iv
ABSTRACT
Research conducted by the researcher discussed about Self Regulation trial training in Forethought phase toward the future Relationship Officer in “X” private Bank in Bandung. This research is conducted to fullfill the Post Graduate Master of Psychological Examination in Maranatha Christian University.
The background of the research is a phenomenon happened recently in the “X” private Bank in Bandung, especially on the new Relationship Officer which have difficulties to make a plan in the beginning of their work and have a lack of confidence to do their jobs. Most of the new Relationship Officer feel inconfident to do a selling process, unable to anticipate the final result, and showed a lack of interest in selling product independently so that sometimes they do not have any courage to face the challenge or obstacle happens on the field. These were the symptom happened in Self Regulation Relationship Officer, especially in the forethought phase. Start from the exist phenomenon, an effort is being needed to enhance self regulation in the forethought phase through the Self Regulation in the forethought phase training. Through this research, we want to find out if there is any enhancement on the self regulation in forethought phase before and after Self Regulation forethought phase training toward the future Relationship Officer in an “X” private Bank in Bandung.
Through this research, the researcher wish the result can give a theoretic usage to give a deeper understanding and enriched the knowledge of Industrial Psychology especially about Self Regulation Theory in the Forethought phase on Relationship Officer, to understand the theory and learning process deeper to prepare Self Regulation training moduls especially Forethought phase and as a consideration for other research which has similar topic. The practical usage include the usage for the future Relationship Officer is expected to be able to enhance knowledge, behaviour and skill in terms of self forethought. For the “X” private Bank is to help to understand the importance of the Self Regulation in the forethought phase which can be made as one agenda in order to enhance Self Regulation in the forethought phase for the future Relationship Offcer.
The theory being used is Self Regulation Theory by Zimmerman, 2000, Experiential Learning (Kurt Levin) and Effective Training by Silberman (1990). The Self Regulation theory is specialized on the Forethought phase which consist of Goal Setting, Strategic Planning, Self Efficacy, Outcome Expectation, Instrinsic Interest / value and Goal Orientation.The research design being used is the experimental quation, to see the effect (as independent variable) which is the Self Regulation in the forethought phase toward the dependent variable which is the future “X” private Bank Relationship Officer in Bandung.
v
vi
ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah mengenai uji coba pelatihan Self Regulation phase Forethought pada calon Relationship Officer Bank Swasta
“X” di Bandung. Penelitian ini disusun untuk memenuhi ujian Pascasarjana
Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Penelitian dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi di Bank Swasta “X”di Bandung pada Relationship Officer baru yang mengalami kesulitan melakukan perencanaan diawal kerjanya dan kurang yakin dapat melaksanakan apa yang menjadi pekerjaannya. Sebagian besar Relationship Officer baru, merasa kurang percaya diri untuk melakukan proses penjualan, kurang mampu mengantisipasi hasil yang akan dicapai dan minat untuk melakukan penjualan kurang ditampilkan. Hal yang tergambar ini merupakan gejala Self Regulation Relationship Officer,terutama pada tahap perencanaan (forethought). Berangkat dari fenomena ini, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan Self Regulation phase Forethought melalui pelatihan Self Regulation phase Forethought. Penelitian ini melihat apakah terdapat peningkatan pada kemampuan Self Regulation phase forethought sebelum dan sesudah pelatihan Self Regulation phase Forethought terhadap calon Relationship Officer Bank Swasta “X” di Bandung.Kegunaan teoretiknya adalah memperdalam pemahaman dan memperkaya pengetahuan Psikologi Industri, terutama tentang teori Self Regulation phase Forethought pada Relationship Officer, memperdalam teori dan prinsip belajar penyusunan modul pelatihan Self Regulation phase Forethought dan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. Kegunaan praktis bagi calon Relationship Officer, agar dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan mengenai Self Regulation phase Forethought. Bagi Bank Swasta “X” untuk membantu memahami pentingnya pelatihan Self Regulation phase Forethought yang dapat dijadikan salah satu agenda pelatihan bagi calon Relationship Officer.
