viii
Universitas Kristen Maranatha Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan untuk memeroleh gambaran dinamika subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan studi kasus. Penelitian ini menggunakan dua kasus, dengan karakteristik bahwa perceraian orang tua terjadi ketika remaja berada pada rentang usia sekolah dasar.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara secara mendalam. Kerangka wawancara dibuat oleh peneliti berdasarkan teori subjective well-being dari Ed Diener dan Robert Biswas-Diener (2008). Kredibilitas dari penelitian ini ditingkatkan dengan menggunakan triangulasi data.
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan mixed methods content analysis, diperolehlah gambaran dinamika subjective well-being dilihat dari aspek dan faktor yang memengaruhinya. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa saat ini remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dikatakan cenderung bahagia (subjective well-being). Agama, pendapatan, relasi sosial, dan tujuan hidup merupakan faktor penting yang memengaruhi tercapainya subjective well-being.
ix
Universitas Kristen Maranatha Abstract
This research is a case study concerning subjective well-being in adolescents in the period of emerging adulthood whose parents were divorced. The purpose of this research is to obtain the dynamic of subjective well-being in adolescents in the period of emerging adulthood whose parents were divorced. This research used two cases, with characteristic that parental divorce occurred when adolescents were in primary school.
The data is obtained by using in-depth interview. Framework interview is made by researcher using subjective well -being theory by Ed Diener and Robert Biswas-Diener (2008). Credibility of this research is improved by using data triangulation.
Based on data analysis using mixed methods content analysis, researcher obtains the picture of the dynamic of subjective well-being from the aspects and influencial factors. Conclusion from this research is adolescents in the period of emerging adulthood whose parents were divorced tend to be happy (subjective well-being). Religion, income, social relations, and the purpose of life are important factors that influence the achievement of subjective well-being.
x
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRACT ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR BAGAN ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 7
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1 Maksud Penelitian ... 8
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Kegunaan Penelitian ... 8
xi
Universitas Kristen Maranatha
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 9
1.5 Kerangka Pikir ... 10
1.6 Asumsi ... 19
BAB II KERANGKA TEORITIK 2.1 Subjective Well-Being ... 20
2.1.1 Pengertian ... 21
2.1.2 Prinsip Utama ... 22
2.1.3 Aspek-aspek Subjective Well-Being ... 24
2.1.4 Faktor-faktor yang memengaruhi Subjective Well-Being ... 28
2.2 Perceraian ... 32
2.2.1 Faktor-faktor yang memengaruhi dampak perceraian ... 36
2.3 Masa Emerging Adulthood ... 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 42
3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 42
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 43
3.3.1 Variabel Penelitian ... 43
3.4.2 Definisi Operasional ... 43
3.4 Pedoman Wawancara ... 44
xii
Universitas Kristen Maranatha
3.4.2 Pedoman Wawancara Data Penunjang ... 44
3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 45
3.4.4 Kredibilitas ... 46
3.5 Karakteristik Kasus ... 46
3.6 Teknik Analisis Data ... 47
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Data ... 49
4.1.1 Data F ... 49
4.1.2 Data S ... 79
4.1.3 Perbandingan Kasus ... 99
4.2 Pembahasan ... 101
4.2.1 Pembahasan Kasus F ... 101
4.2.2 Pembahasan Kasus S ... 109
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 115
5.2 Saran ... 116
5.2.1 Saran Teoritis ... 116
xiii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
xiv
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 19
Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 42
Bagan 4.1 Content Analysis F ... 78
xv
