• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Food Cold Chain dalam Supply Chain Pentingnya hubungan antar organisasi mendorong perusahaan untuk mengintegrasikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Food Cold Chain dalam Supply Chain Pentingnya hubungan antar organisasi mendorong perusahaan untuk mengintegrasikan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Food Cold Chain dalam Supply Chain

Pentingnya hubungan antar organisasi mendorong perusahaan untuk mengintegrasikan jaringan dengan pemasok dan konsumen sehingga muncul konsep supply chain management(Saputra and Fithri, 2012). Menurut Ross, F.D dalam Anwar (2013), awal perkembangan konsep supply chain management didasarkan pada dua fakta yaitu bahwa pada tahun 1960-an pabrikan dituntut untuk menurunkan biaya produksi dan perkembangan teknologi informasi khususnya internet yang mampu membantu merealisasikan suatu sistem terpadu sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya bukan saja pada lingkup satu perusahan saja. Di beberapa titik di awal 1980-an, konsep transportasi, distribusi, dan manajemen bahan mulai bergabung menjadi satu istilah yang mencakup semua: supply chain management(Blanchard, 2021).

Supply chain dapat didefinisikan sebagai sekumpulan aktifitas (dalam bentuk entitas/fasilitas) yang terlibat dalam proses transformasi dan distribusi barang mulai dari bahan baku paling awal dari alam sampai produk jadi pada konsumen akhir. Sedangkan supply chain management merupakan aplikasi terpadu yang memberikan dukungan sistem informasi kepada manajemen dalam hal pengadaan barang dan jasa bagi perusahaan sekaligus mengelola hubungan diantara mitra untuk menjaga tingkat kesediaan produk dan jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan secara optimal (Anwar, 2013). Semua tahapan dalam supply chain mempengaruhi beban lingkungan mulai dari ekstraksi sumber daya, manufaktur, distribusi, penggunaan produk, pembuangan limbah dan kegiatan lainnya (Saputra and Fithri, 2012). Supply chain, dalam bentuk klasiknya (forward suply chain), adalah kombinasi proses untuk memenuhi permintaan pelanggan dan mencakup semua entitas yang mungkin seperti pemasok, produsen, pengangkut, gudang, pengecer, dan pelanggan itu sendiri (Chopra and Meindl, 2001).

(2)

Struktur supply chain yang kompleks dan melibatkan banyak pihak baik internal maupun eksternal perusahaan dapat menimbulkan permasalahan apabila pihak perusahaan tidak mengetahui sejauh mana performansi supply chain telah tercapai (Maulidiya et al., 2014). Filosofi supply chain management menekankan perlu adanya koordinasi dan kolaborasi yang baik antar fungsi didalam sebuah organisasi maupun antar organisasi pada suatu supply chain.

Hal ini memperlihatkan pentingnya sistem pengukuran kinerja yang terintegrasi, bukan hanya pengukuran kinerja didalam suatu organisasi tetapi juga antar pelaku sepanjang supply chain(Saputra and Fithri, 2012).

Menurut Min (2015) supply chain disebut sebagai sistem terintegrasi yang menyinkronkan serangkaian proses bisnis yang saling terkait untuk:

1. Menciptakan permintaan akan produk.

2. Memperoleh bahan mentah dan suku cadang.

3. Mengubah bahan mentah dan suku cadang ini menjadi produk jadi.

4. Menambah nilai produk.

5. Mendistribusikan dan mempromosikan produk ini ke pengecer atau pelanggan;

6. Memfasilitasi pertukaran informasi di antara berbagai badan usaha.

Dalam supply chain ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu(Anwar, 2013) :

1. Supplies 2. Manufactures 3. Distribution 4. Retail Outlet 5. Customers

Menurut Indrajit dan Djokopranoto dalam Maulidia(2014), manfaat dari penerapan supply chain adalah mengurangi inventory barang, menjamin kelancaran penyediaan barang, menjamin mutu, mengurangi jumlah supplier, dan mengembangkan supplier partnership atau strategic alliance. Salah satunya adalah menciptakan sebuah supply chain yang efektif dan efisien.

Perkembangan supply chain management modern bertujuan untuk mengurangi

(3)

ketidakpastian dan resiko dalam supply chain sehingga secara positif mempengaruhi inventory, waktu siklus, waktu proses dan pelayanan pelanggan. Semua ini berperan dalam peningkatan daya saing dan profitabilitas perusahaan (Saputra and Fithri, 2012). Tujuan utama dari supply chain management adalah penyerahan atau pengiriman produk secara tepat waktu demi memuaskan konsumen, mengurangi biaya, meningkatkan segala hasil dari seluruh supply chain, mengurangi waktu memusatkan kegiatan perencanaan dan distribusi (Ruslim, 2017).

Tujuan supply chain management adalah memenangkan persaingan pangsa pasar dan memaksimalkan nilai keseluruhan yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan customer dengan cara menyediakan produk yang murah, berkualitas, tepat waktu dan bervariasi, selain itu supply chain management juga bertujuan untuk meminimalkan biaya secara keseluruhan seperti biaya pemesanan, penyimpanan, dan transportasi (Putri and Surjasa, 2018). Supply chain yang berjalan dengan baik akan meningkatkan kualitas produk, efisiensi waktu dan biaya, kontrol informasi yang baik sehingga secara tidak langsung dapat meningatkan kepuasan pelanggan.

