• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH POTONG HEWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH POTONG HEWAN"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH

AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI

TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH POTONG HEWAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KOTA BEKASI

(2)

PENYUSUN:

SLAMET RIYANTO, SH, MH (KETUA)

DR. EFRIDANI LUBIS, SH, MH (ANGGOTA) MIFTAHUL JANNAH, SSi, MSc (ANGGOTA) DRS. MUHAJIR, MM (ANGGOTA)

DR. ROHMAD ADIYULIANTO, LLM (ANGGOTA)

(3)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... i

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 6

1.3. Tujuan dan Sasaran ... 6

1.4. Metode Pendekatan ... 7

1.5. Sistematika Pembahasan ... 9

II. KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIK ... 11

2.1. Urgensi Pengaturan Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan di Kota Bekasi ... 11

2.1.1. Kebutuhan dan Pemenuhan Daging di Kota Bekasi ... 11

2.1.2. Kondisi Obyektif Rumah Pemotongan Hewan di Kota Bekasi dan Urgensi Pembangunan RPH Baru ... 13

2.2. Konsep Pembangunan Rumah Pemotongan Hewan ... 16

2.2.1. Fungsi dan Peran RPH ... 16

2.2.2. Tata Cara Pembangunan RPH ... 18

2.2.3. Rantai Produksi Rumah Pemotongan H ... 35

2.2.4. Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan ... 41

2.2.5. Sumber Daya Manusia (SDM) ... 43

2.2.6. Pemotongan Hewan di Luar RPH ... 45

2.2.7. Izin Usaha RPH dan/atau UPD ... 46

2.2.8. Sertifikasi Higiene Sanitasi dan Jaminan Produk Halal RPH ... 49

2.2.8.1. Sertifikasi Nomor Kontril Veteriner (NKV) ... 49

2.2.8.2. Sertifikasi Halal ... 52

2.3. Praktik Empirik Penyelenggaraan RPH ... 54

(4)

2.3.1. RPH Kota Malang ... 54

2.3.2. RPH Karawaci ... 56

III. ANALISIS & EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ... 66

3.1. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pemerintahan Daerah ... 66

3.2. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan ... 72

3.3. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pelayanan Publik... 79

3.4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan ... 82

3.5. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perlindungan Konsumen ... 84

3.6. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Jaminan Produk Halal ... 86

IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ... 88

4.1. Landasan Filosofis ... 88

4.2. Landasan Sosiologis ... 90

4.3. Landasan Yuridis ... 92

V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN POKOK-POKOK MATERI MUATAN ... 95

5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan ... 95

5.2. Pokok-Pokok Materi Muatan ... 95

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 99

6.1. Kesimpulan ... 99

6.2. Rekomendasi ... 101

VII. DAFTAR PUSTAKA... 102

(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahan pangan yang bernilai gizi tinggi sangat dibutuhkan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut pangan hewani memegang peranan yang sangat penting. Salah satu bahan pangan hewani yang mudah didapatkan masyarakat adalah daging. Daging bukan hanya komoditas pertanian yang punya nilai ekonomi tinggi, melainkan juga esensial bagi pemenuhan kebutuhan gizi. Daging merupakan bahan makanan yang mengandung gizi tinggi yang baik untuk tubuh manusia. Karena kandungan zat gizinya tersebut, daging juga merupakan media atau tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan kuman, baik kuman yang dapat menyebabkan pembusukan daging ataupun kuman yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia.

Permintaan akan daging oleh masyarakat terus meningkat. Data Kementerian Pertanian sebagaimana tersaji dalam Outlook daging sapi 2020, Outlook daging unggas 2020, dan Outlook daging kambing dan domba 2020 menunjukkan adanya peningkatan konsumsi rumah tangga sebesar 3,98%/tahun untuk daging sapi, daging kambing meningkat sebesar 3,15%, daging domba sebesar 3,55% dan unggas sebesar 5,64%/

tahun. Sedangkan peningkatan produksi daging sapi hanya sebesar 0,14%/tahun, daging kambing 0,29%, daging domba 5,29%, produksi daging unggas meningkat sebesar 11,94%/tahun. Berdasarkan data

(6)

tersebut terjadi defisit terhadap komoditas daging sapi dan daging kambing dan surplus untuk komoditas daging domba dan ayam.

Pada 2020 ini, kebutuhan daging sapi nasional mencapai hampir 700.00 ton atau setara dengan 3,6 juta ekor sapi. Namun produksi daging sapi dalam negeri hanya sebanyak 525.630 ton/tahun. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan daging doma/kambing dan unggas cukup mampu dipenuhi karena produksi yang tinggi.

Pemenuhan kebutuhan daging masyarakat yang sangat tinggi tersebut didapat dari hasil budidaya ternak yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat atau perusahaan yang bergerak di bidang peternakan dan sisanya diperoleh dari impor. Bahwa hasil budidaya ternak tidak bisa langsung dikonsumsi oleh masyarakat tetapi memerlukan proses pemotongan yang sebaiknya dilakukan di rumah – Rumah Potong Hewan yang memenuhi persyaratan teknis Kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan kehalalan sehingga menjamin produk yang dihasilkan sampai ke tangan masyarakat dalam kondisi aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Selain itu, keberadaan penyakit hewan menular dan zoonosis atau penyakit hewan yang dapat menular dari dan ke manusia juga menjadi hal yang harus diperhatikan.

Daging bukan hanya komoditas pertanian yang punya nilai ekonomi, melainkan juga esensial bagi pemenuhan kebutuhan gizi. Daging merupakan bahan makanan yang mengandung gizi tinggi yang baik untuk tubuh manusia. Karena kandungan zat gizinya tersebut, daging juga merupakan media atau tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembang-biakan kuman-kuman, baik kuman yang dapat menyebabkan pembusukan daging ataupun kuman yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia. Daging merupakan produk hewan yang mempunyai risiko keamanan pangan (food safety hazard), resiko menyebarkan dan menularkan penyakit hewan ke manusia (zoonosis) serta masalah-masalah terkait kesehatan masyarakat veteriner yaitu segala urusan yang berhubungan dengan Hewan dan produk Hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia meliputi

(7)

penjaminan Higiene dan Sanitasi; penjaminan produk Hewan; dan Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.

Besarnya resiko keamanan pangan, biologi dan potensi penyakit zoonosis yang terkandung dalam daging menyebabkan penyediaannya perlu dilakukan secara baik dan memerlukan penjaminan higiene dan sanitasi yang dilaksanakan dengan menerapkan cara yang baik pada semua rantai produksi mulai dari cara yang baik di tempat budidaya; di tempat produksi pangan asal Hewan; di tempat produksi produk Hewan nonpangan; di rumah potong Hewan; di tempat pengumpulan dan penjualan.

Ada beberapa isu terkait perlunya pembangunan dan penambahan RPH di Kota Bekasi. Isu-isu ini antara lain:

a. Tingginya jumlah pemotongan hewan yang dilakukan masyarakat belum diimbangi ketersediaan infrastruktur RPH yang memenuhi standar teknis kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan kehalalan.

b. Kebutuhan daging ASUH masyarakat tinggi sehingga diperlukan penyediaan Rumah Potong Hewan yang sesuai standar teknis kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan kehalalan.

c. Jaminan ketentraman batin masyarakat dalam penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal

d. Mencegah masuk dan berkembangnya penyakit hewan menular dan zoonosis berperantara hewan dan produk hewan khususnya daging di Kota Bekasi

e. Kota Bekasi belum memiliki peraturan daerah tentang penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.

f. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Perubahan Pertama Perda Kota Bekasi No.13 tahun 2001 dan Peraturan Daerah No.9 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah sudah tidak memadai untuk mengatur penyelenggaraan RPH dan retribusi RPH

(8)

g. produksi RPH belum optimal akibatnya pendapatan asli daerah dari retribusi RPH masih rendah. Biaya retribusi pemotongan hewan dinilai masih rendah, tidak sebanding dengan biaya operasional RPH baik untuk pemotongan hewan maupun penanganan daging.

h. Pengelolaan RPH/UPD belum dikelola sesuai standar teknis kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan kehalalan seperti tidak memiliki sertifikat AMDAL atau UPL/UKL, tidak memilki izin usaha, tidak memiliki Sertifikat Halal, Sertifikat Nomor Kontrol Veteriner serta terindikasi mencemari lingkungan.