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pedoman Wawancara Subjective Well-Being ... 44
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Data Penunjang ... 45
Tabel 4.1 Content Analysis Afek Positif F ... 59
Tabel 4.2 Content Analysis Afek Negatif F ... 61
Tabel 4.3 Content Analysis Life Satisfaction F ... 64
Tabel 4.4 Content Analysis Flourishing F ... 65
Tabel 4.5 Content Analysis Tujuan Hidup F ... 68
Tabel 4.6 Content Analysis Relasi Sosial F ... 70
Tabel 4.7 Content Analysis Pendapatan F ... 73
Tabel 4.8 Content Analysis Agama F ... 76
Tabel 4.9 Content Analysis Afek Positif S ... 85
Tabel 4.10 Content Analysis Afek Negatif S ... 87
Tabel 4.11 Content Analysis Life Satisfaction S ... 88
Tabel 4.12 Content Analysis Flourishing S ... 89
Tabel 4.13 Content Analysis Tujuan Hidup S ... 91
Tabel 4.14 Content Analysis Relasi Sosial S ... 93
Tabel 4.15 Content Analysis Pendapatan S ... 94
Tabel 4.16 Content Analysis Agama S ... 96
xvi
Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Daftar Pertanyaan Subjective Well-Being
Lampiran B : Daftar Pertanyaan Data Penunjang
Lampiran C : Identitas dan Content Analysis Hasil Wawancara dengan Ibu F
Lampiran D : Identitas dan Content Analysis Hasil Wawancara dengan Teman F
Lampiran E : Identitas dan Content Analysis Hasil Wawancara dengan Ibu S
Lampiran F : Identitas dan Content Analysis Hasil Wawancara dengan Teman S
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1980). Di Inggris, perceraian mulai menjadi suatu tren sosial sejak disahkannya Divorce
Reform Act tahun 1969 menjadi suatu hukum (Walczak & Burns, 1984).
Keberadaan hukum tersebut membuat perceraian menjadi semakin mudah dan semakin dijadikan solusi untuk mengakhiri pernikahan yang tidak bahagia. Hal ini membuat Inggris berada pada peringkat sepuluh, negara dengan tingkat perceraian tertinggi (United Nations, 2013. Top Ten Countries with Highest Divorce Rates, 8 Oktober 2013. http://www.mapsofworld.com).
2
Universitas Kristen Maranatha Di Indonesia sendiri, perceraian menjadi legal secara hukum sejak disahkannya Undang-Undang Perkawinan, UU No.1 tahun 1974. Saat ini, angka perceraian di Indonesia semakin meningkat. Menurut Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (BPA) Mahkamah Agung RI, H Wahyu Widiana, berdasarkan hasil rekapitulasi dari 33 Pengadilan Tinggi Agama (PTA) se-Indonesia sejak tahun 2005 – 2011, angka perceraian di Indonesia naik drastis hingga 70 persen pertahun. Jika pada tahun 2005 angka perceraian hanya 55.509 perkara, maka pada tahun 2011 menjadi 333.844 perkara (Dirjen Badan Peradilan Agama, 2012. Angka Perceraian di Indonesia Memprihatinkan. Pikiran Rakyat Online Jumat, 10 Februari 2012. http://www.pikiran-rakyat.com). Dari 333.844 perkara perceraian di tahun 2011, sebanyak 80 persen gugatan diajukan oleh istri. Berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama, ditemukan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu timbulnya perceraian (Rosmadi, 2012. Informasi Keperkaraan Peradilan Agama. Kamis, 8 Maret 2012. http://www.badilag.net/). Faktor utama yang menyebabkan terjadinya perceraian adalah ketidakharmonisan (89.092 perkara), tidak bertanggungjawabnya pasangan (74.529 perkara), faktor ekonomi (62.122 perkara), dan gangguan dari pihak ketiga (20.563 perkara).
3
Universitas Kristen Maranatha kelelahan, dan stres (Strohschein, 2007 dalam Fagan & Churchill, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Strohschein (2007), terlihat jelas bahwa perceraian dapat memengaruhi orang-orang di sekitar pasangan, terutama anak.
Perceraian menyebabkan anak mengalami reaksi emosional yang menyakitkan (Amato dan Keith, 1991 dalam Amato, 1994). Namun, intensitas dan cara mereka menyampaikan perasaan bervariasi sesuai dengan jenis kelamin, temperamen, dan usia anak. Anak laki-laki lebih mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara sosial. Anak-anak yang memiliki difficult temperament kurang mampu bertahan terhadap stres dan menunjukkan beragam kesulitan dalam jangka waktu yang lama. Anak usia pra sekolah memiliki penyesuaian diri terhadap perceraian yang lebih baik daripada anak usia sekolah (Wallerstein & Blakeslee, 1989 dalam Amato 1994).
