintah. Dampak yang ada di masyarakat sebagai akibat dari pembangunan, yang tidak jarang berdampak negatif, di jelaskan oleh penulis sebagai sebuah biaya yang harus menjadi tanggungan masyarakat dari pelaksanaan pembangunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Pada akhirnya, perhatian khusus yang menjadi fokus adalah kultur masyarakat lokal yang sebenarnya tidak bertentangan dengan pembangunan bahkan lebih bijak dibandingkan program-program bentukan pemerintah, selalu terlupakan. Oleh karenanya kita mencoba membuktikan bagaimana kultural masyarakat dalam berbagai aspek, ternyata lebih bermanfaat dibandingkan nilai baru yang bahkan menyebabkan kehancuran masyarakat

Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.

Dove Michael R (1985), dalam penelitiannya di membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan

(5)

tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.

Sajogyo justru kemudian membahas proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.

2.1.2. Kelembagaan Pembangunan dan Komunitas Petani

Kehidupan masyarakat mengenal seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di kalangan masyarakat pedesaan, lembaga-lembaga ini dikembangkan melalui tradisi, yang berbeda dengan ciri pengembangan organisasi atau kelembagaan modern yang dibawa oleh penguatan birokrasi pemerintahan. Oleh karena pemerintah memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana yang efektif untuk percepatan pengorganisasian pembangunan pedesaan. Uphoff (1986) memberikan gambaran bahwa selama kurun waktu yang panjang lembaga donor internasional mengakui akan pentingnya pengembangan kelembagaan pembangunan di pedesaan untuk mencapai tujuan pembangunan.

Pengertian atau konsep kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan yang kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi karena kini mulai banyak ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam

(6)

bidang sosiologi, kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku dan adat istiadat.

Secara umum, lembaga, apakah itu organisasi atau bukan merupakan kompleks dari norma dan kebiasaan yang telah berlangsung sepanjang waktu melalui kegunaan nilai pelayanan kolektif. Studi lembaga memfokuskan pada peraturan yang tajam dari kebiasaan dari pada pada peranan. Uphoff, (1986) mengatakan bahwa kelembagaan meruapakan suatu himpunanan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Menurut Uphoff, (1986) institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat.

Menjelaskan tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya mengarahkan pandangan orang lebih kearah sebuah organisasi, wadah maupun pranata. Akan tetapi organisasi adalah wadahnya saja, sedangkan pengertian lembaga atau kelembagaan mencakup juga mengenai aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau sistem. Terdapat beberapa kelembagaan dalam masyarakat desa, yang dilaksanakan dengan keras, terutama melalui paksaan sosial yang didasarkan pada interaksi sosial. Selanjutnya kelembagaan itu berubah sebagai reaksi terhadap berubahnya kelangkaan relatif sumber-sumber daya yang di dalam komunitas tidak hanya tergantung pada penyediaan sumberdaya, tetapi juga pada kondisi teknologi dan pasar. Kelembagaan memudahkan koordinasi dan kerjasama diantara masyarakat desa dalam pemakaian sumber daya, dan merupakan aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sangsi oleh anggota masyarakat, Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi. (1987). Beberapa kelembagaan ketenagakerjaan yang mengatur hubungan antar majikan atau pemilik lahan dengan buruh antara lain dikenal dengan anama hunusan di pedesaan Philipina, mapalus dipedesaan Sulawesi Utara, Kedokan/Ceblokan/ngepak ngedok dan Lebotan di daerah pedesaan jawa tengah dan barat. Menurut Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi (1987), untuk melihat aspek kelembagaan juga di analisis pada cirri-ciri organisasi dan kelembagaan masyarakat desa yang melatarbelakangi dinamika ekonomi yang hidup di pedesaan. Dinamika tersebut dapat dilacak dari gaya desa dalam produksi dan pertukaran, interaksi sosial, pendekatan ekonomi dari sudut moral, dan struktur sosial yang terbentuk. Kelembagaan yang di analisis Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi secara khsusus adalah hubungan kontrak

(7)

antara petani dan buruh tani yang dikembangkan dalam satuan usahatani keluarga (rumah tangga) petani. Hubungan “bapak anak buah” antara petani dan buruh tani itu digambarkan sebagai kompleks beragam kaitan pasaran dengan saling mengenal pribadi dimana syarat ekonomi dan efisiensi dapat terjamin.

