• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN GAYA PENGASUHAN ORANGTUA TIPE ENABLING DENGAN KEMANDIRIAN ANAK ARTIKEL JURNAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN GAYA PENGASUHAN ORANGTUA TIPE ENABLING DENGAN KEMANDIRIAN ANAK ARTIKEL JURNAL SKRIPSI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN KEMANDIRIAN ANAK

ARTIKEL JURNAL SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Triana Indriya Sari NIM 11111241045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)

HUBUNGAN GAYA PENGASUHAN ORANGTUA TIPE ENABLING

DENGAN

KEMANDIRIAN ANAK

CORRELATION BETWEEN THE ENABLING OF PARENTING STYLE AND CHILDREN’S AUTONOMY

Oleh: triana indriya sari, paud/pgpaud fip uny indriyaanna@gmail.com

Abstrak

Dasar dilakukan penelitian ini adalah adanya fenomena anak usia 5-6 tahun yang belum menunjukkan kemandirian ketika di sekolah. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun di Patalan, Jetis, Bantul. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasi. Subyek penelitian adalah 40 anak dan 40 orangtua di Kelompok B. Lokasi penelitian di TK PKK 63 Tanjungkarang, Patalan, Jetis, Bantul. Instrumen penelitian menggunakan skala gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dan pedoman observasi kemandirian anak usia 5-6 tahun. Teknik analisis data menggunakan korelasi product moment. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0.952 (p>0.05). Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian tentang hubungan gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun di rumah.

Kata kunci: gaya pengasuhan orangtua tipe enabling, kemandirian, anak usia 5-6 tahun.

Abstract

Basic of this research is there are phenomenon of 5-6 years old children’s that not showing an autonomy when they’re in school. This research aims to know the correlation between the enabling type of parenting style and the 5 to 6 years old children’s autonomy in Patalan, Jetis, Bantul. This research used a quantitative approach with the correlation method. The subjects were 40 children’s and 40 parent’s of children in group B. This research took a place in PKK 63 Tanjungkarang Kindergarten, Patalan, Jetis, Bantul. The instrument consist of the enabling type of parenting style scale and observation method of the 5 to 6 years old children’s autonomy. The data analyzed using a Product Moment Correlation. The results shows that there is no significant correlation between the enabling type of parenting style and the 5 to 6 years old children’s autonomy in PKK 63 Tanjungkarang Kindergarten with significant value (p) of 0.952 (p>0.05). The further research need to know about correlation between the enabling type of parenting style and the 5 to 6 years old children’s autonomy in home.

(4)

PENDAHULUAN

Anak usia 5-6 tahun merupakan anak usia dini yang berada dalam masa keemasan dimana anak mulai mengembangkan berbagai kemampuan dan keterampilan salah satunya adalah kemampuan dan keterampilan anak dalam mengurus diri sendiri. Hal ini dipertegas oleh Anita Lie dan Sarah Prasasti (2004: 24) yang menyatakan bahwa pada usia 2-6 tahun anak mulai menjelajahi dunia sekitar dan mengembangkan otonominya seiring dengan perkembangan berbagai keterampilan, seperti motorik kasar dan motorik halus. Ketika anak mulai mengeksplorasi berbagai keterampilan dengan kemampuan yang dimiliki, seperti yang diungkapkan Novan Ardy Wiyani (2012: 89) merupakan bentuk kemandirian anak usia dini yang disesuaikan dengan tugas perkembangannya, seperti belajar berjalan, belajar makan, dan belajar berinteraksi dengan orang lain.

Pentingnya kemandirian bagi usia dini dinyatakan oleh Anita Lie dan Sarah Prasasti (2004: 3) yaitu agar anak bisa menjalani kehidupan tanpa ketergantungan kepada orang lain. Kriteria anak yang sudah mencapai kemandirian, menurut Steinberg (Mustika Dewanggi dkk., 2012: 20) yaitu apabila anak mampu menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orangtua. Novan Ardy Wiyani (2012: 31) menambahkan karakter mandiri yang dimiliki anak akan sangat bermanfaat bagi anak dalam melakukan prosedur keterampilan dan bergaul dengan orang lain.

Proses pembentukan kemandirian anak membutuhkan dorongan dan dukungan dari lingkungan terkecil anak, yaitu keluarga terutama orangtua dan guru PAUD. Novan Ardy Wiyani (2012: 91) menjabarkan peran orangtua dan guru PAUD dalam membentuk kemandirian anak yaitu memberikan pemahaman positif pada diri anak, mendidik anak terbiasa hidup rapi (menyiapkan tempat penyimpanan mainan, memberikan contoh, membuat kalender, dan mengajarkan konsekuensi hidup tidak rapi), memberikan permainan yang dapat membentuk

kemandirian anak (permainan outdoor dan game komputer), memberikan pilihan sesuai dengan minat anak, membiasakan anak berperilaku sesuai dengan tata krama, dan memotivasi anak supaya tidak malas-malasan.