vii
viii DAFTAR ISI
Hal
ABSTRACT iv
ABSTRAK vi
KATA PENGANTAR viii DAFTAR ISI xii DAFTAR TABEL xvii DAFTAR BAGAN xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2. Identifikasi Masalah ... 16
1.3. Maksud Penelitian ... 16
1.4. Tujuan Penelitian ... 17
1.5. Kegunaan Penelitian ... 17
1.5.1. Kegunaan Teoritis ... 17
1.5.2. Kegunaan Praktis ... 18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Self Regulation ... 19
2.1.1. Pengertian Self Regulation ... 19
2.1.2. Struktur Sistem Self Regulation ... 20
2.1.2.1. Forethought Phase (Fase Perencanaan) ... 22
2.1.2.1.1. Task Analysis ... 22
2.1.2.1.2. Self Motivational Belief ... 22
2.1.2.2. Performance or Volitional Control Phase (Fase Pelaksanaan) ... 24
ix
2.1.2.2.2. Self Observation ... 26
2.1.2.3. Self Reflection phase (Fase Refleksi) ... 28
2.1.2.3.1. Self Judgment ... 28
2.1.2.3.2. Self Reactions ... 30
2.1.3. Perkembangan dari Keterampilan Self Regulatory ... 32
2.1.4. Pengaruh-pengaruh Faktor-faktor Sosial dan Lingkungan terhadap Self Regulation ... 35
2.2. Teori Marketing (Pemasaran) ... 37
2.2.1. Pengertian dan Tujuan Pemasaran Jasa Bank ... 37
2.2.2. Definisi dan Tujuan Pemasaran Relasional ... 39
2.2.3. Kepuasan Pelanggan ... 40
2.2.4. Uraian Jabatan Relationship Officer Bank Swasta “X ... 43
2.3. Pembelajaran Eksperiensial ... 45
2.3.1. Siklus Pembelajaran Eksperiensial ... 45
2.3.2. Program Pelatihan Aktif ... 48
2.3.2.1. Pedoman Umum Merancang Program Pelatihan ... 49
2.3.2.2. Mengembangkan Tujuan Umum ... 51
2.3.2.3. Mengembangkan Tujuan Khusus ... 52
2.3.2.4. Pemberian materi Pelatihan ... 53
2.4. Evaluasi Program Pelatihan ... 54
2.4.1. Evaluating Reaction ... 54
2.4.2. Evaluating Learning ... 55
x
2.4.4. Evaluating Result ... 56
2.5. Kerangka Pemikiran ... 57
2.6. Hipotesa ………... 75 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 77
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 80
3.2.1. Variabel Dalam Penelitian ... 80
3.2.2. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional ... 80
3.2.2.1. Definisi Konseptual ... 80
3.2.2.2. Definisi Operasional ... 80
3.3. Pelatihan Self Regulation phase Forethought... 84
3.3.1. Rancangan Modul Training Self Regulation phase Forethought 84 3.4. Alat Ukur ... 97
3.4.1. Alat Ukur Self Regulation phase Forethought ... 97
3.4.1.1. Prosedur Pengisian Kuesioner ... 99
3.4.1.2. Sistem Penilaian ... 99
3.4.2. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 100
3.4.2.1. Validitas Alat Ukur ... 100
3.4.2.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 102
3.5. Evaluasi Pelatihan ... 103
3.6. Populasi dan Teknik Sampling ... 104
xi
3.6.2. Karakteristik Populasi ... 105
3.6.3. Teknik Sampling ... 105
3.6.4 Teknik Analisis ... 105
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 109
4.1.1. Gambaran Sampel ... 109
4.1.2. Hasil Evaluasi Pelatihan (Evaluating Reaction-Kirkpatrick)... 110
4.1.2.1. Sesi 1 : Goal Setting ... 111
4.1.2.2. Sesi 2 : SWOT Analysis ... 113
4.1.2.3. Sesi 3 : Pentingnya Perencanaan dalam Penjualan ... 116
4.1.2.4. Sesi 4 : Perencanaan Strategis dalam Penjualan ... 118
4.1.2.5. Sesi 5 : Praktek Presentasi ... 121
4.1.2.6. Sesi 6 : Praktek Menjual ... 124
4.1.2.7. Sesi 7 : Goal Orientation ... 126
4.1.3. Hasil Penelitian (Evaluating Learning-Kirkpatrick) ... 128
4.2. Pembahasan ... 146
4.2.1. Pembahasan Evaluating Reaction ... 146
4.2.1.1. Pembahasan Sesi Pelatihan ... 146
4.2.1.1.1. Sesi 1 : Ice Breaking (Perkenalan) ... 147
4.2.1.1.2. Sesi 2 : Goal Setting ... 147
4.2.1.1.3. Sesi 3 : SWOT Analysis ... 149
4.2.1.1.4. Sesi 4 : Pentingnya Perencanaan dalam Penjualan 151
xii
4.2.1.1.6. Sesi 6 : Praktek Presentasi ... 155
4.2.1.1.7. Sesi 7 : Praktek Menjual ... 159
4.2.1.1.8. Sesi 8 : Goal Orientation ... 161
4.2.1.2. Pembahasan Hasil Evaluasi Penelitian ... 163
4.2.2. Pembahasan Evaluating Learning ... 165
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 171
5.2. Saran ... 172
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
xiii
Tabel 2.2. Tingkat-tingkat perkembangan dari keterampilan
regulatory
Tabel 3.1. Rancangan Modul Pelatihan Self Regulation phase
Forethought
Tabel 3.2. Tujuan Instruksional Umum, Tujuan Instruksional Khusus
dan Kegiatan Training
Tabel 3.3. Aspek-aspek Self Regulation beserta indikator dan nomor
pernyataan yang diukur dalam kuestioner
Tabel 3.4. Sistem Penilaian Alat Ukur Self Regulation phase
Forethought
Tabel 3.5. Standar Nilai Mutlak dari Skor Self Regulation phase
Forethought
Tabel 3.6. Metode Evaluasi Pelatihan
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Usia Sampel
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Sampel
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Latarbelakang Pendidikan
Tabel 4.4. Evaluasi Goal Setting dalam perencanaan penjualan
Tabel 4.5. Evaluasi SWOT Analysis