Aktivitas dari supply chain management menurut Anwar (2013) antara lain sebagai berikut:

1. Meramalkan permintaan pelanggan 2. Membuat jadwal produksi

3. Menyiapkan jaringan transportasi

4. Memesan persediaan pengganti dari para pemasok

5. Mengelola persediaan: bahan mentah, barang dalam proses dan barang jadi

6. Menjalankan produksi

7. Menjamin kelancaran transportasi sumber daya kepada pelanggan 8. Melacak aliran sumber daya material, jasa, informasi, dan keuangan

dari pemasok, di dalam perusahaan, dan kepada pelanggan.

Perkembangan industri kuliner yang terus berkembang memberikan kesadaran para pelaku industri untuk menjaga kualitas pangannya. Menjaga

(4)

keamanan dan kualitas pangan menjadi perhatian utama bagi penyedia layanan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif (Vrat et al., 2018). Salah satu cara mengatasinya adalah supply chain dalam pangan.

Menurut Aramyan (2007) mengukur kinerja supply chain dalam pangan antara lain sebagai berikut:

1. Batasan umur simpan untuk bahan baku dan masa pakai produk 2. Waktu produksi yang lama

3. Musim dalam produksi

4. Fitur produk fisik seperti sifat sensorik seperti rasa, bau, penampilan, warna, ukuran dan gambar

5. Membutuhkan transportasi dan penyimpanan yang dikondisikan 6. Masalah keamanan produk

7. Kondisi alam mempengaruhi kuantitas dan kualitas hasil pertanian.

Hugot (2003) percaya bahwa cold chain dapat bergabung dengan makanan untuk menjaga kualitasnya. Pendinginan, keamanan pangan, dan limbah makanan terkait erat. Makanan yang mudah rusak, termasuk buah-buahan, sayuran, produk susu, daging, dan produk ikan, perlu disimpan dalam keadaan dingin atau beku di sepanjang rantai pasokan(Mercier et al., 2017).

Cold chain atau rantai dingin merupakan sebuah sistem supply chain yang mempertimbangkan tingkatan suhu dalam prosesnya (Aminatuzzuhra et al., 2016). Cold chain merupakan sebuah sistem yang menjaga produk beku atau dingin dalam lingkungan dengan temperatur tertentu baik selama produksi, penyimpanan, transportasi, proses dan penjualan(Aminatuzzuhra et al., 2016).

Menurut Bashrorl (2016) cold chain management system adalah salah satu jenis supply chain dimana di dalam prosesnya bertujuan untuk menjaga temperatur agar produk tetap terjaga selama proses distribusi pada rangkaian supply chain. Kontrol suhu dan sistem pelacakan manajemen data adalah dua aktivitas penting dari sistem rantai dingin dan untuk mengelola kedua aktivitas ini di lapangan merupakan tantangan utama(Montanari, 2008).

Food cold chain adalah rantai pasokan yang spesifik, dan menjaga produk dalam suhu yang stabil untuk menjaga kualitasnya (Hong-jie, 2009).

(5)

Meneghetti dan Monti dalam Adekomaya(2016) telah melaporkan bahwa lebih dari 40% dari semua makanan memerlukan pendinginan dan sekitar 15% dari makanan yang sama sedang didinginkan karena kekurangan energi. Food cold chain adalah sistem fisik yang mengontrol aktivitas logistik rantai pasokan dari item makanan tertentu(Salin and Nayga, 2003). Food cold chain yang khas terdiri dari pembekuan, pengemasan, penyimpanan dingin, pengangkutan ke gudang penyimpanan, pengangkutan ke pusat distribusi, pengangkutan ke gerai ritel, dan penanganan konsumen(Asadi and Hosseini, 2014). Food cold chain bertanggung jawab atas konservasi, pengiriman, dan distribusi buah-buahan dan sayuran dalam batas suhu yang terkendali untuk memperlambat proses biodegradasi dan pengiriman tepat waktu produk yang tepat dan makanan berkualitas baik kepada pelanggan(Mercier et al., 2017).

Ketika pendinginan yang tidak mencukupi untuk makanan yang mudah rusak diketahui dan dilaporkan, makanan tersebut kemudian dibuang, sehingga mengurangi kekhawatiran tentang keamanan makanan tetapi menciptakan limbah makanan(Mercier et al., 2017). Memperpanjang umur simpan makanan segar sangat penting untuk mempertahankan makanan mentah yang mudah rusak. Sistem transportasi makanan adalah media lain untuk menyampaikan makanan mentah segar ke lokasi yang mungkin jauh dan diharapkan saluran transportasi disimpan pada kondisi suhu rendah (-4°C sampai 4°C) untuk memperpanjang umur simpan dan menjaga kualitas produk(Adekomaya et al., 2016).

Cold chain yang baik mampu mempertahankan kualitas produk agar sampai kepada konsumen sesuai dengan yang diharapkan. Gagal menyimpan makanan yang mudah busuk dalam kisaran suhu yang diinginkan, karena pendinginan yang tidak memadai, dapat merangsang pertumbuhan patogen dan mikroorganisme pembusuk, serta membuat produk tidak dapat dimakan. Jika risiko keamanan tidak diketahui atau tidak dilaporkan, makanan tersebut dapat dikonsumsi dan menyebabkan penyakit bawaan makanan, yang menimbulkan kerugian sosial yang signifikan(Mercier et al., 2017).

