• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Coba Pelatihan Self Regulation Phase Forethought untuk Meningkatkan Self Regulation Phase Forethought pada Calon Relationship Officer Bank Swasta "X" di Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Coba Pelatihan Self Regulation Phase Forethought untuk Meningkatkan Self Regulation Phase Forethought pada Calon Relationship Officer Bank Swasta "X" di Bandung."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

iv

ABSTRACT

Research conducted by the researcher discussed about Self Regulation trial training in Forethought phase toward the future Relationship Officer in “X” private Bank in Bandung. This research is conducted to fullfill the Post Graduate Master of Psychological Examination in Maranatha Christian University.

The background of the research is a phenomenon happened recently in the “X” private Bank in Bandung, especially on the new Relationship Officer which have difficulties to make a plan in the beginning of their work and have a lack of confidence to do their jobs. Most of the new Relationship Officer feel inconfident to do a selling process, unable to anticipate the final result, and showed a lack of interest in selling product independently so that sometimes they do not have any courage to face the challenge or obstacle happens on the field. These were the symptom happened in Self Regulation Relationship Officer, especially in the forethought phase. Start from the exist phenomenon, an effort is being needed to enhance self regulation in the forethought phase through the Self Regulation in the forethought phase training. Through this research, we want to find out if there is any enhancement on the self regulation in forethought phase before and after Self Regulation forethought phase training toward the future Relationship Officer in an “X” private Bank in Bandung.

Through this research, the researcher wish the result can give a theoretic usage to give a deeper understanding and enriched the knowledge of Industrial Psychology especially about Self Regulation Theory in the Forethought phase on Relationship Officer, to understand the theory and learning process deeper to prepare Self Regulation training moduls especially Forethought phase and as a consideration for other research which has similar topic. The practical usage include the usage for the future Relationship Officer is expected to be able to enhance knowledge, behaviour and skill in terms of self forethought. For the “X” private Bank is to help to understand the importance of the Self Regulation in the forethought phase which can be made as one agenda in order to enhance Self Regulation in the forethought phase for the future Relationship Offcer.

The theory being used is Self Regulation Theory by Zimmerman, 2000, Experiential Learning (Kurt Levin) and Effective Training by Silberman (1990). The Self Regulation theory is specialized on the Forethought phase which consist of Goal Setting, Strategic Planning, Self Efficacy, Outcome Expectation, Instrinsic Interest / value and Goal Orientation.The research design being used is the experimental quation, to see the effect (as independent variable) which is the Self Regulation in the forethought phase toward the dependent variable which is the future “X” private Bank Relationship Officer in Bandung.

(2)

v

(3)

vi

ABSTRAK

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah mengenai uji coba pelatihan Self Regulation phase Forethought pada calon Relationship Officer Bank Swasta

“X” di Bandung. Penelitian ini disusun untuk memenuhi ujian Pascasarjana

Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Penelitian dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi di Bank Swasta “X”di Bandung pada Relationship Officer baru yang mengalami kesulitan melakukan perencanaan diawal kerjanya dan kurang yakin dapat melaksanakan apa yang menjadi pekerjaannya. Sebagian besar Relationship Officer baru, merasa kurang percaya diri untuk melakukan proses penjualan, kurang mampu mengantisipasi hasil yang akan dicapai dan minat untuk melakukan penjualan kurang ditampilkan. Hal yang tergambar ini merupakan gejala Self Regulation Relationship Officer,terutama pada tahap perencanaan (forethought). Berangkat dari fenomena ini, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan Self Regulation phase Forethought melalui pelatihan Self Regulation phase Forethought. Penelitian ini melihat apakah terdapat peningkatan pada kemampuan Self Regulation phase forethought sebelum dan sesudah pelatihan Self Regulation phase Forethought terhadap calon Relationship Officer Bank Swasta “X” di Bandung.Kegunaan teoretiknya adalah memperdalam pemahaman dan memperkaya pengetahuan Psikologi Industri, terutama tentang teori Self Regulation phase Forethought pada Relationship Officer, memperdalam teori dan prinsip belajar penyusunan modul pelatihan Self Regulation phase Forethought dan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. Kegunaan praktis bagi calon Relationship Officer, agar dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan mengenai Self Regulation phase Forethought. Bagi Bank Swasta “X” untuk membantu memahami pentingnya pelatihan Self Regulation phase Forethought yang dapat dijadikan salah satu agenda pelatihan bagi calon Relationship Officer.

(4)

vii

(5)

viii DAFTAR ISI

Hal

ABSTRACT iv

ABSTRAK vi

KATA PENGANTAR viii DAFTAR ISI xii DAFTAR TABEL xvii DAFTAR BAGAN xix

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 16

1.3. Maksud Penelitian ... 16

1.4. Tujuan Penelitian ... 17

1.5. Kegunaan Penelitian ... 17

1.5.1. Kegunaan Teoritis ... 17

1.5.2. Kegunaan Praktis ... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Self Regulation ... 19

2.1.1. Pengertian Self Regulation ... 19

2.1.2. Struktur Sistem Self Regulation ... 20

2.1.2.1. Forethought Phase (Fase Perencanaan) ... 22

2.1.2.1.1. Task Analysis ... 22

2.1.2.1.2. Self Motivational Belief ... 22

2.1.2.2. Performance or Volitional Control Phase (Fase Pelaksanaan) ... 24

(6)