Kemandirian anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya faktor lingkungan yaitu keluarga terutama orangtua. Benner dan Fox (Rita Eka Izzaty, 2007: 295) mengungkap intisari dari teori ekologis Bronfenbrenner mengenai perkembangan anak yang menyatakan bahwa keluarga merupakan bagian dari lapisan mikrosistem yaitu sebagai lingkungan yang paling berpengaruh pada perkembangan anak. Keluarga, khususnya orangtua yang berpengaruh pada perkembangan anak salah satunya peran penting orangtua dalam kemandirian anak. Hal ini ditegaskan oleh Novan Ardy Wiyani (2012: 40) bahwa orangtua memiliki peran nyata dalam pembentukan karakter mandiri anak, sehingga Novan Ardy Wiyani (2012: 38) menyatakan dengan pemberian stimulasi yang teratur dan terarah di lingkungan keluarga, anak akan lebih cepat mandiri.

Kemandirian secara umum oleh Hasan Alwi dkk., (Novan Ardy Wiyani, 2012: 27) dinyatakan sebagai keadaan di mana individu dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Secara khusus dalam konteks anak usia 5-6 tahun, Anita Lie dan Sarah Prasasti (2004: 2) mengartikan kemandirian sebagai kemampuan anak untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitas anak. Anak yang mandiri sesuai dengan tahap perkembangan dan kapasitasnya, sesuai pernyataan Parker (2006: 229) anak akan mencapai tujuan kemandirian itu sendiri yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup anak agar dapat meraih kesuksesan di tengah perubahan masyarakat yang sangat cepat.

Sesuai dengan tahapan pencapaian perkembangan Standar Nasional PAUD Nomor 137 Tahun 2014 tentang kemandirian anak dalam aspek sosial emosional anak usia 5-6 tahun antara lain: memperlihatkan kemampuan diri untuk menyesuaikan dengan situasi,

(5)

memperlihatkan kehati-hatian kepada orang yang belum dikenal (menumbuhkan kepercayaan pada orang dewasa yang tepat), menaati aturan kelas (kegiatan, aturan), mengatur diri sendiri, bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri, menggunakan cara yang dapat diterima secara sosial dalam menyelesaikan masalah, mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang-sedih-antusias), mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat.

Ragam kemandirian menurut Steinberg (Eti Nurhayati, 2011: 133-134) dibagi menjadi tiga aspek pokok, yaitu kemandirian emosi (emotional autonomy), kemandirian bertindak (behavioral autonomy), dan kemandirian berpikir (value autonomy). Aspek kemandirian emosi oleh Steinberg (Eti Nurhayati, 2011: 133) dikaitkan dengan perubahan kedekatan atau keterikatan hubungan emosional anak dengan orangtua atau orang dewasa lain yang banyak melakukan interaksi dengan anak. Kartono (Novan Ardy Wiyani, 2012: 32) menambahkan jika kemandirian emosi anak ditunjukkan dengan kemampuan anak mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orangtua. Aspek kemandirian bertindak oleh Steinberg (Eti Nurhayati, 2011: 133) didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk membuat keputusan secara bebas dan menindaklanjutinya. Hanna (Eti Nurhayati, 2011: 133) menambahkan jika kemandirian bertindak khususnya pada kemampuan mandiri secara fisik sebenarnya sudah dimulai sejak usia dini. Aspek kemandirian berpikir lebih bersifat abstrak, karena menurut Steinberg (Eti Nurhayati, 2011: 134) pembentukan kemandirian berpikir memiliki proses yang paling kompleks yang merujuk pada kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip benar-salah dan baik-buruk yang berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding kemandirian emosi dan bertindak. Ketika anak melakukan sesuatu secara mandiri, ada dua kemandirian yang terlibat yaitu kemandirian emosi dan bertindak. Eti Nurhayati (2011: 134) mengatakan

bahwa kemandirian berpikir adalah kemandirian yang berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai.

Ketiga ragam kemandirian yang dimiliki anak usia 5-6 tahun dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kemandirian anak menurut Novan Ardy Wiyani (2012: 37-38); Hurlock (1978: 241); dan Soetjiningsih (1995: 10) antara lain: kondisi fisiologis dan psikologis. Faktor eksternal menurut Novan Ardy Wiyani (2012: 39-40); Euis Sunarti (2004: 8); Parker (2005: 240); Hurlock (1978: 241); dan Derry Iswidharmanjaya dan Sekarjati Svastiningrum (2008: 18) antara lain: lingkungan, rasa cinta kasih sayang, pola asuh orangtua, tingkat pendidikan, status pekerjaan ibu, dan pengalaman anak. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian anak usia 5-6 tahun yaitu gaya pengasuhan orangtua.

