• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS NILAI BUDAYA DALAM FILM MAIPA DEAPATI DAN DATU MUSENG KARYA RERE ART2TONIC (KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS NILAI BUDAYA DALAM FILM MAIPA DEAPATI DAN DATU MUSENG KARYA RERE ART2TONIC (KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS NILAI BUDAYA DALAM FILM MAIPA DEAPATI DAN DATU MUSENG KARYA RERE ART2TONIC

(KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pada JurusanPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiyah Makassar

OLEH:

FITRIANI 105331110517

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2021

(2)
(3)
(4)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaannya menurut hakikatnya ialah cermin via sekumpulan manusia nan tampak di serayanya. Indonesia ialah salah satu negara di dunia nan memunyai kekayaan nasional berupa keberagaman budaya. Seumpama kekayaan nasional nan sangat berharga, kebudayaannya wajiblah lebihnya dikembangkan nan dilestarikan.

Masyarakatnya dahulu melihat kebudayaannya seumpama hal itu hal nan terdiri via segalanya manifestasi via kehidupan umum manusia nan berbudi luhur nan memiliki karakter ruhani, serupa agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara, nan seumpamanya.

Menganggapan serupa itu berawal berubah seiring via perubahan zaman. Dewasa ini, kebudayaannya sering diartikan seumpama manifestasi kehidupan setiap manusia nan setiap kelompok manusia.

Jadinya, manusia tak begitu selalu di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Via begitu, kebudayaannya itu mampu dilihat via model berusaha, serupa menggarap lanang, berdagang, nanpun melaksanakan satunya penelitian.

Rancangan kebudayaannya diperluas nan didinamisasi irama hidup manusia nan makin cepat otomatis membawa dampak berupa perubahan. Tampak beberapa faktor lain pula nan pula mampu

(5)

menyebabkan terjadinya perubahan tertera. Manusia dahulu memandang kebudayaannya itu dimiliki sebab sekelompok kecil selalu, senangkan sebab masyarakatnya secara umum meng menganggap maka kebudayaannya itu dialami semacam takdir nan tak mampu dihina serupa hujan nan cuaca terang (Peursen, 2015: 12).

Moertopo (1978: 10) menjabarkan maka budaya ialah hal itu gerak dinamis, nan hal itu perkembangan nan terus menerus menuruti sejarah kehidupan umum manusia di dunia. Kebudayaannya hendak berkembangnya selama masyarakatnya pendukungnya masih tampak.

Perkembangan kebudayaannya disebabkan sebab faktor internal nan faktor eksternal. Faktor internal berupa ananya pergantian generasi nan pertambahan penduduk. Tampakpun faktor eksternal ialah faktor nan memengaruhi kebudayaannya serupa ananya kontak-kontak kebudayaannya via luar.

Tampak kebudayaannya pula memiliki karakter abstrak, serupa norma, peraturan, nan kompleks aktifitas. Serupa nan dikathendak Koentjaraningrat (1984: 5) maka kebudayaannya paling sedikit memunyai tiga tampak, yakni:

a. Tampak kebudayaannya seumpama hal itu kompleks via ide-ide, gagasan, poin-poin, norma-norma, peraturan, nan seumpamanya;

b. Tampak kebudayaannya seumpama hal itu kompleks aktifitas tingkah laku berpola via manusia seraya masyarakatnya;

c. Tampak kebudayaannya seumpama benda-benda hasil karya

(6)

manusia. Ketiga kebudayaannya tertera hendak berkembangnya seiring perubahan pola pikir manusia menurut zamannya.

Tampak budaya tak mampu lepas via sistim poin nan dikuasai manusia. Manusia seumpama pelaku budaya memunyai rancangan nan hidup seraya alam pikirannya perihal hal nan wajib kalian menganggap berpoin seraya hidup. Rancangan pemikiran serupa itu menuruti akhirnya menimbulkan hal itu sistim poin budaya nan memiliki fungsinya seumpama pedoman tertinggi terteruntuk tingkah laku manusia.

Mewariskan poin lama seraya masyarakatnya memerlukan satunya perantara untuk menyampaikannya, baik secara lisan maupun tulisan nan hendak mengisi kebudayaannya menuruti sepanjang zaman. Memengaruhi pola pikir masyarakatnya nan mewujud gambaran tampak masyarakatnya nan hendak datang, memberi arah gerak pembangunan nan tampak, mem wujud tolok ukur aktifitas kehidupan sehari-harinya. Seumpama bukti nyata yakni sastra.

Sastra ialah seni nan menggambarkan kehidupan via manifestasi kebudayaannya. Sastra memiliki poin-poin religius nan humaniora nan universal. Keasliannya menggambarkan kehidupan umum manusia berbudaya menurut zamannya. Poin-poin nan terkandung di serayanya banyak memberikan keteladanan terteruntuk masyarakatnya. Sastra seumpama seni kreatif ialah ungkapan via hasil ketampakan atas realitas nan memwujud karikatur via realitas nan

(7)

pengalaman hidup nan hendak diturunkan menuruti generasi berikutnya secara terus- menerus.

Salah satu sumber kebudayaannya nasional ialah kebudayaannya daerah. Kebudayaannya daerah ialah penyempurna nan berguna tester untuk keutuhan kebudayaannya nasional bangsa Indonesia. Kebudayaannya nasional nan kebudayaannya daerah memunyai kesatuan timbal-balik sehingga pembinaan nan pemeliharaannya tak mampu dipisahkan.

Film seumpama terteruntukan via media massa seraya kajian interaksi massa modern dipoin memiliki dominasi menuruti khalayaknya. Munculnya dominasi itu sesungguhnya satunya kemungkinan nan sangat tergantung menuruti proses negosiasi makna via pesan nan disampaikan. Jika negosiasi makna nan dilaksanakan khalayak tertera lemah, maka hendak semakin besar dominasi via tananan tertera (McQuail. 19997).

Negosiasi makna ialah proses transaksional via interaksi, dimana interaksi menerima nan menginterprestasikan makna via pesan nan diterima berimbang via latar belhendakg sosial budaya nan dimilikinya.

Film seumpama salah satu wujud media massa memunyai peran penting seraya sosiokultural, artistic, politik, nan dunia ilmiah.

Pemanfataannya film seraya pemelajaran masyarakatnya ini seterteruntukan didasari sebab pertimbangan maka film memunyai

(8)

kemampuan teruntuk menarik perhatiaan manusia nan seterteruntukan pula didasari sebab alasan maka film memunyai kemampuan mengantar pesan secara unik (McQuai, 19997). Selain pula film ialah salah satu media hiburan nan murah nan sederhana.

Disavia nan tak produk film pula mampu memengaruhi gaya hidup sesese manusia hal ini mampu dilihat via bagaimana manusia menghabiskan waktu kalian (aktifitas), apa nan kalian menganggap penting seraya lingkungannya keterkaitan via apa nan kalian pikirkan tentang diri kalian sendiri nan pula dunia sekitarnya (opini). Produk film memiliki kecenderungan hal itu gaya hidup nan memwujud dasar via trend nan mode nan hendak melahirkan lifestyle apabila mode itu mewujud satunya ritual kesehariannya. Gaya hidup bukan belaka spesifik menuruti gaya berpakaian, model rambut nan perbendaharaan kata-kata selalu, namun pula perilaku pandangan hidup via cara nan halus. Lain halnya perfilman pula merujuk menuruti proses sosial nan mengambil elemen-elemen kebudayaannya nan menggunhendak teruntuk memperkuat karakter satunya film teruntuk persuasive khalayaknya. Seumpama produk kapitalis disavia nan tak film-film pula masalah nan dicerithendak seraya film nan dibuat tertera.

Membeludak tema nan uji coba teruntuk mengkontruksi pola pikiran manusia (frame) yakni via ananya jalan cerita nan permasalahan nan dibahas seraya alur tujuannya ialah teruntuk memecahkan angka keseraya film serupa kisah cinta, perselingkuhan,

(9)

nan kisah sosial lainnya nan terkenang membuat pemirsa terbawa layaknya pemain nan menelaah membintangi film tertera misalnya memwujud sedih, menangis, marah, nan benci.

Berdasarkan hal tertera peneliti tertarik melaksanakan penelitiaan terhtampakp judul “Analisis Budaya Seraya Film Maipa Deapati, Datu Museng'' Cerita rakyat di Indonesia ialah terteruntukan via kebudayaannya bangsa Indonesia. Cerita rakyat di Indonesia memunyai peranan besar seraya kehidupan.