ix

2.1.2.2.2. Self Observation ... 26

2.1.2.3. Self Reflection phase (Fase Refleksi) ... 28

2.1.2.3.1. Self Judgment ... 28

2.1.2.3.2. Self Reactions ... 30

2.1.3. Perkembangan dari Keterampilan Self Regulatory ... 32

2.1.4. Pengaruh-pengaruh Faktor-faktor Sosial dan Lingkungan terhadap Self Regulation ... 35

2.2. Teori Marketing (Pemasaran) ... 37

2.2.1. Pengertian dan Tujuan Pemasaran Jasa Bank ... 37

2.2.2. Definisi dan Tujuan Pemasaran Relasional ... 39

2.2.3. Kepuasan Pelanggan ... 40

2.2.4. Uraian Jabatan Relationship Officer Bank Swasta “X ... 43

2.3. Pembelajaran Eksperiensial ... 45

2.3.1. Siklus Pembelajaran Eksperiensial ... 45

2.3.2. Program Pelatihan Aktif ... 48

2.3.2.1. Pedoman Umum Merancang Program Pelatihan ... 49

2.3.2.2. Mengembangkan Tujuan Umum ... 51

2.3.2.3. Mengembangkan Tujuan Khusus ... 52

2.3.2.4. Pemberian materi Pelatihan ... 53

2.4. Evaluasi Program Pelatihan ... 54

2.4.1. Evaluating Reaction ... 54

2.4.2. Evaluating Learning ... 55

(7)

x

2.4.4. Evaluating Result ... 56

2.5. Kerangka Pemikiran ... 57

2.6. Hipotesa ………... 75 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 77

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 80

3.2.1. Variabel Dalam Penelitian ... 80

3.2.2. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional ... 80

3.2.2.1. Definisi Konseptual ... 80

3.2.2.2. Definisi Operasional ... 80

3.3. Pelatihan Self Regulation phase Forethought... 84

3.3.1. Rancangan Modul Training Self Regulation phase Forethought 84 3.4. Alat Ukur ... 97

3.4.1. Alat Ukur Self Regulation phase Forethought ... 97

3.4.1.1. Prosedur Pengisian Kuesioner ... 99

3.4.1.2. Sistem Penilaian ... 99

3.4.2. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 100

3.4.2.1. Validitas Alat Ukur ... 100

3.4.2.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 102

3.5. Evaluasi Pelatihan ... 103

3.6. Populasi dan Teknik Sampling ... 104

(8)

xi

3.6.2. Karakteristik Populasi ... 105

3.6.3. Teknik Sampling ... 105

3.6.4 Teknik Analisis ... 105

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 109

4.1.1. Gambaran Sampel ... 109

4.1.2. Hasil Evaluasi Pelatihan (Evaluating Reaction-Kirkpatrick)... 110

4.1.2.1. Sesi 1 : Goal Setting ... 111

4.1.2.2. Sesi 2 : SWOT Analysis ... 113

4.1.2.3. Sesi 3 : Pentingnya Perencanaan dalam Penjualan ... 116

4.1.2.4. Sesi 4 : Perencanaan Strategis dalam Penjualan ... 118

4.1.2.5. Sesi 5 : Praktek Presentasi ... 121

4.1.2.6. Sesi 6 : Praktek Menjual ... 124

4.1.2.7. Sesi 7 : Goal Orientation ... 126

4.1.3. Hasil Penelitian (Evaluating Learning-Kirkpatrick) ... 128

4.2. Pembahasan ... 146

4.2.1. Pembahasan Evaluating Reaction ... 146

4.2.1.1. Pembahasan Sesi Pelatihan ... 146

4.2.1.1.1. Sesi 1 : Ice Breaking (Perkenalan) ... 147

4.2.1.1.2. Sesi 2 : Goal Setting ... 147

4.2.1.1.3. Sesi 3 : SWOT Analysis ... 149

4.2.1.1.4. Sesi 4 : Pentingnya Perencanaan dalam Penjualan 151

(9)

xii

4.2.1.1.6. Sesi 6 : Praktek Presentasi ... 155

4.2.1.1.7. Sesi 7 : Praktek Menjual ... 159

4.2.1.1.8. Sesi 8 : Goal Orientation ... 161

4.2.1.2. Pembahasan Hasil Evaluasi Penelitian ... 163

4.2.2. Pembahasan Evaluating Learning ... 165

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 171

5.2. Saran ... 172

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

(10)

xiii

Tabel 2.2. Tingkat-tingkat perkembangan dari keterampilan

regulatory

Tabel 3.1. Rancangan Modul Pelatihan Self Regulation phase

Forethought

Tabel 3.2. Tujuan Instruksional Umum, Tujuan Instruksional Khusus

dan Kegiatan Training

Tabel 3.3. Aspek-aspek Self Regulation beserta indikator dan nomor

pernyataan yang diukur dalam kuestioner

Tabel 3.4. Sistem Penilaian Alat Ukur Self Regulation phase

Forethought

Tabel 3.5. Standar Nilai Mutlak dari Skor Self Regulation phase

Forethought

Tabel 3.6. Metode Evaluasi Pelatihan

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Usia Sampel

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Sampel

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Latarbelakang Pendidikan

Tabel 4.4. Evaluasi Goal Setting dalam perencanaan penjualan

Tabel 4.5. Evaluasi SWOT Analysis

Tabel 4.6. Evaluasi Pentingnya Perencanaan dalam Penjualan

Tabel 4.7. Evaluasi Perencanaan Strategis dalam Penjualan

Tabel 4.8. Evaluasi Praktek Presentasi

Tabel 4.9. Evaluasi Praktek Menjual

(11)

xiv Tabel 4.11. Hasil Pengolahan Wilcoxon

Tabel 4.12. Tabulasi Silang kemampuan Self Regulation phase

Forethought sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan

Self Regulation phase Forethought

Tabel 4.13. Hasil Pengolahan Wilcoxon (Before-After)

