• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Bakau Rhizophora mucronata atau dikenal dengan nama bakau hitam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Bakau Rhizophora mucronata atau dikenal dengan nama bakau hitam"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Tumbuhan Rhizophora mucronata

Bakau Rhizophora mucronata atau dikenal dengan nama bakau hitam ialah nama sekelompok tumbuhan di hutan mangrove dari genus Rhizophora dan famili Rhizophoraceae. Berdasarkan identifikasi Kusmana dkk. (2003) di Teluk Bintuni, Irian jaya, R. mucronata mampu tumbuh hingga mencapai diameter 35 cm dengan tinggi 30 m. Batang berdiri tegak, tidak berlekuk, tidak berpilin, dan tidak berbenjol. Kulit luar berwarna abu-abu terang, retak-retak membentuk persegi empat dengan tepi terangkat, bersisik, dan mengelupas. Jenis ini mempunyai daun tunggal dengan susunan opposite (daun berpasangan pada ketinggian yang sama pada masing masing sisi ranting). Bentuk daun elliptical membesar dengan ukuran panjang 16 – 22 cm, lebar 8 – 11 cm. Septa ujung daun acute (runcing) dan pangkal daun cuneate (meruncing). Ujung daun memiliki mucro (jarum). Permukaan atas daun bewarna hijau, sedang permukaan bawah hijau kekuningan dan berbintik-bintik hitam. Bunga tersusun menggarpu dengan 2 – 3 bunga. Calyx bewarna krem sampai kuning dan petal bewarna krem sampai putih. R. mucronata umumnya tumbuh di pinggiran sungai yang digenangi air pasang agak besar.

Buah R. mucronata berdiameter 2 – 2,3 cm dengan panjang panjang 50 – 70 cm, berwarna hijau sampai dengan hijau kekuningan. Kotiledon kuning saat masak dengan permukaan berkutil, hipokotil menempel di bawah kotiledon, Sistem perakaran berupa akar tunjang (Setyawan dkk., 2002). Secara visual, deskripsi tumbuhan R. mucronata di atas dapat dilihat pada Gambar 2.

(2)

(a) (b) (c)

Gambar 2. (a) Akar R. mucronata, (b) Kulit batang R. mucronata, (c) Bunga dan daun R. mucronata.

R. mucronata banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan karena memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit seperti beri-beri, haematoma, hepatitis dan borok (Kordi, 2012). Selain itu, Harwoko dan Utami (2010) telah menunjukkan dalam penelitiannya bahwa Fraksi n-heksana:

kloroform dari ekstrak metanol kulit batang R. mucronata memiliki aktivitas sitotoksik pada sel kanker myeloma dengan nilai IC50

Senyawa Fitokimia

sebesar 15 μg/mL serta kandungan kimia dalam fraksi tersebut adalah senyawa flavonoid dan terpenoid.

Diastuti dan Suwandri (2009) menyatakan bahwa ekstrak metanol kulit batang R.

mucronata juga mengandung senyawa terpenoid. Ningsih dkk. (2006) juga melaporkan bahwa senyawa golongan alkaloid terkandung di dalam ekstrak kasar metanol kulit batang R. mucronata.

Senyawa fitokimia merupakan zat atau senyawa kimia metabolit sekunder dari tiap tanaman (Sirait, 2007). Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif adanya golongan senyawa aktif dalam tumbuhan yang diharapkan dapat berperan sebagai senyawa antibakteri (Indriani, 2007). Lenny (2006) menyatakan

(3)

bahwa senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya. Senyawa-senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan senyawa bahan alam yaitu saponin, steroid, triterpenoid, alkaloid, fenolik (tanin dan flavanoid).

Saponin adalah glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin berasal dari bahasa latin “sapo” yang berarti sabun, diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin juga bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995). Senyawa saponin dapat bersifat antibakteri dengan merusak membran sel. Rusaknya membran menyebabkan substansi penting keluar sel dan juga dapat mencegah masuknya bahan-bahan penting ke dalam sel. Jika fungsi membran sel dirusak maka akan mengakibatkan kematian sel (Monalisa dkk., 2011). Oesman dkk. (2010) menyatakan bahwa saponin adalah senyawa polar yang keberadaanya dalam tumbuhan dapat diekstraksi dengan pelarut semi polar dan polar.