Anak usia sekolah dasar memiliki kematangan kognisi yang lebih baik daripada anak usia pra sekolah, sehingga mereka dapat lebih memahami arti dari perceraian (Amato, 1994). Menurut Amato (1994), pemahaman anak usia sekolah dasar mengenai perceraian dapat menimbulkan rasa kehilangan, perasaan sedih, dan depresi. Beberapa anak menganggap perceraian sebagai suatu penolakan atas diri mereka. Anak cenderung akan menyalahkan orang tua atas terjadinya perceraian dan merasakan amarah yang sangat besar terhadap satu atau kedua orang tuanya.
4
Universitas Kristen Maranatha rendah daripada anak yang berasal dari keluarga yang lengkap (Amato & Keith, 1991 dalam Amato,1994). Masalah-masalah tersebut mencakup prestasi akademis yang lebih rendah, gangguan perilaku, penyesuaian (adjustment) psikologis yang lebih buruk, self concept yang lebih negatif, dan mengalami kesulitan secara sosial. Dampak perceraian orang tua yang dialami anak usia sekolah dasar dapat menghambat anak untuk memenuhi tugas perkembangan pada masa emerging
adulthood.
Masa emerging adulthood adalah suatu masa transisi antara remaja dan dewasa, yang berkisar antara usia 18-25 tahun (Arnett, 2007). Emerging
adulthood adalah masa di mana remaja mengeksplorasi berbagai kemungkinan
dalam hal percintaan dan pekerjaan, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk berkomitmen pada kedua hal tersebut. Selain itu, remaja juga memfokuskan dirinya untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan pemahaman diri
(self-understanding) yang dibutuhkan saat mereka dewasa.
Berikut hasil survey awal kepada dua orang remaja dalam masa emerging
adulthood. Responden pertama berinisial F. F berusia delapan tahun ketika orang
tuanya bercerai. Saat ini F berusia 18 tahun, siswi kelas tiga SMA. Sebelum bercerai, ayahnya jarang pulang ke rumah. Saat ayahnya berkunjung ke rumah, F sempat mendengar kedua orang tuanya bertengkar. Ayah F pernah membanting barang-barang di rumah, karena ibu F tidak memberikan uang kepada suaminya.
5
Universitas Kristen Maranatha sekitar pukul 11 hingga pukul satu malam, karena lokasi rumahnya yang jauh. F juga merasa kasihan kepada ibunya yang harus membanting tulang agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikannya. F sangat marah pada ayahnya yang telah membuat ibunya mengalami kesusahan. Ia sempat berpikir ingin membunuh ayahnya. Perpisahan orang tuanya membuat F menjadi lebih pendiam dan cenderung menutup diri saat berelasi dengan lawan jenis. Sejak kecil, F telah mengikuti berbagai macam kursus, seperti kursus menggambar, biola, dan balet. Namun, kursus yang masih ditekuni oleh F hingga saat ini adalah kursus balet. F berniat untuk membuka sekolah balet. Selain harapannya untuk membuka sekolah balet, F pun berniat melanjutkan pendidikannya di bidang kedokteran.
Responden kedua berinisial S. S berada di kelas enam SD, ketika orang tuanya bercerai. Saat ini S berusia 20 tahun, mahasiswi semester dua, dan memiliki dua orang adik. Sebelum kedua orang tuanya bercerai, S cukup sering mendengar keduanya bertengkar. Menurutnya, alasan dari pertengkaran itu adalah karena ayah S sering keluar rumah di malam hari untuk berjudi. Sebelum meninggalkan rumah, ayah S sempat bertengkar dengan ibunya. Ayah S meninggalkan banyak hutang karena kebiasaan berjudinya tersebut. Hingga saat ini, S tidak pernah berkomunikasi dengan ayahnya.
6
Universitas Kristen Maranatha keuangan keluarga dengan membuat online shop. S masih berharap ayahnya bisa kembali ke rumah, sehingga ia bisa memiliki keluarga yang lengkap.