Tabel 4.6. Evaluasi Pentingnya Perencanaan dalam Penjualan
Tabel 4.7. Evaluasi Perencanaan Strategis dalam Penjualan
Tabel 4.8. Evaluasi Praktek Presentasi
Tabel 4.9. Evaluasi Praktek Menjual
xiv Tabel 4.11. Hasil Pengolahan Wilcoxon
Tabel 4.12. Tabulasi Silang kemampuan Self Regulation phase
Forethought sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan
Self Regulation phase Forethought
Tabel 4.13. Hasil Pengolahan Wilcoxon (Before-After)
Tabel 4.14. Tabulasi silang kemampuan Goal Setting sebelum dan
sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation phase
Forethought
Tabel 4.15. Tabulasi silang kemampuan Strategic Planning sebelum
dan sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation phase
Forethought
Tabel 4.16. Tabulasi silang kemampuan Self Efficacy sebelum dan
sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation phase
Forethought
Tabel 4.17. Tabulasi silang kemampuan Outcome Expectation
sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation
phase Forethought
Tabel 4.18. Tabulasi silang kemampuan Intrinsic Interest/Value
sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation
phase Forethought
Tabel 4.19. Tabulasi silang kemampuan Goal Orientation sebelum
dan sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation phase
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Triadic forms of Self Regulation
Bagan 2.2 Cyclical Phase of Self-Regulation
Bagan 2.3. Experiential Learning Cycle
Bagan 2.4. Kerangka Pemikiran
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Menurut hasil data Rekapitulasi Institusi Perbankan di Indonesia
per-Mei 2010 (www.newsbanking.com) diinformasikan bahwa di Indonesia
saat ini terdapat 122 (seratus dua puluh dua) Bank Umum, yang terdiri dari
4 (empat) Bank Pemerintahan dan 118 (seratus delapan belas) Bank Swasta
Umum serta 1861 (seribu delapan ratus enam puluh satu) merupakan Bank
Perkreditan Rakyat yang terdiri dari 1718 (seribu tujuh ratus delapan belas)
BPR Konvensional dan 143 (seratus empat puluh tiga) BPR Syariah. Hal
inilah yang menyebabkan saat ini persaingan antar Bank semakin tajam,
dimana antara satu Bank dengan Bank yang lain saling berlomba untuk
mengembangkan strategi didalam mengantisipasi dan menghadapi
persaingan tersebut. (Infobanknews.com, tgl 11 Mei 2011).
Salah satu Bank Swasta Umum yang juga tengah mengantisipasi dan
mempersiapkan untuk ikut bersaing didalam persaingan perbankan nasional
ini adalah Bank Swasta “X”, dimana Bank Swasta “X” mulai
mengembangkan bisnis perbankan di daerah-daerah di pulau Jawa dan
beberapa di luar Jawa dengan membuka banyak cabang, cabang pembantu
dan kantor kas hingga tahun 2014. Bank Swasta “X” memiliki
2 layanan produk funding seperti deposito, tabungan, jasa pembayaran dan
sebagainya. Disamping itu terdapat pula produk lending yang menawarkan
pinjaman/kredit usaha, yaitu UMKM dan Konsumer (Kupeg, Kupen, Kuja).
Sedangkan salah satu produk unggulan dari Bank Swasta “X” ini adalah
pemberian kredit kepada para Pensiunan atau disebut dengan produk
KUPEN. Produk KUPEN ini memberikan kontribusi yang cukup besar,
yaitu 78% (tujuh puluh delapan persen) terhadap pemasukan bagi Bank
Swasta “X”. Produk KUPEN sendiri merupakan produk kredit yang
diberikan kepada pensiunan pegawai negeri, pegawai BUMN dan pegawai
swasta. KUPEN yang ditawarkan oleh Bank Swasta “X” untuk pegawai
negeri mencapai 87% (delapan puluh tujuh persen) dari seluruh kredit
pensiunan yang diberikan oleh Bank Swasta “X” ini. Hal ini dilakukan oleh
Bank Swasta “X” dikarenakan pangsa pasar pensiunan saat ini di Indonesia
masih cukup besar, dimana pengelolaannya baru sekitar 37% (tiga puluh
tujuh persen), sisanya sekitar 63% (enam puluh tiga persen) masih memiliki
peluang yang sangat menjanjikan bagi industri perbankan nasional dewasa
ini. Fenomena lainnya, setiap tahun pensiunan pegawai negeri kurang lebih
mencapai sekitar 6000 (enam ribu) orang, artinya masih besarnya peluang
dan kesempatan yang belum tersentuh oleh pemberian kredit. (Hasil
wawancara dengan salah satu Kepala Departemen Kredit Bank Swasta
“X”).
Salah satu strategi yang dilakukan oleh Bank Swasta “X” didalam
3 seperti ASABRI, yaitu suatu lembaga pemerintahan yang mengelola
pembayaran pensiunan bagi anggota TNI dan POLRI. Sedangkan untuk
pegawai negeri biasanya menjalin hubungan dengan Badan Kepegawaian
Nasional (BKN) sebagai lembaga Negara yang mengelola kepegawaian
termasuk pegawai negeri yang pensiun, dimana BKN juga mengelola
manfaat pensiunan pada pegawai negeri sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP). Relasi atau hubungan baik yang terjalin dengan
instansi-instansi tersebut sangat penting, dimana kemudahan-kemudahan untuk
memperoleh data pensiunan akan lebih mudah jika terbinanya relasi yang
baik.