Sehubungan dengan kondisi di atas, maka Pengaturan penyelenggaraan Rumah Potong Hewan di Kota Bekasi mendesak untuk segera dilaksanakan karena:

a. RPH mempunyai peran yang sangat strategis dalam menjembatani Kesehatan hewan pada bidang peternakan dan Kesehatan masyarakat sebagai konsumen produk pangan asal hewan

b. RPH dapat memutus penyebaran penyakit asal hewan yang berpotensi menimbulkan gangguan Kesehatan pada manusia c. RPH mempunyai peran dalam meningkatkan Kesehatan masyarakat

melalui penyediaan pangan asal hewan yang ASUH

d. RPH menjamin ketentraman batin masyarakat dengan memberikan jaminan penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal

e. membuka peluang investasi pembangunan RPH baru f. meningkatkan pendapatan asli daerah

Secara normatif-konseptual RPH merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. RPH mempunyai fungsi utama sebagai tempat diselenggarakannya kegiatan pemotongan hewan yang dimaknai sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi penerimaan hewan, pengistirahatan, pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipemotongan, pemotongan/penyembelihan, pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan dipemotongan, dengan

(9)

memperhatikan higiene dan sanitasi, kesejahteraan hewan, serta kehalalan bagi yang dipersyaratkan.

RPH ini juga merupakan rantai produksi pangan asal hewan yang sangat penting dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal bagi masyarakat. Dalam rangka mendorong RPH agar dapat menghasilkan daging yang ASUH, maka RPH harus dikelola secara professional. Untuk itu perlu dukungan penuh dari pemerintah daerah dalam penyediaan RPH yang memadai dan memenuhi ketentuan teknis, serta regulasi yang terarah dan berkesinambungan. Keberadaan RPH sangat diperlukan agar dalam pelaksanaan pemotongan hewan dapat terjaga dan terkendali dengan baik.

Undang-undang 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 68 Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan keamanan pangan di setiap rantai pangan secara terpadu. Jaminan kelayakan dasar keamanan produk hewan dilaksanakan dengan menerapkan hygiene sanitasi pada semua rantai produksi yang dituangkan dalam bentuk sertifikasi nomor kontrol veteriner terhadap unit usaha produk hewan termasuk RPH sebagaimana amanat Undang – undang Nomor 18 Tahun 2009 juncto Undang – undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 60 ayat (1) setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh Nomor Kontrol Veteriner (NKV) kepada pemerintah daerah provinsi.

Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan Pasal 28 Produk hewan hasil produksi hasil produksi dalam negeri hanya dapat diedarkan apabila berasal dari unit usaha yang telah memiliki NKV atau Unit usaha yang sedang dalam pembinaan penerapan cara yang baik.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, keberadaan RPH sangat diperlukan untuk memberikan jaminan bahwa karkas atau daging yang dihasilkan ASUH melalui serangkaian proses yang diterapkan. Kondisinya saat ini, pemotongan hewan masih banyak dilakukan di luar RPH sehingga tidak ada jaminan ASUH terhadap daging yang dihasilkan maka dalam

(10)

rangka pembenahan penyelenggaraan Rumah Potong Hewan di Kota Bekasi, diperlukan suatu landasan pengaturan/regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah sebagai pedoman bagi penyelenggaraan RPH sesuai kaidah Kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan kehalalan serta memberikan kepastian hukum berusaha bagi para pelaku usaha Rumah Potong Hewan.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Permasalahan apa yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan Rumah Potong Hewan?

b. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan?

c. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan?

d. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan?

1.3. Tujuan dan Sasaran

Seiring dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat, urgensi sebuah Naskah Akademik dalam proses penyusunan Peraturan Daerah yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting. Keberadaan Naskah Akademik sangat diperlukan dalam rangka pembentukan Rancangan Peraturan Daerah dengan tujuan agar peraturan yang dihasilkan sejalan dengan sistem hukum nasional, tuntutan kehidupan masyarakat dan dapat meminimalisir permasalahan

(11)

dikemudian hari. Naskah Akademik dapat dijadikan sebagai bahan awal yang memuat gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan materi muatan peraturan perundang-undangan dan dapat juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan/ bahan dasar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai berikut:

a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam rangka Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.

b. Merumuskan alasan perlunya dibentuk Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.

c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.

d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.

1.4. Metode Pendekatan

Naskah akademik merupakan salah satu langkah penting dalam proses legislasi, karena berperan sebagai “quality control” yang sangat menentukan kualitas suatu produk hukum. Naskah Akademik juga merupakan potret ataupun peta tentang berbagai hal terkait dengan peraturan perundang-undangan yang hendak diterbitkan. Dari potret tersebut akan ditentukan apakah peraturan tersebut akan melembagakan apa yang telah ada dan berjalan dimasyarakat atau membuat aturan yang

(12)

bertentangan sehingga dapat mengubah masyarakat (law as a tool of social engineering.5 Naskah Akademik memuat seluruh informasi yang diperlukan untuk mengetahui landasan pembuatan peraturan perundang- undangan yang baru termasuk tujuan dan isinya.

Definisi lainnya dari sebuah naskah akademik dikemukakan oleh Jazim Hamidi, dimana Naskah Akademik memuat uraian yang berisi penjelasan tentang (1) perlunya sebuah peraturan harus dibuat, (2) tujuan dan Kegunaan dari peraturan yang akan dibuat, (3) materi-muatan yang harus diatur peraturan tersebut, dan (4) aspek- aspek teknis penyusunan.6

Penelitian yang dilakukan untuk penyusunan Naskah Akademik ini menggunakan metode kepustakaan, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan melalui metode yuridis normatif yang dilakukan melalui kajian pustaka dengan menelaah data sekunder, dalam bentuk peraturan perundang-undangan, perjanjian, putusan pengadilan serta dokumen hukum (dan pemerintahan) pendukung lainnya. Metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau metode penelitian hukum kepustakaan yang merupakan metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada (data sekunder).7 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum.

Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).8

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,9 digunakannya pendekatan kualitatif bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menarik azas- azas hukum (rechsbeginselen) yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis. 10

(13)

Didukung dengan pendekatan yuridis empiris dengan menelaah data primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat dengan pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, dan mendengar pendapat narasumber atau para ahli.

Adapun bahan hukum yang menjadi acuan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan menjadi dasar memperjelas dan menguraikan mengenai bahan hukum primer dengan penyampaian pola pikir berupa doktrin-doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya.

1.5. Sistematika Pembahasan

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan (RPH) ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan, memuat sub-sub bab latar belakang, dasar hukum, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, metode penyusunan, serta sistematika penulisan.

Bab II berisi Kajian Teoritik dan Praktik Empirik, memuat sub-sub bab mengenai kajian teori mengenai kondisi obyektif dan kebutuhan Rumah Potong Hewan di Kota Bekasi, konsep pembangunan Rumah Potong Hewan, penyelenggaraan dan pelayanan teknis Rumah Potong Hewan, sertifikasi dan jaminan produk halal Rumah Potong Hewan, dan praktik empirik penyelenggraan Rumah Potong Hewan di daerah lain.

