• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS KETERPADUAN SYSTEM PERADILAN PIDANA ANAK (INTEGRATED JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA OLEH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS KETERPADUAN SYSTEM PERADILAN PIDANA ANAK (INTEGRATED JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA OLEH:"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KETERPADUAN SYSTEM PERADILAN PIDANA ANAK (INTEGRATED JUVENILE JUSTICE SYSTEM)

DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

OLEH:

FAIZ AHMED ILLOVI 147005118/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

KETERPADUAN SYSTEM PERADILAN PIDANA ANAK (INTEGRATED JUVENILE JUSTICE SYSTEM)

DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi

Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FAIZ AHMED ILLOVI 147005118/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)

Telah Diuji : Pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Marlina, SH.M.Hum

Anggota : 1.Dr. Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum 2.Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum 3.Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH

4.Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH.M.S

(5)

ABSTRAK

Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana aturan hukum tentang hubungan koordinasi antara sub sistem peradilan pidana dalam penerapan diversi, Bagaimanakah koordinasi sub sistem peradilan pidana dalam penerapan diversi terhadap pelaku tindak pidana anak dan Apa kebijakan yang dilakukan oleh sub sistem peradilan anak dalam penerapan diversi.

Metode penelitian yuridis normatif berguna untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu dan juga dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang tertentu. Dalam menggunakan penelitian hukum normatif dalam penyusunan tesis ini akan difokuskan kepada penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif.

Kesimpulan dalam penelitian tesis ini, 1.Aturan hukum tentang hubungan koordinasi antara sub sistem peradilan pidana dalam penerapan diversi, menurut ketentuan Pasal 7 UU SPPA, diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residive).2.Koordinasi sub sistem peradilan pidana dalam penerapan diversi terhadap pelaku tindak pidana anak, perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut dan selama proses peradilan tersebut, maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.

3.Kebijakan yang dilakukan oleh sub sistem peradilan anak dalam penerapan diversi, Diversi wajib diupayakan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, meskipun konsekuensi “wajib” pada pengupayaan diversi juga menjadi kabur karena sanksi terhadap pengabaian ketentuan ini yang diatur pada pasal 96 sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012.

Saran dalam penelitian tesis ini, 1.Sebenarnya kelemahan dari peraturan yang ada bisa teratasi apabila ada kepedulian dan sensivitas dari aparat penegak hukum dalam penanganan anak bermasalah dengan hukum. 2.Diharapkan kepada Kepolisian

(6)

Republik Indonesia agar membuat aturan khusus mengenai diversi terhadap anak yang berperkara dengan hukum seperti aturan yang di buat Mahkamah Agung yaitu Perma Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. 3.Harapan masyrakat Indonesia pada umumnya agar pnegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat begitu juga dalam penerapan diversi bagi anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan makna filosofi lahirnya Undang-Undang No 11. Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kata kunci : INTEGRATED JUVENILE JUSTICE SYSTEM, PERADILAN PIDANA ANAK, DIVERSI, ANAK, TINDAK PIDANA

(7)

ABSTRACT

Criminal Justice System Children should not be construed as a judicial body as stipulated in Article 24 paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, which stated that the judicial power is done by a Supreme Court and judicial bodies underneath it in the public courts, religious courts, military courts, administrative courts and by a Constitutional Court.

In accordance with the above background, then some of the things that are at issue in this study is as follows: What is the rule of law on coordination between the sub-systems of criminal justice in the application of diversion, How coordination sub criminal justice system in the application of diversion to criminal child and what policies implemented by the sub-system of juvenile justice in the application of diversion.

Normative juridical research method is useful to know or to know whether and how the law has on a particular issue and also can explain or explain to others whether and how the law regarding a particular event or issue. In using normative legal research in this thesis will be focused on normative legal research is qualitative.

The conclusion of this thesis, law 1.Aturan how coordination between sub criminal justice system in the application of diversion, according to the provisions of Article 7 of Law SPPA, diversion can only be carried out to the children who were threatened with imprisonment under seven (7) years and is not a repetition of criminal acts (residive) .2.Koordinasi sub criminal justice system in the application of criminal diversion of the child, the legal protection of children in judicial proceedings conducted since the beginning level of inquiry, investigation, prosecution, examination before the court until the execution of the court's ruling and during the judicial process, the rights of the child shall be protected by law and therefore must be done consistently by the parties concerned with solving the naughty child. 3.Kebijakan carried out by sub-system of juvenile justice in the application of diversion, Diversi shall be made on the level of investigation, prosecution and court examination of the child in court, although the consequences of "compulsory" at the insistence of diversion also become blurred because of the sanctions against the waiver of this provision, which is set at article 96 has been declared contrary to the Constitution of 1945 and does not have binding legal force by the Constitutional Court Decision Number 110 / PUU-X / 2012.