(6)

Efisiensi cold chain berbeda secara signifikan antar dan antar negara. Di sebagian besar negara berkembang, tingkat pendinginan yang diterapkan untuk pengawetan produk yang mudah rusak lebih rendah daripada tingkat yang diterapkan di negara maju karena tidak adanya peralatan pendinginan yang tepat, sumber listrik yang dapat diandalkan, biaya energi yang tinggi terkait dengan pendinginan, dan kesadaran yang tidak memadai tentang masalah kualitas dan keamanan yang terkait dengan pendinginan yang tidak tepat (Adekomaya et al., 2016). Food cold chain dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan distribusi pergerakan makanan yang mudah rusak secara efisien dan efektif dan pemenuhan pesanan pelanggan pada waktu yang tepat dengan mengurangi kehilangan makanan(van der Vorst et al., 2007)

Menurut Kuo dan Chen (2010) ada lima kategori utama dalam pengendalian dan pemantauan suhu untuk food cold chain antara lain:

1. Makanan panas (di atas 60°C terus-menerus), 2. Makanan segar (18°C terus-menerus),

3. Makanan dingin (0°C hingga +7°C)

4. Makanan dingin pendingin (-2°C hingga +2°C), 5. Makanan beku (di bawah -18°C), dan

6. Makanan yang sangat beku (di bawah -30°C).

Berikut adalah tabel suhu optimal untuk produk makanan frozen food menurut Mercier (2017)

Tabel 2.1 Suhu optimal produk frozen food

Food product Optimal storage

temperature

Deep-frozen food

Meat −25 °C or colder

Poultry −24 °C or colder

Fish −29 °C or colder

Fruits and concentrated juices −18 °C or colder

Vegetables −18 °C or colder

Frozen food −20 °C or colder

Frozen butter

(7)

Food product Optimal storage temperature

Chilled food

Fresh meat −1.5 °C

Meat products −2 °C

Manufacturing meat −2 °C

Poultry −1.5 °C

Fish in melting ice (0 °C to

−0.5 °C)

Dairy products 0 °C to 2 °C

Fruits and vegetables

Low temperature (apple, blueberry, carrot, lettuce, etc.)

0 °C to 2 °C Moderate temperature (carambola, melon,

pumpkin, etc.)

6 °C to 9 °C

High temperature (banana, cucumber, grapefruit, etc.)

12 °C to 16 °C

2.2 Pengukuran Kinerja dengan Supply Chain Operation Reference (SCOR) Pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan (Putri and Surjasa, 2018). Pengukuran kinerja diperlukan untuk menilai kinerja dari suatu perusahaan itu sendiri apakah sudah efisien dan efektif. Pengukuran kinerja berfungsi memberi informasi yang berguna, sehingga membantu mengelola, mengontrol, merencanakan, dan melaksanakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan (Pramadhany and Rahardjo, 2011).

Pengukuran kinerja akan menjaga perusahaan tetap pada jalurnya untuk mencapai tujuan peningkatan supply chain (Putri and Surjasa, 2018).

Pengukuran kinerja dapat digunakan untuk meningkatkan performansi supply chain, dan cara pengukuran yang salah dapat menyebabkan kinerja supply chain mengalami penurunan, dan supply chain dapat diarahkan setelah pengukuran kinerja dilakukan(Maulidiya et al., 2014). Supply chain berubah- ubah dan terus menyesuaikan diri dengan perubahan pasokan dan permintaan untuk produk yang mereka tangani. Untuk mendapatkan kinerja yang diinginkan dari supply chain, perusahaan perlu memantau dan mengontrol operasinya setiap hari(Hugos, 2018).

(8)

Pengukuran kinerja merupakan hal yang penting bagi suatu organisasi, diantaranya dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan dan juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun sistem imbalan di suatu organisasi (Pramadhany and Rahardjo, 2011). Pengukuran kinerja dapat mengontrol kinerja baik langsung maupun tidak langsung. Hasil akhir pengukuran kinerja diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan dengan tepat, menggunakan indikator penilaian yang berbobot dan dilakukan secara berkala. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian(Putri and Surjasa, 2018).

Manajemen kinerja yang efektif memerlukan sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja supply chain secara holistik(Saputra and Fithri, 2012). Sistem pengukuran kinerja diperlukan sebagai pendekatan dalam rangka mengoptimalkan jaringan supply chain dan peningkatan daya saing pelaku supply chain (Putri and Surjasa, 2018). Pengukuran kinerja bertujuan mendukung perancangan tujuan, evaluasi kinerja, dan menentukan langkah- langkah ke depan baik pada level strategi, taktik, dan operasional(Arkeman and Udin, 2010). Salah satu aspek fundamental dalam supply chain management adalah manajemen kinerja dan perbaikan secara berkelanjutan(Saputra and Fithri, 2012).

Menurut Pujawan (2005), sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk beberapa hal sebagai berikut:

1. Melakukan monitoring dan pengendalian.

2. Mengkomunikasikan tujuan organisasi ke fungsi-fungsi pada supply chain.

3. Mengetahui dimana posisi suatu organisasi reaktif terhadap pesaing maupun terhadap tujuan yang hendak dicapai.

4. Menentukan arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan dalam bersaing.

(9)

Manfaat dari sistem pengukuran kinerja supply chain yang efektif antara lain (Saputra and Fithri, 2012):

1. Memberikan dasar untuk memahami sistem.

2. Mempengaruhi perilaku seluruh sistem.

3. Memberikan informasi mengenai hasil kerja sistem kepada setiap unit baik yang terlibat maupun yang tidak terlibat

Beberapa permasalahan yang terjadi dalam sistem pengukuran kinerja supply chain menurut Saputra dan Fitri (2012) antara lain:

1. Tidak adanya pendekatan yang seimbang dalam mengintegrasikan ukuran non keuangan dan keuangan.

2. Tidak adanya pola pikir sistem, dimana suatu rantai pasok harus dipandang sebagai satu kesatuan pengukuran yang utuh dari keseluruhan sistem rantai pasok tersebut.

3. Hilangnya konteks supply chain.

Menurut Aramyan dkk (2007) kerangka konseptual supply chain dalam pangan terdiri dari empat kategori utama:

1. Efisiensi;

2. Fleksibilitas;

3. Daya tanggap; dan 4. Kualitas makanan.

Kualitas makanan dibagi menjadi kualitas produk dan kualitas proses.