Berdasarkan hasil survey awal, perceraian orang tua membuat subjek merasakan iri hati, kebencian, kesepian, dan kemarahan. Bahkan, salah satu subjek masih merasakan dampak dari perceraian orang tuanya. Salah satu subjek lebih menutup diri dan membatasi relasinya, terutama dengan lawan jenis. Kurangnya pemahaman diri dan eksplorasi dalam membina hubungan dengan lawan jenis dapat menghambat subjek penelitian ini untuk memenuhi tugas perkembangan dalam masa emerging adulthood. Kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan dapat menimbulkan kesulitan dalam menghadapi tugas di tahap berikutnya dan dapat menimbulkan ketidakbahagiaan (Hurlock, 1980).
Kebahagiaan, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan subjective
well-being, adalah semua jenis evaluasi, baik kognitif maupun afektif, yang dibuat
7
Universitas Kristen Maranatha positif atas aspek kehidupan lainnya. Flourishing berhubungan dengan apakah individu memiliki tujuan hidup, serta merasa bahwa hidupnya berarti.
Perceraian orang tua memberikan dampak yang berbeda pada masing-masing individu. Berdasarkan hasil survey awal, didapati bahwa peceraian orang tua dapat menimbulkan afek negatif. Perceraian orang tua juga memengaruhi area-area kehidupan, seperti kondisi ekonomi dan relasi sosial remaja dalam masa
emerging adulthood. Relasi sosial dan kondisi ekonomi merupakan faktor yang
memengaruhi kepuasan hidup (life satisfaction). Afek negatif dan life satisfaction merupakan aspek-aspek dari subjective well-being. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Kasus Mengenai
Subjective Well-Being Pada Remaja dalam Masa Emerging Adulthood yang Orang
Tuanya Bercerai”. Penelitian ini pun difokuskan pada sampel yang orang tuanya bercerai ketika mereka berada pada rentang usia sekolah dasar, karena dianggap bahwa perceraian pada masa itu berdampak besar pada remaja dalam masa
emerging adulthood.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian yang dilakukan ini, ingin diketahui bagaimana gambaran
subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang
8
Universitas Kristen Maranatha 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk memperoleh gambaran
subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang
tuanya bercerai.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dinamika subjective
well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya
bercerai berdasarkan aspek: afek positif, afek negatif, kepuasan hidup (life
satisfaction), dan kepuasan atas aspek kehidupan lainnya (flourishing), serta
berdasarkan faktor: tujuan hidup, relasi sosial, pendapatan, dan agama.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
• Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial mengenai subjective well-being pada remaja dalam masa emerging
adulthood yang orang tuanya bercerai.
• Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi
peneliti lain yang berminat melakukan penelitian mengenai subjective
9
Universitas Kristen Maranatha 1.4.2 Kegunaan Praktis
• Bagi remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya
bercerai, agar mengetahui subjective well-being pada dirinya; mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi subjective
well-being mereka; serta mengetahui peran mental process bagi subjective
well-being mereka. Informasi ini diharapkan dapat membantu remaja
dalam masa emerging adulthood untuk menyadari pentingnya berpikir positif dalam mencapai subjective well-being.
• Bagi orang tua dari remaja dalam masa emerging adulthood yang
bercerai, agar memeroleh informasi mengenai subjective well-being anaknya, sehingga dapat memberikan dukungan kepada anaknya. Dukungan dan pendampingan dari orang tua dapat membantu anak untuk beradaptasi terhadap situasi tidak menyenangkan akibat dari perceraian orang tua.
• Bagi masyarakat, agar memeroleh informasi bahwa dampak perceraian
orang tua pada saat anak berada pada rentang usia sekolah dasar dapat memengaruhi anak saat mereka memasuki masa emerging adulthood, sehingga dapat memberikan dukungan kepada remaja dalam masa
emerging adulthood agar dapat beradaptasi dan mengatasi dampak dari
10
Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pikir
Anak usia sekolah dasar memiliki minat yang tinggi untuk berkelompok dan berkomunikasi dengan anggota kelompoknya (Hurlock, 1980). Meskipun lingkungan sosial anak usia sekolah dasar semakin meluas, namun hubungan dengan keluarga tetap menjadi hal yang penting dalam memengaruhi perkembangan anak. Pada rentang usia sekolah dasar terjadi peralihan antara pembicaraan egosentris menjadi pembicaraan sosial. Peralihan ini membuat anak lebih memberikan perhatian terhadap apa yang dikatakan oleh orang lain. Adanya kematangan kognisi membuat anak usia sekolah dasar dapat memahami arti dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kebutuhan akan peran keluarga dan pemahaman yang meningkat menyebabkan anak usia sekolah dasar lebih merasakan dampak dari perceraian.