Suggestions in this thesis, 1.Sebenarnya weaknesses of the existing legislation can be resolved if there is a concern and sensitivity of law enforcement officials in handling children in conflict with the law. 2.Diharapkan the Indonesian National Police in order to make specific rules regarding the diversion of children litigants with the law as the rule that created the Supreme Court that Perma No. 4 of 2014 on Guidelines for the Implementation of diversion In Child Criminal Justice System.

3.Harapan Indonesian society in general in order to pnegakan law responsible (accountable) can be interpreted as an implementation effort of law enforcement

(8)

accountable to the public, the nation and the state with regard to legal certainty in the legal system, also deals with legal expediency and justice for the community as well as the application of diversion for children in conflict with the law in accordance with the philosophy of the meaning of the enactment of Law No. 11 Year 2012 on child Criminal justice System.

Keywords: INTEGRATED SYSTEM JUVENILE JUSTICE, CRIMINAL JUSTICE CHILD, VERSIONED, CHILDREN, CRIME

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

Adapun judul tesis yang saya teliti yakni: “KETERPADUAN SYSTEM PERADILAN PIDANA ANAK (INTEGRATED JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA.

Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dan syarat untuk menempuh ujian Strata Sarjana (Strata -2) guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan Tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.

Hal ini kiranya dapat dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki.

Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa dorongan, bimbingan maupun curahan ilmu yang penuh ketelitian dan kesabaran yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Marlina selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum dan Dr.Jelly Leviza SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH,MS dan Bapak Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Penguji.

(10)

Selanjutnya penulis juga menyamaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum dan para Pembantu Rektor, para Kepal Biro dan Lembaga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana (S.2), pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

3.Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Para Dosen dan Staf Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum.

5.Secara khusus penulis sampaikan terimakasih untuk Ayahanda dan Ibunda Tercinta, Bapak dan Ibu mertuaku, atas kesabaran, dukungan moril dan spritual yang diberikan kepada penulis, serta memberikan cinta dan kasih sayang yang tiada henti-hentinya bagi penulis sehingga penulis dapat berhasil dengan baik.

6.Penulis sampaikan khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk isteriku tercinta serta anak-anakku, kalian selalu menemani dalam perjalanan dan terkadang rela berpisah saat penulis dalam proses menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

(11)

Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan Tesis ini dengan sebaik-baiknya namun sebagai manusia penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan Tesis ini. Penulis mengaharapkan adanya kritik dan saran yang produktif dari semua pihak.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian kuliah dan tesis ini, penulis mengucapkan terimaksaih dengan harapan tesis ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan masyarakat.

Medan, Januari 2017 Penulis

FAIZ AHMED ILLOVI

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9

1. Kerangka Teori ... 9

2. Kerangka Konsep ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 21

2. Sumber Data ... 22

3. Teknik Pengumpulan Data ... 23

4. Analisis Data ... 24

(13)

BAB II ATURAN HUKUM HUBUNGAN KOORDINASI SUB SISTEM

PERADILAN PIDANA DALAM PENERAPAN DIVERSI …...26

A. Sistem Peradilan Pidana Dalam KUHAP Dan Hubungannya Dengan Diversi……….………...26

A. Hubungan Koordinasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Penerapan Diversi……….….54

B. Aturan Hukum Hubungan Koordinasi Sub Sistem Peradilan Pidana Dalam Penerapan Diversi ……….……….69

BAB III KOORDINASI SUB SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ANAK ………...………....79

A. Koordinasi Di Tingkat Penyidikan………79

B. Koordinasi Di Tingkat Kejaksaan………...101

C. Koordinasi Di Tingkat Pengadilan………...113

BAB IV KEBIJAKAN YANG DILAKUKAN OLEH SUB SISTEM PERADILAN DALAM PENERAPAN DIVERSI PROBLEMATIKA DALAM PENERAPAN PENGATURAN………..136

A. Diversi Sebagai Bagian Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Anak………..………...136

(14)

B. Kebijakan Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak

Pidana………..….152

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...159

A. Kesimpulan………...159

B. Saran……….160

DAFTAR PUSTAKA ………...

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). 1

Implementasi dari ratifikasi tersebut, Pemerintah telah mengesahkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara substantif telah mengatur beberapa hal antara lain persoalan Anak yang sedang berhadapan dengan hukum, Anak dari kelompok minoritas, Anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, Anak yang diperdagangkan, Anak korban kerusuhan, Anak yang menjadi pengungsi dan Anak dalam situasi konflik bersenjata, Perlindungan Anak yang dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang.