Steroid adalah senyawa organik lemak sterol tidak terhidrolisis yang dapat dihasilkan dari reaksi penurunan dari terpena atau skualena. Steroid merupakan kelompok senyawa yang penting dengan struktur dasar sterana jenuh (bahasa

(4)

inggris: saturated tetracyclic hydrocarbon: 1,2 – cyclopentano-perhydro- phenanthrene) dengan 17 atom karbon dan 4 cincin (Dwilistiani, 2013). Monalisa dkk. (2011) menyatakan dalam penelitiannya bahwa senyawa steroid yang terkandung dalam ekstrak daun tapak liman merupakan senyawa antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi dengan konsentrasi ekstrak daun tapak liman 20%. Mekanisme kerja antibakteri senyawa steroid yaitu dengan cara merusak membran sel bakteri.

Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C30

Flavanoid adalah senyawa yang terdiri atas C

hidrokarbon alisiklik. Senyawa tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks, kebanyakan merupakan suatu alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, sering mempunyai titik lebur tinggi, Triterpen dapat ditemukan pada resin, kulit kayu, dan dalam lateks (Sirait, 2007). Menurut Heinrich dkk. (2009), triterpen juga merupakan komponen resin dan eksudat resin dari tanaman yang diproduksi jika pohon menjadi rusak sebagai perlindungan fisik terhadap serangan fungi dan bakteri. Selain itu, banyak komponen terpenoid resin ini memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi, baik membunuh mikroba yang berpotensi menyerang maupun memperlambat pertumbuhannya hingga pohon dapat memperbaiki kerusakannya.

6 – C3 – C6. Flavanoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavanoid terdapat pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari, dan akar. Kegunaan flavanoid untuk tumbuhan diantaranya adalah untuk menarik serangga, yang membantu proses penyerbukan dan untuk menarik perhatian binatang yang

(5)

membantu penyebaran biji (Sirait, 2007). Monalisa dkk. (2011) juga menyatakan bahwa Senyawa flavonoid dapat menggumpalkan protein, senyawa flavonoid juga bersifat lipofilik, sehingga dapat merusak lapisan lipid pada membran sel bakteri.

Fenolik merupakan senyawa yang mengandung fenol (senyawa turunan fenol) yang secara kimiawi telah diubah untuk mengurangi kemampuannya dalam mengiritasi kulit dan meningkatkan aktivitas antibakterinya. Aktivitas antimikroba senyawa fenolik adalah dengan merusak lipid pada membran plasma mikroorganisme sehingga menyebabkan isi sel keluar (Pratiwi, 2008). Kemudian Septiadi dkk. (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa senyawa fenolik bersifat fungistatik yang dapat mendenaturasi protein dinding jamur Candida albicans yang menyebabkan kerapuhan pada dinding sel tersebut sehingga mudah ditembus zat aktif lainnya yang bersifat fungistatik. Jika protein yang terdenaturasi adalah protein enzim maka enzim tidak dapat bekerja yang menyebabkan metabolisme dan proses penyerapan nutrisi terganggu.

Tanin ditandai oleh sifatnya yang dapat menciutkan dan mengendapkan protein dari larutan dengan membentuk senyawa yang tidak larut (Sirait, 2007).

Kadar tanin yang tinggi mungkin mempunyai arti pertahanan bagi tumbuhan, membantu mengusir hewan pemangsa tumbuhan. Beberapa tanin terbukti mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor dan menghambat enzim seperti enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase.

Tanin juga dapat meracuni hati (Robinson, 1995). Tanin tersebar luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena

(6)

kemampuannya menyambung silang protein. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pecernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Rustaman dkk., 2006). Secara garis besar tanin terbagi menjadi dua golongan: tanin dapat terhidrolisis, yang terbentuk dari esterifikasi gula (misalnya glukosa) dengan asam fenolat sederhana yang merupakan tanin turunan sikimat (misalnya asam galat), dan tanin tidak terhidrolisis yang kadang disebut tanin terkondensasi, yang berasal dari reaksi polimerasi (kondensasi) antar flavanoid (Heinrich dkk., 2009).