Pentingnya relasi yang terbina antara Bank Swasta “X” dengan
instansi-instansi yang mengelola dana pensiun ini akan menjadi salah satu
poin penting untuk dapat menghadapi persaingan. Hal ini diantisipasi oleh
Bank Swasta “X” dengan cara agresif mencari nasabah pensiunan sebanyak
mungkin untuk mampu meningkatkan pendapatannya. Hanya saja tidak
mudah untuk menghadapi dan memberikan penjelasan kepada nasabah
pensiunan yang memiliki rentang usia lanjut, yaitu secara umum usia
pensiun normal adalah 55 tahun dan batas usia pensiun wajib maksimum 60
tahun (UU no. 11 tahun 1992) dan Bank Swasta “X” membatasi untuk
nasabah yang dapat menerima dana kredit pensiun maksimal usia 71 tahun
pada saat jatuh tempo kredit.
Calon nasabah yang memiliki karakteristik usia lanjut, akan
4 memahami dan memenuhi kebutuhan dana produktif mereka sehingga calon
nasabah tersebut dapat tertarik untuk mengambil produk KUPEN yang
ditawarkan. Oleh karenanya untuk mencapai target perolehan nasabah
KUPEN, maka Bank Swasta “X” melakukan pengembangan strategi di
bidang marketing, dikarenakan ujung tombak yang mampu meningkatkan
pendapatan dari produk KUPEN ini adalah para tenaga marketingnya. Salah
satu bagian yang terpenting dalam melakukan pemasaran produk ini adalah
kemampuan para tenaga marketing dalam menawarkan produk KUPEN
melalui strategi dan cara pendekatan yang tepat terhadap calon nasabah
yang memiliki karakter usia lanjut. Umumnya usia pensiun seseorang
berada dalam masa penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan yang
terjadi, dari yang biasanya sibuk bekerja sekarang lebih banyak waktu
senggang yang perlu dimanfaatkan dan berkurangnya penghasilan
dikarenakan telah berhenti bekerja. Disamping itu masih banyak pula para
pensiunan yang menanggung biaya kehidupan anak-anaknya yang masih
tinggal serumah dan belum bekerja atau belum menyelesaikan studinya.
Para tenaga marketing perlu untuk melihat secara jeli calon nasabah
yang memang membutuhkan dana produktifnya. Adapun tenaga marketing
yang ada di Bank Swasta “X” sendiri terdiri dari Funding Officer (FO) dan
Relationship Officer (RO). Funding Officer (FO) adalah para tenaga
marketing Bank Swasta “X” yang melakukan penjualan produk Funding,
sedangkan Relationship Officer (RO) adalah tenaga marketing yang
5 KUPEN yang menjadi produk unggulan Bank Swasta “X”. Dalam
menawarkan produk KUPEN, seringkali Relationship Officer (RO) baru
mengalami kesulitan untuk menghadapi calon nasabahnya, dimana mereka
merasa kurang percaya diri untuk melakukan proses pemasaran kepada
calon nasabah yang memasuki usia lanjut. (berdasarkan wawancara dengan
para Relationship Officer baru Bank Swasta “X”). Oleh karenanya
Relationship Officer (RO) perlu melakukan persiapan dan perencanaan yang
efektif untuk dapat berhasil memperoleh jumlah nasabah sesuai target
perbulan yang telah ditetapkan oleh Bank Swasta“X”. Disamping itu
Relationship Officer (RO) juga perlu membuat suatu strategi untuk dapat
membuat calon nasabah tertarik terhadap produk KUPEN yang ditawarkan.
Didalam menjalankan uraian jabatan sebagai Relationship Officer
(RO) diperlukan kemampuan analisa kelayakan calon nasabah, kemampuan
untuk berbicara dihadapan calon nasabah, kemampuan untuk memelihara
hubungan jangka panjang dengan nasabah, serta kemampuan untuk
menawarkan produk melalui telepon dan aktif melakukan
kunjungan/appointment dengan calon nasabah sehingga Relationship
Officer (RO) perlu untuk mengembangkan kemampuan membuat rencana
kerja dan strategi pemasaran produk kredit yang efektif serta sesuai dengan
segmentasi pasar dalam rangka pencapaian target Kantor Cabang. Melihat
calon nasabah yang akan dikelola oleh Relationship Officer (RO) Bank
Swasta “X”, oleh karenanya untuk dapat memperoleh nasabah baru dan
6 penting bagi Relationship Officer (RO) untuk mampu mengenal siapa
kustomernya (knowing your customer) hal ini dilakukan dengan cara :
menyusun rencana langkah-langkah untuk mampu memahami kebutuhan
nasabah, bersedia untuk melakukan kunjungan kepada nasabah, mampu
menjelaskan produk yang hendak ditawarkan dan mampu untuk melakukan
pengawasan pengembangan kredit dan usaha nasabah/debitur.
Melihat dari tuntutan kemampuan yang harus dimiliki oleh
Relationship Officer (RO) Bank Swasta “X” ini, maka proses rekrutmen
yang dilakukan terhadap calon Relationship Officer (RO) pun cukup ketat,
yaitu melalui beberapa tahapan, antara lain : tes administrasi, psikotes,
interview dan tes kesehatan hingga memberikan beberapa pelatihan baik
softskill, seperti : Communication Skill dan Achievement Motivation
Training, maupun hardskill, seperti Product Knowledge dan beberapa
pelatihan-pelatihan lainnya untuk meningkatkan keterampilan perbankan
agar para calon Relationship Officer (RO) ini mampu menjalankan perannya
secara terampil sesuai dengan uraian jabatan Relationship Officer (RO) dan
juga dapat mencapai target yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Divisi Kredit Bank
Swasta “X” dapat diketahui, untuk dapat mencapai target market yang
diharapkan maka Bank Swasta “X” membutuhkan karakteristik Relationship
Officer (RO) yang mampu melihat peluang, memiliki target yang jelas,
7 mengatasi masalah dilapangan secara mandiri dan memiliki daya tahan
dalam menghadapi tekanan yang mutlak harus dimiliki.