Sastra ialah salah satu terteruntukan via kebudayaannya. Hal ini ditandai via cara manusia maupun kelompok masyarakatnya menggunhendak bahasa nan pola pikir nan akhirnya mewujud hal itu keyakinan nan dijadikan pedoman hidup secara turun temurun, teruntuk kemudian direfleksikan menuruti satunya karya sastra. Hal ini berimbang via pernyataan nan diungkapkan sebab Wellek Warren (2016: 21) nan mendefinisikan sastra seumpama karya imajinatif nan dihendak bahasa memunyai poin-poin moral nan tinggi. Poin tertera nan mewujud unsur pemwujud via tmenganggapan refleksi realitas sosial kehidupan bermasyarakatnya.

Kebudayaannya ialah hasil ciptaan manusia nan menelah bertahan secara turun-temurun. Kebudayaannya diciptakan hal itu masyarakatnya seumpama tanda maka tampak hal itu pertampakban menuruti hal itu masa, salah satunya yakni suku Makassar nan tampak di Sulawesi Selatan. Suku Makassar seumpama salah satu suku bangsa

(10)

nan bertampak di Provinsi Sulawesi Selatan ialah daerah nan karena tak mampu menyembunyikan hatinya nan terluka karena cinta.

Penelitian tentang poin budaya mampu mewujud pemelajaran terteruntuk diri peneliti nan manusia lain, sehingga penelitian ini perlu dilaksanakan. Pemelajaran poin budaya hendak membawa manfaat seraya kehidupan sehari-harinya. Via mempelajarinya, manusia mampu membenahi diri nan memperbaiki perbuatan- perbuatan nan tak terpuji, baik terhtampakp diri sendiri, tertampak serupa manusia, nan terhtampakp alam semesta. Salah satu film nan memiliki poin budaya ialah film Maipa Deapati nan Datu Museng.

Peneliti memilih film tertera didasari sebab beberapa alasan. Sebelum memilih, peneliti menelaah melihat film tertera. Peneliti menemukan gambaran poin-poin budaya. Poin-poin tertera meliputi beberapa aspek, yakni terkait kesatuan manusia via dirinya, kesatuan manusia via Tuhan, kesatuan manusia di alam, nan kesatuan manusia via seserupanya, nan kesatuan manusia via masyarakatnya.

Penelitian terhtampakp film sangat penting dilaksanakan teruntuk menmampukan adanya keterkaitan antar karya sastra (film) nan realitas nan tampak seraya masyarakatnya. Hal ini didukung via ananya teori mimetik via Plato (Susanto, 2016:4) seraya dunia sastra.

Teori tertera bermenganggapan maka karya sastra ialah penipuan via realitas. Jadinya, segalanya permasalahan seraya film tercipta via pengalaman kehidupan penulis nan manusia-manusia disekitarnya.

(11)

Berdasarkan kajian diatas teruntuk menganalisa Film Maipa Deapati nan Datu Museng via pendekatan sosiologi sastra khususnya sosiologi karya sastra karena kesatuan kehidupan sosial masyarakatnya hendak tampak melewati karya sastra ini. Secara umum, sosiologi sastra mampu didefinisikan seumpama studi tentang kesatuan antar karya sastra nan masyarakatnya. Kesatuan ini mampu dua arah, yakni bagaimana konteks sosial memengaruhi penulis sastra seraya membangun imajinasinya nan bagaimana implikasi karyanya tertampak kehidupan sosial secara luas. Melewati unsur-unsur instrinsik aspek-aspek nan tampak menuruti karya sastra ini hendak teridentifikasi via jelas nan terperinci. Lain halnya tujuan nan amanat nan hendak disampaikan seraya karya sastra pula mampu diketahui.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik teruntuk melaksanakan hal itu penelitian via judul “Analisis Budaya Seraya Film Maipa Deapati Nan Datu Museng Karya Rere Art2tonic Seraya Kajian Sosiologi Sastra”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belhendakg nan menelah diuraikan, maka rumusan masalah nan hendak dikajinya seraya penelitiaan ini yakni poin- poin budaya apa selalu nan termampu seraya film Datu Museng nan Maipa Deapati?

(12)

C. Tujuan Penelitian

Via uraian latar belhendakg nan perumusan masalah di atas, maka tujuan nan ingin dicapai seraya penelitian ini, yakni teruntuk mendeskripsikan poin-poin bu daya nan termampu seraya film Datu Museng Maipa Deapati.

D. Manfaat Penelitian

Via hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis nan praktis seumpama berikut :

1. Manfaat Teoretis

Penulis sangat mengharapkan penelitian ini seumpama tambahan pengembangan ilmu tentang analisis budaya seraya film.

2. Manfaat Praktis

Pembaca mampu mewujudkan seumpama bahan referensi teruntuk mengkaji analisis budaya seraya film khususnya menuruti film Makassar, lain halnya pula seumpama tambahan terteruntuk pengajaran Bahasa nan sastra Indonesia menuruti lingkup sastra karena seraya penelitian ini membahas tentang budaya. Hasil penelitian ini mampu digunhendak seumpama sarana seraya menambah nan meningkatnya wawasan.

(13)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Penelitian Relevan

Penelitian nan relevan menurut penelitian diantarnya seumpama berikut:

(14)

a. Penelitian nan dilaksanakan sebab Nur Baeti Amaliyah (2010), via judul: “Perlawanan Tokoh Utama Perempuan (Melajang) Seraya Film Kapan Kawin? Karya Sutrtampakra Ody C. Harahap Satunya Kajian Sosiologi Sastra”. Hasil penelitiannya menunjukkan maka Berdasarkan via hasil analisis, menelaah dimampukan beberapa perlawanan nan termampu seraya film Kapan Kawin? nan meliputi melawan tradisi (public transcript) nan melawan diri sendiri (hidden transcript). Nan mewujud perserupaan seraya penelitian ini yakni serupa-serupa mengkaji film menggunhendak kajian sosiologi sastra, nan nan membedhendak yakni terletak menuruti subjek nan dikajinya.

b. Penelitian nan dilaksanakan sebab Ummil Khairah (2015), via judul:

“Analisis Unsur Intrinsik nan Poin-Poin Budaya Seraya Film “Tanah Surga Katanya” karya Nanial Rifki”. Penelitian ini membahas tentang poin-poin budaya nan termampu seraya film “Tanah Surga Katanya” karya Nanial Rifki, memiliki tujuan teruntuk mengetahui poin-poin budaya apa selalu nan termampu seraya film “Tanah Surga Katanya” karya Nanial Rifki. Menuruti skripsi tertera peneliti memiliki keserupaan mengkaji poin-poin budaya seraya karya sastra, senangkan perbedaannya terletak menuruti objek nan dikajinya.

c. Penelitian nan dilaksanakan sebab Luluk Hidayati (2016), via judul:

“Poin Moral Seraya Film Biografi Confucius (孔子) Karya Hu Mei ( 胡玫) (Pendekatan Sosiologi Sastra)”. Hasil penelitian menunjukkan

9

(15)

maka seraya film biografi Confucius (孔子) karya Hu Mei (胡玫) termampu poin moral kesatuan manusia via Tuhan, kesatuan manusia ke manusia lain nan kesatuan manusia via diri sendiri. Poin moral kesatuan manusia via Tuhan tampak menuruti kepercayaan menuruti Dzat di atasnya kepercayaan menuruti ajaran nan pelaksanaannya tradisi. Ketiga wujud moral tertera tercatat jenis ajaran moral konfusius nan menangkup ajaran moral 礼 (lĭ). Poin moral kesatuan manusia ke manusia lain tampak menuruti perilaku cinta kasih, kesetiaan, penghianatan, persahabatan nan kekeluargaan. Dimana persahabatan, kesetiaan nan kekeluargaan menangkup ajaran moral 礼 (lĭ) nan仁 (rén), penghianatan menangkup ajaran moral 中庸 (zhōng yōng) nan cinta kasih menangkup ajaran moral仁 (rén). Nan poin moral kesatuan manusia via diri sendiri tampak menuruti perilaku harga diri, dendam, rendah hati, bijaksana nan bertanggung jawab. Dimana kelima wujud moral tertera menangkup ajaran moral 中庸 (zhōng yōng). Tampakpun keserupaan via penelitian saya via penelitian di atas yakni serupa-serupa mengkaji karya sastra menggunhendak pendekatan sosiologi sastra, tampakpun perbedaannya yakni terletak menuruti subjek nan dikajinya, rumusan masalah, nan temuan hasil penelitian.