Ada beberapa definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai perspektif keilmuan. Misal, Ruttan dan Hayami (1984) menyatakan, bahwa kelembagaan sebagai aturan didalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka denagn harapan dimana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang di inginkan. Sedangkan Uphoff, (1986) membatasi pengertian sebagai suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama, insitusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat. Pendefinisian lembaga ini dapat juga merujuk pengertian sebagai aturan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain (Ostrom, 1985).

Umumnya definisi kelembagaan mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Dengan demikian, menjadi penting memahami kelembagaan didalam konteks pembangunan.

2.1.2.1. Komunitas Petani.

Tiga konsep tentang petani yang pada umumnya masih berbeda. Pertama, istilah petani menunjuk kepada penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apa pun kerjanya. Kedua, pandangan yang lebih terbatas dibanding konsep pertama, seperti dalam James C. Scott (1976). Menurutnya definisi petani tidak mencakup seluruh penduduk pedesaan, tetapi hanya menunjuk kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Artinya petani

(8)

adalah orang yang bercocok tanam (melakukan budidaya) di lahan pertanian. Ketiga, pandangan yang mengikuti Wolf, menurutnya petani adalah segolongan orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan pertanian guna menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan dijual (Wolf, 1985).

Ketiga konsep di atas cenderung menimbulkan pertanyaan. Setidaknya jika petani mencakup seluruh penduduk pedesaan. Disadari bahwa belum tentu seluruh penduduk pedesaan itu adalah petani. Berkaitan dengan hal tersebut Marzali (1999), memberikan konsep petani (peasant) agar dapat dioperasionalkan sesuai konteks Indonesia. Menurutnya, petani ditinjau dari proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat manusia, maka dapat dibagi dalam tiga ciri-ciri khusus. Pertama, secara umum petani berada di antara masyarakat primitif dan kota (moderen). Kedua, petani adalah masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas pedesaan. Ketiga, dipandang dari sudut tipe produksi, termasuk di dalamnya teknologi dan mata pencaharian, maka petani berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani moderen (farmers).

Petani primitif dan petani (peasant) perbedaannya pada teknologi yang digunakan. Petani primitif menggunakan peralatan sederhana seperti tugal dan golok, sedangkan petani telah menggunakan cangkul (pacul), garu dan bajak.

Perbedaan antara petani dengan petani modern terletak pada sifat usahatani yang dilakukan. Petani berusahatani dengan bantuan keluarga dan hasilnya juga untuk keluarga. Sedangkan petani modern berusahatani dengan bantuan tenaga buruh tani dan bertujuan mencari keuntungan. Produksi tidak hanya untuk keluarga, justru sebagian besar dijual ke pasar guna mendapatkan keuntungan. Singkatnya, dikatakan oleh Wolf (1985) bahwa, petani berusahatani keluarga, sedangkan petani modern berusahatani dengan prinsip ekonomi perusahaan (komersil). sedangkan, kesamaannya dari keduanya adalah sama-sama mempunyai hubungan dengan kota secara politis, ekonomis dan kultural.