BAB III berisi Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Terkait, memuat sub-sub bab mengenai analisis dan evaluasi peratutan

(14)

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan Rumah Potong Hewan, antara lain peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah, di bidang pangan dan peternakan, di bidang lingkungan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, di bidang perlindungan konsumen, dandi bidang jaminan produk halal.

Bab IV berisi Landasan Yuridis, Filosofis, dan Sosiologis, memuat sub-sub bab mengenai landasan yuridis, landasan filosofis, dan landasan sosiologis terkait pengaturan Rumah Potong Hewan.

Bab V berisi jangkauan, arah pengaturan, dan pokok-pokok materi muatan Peraturan Daerah, memuat sub-sub bab mengenai jangkauan pengaturan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah.

Bab VI berisi Penutup, berisi sub-sub bab kesimpulan dan rekomendasi.

(15)

BAB II KAJIAN TEORITIK &

PRAKTIK EMPIRIK

2.1. Urgensi Pengaturan Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan di Kota Bekasi

2.1.1. Kebutuhan dan Pemenuhan Daging di Kota Bekasi

Kota Bekasi sebagai bagian dari megapolitan Jabodetabek telah berkembang menjadi tempat tinggal kaum urban dan sentra industri. Data Sensus Penduduk Tahun 2018-2020 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kota Bekasi,11 jumlah penduduk Kota Bekasi selama tiga tahun ini berturut turut tercatat sebanyak 2.943.859 orang (2018), 3.013.851 orang (2019), dan 2.543.676 orang (2020). Pemerintah Kota Bekasi terus melaksanakan pembangunan pada segala sektor untuk mewujudkan Visi Bekasi Cerdas, Kreatif, Maju, Sejahtera dan Ihsan. Salah satu sektor yang terus giat dilaksanakan adalah pembangunan sumber daya manusia.

Faktor kunci keberhasilan pembangunan sumber daya manusia adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi. Daging merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini memberikan andil terhadap pemenuhan gizi masyarakat. Permintaan akan daging sapi di Kota Bekasi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Penduduk Kota Bekasi berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2020 adalah sebesar 2,45 juta jiwa dengan angka konsumsi daging 2,56 kg/kapita/tahun maka dalam setahun masyarakat Kota Bekasi membutuhkan daging sapi sebanyak 6.272 ton. Sedangkan

(16)

produksi daging Kota Bekasi hanya mampu memenuhi kebutuhan sebanyak 1.988 ton/tahun. Angka konsumsi daging ayam ras sebesar 12,79kg/kapita/tahun maka kebutuhan daging ayam masyarakat Kota Bekasi mencapai 31.336 ton. Sedangkan untuk daging domba/kambing sebesar masing-masing 2.915 ton dan 3.325 ton.

Tingginya kebutuhan daging masyarakat saat ini diperoleh dari RPH- RPH yang ada di wilayah Jabodetabek dan daging frozen ex-impor.

Didatangkannya daging dari berbagai wilayah tersebut cukup menyulitkan dalam proses pengawasannya untuk meminimalisasi adanya praktek- praktek illegal yang dapat menurunkan kualitas daging dan mempengaruhi Kesehatan masyarakat, juga adanya kemungkinan kerusakan produk akibat penanganan daging selama proses transportasi dari RPH ke pasar yang tidak menggunakan rantai dingin sebagaimana yang dipersyaratkan untuk tetap menjaga kualitas daging. Selain itu kemungkinan terbawanya agen penyakit hewan dan zoonosis dari berbagai wilayah tersebut ke Kota Bekasi sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh DKPPP Kota Bekasi bekerjasama dengan Balai Veteriner Subang, bahwa seluruh pasar yang diperiksa dinyatakan positif terhadap zoonosis Avian Influenza atau flu burung.

Keberadaan daging impor yang rembes ke pasar tradisional juga menjadi persoalan serius, disparitas harga antara daging lokal dan daging impor yang besar memicu adanya praktek-praktek kecurangan mengoplos daging lokal dan impor atau daging impor yang diperjualbelikan sebagai daging lokal. Secara umum kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada waktu hewan sebelum dan sesudah dipotong. Kualitas fisik daging sapi adalah warna daging, rasa dan aroma, perlemakan, dan tektur daging. Pada waktu sebelum dipotong, factor penentu kualitas dagingnya adalah tipe ternak, jenis kelamin, umur, dan cara pemeliharaan yang meliputi pemberian pakan dan perawatan kesehatan. Sedangkan kualitas daging sesudah dipotong dipengaruhi oleh metode pemasakan, pH daging, hormon, dan metode penyimpanan kualitas fisik daging sapi impor dan daging sapi lokal dapat ditinjau dari lima aspek yaitu warna daging,

(17)

tekstur daging, perlemakan daging (marbling) rasa daging, dan aroma daging.

Tabel 2.1. Perbandingan Kualitas Daging Sapi Impor dan Lokal

Guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging yang aman, sehat, utuh dan halal dan jaminan Kesehatan masyarakat, Pemerintah Kota Bekasi perlu menciptakan sebuah iklim usaha dan kepastian berusaha dalam penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.

2.1.2. Kondisi Obyektif Rumah Potong Hewan di Kota Bekasi dan Urgensi Pembangunan RPH Baru

Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKPPP) Kota Bekasi, saat ini jumlah RPH sapi di Kota Bekasi juga masih sangat terbatas. Tercatat hanya ada 2 (dua) RPH ruminansia dan 4 (empat) Tempat Pemotongan Hewan ruminansia (TPHR) dengan rincian 1 (satu) RPHR milik Pemerintah Kota Bekasi, yaitu RPH Harapan Baru (sering disebut sebagai RPH Teluk Pucung) dan satu RPHR milik swasta serta 4 TPHR adalah milik swasta/perorangan, sedangkan RPH unggas, domba/kambing dan babi belum tersedia data resminya sebagaimana data berikut:

(18)

Tabel 2.2. Data Kondisi RPH/TPH di Kota Bekasi

No. Nama RPH/TPH Lokasi/Alamat Keadaan

1. RPH Pemkot Bekasi

Jl Raya Perjuangan, Kel.

Harapan Baru, Kec.

Bekasi Utara

Belum bersertifikasi teknis NKV,

memiliki sertifikat halal 2. RPH Halalan

Thoyiban

Jl. Swatantra V Gg Mushola Al Ikhlas No. 52 Jatirasa, Jatiasih

Sudah memiliki sertifikat teknis NKV

dan halal 3. TPH Putri Basuki Jl. Raya Kp. Setu

Bintara Jaya, Bekasi Barat

Bangunan sudah difungsikan sebagai

RPH tapi belum memenuhi kriteria

sebagai RPH, tidak memiliki NKV dan

sertifikat Halal 4. TPH H. Faqih Jl. Cipendawa Baru No. 1

Bojong Menteng, Rawa lumbu

Bangunan sudah difungsikan sebagai RPH tapi belum memenuhi kriteria sebagai RPH, tidak memiliki NKV dan sertifikasi halal

5. TPH. H. Amir Gg Sunter No. 45

Jatimelati, Pondok Melati

Bangunan sudah difungsikan sebagai RPH tapi belum memenuhi kriteria sebagai RPH, tidak memiliki NKV dan sertifikasi halal

6. TPH H. Aan Jatimelati, Bangunan sudah difungsikan sebagai RPH tapi belum memenuhi kriteria sebagai RPH, tidak memiliki NKV dan sertifikasi halal

Sumber: Paparan Kepala DKPPP Kota Bekasi pada Rapat Kerja dengan Komisi II DPRD Kota Bekasi, 27 Oktober 2021

Berdasarkan data di atas dari sisi teknis RPHR Harapan Baru belum memenuhi persyaratan sebagai unit usaha produk hewan yang wajib memiliki sertifikat standar halal dan NKV, selain itu sarana prasarana operasionalisasi RPH sangat terbatas dan tidak sesuai dengan perkembangan karena RPH Harapan Baru didesain untuk melaksanakan pemotongan sapi lokal sedangkan saat ini sapi yang masuk RPH terbanyak adalah sapi ex-impor yang memerlukan penanganan khusus selama prosesnya. Karena ketidaksesuaian sarana prasarana dengan perkembangan yang ada maka RPH Harapan Baru tidak mampu bersaing dengan RPH lain. Sedangkan untuk pemotongan unggas, domba/kambing

(19)

dan babi dilakukan oleh masyarakat di wilayahnya masing-masing sehingga menyulitkan dalam proses pengawasannya.