Hauser (Papini dalam Archer, 1994: 49) dan Santrock (2011: 253) menyatakan gaya pengasuhan orangtua merupakan interaksi orangtua dengan anak yang di dalamnya menggambarkan tentang bagaimana orangtua membimbing dan mendisiplinkan anak-anak mereka. Bornstein (Brooks, 2011: 10) membedakan dua bentuk interaksi dalam gaya pengasuhan yang orangtua berikan, yaitu interaksi langsung dan tidak langsung. Ketika orangtua berinteraksi dengan anak dalam memberikan perlindungan dan bimbingan, Mohammad Shochib (2010: 7) menegaskan bahwa dibutuhkan adanya komunikasi yang dialogis dan keterlibatan anak dalam pemecahan masalah.

Singgih dan Y. Singgih D. Gunarsa (2006: 144) mengemukakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua yaitu pengalaman masa lalu, nilai yang dianut orangtua, tipe kepribadian orangtua, faktor perkawinan orangtua, alasan mempunyai anak, budaya (Brooks, 2011: 127), tingkat pendidikan (Brooks, 2011: 79), dan status ekonomi (Santrock, 2011: 264).

(6)

Ketika mengasuh anak, orangtua tentu memiliki tujuan. Salah satu tujuan orangtua dalam mengasuh anak diungkapkan oleh Brooks (Mustika Dewanggi dkk., 2012: 19) adalah agar kelak anak dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab baik secara ekonomi, sosial dan moral agar dapat hidup tanpa bergantung pada orangtua. Untuk mencapai tujuan tersebut, orangtua berupaya menerapkan gaya pengasuhan yang tepat dalam memandirikan anak. Lamborn dkk., (Beveridge dan Berg, 2007: 8) menyatakan perilaku orangtua yang secara khusus dapat mendorong kemandirian anak adalah meminta pendapat anak, menyetujui gagasan-gagasan anak, dan melibatkan anak dalam membuat keputusan.

Gaya pengasuhan yang dimiliki orangtua, mempengaruhi kemandirian anak. Lamborn dkk., (Beveridge dan Berg, 2007: 8) menyatakan perilaku orangtua yang secara khusus dapat mendorong kemandirian anak adalah meminta pendapat anak, menyetujui gagasan-gagasan anak, dan melibatkan anak dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, Derry Iswidharmanjaya dan Sekarjati Svastiningrum (2008: 18) menambahkan bahwa tingkah laku lekat anak dengan orangtua akan mempengaruhi kemandirian anak. Anak menjadi manja atau mandiri tergantung bagaimana orangtua mengasuh anak, Hurlock (1978: 241) menyatakan apabila orangtua selalu melayani kebutuhan anak dengan memberikan bantuan secara terus menerus dapat membentuk anak menjadi manja.

Hauser dkk., (Casmini, 2007: 54) mengenalkan pengasuhan orangtua yang bersifat interaktif antara orangtua dengan anak. Gaya pengasuhan dalam interaksi orangtua dengan anak menurut Stuart Theodore Hauser terbentuk dari dua aspek, yaitu aspek kognitif dan afektif. Hauser dkk., (Papini dalam Archer, 1994: 49) mengungkapkan aspek kognitif dalam gaya pengasuhan meliputi memfokuskan pada pemecahan masalah, penjelasan suatu persoalan atau masalah yang dihadapi kepada anggota keluarga, dan memberikan kesempatan untuk ikut terlibat bereksplorasi dalam

masalah-masalah keluarga, dan menjelaskan sudut pandang individu pada anggota keluarga lain. Aspek afektif dalam gaya pengasuhan meliputi ekspresi empati dan penerimaan dari anggota keluarga lain. Dari kombinasi dua aspek tersebut memunculkan dua ragam gaya pengasuhan orangtua antara lain gaya pengasuhan enabling (mendorong) dan constraining (menghambat).