Berbagai konsep petani tersebut, mengisyarakatkan bahwa petani tidak lepas dari komunitas. Istilah komunitas pun mempunyai makna beragam, setiap segi-segi pengertiannya mempunyai arti yang sama penting. Redfield dalam Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa, umumnya antropolog memandang komunitas dari sudut pandang ekologis. Dari sudut pandang ini komunitas didefinisikan sebagai satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi yang bulat. Keterikatan pada tempat ini kemudian dikenal dengan sebutan

(9)

kesatuan hidup setempat, yaitu yang lebih terikat pada ikatan tempat kehidupan daripada ikatan lain seperti kekerabatan, kepercayaan dan sejenisnya. Tinjauan aspek ekologis menekankan pada segi ruang (spasial) dari komunitas. Sehingga penting memperhatikan batas-batas ruang komunitas. Berkaitan dengah hal itu Sanders (1958) membagi komunitas menjadi empat tipe. Pertama, komunitas pedesaan yang terisolir dan relaltif mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Kedua, komunitas kota kecil dan ketiga, komunitas urban serta yang keempat, sub-komunitas metropolitan. Dari keempat jenis sub-komunitas tersebut, biasanya komunitas pedesaan yang banyak menarik perhatian. Umumnya hal ini dikarenakan komunitas pedesaan lebih memiliki sifat isolasi dan swadaya dibandingkan dengan komunitas lainnya.

Berbeda dengan Redfield, selain menekankan aspek ekologis Sanders juga menekankan komunitas sebagai sistem sosial. Konsep ini tidak hanya membatasi komunitas pedesaan yang cenderung terisolasi, namun aspek ekologis juga tidak dilupakan, dan segi-segi lain yang membentuk pengertian komunitas juga dikemukakan. Misalnya komunitas sebagai suatu ruang maka, dalam dirinya juga terbentuk suatu arena interaksi. Artinya sebagai suatu tempat untuk berinteraksi maka, komunitas tidak hanya melibatkan sebatas pria dan wanita, orang tua dan anak-anak, tetapi melibatkan setiap pelaku dalam komunitas yang mencakup seluruh segi kehidupan dari kategori seperti umur, jenis kelamin, suku, ras dan berbagai latar belakang lainnya.

Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut Sanders (1958) mengacu pada ruang relasi sosial. Ruang relasi sosial diisi oleh lima faktor yaitu:

1. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di wilayah serta hidup dengan pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan komunikasi yang beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai fasilitas, layanan sosial dan orang mampu mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.

2. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua tahap lingkaran hidup sedemikian rupa sehingga anggota baru muncul melalui proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus memiliki keterampilan dan pengetahuan teknis yang memadai untuk kelangsungan hidupnya.

3. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan tertentu, untuk itu mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri.

(10)

Kecenderunganya mencapai suatu integrasi normatif dan merangkum secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan satu atau beberapa kelompok di dalam komunitas.

4. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan anggota baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.

5. Waktu, komunitas tentu berada dalam rentang waktu. Artinya komunitas membutuhkan waktu sehingga bisa mencapai tingkat kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya.

2.1.2.2. Pelapisan/Stratifikasi Sosial

Memahami komunitas atau masyarakat terkecil tidak lepas dari pemahaman pelapisan atau stratifikasi sosial. Oleh karena, stratifikasi sosial menjadi penting untuk melihat adanya pembagian peran di kalangan kelompok masyarakat yang berbeda. Pengertian stratifikasi sendiri secara definitif sebagaimana dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin adalah suatu pelapisan sosial yang merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujuadannya adalah adanya lapisan-lapisan didalam masyarakat ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan dibawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial.

Menurut Soerjono Soekanto stratifikasi sosial merupakan suatu jenis diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan adanya jenjang secara bertingkat. Jenjang secara bertingkat tersebut akan menghasilkan strata tertentu, dan kedalam strata itulah masyarakat dimasukkan. Menurut Hewitt dan Mitchell menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah tingkat perbedaan individu dalam masyarakat yang mana dalam sistem sosial tertentu sebagai superior maupum inferior. Sedangkan menurut Marx Dan Weber mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan pencerminan dari organisasi sosial suatu masyaraakat. Dari ketiga pengertian diatas saya mengambil kesimpulan bahwa strtatifikasi sosial adalah cara pembedaan masyarakat berdasarkan jenjang atau strata tertentu yang betingkat-tingkat,dari mulai strata inferior sampai dengan superior. Pembedaan masyarakat secara bertingkat tersebut dikarenakan tiga hal menurut Weber:

1. Dimensi Ekonomi Tingkat kesejahteraan ekonomi setiap induvidu dalam masyarakat berbeda-beda. Dinegara-negara kapitalis dimensi

(11)

ekonomi dalam kaitannya dengan steratifikasi sosial mudah dijumpai. Disatu sisi terdapat individu yang borjuis,kekayaan melimpah,dan menguasai beberapa sektor ekonomi.Namun disisi lain terdapat individu yang melarat,sehingga antara keduanya terdapat jurang pemisah yang sering disebut kesenjangan sosial (social distance). Sedangkan dinegara-negara sosialis, dimensi tersebut sedikit bahkan tidak.

2. Dimensi Sosial Dalam kehidupan masyarakat banyak sekali orang yang mempermasalahkan tentang ras,agama,maupun suku yang dikaitkan dengan stratifikasi social. Kelompok ini menganggap bahwa ras,suku,agama mereka berada pada kelas superior. Di Afrika Selatan pernah terjadi pembedaan ini dengan adanya politik apartheid yang menganaktirikan ras kulit hitam. Hal ini juga terjadi di Amerika Latin,ras kulit hitam hanya dijadikan budak ras kulit putih. Tapi semua itu tidak terlepas pada prinsip yang dimiliki setiap individunya masing-masing. Anggapan tersebut dapat terjadi apabila disuatu daerah terdapat ras,suku,maupun agama yang dominan.

3. Dimensi Politik. Bagian terpenting dari dimensi politik yaitu jabatan dalam lembaga-lembaga politik termasuk parpol. Hierarkhi antara pimpinan dengan bawahan sangat mencolok, disini kedudukan tertinggi yang berwenang mengambil keputusan dalam masalah-masalah tertentu dalm lembaganya adalah pimpinan,sedang bawahan hanyalah sebagai pelaksana dari keputusan tersebut.

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran kekayaan mencakup kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah। Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

(12)

Ukuran kekuasaan atau wewenang menunjukkan segi-segi seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan. Sedangkan, ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

Ukuran keempat adalam ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.

2.1.2.3. Perubahan Struktur dan Organisasi Sosial

Perhatian terhadap stratifikasi sosial menjadi menarik apabila dikaitkan dengan dinamika dan perubahan masyarakat akibat pembangunan sebagai perubahan sosial yang direncanakan. Pembahasannya berkait dengan perubahan struktur dan organisasi sosial. Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari. Sedangkan Gerhard Lenski, lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai

(13)

kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat.

Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.

Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Linton (1967), dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).

Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam

(14)

hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

Konsep struktur dan organisasi sosial didalam penelitian ini menjadi penting didalam kaitan peubahan sosial akibat pembangunan. Perubahan sosial yang dimaksudkan adalah perubahan mabari dalam masyarakat. Masuknya unsur-unsur materi pada berikutnya mempengaruhi terjadinya perubahan sosial, dengan demikian materi adalah pemicu terjadinya perubahan sosial yang ditandai dengan gejala-gejala tertentu dalam masyarakat. Secara khusus Kuntowijoyo (2002) menyebutkan gejala-gejala perubahan sosial yang dapat dilihat dari ikatan-ikatan tradisi yang semakin longgar, dan digantikan oleh hubungan-hubungan yang bersifat rasional, legal, dan kontraktual. Materi adalah sentrum dari perubahan. Gejolak perubahan tidak berasal dari pergeseran gagasan/sistem nilai di dalam masyarakat itu sendiri, melainkan terpengaruh oleh masuknya materi ke dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian perubahan sikap dan perilaku menjadi implikasi dari perubahan materi.