11
Universitas Kristen Maranatha Anak usia sekolah dasar akan gagal memperoleh keterampilan sosial untuk mengatasi perbedaan pendapat apabila anak tersebut berasal dari keluarga dengan tingkat konflik yang tinggi. Kegagalan dalam memeroleh keterampilan sosial ini dapat memengaruhi kemampuan anak usia sekolah dasar untuk membentuk dan mempertahankan persahabatan. Perceraian dapat menyebabkan anak usia sekolah dasar kesulitan dalam mencapai prestasi akademik yang baik, apabila orang tua yang tinggal bersamanya mengalami kesulitan ekonomi dan tidak dapat menyediakan sarana yang dapat menunjang pendidikan anak tersebut.
Perceraian dapat mengganggu stabilitas psikologis pada anak usia sekolah dasar (Hill, 1993 dalam Fagan & Churchill, 2012). Anak usia sekolah dasar akan memiliki kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang rendah, serta lebih banyak mengalami perasaan negatif dan masalah-masalah yang berhubungan dengan emosi anak usia sekolah dasar. Anak mengalami reaksi emosi yang beragam, seperti kesedihan, kemarahan, kesepian, depresi, kecemasan, kekhawatiran, kepuasan hidup yang lebih rendah, self esteem dan kepercayaan diri yang lebih rendah, ketakutan, kerinduan, self concept yang negatif, serta penolakan. Dampak-dampak dari perceraian dapat memengaruhi anak usia sekolah dasar saat memasuki masa emerging adulthood.
12
Universitas Kristen Maranatha memfokuskan dirinya untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan pemahaman diri (self-understanding) yang dibutuhkan saat mereka dewasa. Perceraian orang tua saat remaja dalam masa emerging adulthood berada pada rentang usia sekolah dasar dapat mengakibatkan remaja mengalami kesulitan untuk memenuhi tugas perkembangan di masa emerging adulthood.
Perceraian orang tua yang terjadi saat remaja dalam masa emerging
adulthood berada pada rentang usia sekolah dasar dapat menyebabkan remaja
kesulitan dalam membina hubungan romantis pada masa dewasa (Fagan & Churchill, 2012). Hal ini terjadi karena remaja dalam masa emerging adulthood memiliki kepercayaan diri yang lebih rendah dan merasa takut akan ditinggalkan. Selain itu, mereka juga memiliki komitmen, tingkat kepuasan, dan kepercayaan terhadap pasangan yang lebih rendah dalam membina hubungan percintaan. Selain itu, perceraian orang tua yang terjadi saat remaja dalam masa emerging
adulthood berada pada rentang usia sekolah dasar dapat menurunkan kinerja dan
prestasi akademis, serta menurunkan kecenderungan remaja dalam masa emerging
adulthood untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Prestasi akademik
dan kecenderungan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang rendah membuat remaja tidak dapat mengembangkan pengetahuan dan keahlian yang akan mereka butuhkan saat dewasa. Kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan dapat memengaruhi kebahagiaan remaja.
13
Universitas Kristen Maranatha proses berarti bahwa setiap interpretasi yang remaja dalam masa emerging
adulthood lakukan dalam hidup sehari-hari menentukan bagaimana mereka
merasakan kesejahteraan. Proses mental (mental process) dapat memengaruhi remaja dalam masa emerging adulthood dalam mencapai kebahagiaannya.