Gaya pengasuhan orangtua enabling didefinisikan oleh McElhaney dkk., (Bornstein, 2002: 121-122) sebagai perilaku orangtua yang sangat menerima anak, tetapi pada saat yang sama juga membantu anak untuk mengembangkan dan menyatakan ide-ide anak sendiri melalui pertanyaan, penjelasan, dan toleransi pada perbedaan pendapat. Aspek kognitif enabling dicirikan Hauser dkk., (Casmini, 2007: 55) dengan memfokuskan pada pemecahan masalah, melibatkan anak dalam bereksplorasi tentang masalah keluarga, dan menjelaskan pendapat anggota keluarga lain. Perilaku orangtua yang enabling terlihat ketika berinteraksi dengan anak, orangtua akan memberikan penjelasan tentang permasalahn dengan pola pikir yang sepadan dengan perkembangan pola pikir anak sehingga anak tidak merasa sungkan untuk bertanya atau menyatakan pendapat. Aspek afektif enabling meliputi ekspresi empati dan penerimaan dari orangtua. Aspek afektif dicirikan Hauser dkk., (Casmini, 2007: 56) dengan sikap empati dan penerimaan dari anggota keluarga lain. Sikap empati dan penerimaan nampak ketika menanggapi dan menghargai pandangan dan keputusan anak dalam diskusi atau memecahkan suatu masalah.

Gaya pengasuhan orangtua constraining menurut Casmini (2007: 56) menyiratkan adanya hambatan yang dilakukan orangtua dalam hal otonomi dan perbedaan (differentiation). Dengan kata lain, anak harus sama dengan orangtua. Aspek kognitif gaya pengasuhan constraining menurut Hauser dkk., (Papini dalam Archer, 1994: 49) tampak pada orangtua yang tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk ikut terlibat memecahkan masalah keluarga, menyembunyikan kenyataan yang

(7)

sesungguhnya, mengabaikan keberadaan anak, dan mengalihkan perhatian anggota keluarga dari masalah yang dihadapi (Casmini, 2007: 56). Aspek afektif gaya pengasuhan constraining menurut Hauser dkk., (Casmini, 2007: 56) tampak ketika orangtua menilai dan menghakimi pendapat anak secara sepihak dan berlebihan (bersifat negatif atau positif), apabila pendapat anak dinilai tidak sesuai norma yang dianut orangtua. Hauser dkk., (Beveridge dan Berg, 2007: 9) menambahkan jika anak cenderung menanggapi sikap orangtua yang tidak menghargai keterlibatan mereka dengan membatasi pengungkapan gagasan, dan menarik diri dari percakapan.

Studi pendahuluan dilakukan peneliti pada awal bulan Januari 2015 di kelompok B untuk mngumpulkan fakta-fakta kemandirian anak di sekolah. Sebagian besar anak sudah menunjukkan kemandirian sesuai dengan tahapan pencapaian perkembangan Standar Nasional PAUD Nomor 137 Tahun 2014 tentang kemandirian anak dalam aspek sosial emosional anak usia 5-6 tahun dan sebagian kecil belum menunjukkan kemandirian ketika di sekolah. Perilaku anak yang menunjukkan kemandirian di sekolah antara lain anak mampu memperlihatkan kemampuan diri untuk menyesuaikan dengan situasi seperti mampu mengerjakan kegiatan tanpa bantuan guru, mampu buang air kecil dan buang air besar tanpa bantuan guru, dan berani belajar di kelas tanpa orangtua; anak mampu menaati aturan kelas (kegiatan dan aturan) seperti mengembalikan alat tulis ke dalam rak dan membuang sampah pada tempatnya; anak mampu mengatur diri sendiri seperti memakai dan melepas sepatu serta makan sendiri; dan anak mampu bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri seperti tekun mengerjakan kegiatan sampai selesai.

Perilaku sebagian anak Kelompok B yang belum mampu memenuhi standar tahapan pencapaian perkembangan adalah anak belum mampu memperlihatkan kemampuan diri untuk menyesuaikan dengan situasi yaitu ketika mengerjakan kegiatan di kelas, belum berani belajar di kelas tanpa ditemani orangtua, dan

masih membutuhkan bantuan ketika makan; anak belum mampu mengatur diri sendiri seperti memakai dan melepaskan sepatu, membawa dan menggantungkan tas; dan anak belum mampu bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri ketika mengerjakan kegiatan tidak mudah putus asa dan berkonsentrasi agar kegiatan dapat diselesaikan tepat waktu.

Anak yang belum menunjukkan perilaku mandiri di sekolah ternyata memiliki orangtua yang diduga menerapkan gaya pengasuhan kearah tipe constraining. Dugaan ini muncul ketika orangtua mengaku menuruti keinginan anak agar anak berhenti merengek, membatasi keterlibatan anak dalam diskusi keluarga, menerapkan hukuman verbal dan fisik dalam mengendalikan perilaku anak, sedikit memberikan kesempatan anak untuk bereksplorasi seperti bermain di sungai, mandi, dan makan, memberikan respon tindakan anak dengan peringatan verbal, memberi pujian atas perilaku baik anak, namun kurang memberi batasan ketika membantu anak. Orangtua mengaku masih tidur dengan anak, terkadang menyuapi anak jika anak susah makan, memandikan anak, kadang membantu memakaikan sepatu dan mengambilkan tas anak di gantungan ketika pulang sekolah.