Tahun 2020, jumlah sapi impor yang di pemotongan di RPH sebanyak 6.257 ekor dan sapi lokal sebanyak 1.363 ekor atau setara dengan 1.707 ton daging. Sedangkan jumlah domba dipemotongan sebanyak 205.685 ekor, kambing 210.957 ekor atau setara 3.250 ton daging domba dan 3.245 ton daging kambing. Untuk komoditas unggas sebanyak 977.570 ekor ayam buras, 6.250.200 ekor ayam broiler dan 49.009 ekor itik dipotong. Sedangkan pemotongan di luar RPH untuk hari besar keagamaan tercatat sebanyak 7.540 ekor sapi, domba 1.485 ekor dan kambing 16.761 ekor. Tingginya jumlah pemotongan hewan di Kota Bekasi saat ini belum diiringi dengan ketersediaan Rumah Potong Hewan yang memenuhi persyaratan teknis dan Standar Nasional Indonesia baik untuk RPH Ruminansia besar (sapi), Ruminansia Kecil (domba/kambing) dan RPH Unggas.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant) Pasal 6 ayat (2) Lokasi RPH harus memenuhi persyaratan paling kurang: huruf a tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya; huruf d mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta disinfeksi. Bahwa lahan RPH Harapan Baru saat ini berada di daerah rawan banjir, bahkan bangunan RPH sering terendam banjir saat curah hujan tinggi dan debit air sungai Bekasi meningkat. Selain itu pembangunan krematorium pada lokasi RPH menyebabkan peningkatan potensi pencemaran akibat asap, bau dan debu yang timbul akibat proses kremasi yang dilakukan sehingga akan mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan oleh RPH.

Dari sisi sumber daya manusia, ketersediaan dokter hewan dan tenaga teknis yang dibutuhkan sebagaimana yang dipersyaratkan sebuah RPH sangat mencukupi. Data yang dihimpun oleh DKPPP Kota Bekasi dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonseia, saat ini di Kota Bekasi tercatat ada

(20)

302 dokter hewan yang tersebur di seluruh wilayah kecamatan. Jumlah ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan RPH-RPH baru.

Dengan demikian, revitalisasi atau pembangunan Kembali RPH milik Pemerintah Kota Bekasi serta pembangunan RPH-RPH baru sangat mendesak untuk dilakukan. Ada beberapa alasan mengapa pembangunan RPH baru perlu dipertimbangkan, antara lain (1) pembangunan RPH baru dapat mendorong peningkatan produksi guna memenuhi kebutuhan daging ASUH; (2) pembangunan RPH baru bisa mencegah agar masyarakat tidak melakukan pemotongan hewan di tempat yang tidak resmi, sehingga Pemerintah daerah dapat menjaga kesehatan masyarakat dengan tetap mengkonsumsi daging yang aman, sehat, utuh, dan halal; dan (4) pembangunan RPH baru secara ekonomi diharapkan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah.

Pemikiran di atas sejalan dengan semangat yang ada dibangun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 jo. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang menyatakan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di RPH (Pasal 61 ayat (1), dan oleh karenanya pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki RPH yang memenuhi persyaratan teknis (Pasal 62 ayat (1)

2.2. Konsep Pembangunan Rumah Potong Hewan 2.2.1. Fungsi dan Peran RPH

Rumah Potong Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan pemotongan selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Secara fungsional, berdasarkan hewan yang ditangani RPH terbagi atas 3 jenis yaitu RPH ruminansia (RPHR) dan RPH Unggas (RPHU). RPH merupakan unit

(21)

pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan.

RPH mempunyai peran yang strategis dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan hewani. Untuk memenuhi peran di atas, maka RPH memiliki fungsi utama untuk menyelenggarakan:

a. pemotongan hewan secara benar sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan dengan memperhatikan kaidah agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat;

b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante–mortem inspection);

c. pemeriksaan karkas dan jeroan setelah hewan dipotong (post mortem inspection);

d. pencegahan penularan penyakit zoonosis ke manusia;

e. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem;

f. seleksi dan pengendalian pemotongan hewan betina produktif; dan g. pencegahan tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari bahaya

biologis, kimiawi, dan fisik.

Selain fungsi-fungsi utama di atas, RPH juga dapat difungsikan sebagai sarana untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian, pemotongan hewan untuk kegiatan keagamaan. RPH juga berfungsi sebagai tempat dan obyek riset para ahli dan mahasiswa, dan tempat praktek lapangan dan magang mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu.

Selain itu RPH juga bisa difungsikan sebagai sarana penyembelihan hewan qurban. Ini bisa lihat prakteknya di saudi Arabia dan negara-negara Islam di Timur Tengah. Selain itu, di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan Selandia Baru, RPH berfungsi sebagai sarana rekreasi dan wisata sains dan produk halal.

2.2.2. Tata Cara Pembangunan RPH

(22)

Secara garis besar, ada tiga persyaratan umum yang harus dipenuhi jika akan mendirikan RPH, yaitu aspek organisasi, sosial dan teknis.

1. Aspek Organisasi

Dalam hal ini pendirian RPH harus memenuhi persyaratan organisasi, yaitu Pemerintah Pusat, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Di samping itu harus ada unsur pengawas, penanggungjawab, pimpinan dan staf yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan RPH.

2. Aspek Sosial

Pendirian RPH hendaknya juga mempertimbangkan adat kebiasaan di wilayah di mana RPH didirikan, agama khususnya dalam hal metode penyembelihan serta penanganan makanan yang tentunya tidak sama dari satu daerah ke daerah lainnya.

3. Aspek Teknis

Pendirian RPH hendaknya dapat menciptakan suatu metode yang efektif untuk dalam menangani hewan dan prosedur penanganan daging yang memenuhi standar higine sanitasi selama proses berlangsung mulai dari kedatangan hewan sampai dengan keluarnya daging, penerapan rantai dingin selama proses transportasi dan distribusi serta memenuhi beberapa persyaratan teknis yang lain seperti area pendirian, persediaan air, pembuangan limbah dan lain-lain.

Untuk mendirikan RPH, wajib memenuhi persyaratan administratif dan teknis.

Persyaratan administratif sekurang-kurangnya terdiri atas permohonan yang disertai identitas pemohon, memiliki izin mendirikan bangunan, izin pengelolaan lingkungan (UKL/UPL/AMDAL) dan nomor induk berusaha.