2. Kajian Teori

a. Pengertian Sastra

(16)

Sastra ialah hal itu hasil karya seni nan muncul via imajinasi nan rekaan para sastrawan (Suhendi, 2014: 6). Seraya karya sastra berisi kehidupan nan menelah diwarnai via perilaku penulis. Karya sastra terkandung hal itu kebenaran nan berwujud keyakinan nan kebenaran indrawi. Karya sastra memiliki karakter imajinatif menurut Wellek (Badrum Ahmad,1983:17).

Tampak tiga aspek seraya karya sastra yakni, keindahan, kejujuran nan kebenaran. Jika tampak karya sastra nan mengorbankan salah satu aspek ini maka sastra berpoin estetika.

Pencipta nanpun sastrawan itu ingin supaya pembacanya mampu merashendak apa nan dirashendak. Mengundang para pembaca nan penikmat memasuki dunia nyata maupun dunia imajinatifnya, nan memersebab via pengalaman via indra. Dituang, dilampiaskan seraya wujud karya sastra nan diserayanya menggambarkan keserasian antar wujud nan isi. Karya sastra menarik nan disukai pembaca jika terungkap poin, estetika nan poin moral.

Sastra asal mula via kata sas(ajaran) nan tra (alat). Sastra ialah alat teruntuk memberikan ajaran filsafat hidup (Endraswara, 2012:5).

Membaca karya sastra signifikan ibaratkan berusaha menyelami diri pencipta (Sastrawan). Hal ini tentu bergantung menuruti kemampuan mengartikan makna kalimat nan ungkapan seraya karya sastra itu sendiri. Mesti menempatkan diri seumpama sastrawan nan mencipthendak karya sastra tertera. Jadinya, dituntut anaknya

(17)

kesatuan timbal balik antar sesema manusia pencipta nan penikmatnya. Kesatuan via rancangan itu, sesemanusia bertindak seolah-olah memwujud pribadi sastrawan.

Via cara itu mampu via gampang membanankan kembali situasi nan melatarbelhendakgi penciptaan nan mampu merashendak, menghayati, nan mencerna kata demi kata bahasa karya sastra itu.

Penghayatan karya sastra ialah hal itu usaha menghidupkan kembali seraya jiwa hal itu pengalaman, sekiranya sastrawan menghidupkan pengalaman itu melewati karyanya. Sastra mampu dibahas berdasarkan dua hal, yakni wujud nan isi. Ditinjau via wujud, sastra ialah karangan fiksi nan non fiksi. Apabila dikajinya melewati wujud nan cara pengungkapannya, sastra mampu dianalisis melewati genre sastra itu sendiri, yakni puisi, novel, nan drama. Karya sastra pula pencipta menyampaikan pikirannya tentang rasa seraya realitas nan dihtampakpinya. Realitas ini ialah salah satu faktor penyebab pencipta membuat karya, di samping unsur imajinasi.

Via karya sastra pulalah sesama manusia hendak terbuka cakrawala baru perihal hidup nan kehidupan nan sebelumnya tak terpikirkan via baik. Teruntuk itulah, lahirnya satunya karya sastra hendak mewujud titik terang nan luar biasa menuruti hal itu rumpun di masyarakatnya.

Membahas karya sastra, tak hendak gampang terlepas via tokoh- tokoh nan mewujud penganut serayanya. Via tokoh inilah membuat

(18)

karya sastra hendak gampang dikenang nan hidup nyata di masyarakatnya.

b. Sosiologi Sastra

Analisis strukturalisme menganggap mengabaikan relevansi masyarakatnya nan justru ialah asal-usul hal itu karya sastra. Sebab karena itu, teruntuk mewujudkan karya sastra memiliki fungsinya nan serupa via aspek aspek kebudayaannya lain, maka satunya cara ialah via mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakatnya, memahaminya seumpama terteruntukan nan tak terpisahkan via sistim interaksi secara keseluruhan.

Endaswara menyampaikan pendapatnya “sosiologi sastra ialah dua bidang ilmu nan memiliki keterkaitan satu serupa lain. seraya kaitan ini sastra ialah satunya refleksi lingkungan sosial budaya nan ialah hal itu tes dialektika antar pencipta via situasi sosial nan mewujudkannya, nan kemudian dikembangkan memwujud satunya karya sastra“ (Endraswara 2003: 78 ). Hal ini menunjukkan maka lahirnya hal itu karya sastra berkaitan via situasi di masyarakatnya.

Menurut Ratna (2003:2) sosiologi sastra ialah pemahamannya tertampak karya sastra via mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatnyaan nan melatarbelhendakginya. Lebihnya lanjut Ratna (2003 :11) mengungkapkan tujuan sosiologi sastra, yakni meningkatnya pemahamannya tertampak karya sastra seraya

(19)

kaitannya via masyarakatnya, maka rekaan (imaji) tak bertentangan via realitas.

Sosiologi sastra dipandang Wolf (Faruk, 1994: 3) seumpama hal itu disiplin nan tanpa wujud, terdiri atas beragam macam studi empiris menurut teori nan lebihnya general, nan masing-masing memunyai satu keserupaan, yakni serupa-serupa berurusan via kesatuan sastra via masyarakatnya. Sosiologi sastra mampu meneliti sastra melewati tiga perspektif. Pertama perspektif teks sastra, memiliki makna peneliti menganalisa seumpama satunya refleksi kehidupan masyarakatnya nan sebaliknya, kedua perspektif biografis yakni peneliti menganalisa pencipta, nan ketiga perspektif reseptif, yakni peneliti menganalisa penerimaan masyarakatnya tertampak teks sastra (Endraswara, 2003: 80). Perspektif nan digunhendak menuruti penelitian ini ialah perspektif teks sastra, yakni via cara menganalisa teks karya sastra, mengklasifikasi, kemudian menjabarkan makna sosiologinya. Aspek nan dianalisis ialah aspek kritik sosial, yakni menganggap maka karya sastra ialah cerminan via hal itu masyarakatnya. Maksudnya, karya sastra nan ialah hasil karya sastrawan nan hidup di masyarakatnya melukiskan peristiwa peristiwa nan terjadinya seraya masyarakatnya Melewati karya sastra mampu dilihat kenampakan nan asal mula masyarakatnya nan tergambar seraya karya sastra tertera.

(20)

Melewati pendekatan sosiologi sastra hendak mampu diketahui perilaku pencipta tertampak permasalahan nan terjadinya seraya hal itu kurun waktu tertentu. Via sosiologi sastra pula hendak terlihat reaksi-reaksi pencipta tertampak kondisi sosial masyarakat nya, sehingga karya sastra nan dihasilkan ialah karya sastra nan berdampak menentang nan protes, nan tak selalu protes politik, namun mampu pula protes tertampak situasi moral kepercayaan masyarakatnya zamannya (Sumardjo, 2000: 12). Mampu disimpulkan maka sosiologi sastra ialah hal itu bidang ilmu nan mengemukhendak kesatuan antar masyarakatnya via hal itu karya sastra.

Nyoman Kutha Ratna (2003: 1) menyampaikan isi pikirannya bahwa sosiologi ialah ilmu perihal asal-usul nan pertumbuhan masyarakatnya, ilmu pengetahuan nan mempelajari keseluruhan jaringan kesatuan antarmanusia seraya masyarakatnya, sifatnya umum, rasional nan empiris. Sosiologi meneliti kesatuan individu via kelompok nan budayawan seumpama unsur nan berserupa-serupa mewujud realitas kehidupan masyarakatnya nan realitas sosial.

Masyarakatnya selalu seraya perubahan, penyesuaian, nan perwujudan diri (seraya dunia sekitar). Berimbang via idealnya.

Sebaliknya perubahan kebudayaannya jarang terjadinya secara menampak, melainkan melewati hasil pendidikan nan kebudayaannya. Setiap masyarakatnya seumpama subjek sosiologi

(21)

ialah kesatuan nan sedikit banyak menelah mampunyai struktur nan stabil.

c. Pengertian Kebudayaannya

Kata “Budaya” asal mula via Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni wujud jamak via “Budhi” (akal). Jadinya, budaya ialah segalanya hal nan bersangkutan via akal. Lain halnya kata budaya pula signifikan “budi nan daya” nan daya via budi. Jadinya budaya ialah segalanya daya via budi, yakni cipta, rasa nan karsa.Menurut ilmu (Koentjaraningrat, 2009: 153). Kebudayaannya ialah keseluruhan sistim gagasan, tindhendak nan hasil karya manusia seraya kehidupan masyarakatnya nan dijadinyakan milik diri manusia via. Hal tertera signifikan maka hampir semua tindhendak manusia itu ialah “kebudayaannya” karena belaka sedikit kegiatan manusia nan tanpa belajar, hal itu disebut tindhendak naluri, refleks, nan seumpamanya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya memiliki makna pikiran, akal budi, hasil, tampakt istitampakt nan sehal itu nan sudah memwujud kebiasaan nan sukar diubah. Budaya ialah hal itu cara hidup nan berkembangnya nan dimiliki berserupa sebab satunya kelompok manusia nan diwariskan pada generasi ke generasi.

