• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menegaskan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Konsekuensi dari ketentuan ini dijelaskan oleh Ni’Matul Huda yaitu: “…. setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum.”1 Apabila terdapat sengketa yang timbul akibat adanya perilaku dari penduduk yang tidak atau diduga tidak sesuai dengan hukum, maka alat negara yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah pengadilan melalui ajudikasi.

Ajudikasi adalah: “The giving or pronouncing a judgment or decree in a

cause; also the judgment given.”2 Sebagai alat negara yang terdapat dalam negara

hukum, tentu setiap kebijakan yang diambil (termasuk dalam hal ini pengadilan dalam melakukan ajudikasi) harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Padanan kata yang tepat untuk menjelaskan “berdasar dan sesuai dengan hukum” adalah normatif. Hal ini dapat dijustifikasi oleh pengertian normatif itu sendiri yaitu: “1.

of, relating to, or determining norms or standards <normative tests>; 2.

conforming to or based on norms <normative behavior> <normative

1 Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kesepuluh, Edisi Revisi, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 88.

(2)

judgments>; 3. prescribing norms <normative rules of ethics> <normative grammar>.”3

Untuk dapat melakukan ajudikasi normatif (memberikan putusan yang berdasar dan sesuai dengan hukum) tentu pengadilan harus memberikan pertimbangan yang berdasar dan sesuai dengan hukum juga. Di dalam pertimbangan hukum yang demikian (normatif) terdapat kaidah hukum yang mengikat bagi pengadilan dan penduduk dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Sehingga secara argumentum a contrario4 apabila pertimbangan hukum yang diberikan pengadilan bukanlah pertimbangan hukum yang normatif, maka kaidah yang dihasilkanpun tidak akan mengikat pengadilan dan penduduk dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari.

Hal di atas diafirmasi oleh pendapat Paul Scholten sebagaimana yang dikutip oleh Titon Slamet Kurnia yaitu:

Orang boleh menghormati penilaian H.R. [maksudnya adalah

Hoge Raad (Mahkamah Agung Kerajaan Belanda)] mengenai

suatu persoalan hukum, akan tetapi penghormatan itu tidak lain daripada penghormatan yang harus diberikan kepada ucapan dari setiap orang yang mempunyai pengetahuan mengenai suatu persoalan yang ia bicarakan. Setiap waktu orang dapat mengesampingkannya apabila orang yakin akan ketidaktepatannya; penilaian itu mempunyai wibawa karena bobot dari argumentasinya dan tidak karena orang yang menjadi sumber penilaian itu.5

3 Merriam-Webster, Webster’s New Explorer Encyclopedic Dictionary, Cetakan

Kesepuluh, Federal Street Press, Springfield, 2006, hal. 1246.

4 Argumentum a contrario adalah cara penafsiran atau penjelasan undang-undang [atau

hukum] yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah

Pengantar, Cetakan Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 69.

5 Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia Sebuah Pemahaman Awal, Cetakan

(3)

Pendapat Scholten di atas dijelaskan lebih lanjut oleh Kurnia sebagai berikut: Pengertian tersirat dari pendapat Scholten ialah hakim-hakim

civil law tidak tunduk pada asas preseden, sehingga putusan

pengadilan secara formal tidak menciptakan suatu kaidah prospektif bagi setiap orang, bagi kasus yang terjadi di masa mendatang. Tetapi, bobot dari argumentasi dalam putusan tersebut yang memiliki otoritas sebagai kaidah karena kebenaran dari argumennya sehingga orang tidak dapat mengelak dari kebenaran itu.6