Selain persyaratan administrasi sebagaimana tersebut di atas, juga wajib memenuhi persyaratan teknis yaitu persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam memitigasi risiko yang dapat dihasilkan oleh proses produksi di RPH meliputi:

(23)

a. Memenuhi persyaratan teknis lokasi, sarana pendukung, konstruksi dasar dan desain bangunan, peralatan sebagaimana amanat Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 tahun 2010 tentang Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging;

b. Memiliki prasarana dan sarana yang memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi, biosekuriti dan kesejahteraan hewan;

c. Memperkerjakan paling kurang satu dokter hewan sebagai pelaksana dan penanggung jawab teknis pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di RPH;

d. juru sembelih halal paling kurang 2 (dua) orang bagi komoditas yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan e. Mempekerjakan paling kurang satu orang tenaga pemeriksa daging

(keurmaster) dan animal welfare officer (AWO) dibawah pengawasan dokter hewan penanggung jawab teknis.

Beberapa ketentuan terkait ketentuan teknis untuk pendirian dan/atau pembangunan RPH dapat dikemukakan sebagai berikut:

Persyaratan Lokasi:

Pendirian RPH harus memperhatikan aspek tata ruang/kewilayahan. Dalam hal ini lokasi RPH harus sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD), yakni harus berada pada zona yang direncanakan diperuntukkan sebagai area agribisnis. Secara umum persyaratan lokasi RPH harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya.

b. Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan.

c. Letaknya lebih rendah dari pemukiman.

d. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi.

e. Tidak berada dekat industri logam dan kimia.

f. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH.

(24)

Prasarana Pendukung:

RPH harus dilengkapi dengan prasarana pendukung yang memungkinkan proses pemotongan hewsn, penanganan dan distribusi daging, serta penanganan limbah berjalan baik dan lancer. Prasarana tersebut antara lain adalah:

a. Akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan yang akan dipemotongan dan kendaraan pengangkut daging.

b. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1000 liter/ekor/hari.

c. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus d. Fasilitas penanganan limbah padat dan cair.

Kompleks Rumah Potong Hewan harus dipagar sedemikian rupa sehingga dapat mencegah keluar masuknya orang yang tidak berkepentingan dan hewan lain selain hewan pemotongan. Pintu masuk hewan pemotongan harus terpisah dari pintu keluar daging. Jika ada pemotongan babi, maka kompleks Rumah Potong Hewan babi harus dipisahkan dengan kompleks Rumah Potong Hewan lain dengan jarak yang cukup jauh atau dibatasi dengan tinggi pagar minimal 3meter atau terpisah total dengan dinding tembok serta terletak di tempat yang lebih rendah daripada Rumah Potong Hewan lain.

Kompleks RPH

Telah dikemukakan di atas, bahwa RPH merupakan kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan pemotongan selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Dengan demikian kompleks RPH harus terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

a. Bangunan utama.

b. Area penurunan hewan (unloading) sapi dan kandang penampungan atau kandang istirahat hewan

c. Kandang isolasi

d. Kantor administrasi dan kantor dokter hewan e. Ruang istirahat karyawan, kantin dan musholla

(25)

f. Tempat penyimpanan barang pribadi (loker) atau ruang ganti pakaian g. Kamar mandi dan WC

h. Sarana penanganan limbah

i. Fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator

j. Tempat parkir k. Rumah jaga l. Gardu listrik, dan m. Menara air

Selanjutnya RPH yang menghasilkan produk akhir daging segar dingin (chilled) atau beku (frozen) harus dilengkapi dengan:

a. Ruang pelepasan daging (deboning room) dan pemotongan daging (cutting room).

b. Ruang pengemasan daging (wrapping and packing).

c. Fasilitas freezer (-180 C) dan blast freezer (-400 C).

d. Gudang dingin (cold storage).

e. RPH berorientasi ekspor dilengkapi dengan laboratorium sederhana.

Daerah Kotor dan Daerah Bersih

Bangunan utama RPH harus memiliki daerah kotor yang terpisah secara fisik dari daerah bersih. Pemisahan ini bertujuan untuk menjaga kualitas daging agar tetap sehat dan berkualitas, serta layak dikonsumsi masyarakat. Daerah kotor meliputi:

a. Area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area pengeluaran darah.

b. Area penyelesaian proses penyembelihan yaitu ruang pemisahan kepala, ke empat kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan isi perut.

c. Ruang untuk jeroan hijau (rumen, retikulum, omasum, abomasum, intestinum).

d. Ruang untuk jeroan merah (hati, jantung, paru-paru, ginjal, limpa).

e. Ruang untuk kepala dan kaki.

(26)

f. Ruang untuk kulit.

Daerah bersih meliputi area:

a. Pemeriksaan post mortem b. Penimbangan karkas.

c. Pengeluaran (loading) karkas/daging

Jika Rumah Potong Hewan dilengkapi dengan Ruang pendingin/pelayuan, ruang pembeku, ruang pembagian karkas dan pengemasan daging, maka ruang-ruang tersebut terletak di daerah bersih

Bangunan utama

Bangunan Utama RPH harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tata ruang didesain sedemikian rupa agar se arah dengan alur proses serta memiliki ruang yang cukup, sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan dapat berjalan baik dan higienis, dan besarnya ruangan disesuaikan dengan kapasitas pemotongan

b. Adanya pemisahan ruang yang jelas secara fisik antara “Daerah Bersih” dan

“Daerah Kotor”.

c. Memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaa post mortum.

d. Lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan mempunyai intensitas cahaya 540 luks untuk pemeriksaan post mortem dan 220 luks untuk area pengerjaan proses pemotongan.

e. Dinding bagian dalam berwarna terang dan paling kurang setinggi 3 meter terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.

f. Dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.

g. Lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta lantai ke arah saluran pembuangan.

(27)

h. Permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau lubang.

Jika lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air.

i. Lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi dengan penyaring.

j. Sudut pertemuan antara dinding dengan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 75 mm.

k. Sudut pertemuan antara dinding dengan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 25 mm.

l. Di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didesain agar darah dapat tertampung.

m. Langit-langit didesain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi dalam ruangan, harus berwarna terang, terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan, tidak ada lubang atau celah terbuka pada langit-langit.

m. Ventilasi pintu dan jendela harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga atau dengan menggunakan metode pencegahan serangga lainnya (insect killer).

n. Kontruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga mencegah tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam bangunan.

o. Pertukaran udara dalam bangunan harus baik.

p. Kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari kayu, tetapi dibuat dari bahan tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk.

q. Kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.

Area Penurunan (unloading) dan Area Kandang

Area penurunan (unloading) dan Area Kandang dan ruminansia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(28)

a. Dilengkapi dengan fasilitas untuk menurunkan ternak (unloading) dari atas kendaraan angkut ternak yang didesain sedemikian rupa, sehingga ternak tidak cedera akibat melompat atau tergelincir.

b. Ketinggian tempat penurunan/penaikan sapi harus disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut hewan.

c. Lantai sejak dari tempat penurunan hewan sampai kandang penampungan harus tidak licin dan dapat meminimalisasi terjadinya kecelakaan.

d. Harus memenuhi aspek kesejahteraan hewan (animal welfare).

Kandang Penampungan dan Istirahat Hewan

Kandang penampungan dan istirahat hewan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Bangunan kandang penampungan sementara atau kandang istirahat paling kurang berjarak 10 meter dari bangunan utama.

b. Memiliki daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan hewan setiap hari.

c. Ventilasi (pertukaran udara) dan penerangan harus baik.

d. Tersedia tempat air minum untuk hewan pemotongan yang didesain landai ke arah saluran pembuangan, sehingga mudah dibersihkan.

e. Lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi.

f. Saluran pembuangan didesain, sehingga aliran pembuangan dapat mengalir lancar.

g. Atap tebuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan

h. Terdapat jalur penggiring hewan (gang way) dari kandang menuju tempat penyembelihan, dilengkapi dengan pagar yang kuat di kedua sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor, sehingga hewan tidak dapat kembali ke kandang.