Kualitas produk terdiri dari:

1. Keamanan dan kesehatan produk;

2. Sifat sensorik dan umur simpan; dan 3. Keandalan dan kenyamanan produk Kualitas proses dibagi menjadi:

1. Karakteristik sistem produksi;

2. Aspek lingkungan; dan 3. Pemasaran.

Penelitian ini menggunakan model supply chain operation reference(SCOR). Pengukuran Model SCOR ditetapkan oleh The Association

(10)

for Operations Management (APICS) yang memberikan SCOR untuk diukur berdasarkan proses bisnis dan kinerja(Kusrini et al., 2019). Model SCOR memberikan pendekatan standar industri untuk menganalisis, merancang, dan menerapkan perubahan untuk meningkatkan kinerja di seluruh lima proses supply chain terintegrasi yang mencakup keseluruhan dari pemasok ke pelanggan dan setiap titik di antaranya. Model SCOR diselaraskan dengan strategi operasional, material, alur kerja, dan arus informasi perusahaan(Blanchard, 2021).

Model SCOR menyediakan kartu skor supply chain yang dapat digunakan perusahaan untuk menetapkan dan mengelola target kinerja supply chain di seluruh organisasi mereka. Mengingat meningkatnya perhatian dan pengawasan yang diterapkan Wall Street terhadap dampak rantai pasokan terhadap kinerja keuangan perusahaan, kemampuan untuk mengukur dengan tepat seberapa baik kinerja setiap proses adalah salah satu langkah kunci untuk mengembangkan rantai pasokan kelas. Oleh karena itu, salah satu peran utama model SCOR adalah menyediakan seperangkat metrik yang konsisten yang dapat digunakan perusahaan untuk mengukur kinerjanya dari waktu ke waktu serta membandingkan dirinya dengan pesaing(Blanchard, 2021).

Menurut Min (Min, 2015) model penerapan model SCOR dapat dilakukan sebagai berikut::

1. Menganalisis dasar persaingan dalam hal kinerja supply chain.

2. Melakukan analisis SWOT untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari aktivitas supply chain saat ini.

3. Kembangkan peta supply chain untuk memvisualisasikan aliran material dan informasi di seluruh supply chain dan menunjukkan dengan tepat sumber utama kelemahan kinerja di peta itu.

4. Mengembangkan tindakan spesifik yang dapat meningkatkan kinerja supply chain dan menentukan perubahan yang diperlukan dalam praktik supply chain saat ini yang akan membantu rangkaian tindakan tersebut diimplementasikan dengan sukses.

(11)

5. Tentukan dengan jelas pencapaian dan hasil untuk memantau kemajuan yang dibuat oleh perubahan dalam praktik supply chain.

6. Mengkomunikasikan status kemajuan kepada semua mitra rantai pasokan dan pemangku kepentingan secara teratur.

7. Identifikasi praktik terbaik yang terbukti

8. Terus menyempurnakan dan meningkatkan praktik tersebut sebagai respons terhadap lingkungan bisnis yang berubah secara dinamis

Sebelum mengukur kinerja supply chain harusnya memperhatikan kuadran pasar dari supply chain itu sendiri. Menurut (Hugos, 2018)setiap kuadran pasar memiliki peluang supply chain yang berbeda antara lain sebagai berikut:

Mature (Pasokan melebihi permintaan)

Peluang terletak pada koordinasi dengan mitra rantai pasokan untuk menyediakan berbagai macam produk ke pasar dan mengakomodasi fluktuasi luas dalam permintaan produk sambil mempertahankan tingkat layanan pelanggan yang tinggi.

Steady (Pasar yang mapan, penawaran dan permintaan seimbang)

Peluang terletak pada penyetelan halus setiap perusahaan dan mengoptimalkan operasi internal mereka untuk mendapatkan efisiensi maksimum dan profitabilitas rantai pasokan terbaik secara keseluruhan.

Developing (Pasar baru dan produk baru, penawaran dan permintaan rendah)

Peluang terletak pada kemitraan dengan perusahaan lain dalam rantai pasokan untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang diinginkan pasar dan membangun serta memberikan produk yang akan menarik bagi pasar.

Growth (Permintaan melebihi penawaran)

Peluang terletak pada membangun pangsa pasar dan pengakuan melalui kerja sama dengan mitra rantai pasokan untuk menyediakan layanan pelanggan tingkat tinggi yang diukur dengan tingkat pengisian pesanan dan pengiriman tepat waktu.

Untuk memiliki ukuran kinerja supply chain yang lebih baik, tolak ukur dalam supply chain harus memiliki ciri-ciri berikut (Min, 2015):

(12)

• Multidimensi

Karena supply chain mencakup banyak batasan yang berbeda dari fungsi bisnis dan organisasi, metrik kinerjanya harus mencakup lebih dari satu aspek kinerja bisnis. Misalnya, upaya perusahaan untuk mengurangi biaya penyimpanan persediaan akan meningkatkan kemungkinan kehabisan stok/

backorder dan dengan demikian menurunkan tingkat pengisian pesanan.

Artinya, penggunaan ukuran satu dimensi tradisional seperti biaya penyimpanan persediaan mungkin tidak relevan dengan pengukuran kinerja rantai pasokan.