Selain itu, informasi lainnya yang dapat diketahui adalah
berdasarkan masukan dan informasi dari Kepala Divisi Kredit Bank Swasta
“X”, diketahui adanya permasalahan yang kerap terjadi selama ini di area
marketing hampir diseluruh cabang Bank Swasta “X” di Indonesia,
khususnya untuk tenaga Relationship Officer (RO) yang baru, antara lain :
kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi secara luwes saat berhadapan
dengan calon nasabah, ketidakmampuan untuk bernegosiasi secara mandiri,
kurangnya kepercayaan diri saat harus memasarkan produk pada
instansi-instansi, kurangnya kesiapan dalam menghadapi permasalahan di area
marketing dan masih kurang adanya kemampuan untuk merencanakan
tahapan penjualan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
melakukan closing ketika melakukan penawaran produk. Masalah-masalah
ini sering dikeluhkan oleh para supervisor dan tentunya sangat menghambat
produktivitas yang mampu dicapai oleh tim Relationship Officer (RO).
Berdasarkan hasil penilaian target pencapaian hingga bulan Agustus 2012
dapat diketahui para Relationship Officer (RO) belum memenuhi target
sesuai ketetapan dari Bank Swasta “X”, yaitu dari pencapaian target yang
seharusnya sebesar 100% (seratus persen), ternyata baru tercapai 70%
(tujuh puluh persen) saja.
Berdasarkan hal inilah maka tim Divisi Kredit melakukan beberapa
8 mengembangkan kemampuan dari para Calon Relationship Officernya
(RO)-nya dengan memberikan training-training perbankan untuk membekali
mereka terhadap pengetahuan akan produk dan juga strategi yang harus
dilakukan sebagai Relationship Officer (RO) dan mengadakan Gathering
Relationship Officer (RO) di seluruh cabang di Indonesia untuk dapat saling
berbagi, mempererat kekompakan dan mendapatkan masukan serta umpan
balik baik dari sisi Relationship Officer (RO) maupun manajemen.
Informasi yang dapat diketahui dari para tenaga Relationship Officer
(RO) baru Bank swasta “X” dikemukakan bahwa mereka merasa sudah
memahami produk yang akan mereka tawarkan kepada nasabah, hanya saja
secara pribadi mereka mengalami hambatan saat berhadapan langsung
dengan calon nasabah maupun individu-individu pemegang keputusan yang
ada pada instansi-instansi mitra kerjasama Bank Swasta “X”. Disamping itu
dari hasil wawancara pada beberapa Relationship Officer diperoleh masih
adanya Relationship Officer (RO) yang beranggapan bahwa bekerja sebagai
Relationship Officer (RO) bukanlah merupakan pilihan atau keinginan
mereka, melainkan untuk mendapatkan pengalaman dan penghasilan
semata, sehingga seringkali para Relationship Officer (RO) baru ini merasa
kurang yakin untuk melakukan proses penjualan, mengalami mental
blocking (gugup, lupa, hilang konsentrasi dan gemetar) saat harus
mempresentasikan produk dan sulit mengendalikan perasaannya sebelum
memulai mempresentasikan produk. Hal inilah yang membuat kegiatan
9 berkurangnya keberhasilan pencapaian target yang diharapkan dan juga
kecilnya insentif yang diperoleh Relationship Officer (RO).
Relationship Officer (RO) baru juga dituntut untuk mampu
menyesuaikan diri dengan iklim budaya tempatnya bekerja, seperti peran
dalam bekerja, tanggungjawab sebagai Relationship Officer (RO), beban
target kerja, hubungan dengan rekan, nasabah dan atasan. Dalam proses
penyesuaian diri ini tiap individu memiliki sikap dan reaksi yang berbeda.
Apabila Relationship Officer (RO) tertantang dengan proses kerjanya dan
merasa sanggup mengatasi meski profesi sebagai Relationship Officer (RO)
bukanlah pilihannya, maka ia akan memiliki sikap positif dalam bekerja,
sehingga akan memperkuat motivasinya untuk melakukan penjualan.
Sebaliknya Relationship Officer (RO) yang merasa kurang tertantang,
bekerja hanya sesuai tugasnya akan mendatangkan konsekuensi negatif
berupa kurangnya semangat dan kemauannya untuk melakukan penjualan.
Relationship Officer (RO) baru sering merasa mereka masih terlalu
muda dan belum mampu menetapkan prioritas target pencapaian (goal
setting) sebagai Relationship Officer (RO) sehingga mereka merasa kurang
yakin untuk mempersiapkan diri secara efektif didalam menghadapi calon
nasabah KUPEN (strategic planning), kurang memiliki keyakinan diri untuk
dapat berkomunikasi secara mendalam terutama dalam mempresentasikan
produk (self efficacy) dan kurang mampu mengantisipasi hasil yang
mungkin akan diperoleh dari kemampuannya untuk membangun networking
10 Relationship Officer (RO) baru juga belum menyadari dan menumbuhkan
minat akan pentingnya melakukan perencanaan sebelum mengunjungi atau
melakukan penawaran produk kepada calon nasabah untuk mempermudah
proses penjualan/selling mereka (intrinsic interest/value).