Tabel 4.14. Tabulasi silang kemampuan Goal Setting sebelum dan

sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation phase

Forethought

Tabel 4.15. Tabulasi silang kemampuan Strategic Planning sebelum

dan sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation phase

Forethought

Tabel 4.16. Tabulasi silang kemampuan Self Efficacy sebelum dan

sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation phase

Forethought

Tabel 4.17. Tabulasi silang kemampuan Outcome Expectation

sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation

phase Forethought

Tabel 4.18. Tabulasi silang kemampuan Intrinsic Interest/Value

sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation

phase Forethought

Tabel 4.19. Tabulasi silang kemampuan Goal Orientation sebelum

dan sesudah mengikuti pelatihan Self Regulation phase

(12)

xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Triadic forms of Self Regulation

Bagan 2.2 Cyclical Phase of Self-Regulation

Bagan 2.3. Experiential Learning Cycle

Bagan 2.4. Kerangka Pemikiran

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Menurut hasil data Rekapitulasi Institusi Perbankan di Indonesia

per-Mei 2010 (www.newsbanking.com) diinformasikan bahwa di Indonesia

saat ini terdapat 122 (seratus dua puluh dua) Bank Umum, yang terdiri dari

4 (empat) Bank Pemerintahan dan 118 (seratus delapan belas) Bank Swasta

Umum serta 1861 (seribu delapan ratus enam puluh satu) merupakan Bank

Perkreditan Rakyat yang terdiri dari 1718 (seribu tujuh ratus delapan belas)

BPR Konvensional dan 143 (seratus empat puluh tiga) BPR Syariah. Hal

inilah yang menyebabkan saat ini persaingan antar Bank semakin tajam,

dimana antara satu Bank dengan Bank yang lain saling berlomba untuk

mengembangkan strategi didalam mengantisipasi dan menghadapi

persaingan tersebut. (Infobanknews.com, tgl 11 Mei 2011).

Salah satu Bank Swasta Umum yang juga tengah mengantisipasi dan

mempersiapkan untuk ikut bersaing didalam persaingan perbankan nasional

ini adalah Bank Swasta “X”, dimana Bank Swasta “X” mulai

mengembangkan bisnis perbankan di daerah-daerah di pulau Jawa dan

beberapa di luar Jawa dengan membuka banyak cabang, cabang pembantu

dan kantor kas hingga tahun 2014. Bank Swasta “X” memiliki

(14)

2 layanan produk funding seperti deposito, tabungan, jasa pembayaran dan

sebagainya. Disamping itu terdapat pula produk lending yang menawarkan

pinjaman/kredit usaha, yaitu UMKM dan Konsumer (Kupeg, Kupen, Kuja).

Sedangkan salah satu produk unggulan dari Bank Swasta “X” ini adalah

pemberian kredit kepada para Pensiunan atau disebut dengan produk

KUPEN. Produk KUPEN ini memberikan kontribusi yang cukup besar,

yaitu 78% (tujuh puluh delapan persen) terhadap pemasukan bagi Bank

Swasta “X”. Produk KUPEN sendiri merupakan produk kredit yang

diberikan kepada pensiunan pegawai negeri, pegawai BUMN dan pegawai

swasta. KUPEN yang ditawarkan oleh Bank Swasta “X” untuk pegawai

negeri mencapai 87% (delapan puluh tujuh persen) dari seluruh kredit

pensiunan yang diberikan oleh Bank Swasta “X” ini. Hal ini dilakukan oleh

Bank Swasta “X” dikarenakan pangsa pasar pensiunan saat ini di Indonesia

masih cukup besar, dimana pengelolaannya baru sekitar 37% (tiga puluh

tujuh persen), sisanya sekitar 63% (enam puluh tiga persen) masih memiliki

peluang yang sangat menjanjikan bagi industri perbankan nasional dewasa

ini. Fenomena lainnya, setiap tahun pensiunan pegawai negeri kurang lebih

mencapai sekitar 6000 (enam ribu) orang, artinya masih besarnya peluang

dan kesempatan yang belum tersentuh oleh pemberian kredit. (Hasil

wawancara dengan salah satu Kepala Departemen Kredit Bank Swasta

“X”).

Salah satu strategi yang dilakukan oleh Bank Swasta “X” didalam

(15)

3 seperti ASABRI, yaitu suatu lembaga pemerintahan yang mengelola

pembayaran pensiunan bagi anggota TNI dan POLRI. Sedangkan untuk

pegawai negeri biasanya menjalin hubungan dengan Badan Kepegawaian

Nasional (BKN) sebagai lembaga Negara yang mengelola kepegawaian

termasuk pegawai negeri yang pensiun, dimana BKN juga mengelola

manfaat pensiunan pada pegawai negeri sesuai dengan Peraturan

Pemerintah (PP). Relasi atau hubungan baik yang terjalin dengan

instansi-instansi tersebut sangat penting, dimana kemudahan-kemudahan untuk

memperoleh data pensiunan akan lebih mudah jika terbinanya relasi yang

baik.

Pentingnya relasi yang terbina antara Bank Swasta “X” dengan

instansi-instansi yang mengelola dana pensiun ini akan menjadi salah satu

poin penting untuk dapat menghadapi persaingan. Hal ini diantisipasi oleh

Bank Swasta “X” dengan cara agresif mencari nasabah pensiunan sebanyak

mungkin untuk mampu meningkatkan pendapatannya. Hanya saja tidak

mudah untuk menghadapi dan memberikan penjelasan kepada nasabah

pensiunan yang memiliki rentang usia lanjut, yaitu secara umum usia

pensiun normal adalah 55 tahun dan batas usia pensiun wajib maksimum 60

tahun (UU no. 11 tahun 1992) dan Bank Swasta “X” membatasi untuk

nasabah yang dapat menerima dana kredit pensiun maksimal usia 71 tahun

pada saat jatuh tempo kredit.