Budaya terwujud via banyak unsur nan rumit, tercatat sistim agama nan politik, tampakt istitampakt, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, nan karya seni. Bahasa, seumpama mana pula budaya,

(22)

ialah terteruntukan tak terpisahkan via diri manusia sehingga banyak manusia cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.

Ketika sesama manusia berusaha berinteraksi via manusia-manusia nan berbeda budaya nan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan maka budaya itu dipelajari.

Kemampuan manusia mampu mengembangkan rancangan- rancangan nan tampak seraya kebudayaannya. Seumpama contoh dahulu hendak via tangan sekarang semakin maju nan manusia mampu membuat alat yakni sendok sehingga mampu mengubah kehidupan sesama manusia mewujud lebihnya konsumtif nan bersih.

Lain halnya pula tampak poin budaya nan terkandung seraya kebudayaannya. Poin budaya ialah tingkatan paling tinggi nan paling abstrak via tampakt-istitampakt.

Poin budaya memiliki fungsinya pula seumpama pedoman hidup manusia seraya masyarakatnya, tenamun seumpama rancangan, hal itu poin budaya itu memiliki karakter sangat umum, memunyai ruang lingkup nan sangat luas, nan biasanya sulit diterangkan secara rasional nan nyata. Namun, justru karena sifatnya nan umum, luas, nan tak konkret, maka poin-poin budaya seraya hal itu kebudayaannya bertampak seraya daerah emosional via alam jiwa para individu nan mewujud warga nan kebudayaannya nan bersangkutan (Koentjaraningrat, 2009: 153).

(23)

Menurut (Koentjaraningrat, 2009: 164-165). Para sarjana antropologi nan biasa menanggapi hal itu kebudayaannya seumpama hal itu keseluruhan nan terintegrasi, ketika hendak menganalisa member teruntuk keseluruhan itu ke seraya unsur-unsur besar nan disebut “unsur-unsur kebudayaannya universal” nan cultural universals. 7 unsur kebudayaannya itu ialah:

1) Bahasa

2) Sistim pengetahuan 3) Organisasi sosial

4) Sistim peralatan hidup nan teknologi 5) Sistim mata pencaharian hidup 6) Sistim religi

7) Kesenian

d. Unsur-unsur Budaya nan Kebudayaannya

Beberapa manusia sarjana menelah uji coba merumuskan unsur- unsur pokok kebudayaannya misalnya penmampu nan disampaikan sebab Melville, (2002: 231). Mengathendak unsur-unsur kebudayaannya antar lain:

a) Sistim normal nan memungkinkan kerja serupa antar para anggota masyarakatnya di seraya upaya menguasai alam sekelilingnya.

b) Organisasi ekonomi.

(24)

c) Alat-alat nan lembaga nan petugas pendidikan, perlu diingat maka keluarga ialah lembaga pendidikan nan utama.

d) Organisasi kekuatan.

Lain halnya, Menurut Soekanto (2010:154), beberapa unsur-unsur budaya nan kebudayaannya, diantarnya ialah seumpama berikut:

1) Kebudayaannya Material (Kebendaan), ialah tampak kebudayaannya nan berupa benda-benda konkret seumpama hasil karya manusia, serupa rumah, mobil, candi, jam, benda-benda hasil teknologi nan seumpamanya.

2) Kebudayaannya nonmaterial (rohaniah) ialah tampak kebudayaannya nan tak berupa benda-benda konkret, nan ialah hasil cipta nan rasa manusia, serupa:

1) Hasil cipta manusia, serupa filsafat nan ilmu pengetahuan, baik nan bertampak teori murni maupun nan menelah disusun teruntuk diamalkan seraya kehidupan masyarakatnya (pure sciences nan applied sciences).

2) Hasil rasa manusia, bertampak poin-poin nan macam-macam norma kemasyarakatan nan perlu dilahirkan teruntuk mengatur masalah-masalah sosial seraya arti luas, mencakup agama (religi, bukan wahyu), ideologi, kebatinan, nan semua unsur nan ialah hasil ekspresi jiwa manusia seumpama anggota masyarakatnya.

e. Ciri-ciri Budaya nan Kebudayaannya

(25)

Menurut (Dedy Mulyana, 2005:122), Tampak beberapa macam ciri-ciri budaya nan kebudayaannya, diantarnya ialah seumpama berikut:

1) Budaya bukan bawaan namun dipelajari.

2) Budaya mampu disampaikan via manusia ke manusia, via kelompok ke kelompok nan via generasi ke generasi.

3) Budaya berdasarkan simbol.

4) Budaya memiliki karakter dinamis, hal itu sistim nan terus berubah sepanjang waktu.

5) Budaya memiliki karakter selektif, merepresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia nan jumlahnya terbatas.

6) Beragam unsur budaya saling berkaitan.

7) Etnosentrik (menganggap budaya sendiri seumpama nan terbaik nan standar teruntuk budaya lain).

f. Film

Secara umum, film mampu di teruntuk atas dua unsur pewujud yakni unsur naratif nan unsur sinematik. Dua unsur tertera saling berinteraksi nan berkesinambungan satu serupa lain. Jika dua unsur tertera berdiri sendiri maka satunya film tak hendak terwujud.

Naratif ialah satunya rangkaian peristiwa nan berkesatuan satu serupa lain nan terkait sebab logika sebab-akibat (kausalitas) nan terjadinya seraya hal itu ruang nan waktu (Pratista, 2008 : 33). Setiap cerita seraya wujud apapun nan seberapa pun pendeknya pasti

(26)

memiliki unsur naratif. Misalnya cerita tentang teman, berita di surat kabar, novel, komik, film, semuanya memiliki unsur naratif. Menurut Pratista (2008: 35-46) unsur naratif film terdapat lima yakni sebagai berikut.

1) Ruang

Ruang ialah tempat dimana para pelaku cerita bergerak nan berkreatifitas. Satunya film umumnya mengambil hal itu tempat nan lokasi via dimensi ruang nan jelas, yakni selalu menunjuk menuruti lokasi nan wilayah nan tegas. Seraya satunya adegan pembuka sering kali keterangan teks dimana cerita film tertera berlokasi teruntuk memperjelas penonton.

2) Waktu

Termampu aspek waktu nan berkesatuan via naratif satunya film yakni durasi waktu, frekuensi nan urutan waktu.

Durasi waktu ialah rentang waktu nan dimiliki sebab satunya film teruntuk menampilkan cerita. Frekuensi waktu ialah munculnya kembali hal itu adegan nan serupa seraya waktu nan berbeda. Senangkan urutan waktu ialah pola berjalannya waktu cerita satunya film. Urutan waktu ditentukan oleh wujud dua macam pola yakni pola linier nan nonlinier. Pola linier ialah pola film nan dibuka via satunya adegan kilas depan nan menelaahnya cerita bergantian tanpa tampak interupsi waktu

(27)

nan signifikan. Jika urutan waktu cerita seumpama A-B-C-D-E maka urutan polanya pula serupa yakni A-B-C-DE.

3) Permasalahan nan Konflik

Konflik nan permasalahan ialah penghalang munculnya tokoh protagonis teruntuk satunya tujuannya. Konflik sering muncul di kehendak pihak protagonis memiliki tujuan nan berbeda via pihak antagonis. Konflik tak selalu datang via pihak antagonis selalu, permasalahan mampu selalu muncul via seraya diri tokoh utama sendiri nan akhirnya menimbulkan konflik batin.

4) Pelaku cerita

Pelaku cerita terdiri via karakter utama nan pendukung.

Karakter utama ialah motivator utama nan pelaksanaannya alur naratif sejak awal hingga akhir cerita. Karakter utama biasanya menduduki peran protagonis, senangkan karakter pendukung lebihnya cenderung memwujud antagonis nan bertindak seumpama pemicu konflik.