Objek sengketa dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 17/Pdt.G/2014/PN.Pwk ialah sebidang tanah kering seluas 327 m2 yang terletak di Komplek KPN RT.003/RW.001, Kelurahan Purwamekar, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta (selanjutnya disebut objek sengketa), yang semula dimiliki oleh D. Lumban Tobing (selanjutnya disebut Tergugat) berdasarkan Akta Jual Beli No.184/1975 tanggal 8 September 1975 dan Akta Jual Beli No.185/1975 tanggal 8 September 1975. Tergugat kemudian menjual objek sengketa kepada H. Abdul Hadi Jaman (selanjutnya disebut Penggugat) melalui akta di bawah tangan yang diketahui oleh para saksi. Dalam jual beli tersebut, Penggugat telah membayar harga objek sengketa secara lunas kepada Tergugat. Setelah berselang beberapa waktu lamanya, Penggugat ingin mendaftarkan objek sengketa menjadi atas nama Penggugat, namun tidak dapat dilakukan oleh karena keberadaan Tergugat sudah tidak diketahui lagi, sehingga Penggugat tidak dapat menindaklanjuti akta di bawah tangan tersebut menjadi Akta Jual Beli sebagai syarat didaftarkannya peralihan hak atas objek sengketa. Penggugat akhirnya mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Purwakarta terhadap Tergugat agar Tergugat dinyatakan wanprestasi.

(4)

Setelah melalui proses persidangan, Pengadilan Negeri Purwakarta akhirnya menjatuhkan putusan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi. Dalam pertimbangan hukumnya, Pengadilan Negeri Purwakarta menyatakan bahwa:

.... hakekat ... jual beli adalah tuntasnya peralihan hak kepemilikan dari penjual kepada pembeli yang ditandai dengan ... sertifikat hak kepemilikan ... karena sebelum terjadinya peralihan balik nama hak kepemilikan atas tanah objek sengketa ... ternyata penjual (Tergugat) sudah tidak diketahui lagi keberadaannya ... dapat disimpulkan bahwa Tergugat telah ... wanprestasi.7

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut dapat disimpulkan kaidah hukum yaitu: “Dalam jual beli hak atas tanah, penjual yang tidak melakukan pendaftaran tanah dinyatakan wanprestasi.” Penulis berpendapat pertimbangan hukum tersebut bukanlah pertimbangan hukum normatif, sehingga kaidah hukum yang dihasilkanpun bukanlah kaidah hukum normatif yang mengikat bagi pengadilan dan penduduk dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah konsep jual beli hak atas tanah menurut hukum tanah nasional mengenal wanprestasi?

2. Apakah pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 17/Pdt.G/2014/PN.Pwk yaitu: “.... hakekat ... jual beli adalah tuntasnya peralihan hak kepemilikan dari penjual kepada pembeli yang ditandai dengan ... sertifikat hak kepemilikan ... karena sebelum terjadinya peralihan balik nama hak kepemilikan atas tanah objek sengketa ... ternyata penjual (Tergugat) sudah tidak diketahui lagi keberadaannya ... dapat

(5)

disimpulkan bahwa Tergugat telah ... wanprestasi” sesuai dengan konsep jual beli hak atas tanah menurut hukum tanah nasional?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui keberadaan wanprestasi dalam konsep jual beli hak atas tanah menurut hukum tanah nasional.

2. Untuk mengetahui normatifitas pertimbangan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 17/Pdt.G/2014/PN.Pwk yaitu: “.... hakekat ... jual beli adalah tuntasnya peralihan hak kepemilikan dari penjual kepada pembeli yang ditandai dengan ... sertifikat hak kepemilikan ... karena sebelum terjadinya peralihan balik nama hak kepemilikan atas tanah objek sengketa ... ternyata penjual (Tergugat) sudah tidak diketahui lagi keberadaannya ... dapat disimpulkan bahwa Tergugat telah ... wanprestasi” berdasarkan konsep jual beli hak atas tanah menurut hukum tanah nasional.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan hukum agraria pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman kepada masyarakat dan hakim tentang konsep jual beli hak atas tanah menurut hukum tanah nasional sehingga hakim dapat melakukan ajudikasi normatif terhadap perkara tentang jual beli hak atas tanah di masa yang akan datang.