Anak yang menunjukkan perilaku mandiri ketika di sekolah ternyata memiliki orangtua yang diduga menerapkan gaya pengasuhan kearah tipe enabling. Dugaan ini muncul ketika orangtua mengaku mengajak anak berdiskusi tentang masalah-masalah kecil, menghindari memberi hukuman fisik, memberikan kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi, mendengarkan alasan anak, dan memberi pujian atau apresiasi atas tindakan anak. Orangtua mengaku ketika di rumah, anak sudah mampu memakai dan melepas baju sendiri, mandi dan makan sendiri, orangtua hanya membantu ketika anak meminta bantuan saat kesulitan.

Berdasarkan fenomena diatas, diduga terdapat hubungan antara gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun. Oleh karena itu, penelitian ini

(8)

dibatasi pada dugaan adanya hubungan antara gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun. Oleh karena itu, peneliti mengadakan penelitian yang berjudul “Hubungan Gaya Pengasuhan Orangtua Tipe Enabling Dengan Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun Di TK PKK 63 Tanjungkarang, Patalan, Jetis, Bantul”.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang berjudul “hubungan gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun di TK PKK 63 Tanjungkarang, Patalan, Jetis, Bantul” adalah penelitian korelasi.

Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian pada bulan November tahun 2014 sampai bulan Juni tahun 2015. Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan April tahun 2015.

Penelitian ini dilakukan TK PKK 63 Tanjungkarang, Patalan, Jetis, Bantul dikarenakan peneliti menemukan permasalahan yang berhubungan dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun.

Subyek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian populasi yang berarti subyek penelitian adalah jumlah keseluruhan anggota populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 5-6 tahun yang ada di TK PKK 63 Tanjungkarang dengan rincian 20 anak dari kelas B1 dan 20 anak dari kelas B2 untuk mengetahui kemandirian anak di sekolah.

Sumber data atau responden dalam penelitian ini adalah 40 orangtua/wali murid anak kelompok B di TK PKK 63 Tanjungkarang untuk mengetahui aspek kognitif dan aspek afektif dalam gaya pengasuhan orangtua tipe enabling.

Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen, yaitu skala gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dan pedoman observasi kemandirian anak usia 5-6 tahun. Variabel gaya pengasuhan orangtua tipe enabling menggunakan skala gaya pengasuhan orangtua tipe enabling. Jawaban setiap butir pernyataan menggunakan skala dengan empat pilihan jawaban. Skala ini memiliki penskoran yaitu Sangat Sesuai (SS) = 4, Sesuai (S) = 3, Tidak Sesuai (TS) = 2, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) = 1. Hasil data yang diperoleh dengan 28 item pernyataan dengan skala 1-4 yang memiliki skor terendah (28 x 1) = 28 dan skor tertinggi (28 x 4) = 112. Mean empirik (µ) = ½ x (112 + 28) = 70.

Variabel kemandirian anak usia 5-6 tahun diukur menggunakan instrumen pedoman observasi. Pedoman observasi terdiri dari 25 item indikator yang masing-masing diamati dalam kurun waktu 6 hari dengan skor 1 untuk setiap peluang yang diberikan. Peluang yang dimiliki setiap anak berbeda-beda, sehingga frekuensi yang diperoleh juga akan berbeda. Peluang dan frekuensi maksimal dari 25 item indikator yaitu 150. Skor tertinggi yaitu 100% dan skor terendah yaitu 0%. Oleh karena itu, tabulasi skor kemandirian anak usia 5-6 tahun akan dihitung dengan perhitungan:

% : persentase

f : frekuensi yang diperoleh p : peluang yang dimiliki anak

Penggolongan subyek dibagi menjadi 3 bagian dengan satuan deviasi standar, yaitu tinggi ((µ + 1.0 ) X); sedang ((µ - 1.0 ) X < (µ + 1.0 )); dan rendah (X < (µ - 1.0 )) (Saifuddin Azwar, 2012: 149). Selanjutnya, skor subyek kemandirian anak usia 5-6 tahun diinterpretasikan ke dalam 3 kategori yaitu (1) mandiri (2) kurang mandiri (3) tidak mandiri.

(9)

Berikut tabel interpretasi skor observasi kemandirian anak usia 5-6 tahun.