Belajar untuk menginterpretasi setiap peristiwa secara positif merupakan suatu hal yang penting. Berpikir positif bukan berarti mengabaikan peristiwa negatif atau berpura-pura bahwa hidup dapat menjadi lebih baik selama menghadapi kesulitan. Berpikir positif berarti bahwa remaja dalam masa
emerging adulthood memperhatikan keberhasilan atau hal baik yang telah
diperolehnya, terbuka terhadap penjelasan atas suatu peristiwa, dan mengingat hal-hal yang baik yang terjadi pada hidupnya. Sikap positif dapat dilihat dari komponen-komponen, seperti atensi, interpretasi, dan memori.
Remaja dalam masa emerging adulthood yang memiliki pola pikir yang positif akan memfokuskan dirinya pada hal-hal yang positif. Mereka akan menyadari bahwa terdapat sisi positif dari perceraian orang tuanya. Remaja dalam masa emerging adulthood akan menilai sejauh mana mereka dapat berkembang dalam mengatasi kesulitan yang dialaminya. Setelah itu, mereka akan mengingat kembali perkembangan yang telah dicapainya. Dengan mengembangkan strategi berpikir yang positif, remaja yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar akan dapat memenuhi tugas perkembangan pada masa
emerging adulthood dan mencapai kebahagiaan.
Kebahagiaan, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan subjective
14
Universitas Kristen Maranatha individu atas hidupnya (Diener, 2008). Subjective well-being memiliki empat aspek, yaitu afek positif, afek negatif, life satisfaction, dan flourishing. Afek positif merupakan suasana hati dan emosi yang menyenangkan, seperti kegembiraan dan kasih sayang. Afek negatif meliputi suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan, serta mewakili respon negatif yang individu alami terhadap kehidupan, kesehatan, peristiwa, dan lingkungannya. Life satisfication menunjukkan bagaimana individu mengevaluasi dan menilai hidupnya secara keseluruhan. Flourishing adalah evaluasi positif atas aspek kehidupan lainnya, seperti kesehatan, pekerjaan, relasi, dan waktu luang.
Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar cenderung mengalami emosi negatif yang berkepanjangan. Hal ini mengindikasikan bahwa remaja memandang hidupnya telah berlangsung secara tidak menyenangkan. Perasaan yang tidak menyenangkan dapat memberikan umpan balik mengenai kualitas hidup individu. Remaja yang belajar untuk berpikir positif akan menumbuhkan minat terhadap hal-hal positif. Minat terhadap hal-hal positif dapat meningkatkan emosi positif remaja dan dapat memotivasi remaja untuk membuat suatu perubahan atas hidupnya dengan menentukan tujuan hidupnya. Penyesuaian diri remaja memungkinkannya untuk mempelajari keterampilan baru dan mencapai kemajuan. Berpikir positif dapat menurunkan afek negatif yang terdapat pada remaja dari keluarga yang bercerai.
15
Universitas Kristen Maranatha akan berpikir bahwa dirinya tidak dapat berkembang dari kesulitan yang diakibatkan oleh perceraian orang tuanya. Respon negatif remaja terhadap kehidupan, kesehatan, lingkungan, serta peristiwa yang dialaminya dapat dilihat dari afek negatif remaja tersebut. Afek negatif remaja ditunjukkan melalui suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan, seperti kemarahan, kesedihan, kekhawatiran, kebencian, rasa bersalah, iri hati, dan rasa malu. Remaja yang sudah terbiasa dengan perasaan-perasaan negatif ini akan mengalami suatu bahaya, dimana emosi negatif akan mendominasi emosi positif dalam hal intensitas dan frekuensinya.
16
Universitas Kristen Maranatha Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar cenderung memiliki self esteem dan kepercayaan diri yang rendah. Self esteem dan kepercayaan diri yang rendah dapat membuat remaja memandang rendah kompetensi yang dimilikinya. Remaja yang belajar untuk berpikir positif akan mencari dan menumbuhkan minat terhadap hal-hal yang baru. Mereka juga akan membuat suatu tujuan dalam hidupnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, remaja akan berusaha untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Hal ini dapat meningkatkan self
esteem dan kepercayaan diri remaja. Selain itu, remaja yang belajar untuk berpikir
positif akan berusaha untuk membina relasi sosial yang baik. Dari relasi sosial tersebut, remaja dapat belajar untuk membantu orang lain dalam mencapai kesejahteraannya. Dengan membantu orang lain, remaja akan merasa bahwa hidupnya berarti. Tujuan hidup dan perasaan bahwa hidupnya berarti dapat membantu remaja dalam meningkatkan kepuasan dalam aspek kehidupan lainnya (flourishing).