Berdasarkan wawancara dengan para Relationship Officer (RO)
baru, diperoleh bahwa mereka belum mempunyai tujuan yang jelas (goal
setting) untuk melakukan penjualan/selling dan belum melakukan
perencanaan dalam mengarahkan diri (forethought) untuk mencapai tujuan
dari penjualan/selling tersebut. Selama ini teknik penjualan/selling yang
dilakukan Relationship Officer (RO) baru belum dengan perencanaan,
tetapi hanya menjalankan tugasnya untuk menjual sehingga mereka tidak
siap dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang terjadi di lapangan.
Disamping itu, Relationship Officer (RO) baru juga masih mengandalkan
Relationship Officer (RO) senior maupun supervisornya didalam memulai
membina jalinan networking dengan nasabahnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Relationship Officer (RO)
baru, diketahui bahwa para Relationship Officer (RO) baru belum mampu
mengembangkan strategi tindakan untuk mampu melakukan networking
secara sistematis dan luwes. Mereka belum termotivasi untuk mengarahkan
diri melakukan perencanaan yang sistematis. Untuk dapat menjalankan
peranannya sebagai Relationship Officer (RO) diperlukan perencanaan
11 pencapaian target nasabah KUPEN dapat terpenuhi, dan hal ini juga dapat
membantu mereka dalam peningkatan karier kerjanya.
Gejala yang tergambar di atas merupakan gambaran tentang
perencanaan (forethought) yang merupakan salah satu tahap dalam siklus
self regulation yang kemudian akan berlanjut pada pelaksanaan rencana
(Performance or volitional control), yang diikuti dengan proses refleksi diri
(Self Reflection) untuk dapat mengevaluasi keberhasilan yang telah
dicapainya. Sebagai Relationship Officer (RO) baru, yang belum memahami
pentingnya kegiatan penjualan/selling perlu menyadari potensi diri yang
dimiliki agar dapat berhasil sebagai tenaga pemasaran. Hal ini dapat diawali
dengan mulai mempersiapkan diri dengan mengarahkan diri kepada
perencanaan didalam menghadapi tugas pekerjaannya sebagai Relationship
Officer (RO), dengan tidak hanya melihat/mengamati apa yang telah
dilakukan oleh relationship Officer (RO) senior, melainkan juga
menginternalisasikan apa yang telah diamatinya untuk dapat mengatur diri
dalam melakukan persiapan dan perencanaan sebelum ia dapat terjun ke
lapangan secara mandiri. Proses ini adalah fase Forethought dari self
regulation (Zimmerman, 1989).
Mengingat perencanaan yang baik dan sistematis akan menghasilkan
pencapaian perolehan target nasabah, sehingga pada saat Relationship
Officer (RO) baru terjun ke lapangan sudah mempunyai tujuan (goal
setting) yang jelas serta mampu mengatur diri (self regulation) dalam
12 diharapkan para Relationship Officer (RO) baru mampu melakukan evaluasi
terhadap usaha yang telah dilakukannya untuk dapat tercapai target
perolehan nasabah yang ditetapkan oleh perusahaan.
Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh penulis kepada 20
orang Relationship Officer (RO) baru Bank Swasta “X” diperoleh gambaran
sebagai berikut : 90% (18 orang) para Relationship Officer (RO) baru ini
mengemukakan bahwa mereka memahami adanya kompetensi teknis yang
harus dimiliki oleh seorang Relationship Officer (RO) bank Swasta “X”,
yaitu strategi pemasaran dan bisnis, product knowledge, selling skill,
leverage network, relationship skill dan presentation skill. Hal lain yang
dapat diketahui dari para Relationship Officer (RO) baru ini merasakan
banyak kendala yang dihadapi saat melakukan proses Selling, diantaranya
adalah 80% (16 orang) mengemukakan kesulitan untuk mampu menjawab
pertanyaan (handling question) yang diajukan oleh calon nasabahnya.
Karena jika merujuk pada alasan-alasan yang bisa dikumpulkan adalah
mereka merasa bingung dan tidak bisa memberikan jawaban yang
memuaskan saat harus menjawab pertanyaan teknis di luar konteks product
knowledge, sehingga membuat Relationship Officer (RO) baru merasa tidak
siap memberikan argumentasi yang bisa diterima dalam proses penawaran
maupun negosiasi. Kurangnya kesiapan mental untuk menjadi Relationship
Officer (RO) juga menjadi alasan mereka mengalami kesulitan untuk dapat
memberikan penjelasan yang diperlukan kepada nasabah. Oleh karenanya
13 pada tujuan yang jelas (goal setting), yaitu agar mampu mengarahkan diri
pada perencanaan yang akan dilakukan sebagai Relationship Officer (RO)
untuk mencapai perolehan target sesuai yang diharapkan (Goal Setting) dan
melakukan perencanaan dengan langkah-langkah yang spesifik untuk dapat
mencapai tujuan tersebut (Strategic Planning). Aplikasi perilaku dari hal
perencanaan ini dapat dilakukan antara lain dengan menyediakan waktu
mempelajari product knowledge, melakukan identifikasi data prospek,
merencanakan jadwal kunjungan/pendekatan pada nasabah secara konsisten,
mempersiapkan presentasi dihadapan nasabah dengan baik dan
mempersiapkan rencana tindakan penutupan penjualan disaat yang tepat
(closing).