• Spesifik

Meskipun ukuran kinerja supply chain harus mencerminkan kinerja gambaran besar dari aktivitas lintas fungsi dan lintas organisasi yang terintegrasi, pengukuran tersebut harus cukup spesifik untuk menunjukkan dengan tepat apa yang diukur. Misalnya, ukuran tradisional yang didefinisikan secara luas seperti pemanfaatan kapasitas, produktivitas logistik, dan akurasi informasi dapat menciptakan kebingungan di antara berbagai organisasi dan unit mereka yang berbeda.

• Universal

Ukuran kinerja yang hanya dapat digunakan untuk perusahaan atau industri tertentu tidak akan sesuai untuk metrik kinerja rantai pasokan yang berarti.

Misalnya, ukuran manufaktur tradisional seperti waktu idle mesin, jumlah cacat, dan biaya per inspeksi mungkin bukan metrik kinerja supply chain yang berarti karena tidak dapat universal di seluruh supply chain, yang dapat mencakup industri non-manufaktur.

• Repeatable

Karena kinerja supply chain harus dipantau terus-menerus dari waktu ke waktu, pengukuran satu kali tidak akan sesuai untuk mengukur kinerja supply chain. Misalnya, ukuran organisasi atau ukuran fasilitas tertentu seperti gudang dan terminal truk pada titik waktu tertentu tidak dapat menjadi metrik kinerja supply chain yang tepat.

• Quantifiable

(13)

Beberapa ukuran layanan pelanggan seperti tingkat kepuasan pelanggan dan tingkat loyalitas pelanggan sulit diukur. Namun, langkah-langkah tersebut harus diterjemahkan ke dalam skala numerik untuk memberikan tolok ukur yang jelas untuk mengevaluasi secara objektif kinerja komparatif dari supply chain tertentu terhadap yang lain. Oleh karena itu, metrik yang dapat dinyatakan dalam istilah numerik (misalnya, persentase, rasio, waktu) lebih berguna untuk mengukur kinerja supply chain.

• Traceable

Ukuran kinerja yang didasarkan pada informasi rahasia, informasi kepemilikan, atau data yang tidak dapat dilacak mungkin tidak sesuai untuk mengukur kinerja rantai pasokan. Jika data kinerja yang diperlukan sulit didapat, metrik berdasarkan data tersebut akan sulit diterapkan dan oleh karena itu akan kurang bermakna

Menurut konsultan Peter Bolstorff dalam Blanchard (2021), prinsipal SCE Limited dan salah satu pengembang asli model SCOR, SCOR paling berhasil ketika manajemen proyek yang solid dikombinasikan dengan keahlian teknologi untuk implementasi dalam serangkaian enam langkah:

1. Educate for support.

Temukan juara proyek di dalam perusahaan yang memiliki hasrat untuk memimpin proyek supply chain. Pada saat yang sama, mengidentifikasi eksekutif kunci untuk secara aktif mensponsori proyek. Kedua orang ini harus mau belajar SCOR dari atas ke bawah dan antusias membagikan pengetahuan mereka ke seluruh organisasi

2. Discover the opportunity.

Bentuk kasus bisnis yang membenarkan investasi dalam proyek supply chain. Hasil utama dari langkah ini adalah piagam proyek, yang mengatur proyek supply chain dalam hal pendekatan, anggaran, organisasi, rencana komunikasi, dan penetapan ukuran keberhasilan yang jelas.

3. Analyze.

Pada langkah ini, mengartikulasikan proposisi nilai proyek dalam hal waktu siklus, persediaan, pemenuhan pesanan, dan faktor kinerja lainnya. Maksud di

(14)

sini adalah untuk menentukan peluang supply chain menurut laporan laba rugi perusahaan.

4. Design.

Dua komponen kunci dalam langkah design adalah aliran material dan aliran kerja/informasi. Menurut Bolstorff, beberapa pertanyaan yang ingin ditanyakan adalah: "Apa masalah aliran material dan apa nilainya untuk menyelesaikannya?" dan “Bagaimana cara kerja dan aliran informasi memengaruhi aliran material?” Tentukan pekerjaan terlebih dahulu dan kemudian informasi yang menggerakkan material.

5. Develop.

Tim desain bergeser menjadi tim implementasi yang ditugaskan untuk tugas-tugas tertentu. Tujuannya, seperti yang dijelaskan Bolstorff, adalah untuk membuat jadwal induk untuk proyek-proyek yang akan membawa supply chain dari keadaan sekarang (“sebagaimana adanya”) ke keadaan optimal (“menjadi”).

6. Implement.

Berdasarkan jadwal induk untuk setiap perubahan, persiapkan dan transisikan perusahaan untuk perubahan saat memulai implementasi transformasi supply chain.

Dalam penelitian ini menggunakan SCOR 12.0 sesuai dengan yang telah dikembangkan APICS (2017). Menurut Kursini (2019) model SCOR terbaru adalah SCOR 12.0 mencakup proses bisnis perusahaan yang terdiri dari:

Gambar 2.1 SCOR model framework

(15)

1. Plan, yang merupakan aktivitas utama dalam supply chain. Mengenai perencanaan produksi, material yang dibutuhkan, keuangan, penjadwalan, rencana distribusi, serta perencanaan untuk memberikan nilai kepada pelanggan.

2. Source, berkaitan dengan aktivitas pengadaan bahan baku dan bahan yang dibutuhkan untuk proses bisnis. Oleh karena itu akan sangat terkait dengan pemasok.

3. Make, merupakan tahapan inti dalam memberikan proses nilai tambah pada produk yang akan ditawarkan kepada pelanggan. Tahapan ini meliputi proses produksi, work-in-process, hingga menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

4. Deliver, terkait tahapan pendistribusian baik produk maupun layanan kepada pelanggan. Tahapan ini juga berperan penting dalam pengukuran kinerja supply chain karena hubungannya dengan pelanggan yang merupakan inti atau poin utama dari produk yang dibuat atau ditawarkan.