(29)

i. Jalur penggiringan hewan yang berhubungan langsung dengan bangunan utama didesain, sehingga tidak terjadi kontras warna dan cahaya yang dapat menyebabkan hewan yang akan disembelih menjadi stres dan takut.

Kandang isolasi

Kandang isolasi hewan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Terletak pada jarak terjauh dari kandang penampungan dan bangunan utama, serta di bangun dibagian yang lebih rendah dari bangunan lain.

b. Memiliki ventilasi dan penerangan yang baik.

c. Dilengkapi dengan tempat air minum yang didesain landai ke arah saluran pembuangan, sehingga mudah dibersihkan.

d. Lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi.

e. Saluran pembuangan didesain, sehingga aliran pembuangan dapat mengalir lancar.

f. Atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan.

Ruang Pendingin/Pelayuan

Ruang pendingin/pelayuan (chilling room) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih.

b. Besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan dengan mempertimbangkan jarak antar karkas paling kurang 10 cm.

c. Jarak antara karkas dengan dinding paling kurang 30 cm, jarak antara karkas dengan lantai paling kurang 50 cm, dan jarak antar baris paling kurang 1 meter.

Ruang Pelepasan Daging (deboning room) dan Pembagian atau Pemotongan Daging (cutting room)

(30)

Ruang pelepasan daging (deboning room) dan pembagian atau pemotongan daging (cutting room) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Desain dan konstruksi dasar ruang pelepasan daging dan ruang pembagian atau pemotongan daging harus dapat memfasilitasi proses pembersihan dan didesinfeksi dengan efektif.

b. Memiliki ventilasi dan penerangan yang cukup.

c. Didesain untuk mencegah masuk dan bersarangnya serangga, burung, rodensia, dan binatang pengganggu lainnya di dalam ruang produksi.

d. Lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, tidak berlubang, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, tidak mudah mengelupas, serta apabila lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dengan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air.

e. Dinding terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, memiliki insulasi yang baik, dan berwarna terang, dan dinding bagian dalam dilapisi bahan kedap air setinggi mininal 3 meter dengan permukaan rata, tidak ada celah/ lubang, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.

f. Dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.

g. Sudut pertemuan antara dinding dengan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 75 mm, dan sudut pertemuan antara dinding dengan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 25 mm.

h. Langit-langit harus dibuat sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya akumulasi debu dan kotoran, meminimalisasi terjadinya kondensasi, pertumbuhan jamur, dan terjadinya keretakan, serta mudah dibersihkan.

i. Jendela dan ventilasi harus didesain untuk menghindari terjadinya akumulasi debu dan kotoran, mudah dibersihkan dan selalu terawat dengan baik.

j. Kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari kayu, tetapi dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan

(31)

benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk.

k. Kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.

l. Pintu dilengkapi dengan tirai plastik untuk mencegah terjadinya variasi temperatur dan didesain dapat menutup secara otomatis.

m. Selama proses produksi berlangsung temperatur ruangan ber-AC harus dipertahankan kurang dari 150 Celcius.

Ruang Pengemasan

Desain dan konstruksi dasar ruang pengemasan daging harus sama dengan persyaratan desain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian atau pemotongan. Desain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat (blast freezer) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Kapasitas ruangan disesuaikan dengan jumlah produk yang akan dibekukan.

b. Desain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat harus sama dengan persyaratan desain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian atau pemotongan daging.

c. Ruang didesain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang yang masuk ke dalam ruang pembeku.

d. Ruang dilengkapi dengan alat pendingin yang memiliki kipas (blast freezer) yang mampu mencapai dan mempertahankan temperatur ruangan di bawah 180 C dengan kecepatan udara minimal 2 meter/detik.

Ruang Pembekuan

Ruang penyimpanan beku (cold storage) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Kapasitas ruang disesuaikan jumlah produk yang disimpan.

(32)

b. Didesain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan beku harus sama dengan persyaratan desain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian atau pemotongan daging.

c. Ruang didesain agar tidak ada aliran air limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam ruang penyimpanan beku.

d. Dilengkapi dengan fasilitas pendingin:

- Memiliki ruang penyimpanan berpendingin yang mampu mencapai dan mempertahankan secara konstan temperatur daging pada + 40 C hingga - 4 0 C (chilled meat); -2 0 C hingga – 8 0 C (frozen meat); atau < -180 C (deep frozen), bahkan -400 C (blast freezer) serta kapasitas ruangan harus mempertimbangkan sirkulasi udara dapat bergerak bebas.

- Ruang penyimpanan berpendingin dilengkapi dengan thermometer atau display suhu yang diletakkan pada tempat yang mudah dilihat.

Kendaraan Pengangkut Daging

RPH wajib memiliki kendaraan pengangkut daging. Kendaraan ini harus memenuhi persayaratan:

a. Boks pada kendaraan untuk mengangkut daging harus tertutup.

b. Lapisan dalam boks pada kendaraan pengangkut daging harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, mudah dirawat serta mempunyai sifat insulasi yang baik.

c. Boks dilengkapi dengan alat pendingin yang dapat mempertahankan suhu bagian dalam daging segar +7 oC dan suhu bagian dalam jeroan +3 oC.

d. Suhu ruangan dalam boks pengangkut daging beku maksimum –18 oC.

e. Bagian dalam boks dilengkapi alat penggantung karkas.

f. Kendaraan pengangkut daging Babi harus terpisah dari daging lain.

Perlengkapan dan Peralatan

Perlengkapan dan peralatan yang digunakan dalam RPH harus memenuhi persyaratan:

(33)

a. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di RPH harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didisinfeksi serta mudah dirawat.

b. Seluruh peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik, misalnya seng, polyvinyl chloride/ PVC tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didisinfeksi serta mudah dirawat.

c. Seluruh peralatan logam yang kontak dengan daging dan jeroan harus terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari stainless steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah dibersihkan dan mudah didisinfeksi serta mudah dirawat.

d. Pelumas untuk peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan harus food grade (aman untuk pangan).

e. Sarana pencucian tangan harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan telapak tangan, dilengkapi dengan fasilitas seperti sabun cair dan pengering, dan apabila menggunakan tissue harus tersedia tempat sampah.

f. Peralatan kebersihan dan disinfeksi ruangan dan peralatan harus tersedia dalam jumlah cukup.

Bangunan utama paling kurang harus dilengkapi dengan:

a. alat untuk memfiksasi hewan (Restraining box);

b. alat untuk menempatkan hewan setelah disembelih (Cradle);

c. alat pengerek karkas (Hoist);

d. rel dan alat penggantung karkas yang didisain agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding;

e. fasilitas dan peralatan pemeriksaan post-mortem, meliputi:

1) meja pemeriksaan hati, paru, limpa dan jantung;

2) alat penggantung kepala.

f. peralatan untuk kegiatan pembersihan dan Disinfeksi;

g. timbangan hewan, karkas dan daging.

(34)

Ruang jeroan paling kurang harus dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan untuk:

a. mengeluarkan isi jeroan;

b. mencuci jeroan;

c. menangani dan memproses jeroan.

Ruang pelepasan daging dan pemotongan karkas dan/atau daging paling kurang dilengkapi dengan:

a. meja stainless steel;

b. talenan dari bahan polivinyl;

c. mesin gergaji karkas dan/atau daging (bone saw electric);

d. mesin pengiris daging (slicer);

e. mesin penggiling daging (mincer/grinder);

f. pisau yang terdiri dari pisau trimming dan pisau cutting;

g. fasilitas untuk mensterilkan pisau yang dilengkapi dengan air panas;

h. metal detector.

Untuk mendukung pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di RPH, dokter hewan penanggung jawab di RPH dan/atau petugas pemeriksa harus disediakan peralatan paling kurang terdiri dari:

a. pakaian pelindung diri;

b. pisau yang tajam dan pengasah pisau;

c. stempel karkas.