Fenomena lainnya yang dapat diketahui adalah sekitar 75% (15
orang) mengemukakan bahwa mengalami kendala dalam berkomunikasi
dengan calon nasabah usia lanjut dikarenakan kurangnya keyakinan pada
Relationship Officer (RO) dalam menghadapi calon nasabahnya (Self
Efficacy). Hal ini merupakan salah satu penghambat para Relationship
Officer (RO) baru ini didalam melakukan kegiatan penjualan/selling.
Mereka mengalami keraguan untuk melakukan penyesuaian dengan calon
nasabah tersebut sehingga menimbulkan perasaan grogi dan intonasi suara
yang tidak stabil. Disamping itu Relationship Officer (RO) juga mengatakan
kurang yakin untuk dapat memperoleh nasabah dalam waktu yang cepat,
14 Officer (RO) untuk mengantisipasi hasil yang akan dicapai (Outcome
Expectation).
Fenomena lain yang dapat diketahui, sekitar 70% (14 orang)
mengemukakan bahwa ketika mereka menghadapi calon nasabah mereka
merasakan perasaan takut dan malu untuk ditolak. Hal ini terjadi
dikarenakan mereka kurang yakin untuk dapat melaksanakan hal-hal yang
sudah direncanakan untuk melakukan penjualan/selling (Self efficacy).
Manajemen waktu yang kurang tepat serta ketidak mampuan membaca
situasi dan kondisi calon nasabah (Strategic Planning) juga dirasakan
sebagai kendala oleh sekitar 60% (12 orang) Relationship Officer (RO)
baru, dimana mereka merasa tidak tahu harus berbuat apa untuk dapat
melakukan penjualan. Hal ini terkadang akan membuat Relationship Officer
(RO) merasa kurang berminat untuk melakukan penjualan (Intrinsic
Interest/Value).
Berdasarkan fenomena-fenomena diatas maka dapat diketahui
pentingnya bagi Bank Swasta “X” memberikan pelatihan Self Regulation
phase Forethought untuk meningkatkan kemampuan calon Relationship
Officer (RO) dalam mengatur diri (sefl regulation) untuk perencanaan
(forethought) yang tepat dan mampu menjembatani para calon Relationship
Officer (RO) dalam hal mempersiapkan diri sebelum mereka diterjunkan
sebagai Relationship Officer (RO) baru agar mampu melakukan tugasnya
secara efektif dan baik. Hal ini perlu dilakukan karena dengan adanya
15 Office (RO) untuk dapat memiliki performa yang baik dalam melaksanakan
kegiatan mengelola nasabah dan mencapai perolehan target kerjanya.
Pelatihan Self Regulation phase Forethought yang diharapkan oleh
Bank Swasta “X” adalah tidak sekedar calon Relationship Officer (RO)
mampu mempersiapkan kegiatan penjualan/selling dan mampu
berkomunikasi dengan calon nasabahnya, tetapi juga mereka mampu
mengenal sisi internal diri mereka untuk dapat menetapkan tujuan yang jelas
dan membuat perencanaan strategi yang efektif yang dapat digunakan
nantinya dalam melakukan proses penjualan/selling yang merupakan ujung
tombak untuk perolehan nasabah sesuai bahkan melebihi target yang telah
ditetapkan. Pelatihan yang dapat diberikan kepada calon Relationship
Officer (RO) Bank Swasta “X” ini dalam meningkatkan self regulation fase
foretought adalah Pelatihan Self Regulation phase Forethought.
Pelatihan Self Regulation phase Forethought dirancang oleh penulis
dengan menggunakan metode ceramah, latihan, diskusi dan memberikan
umpan balik agar diperoleh pemahaman dan keterampilan yang
komprehensif dari aspek kognitif, afektif dan perilaku. Dalam hal ini
mereka juga akan dimulai dengan penetapan tujuan yang jelas dan spesifik
sebagai Relationship Officer (RO) baru hingga mampu
mengimplementasikan pemahamannya. Diharapkan dengan menetapkan
tujuan ini, calon Relationship Officer (RO) dapat lebih mudah untuk
mengatur perencanaan pelaksanaan tugas kerjanya sehingga dapat mencapai
16 maupun pihak perusahaan. Dalam hal ini calon Relationship Officer (RO)
juga diajak untuk memahami potensi diri dengan melihat kekuatan yang
dimiliki serta menyadari akan kelemahan diri sehingga mereka dapat
mengarahkan diri untuk lebih menerima dan memanfaatkan potensinya
dengan penuh keyakinan untuk dapat menjalankan rencana kerja yang
disusunnya.
Rancangan pelatihan Self Regulation phase Forethought ini
memerlukan evaluasi untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap
peningkatan self regulation fase forethought pada calon Relationship Officer
(RO) Bank Swasta “X”.
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Apakah pelatihan Self Regulation phase Forethought mampu
meningkatkan Self Regulation phase Forethought pada calon Relationship
Officer Bank Swasta “X” di Bandung.