Calon nasabah yang memiliki karakteristik usia lanjut, akan

(16)

4 memahami dan memenuhi kebutuhan dana produktif mereka sehingga calon

nasabah tersebut dapat tertarik untuk mengambil produk KUPEN yang

ditawarkan. Oleh karenanya untuk mencapai target perolehan nasabah

KUPEN, maka Bank Swasta “X” melakukan pengembangan strategi di

bidang marketing, dikarenakan ujung tombak yang mampu meningkatkan

pendapatan dari produk KUPEN ini adalah para tenaga marketingnya. Salah

satu bagian yang terpenting dalam melakukan pemasaran produk ini adalah

kemampuan para tenaga marketing dalam menawarkan produk KUPEN

melalui strategi dan cara pendekatan yang tepat terhadap calon nasabah

yang memiliki karakter usia lanjut. Umumnya usia pensiun seseorang

berada dalam masa penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan yang

terjadi, dari yang biasanya sibuk bekerja sekarang lebih banyak waktu

senggang yang perlu dimanfaatkan dan berkurangnya penghasilan

dikarenakan telah berhenti bekerja. Disamping itu masih banyak pula para

pensiunan yang menanggung biaya kehidupan anak-anaknya yang masih

tinggal serumah dan belum bekerja atau belum menyelesaikan studinya.

Para tenaga marketing perlu untuk melihat secara jeli calon nasabah

yang memang membutuhkan dana produktifnya. Adapun tenaga marketing

yang ada di Bank Swasta “X” sendiri terdiri dari Funding Officer (FO) dan

Relationship Officer (RO). Funding Officer (FO) adalah para tenaga

marketing Bank Swasta “X” yang melakukan penjualan produk Funding,

sedangkan Relationship Officer (RO) adalah tenaga marketing yang

(17)

5 KUPEN yang menjadi produk unggulan Bank Swasta “X”. Dalam

menawarkan produk KUPEN, seringkali Relationship Officer (RO) baru

mengalami kesulitan untuk menghadapi calon nasabahnya, dimana mereka

merasa kurang percaya diri untuk melakukan proses pemasaran kepada

calon nasabah yang memasuki usia lanjut. (berdasarkan wawancara dengan

para Relationship Officer baru Bank Swasta “X”). Oleh karenanya

Relationship Officer (RO) perlu melakukan persiapan dan perencanaan yang

efektif untuk dapat berhasil memperoleh jumlah nasabah sesuai target

perbulan yang telah ditetapkan oleh Bank Swasta“X”. Disamping itu

Relationship Officer (RO) juga perlu membuat suatu strategi untuk dapat

membuat calon nasabah tertarik terhadap produk KUPEN yang ditawarkan.

Didalam menjalankan uraian jabatan sebagai Relationship Officer

(RO) diperlukan kemampuan analisa kelayakan calon nasabah, kemampuan

untuk berbicara dihadapan calon nasabah, kemampuan untuk memelihara

hubungan jangka panjang dengan nasabah, serta kemampuan untuk

menawarkan produk melalui telepon dan aktif melakukan

kunjungan/appointment dengan calon nasabah sehingga Relationship

Officer (RO) perlu untuk mengembangkan kemampuan membuat rencana

kerja dan strategi pemasaran produk kredit yang efektif serta sesuai dengan

segmentasi pasar dalam rangka pencapaian target Kantor Cabang. Melihat

calon nasabah yang akan dikelola oleh Relationship Officer (RO) Bank

Swasta “X”, oleh karenanya untuk dapat memperoleh nasabah baru dan

(18)

6 penting bagi Relationship Officer (RO) untuk mampu mengenal siapa

kustomernya (knowing your customer) hal ini dilakukan dengan cara :

menyusun rencana langkah-langkah untuk mampu memahami kebutuhan

nasabah, bersedia untuk melakukan kunjungan kepada nasabah, mampu

menjelaskan produk yang hendak ditawarkan dan mampu untuk melakukan

pengawasan pengembangan kredit dan usaha nasabah/debitur.

Melihat dari tuntutan kemampuan yang harus dimiliki oleh

Relationship Officer (RO) Bank Swasta “X” ini, maka proses rekrutmen

yang dilakukan terhadap calon Relationship Officer (RO) pun cukup ketat,

yaitu melalui beberapa tahapan, antara lain : tes administrasi, psikotes,

interview dan tes kesehatan hingga memberikan beberapa pelatihan baik

softskill, seperti : Communication Skill dan Achievement Motivation

Training, maupun hardskill, seperti Product Knowledge dan beberapa

pelatihan-pelatihan lainnya untuk meningkatkan keterampilan perbankan

agar para calon Relationship Officer (RO) ini mampu menjalankan perannya

secara terampil sesuai dengan uraian jabatan Relationship Officer (RO) dan

juga dapat mencapai target yang telah ditetapkan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Divisi Kredit Bank

Swasta “X” dapat diketahui, untuk dapat mencapai target market yang

diharapkan maka Bank Swasta “X” membutuhkan karakteristik Relationship

Officer (RO) yang mampu melihat peluang, memiliki target yang jelas,

(19)

7 mengatasi masalah dilapangan secara mandiri dan memiliki daya tahan

dalam menghadapi tekanan yang mutlak harus dimiliki.