5. Retur, adalah proses pengembalian produk, baik dalam kondisi ditolak oleh pelanggan maupun dalam upaya memperbaiki produk. Kondisi ini terjadi pada saat tertentu, misalnya turun sesuai dengan permintaan pasar atau dengan kondisi lainnya.

6. Enable, adalah proses yang terkait dengan pembentukan, pemeliharaan dan pemantauan informasi, hubungan, sumber daya, aset, aturan bisnis, kesesuaian, dan kontrak yang diperlukan untuk melaksanakan dari proses dalam supply chain. Proses ini terkait dengan Manajemen Tingkat Tinggi, Keuangan, SDM, IT, Manajemen Fasilitas, Manajemen Produk, Proses Penjualan dan Dukungan.

Model SCOR mengevaluasi berdasarkan beberapa atribut, termasuk keandalan, daya tanggap, kelincahan, aset, dan biaya(Kusrini et al., 2019).

1. Reliability adalah kemampuan menyelesaikan atau melaksanakan pekerjaan sesuai dengan harapan dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

(16)

2. Responsiveness adalah kecepatan dalam melaksanakan pekerjaan yang ada dan mendistribusikan sesuai dengan harapan pelanggan.

3. Agility adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan eksternal yang terjadi, seperti fluktuasi permintaan yang terjadi di pasar.

4. Asset Management atau yang biasa disebut efisiensi manajemen aset yaitu kemampuan untuk mengelola aset atau mengelola pengeluaran dengan pendapatan.

5. Cost merupakan komponen biaya yang dimiliki oleh perusahaan, seperti biaya material, transportasi, dan lain-lain.

Tabel 2.2 SCOR recognizes 10 strategic metrics

Atribut Level -1

Reliability RL.1.1 Perfect Order Fulfillment Responsiveness RS.1.1 Order Fulfillment Cycle Time Agility

AG.1.1 Upside Supply Chain Adaptability AG.1.2 Downside Supply Chain Adaptability AG.1.3 OverallValue-at-Risk (VaR)

Cost

CO.1.1 Total SC Management Cost CO.1.2 Cost of Goods Sold (COGS) Asset Management Efficiency

AM.1.1 Cash to Cash Cycle Time AM.1.2 Return on Fixed Assets AM.1.3 Return on Working Capital

Metrik SCOR diatur dalam struktur hierarki. SCOR menjelaskan level-1, level-2 dan metrik tingkat-3. Hubungan antara level ini bersifat diagnostik.

Metrik Level-2 berfungsi sebagai diagnostik untuk metrik level-1. Ini berarti bahwa dengan melihat kinerja level-2 metrik; kesenjangan kinerja atau peningkatan untuk metrik level-1 dapat dijelaskan. Jenis analisis ini kinerja rantai pasokan disebut sebagai dekomposisi metrik atau penyebab utama.

Demikian pula, metrik level-3 berfungsi sebagai diagnostik untuk metrik level- 2. Tingkat metrik termasuk dalam kodifikasi metrik itu sendiri.

Kodifikasi metrik dimulai dengan atribut kinerja: Reliability - RL, Responsiveness - RS, Kelincahan - AG, Biaya - CO, dan Manajemen Aset - AM. Setiap metrik dimulai dengan kode dua huruf ini, diikuti dengan angka untuk menunjukkan level, diikuti dengan pengenal unik. Misalnya: Sempurna

(17)

Pemenuhan Pesanan adalah RL.1.1 - metrik level-1 dalam atribut Keandalan.

Kondisi Sempurna adalah RL.2.4, metrik Keandalan di level-2.

Kematangan Proses / Praktik memberikan perbandingan kualitatif proses dan praktik rantai pasokan untuk representasi deskriptif dari berbagai tingkat proses dan praktik adopsi dan implementasi. Pengukuran evaluasi proses rantai pasokan dan efektivitas praktik ini biasanya mengikuti: model yang banyak digunakan untuk Kematangan Praktek (kadang-kadang disebut sebagai Capability Maturity Models)(APICS, 2017).

Penelitian ini menggunakan metode AHP sebagai metode tambahan untuk menentukan nilai masing-masing matriks. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan awal tahun 1970-an oleh Dr. Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburg. AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Analisis ini ditunjukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pada situasi dimana data statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman ataupun intuisi, Sistem penunjang keputusan bertujuan untuk menyediakan informasi, membimbing, memberikan prediksi serta mengarahkan kepada pengguna informasi agar dapat melakukan pengambilan keputusan dengan lebih baik(Sasongko et al., 2017).

Terdapat 4 aksioma yang terkandung dalam model AHP Saaty dalam (Sasongko et al., 2017) :

1. Reciprocal Comparison artinya pengambilan keputusan harus dapat memuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Prefesensi tersebut harus memenuhi syarat resiprokal yaitu apabila A lebih disukai daripada B dengan skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x.

(18)

2. Homogenity artinya prefernsi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lainnya. Kalau aksioma ini tidak dipenuhi maka elemenelemen yang dibandingkan tersebut tidak homogen dan harus dibentuk cluster (kelompok elemen) yang baru.

3. Independence artinya prefernsi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif keseluruhan. Ini menunjukan bahwa pola ketergantungan dalam AHP adalah searah, maksudnya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu tingkat dopengaruhi atau tergantung oleh elemenelemen pada tingkat diatasnya.

4. Expectation artinya untuk tujuan pengambil keputusan. Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objectif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.