Beberapa pusataka tentang perubahan sosial didefinisikan dengan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan konsep perubahan itu. Konsep perubahan sosial sebagai perubahan penting apabila terjadi perubahan dari struktur sosial, termasuk pola perilaku dan interaksi sosial. Oleh karenanya perubahan sosial juga termasuk didalamnya perubahan pada nilai, norma dan fenomena kultural yang terdapat pada sebuah komunitas masyarakat. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya perubahan-perubahan sosial yang dijelaskan oleh beberapa penulis seperti halnya Sosrodihardjo (1972), Wertheim W.F. (1999).

Dalam konteks penjelasan perubahan sosial tersebut baik melihat matriks yang mencoba memudahkan kita untuk memahami beberapa perspektif dari perubahan-perubahan sosial. Dari Tabel 1 diketahui bagaimana dalam kaitannya antara perubahan struktur dan startifikasi sosial pada masyarakat didalam konteks studi di Indonesia dan Asia. Dari table tersebut daoat juga dirujuk beberapa variable sosiologi yang penting menjadi perhatian dalam konteks perubahan struktur dan organisasi sosial akibat pembangunan.

Tabel 2 selanjutnya, juga memperlihatkan pengelompokkan teori perubahan sosial yang dilakukan oleh Strasser dan Randall (1981). Perubahan sosial dapat diliha t dari empat teori, yaitu: kemunculan diktator dan demokrasi,

(15)

Tabel.1. Matriks tentang proses perubahan sosial serta variabel perubahan. Berdasarkan peneliti, Sosrodihardjo (1972) dan Wertheim W.F. (1999), Peneliti Fokus dan

daerah yang diteliti Proses Perubahan Yang terjadi Konsep Variabel perubahan Sosrodihardjo Masyarakat Jawa Adanya kelas pemasaran justru merubah struktur sosial masyarakat adanya pelapisan didalam masyarakat, makin besar pengaruhnya suatu kelompok, semakin tinggi pula kedudukannya dalam struktur masyarakat Stratifikasi sosial (status sosial), Konflik ,gaya hidup, dan pola konsumsi. Wertheim Kawasan Asia Selatan dan Tenggara Masuknya ekonomi keuangan (kapitalisme Barat menyebabkan perubahan struktur sosial pada Negara Asisa Selatan dan tenggara. infra-suprastruktur Masyarakat Asia Selatan dan Tenggara juga dipengaruhi oleh dampak kapitalisme. Stratifikasi sosial (status sosial), hubunagn kelas sosial, antara superioritas dan inferioritas. Kuntowijoyo Perubahan Sosial di Madura Pasang surutnya pola produksi petani tembaku dalam perkembangan zaman colonial, jepang, orde lama dan baru, menyebakan peruabahan sosial ditingkat struktur sosial masyarakat khususnya pada masyarakat Madura.

(16)

teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial. Matriks di Tabel 2 ini penting untuk memberikan gambaran terkait dengan ketiga teori tersebut diatas.

Tabel 2. Pengelompokan teori perubahan sosial oleh Strasser dan Randall (1981) Perspektif teori Penjelasan Teortik

teori kemunculan diktator dan demokrasi

Teori ini adalah sebuah pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang mengalami sebuah proses transformasi pada basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.

Teori perilaku kolektif menekankan pada proses perubahan daripada sumber perubahan sosial.

Teori inkonsistensi status Dalam penjelasan teori ini, individu sepetinya dilihat sebagai bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau sikap yang didasarkan pada perubahan.

Analisis organisasi sebagai subsistem sosial

kemunculan teori ini tentu didsarkan pada sebuah anggapan bahwa organisasi birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.