Selain itu, informasi lainnya yang dapat diketahui adalah

berdasarkan masukan dan informasi dari Kepala Divisi Kredit Bank Swasta

“X”, diketahui adanya permasalahan yang kerap terjadi selama ini di area

marketing hampir diseluruh cabang Bank Swasta “X” di Indonesia,

khususnya untuk tenaga Relationship Officer (RO) yang baru, antara lain :

kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi secara luwes saat berhadapan

dengan calon nasabah, ketidakmampuan untuk bernegosiasi secara mandiri,

kurangnya kepercayaan diri saat harus memasarkan produk pada

instansi-instansi, kurangnya kesiapan dalam menghadapi permasalahan di area

marketing dan masih kurang adanya kemampuan untuk merencanakan

tahapan penjualan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk

melakukan closing ketika melakukan penawaran produk. Masalah-masalah

ini sering dikeluhkan oleh para supervisor dan tentunya sangat menghambat

produktivitas yang mampu dicapai oleh tim Relationship Officer (RO).

Berdasarkan hasil penilaian target pencapaian hingga bulan Agustus 2012

dapat diketahui para Relationship Officer (RO) belum memenuhi target

sesuai ketetapan dari Bank Swasta “X”, yaitu dari pencapaian target yang

seharusnya sebesar 100% (seratus persen), ternyata baru tercapai 70%

(tujuh puluh persen) saja.

Berdasarkan hal inilah maka tim Divisi Kredit melakukan beberapa

(20)

8 mengembangkan kemampuan dari para Calon Relationship Officernya

(RO)-nya dengan memberikan training-training perbankan untuk membekali

mereka terhadap pengetahuan akan produk dan juga strategi yang harus

dilakukan sebagai Relationship Officer (RO) dan mengadakan Gathering

Relationship Officer (RO) di seluruh cabang di Indonesia untuk dapat saling

berbagi, mempererat kekompakan dan mendapatkan masukan serta umpan

balik baik dari sisi Relationship Officer (RO) maupun manajemen.

Informasi yang dapat diketahui dari para tenaga Relationship Officer

(RO) baru Bank swasta “X” dikemukakan bahwa mereka merasa sudah

memahami produk yang akan mereka tawarkan kepada nasabah, hanya saja

secara pribadi mereka mengalami hambatan saat berhadapan langsung

dengan calon nasabah maupun individu-individu pemegang keputusan yang

ada pada instansi-instansi mitra kerjasama Bank Swasta “X”. Disamping itu

dari hasil wawancara pada beberapa Relationship Officer diperoleh masih

adanya Relationship Officer (RO) yang beranggapan bahwa bekerja sebagai

Relationship Officer (RO) bukanlah merupakan pilihan atau keinginan

mereka, melainkan untuk mendapatkan pengalaman dan penghasilan

semata, sehingga seringkali para Relationship Officer (RO) baru ini merasa

kurang yakin untuk melakukan proses penjualan, mengalami mental

blocking (gugup, lupa, hilang konsentrasi dan gemetar) saat harus

mempresentasikan produk dan sulit mengendalikan perasaannya sebelum

memulai mempresentasikan produk. Hal inilah yang membuat kegiatan

(21)

9 berkurangnya keberhasilan pencapaian target yang diharapkan dan juga

kecilnya insentif yang diperoleh Relationship Officer (RO).

Relationship Officer (RO) baru juga dituntut untuk mampu

menyesuaikan diri dengan iklim budaya tempatnya bekerja, seperti peran

dalam bekerja, tanggungjawab sebagai Relationship Officer (RO), beban

target kerja, hubungan dengan rekan, nasabah dan atasan. Dalam proses

penyesuaian diri ini tiap individu memiliki sikap dan reaksi yang berbeda.

Apabila Relationship Officer (RO) tertantang dengan proses kerjanya dan

merasa sanggup mengatasi meski profesi sebagai Relationship Officer (RO)

bukanlah pilihannya, maka ia akan memiliki sikap positif dalam bekerja,

sehingga akan memperkuat motivasinya untuk melakukan penjualan.

Sebaliknya Relationship Officer (RO) yang merasa kurang tertantang,

bekerja hanya sesuai tugasnya akan mendatangkan konsekuensi negatif

berupa kurangnya semangat dan kemauannya untuk melakukan penjualan.

Relationship Officer (RO) baru sering merasa mereka masih terlalu

muda dan belum mampu menetapkan prioritas target pencapaian (goal

setting) sebagai Relationship Officer (RO) sehingga mereka merasa kurang

yakin untuk mempersiapkan diri secara efektif didalam menghadapi calon

nasabah KUPEN (strategic planning), kurang memiliki keyakinan diri untuk

dapat berkomunikasi secara mendalam terutama dalam mempresentasikan

produk (self efficacy) dan kurang mampu mengantisipasi hasil yang

mungkin akan diperoleh dari kemampuannya untuk membangun networking

(22)

10 Relationship Officer (RO) baru juga belum menyadari dan menumbuhkan

minat akan pentingnya melakukan perencanaan sebelum mengunjungi atau

melakukan penawaran produk kepada calon nasabah untuk mempermudah

proses penjualan/selling mereka (intrinsic interest/value).

Berdasarkan wawancara dengan para Relationship Officer (RO)

baru, diperoleh bahwa mereka belum mempunyai tujuan yang jelas (goal

setting) untuk melakukan penjualan/selling dan belum melakukan

perencanaan dalam mengarahkan diri (forethought) untuk mencapai tujuan

dari penjualan/selling tersebut. Selama ini teknik penjualan/selling yang

dilakukan Relationship Officer (RO) baru belum dengan perencanaan,

tetapi hanya menjalankan tugasnya untuk menjual sehingga mereka tidak

siap dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang terjadi di lapangan.