Menurut Istianingsih (2019) berikut adalah metode yang digunakan menggunakan AHP:

1. Menentukan jenis kriteria yang akan digunakan

2. Menyusun kriteria-kriteria tersebut ke dalam matrik berpasangan.

3. Normalisasi, langkah selanjutnya setelah merumuskan kriteria kedalam matrikdiatas adalah normalisasi.

4. Menentukan Eigen Value.

5. Menghitung nilai lamda (λ) f. Menghitung consistency index (CI) 6. Perhitungan konsistensi.

Penelitian ini menggunakan Normalized Score (Snorm). Data yang telah diperoleh berdasarkan pengukuran masing-masing atribut sesuai dengan masing-masing metrik yang digunakan dinormalisasi menggunakan metode Snorm de Boer. Hal ini dilakukan agar semua data dengan berbagai unit yang dimiliki dapat digunakan untuk perhitungan selanjutnya.

(19)

2.3 Distributor Frozen Food

Penelitian ini menggunakan distributor frozen food Malang sebagai objek penelitiannya. Saluran distribusi menciptakan utilitas tempat dengan memiliki produk di mana pelanggan menginginkannya dan ketika pelanggan menginginkannya. Saluran distribusi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis(Min, 2015):

1. Saluran distribusi langsung—Sebuah perusahaan menjual produknya langsung ke pelanggan tanpa melibatkan perantara.

2. Saluran distribusi tidak langsung—Memanfaatkan berbagai perantara seperti distributor, grosir, pialang, dealer, perusahaan perdagangan ekspor, penyedia logistik pihak ketiga, dan pengecer.

3. Saluran distribusi hibrid—Menggunakan beberapa saluran untuk menjual produk perusahaan ke basis pelanggan yang lebih luas dan dengan demikian meningkatkan aliran pendapatan potensial.

Makanan merupakan salah satu produk yang rentan dan perlu dijaga kualitasnya sampai ke konsumen. Sehingga memiliki produk yang tepat didepan pelanggan pada waktu yang tepat, distributor makanan hampir tidak memiliki margin kesalahan. Mengirimkan pesanan yang tepat 95% dari waktu tidak lagi cukup baik(Blanchard, 2021).

Distributor adalah perusahaan yang mengambil persediaan dalam jumlah besar dari produsen dan mengirimkan bundel lini produk terkait kepada pelanggan. Distributor juga dikenal sebagai grosir. Distributor biasanya menjual ke bisnis lain dan menjual produk dalam jumlah yang lebih besar daripada yang biasanya dibeli oleh konsumen individu. Distributor melindungi produsen dari fluktuasi permintaan produk dengan menyimpan persediaan dan melakukan sebagian besar pekerjaan penjualan untuk menemukan dan melayani pelanggan. Bagi pelanggan, distributor memenuhi fungsi “Waktu dan Tempat”—mereka mengirimkan produk kapan dan di mana pelanggan menginginkannya(Hugos, 2018).

Distributor biasanya adalah organisasi yang mengambil kepemilikan atas persediaan produk yang signifikan yang mereka beli dari produsen dan jual ke

(20)

konsumen. Selain promosi dan penjualan produk, fungsi lain yang dilakukan distributor adalah manajemen persediaan, operasi gudang, dan transportasi produk serta dukungan pelanggan dan layanan purna jual. Distributor juga dapat menjadi organisasi yang hanya memperantarai produk antara produsen dan pelanggan dan tidak pernah mengambil kepemilikan atas produk tersebut.

Distributor jenis ini menjalankan fungsi promosi dan penjualan produk. Dalam kedua kasus ini, ketika kebutuhan pelanggan berkembang dan berbagai produk yang tersedia berubah, distributor adalah agen yang terus melacak kebutuhan pelanggan dan mencocokkannya dengan produk yang tersedia(Hugos, 2018).

Pengiriman dapat dilakukan ke pelanggan dari dua sumber(Hugos, 2018):

• Lokasi produk tunggal

Lokasi produk tunggal adalah fasilitas seperti pabrik atau gudang di mana satu produk atau sejumlah kecil item terkait tersedia untuk pengiriman.

Fasilitas ini sesuai ketika ada tingkat permintaan yang dapat diprediksi dan tinggi untuk produk yang mereka tawarkan dan di mana pengiriman akan dibuat hanya untuk lokasi pelanggan yang dapat menerima produk dalam jumlah besar dan massal. Mereka menawarkan skala ekonomi yang besar bila digunakan secara efektif.

• Pusat distribusi

Pusat distribusi adalah fasilitas di mana pengiriman produk dalam jumlah besar datang dari lokasi produk tunggal. Ketika pemasok berada jauh dari pelanggan, penggunaan pusat distribusi menyediakan skala ekonomi dalam transportasi jarak jauh untuk membawa sejumlah besar produk ke lokasi yang dekat dengan pelanggan akhir.

Pengertian distributor menurut BPHN Dept. Kehakiman (1993:9) adalah perusahaan/pihak yang ditunjuk oleh prinsipal untuk memasarkan dan menjual produk-produk prinsipalnya dalam wilayah tertentu, untuk jangka waktu tertentu, tetapi bukan sebagai kuasa prinsipal.Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Ketentuan dan Tata cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau jasa, definisi distributor adalah perusahaan perdagangan nasional

(21)

yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai. Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disampaikan bahwa distributor membeli sendiri barangbarang dari prinsipalnya dan kemudian menjualnya kepada para pembeli di dalam wilayah yang diperjanjikan oleh prinsipal dengan distributor tersebut. Segala akibat hukum dari perbuatannya menjadi tanggung jawab distributor itu sendiri (Septianur and Nurcahyanti, 2017).