Pada sisi lain menurut Lewin (1951), perubahan juga terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving force) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving force dan melemahkan resistences to hange. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu :a.nfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah. b.Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving force maupun memperlemah resistences.c Refreesing, membawa kembali organisasi kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Dahrendorf dalam Robert H. Lauer ( 1993) melihat hubungan erat antara konflik dan perubahan, ia mengemukakan bahwa seluruh kreativitas, inovasi dan perkembangan dalam kehidupan individu, kelompoknya dan masyarakatnya, disebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok,

(17)

individu dan individu serta antar emosi dan emosi dalam diri individu. Pemikiran Dahredorf terkandung beberepa proposisi diantaranya adalah; setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terjadi di mana saja; setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksuaian dan konflik, konflik sosial terdapat dimana saja; setiap unsur dalam suatu masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya; setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagaian anggita terhadap anggota lain.

Selanjutnya tulisan Christianita L. Day dalam Cristina EGHENTER dan Bernard SELLATO (1999) tentang perubahan sosial dan dampaknya terhadap organisasi pertanian di Long alango secara singkat di jelasakan bahwa perubahan-perubahan itu terjadi akibat dari masuknya agama kristen, hadirnya para pendatang dan masuknya beberapa teknologi moderen. Pada masyarakat di Long Alango, seperti yang di ceritkan sebelum masuknya agama kristen, dan belum tersentuhnya teknologi pada masyarakat tersebut, sepertinya masih terdapat sistem pengelolaan perswahaan yang cenderung masih menggunakan nilai-nilai budaya dan tradisi mereka. Akan tetapi, nilai-nilai dan tradisi yang terdapat pada masyarakat atau komunitas di Long Alango, dan hilangnya pengaruh paren atau paren lipu yang biasanya disebut sebagai kepala desa, sepertinya akibat dari pengaruh dari faktor-faktor yang membawa perubahan seperti yang dijelaskan diatas sebelumnya.

Pada sisi lain, fenomena konflik juga mewarnai masyarakat di Long Alango ketika keberadaan pemerintah kecamatan di wilayahnya. Konflik itu terjadi ketika ketidaksukaan pemerintah kecamatan terhadap keberadaan rumah panjang ( uma’dado) di Long Alango. Alasan pembongkaran secara paksa ini dilakukan dengan alasan dari aspek kesehatan sangat tidak mendukung. Namun disis lain, alasan yang perlu disangsikan adalah bahwa keberadaan rumah panjang dengan sebuah kehidupan kumunal uma’dado dekat sifatnya dengan praktek komunis. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa keberadaan pemerintah disatu sisi membawa perubahan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat menuju pada sebuah kehidupan masyarakt yang tentram dan teratur, dan disisi lain keberadaannya justru membawa pengaruh terhadap struktur pemerintahan tradisonal di Long Alango.

Selanjutnya Marx secara ringkas telah merangkum beberapa pandangan materialistik mengenai mekanisme perubahan dalam pernyataan terkenalnya”

(18)

kincir-angin menimbulkan masyarakat feodal, dan mesin uap melahirkan masyarakat kapitalis-industri. Dan di lain sisi, Thorstein Veblen dalam Robert H Lauer (1993), dalam konteks ini pemikirannya lebih dipengaruhi oleh Marx dan pemikiran evolusioner, melihat tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh teknologi. Dia mengatakan bahwa proses mesin justru merembesi kehidupan moderen dan menentukannya dalam artian mekanik..Itu artinya bahwa mesin telah menjadi tuan manusia yang bekerja dengannya dan telah menjadi hakim yang menentukan nasib kebudayaan komunitas yang hidup dengannya. Mesin adalah alat yang membuat orang menjadi sama rata dan kasar yang bertujuan menghancurkan segala yang dihormati, dimuliakan dan dihargai dalam pergaulan dan yang dicita-citakan manusia. Namun dalam konteks ini Verben sepertinya lebih memusatkan perhatian pada pengaruh teknologi khususnya pada pikiran dan perilaku manusia.