Disamping itu, Relationship Officer (RO) baru juga masih mengandalkan

Relationship Officer (RO) senior maupun supervisornya didalam memulai

membina jalinan networking dengan nasabahnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Relationship Officer (RO)

baru, diketahui bahwa para Relationship Officer (RO) baru belum mampu

mengembangkan strategi tindakan untuk mampu melakukan networking

secara sistematis dan luwes. Mereka belum termotivasi untuk mengarahkan

diri melakukan perencanaan yang sistematis. Untuk dapat menjalankan

peranannya sebagai Relationship Officer (RO) diperlukan perencanaan

(23)

11 pencapaian target nasabah KUPEN dapat terpenuhi, dan hal ini juga dapat

membantu mereka dalam peningkatan karier kerjanya.

Gejala yang tergambar di atas merupakan gambaran tentang

perencanaan (forethought) yang merupakan salah satu tahap dalam siklus

self regulation yang kemudian akan berlanjut pada pelaksanaan rencana

(Performance or volitional control), yang diikuti dengan proses refleksi diri

(Self Reflection) untuk dapat mengevaluasi keberhasilan yang telah

dicapainya. Sebagai Relationship Officer (RO) baru, yang belum memahami

pentingnya kegiatan penjualan/selling perlu menyadari potensi diri yang

dimiliki agar dapat berhasil sebagai tenaga pemasaran. Hal ini dapat diawali

dengan mulai mempersiapkan diri dengan mengarahkan diri kepada

perencanaan didalam menghadapi tugas pekerjaannya sebagai Relationship

Officer (RO), dengan tidak hanya melihat/mengamati apa yang telah

dilakukan oleh relationship Officer (RO) senior, melainkan juga

menginternalisasikan apa yang telah diamatinya untuk dapat mengatur diri

dalam melakukan persiapan dan perencanaan sebelum ia dapat terjun ke

lapangan secara mandiri. Proses ini adalah fase Forethought dari self

regulation (Zimmerman, 1989).

Mengingat perencanaan yang baik dan sistematis akan menghasilkan

pencapaian perolehan target nasabah, sehingga pada saat Relationship

Officer (RO) baru terjun ke lapangan sudah mempunyai tujuan (goal

setting) yang jelas serta mampu mengatur diri (self regulation) dalam

(24)

12 diharapkan para Relationship Officer (RO) baru mampu melakukan evaluasi

terhadap usaha yang telah dilakukannya untuk dapat tercapai target

perolehan nasabah yang ditetapkan oleh perusahaan.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh penulis kepada 20

orang Relationship Officer (RO) baru Bank Swasta “X” diperoleh gambaran

sebagai berikut : 90% (18 orang) para Relationship Officer (RO) baru ini

mengemukakan bahwa mereka memahami adanya kompetensi teknis yang

harus dimiliki oleh seorang Relationship Officer (RO) bank Swasta “X”,

yaitu strategi pemasaran dan bisnis, product knowledge, selling skill,

leverage network, relationship skill dan presentation skill. Hal lain yang

dapat diketahui dari para Relationship Officer (RO) baru ini merasakan

banyak kendala yang dihadapi saat melakukan proses Selling, diantaranya

adalah 80% (16 orang) mengemukakan kesulitan untuk mampu menjawab

pertanyaan (handling question) yang diajukan oleh calon nasabahnya.

Karena jika merujuk pada alasan-alasan yang bisa dikumpulkan adalah

mereka merasa bingung dan tidak bisa memberikan jawaban yang

memuaskan saat harus menjawab pertanyaan teknis di luar konteks product

knowledge, sehingga membuat Relationship Officer (RO) baru merasa tidak

siap memberikan argumentasi yang bisa diterima dalam proses penawaran

maupun negosiasi. Kurangnya kesiapan mental untuk menjadi Relationship

Officer (RO) juga menjadi alasan mereka mengalami kesulitan untuk dapat

memberikan penjelasan yang diperlukan kepada nasabah. Oleh karenanya

(25)

13 pada tujuan yang jelas (goal setting), yaitu agar mampu mengarahkan diri

pada perencanaan yang akan dilakukan sebagai Relationship Officer (RO)

untuk mencapai perolehan target sesuai yang diharapkan (Goal Setting) dan

melakukan perencanaan dengan langkah-langkah yang spesifik untuk dapat

mencapai tujuan tersebut (Strategic Planning). Aplikasi perilaku dari hal

perencanaan ini dapat dilakukan antara lain dengan menyediakan waktu

mempelajari product knowledge, melakukan identifikasi data prospek,

merencanakan jadwal kunjungan/pendekatan pada nasabah secara konsisten,

mempersiapkan presentasi dihadapan nasabah dengan baik dan

mempersiapkan rencana tindakan penutupan penjualan disaat yang tepat

(closing).

Fenomena lainnya yang dapat diketahui adalah sekitar 75% (15

orang) mengemukakan bahwa mengalami kendala dalam berkomunikasi

dengan calon nasabah usia lanjut dikarenakan kurangnya keyakinan pada

Relationship Officer (RO) dalam menghadapi calon nasabahnya (Self

Efficacy). Hal ini merupakan salah satu penghambat para Relationship

Officer (RO) baru ini didalam melakukan kegiatan penjualan/selling.

Mereka mengalami keraguan untuk melakukan penyesuaian dengan calon

nasabah tersebut sehingga menimbulkan perasaan grogi dan intonasi suara

yang tidak stabil. Disamping itu Relationship Officer (RO) juga mengatakan

kurang yakin untuk dapat memperoleh nasabah dalam waktu yang cepat,

(26)

14 Officer (RO) untuk mengantisipasi hasil yang akan dicapai (Outcome

Expectation).