1.3 MAKSUD PENELITIAN
Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh
gambaran mengenai pelatihan Self Regulation phase Forethought dalam
meningkatkan Self Regulation phase Forethought pada calon Relationship
17 1.4 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui apakah pelatihan Self Regulation phase
Forethought dapat digunakan dalam meningkatkan Self Regulation
phase Forethought pada calon Relationship Officer Bank Swasta
“X” di Bandung
2. Untuk mengetahui apakah ada peningkatan Self Regulation phase
Forethought pada calon Relationship Officer Bank Swasta “X” di
Bandung setelah mengikuti pelatihan Self Regulation phase
Forethought.
1.5 KEGUNAAN PENELITIAN
1.5.1. Kegunaan Teoretis
(a) Memperdalam pemahaman dan memperkaya pengetahuan
Psikologi Industri, terutama tentang teori Self Regulation phase
Forethought pada Relationship Officer (RO).
(b) Memperdalam teori dan prinsip-prinsip belajar untuk
menyusun modul-modul pelatihan Self Regulation phase
Forethought.
(c) Memberikan bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut
18 1.5.2 Kegunaan Praktis
(a) Bagi calon Relationship Officer (RO) Bank Swasta “X”,
pelatihan Self Regulation phase Forethought diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam hal
melakukan merencanakan diri, memotivasi diri dan berperilaku
aktif dalam rangka pencapaian target perolehan nasabah.
(b) Bagi Bank Swasta “X”, pemahaman akan pentingnya pelatihan
Self Regulation phase Forethought dapat dijadikan salah satu
agenda dalam rangka peningkatan Self Regulation phase
Forethought bagi calon Relationship Officer (RO) sehingga
calon Relationship Officer (RO) Bank Swasta “X” dapat
171 BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Berdasarkan hasil pelatihan diketahui bahwa modul pelatihan Self
Regulation phase Forethought dapat digunakan untuk meningkatkan Self
Regulation phase Forethought pada calon Relationship Officer Bank
Swasta “X” di Bandung
2. Berdasarkan hasil penelitian diketahui adanya peningkatan yang signifikan
terhadap Self Regulation phase Forethought sebelum pelatihan dan
sesudah pelatihan.
3. Terjadi peningkatan yang signifikan terhadap masing-masing aspek Self
Regulation phase Forethought (goal setting, strategic planning, self
efficacy, outcome expectation, intrinsic interest/value dan goal
orientation) sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan
4. Berdasarkan enam aspek Self Regulation phase Forethougth, aspek
Intrinsic Interest/Value dan Goal Orientation memperlihatkan
peningkatan yang signifikansinya paling rendah dibanding aspek Self
Regulation phase Forethought lainnya.
5. Peningkatan yang signifikansinya paling tinggi dibanding aspek Self
Regulation phase Forethought lainnya adalah Goal Setting dan Strategic
172 5.2 Saran
1. Perlu adanya follow up mengenai kemampuan Self Regulation phase
Forethought setelah pelatihan untuk melihat perubahan kemampuan self
regulation phase forethought yang terjadi pada peserta dengan disain
penelitian time-series.
2. Menguji cobakan modul pelatihan Self Regulation phase Forethought pada
Funding Officer atau pada bidang industri lain selain perbankan.
3. Menguji efektivitas pelatihan Self Regulation phase Forethought untuk
meningkatkan Self Regulation phase Forethought
4. Melakukan perbaikan modul pada sesi praktek menjual yaitu dengan
menambahkan kesempatan peserta dalam melakukan penjualan
5. Untuk meningkatkan aspek Intrinsic Interest/Value dapat pula
dipertimbangkan strategi lain melalui pemberian pelatihan sesuai
kebutuhan dan menetapkan jalur karir yang jelas
6. Untuk meningkatkan aspek Goal Orientation dapat pula dipertimbangkan
pemberian coaching dan counseling untuk meningkatkan daya tahan
xx
DAFTAR PUSTAKA
Anthony M. Graziano & Michael L. 2000. Research Methods a Process of Inquary. A Preason Education Company.
Bandura, Albert. 1969. Principles of Behavior Modification. Holt, Rinehard and Winston, Inc, New York.
Bandura, Albert. 1977. Social Learning Theory. Prentice-Hall, Inc., New Jersey
Boekaerts, M. Pintrich, P. R, Zeidner, M. 2002. Handbook of Self-Regulation. Academic Press.
Campbell, Donald T & Stanley, Julian C. 1963. Experimental and Quasi Experimental Design for Research. Rand Mc. Nally College Publishing Company, Chicago
Donald L. Kirkpatrick. 1998. Evaluating Training Programs. Berrett-Koehler Publishers, Inc.
European Journal of Psychology of Education, vol. XXIV. 2009. The Impact of Goal Orientation, Self Reflection and Personal Characteristics on the Aquisition of Oral Presentation Skill. No. 3, 293-306.
Fuhrmann, Barbara Schneider. 1990. Adolescence, Adolescent, Second Edition. A Division of Scott, Foresman and Company, Illinois.
Hurlock, Elizabeth.1994. Developmental Psychology. McGraw-Hill, Inc.
Kotler, Philip. 1997. Marketing Management 8th Edition.Prentice Hall, New Jersey
Mel, Silberman, Auerbach, Carol. 1990. Active Training. Lexington Books and Imprint of Macmillan, Inc.
Sitepu, Nirwana. 1994. Analisis Korelasi. Diterbitkan atas usaha Unit Pelayanan Statistika Jurusan Statistik FMIPA UNPAD.
Zimmerman. 2002. Handbook of Self Regulation. McGraw-Hills. New York.