17
Universitas Kristen Maranatha dalam membantu orang lain mencapai kesejahteraannya. Remaja akan merasa bahwa hidupnya menjadi kurang berarti. Kebingungan dalam menentukan tujuan hidup dan perasaan bahwa hidupnya kurang berarti dapat menyebabkan remaja memiliki kepuasan dalam aspek kehidupan lainnya (flourishing) yang rendah.
Subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang
orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar sangat dipengaruhi oleh faktor tujuan hidup, relasi sosial, pendapatan, dan agama (Diener, 2008). Remaja yang menemukan tujuan untuk mengubah kondisi yang terjadi padanya akan menunjukkan suatu usaha. Usaha yang dilakukan remaja untuk mencapai tujuan tersebut dapat meningkatkan kepuasan hidupnya. Remaja membutuhkan individu lain untuk saling mengasihi dan mencintai. Relasi yang ditandai oleh kepedulian dan pengertian dapat memberikan rasa aman bagi remaja, sehingga mereka tidak ragu untuk mendukung dan berbagi dengan orang lain. Dengan berelasi, remaja dapat menemukan emosi-emosi positif dan membuat kepuasan hidup (life satisfaction) serta kepuasan pada aspek kehidupan lainnya (flourishing) meningkat.
18
Universitas Kristen Maranatha kekaguman, dan kasih sayang. Meningkatnya pengalaman akan emosi positif dapat menurunkan afek negatif yang dirasakan oleh remaja yang orang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada usia sekolah dasar.
Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar akan memiliki subjective
well-being yang tinggi apabila remaja memiliki afek positif lebih dominan daripada
afek negatif, serta merasa puas atas hidup (life satisfaction) dan aspek kehidupan lainnya (flourishing). Afek dikatakan dominan apabila dialami lebih sering daripada afek lainnya. Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar akan memiliki
subjective well-being yang rendah apabila remaja yang memiliki afek negatif lebih
dominan daripada afek positif, serta merasa kurang puas atas hidup (life
19
Universitas Kristen Maranatha 1.1 Bagan Kerangka Pikir
1.6 Asumsi
• Subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood
yang orang tuanya bercerai dapat dipahami melalui aspek: afek positif, afek negatif, kepuasan hidup (life satisfaction), dan flourishing.
• Subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood
yang orang tuanya bercerai dapat dipengaruhi oleh faktor tujuan hidup, relasi sosial, pendapatan, dan agama.
115
Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN dan SARAN
5.1 Kesimpulan
Perceraian orang tua memberikan dampak yang besar bagi anak dalam rentang usia sekolah dasar. Anak usia sekolah dasar mengalami afek negatif akibat perceraian orang tuanya. Selain itu, perceraian mengakibatkan anak usia sekolah dasar mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dan membina hubungan romantis dengan lawan jenisnya. Kondisi setelah perceraian dapat menghambat mereka, ketika memasuki masa emerging adulthood. Pada masa ini, remaja diharapkan dapat mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam hal percintaan dan pekerjaan. Kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan ini dapat membuat remaja tidak bahagia.