(6)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki dengan melihat pada tujuannya yaitu: “… menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum.”8 Penelitian hukum normatif digunakan oleh Penulis untuk menemukan ketidakbenaran koherensi (sebagai lawan kebenaran koherensi yang dikemukakan Marzuki) dari kaidah hukum yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 17/Pdt.G/2014/PN.Pwk yaitu: “Dalam jual beli hak atas tanah, penjual yang tidak melakukan pendaftaran tanah dinyatakan wanprestasi” terhadap konsep jual beli hak atas tanah menurut hukum tanah nasional.

2. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan jenis penelitian yang digunakan, Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan historis, dan pendekatan putusan. Marzuki menjelaskan pendekatan perundang-undangan sebagai pendekatan yang dilakukan dengan: “… menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Kesembilan, Edisi Revisi,

(7)

isu hukum yang sedang ditangani.”9 Penulis menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan negara hukum, asas kesatuan hukum, sumber pengaturan jual beli hak atas tanah, dan tujuan pendaftaran tanah. Pendekatan konseptual dijelaskan oleh Beliau sebagai: “Pendekatan [yang] … beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.”10 Penulis menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan negara hukum, pertimbangan hukum normatif, asas kesatuan hukum, sifat jual beli hak atas tanah, sertifikat hak atas tanah sebagai perwujudan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, dan wanprestasi. Sedangkan pendekatan historis dijelaskan oleh Beliau sebagai: “Pendekatan [yang] … dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.”11 Penulis menggunakan pendekatan ini untuk mengetahui

original intent dari pembentuk Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043, dan untuk selanjutnya disebut UUPA) yang secara tegas menggunakan hukum adat sebagai dasar dari hukum tanah nasional.

3. Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dijelaskan oleh Marzuki sebagai:

9 Ibid., hal. 133.

10 Ibid., hal. 135.

(8)

“bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.”12 Bahan hukum primer yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah UUD NRI 1945, UUPA, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut K.U.H.Perdata), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696, dan untuk selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah), Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5893, dan untuk selanjutnya disebut PP PPAT), rancangan UUPA yang pernah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 no. 2584/HK/60, Putusan Mahkamah Agung Nomor 123 K/Sip/1970, Putusan Mahkamah Agung Nomor 952 K/Sip/1974, Putusan Mahkamah Agung Nomor 126.K/Sip/1976, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3597 K/Pdt/1985. Bahan hukum sekuder dijelaskan oleh Beliau sebagai: “…. semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar

(9)

atas putusan pengadilan.”13 Bahan hukum sekunder yang digunakan Penulis adalah buku-buku teks tentang hukum dasar, hukum agraria, hukum adat, hukum tata negara, dan hukum perjanjian; serta kamus hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaannya untuk pabrik yang kecil masih menggunakan sistem 1 fasa tegangan rendah (220V/380V), untuk pabrik-pabrik skala besar menggunakan sistem 3 fasa dan saluran masuknya

Bagaimanakah gambaran kesantunan tuturan imperatif bahasa yang digunakan dalam interaksi antarpemuda di Dusun Sidorejo.. Apa saja faktor atau hal yang menyebabkan sebuah

Adapun dalam penelitian tersebut ditemukan permasalahan baik dari segi guru maupun peserta didik, diantaranya: (1) guru hanya menggunakan sumber yang berasal dari buku

Adapun yang menjadi sasaran pengabdian masyarakat ini adalah para jamaah dan takmir masjid Muhammadiyah di Malang, sebab selama ini para pengurus Muhammadiyah tersebut

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh penggantian Bovine Serum Albumin (BSA) dengan putih telur dalam pengencer dasar CEP-2 terhadap kualitas

Setelah proses pengukuran selesai, dilakukan proses identifikasi dan klasifikasi spesies, dengan cara dilakukan pengamatan terhadap dua duri tajam yang berada pada bagian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gaya kepemimpinan dan kinerja antara auditor pria dan auditor wanita yang dilihat dari komitmen organisasi,

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Fitriana yang berjudul Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Seks Selama Kehamilan dengan Melakukan Hubungan