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian (Kusrini et al., 2019) yang berjudul “Supply Chain Performance Measurement Using Supply Chain Operation Reference (SCOR) 12.0 Model : A Case Study in A A Leather SME in Indonesia”. Pada penelitian tersebut menggunakan metode SCOR 12.0 dimana menggunakan dimensi SCOR yang level 1 (plan, source make, deliver, return, enable) dan atributnya (reliabilitas, responsiveness, agility, aset, cost). Setelah menentukan dimensi dalam SCOR penelitian ini melakukan pembobotan tiap metriks nya untuk dihitung kinerjanya. Hasil akhir dalam penelitian ini adalah atribut terburuk berdasarkan perhitungan akhir menjadi kesimpulan dalam penelitian.

Penelitian kedua yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian (Immawan and Pratama, 2016) yang berjudul “Pengukuran Performansi Rantai Pasok pada Industri Batik Tipe Produksi Make-To-Stock dengan Menggunakan Model SCOR 11.0 dan Pembobotan AHP”. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur performansi batik Gunawan dimana dibedakan menjadi dua hal yaitu batik tulis dan batik cap. Masing-masing batik dilakukan pembobotan dan dihitung berdasarkan atributnya. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk hasil akhir dari pembobotan dan penilaian serta menarik kesimpulan.

Penelitian ketiga yang menjadi acuan dalam penelitan ini adalah penelitian (Ilhami and Rimantho, 2017) yang berjudul “Penilaian Kinerja Karyawan dengan Metode AHP dan Rating Scale”. Penelitian ini menggunakan AHP

(22)

yang skala penilaian kepentingan digunakan sebagai acuan untuk membedakan kepentingan tiap indikatornya.

Penelitian keempat yang menjadi acuan dalam penelitan ini adalah penelitian (Huang et al., 2005) yang berjudul “Computer-assisted supply chain configuration based on supply chain operations reference (SCOR) model”.

Penelitian ini berisi deskripsi standar proses manajemen, kerangka hubungan antara proses standar, metrik standar untuk mengukur kinerja proses, praktik manajemen. Dengan alat bantu berupa komputer, penelitian ini menjelaskan SCOR secara detail ditiap levelnya. Sehingga menjadi acuan dalam pemahaman mengenai metode SCOR dalm penelitian.

Penelitian mengenai food cold chain kelima yang menjadi acuan dalam penelitan ini adalah penelitian (Mercier et al., 2017) yang berjudul “Time–

temperature management along the food cold chain”. Dalam penelitian terdapat acuan mengenai suhu-suhu yang tepat untuk tiap produk makanan.

Selain acuan suhu penelitian mengenai standar penjagaan suhu oleh (Kuo and Chen, 2010) yang berjudul “Developing an advanced multi-temperature joint distribution system for the food cold chain”. Penelitian ini meneliti tentang sistem distribusi yang paling tepat untuk menjaga kualitas frozen food.

Penelitian ketujuh yang berjudul “Design of strategic risk mitigation with supply chain risk management and cold chain system approach. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering” oleh (Ridwan et al., 2019) tentang cold chain management.

Penelitian kedelapan adalah penelitian (Sutoni et al., 2021) yang berjudul

“Performance Analysis Using the Supply Chain Operations Reference (SCOR) and AHP Method”. Penelitian ini menggunakan metode SCOR dan AHP untuk mengukur performance supply chain PT. X. Penelitian kesembilan oleh (Ismadhia et al., 2018) yang menjadi dasar dalam pembuatan metrik adalah penelitian dengan judul “A SCOR-based model for green sales and distribution performance measurement in the leather tanning industry”. Penelitian ini memiliki objek yang sama sehingga bisa dijadikan dasar penelitian.

(23)

Sumber ke sepuluh adalah sumber metode SCOR 12.0 sebagai dasar untuk penyusunan metric SCOR 12.0 dengan judul “Supply Chain Operations Reference Model SCOR Version 12.0” oleh (APICS, 2017).

Tabel 2.3 Tahapan penelitian dan sumber jurnal

Tahapan Penelitian Sumber Jurnal

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kinerja food cold chain management

distributor frozen food Malang

√ √ √ √ √

Penyusunan kerangka sistem penilaian dengan SCOR

√ √ √ √ √

Pembobotan menggunakan AHP √ √

Referensi

Dokumen terkait

Dengan penambahan jumlah Wajib Pajak yang sangat pesat tersebut tetapi tidak diimbangi dengan penambahan jumlah Pemeriksa Pajak membuat beban Pemeriksa Pajak

Oleh karena itulah, agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Baitul Maal wat-Tamwil, --- sebagai sebuah lembaga yang ditujukan untuk menghimpun dan menyalurkan dana dari

Berdasarkan pengujian dan analisis data tentang integrasi dan implikasi portofolio diversifikasi terdapat hubungan intergrasi dalam keseimbangan jangka panjang (kointegrasi)

1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab peningkatan TAK dan akibatnya. Rasional : keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan. 2) Baringkan klie (

Metode pembelajaran di Sekolah Alam tidak terpatok dengan metode ceramah atau metode klasikal tetapi lebih banyak dengan metode bergerak, anak berkebutuhan khusus tidak

Dari hasil pengujian penetran test didapatkan sebuah gambaran serta dapat disimpulkan bahwa semakin besarnya gas pelindung dengan laju gas yang digunakan 38 liter/menit

Penelitian ini menguji pengaruh 6 komponen Intellectual Capital yaitu Kapasitas Inovasi, Proses Operasi yang Efisien, Pemeliharaan Hubungan dengan Pelanggan, Nilai

Batang Mimpi ini juga merupakan muara limpasan air dari beberapa sungai seperti Batang Piruko, Batang Runcing, Batang Lapan, Sungai Lawe dan Sungai Palangko pada