5) Tujuan

Tujuan ialah harapan nan cita-cita nan dimiliki sebab pelaku utama. Tujuan mampu memiliki karakter fisik (materi) nan nonfisiki (non-materi). Tujuan fisik memiliki karakter jelas nan nyata senangkan nonfisik tujuan nan sifatnya abstrak (tak

(28)

nyata), serupa mencari kebagahagiaan, kepuasan batin, eksistensi diri nan lain seumpamanya.

Berdasarkan penjelasan elemen-elemen pokok naratif film tertera, disimpulkan maka inti via cerita film (fiksi) ialah bagaimana sesemanusia karakter menghtampakpi segalanya permasalahan teruntuk satunya tujuannya seraya hal itu ruang nan waktu.

Film tak dibuat semaunya. Melainkan memiliki kategori disetiap produksi pembuatannya. Walaupun saat ini sudah banyak dimodifikasi ke arah nan lebihnya kreatif pula, namun tetap kategori utama seraya satunya film ialah nan menelah dijelaskan di atas.

Kelebihnyaan film ialah karakternya nan audio visual memwujudkan film lebihnya kuat seraya menyampaikan pesan kemenuruti khalayak nan multikultur nan lintas kelas sosial.

Perasaan nan pengalaman nan tampak saat menonton film pun memwujudkan film seumpama media nan istimewa karena mampu membuat penontonnya terbawa ke seraya film tertera.

Terteruntuk para pembuat film, film ialah meda representatif atas ide-ide kreatif nan dimiliki. Keakraban film terhtampakp khalaya memwujudkan ide nan pesan pembuat film lebihnya gampang teruntuk diterima khalayak. Kekurangan via film tampaklag sangat multitafsir. Dimana diperlukan analisa

(29)

tersendiri teruntuk memahami unsur-unsur semiotik nan ditampilkan seraya film. Kemampuan film menembus batas- batas kultural di sisi lain justru membuat film nan membawa unsur tradisional susah teruntuk ditafsirkan bahkan memwujud salah tafsir sebab penonton nan asal mula via budaya lain.

Senangkan kekurangan lain via film ialah film nan dibuat seraya universalitas hendak turut memwujud apa nan disebut common culture nan mampu mengikis lokalitas masyarakatnya tertentu. Film pula memberikan efek menuruti penontonnya terutama anak-anak, sehingga teruntuk jenis film tertentu serupa horor, kekerasan nan pornografi hendak memwujud dominasi negatif terteruntuk penonton anak-anak. Via segi industri nan komersialisasi, film menelah dijadinyakan seumpama media nan dikomodifikasi. Sehingga saat ini banyak film-film nan belaka mengejar pangsa pasar nan profit semata tanpa mementingkan kualitas seraya film tertera. Hingga ideologi nan diusung pun tak jelas.

g. film Maipa Deapati nan Datu Museng

Film maipa deapati mencerithendak tentang Addengareng kakek via datu museng nan berupaya melarikan diri via cucunya menyebrangi Samudra kearah ke pulau sumbawa. Pelarian tertera disebabkan sebab termampunya perseteruan politik nan beradu domba nan dilaksanakan sebab beberapa penjajah Belanda di daerah

(30)

Gowa, Sulawesi selatan. Hal tertera mengakibatkan daerah gowa jadinya tak aman.

Dipulau sumbawa datu museng hidup nan tumbuh berkembangnya nan jadinya pertemuan awalnya via maipa deapati di pondok pengajian mampewa. Via pertemuan awal tertera membuat datu museng kagum via figure anggun maipa deapati. Namun cintanya via maipa deapati jadinya cinta terlarang sebab wanita berparas anggun itu menelah memiliki tunangan nan disebut sesemanusia pangeran kesultanan sumbawa bernama pangeran mangalasa.

Semenelah kakek datu museng mengetahui maka cucunya mencintai maipa deapati, alangkah terkejutnya sang kakek. Sang kakek merasa malu. Ia mengmenganggap cucunya belakalah sebongkah emas nan menelah terkotori sebab lumpur. Senangkan maipa deapati ialah putri sesemanusia bangsawan bak sebongkah Mutiara nan belum tersentuh nan tak pantas disunting datu museng.

Datu museng mengetahui maka cintanya kemenuruti maipa deapati terhalang sebab tembok nan kokoh. Maka atas anjuran sang kakek, berangkatlah datu museng ke tanah suci mekkah teruntuk berguru. Disanalah ia menmampukan ilmu. Kepergian datu musengke tanah mekkah ternyata bukannya membuat kedua insan nan saling mencintai ini memwujud terpisah, melainkan perpisahan itu malah semakin membuat ikatan hati antar keduanya semakin kuat.

(31)

Selepas menmampukan ilmu di tanah rantau, maka datu museng pulang kembali ke sumbawa via membawa rindu membara kemenuruti maipa deapati. Sesampainya di sumbawa ternyata sang kekasih nan dirindukan seraya ketampakan sakit, nan datu museng pun mengobati maipa deapati via ilmu nan dimampukannya via tanah mekkah. Mendengar kabar maka sang tunangan maipa deapati mencintai datu museng, membuat perasaan cemburu di hati pangeran mangalasa bergejolak nan tentunya sakit hati. Pangeran mangalasa lantas bersekutu via belanda via tujuan teruntuk membunuh datu museng. Tenamun datu museng nan teramat sakti itu tak mampu dikalahkan sebab pangeran mangalasa nan belanda.

h. Kesatuan Film Datu Museng nan Maipa Deapati via Kebudayaannya

Datu Museng nan Maipa Deapati menyuguhkan kesatuan antar budaya nan lebur nan dibumbui kisah cinta nan sendu nan mengharukan.

B. Kerangka Pikir

Karya sastra bukanlah dunia nan nyata, tokoh nanpun kejadinyaan nan tampak bukanlah realitas, tenamun hasil imajinasi nanpun daya khayal via penciptanya. Karya sastra menuruti dasarnya lahir nan diwujud sebab kebudayaannya. Kebudayaannya ialah keseluruhan sistim gagasan, tindhendak nan hasil karya manusia seraya kehidupan

(32)

masyarakatnya nan dijadinyakan milik diri manusia via belajar. Sebab karena itu, peneliti tertarik teruntuk mengkaji poin- poin kebudayaannya film maipadeapati (karya Rereart2tonic). Teruntuk memahami poin-poin kebudayaannya nan tampak seraya film tertera maka peneliti menggunhendak teori sosoiologi sastra Wellek nan Warren nan memterteruntuk kesatuan deskriptifnya memwujud tiga yakni, sosiologi pembaca, sosiologi terhtampakp karya sastra, nan sosiologi pencipta. Via ketiga metode tertera peneliti belaka memfokuskan kajiannya menuruti sosiologi terhtampakp karya sastra.

Sosiologi terhtampakp karya sastra ialah Isi karya sastra, tujuan nan hal-hal lain nan tersirat seraya karya sastra itu sendiri (film Maipa deapati) nan nan berkaitan via masalah sosial. Berdasarkan analisis tertera maka diharapkan mampu membantu peneliti teruntuk menjawab rumusan masalah nan tampak seraya penelitian ini

Sastra

Film maipa deapati nan datu museng

(Rere Art2tonic)

Teori Sosiologi sastra Welek/weren

(33)

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir

Pembaca Karya Pencipta

Analisis

Temuan T

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis nan Desain Penelitiaan 1. Jenis penelitian

Hasil penelitian nan serupa menelah dilaksanakan sebab beberapa peneliti, diantarnya ialah penelitian nan dilaksanakan sebab Haerunnisa menuruti tahun 2015 seraya jurnal nan berjudul Tindhendak sosial utama Jenis penelitiaan ini menerapkan kajian Antropologi nan diarahkan menuruti unsur-unsur etnografis nan budaya masyarakatnya, pola pikir masyarakatnya, tradisi pewarisan kebudayaannya via waktu ke waktu nan masih dilaksanakan via metode deskriptif kualitatf. Data nan memersebab diolah nan diuraikan via menggunhendak pola penggambaran deskriptif.

Data nan digunhendak seraya tulisan ini ialah sastra daerah Makassar nan menelah dialih bahashendak keseraya Bahasa Indonesia.

Naskah tertera berjudul Maipa Deapati Datu Museng. Naskah ini dialih bahashendak sebab Verdi R. Baso seraya surat kabar hariaan pedoman rakyat tahun 1988 nan didokumentasikan sebab btampaki penelitian Bahasa. Departemen Pendidikan nan kebudayaannya menuruti tahun 1988. Semntara itu, data pendukungnya ialah buku-buku nan berkaitan via pembahasan nan menelah ditentukan seraya tulisan ini.