Tabel 1. Interpretasi Skor Observasi

Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun

Skor Interpretasi

(µ + 1.0 ) X Mandiri

(µ - 1.0 ) X < (µ + 1.0 ) Kurang mandiri X < (µ - 1.0 ) Tidak mandiri Sumber: hasil pengolahan data

Teknik Analisis Data

a. Korelasi Product Moment

Uji hipotesis korelasi antara gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun menggunakan korelasi product moment dari Pearson. Pengambilan keputusan perhitungan korelasi menggunakan SPSS versi 16 for windowsdalam pengujian hipotesis ini adalah taraf signifikansi: sig. p< 0.05 = Hal itu berarti hubungan antar variabel signifikan.

sig. P> 0.05 = Hal itu berarti hubungan antar variabel tidak signifikan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi data Gaya Pengasuhan Orangtua

Tipe Enabling

Skala gaya pengasuhan orangtua tipe enabling terdiri dari 28 item pernyataan. Skor jawaban yang tertinggi adalah 4 dan skor jawaban terendah adalah 1.

Tabel 2. Deskripsi Data Gaya Pengasuhan Orangtua Tipe Enabling

N Valid Missing 40 0 Mean 86.38 Median 85.00 Mode 82a Std. Deviation 6.946 Variance 48.240 Range 31 Minimum 74 Maximum 105

Sumber: hasil pengolahan data

Berdasarkan data yang telah diolah dapat diketahui bahwa gaya pengasuhan orangtua tipe enabling memiliki nilai maksimal empirik sebesar 105, skor minimal empirik 74, rentangan data 31, mean86.38, dan standar deviasi 6.946.

2. Deskripsi Data Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun

Tabel 3. Deskripsi Data Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun N Valid Missing 400 Mean 93.80 Median 95.50 Mode 98 Std. Deviation 5.214 Variance 27.190 Range 26 Minimum 74 Maximum 100

Sumber: hasil pengolahan data

Berdasarkan data yang telah diolah menunjukkan bahwa kemandirian anak usia 5-6 tahun memiliki nilai maksimal empirik sebesar 100, skor minimal empirik 74, rentangan data 26, mean93.80, dan standar deviasi 5.214. Mean empirik diperoleh dari penjumlahan skor tertinggi empirik dibagi skor terendah empirik dibagi dua yaitu 50.

Kategori kemandirian anak usia 5-6 tahun dibagi menjadi 3 kategori, yaitu mandiri, kurang mandiri, dan tidak mandiri.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun

Skor Frekuensi Interpretasi

72.82% X 40 Mandiri

22.82% X < 72.82%

0 Kurang mandiri X < 22.82% 0 Tidak mandiri Sumber: hasil pengolahan data

Berdasarkan hasil pengolahan data diatas menunjukkan bahwa seluruh subyek atau 40 anak Kelompok B (100%) dalam penelitian ini masuk ke dalam kategori mandiri. Apabila digambarkan dalam bentuk diagram, akan tampak seperti gambar di bawah ini.

(10)

Gambar 1. Diagram Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun

3. Hubungan Gaya Pengasuhan Orang Tua Tipe Enabling dengan Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun

Berdasarkan perhitungan uji korelasi product moment diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p(0.952)>0.05. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan orangtua dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun di TK PKK 63 Tanjungkarang, Patalan, Jetis, Bantul.

Tabel 5. Hasil Uji Korelasi Gaya Pengasuhan Orangtua Tipe Enabling dengan Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti yang menyatakan ada hubungan antara gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun di TK PKK 63 Tanjungkarang. Sumbangan efektif (R2) yang diberikan oleh variabel gaya pengasuhan orangtua tipe enabling terhadap variabel kemandirian anak hanya sebesar 0.01%, sehingga sisanya kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor lingkungan, yaitu guru

dan interaksi anak dengan teman sebaya di sekolah. Kemandirian yang diukur dalam penelitian ini adalah kemandirian anak ketika di sekolah, sehingga terdapat kemungkinan kemandirian anak diwarnai oleh intervensi guru melalui pembiasaan aturan-aturan di sekolah dan interaksi anak dengan teman sebaya.

Arthur dkk., (Rita Eka Izzaty, 2010: 166) menyatakan bahwa institusi prasekolah diharapkan bukan hanya sekedar menyediakan tempat bermain, namun yang juga diharapkan dari sekolah adalah proses internalisasi nilai yang menuju kepada kemampuan mengurus dirinya sendiri (self-help skill) atau kemampuan otonomi. Kemampuan mengurus diri sendiri atau kemandirian anak di sekolah diperoleh melalui imitasi perilaku orang lain, dalam hal ini guru. Menurut Robertsons (Mustika Dewanggi dkk., 2012: 25) perilaku anak dipengaruhi oleh orang dewasa yag mereka perhatikan. Hemmeter dan Ostrosky (Rita Eka Izzaty, 2010: 163) menyatakan anak mempelajari perilaku bukan melalui coba (trial) dan salah (error) namun dengan melihat perilaku orang lain atau model.