Berdasarkan hasil pengolahan terhadap kedua kasus yang digunakan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa saat ini remaja dalam masa emerging
adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dikatakan cenderung bahagia (subjective
well-being). Mental process merupakan hal penting yang memengaruhi remaja dalam
menginterpretasi perceraian orang tuanya. Mental process dapat membantu remaja dalam masa emerging adulthood untuk mengalami afek positif. Selain melalui mental
116
Universitas Kristen Maranatha Ajaran agama membantu remaja untuk memeroleh pengalaman akan emosi positif. Melalui dukungan dan kasih sayang dari relasi sosialnya, remaja dalam masa
emerging adulthood akan dapat menghadapi masa-masa sulitnya. Afek positif
membuat afek negatif yang dialami remaja tidak sedominan sebelumnya. Kondisi ini membantu remaja untuk memeroleh life satisfaction dan flourishing. Tujuan hidup dapat membantu remaja untuk memeroleh flourishing dan pendapatan dapat membantu remaja untuk memeroleh life satisfaction.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, berikut ini adalah beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
5.2.1 Saran Teoritis
• Bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai subjective well-being pada
117
Universitas Kristen Maranatha 5.2.2 Saran Praktis
• Bagi remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai,
agar hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan supaya mereka berusaha untuk berpikir positif atas perceraian orang tuanya, membangun relasi sosial yang saling mendukung, dan berusaha untuk mencapai tujuan hidup mereka. Saat ini relasi sosial dan tujuan hidup merupakan faktor yang paling memengaruhi mereka untuk memeroleh subjective well-being. • Bagi orang tua dari remaja dalam masa emerging adulthood yang orang
tuanya bercerai, agar hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa anak mereka mengalami kesulitan dalam membina relasi dengan lawan jenis akibat perceraian orang tuanya. Diharapkan orang tua dapat memberikan dukungan sehingga anak mereka dapat memenuhi tugas perkembangan di masa emerging adulthood, yaitu untuk mengeksplorasi kemungkinan dalam hal percintaan.
• Bagi masyarakat, agar hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk memberikan dukungan kepada remaja dalam masa
emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. Pemberian dukungan
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Amato, P. R. 1994. Life-Span Adjustment of Children to Their Parent’s Divorce.
The Future of Children, 4, 143-164.
Arnett, J. J. 2007. Adolescence and Emerging Adulthood 3rd Edition: A Cultural Approach. USA: Pearson Prentice Hall.
Creswell, J. W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches 2nd Edition. USA: Sage Publications, Inc.
Diener, E. 1984. Subjective Well-Being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.
_______ 2000. Subjective Well-Being: The Science of Happiness and Proposal for a National Index. American Psychologist, 55, 34-43.
_______, Eunkook M. S., Richard E.L., & Heidi L.S. 1999. Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. Psychological Bulletin, 125, 276-302.
_______, & Robert B. D. 2008. Happiness: Unlocking The Mysteries of
Psychological Wealth. United Kingdom: Blackwell Publishing.
Eddington, N., & Richard S. 2005. Subjective Well-Being (Happiness).
Continuing Psychology Education, 1-16.
Elo, K. & Helvi K. 2007. The Qualitative Content Analysis Process. Journal of
Advanced Nursing, 62 (1), 107-115.
Fagan, P. F., & Aaron Churchill. 2012. The Effects of Divorce on Children.
Marriage & Religion Research Institute, 1-44.
Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan Edisi 5: Suatu Pendekatan
Universitas Kristen Maranatha Johnson, B., et al. 2007. Toward a Definition of Mixed Methods Research.
Journal of Mixed Methods Research, 1, 112-133.
Kumar, R. 1999. Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Begginer. London: Sage Publications.
Padget, D.K. 1998. Qualitative Methods in Social Work Research: Challenge and
Rewards. USA: Sage Publications.
Strauss, A. & Juliet C. 1990. Basics of Qualitative Research: Grounded Theory
Procedures and Techniques. USA: Sage Publications.
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Angell, B. & Lisa T. 2011. Designing and Conducting Mixed Methods Studies. Workshop for the 2011 Society for Social Work and Research Annual Meeting, Rutgers School of Social Work, New Jersey.
Camp, Sarah. 2007. An Explanatory Mixed Methods Content Analysis of Two
State Level Correctional Institutions' Pre-Release Handbook Curriculum Designs, Looking through the Lenses of Two Philosophical Orientations of Education. Dissertation. United States: The Florida State University.
Dirjen Badan Peradilan Agama, 2012. Angka Perceraian di Indonesia Memprihatinkan. Pikiran Rakyat Online Jumat, 10 Februari 2012. http://www.pikiran-rakyat.com.
Office for National Statistics, 2012. Divorce in England and Wales 2011, 20 Desember 2012. http://www.ons.gov.uk.
Rosmadi, 2012. Informasi Keperkaraan Peradilan Agama. Kamis, 8 Maret 2012. http://www.badilag.net/.