(35)

2. Desain penelitiaan

Wujud penelitiaan nan digunhendak seraya penelitiaan ini ialah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitiaan kualitatif ialah penelitiaan nan berdasarkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis nan lisan terhtampakp hal itu nan diamati. Mampu disimpulkan maka penelitiaan kualitatif ialah metode riset nan sifatnya memberikan penjelasan via menggunhendak analisis.

Via hasil penelitian ini mampu disimpulkan maka penelitian kualitatif ialah penelitian berdasarkan data deskriptif nan mengungkap situasi sosial tertentu. Data deskriptif diwujud sebab kata-kata berdasarkan Tehnik pengumpulan data, analisis data nan relevan nan memersebab via situasi ilmiah.

B. Definisi istilah

Istilah nan digunhendak seraya penelitian ini yakni.

1. Kebudayaannya

Kebudayaannya nan digambarkan seraya film tertera ialah tradisi makassar nan tradisi sumbawa seumpama latar budaya seraya film maipa deapati.

2. Film maipa deapati

Film maipa deapati ditanankan menuruti tahun 2018, via durasi 120 menit. Pencipta film tertera ialah rereart2tonic via latar budaya makassar nan sumbawa.

31

(36)

3. Teori Sosiologi Sastra

Penelitian ini berimbang via teori sosiologi sastra Wellek nan Warren nan memterteruntuk memwujud tiga terteruntukan kesatuan seraya melihat satunya karya sastra yakni sosiologi pencipta, sosiologi karya sastra, nan sosiologi pembaca, namun penelitian ini terfokus menuruti sosiologi karya sastra.

C. Data nan Sumber Data 1. Data

Data seraya penelitian ini berupa poin-poin budaya nan tampak seraya film maipa deapati kemudian dianalisis menggunhendak teori sosiologi sastra welek nan weren. Via analisis tertera peneliti belaka menggunhendak sosiologi terhtampakp karya sastra nan sesui via kerangka pikir nan definisi istilah seraya penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data seraya penelitian ini berupa film maipa deapati karya rere art2tonic nan ditanankan menuruti tahun 2018 via durasi 120 menit.

.

D. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data ialah cara nan dilaksanakan teruntuk menghimpun data penelitiaan. Tehnik pengumpulan data seraya penelitiaan ini menggunhendak Tehnik dokumentasi. Tehnik dokumentasi ialah cara nan dilaksanakan teruntuk mengumpulkan data melewati

(37)

apresiasi, pencarian nan penemuan bukti-bukti berwujud dokumen.

Selanjutnya via Tehnik menganalisa, Tehnik menandai, nan Tehnik mencatat.

E. Tehnik Analisis Data

Analisis data menurut Patton (seraya Moleong, 2002: 103) ialah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya keseraya hal itu pola, kategori nan satuan uraian dasar. Tehnik analisis data menuruti penelitiaan ini memiliki karakter kualitatif. Penelitian kualitatif menekankan menuruti analisis induktif, yakni data nan dikumpulkan dilaksanhendak secara teliti.

Menuruti penelitian ini proses analisis hendak dilaksanakan via menggunhendak model analisis interaktif. Menurut Miles nan Huberman (seraya Sutopo, 2002:186). Seraya model analisis terdiri via tiga kemampuan analisis yakni, reduksi data, sajian data, nan penarikan simpulan/verifikasinya, aktifitasnya dilaksanakan seraya wujud interaktif via proses pengumpulan data seumpama hal itu proses siklus. Seraya proses penelitian aktifitasnya tetap bergerak diantar komponen analisis via pengumpulan datanya selama proses pengumpulan data masih berlangsung.

BAB IV

HASIL PENELITIAN NAN PEMBAHASAN

(38)

A. Hasil Penelitian

Bab ini memuat hasil penelitian nan pembahasan tentang poin budaya menuruti film “Maipa Deapati nan Datu Museng karya Rere Art2tonic”.

Tampakpun poin budaya nan ditemukan termampu 6 aspek yakni segi bahasa, sistim pengetahuan, organisasi sosial, sistim peralatan hidup nan teknologi, sistim religi, kesenian. Hasil penelitian ini hendak disajikan seraya wujud tabel nan diuraikan secara rinci seraya pembahasan.

Tampakpun uraiannya seumpama berikut.

1. Segi Bahasa

Bahasa mampu mencerminkan ciri khas budaya tertentu nan hendak tampak via istilah-istilah kedaerahan nan dimiliki masyarakatnya tertera. Bahasa nan digunhendak seraya cerita Maipa Deapati nan Datu Museng ialah bahasa sehai-harinya di Makassar.

”kau mesti berguru pda tuan Syech di Mekkah nan Madinah. Jika berhasil memetikny, percayalah cita- citamu hendak terkabul, maipa deapati, hendak mampu kau miliki. Semua perintang onak duri, tanhendak tajam, apapula kerikil, via gampang kau lindas nan lewati. Sungguh cucuku.”

“tekadnya menelah bulat hendak membela cucunya jika barisan Tubarani Magguka datang menyerbu.”

“suro panggilan segera Gellerang nan ketua tampakt. Kathendak aku ingin supaya ia cepat menghtampakp. Tampak sehal itu nan perlu segera dibicarhendak.”

35

(39)

Ungkapkan nan digunhendak kakek Addearangn kemenuruti datu museng teruntuk menuntut ilmu ke tanah suci Mekkah nan Madinah serupa nan termampu seraya kutipan pertama diatas, tampakpun seraya kutipan kedua nan bermakna abdi setia ialah manusia nan biasanya ditugasi menyampaikan berita nan perintah via raja kemenuruti sesesemanusia nan tampakpun maksud seraya kutipan ketiga yakni kelompok nan terdiri ata pendekar nan pahlawan nan memunyai tugas melindungi keluarga kerajaan.

Bahasa mampu mencerminkan ciri khas budaya tertentu nan hendak tampak via istilah-istilah kedaerahan nan dimiliki masyarakatnya tertera. Bahasa nan digunhendak seraya cerita Datu Museng nan Maipa Deapati istilah Bahasa nan digunhendak menggambarkan kebudayaannya Makassar serupa nan termampu seraya kutipan diatas.

Secara tegas pencipta ingin memperlihatkan budaya via segi bahasanya dimana bahasa makassar sangat melekat seraya keseharian kalian. Bahasa makassar ialah pendukung kebudayaannya daerah nan menelah memiliki sejarah nan tradisi nan cukup lama nan terus berkembangnya hingga saat ini, melewati film ini

(40)

pembaca pula mampu mengetahui poin-poin budaya via segi bahasa suku Makassar.

2. Sistim pengetahuan

“manusia nan tampakt mengathendak kita tak mampu sejajar bersanding dua karena kau anak Maggauka, manusia nan berkuasa seraya pemerintahan. Nan kau belaka anak Gellarang idak berkuasa tak memegang pemerintahan.”

Seraya kutipan diatas bermakna maka pimpinan daerah kecil nan termampu seraya hal itu pemerintahan.

Dimana sistim pengetahuan sangat berdominasi terhtampakp kekuasaan nan kerajaan.

Secara tegas pencipta ingin memperlihatkan budaya via segi sistim pengetahuannya dimana sistim pemerintahan memwujud patokan berkuasa karna memiliki ilmu nan lebihnya via menuruti masyarakatnya biasa serupa nan terlihat seraya kutipan diatas.

Sistim pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang beberapa unsur nan digunhendak seraya kehidupannya

3. Organisasi sosial

“ketika hari menelah baik bulanpun terhisab suci, maka diturunkanlah illogading ke bandara pelabuhan. Diiringi empat puluh gadis manis berbaju bodoh, dielu-elukan nan disorak-sorak teman sekampung, anak karaeng.”

(41)

Seraya kutipan diatas bermakna maka anak keturunan raja nan anak raja-raja kecil daam hal itu kerajaan sangat berdominasi terhtampakp organisasi sosial dimana sangat terihat perbedaanya.

Seraya unsur kebudayaannya, termampu sistim kekerabatan nan organisasi sosial nan dilaksanakan masyarakatnya tampakt tertera. Sistim kekerabatan nan organisasi sosial ini, dilaksanakan teruntuk memwujud masyarakatnya nan menghasilkan hal itu tampakt nan aturan tertentu serupa nan termampu seraya kutipan diatas. Sistim kekerabatan nan organisasi sosial ini mampu terwujud karena ananya jenis perkawinan, prinsip menentukan pasangan, tampakt menetap nan jenis keluarga.