Fenomena lain yang dapat diketahui, sekitar 70% (14 orang)

mengemukakan bahwa ketika mereka menghadapi calon nasabah mereka

merasakan perasaan takut dan malu untuk ditolak. Hal ini terjadi

dikarenakan mereka kurang yakin untuk dapat melaksanakan hal-hal yang

sudah direncanakan untuk melakukan penjualan/selling (Self efficacy).

Manajemen waktu yang kurang tepat serta ketidak mampuan membaca

situasi dan kondisi calon nasabah (Strategic Planning) juga dirasakan

sebagai kendala oleh sekitar 60% (12 orang) Relationship Officer (RO)

baru, dimana mereka merasa tidak tahu harus berbuat apa untuk dapat

melakukan penjualan. Hal ini terkadang akan membuat Relationship Officer

(RO) merasa kurang berminat untuk melakukan penjualan (Intrinsic

Interest/Value).

Berdasarkan fenomena-fenomena diatas maka dapat diketahui

pentingnya bagi Bank Swasta “X” memberikan pelatihan Self Regulation

phase Forethought untuk meningkatkan kemampuan calon Relationship

Officer (RO) dalam mengatur diri (sefl regulation) untuk perencanaan

(forethought) yang tepat dan mampu menjembatani para calon Relationship

Officer (RO) dalam hal mempersiapkan diri sebelum mereka diterjunkan

sebagai Relationship Officer (RO) baru agar mampu melakukan tugasnya

secara efektif dan baik. Hal ini perlu dilakukan karena dengan adanya

(27)

15 Office (RO) untuk dapat memiliki performa yang baik dalam melaksanakan

kegiatan mengelola nasabah dan mencapai perolehan target kerjanya.

Pelatihan Self Regulation phase Forethought yang diharapkan oleh

Bank Swasta “X” adalah tidak sekedar calon Relationship Officer (RO)

mampu mempersiapkan kegiatan penjualan/selling dan mampu

berkomunikasi dengan calon nasabahnya, tetapi juga mereka mampu

mengenal sisi internal diri mereka untuk dapat menetapkan tujuan yang jelas

dan membuat perencanaan strategi yang efektif yang dapat digunakan

nantinya dalam melakukan proses penjualan/selling yang merupakan ujung

tombak untuk perolehan nasabah sesuai bahkan melebihi target yang telah

ditetapkan. Pelatihan yang dapat diberikan kepada calon Relationship

Officer (RO) Bank Swasta “X” ini dalam meningkatkan self regulation fase

foretought adalah Pelatihan Self Regulation phase Forethought.

Pelatihan Self Regulation phase Forethought dirancang oleh penulis

dengan menggunakan metode ceramah, latihan, diskusi dan memberikan

umpan balik agar diperoleh pemahaman dan keterampilan yang

komprehensif dari aspek kognitif, afektif dan perilaku. Dalam hal ini

mereka juga akan dimulai dengan penetapan tujuan yang jelas dan spesifik

sebagai Relationship Officer (RO) baru hingga mampu

mengimplementasikan pemahamannya. Diharapkan dengan menetapkan

tujuan ini, calon Relationship Officer (RO) dapat lebih mudah untuk

mengatur perencanaan pelaksanaan tugas kerjanya sehingga dapat mencapai

(28)

16 maupun pihak perusahaan. Dalam hal ini calon Relationship Officer (RO)

juga diajak untuk memahami potensi diri dengan melihat kekuatan yang

dimiliki serta menyadari akan kelemahan diri sehingga mereka dapat

mengarahkan diri untuk lebih menerima dan memanfaatkan potensinya

dengan penuh keyakinan untuk dapat menjalankan rencana kerja yang

disusunnya.

Rancangan pelatihan Self Regulation phase Forethought ini

memerlukan evaluasi untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap

peningkatan self regulation fase forethought pada calon Relationship Officer

(RO) Bank Swasta “X”.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Apakah pelatihan Self Regulation phase Forethought mampu

meningkatkan Self Regulation phase Forethought pada calon Relationship

Officer Bank Swasta “X” di Bandung.

1.3 MAKSUD PENELITIAN

Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh

gambaran mengenai pelatihan Self Regulation phase Forethought dalam

meningkatkan Self Regulation phase Forethought pada calon Relationship

(29)

17 1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui apakah pelatihan Self Regulation phase

Forethought dapat digunakan dalam meningkatkan Self Regulation

phase Forethought pada calon Relationship Officer Bank Swasta

“X” di Bandung

2. Untuk mengetahui apakah ada peningkatan Self Regulation phase

Forethought pada calon Relationship Officer Bank Swasta “X” di

Bandung setelah mengikuti pelatihan Self Regulation phase

Forethought.

1.5 KEGUNAAN PENELITIAN

1.5.1. Kegunaan Teoretis

(a) Memperdalam pemahaman dan memperkaya pengetahuan

Psikologi Industri, terutama tentang teori Self Regulation phase

Forethought pada Relationship Officer (RO).

(b) Memperdalam teori dan prinsip-prinsip belajar untuk

menyusun modul-modul pelatihan Self Regulation phase

Forethought.

(c) Memberikan bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut

(30)

18 1.5.2 Kegunaan Praktis

(a) Bagi calon Relationship Officer (RO) Bank Swasta “X”,

pelatihan Self Regulation phase Forethought diharapkan dapat

meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam hal

melakukan merencanakan diri, memotivasi diri dan berperilaku

aktif dalam rangka pencapaian target perolehan nasabah.