Perlengkapan standar untuk pekerja pada proses pemotongan meliputi pakaian kerja khusus, apron plastik, tutup kepala dan sepatu boot yang harus disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk setiap pekerja.

Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus dilengkapi dengan peralatan untuk mencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun, desinfektan, foot dip dan sikat sepatu, dengan jumlah disesuaikan dengan jumlah pekerja.

Peralatan untuk membersihkan dan mendisinfeksi ruang dan peralatan harus tersedia dalam jumlah cukup agar dapat dipastikan bahwa seluruh proses pembersihan dan disinfeksi dapat dilakukan secara baik dan efektif.

(35)

Persyaratan Lain

Persyaratan lain yang harus dilengkapi dalam pendirian RPH, antara lain:

a. RPH yang berorientasi ekspor harus mempunyai laboratorim sederhana untuk pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian produk, peralatan, air, petugas dan lingkungan produksi yang diperlukan dalam rangka monitoring penerapan praktek higiene di RPH.

b. RPH berorientasi ekspor harus sudah memperoleh sertifikat NKV level 1.

Jika ingin diekspor ke negara berpenduduk moslem tinggi harus bersertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal.

c. Jenis pemeriksaan dan pengujian meliputi pemeriksaan organoleptik, kimiawi sederhana seperti uji awal pembusukan daging dan uji kesempurnaan pengeluaran darah, pengujian cemaran mikroba sepert Total Plate Count (TPC), Coliform, Escherichia coli, Staphylococcus sp, Salmonela sp. serta pengujian parasit.

Unit Penanganan Daging

UPD merupakan tempat untuk melakukan pembagian karkas, pemisahan daging dari tulang, dan pemotongan daging sesuai topografi karkas untuk menghasilkan daging bagi keperluan konsumsi masyarakat umum. UPD wajib memenuhi persyaratan administrative dan teknis. Persyaratan administratif sekurang-kurangnya terdiri surat permohonan berisi identitas pemohon; izin mendirikan bangunan; izin pengelolaan lingkungan (UKL/UPL/AMDAL); dan nomor induk berusaha. Persyaratan administrative tidak diberlakukan bagi UPD yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

Sedangkan Persyaratan teknis UPD adalah persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam memitigasi risiko yang dapat dihasilkan oleh proses produksi di RPH meliputi:

a. Surat pernyataan mempunyai tenaga kerja paling sedikit:

1) dokter hewan sebagai pelaksana dan penanggung jawab teknis pengawasan kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan, 2) pemeriksa daging (keurmaster)

(36)

b. Memenuhi persyaratan teknis lokasi, sarana pendukung, konstruksi dasar dan desain bangunan, peralatan;

c. Memiliki prasarana dan sarana yang memenuhi persyaratan higiene sanitasi dan biosekuriti;

d. Memperkerjakan paling kurang satu dokter hewan sebagai pelaksana dan penanggung jawab teknis pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di RPH;

e. Mempekerjakan paling kurang satu orang tenaga pemeriksa daging (keurmaster) dibawah pengawasan dokter hewan penanggung jawab teknis.

Lokasi UPD

Untuk lokasi UPD persyaratannya adalah:

a. Lokasi UPD harus sesuai dengan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) wilayah setempat dan lokasinya diperuntukkan sebagai area agribisnis.

b. Lokasi UPD harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut:

1) tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu, dan kontaminan lainnya;

2) tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan;

3) letaknya lebih rendah dari pemukiman;

4) memiliki akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan penanganan 5) daging dan kegiatan pembersihan serta Disinfeksi;

6) tidak berada dekat industri logam dan kimia.

Sedangkan untuk UPD harus dilengkapi dengan sarana pendukung paling kurang meliputi:

1) sarana jalan yang baik menuju UPD yang dapat dilalui kendaraan 2) pengangkut daging;

3) suplai air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup dan terus menerus;

4) sumber tenaga listrik yang cukup;

(37)

5) sarana penanganan limbah dan sistem saluran pembuangan limbah yang didisain agar aliran limbah mengalir dengan lancar, mudah diawasi dan mudah dirawat, tidak mencemari tanah, tidak menimbulkan bau dan dijaga agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia.

Persyaratan bangunan dan tata letak dalam kompleks UPD

Persyaratan bangunan dan tata letak dalam kompleks UPD paling kurang meliputi:

a. bangunan utama

1) ruang pelepasan daging (deboning) dan pembagian/pemotongan 2) daging (meat cutting);

3) ruang pengemasan;

4) ruang pembekuan cepat (blast freezer);

5) ruang penyimpanan dingin (cold storage).

b. area penurunan (loading) karkas dan pemuatan (unloading) daging ke dalam alat angkut;

c. kantor administrasi dan kantor dokter hewan;

d. kantin dan mushola;

e. ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti pakaian (locker) kamar mandi dan wc;

f. rumah jaga;

g. sarana penanganan limbah.

Selain persyaratan di atas, ada beberapa persyaratan lainnya untuk penyelenggaraan UPD, yaitu:

a. Kompleks UPD harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan keamanan.

b. Disain dan konstruksi dasar bangunan utama UPD harus memenuhi persyaratan sebagaimana Disain dan konstruksi RPH.

c. Disain dan konstruksi dasar ruang kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan pada UPD harus memenuhi persyaratan Disain dan konstruksi RPH.

(38)

d. Disain dan konstruksi dasar kantin dan mushola pada UPD harus memenuhi persyaratan sebagaimana Disain dan konstruksi RPH.

e. Disain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan barang pribadi (locker)/ruang ganti pakaian pada UPD harus memenuhi persyaratan sebagaimana Disain dan konstruksi RPH.

f. Disain dan konstruksi dasar kamar mandi dan WC pada UPD harus memenuhi persyaratan sebagaimana Disain dan konstruksi RPH

Perlengkapan dan Peralatan

Perlengkapan dan peralatan yang digunakan dalam UPD harus memenuhi persyaratan:

a. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di UPD harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan diDisinfeksi serta mudah dirawat.

b. Seluruh peralatan dan permukaan yang kontak dengan daging dan jeroan tidak boleh terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang bersifat toksik (misal:

seng, polyvinyl chloride/ PVC), tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didisinfeksi serta mudah dirawat.

c. Seluruh peralatan logam yang kontak dengan daging dan jeroan harus terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat atau korosif (terbuat dari stainless steel atau logam yang digalvanisasi), kuat, tidak dicat, mudah dibersihkan dan mudah diDisinfeksi serta mudah dirawat.

d. Pelumas untuk peralatan yang kontak dengan daging dan jeroan harus food grade (aman untuk pangan).

e. Peralatan untuk membersihkan dan menDisinfeksi ruang dan peralatan harus tersedia dalam jumlah cukup sehingga proses pembersihan dan Disinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan secara baik dan efektif.

f. Ruang penanganan dan pemotongan karkas dan/atau daging paling kurang dilengkapi dengan mesin dan peralatan:

1) meja stainless steel;

2) talenan dari bahan polivinyl;

(39)

3) mesin gergaji karkas/daging (bone saw electric);

4) mesin pengiris daging (slicer);

5) mesin penggiling daging (mincer/grinder);

6) pisau yang terdiri dari pisau trimming dan pisau cutting;

7) fasilitas untuk mensterilkan pisau yang dilengkapi dengan air panas;

8) metal detector.

g. Perlengkapan standar untuk pekerja di ruang penanganan dan pemotongan karkas dan/atau daging meliputi pakaian kerja khusus, apron plastik, penutup kepala, penutup mulut, sarung tangan, dan sepatu boot yang harus disediakan paling kurang 2 (dua) set untuk setiap pekerja.