Sesuai pendapat Novan Ardy Wiyani (2012: 38) yang menyatakan dengan stimulasi yang terarah dan teratur, anak akan lebih cepat mandiri, sehingga di sekolah guru membantu anak-anak memahami standar kemandirian dan aturan yang ada di sekolah untuk membentuk kemandirian anak melalui contoh dan pembiasaan yang konsisten. Perilaku guru yang dijadikan contoh bagi anak Kelompok B di TK PKK 63 Tanjungkarang yang teramati peneliti yaitu mengucap dan membalas salam, melepas sepatu dan meletakkan di rak sepatu dengan rapi, mengembalikan barang sesuai tempatnya, dan mencontohkan hidup rapi dengan berpakaian rapi, membuang sapah di tempat sampah, serta melipat kembali karpet setelah kegiatan pembuka selesai.

Faktor lain adalah interaksi anak dengan teman sebaya di sekolah. Rita Eka Izzaty (2010: 167) menyatakan ketika berinteraksi dengan teman sebaya, anak dapat memperoleh kesempatan untuk menguji adanya perbedaan ide, belajar bernegosiasi dan mendiskusikan

(11)

sudut pandang yang banyak, serta memutuskan berkompromi atau menolak gagasan dari teman sebaya. Santrock (2011: 122) menambahkan, jika anak berpikir bahwa ia mampu melakukan lebih baik, sama baik, atau bahkan lebih buruk dari teman sebaya. Hal ini terlihat ketika anak-anak mencoba berperilaku mandiri ketika melihat teman sebayanya melakukan sesuatu yang mencerminkan kemandirian, sehingga anak terdorong ingin melakukan hal yang sama dengan temannya.

Derry Iswidharmanjaya dan Sekarjati Svastiningrum (2008: 18) menambahkan dalam masa ini anak belum mampu bekerja sama sehingga terkadang menimbulkan pertengkaran. Dengan kata lain, melalui hubungan teman sebaya, anak akan belajar berpikir mandiri tentang bagaimana seharusnya bersikap untuk menyelesaikan masalah ketika mengalami pertengkaran dengan teman. Anak-anak Kelompok B sering terlibat pertengkaran, sehingga melalui bantuan guru sebagai penengah anak dapat belajar menyelesaikan masalah dengan saling memaafkan.

Dalam penelitian ini, kemungkinan terdapat perbedaan antara kemandirian anak ketika berada di sekolah dengan kemandirian anak ketika berada di rumah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya gaya pengasuhan yang berbeda antara orangtua dan guru. Prediksi hasil penelitian ini menunjukkan seluruh anak Kelompok B berada dalam kategori mandiri karena terdapat intervensi dari sekolah, yaitu guru dan interaksi anak dengan teman sebaya. Peran guru yang membiasakan anak untuk belajar mandiri melalui pembiasaan yang konsisten setiap hari di sekolah membantu anak menjadi mandiri, namun berbeda halnya apabila ketika di rumah orangtua cenderung memanjakan anak sehingga perilaku mandiri anak tidak muncul. Oleh karena itu, penelitian ini belum sepenuhnya dapat mengukur tingkat kemandirian secara menyeluruh, khususnya kemandirian anak ketika di rumah.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Kesimpulan dari hasil analisis yang diperoleh menunjukkan hasil uji hipotesis dengan nilai koefisien korelasi pada taraf signifikansi 5% dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0.952 (p>0.05) dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak, artinya adalah tidak ada hubungan antara gaya pengasuhan orangtua tipe enabling dengan kemandirian anak usia 5-6 tahun di TK PKK 63 Tanjungkarang, Patalan, Jetis, Bantul.

Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian ini, maka peneliti menyampaikan saran sebagai berikut: (1) bagi orangtua diharapkan dapat dapat memberikan kesempatan yang luas kepada anak untuk dapat bereksplorasi dalam mengembangkan kemandirian sesuai dengan tahapan pencapaian perkembangan usianya, (2) bagi guru anak usia dini diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi kepada guru terkait kemandirian anak Kelompok B dan mempertahankan pembiasaan positif yang bermanfaat bagi kemandirian anak yang telah diterapkan di sekolah saat ini, (3) bagi penelitian selanjutnya, apabila ingin melakukan penelitian serupa hendaknya mengamati kemandirian anak di rumah dan mengkaji peran orang lain yang lebih dominan dalam kemandirian anak seperti guru dan teman sebaya.

DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie & Sarah Prasasti. (2004). Menjadi Orangtua Bijak 101 Cara Membina Kemandirian dan Tanggung Jawab Anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Archer, S. L. (1994). Family Interventions.

Editor: Yvonne Konneker. California: Thousand Oaks Sage Publications International Educational And Professional Publisher. Volume 169.