2.2. Kerangka Pemikiran.

Bari adalah nilai-nilai sosial yang mengatur pola dan semangat hidup yang di dasarkan pada kepercayan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, dan saling menolong diantara anggota kelompok masyarakat di Halmahera barat pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya.Sebagai sebuah kelembagaan secara umum merupakan kompleks dari norma dan kebiasaan yang telah berlangsung sepanjang waktu melalui kegunaan nilai pelayanan kolektif. Dalam pandangan Uphoff, dia mengatakan bahwa kelembagaan meruapakan suatu himpunanan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Menurut Uphoff, institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat. Bari sebagai nilai dan “mabari: sebagai wadah maupun pranata juga memiliki kaitananya dengan struktur sosial yang ada disekitarnya. Struktur sosial yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini menunjuk pada stratifikasi sosial dan relasi sosia, tata nilai serta kelembagaan. Perubahan sosial dengan unsur-unsur perubahannya seperti teknologi, modal, Para pendatang, Pegawai, bahkan agama membawa dampak pada perubahan Struktur masyarakat, termasuk bari, dan mabari itu sendiri. Lihat Gambar 1.

Fenomena ini seperti yang di tuliskan oleh Christianita L. Day (1999) tentang perubahan sosial dan dampaknya terhadap organisasi pertanian di Long

(19)

Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran

Alango secara singkat mengungkapkan fakta-fakta perubahan yang terjadi akibat dari masuknya agama Kristen, hadirnya pendatang dan masuknya beberapa teknologi moderen. Jauh sebelumnya masyarakat di Long Alango masih terdapat sistem pengelolaan persawahaan yang cenderung masih menggunakan nilai-nilai budaya dan tradisi mereka. Artinya, masyarakat menyikapi perubahan yang datang dengan sikap yang berbeda. Terdapat sikap risestensi (penolakan) terhadap perubahan, namun ada juga yang bersikap menerima perubahan itu sendiri. Menurut Kurt Lewin (1951), perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok.

Memudarnya bari dan Kelembagaan mabari Struktur sosial

1.

Pelapisan sosial

2.

Status sosial

3.

Nilai dan norma Sumber Perubahan

1.

Modernisasi

2.

Modal/Teknologi

3.

Penetrasi program pemerintah

4.

Pendatang dan PNS Resistensi untuk merubah 1. Penolakan terhadap program pemerintah 2. Memperkuat tradisi lokal Menerima perubahan. 1. Tergesernya nilai lokalitas 2. Menguatnya budaya materialisme 3. Spesialisasi dan variasi pekerjaan Komunitas Petani

Perubahan pada bari

dan Kelembagaan

Gambar

Tabel 2. Pengelompokan teori perubahan sosial oleh Strasser dan Randall (1981)
Gambar 1.  Diagram kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Wujud upaya yang dilaksanakan dalam mendukung visi pemerintah Daerah Kabupaten Bima “Terwujudnya Masyarakat dan Daerah Kabupaten Bima Yang Maju, Mandiri Dan

penerimaan daerah yang cukup besar guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, selain itu setiap tahunnya Jumlah Kunjungan Wisatawan, Jumlah Penduduk dan Produk Domestik

Kedua senyawa tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase aquoeus sehingga DNA menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet setelah

Selanjutnya karyawan yang memiliki kemampuan mengatasi masalah dalam pekerjaan, mampu menguasai bidang pekerjaannya dan bersemangat dalam melaksanakan pekerjaannya

Persiapan yang dilakukan oleh guru Al-Qur’an Hadits sebelum masuk kelas adalah memperhatikan tujuan yang akan dicapai, menganalisis materi pelajaran, memilih dan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan nilai karakter yang terdapat pada buku tematik siswa kelas IV tema 7 (Indahnya Keragamn di

Dari peristiwa pergantian status Provinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa yang kemudian ditambah lagi dengan status Otonomi Khusus dan kemudian diganti lagi bahkan dicabut status

Adapun alasan penulis mengangkat problem kejiwaan tokoh utama dalam novel Bulan Nararya karya Sinta Yudisia ini sebagai bahan kajian karena di dalam novel tersebut