(b) Bagi Bank Swasta “X”, pemahaman akan pentingnya pelatihan

Self Regulation phase Forethought dapat dijadikan salah satu

agenda dalam rangka peningkatan Self Regulation phase

Forethought bagi calon Relationship Officer (RO) sehingga

calon Relationship Officer (RO) Bank Swasta “X” dapat

(31)

171 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Berdasarkan hasil pelatihan diketahui bahwa modul pelatihan Self

Regulation phase Forethought dapat digunakan untuk meningkatkan Self

Regulation phase Forethought pada calon Relationship Officer Bank

Swasta “X” di Bandung

2. Berdasarkan hasil penelitian diketahui adanya peningkatan yang signifikan

terhadap Self Regulation phase Forethought sebelum pelatihan dan

sesudah pelatihan.

3. Terjadi peningkatan yang signifikan terhadap masing-masing aspek Self

Regulation phase Forethought (goal setting, strategic planning, self

efficacy, outcome expectation, intrinsic interest/value dan goal

orientation) sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan

4. Berdasarkan enam aspek Self Regulation phase Forethougth, aspek

Intrinsic Interest/Value dan Goal Orientation memperlihatkan

peningkatan yang signifikansinya paling rendah dibanding aspek Self

Regulation phase Forethought lainnya.

5. Peningkatan yang signifikansinya paling tinggi dibanding aspek Self

Regulation phase Forethought lainnya adalah Goal Setting dan Strategic

(32)

172 5.2 Saran

1. Perlu adanya follow up mengenai kemampuan Self Regulation phase

Forethought setelah pelatihan untuk melihat perubahan kemampuan self

regulation phase forethought yang terjadi pada peserta dengan disain

penelitian time-series.

2. Menguji cobakan modul pelatihan Self Regulation phase Forethought pada

Funding Officer atau pada bidang industri lain selain perbankan.

3. Menguji efektivitas pelatihan Self Regulation phase Forethought untuk

meningkatkan Self Regulation phase Forethought

4. Melakukan perbaikan modul pada sesi praktek menjual yaitu dengan

menambahkan kesempatan peserta dalam melakukan penjualan

5. Untuk meningkatkan aspek Intrinsic Interest/Value dapat pula

dipertimbangkan strategi lain melalui pemberian pelatihan sesuai

kebutuhan dan menetapkan jalur karir yang jelas

6. Untuk meningkatkan aspek Goal Orientation dapat pula dipertimbangkan

pemberian coaching dan counseling untuk meningkatkan daya tahan

(33)

xx

DAFTAR PUSTAKA

Anthony M. Graziano & Michael L. 2000. Research Methods a Process of Inquary. A Preason Education Company.

Bandura, Albert. 1969. Principles of Behavior Modification. Holt, Rinehard and Winston, Inc, New York.

Bandura, Albert. 1977. Social Learning Theory. Prentice-Hall, Inc., New Jersey

Boekaerts, M. Pintrich, P. R, Zeidner, M. 2002. Handbook of Self-Regulation. Academic Press.

Campbell, Donald T & Stanley, Julian C. 1963. Experimental and Quasi Experimental Design for Research. Rand Mc. Nally College Publishing Company, Chicago

Donald L. Kirkpatrick. 1998. Evaluating Training Programs. Berrett-Koehler Publishers, Inc.

European Journal of Psychology of Education, vol. XXIV. 2009. The Impact of Goal Orientation, Self Reflection and Personal Characteristics on the Aquisition of Oral Presentation Skill. No. 3, 293-306.

Fuhrmann, Barbara Schneider. 1990. Adolescence, Adolescent, Second Edition. A Division of Scott, Foresman and Company, Illinois.

Hurlock, Elizabeth.1994. Developmental Psychology. McGraw-Hill, Inc.

Kotler, Philip. 1997. Marketing Management 8th Edition.Prentice Hall, New Jersey

Mel, Silberman, Auerbach, Carol. 1990. Active Training. Lexington Books and Imprint of Macmillan, Inc.

Sitepu, Nirwana. 1994. Analisis Korelasi. Diterbitkan atas usaha Unit Pelayanan Statistika Jurusan Statistik FMIPA UNPAD.

Zimmerman. 2002. Handbook of Self Regulation. McGraw-Hills. New York.

Referensi

Dokumen terkait

dari latar belakang pendidikan guru pamong yang mengampu mata pelajaran Bahasa. Indonesia memiliki metode serta sistem yang tepat dalam

Apabila dibandingkan dengan kandungan karbon terikat pada hutan rawa gambut primer (virgin forest) sebesar 172,16 ton/ha (Perdhana 2009) menunjukkan bahwa

Kekuatan tali pada Crane jenis OVERHEAD TRAVELLING CRANE dengan kapasitas angkat 10 ton ini dianalisis dalam penelitian ini melalui analisis kekuatan tarik pada tali, luas

24 Tahun 1997 menyebutkan “Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan

rancangan heat exchanger dengan kapasitas pendinginan yang bisa menjaga oli hidrolik. pada batasan temperatur normal

lima dimensi kebudayaan Khuclohn bagian orientasi terhadap hubungan antar sesama, masing-masing dari pemilik memiliki kesepahaman bahwa hubungan antar sesama manusia

Berdasarkan Renstra Pengembangan Parwisata Daerah Kabupaten Pamekasan (2012), kontribusi pengunjung terbesar kedua tersebut tidak diimbangi dengan pelayanan infrastruktur

12 Diharapkan dengan menggunakan LKS dapat membantu siswa untuk banyak berlatih menyelesaian masalah yang berkaitan dengan materi secara benar dan dapat