2.2.3 Rantai Produksi Rumah Potong Hewan

Selain memperhatikan aspek pembangunan bangunan RPH dan fasilitasnya, serta penanganan daging, dalam penyelenggaraan RPH juga perlu diperhatikan rantai produksinya. Adapun hal-hal terkait rantai produksi RPH adalah sebagai berikut:

1. Praktik Veteriner Yang Baik (Good Veterinary Practices)

Penyelenggaraan RPH wajib Menerapkan praktik veteriner yang baik, yang sekurang-kurangnya dengan:

a. Melengkapi setiap hewan yang masuk ke RPH dengan Sertifikat Veteriner dari daerah asal hewan.

b. melakukan pencatatan kesehatan hewan.

c. melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem secara teratur dan terdokumentasi dengan baik.

Pemeriksaan ante mortem ini dilakukan untuk memastikan bahwa hewan potong yang akan dipotong dalam kondisi sehat dan layak untuk dipotong.

Ukurannya adalah:

a. Hewan yang layak untuk dipotong sekurang-kurang memenuhi kriteria:

1) tidak memperlihatkan gejala penyakit menular atau zoonosis;

2) bukan ruminansia besar anakan atau betina produktif;

3) tidak dalam keadaan mengandung; dan

(40)

4) bukan hewan yang dilindungi berdasarkan ketentuan perundang- undangan

b. Hewan yang telah diperiksa kesehatannya diberi tanda:

1) “SL” untuk hewan yang sehat dan layak untuk dipotong; atau 2) “TSL” untuk hewan yang tidak sehat dan/atau tidak layak dipotong.

Sedangkan pemeriksaan post mortem dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan insisi terhadap karkas atau daging, yang dilakukan dengan:

a. Karkas atau daging hasil pemeriksaan yang aman dan layak dikonsumsi dinyatakan dalam bentuk:

1) pemberian stempel pada karkas dan label pada jeroan yang bertuliskan “Telah Diperiksa oleh Dokter Hewan” dan

2) sertifikat veteriner.

b. Jeroan dan karkas yang berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang dinyatakan tidak aman dan tidak layak dikonsumsi wajib dimusnahkan menggunakan insenerator RPH.

2. Penerapan Biosecurity

Penerapan biosekuriti dilakukan sekurang-kurangnya dengan:

a. memisahkan hewan yang baru datang dengan hewan yang sudah ada di kandang penampungan.

b. memagar kompleks RPH

c. memisahkan pintu masuknya hewan dengan pintu keluarnya karkas dan/atau daging.

d. menjaga kebersihan RPH.

3. Penerapan Kesejahteraan Hewan

Menerapkan kesejahteraan hewan sekurang-kurangnya dengan:

a. menyediakan fasilitas penurunan hewan (rampa, lantai, dan pagar pembatas) dalam keadaan baik, terawat dan tidak curam (kurang 30°C).

(41)

b. menyediakan kandang penampungan sementara berjarak paling kurang 10 (sepuluh) meter dari bangunan utama dan memiliki daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan hewan setiap hari.

c. kandang penampungan terbuat dari bahan yang tidak menyebabkan hewan cedera/terluka dan mudah dilakukan tindakan hygiene sanitasi d. fasilitas kandang penampungan tidak rusak sehingga tidak

menyebabkan hewan cedera/terluka dan memungkinkan untuk dilakukan tindakan higiene sanitasi kandang.

e. membatasi kepadatan hewan di kandang penampungan 2,5 – 4 m2 per ekor untuk kandang dengan atap tertutup semua dan kepadatan 5 - 9 m2 per ekor untuk kandang dengan atap tertutup sebagian.

f. lantai kandang penampungan terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin, dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

g. atap terbuat dari bahan yang kuat dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan.

h. tersedia tempat pakan dan minum yang mudah diakses oleh ternak dan mudah dibersihkan.

i. pakan dan bahan pakan yang digunakan tersedia secara cukup dan air minum tersedia secara tidak terbatas (ad libitum) setiap hari dan berkesinambungan.

j. terdapat jalur penggiringan hewan (gang way) dari kandang menuju tempat penyembelihan, dengan lantai yang tidak licin dan dilengkapi dengan pagar yang kuat di kedua sisinya dengan lebar hanya cukup untuk satu ekor sehingga hewan tidak dapat berbalik.

k. jalur penggiringan hewan yang berhubungan langsung dengan bangunan utama didesain sehingga tidak terjadi kontras warna dan cahaya yang dapat menyebabkan hewan yang akan dipotong menjadi stres dan takut.

4. Bangunan, Fasilitas, dan Peralatan

a. Bangunan RPH memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(42)

1) Bangunan RPH bersifat permanen dan terbuat dari bahan yang kuat dan senantiasa terpelihara kebersihannya.

2) Terdapat pemisahan fisik antara RPH-R, Rumah Potong Hewan Babi (RPH-B), dan Rumah Potong Hewan Unggas (RPH-U).

3) Bangunan, tata letak dan tata ruang dalam kompleks RPH-R harus memenuhi persyaratan.

b. Fasilitas RPH paling kurang memiliki:

1) air bersih yang memadai.

2) sumber listrik yang memadai.

3) lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi dengan penyaring.

4) kamar mandi/toilet yang tersedia dalam jumlah yang cukup dan selalu terjaga kebersihannya.

5) pintu kamar mandi/toilet tidak berhubungan langsung dengan ruang produksi.

6) ruang ganti pakaian untuk pekerja di daerah kotor dan di daerah bersih terpisah.

7) ruang ganti pakaian kerja terawat dengan baik, bersih, dan tidak terpapar udara dari luar bangunan.

8) fasilitas untuk membersihkan sepatu boot dan fasilitas foot dip pada pintu masuk ruang produksi yang berfungsi baik (berisi disinfektan).

9) fasilitas cuci tangan pada toilet dan ruang produksi yang berfungsi dengan baik dan tidak dioperasikan dengan tangan, tersedia air bersih dan dilengkapi dengan sabun cair dan sanitiser serta petunjuk untuk mencuci tangan.

5. Penanganan Daging

Penanganan daging dilakukan dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:

a. Penyembelihan paling kurang memenuhi persyaratan:

1) dilakukan oleh juru sembelih halal bersertifikat juru sembelih halal.

Gambar

Tabel 2.1. Perbandingan Kualitas Daging Sapi Impor dan Lokal
Tabel 2.2. Data Kondisi RPH/TPH di Kota Bekasi
Gambar 2.1. Kondisi gedung RPH kota Malang yang terlihat bersih  (https://www.perumdatunas.com/fasilitas)
Gambar 2.2. Seperangkat Alat Stunning Box di RPH Karawaci  (sumber:http://rph-karawaci.com/)
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 14 Tahun 2000 Retribusi Pasar Hewan, Rumah Potong Hewan dan Pemeliharaan Kesehatan Hewan dan Daging Serta Bahan Lainnya

bahwa retribusi Rumah Potong Hewan di Kabupaten Bandung telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Retribusi Rumah Potong

Retribusi Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong hewan termasuk pemeriksaan kesehatan

(1) Objek Retribusi adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong,

bahwa berdasarkan pasal 3 ayat (2) huruf “h” Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah, Retribusi Rumah Potong Hewan adalah merupakan salah satu

bahwa Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Pasuruan Nomor 1 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Hewan, Daging Hewan dan penggunaan Rumah Potong Hewan serta

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 11 Tahun 1999 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah

Rumah Potong Hewan adalah Bangunan atau kompleks bangunan yang prasarananya hanya dipergunakan untuk kegiatan pemotongan ternak dan di tetapkan oleh