Beveridge, R. M & Berg, C. A. (2007). Parent– Adolescent Collaboration: An

(12)

Interpersonal Model for Understanding Optimal Interactions (pdf). Jurnal Clinical Child and Family Psychology. DOI: 10.1007/s10567-006-0015-z. Volume 10. Nomor 1. Halaman 25-52. Diakses dari https://www.psych.utah.edu/ pada 20 Januari 2015 jam 09.20 WIB.

Bornstein, M. H. (2005). Handbook Of Parenting Vol. 1 Children and Parenting. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Diakses melalui www.google.co.id/books?id pada 20 Januari 2015 jam 08.00 WIB.

Brooks, J. (2011). The Process of Parenting, Proses Pengasuhan Edisi Kedelapan. (Alih bahasa: Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Casmini. (2007). Emotional Parenting: Dasar-dasar Pengasuhan Kecerdasan Emosi. Yogyakarta: Nuansa Aksara.

Derry Iswidharmanjaya & B. Sekarjati Svastiningrum. (2008). Bila Anak Usia Dini Bersekolah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Eti Nurhayati. (2011). Psikologi Pendidikan Inovatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Euis Sunarti. (2004). Mengasuh dengan Hati

Tantangan yang Menyenangkan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan Anak Jilid 2. (Alih bahasa: Meitasari Tjandrasa). Jakarta: Erlangga.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Mohammad Shochib. (2010). Pola Asuh

Orangtua dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta.

Mustika Dewanggi. et al. (2012). Pengasuhan Orangtua dan Kemandirian Anak Usia 3-5

Tahun Berdasarkan Gender di Kampung Adat Urug. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Volume 5 nomor 1 halaman 19-28. Diakses dari http://www.ikk.fema.ipb.ac.id/ pada 4 Juli 2015 jam 12.48 WIB.

Novan Ardy Wiyani. (2012). Bina Karakter Anak Usia Dini: Panduan Orangtua dan Guru dalam membentuk Kemandirian dan Kedisiplinan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Parker, K. D. (2005). Menumbuhkan Kemandirian dan Harga Diri Anak. (Alih bahasa: Bambang Wibisono). Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Rita Eka Izzaty. (2007). Aktivitas Pengasuhan Sebagai Prediktor Tingkah Laku Bermasalah. Jurnal Ilmiah Pendidikan Cakrawala Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (pdf). Tahun XXVI Nomor 3 Halaman 294-304. Diakses dari http://staff.uny.ac.id pada 13 Juli 2015 jam 19.05 WIB.

. (2010). Pemecahan Masalah Sosial Sebagai Faktor Penting Dalam Pendidikan Karakter Anak Sejak Usia Dini. Jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (pdf). Volume 6 Nomor 2 Halaman 156-170. Diakses dari http://staff.uny.ac.id pada 13 Juli 2015 jam 21.22 WIB.

Saifuddin Azwar. (2014). Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock, J. W. (2011). Live-Span Development Thirteenth Edition. New York: Mc-Graw Hill Companies.

Singgih D. Gunarsa & Y. Singgih D. Gunarsa. (2006). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak.

Gambar

Tabel 1. Interpretasi Skor Observasi
Tabel 5.  Hasil  Uji  Korelasi Gaya  Pengasuhan  Orangtua  Tipe  Enabling  dengan  Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah membentuk model matematika untuk mengoptimalkan rata-rata produksi 3 jenis tanaman pangan yaitu padi, ketela pohon dan jagung

Kelimpahan ikan menggaru di zona inti relatif lebih tinggi (180 ind/ha) jika dibandingkan dengan zona pemukiman (140 ind/ha). Beberapa aspek biologi yang dihasilkan dalam studi

Dengan menggunakan UML kita dapat membuat model untuk semua jenis aplikasi piranti lunak, dimana aplikasi tersebut dapat berjalan pada piranti keras, sistem operasi dan

Pengolahan data yang dilakukan menunjukkan kemampuan citra satelit Terra MODIS dalam mengekstrak parameter suhu permukaan yang berguna untuk mengidentifikasi titik api,

Bayi yang tidak mendapat ASI Eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi mengalami gizi kurang daripada bayi yang mendapat ASI Eksklusif dan pemberian ASI eksklusif

Mengikutsertakan hasil riset khususnya RIFOS (hasil yang sudah diaplikasikan) dalam kompetisi pengabdian masyarakat yang diadakan universitas tertentu. Membagikan kegiatan riset

Pada lengan tangan biasanya menggunakan kelat bahu dan pada patung ini tidak, juga pergelangan tangan orang Jawa biasanya memakai gelang keroncong, tetapi pada patung ini

Penelitian yang dilakukan Alim, dkk (2007) yang meneliti tentang pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit dengan etika auditor sebagai