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolisme sekunder, yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid dapat ditemukan pada daun, kuncup muda, akar, pada getah yang diproduksi di tabung-tabung getah dalam epidermis dan sel-sel yang langsung di bawah epidermis seperti pada korteks. Oleh sebab itu, untuk simplisia-simplisia alkaloid digunakan akar, daun, buah, biji dan kulit (Sirait, 2007). Rustaman dkk. (2006) menyatakan bahwa alkaloid merupakan senyawa organik siklik yang mengadung nitrogen dengan bilangan oksidasi negatif, yang penyebarannya terbatas pada makhluk hidup.

Alkaloid juga merupakan golongan zat metabolit sekunder yang terbesar, yang pada saat ini telah diketahui sekitar 5500 buah. Alkaloid pada umumnya mempunyai keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloid sering dimanfaatkan untuk pengobatan.

(7)

Ekstraksi

Ekstraksi terhadap bahan tanaman bertujuan untuk memisahkan senyawa bioaktif tanaman (biasanya dari senyawa tunggal atau kelompok senyawa).

Sebelum dilakukan proses ekstraksi sampel dikecilkan ukurannya untuk memudahkan kontak dengan pelarut sehingga diharapkan semakin banyak senyawa bioaktif yang dapat terekstrak (Sari, 2008).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung.

Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (BPOM RI, 2010). Ekstraksi terdiri atas tahap penghancuran sampel, maserasi, penyaringan dan evaporasi.

Penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel sehingga meningkatkan kontak antara bahan dengan pelarutnya. Maserasi adalah proses perendaman sampel dalam pelarut dengan waktu tertentu sehingga senyawa dalam sampel larut dalam pelarut tersebut dan umumnya proses maserasi dibantu dengan pengadukan. Pengadukan dimaksudkan untuk mencapai waktu ekstraksi yang lebih singkat. Teknik ekstraksi didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua fase yang tercampur, maka zat itu dapat dialihkan dari satu fase ke-fase lainnya dengan mengocoknya bersama-sama. Beberapa pertimbangan dalam memilih pelarut yaitu:

1) Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non-polar akan melarutkan senyawa non-polar,

2) Pelarut organik cenderung melarutkan senyawa organik,

3) Air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam maupun basa organik,

(8)

4) Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi ke dalam air dengan menggunakan basa (NaOH, Na2CO3 dan NaHCO3

Penyaringan bertujuan memisahkan sampel dengan senyawa bioaktif yang larut dalam pelarutnya. Evaporasi dilakukan untuk menguapkan pelarut sehingga ekstrak dapat terpisah dengan pelarutnya dan dilakukan pada suhu 30 – 40

).

o

Bakteri Aeromonas hydrophila

C untuk mengurangi kerusakan senyawa aktif pada suhu tinggi (Sari, 2008).

Bakteri Aeromonas hydrophila termasuk dalam famili Pseudomonadaceae yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan penyakit bercak merah atau septicemia haemorrhagica pada ikan. Bakteri Aeromonas umumnya hidup di air tawar yang mengandung bahan organik tinggi. Ciri utama bakteri Aeromonas adalah bentuknya seperti batang, ukurannya 1 – 4 x 0,4 – 1 mikron, bersifat gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak berspora, bersifat motil (bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari salah satu kutubnya, senang hidup di lingkungan bersuhu 15 – 30 0C dan pH antara 5,5 – 9. Beberapa hewan akuatik yang telah diserang oleh bakteri A. hydrophila menunjukkan gejala-gejala infeksi yang sama, yaitu: warna tubuh ikan menjadi gelap, kemampuan berenang menurun, mata ikan rusak dan agak menonjol, sisik terkuak, seluruh siripnya rusak, insang berwarna merah keputihan, ikan terlihat megap-megap di permukaan air, insangnya rusak sehingga sulit bernapas, kulit ikan menjadi kasat dan timbul pendarahan selanjutnya diikuti dengan luka borok, perut kembung (dropsi), jika dilakukan pembedahan akan terlihat pendarahan pada hati, ginjal,

(9)

serta limpa (Kordi, 2004). Pertumbuhan A. hydrophila pada media TSA dan hasil pewarnaan gramnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. (a) Aeromonas hydrophila (b) Hasil pewarnaan Gram.