4. Sistim Peralatan hidup nan Teknologi

“jika sumbawa nan Maggauka di Gowa tampak somba nan berkuasa memwujud negeri, maka di makassar berkuasa Tumallompoa (manusia belanda nan besar kekuasaanya) ia didampingi tuan juru bahasa (sesemanusia anak negeri nan dipercaya sebab kompeni)”.

Seraya kutipan diatas bermakna Somba sebutan teruntuk raja di Gowa senangkan Tumallompoa sebutan teruntuk pembesar nan diberi mandat teruntuk

(42)

pelaksanaannya pemerintahan diluar gowa, hendak tenamun wilayah tertera masih kekuasaan kerajaan gowa.

Jadinya mengerti tentang alat nan digunhendak di seraya masyarakatnya tampakt tertera, baik alat nan digunhendak teruntuk memasak, alat persenjataan alat interaksi hingga alat transportasi serupa nan termampu seraya kutipan diatas

5. Kesenian

“wahai dennangan sanan, menelah kudengar berita keberangkatanmu via bisikan rakyat sampai kemari.”

Tampakpun maksud seraya kutipan diatas ialah manusia nan selalu menari-menari, bermain-main nan teringat dihati istilah itu terlihat seraya kutipan diatas dimana kesenian sangat melekat menuruti budaya Makassar.

Keseniam nan dilaksanakan sebab masyarakatnya tampakt memiliki beberapa unsur serupa patung tradisional, ukiran tampakt, hiasan, musik nan tari-tarian seraya kutipan diatas menunjukkan maka kesenian nan digunhendak yakni music nan tari-tarian.

Poin-poin budaya nan terkandung seraya Film Maipa Deapati nan Datu Museng yakni Budaya siri’

(43)

(Harga Diri), Pesse’/pacce (prikemanusiaan), sipaknan (saling menghargai), Awaranieng/berani B. Pembahasan

Sastra ialah hal itu hasil karya seni nan muncul via imajinasi nan rekaan para sastrawan (Suhendi, 2014: 6). Seraya karya sastra berisi kehidupan nan menelah diwarnai via perilaku penulis. Karya sastra terkandung hal itu kebenaran nan berwujud keyakinan nan kebenaran indrawi. Karya sastra memiliki karakter imajinatif menurut Wellek (Badrum Ahmad,1983:17). Tampak tiga aspek seraya karya sastra yakni, keindahan, kejujuran nan kebenaran.

Jika tampak karya sastra nan mengorbankan salah satu aspek ini maka sastra berpoin estetika.

Pencipta nanpun sastrawan itu ingin supaya pembacanya mampu merashendak apa nan dirashendak. Mengunnang para pembaca nan penikmat memasuki dunia nyata maupun dunia imajinatifnya, nan memersebab via pengalaman via indra. Dituang, dilampiaskan seraya wujud karya sastra nan diserayanya menggambarkan keserasian antar wujud nan isi. Karya sastra menarik nan disukai pembaca jika terungkap poin, estetika nan poin moral

Sosiologi sastra ialah Teruntuk mengkaji hal itu karya sastra diperlukanhal itu pendekatan nan berimbang via aspek nan hendak dikajinya. Seraya penelitian ini, aspek nan dikajinya ialah kritik

(44)

sosial via pendekatan sosiologi sastra. Sosiologi sastra nan sosiokritik ialah disiplin ilmu nan terlahir menuruti abad ke-18, ditandai via tulisan Mtampakme de Stael (Ratna, 2003: 331) nan berjudul De la literature cinsideree nans ses rapports avec les institutions socials (1800). Meskipun demikian, buku teks tentang sosiologi sastra pertama baru terbit menuruti tahun 1970, berjudul The Sociology of Art and Literature: a reader, nan dihimpun sebab Milton C. Albrecht, dkk. Sosiologi sastra berkembangnya via pesat sejak penelitian-penelitian via teori strukturalisme dimenganggap mengalami kemunduran, stagnasi bahkan involusi.

Analisis strukturalisme dimenganggap mengabaikan relevansi masyarakatnya nan justru ialah asal-usul hal itu karya sastra. Sebab karena itu, teruntuk memwujudkan karya sastra memiliki fungsinya nan serupa via aspekaspek kebudayaannya lain, maka satunya cara ialah via mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakatnya, memahaminya seumpama terteruntukan nan tak terpisahkan via sistim interaksi secara keseluruhan. Hal ini pula terkait via unsur kebudayaannya seraya sosiologi sastra.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya memiliki makna pikiran, akal budi, hasil, tampakt istitampakt nan sehal itu nan sudah memwujud kebiasaan nan sukar diubah. Budaya ialah hal itu cara hidup nan berkembangnya nan dimiliki berserupa

(45)

sebab satunya kelompok manusia nan diwariskan via generasi ke generasi. Budaya terwujud via banyak unsur nan rumit, tercatat sistim agama nan politik, tampakt istitampakt, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, nan karya seni. Bahasa, seumpamamana pula budaya, ialah terteruntukan tak terpisahkan via diri manusia sehingga banyak manusia cenderung mengmenganggapnya diwariskan secara genetis.

Ketika sesesemanusia berusaha berinteraksi via manusia- manusia nan berbeda budaya nan menyesuaikan perbedaan- perbedaannya, membuktikan maka budaya itu dipelajari. Ki Hajar Dewantar mengemukhendak maka kebudayaannya signifikan buah budi manusia ialah hasil perjuangan manusia terhtampakp dua dominasi kuat, yakni zaman nan alam nan ialah bukti kejayaan hidup manusia teruntuk mengatasi beragam rintangan nan kesukaran diseraya hidup nan penghidupannya guna satunya keselamatan nan kebahagiaan nan menuruti lahirnya memiliki karakter tertib nan damai.

Kemampuan manusia mampu mengembangkan rancangan- rancangan nan tampak seraya kebudayaannya. Seumpama contoh dahulu mhendak via tangan sekarang semakin maju nan manusia mampu membuat alat yakni sendok sehingga mampu mengubah kehidupan sesesemanusia memwujud lebihnya konsumtif nan bersih. Lain halnya pula tampak poin budaya nan terkandung

(46)

seraya kebudayaannya. Poin budaya ialah tingkat nan paling tinggi nan paling abstrak via tampakt-istitampakt. Ciri-ciri Budaya nan Kebudayaannya yakni seumpama berikut.

1. Budaya bukan bawaan namun dipelajari.

2. Budaya mampu disampaikan via manusia ke manusia, via kelompok ke kelompok nan via generasi ke generasi.

3. Budaya berdasarkan simbol.

4. Budaya memiliki karakter dinamis, hal itu sistim nan terus berubah sepanjang waktu.

5. Budaya memiliki karakter selektif, merepresentasikan pola- pola perilaku pengalaman manusia nan jumlahnya terbatas.

6. Beragam unsur budaya saling berkaitan.

Etnosentrik (mengmenganggap budaya sendiri seumpama nan terbaik nan standar teruntuk mepoin budaya lain).

Tampakpun unsur-unsur budaya nan kebudayaannya yakni seumpama berikut.

1) Peralatan nan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor nan seumpamanya.

2) Mata pencaharian hidup nan sistim-sistim ekonomi (pertanian, peternhendak, sistim produksi, sistim distribusi nan seumpamanya).

3) Sistim kemasyarakatnyaan (sistim kekerabatan, organisasi politik, sistim hukum, sistim perkawinan).

(47)

4) Bahasa (lisan maupun tertulis).

5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, nan seumpamanya).

6) Sistim pengetahuan.

7) Religi (sistim kepercayaan).

Lain halnya, Menurut Soekanto (2010:154), beberapa unsur-unsur budaya nan kebudayaannya, diantarnya ialah seumpama berikut:

1) Kebudayaannya Material (Kebendaan), ialah tampak kebudayaannya nan berupa benda-benda konkret seumpama hasil karya manusia, serupa rumah, mobil, candi, jam, benda-benda hasil teknologi nan seumpamanya.

2) Kebudayaannya nonmaterial (rohaniah) ialah tampak kebudayaannya nan tak berupa benda-benda konkret, nan ialah hasil cipta nan rasa manusia, serupa:

3) Hasil cipta manusia, serupa filsafat nan ilmu pengetahuan, baik nan bertampak teori murni maupun nan menelah disusun teruntuk diamalkan seraya kehidupan masyarakatnya (pure sciences nan applied sciences).