Yuhana dkk. (2008) mengemukakan bahwa ikan yang terserang bakteri ini akan mengalami pendarahan pada bagian tubuh terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip. Penyebaran penyakit ini terjadi secara horizontal, yaitu melalui air yang telah terkontaminasi bakteri A. hydrophila atau dari ikan yang sakit.

Apabila sudah terdapat gejala klinis yang parah, maka ikan harus segera dimusnahkan karena sifat penyakitnya yang mudah menular.

Bakteri Streptococcus agalactiae

Menurut Kordi (2004), bakteri Streptococcus agalactiae merupakan bakteri gram positif yang dapat menyebabkan penyakit pendarahan pada mata (streptococcis). Menurut Hardi dkk. (2011), bakteri Streptococcus agalactiae termasuk gram positif, memiliki dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non- hemolitik. Kemampuan menghidrolisis gula kedua tipe bakteri bervariatif, bakteri tipe β-hemolitik memiliki kamampuan menghidrolisis gula lebih banyak termasuk arabinose, sorbitol, lactose, trehalose dibandingkan dengan tipe non-hemolitik.

Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan yang dapat dilihat secara makroskopis maupun mikroskopis. Perubahan pada mata (mata mengkerut, pupil

(a) (b)

(10)

mata mengecil, mata seperti berkabut (opacity), purulens hingga sebelah mata dapat hilang). Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai dengan pendarahan juga dapat ditemui pada mata ikan yang terinfeksi S. agalactiae.

perubahan warna yang menghitam, ulcer, abses pada perut dan perubahan pola renang (whirling dan gasping) dapat menjadi indikasi adanya infeksi. Koloni bakteri Streptococcus agalactiae pada perbenihan agar darah berbentuk bulat, berwarna transparan dengan permukaan cembung, pada pewarnaan gram bakteri ini bersifat gram positif dan berbentuk bulat (Poeloengan, 2009). Pertumbuhan S.

agalactiae pada media BHIA dan hasil pewarnaan gramnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. (a) Streptococcus agalactiae, (b) Hasil pewarnaan Gram.

Jamur Saprolegnia sp.

Saprolegnia sp. adalah jenis jamur yang terdapat di seluruh dunia dan hidup di perairan tawar. Jamur Saprolegnia sp. dapat menyerang sebagian besar ikan air tawar tetapi umumnya ikan mas, tawes, gabus, gurami, nila dan lele dan menyebabkan penyakit Saprolegniasis (Kordi, 2004).

Saprolegnia sp. memiliki hifa berdiameter 25 – 29 μm. Sporangiumnya berbentuk memanjang dan menggembung yang merupakan diferensiasi dari hifa

(a) (b)

(11)

menuju sporangium dengan ukuran spora 3 – 5 μm (Suhendi, 2009). Berikut adalah pertumbuhan Saprolegnia sp. pada media PDA dan bentuk hifa hasil pengamatan mikroskopis yang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. (a) Pertumbuhan Saprolegnia sp. pada media PDA, (b) Saprolegnia sp.

pada hasil pengamatan mikroskopis.

Ikan dan telur ikan yang terserang jamur ini dapat diketahui dengan mudah, sebab terlihat bagian organ ikan (biasanya bagian luar) atau telur yang terserang ditumbuhi oleh sekumpulan mycelium jamur yang menyerupai gumpalan benang-benang halus (hype) yang tampak seperti kapas sehingga disebut white cottony growth. Kumpulan benang ini biasanya terlihat di bagian kepala, tutup insang atau di sekitar sirip. Pada ikan dewasa biasanya diserang pada bagian kulit yang telah terluka, sedangkan telur ikan yang terserang akan terlihat seperti dilapisi kapur (Kordi, 2004).

Antimikroba

Menurut Pelczar and Chan (1988), Antimikroba merupakan bahan atau senyawa yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba. Dalam penggunaan umum, istilah ini menyatakan penghambatan pertumbuhan dan bila dimaksudkan untuk kelompok-kelompok organisme yang khusus, maka seringkali digunakan istilah-istilah seperti antibakterial dan antifungal. Berdasarkan sifatnya

(a) (b)

(12)

maka bahan antimikrobial dapat bersifat bakterisida (suatu bahan yang dapat mematikan bentuk-bentuk vegetatif bakteri) dan bakteriostatis (suatu bahan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri).

Mekanisme penghambatan mikroba oleh senyawa antimikroba sebagai berikut: (1) merusak dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat proses pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh; (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel; (3) mendenaturasi protein sel; (4) merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Poeloengan dkk., 2006). Menurut Sufriadi (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas dari suatu antimikroba yaitu konsentrasi, suhu, waktu, sifat fisik, dan kimia subtrat (pH, kadar air, jenis, dan jumlah zat terlarut). Adanya aktivitas antimikroba dapat dilihat dari terbentuknya zona bening disekitar kertas cakram.

Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan mikroba terhadap suatu senyawa antimikroba dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan mikroba Diameter Zona Bening Respon Hambatan Pertumbuhan

< 5 mm Lemah

5 – 10 mm Sedang

10 – 20 mm Kuat

> 20 mm Sangat kuat

Sumber: Suryawiria (1978) diacu oleh Indriani (2007).

Uji Brine Shimp Lethality Test

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode skrining untuk menentukan toksisitas suatu ekstrak ataupun senyawa (Pasaribu dan Titiek,

(13)

2011). Pengujian terhadap kadar toksisitas ekstrak tanaman dilakukan dengan mengamati tingkat kematian (mortalitas) yang ditimbulkan oleh ekstrak terhadap larva udang jenis Artemia salina Leach setelah dilakukan pengujian selama 24 jam (Hayati dan Nur, 2010). Larva udang tersebut sangat peka terhadap apapun yang berada di lingkungannya dan berkembang dengan sangat cepat menyerupai pertumbuhan sel kanker. Keadaan membran kulitnya yang sangat tipis memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya. Oleh karena itu, penambahan zat ekstraktif yang diduga mengandung senyawa bioaktif yang juga berpotensi sebagai senyawa obat diharapkan mampu mengganggu metabolisme dan menyebabkan kematian larva udang (Meilani, 2006).

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dipilih karena sering digunakan untuk praskrining terhadap senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan karena sederhana, cepat, murah, mudah, dapat dipercaya dan hasilnya representatif. Hasil uji bersifat toksik/aktif terhadap A. salina Leach bila ekstrak tumbuhan tersebut memiliki nilai LC50 < 1000 µg/mL (Meyer dkk., 1982).

.

Gambar

Gambar 2. (a) Akar R. mucronata, (b) Kulit batang R. mucronata, (c) Bunga dan   daun R
Gambar 3. (a) Aeromonas hydrophila  (b) Hasil pewarnaan Gram.
Gambar 4. (a) Streptococcus agalactiae, (b) Hasil pewarnaan Gram.
Gambar 5. (a) Pertumbuhan Saprolegnia sp. pada media PDA, (b) Saprolegnia sp.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari Pelaksanaan tari di Taman Kanak-Kanak Bungoeng Melati untuk perlombaan dan juga untuk kegiatan ekstrakurikuler dan sebagai bekal bagi anak didik

Untuk menguji pengaruh variabel bukti fisik terhadap citra perusahaan dilakukan dengan membandingkan t-hitung sebesar 1,014 dan t-tabel 1,679 yang berarti t-hitung &lt;

Tugas Akhir dengan judul : Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Harga Saham Perusahaan Real Estate Dan Properti Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia” Adalah hasil karya saya,

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan tukang kayu dan tukang batu non- sertifikasi berdasarkan SKKNI serta

Total luas areal Tanaman Menghasilkan (TM) diproyeksikan sebesar 1.481 Hektar. Dibandingkan tahun 2014, total luas areal TM tidak mengalami penambahan. Produksi

Skripsi ini dipersembahkan untuk orang-orang yang menyayangi, yang memberikan dukungan, yang senantiasa selalu mendo’akan saya, dan untuk orang-orang terbaik

Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengkaji: (1) wujud alih kode, (2) jenis alih kode, (3) fungsi alih kode yang digunakan oleh dosen, dan (4) faktor-faktor

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana motivasi kerja dan kinerja karyawan serta pada PT.Gramedia