4) Hasil rasa manusia, bertampak poin-poin nan macam-macam norma kemasyarakatnyaan nan perlu dicipthendak teruntuk mengatur masalah-masalah sosial seraya arti luas, mencakup agama (religi, bukan wahyu), ideologi, kebatinan, nan semua unsur nan ialah hasil ekspresi jiwa manusia seumpama anggota masyarakatnya.

(48)

Pemaparan terkait budaya nan kebudayaannya ini dikajinya via menggunhendak film seumpama objeknya. Film ialah gambar hidup nan pula sering disebut via movie. Film secara kolektif sering disebut seumpama sinema. Tampakpun elemen-elemen naratif film yakni seumpama berikut.

1. Ruang

Ruang ialah tempat dimana para pelaku cerita bergerak nan berkreatifitas. Satunya film umumnya mengambil hal itu tempat nan lokasi via dimensi ruang nan jelas, yakni selalu menunjuk menuruti lokasi nan wilayah nan tegas. Seraya satunya adegan pembuka sering kali keterangan teks dimana cerita film tertera berlokasi teruntuk memperjelas penonton.

2. Waktu

Termampu aspek waktu nan berkesatuan via naratif satunya film yakni durasi waktu, frekuensi nan urutan waktu.

Durasi waktu ialah rentang waktu nan dimiliki sebab satunya film teruntuk menampilkan cerita. Frekuensi waktu ialah munculnya kembali hal itu adegan nan serupa seraya waktu nan berbeda. Senangkan urutan waktu ialah pola berjalannya waktu cerita satunya film. Urutan waktu diterteruntuk memwujud dua macam pola yakni pola linier nan nonlinier. Pola linier ialah pola film nan dibuka via satunya adegan kilas depan nan semenelahnya cerita bergantian tanpa tampak interupsi waktu

(49)

nan signifikan. Jika urutan waktu cerita dimenganggap seumpama A-B-C-D-E maka urutan polanya pula serupa yakni A-B-C-DE.

3. Permasalahan nan Konflik

Konflik nan permasalahan ialah penghalang nan dihtampakpi tokoh protagonis teruntuk satunya tujuannya.

Konflik sering muncul dikarenhendak pihak protagonis memiliki tujuan nan berbeda via pihak antagonis. Konflik tak selalu datang via pihak antagonis selalu, permasalahan mampu selalu muncul via seraya diri tokoh utama sendiri nan akhirnya menimbulkan konflik batin.

4. Pelaku cerita

Pelaku cerita terdiri via karakter utama nan pendukung.

Karakter utama ialah motivator utama nan pelaksanaannya alur naratif sejak awal hingga akhir cerita. Karakter utama biasanya menduduki peran protagonis, senangkan karakter pendukung lebihnya cenderung memwujud antagonis nan bertindak seumpama pemicu konflik.

5. Tujuan

Tujuan ialah harapan nan cita-cita nan dimiliki sebab pelaku utama. Tujuan mampu memiliki karakter fisik (materi) nan nonfisiki (non-materi). Tujuan fisik memiliki karakter jelas nan nyata senangkan nonfisik tujuan nan sifatnya abstrak (tak

(50)

nyata), serupa mencari kebagahagiaan, kepuasan batin, eksistensi diri nan lain seumpamanya.

Berdasarkan penjelasan elemen-elemen pokok naratif film tertera, disimpulkan maka inti via cerita film (fiksi) ialah bagaimana sesemanusia karakter menghtampakpi segalanya permasalahan teruntuk satunya tujuannya seraya hal itu ruang nan waktu.

Penelitian ini menggunhendak Film maipa deapati mencerithendak tentang Addengareng kakek via datu museng nan berupaya melarikan diri via cucunya menyebrangi Samudra kearah ke pulau sumbawa.

Pelarian tertera disebabkan sebab termampunya perseteruan politik nan beradu domba nan dilaksanakan sebab beberapa penjajah Belanda di daerah Gowa, Sulawesi selatan. Hal tertera mengakibatkan daerah gowa jadinya tak aman. Dipulau sumbawa datu museng hidup nan tumbuh berkembangnya nan jadinya pertemuan awalnya via maipa deapati di pondok pengajian mampewa. Via pertemuan awal tertera membuat datu museng kagum via figure anggun maipa deapati. Namun cintanya via maipa deapati jadinya cinta terlarang sebab wanita berparas anggun itu menelah memiliki tunangan nan disebut sesemanusia pangeran kesultanan sumbawa bernama pangeran mangalasa.

Semenelah kakek datu museng mengetahui maka cucunya mencintai maipa deapati, alangkah terkejutnya sang kakek. Sang kakek merasa malu. Ia mengmenganggap cucunya belakalah sebongkah emas

(51)

nan menelah terkotori sebab lumpur. Senangkan maipa deapati ialah putri sesemanusia bangsawan bak sebongkah Mutiara nan belum tersentuh nan tak pantas disunting datu museng.

Poin-poin budaya nan terkandung seraya Film Maipa Deapati nan Datu Museng yakni Budaya siri’ (Harga Diri), Pesse’/pacce (prikemanusiaan), sipaknan (saling menghargai), Awaranieng/berani.

Seraya unsur kebudayaannya, termampu sistim kekerabatan nan organisasi sosial nan dilaksanakan masyarakatnya tampakt tertera.

Sistim kekerabatan nan organisasi sosial ini, dilaksanakan teruntuk memwujud masyarakatnya nan menghasilkan hal itu tampakt nan aturan tertentu serupa nan termampu seraya kutipan diatas. Sistim kekerabatan nan organisasi sosial ini mampu terwujud karena ananya jenis perkawinan, prinsip menentukan pasangan, tampakt menetap nan jenis keluarga.

(52)

BAB V PENUTUP A. Simpulan

Poin budaya nan termampu seraya film Maipa Deapati nan Datu Museng terterteruntuk memwujud 7 aspek yakni Bahasa, sistim pengetahuan, organisasi sosial, sistim peralatan hidup nan teknologi. Dimana 7 aspek tertera sangat berdominasi terhtampakp kebudayaannya bugis makassar.

Tampakpun poin budaya yakni Poin siri seraya hal ini harga diri (rasa malu), kehormatan nan harkat nan martabat. Film ini pula menggambarkan kebudayaannya suku Makassar via sangat jelas. Suku budaya Makassar nan kental membuat daya tari tersendiri teruntuk manusia- manusia menontonnya.

B. Saran

Masih banyak kemungkinan-kemungkinan nulai-poin budaya nan termampu seraya Film “Maipa Deapati nan Datu Museng”. Namun via segalanya keterbatasan peneliti belaka memfokuskan poin budaya nan termampu seraya 7 aspek selalu teruntuk itu peneliti memberi kesempatan kemenuruti siapa selalu teruntuk melengkapi penelitian-penelitian selanjutnya.

(53)

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Menurut Bansal dan Taylor (1999a, 1996b), faktor-faktor yang merupakan penggerak bertahan dan berpindahnya pelanggan ke penyedia jasa lain adalah kualitas atau kepuasan,

Penerapan metode FAHP pada sistem pendukung keputusan seleksi penerimaan tenaga honorer universitas khairun dapat dilakukan dengan menentukan 4 kriteria yaitu

Dari sini Avogadro mengajukan hipotesisnya yang dikenal hipotesis Avogadro yang berbunyi: “Pada suhu dan tekanan yang sama, semua gas dengan volume yang sama akan mengandung jumlah

BAB V METODE HUKUM ULAMA BANJAR DALAM MENANGGAPI PERSOALAN-PERSOALAN PERKAWINAN ISLAM DI KALIMANTAN SELATAN ... Menjadikan Fatwa Ulama sebagai Referensi ... Diferensiasi

Maka dari itu bagi para pelanggan tidak perlu takut apabila ingin mengonsumsi es setiap hari khususnya bagi masyarakat daerah Kaliwungu tidak perlu cemas karena

Sebagian siswa kurang mampu menginterpretasi soal seperti tidak menggambarkan sketsa permasalahan atau tidak menuliskan informasi yang diketahui dan ditanyakan pada

• Kain putih pembungkus piksis yang dibawa dari gereja harus dibuka, lalu piksis diletakkan di atas kain bersih yang sudah disediakan (menggantikan kain putih pembungkus piksis

Pada Tabel 1nilai r 2 menunjukan angka 91% yang artinya bahwa produksi buah lokal tahunan 91% dipengaruhi oleh impor dan kebijakan perdagangan bebas dan sisa nya di