Pelaksanaan Undang-Undang tersebut telah sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait jaminan hak asasi manusia,

1 Penjelasan UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.

(16)

yaitu Anak sebagai manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.2

Efektivitas pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak. Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. 3

Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya

2 Ibid

3Wahyudi,Setya, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia I.( Yogyakarta : Genta.2011), halaman,26.

(17)

untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Penyusunan Undang-Undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum saebagai penerus bangsa.4

Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

4 Dewi,DS. Fatahilla A.Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia.( Depok : Indie Pre Publishing,2011),halaman,29.

(18)

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum.

Adapun substansi yang diatur dalam undang-undang ini antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang- Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. 5 Proses itu harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif, baik bagi anak maupun bagi korban. Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Kasus yang muncul, ada kalanya anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga anak korban dan/atau anak saksi juga diatur dalam undang-undang ini.

5 Ibid,halaman,35.

(19)

Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana. Ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi pelindungan terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 6

KUHAP membedakan tugas dan wewenang dari setiap tingkatan pemeriksaan sejak dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan serta memberikan batasan terhadap tugas dan wewenang penyidik, penuntut umum atau hakim.

Pelaksanaan tugas dan wewenangnya tersebut tidak boleh mengganggu usaha adanya suatu kebijakan penyidikan dan penuntutan yang merupakan pedoman kerja bersama dalam proses peradilan pidana. Pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan agar

6 Ibid,halaman,42.

(20)

pelaksanaan tugas penegakan hukum dapat menjadi focus, sehingga tidak terjadi duplikasi kewenangan, tetapi terintegrasi karena antara institusi penegak hukum dengan yang lainnya secara fungsional ada hubungan sedemikian rupa didalam proses penyelesaian perkara pidana. Pola ini dikenal dengan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).7

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan dengan judul adalah “Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana “.

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana aturan hukum tentang hubungan koordinasi antara sub sistem peradilan pidana dalam penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana?

2. Bagaimanakah koordinasi sub sistem peradilan pidana dalam penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana?

3. Apa kebijakan yang dilakukan oleh sub sistem peradilan anak dalam penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana?

7http://www.aai.or.id/v3/index.php?option=com_content&view=article&id=237:pengaturan- integrated-criminal-justice-system-di-dalam-ruu-kuhap&catid=89&Itemid=547.Di akses tanggal 9-1- 2017.

(21)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis aturan hukum tentang hubungan koordinasi antara sub sistem peradilan pidana dalam penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis koordinasi sub sistem peradilan pidana dalam penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan yang dilakukan oleh sub sistem peradilan anak dalam penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yaitu baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni tentang :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan sebagai bahan pertimbangan yang penting dalam mengambil suatu kebijakan dalam Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana, juga serta diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang hukum pidana.

2. Secara praktis

(22)

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pembaharuan dan pengembangan hukum nasional ke arah pengaturan Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana, perlindungan terhadap hak anak sebagai pelaku tindak pidana dalam proses Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat dan aparat penegak hukum untuk mengetahui pengaturan Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana, perlindungan terhadap hak anak sebagai pelaku tindak pidana dalam proses diversi.

c. Sebagai bahan referensi atau rujukan untuk dikaji kembali bagi para peneliti lebih lanjut untuk menambah wawasan hukum pidana terutama yang membahas tentang penerapan Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dengan mengambil poin-poin tertentu.

d. Sebagai informasi untuk membuka inspirasi bagi Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana, perlindungan terhadap hak anak sebagai pelaku tindak pidana dalam proses diversi.

(23)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penelitian di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) diketahui bahwa penelitian mengenai

“Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana“, belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Teori menempati kedudukan yang penting untuk merangkum dan memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakannya.8

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sipenulis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang bagi sipembaca menjadi bahan perbandingkan, pasangan teoritis, yang mungkin ia setujui

8 Ronny H. Soemitro, Metedologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Ghalia, 1982), halaman.37.

(24)

atau pun yang tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.

Menurut Kaelan M.S, landasan teori dalam suatu penelitian adalah merupakan dasar- dasar operasional dari suatu penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategi yang artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.9

1. Teori Sistem Hukum.

Mengenai Analisis Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana, dipergunakan Teori Sistem Hukum.

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat. Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan :“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind, the number and size of courts, their jurisdiction. Strukture also means how the legislature is organized, what procedures the police department follow and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal system a kind of still photograph, with freezes the action.”10

9 Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), halaman. 80.

10http : // dedeandreas.blogspot.co.id/2015/03/teori-sistem-hukum-lawrence-friedman.html.Di akses tanggal 10-1-2017.

(25)

Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinnya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya.

Struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Substansi hukum menurut Friedman adalah : “Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system, the stress here is on living law, not just rules in law books”.

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Substansinya adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. Substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.

Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat : “The third component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and

(26)

legal system their belief in other word, is the climinate of social thought and social force wicch determines how law is used, avoided, or abused”.

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang baik.

Bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangannya belaka, malainkan aktifitas birokrasi pelaksananya.

Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Ide diversi ini muncul dengan pertimbangan yang layak untuk menghindari stigma (cap jahat) pada anak, maka setiap saat dalam tahapan-tahapan system peradilan anak, penegak hukum system peradilan pidana anak (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,

(27)

maupun pihak Lembaga Pemasyarakatan), diberikan wewenang untuk mengalihkan proses peradilan kepada bentuk-bentuk kegiatan, seperti penyerahan pembinaan oleh orang tua/walinya, peringatan, pembebanan denda/restitusi, pembinaan oleh departemen sosial atau lembaga sosial masyarakat maupun konseling.11

Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Muladi yang menyatakan bahwa Integrated Juvenile Justice System memiliki tujuan untuk :

Implementasi dari ide diversi tersebut dalam penanganan masalah anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan dengan menerapkan peradilan restroatif (Restorative Justice) dalam peradilan pidana anak. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.

12

11 Prakoso, Abintoro, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Surabaya: Erlangga, 2013,halaman,44.

12Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), halaman,78.

1.Resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.

2.Pemberantasan kejahatan.

(28)

3.Dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan system peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Sudarto mengatakan bahwa dalam system peradilan pidana anak, aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara tertuju pada kepentingan anak oleh karenanya segala aktivitas yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lain harus didasarkan pada suatu prinsip yaitu demi kesejahteraan anak dan kepentingan anak. Tujuan system peradilan pidana anak tersebut maka salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan restorative justice.

restorative justice dilaksanakan untuk mencapai keadilan restroatif. Restorative justice memiliki prinsip yang berbeda dengan model peradilan konvensional.

Restorative justice mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut :

a.Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan pelaku.

b.Melibatkan para korban, orang tua, keluarga, sekolah dan teman sebaya.

c.Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah.

d.Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi social yang formal .

Pelaksanaan restorative justice dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti : restitusi, mediasi korban dengan pelaku/pelanggar, musyawarah kelompok keluarga, pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku, pelayanan korban, restorasi masyarakat atau denda restroatif. Restorative

(29)

justice merupakan cara penjatuhan sanksi terhadap anak nakal dengan memberikan hak kepada korban untuk ikut serta secara aktif dalam proses peradilan. Indicator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi dalam penerapan restorative justice dapat dilihat dari apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Program diversi dapat menjadi bentuk Restorative Justice jika :13

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan kepada anak yang berhadapan dengan hukum (pelaku). Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan 1.Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

2.Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban.

3.Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses.

4.Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga.

5.Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana .

13Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998), halaman,20.

(30)

menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan, untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. 14

14Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia. (Jakarta : Bina Aksara, 1985), halaman,54.

Tindakan kekerasan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum. Penghindaran penangkapan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari pelaksanaan diversi. Tujuannya menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh.

Salah satu contoh latar belakang pentingnya kebijakan diversi dilakukan karena tingginya jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara dan mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses dalam sistem peradilan pidana, yaitu Philipina. Di negara Philipina angka keterlibatan anak dengan tindak pidana dan menjalani peradilan sampai pemenjaraan cukup tinggi dan 94%

adalah anak pelaku pidana untuk pertama kalinya (first-time offender). Jumlah anak yang menjalani pemenjaraan tidak diiringi dengan adanya kebijakan diversi dan program pencegahan tindak pidana anak secara formal, sebaliknya usaha dukungan untuk mengembalikan anak ke komunitasnya sangat rendah.

(31)

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment). Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu :15

3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku 1.Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak

hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan.

Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

2.Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

15 Adi, Koeno, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, (Malang : 2009), halaman,39.

(32)

bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat.

Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku. Pelaksanaan diversi dilatar belakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi. Penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi.

Anak yang melakukan pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi dalam setiap pemeriksaan peradilan untuk dapat melekukan diversi dalam bentuk menghentikan pemeriksaan demi pelindungan terhadap pelaku anak. Kasus anak sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat mengimplementasikan ide diversi demi kepentingan pelaku anak tersebut yang sesuai dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Terakhir bila anak sudah terlanjur berada di dalam penjara, maka petugas penjara dapat membuat kebijakan diversi terhadap anak sehingga anak dapat di limpahkan kelembaga sosial atau sanksi alternatif yang berguna bagi perkembangan dan masa depan anak tapi diversi untuk

(33)

mengeluarkan dari system peradilan. Satu hal utama dari bentuk ini yaitu sikap kehati-hatian dari polisi, dimana anak muda yang telah ditangani polisi hanya diberikan peringatan lisan dan tertulis, setelah itu anak akan dilepas dan merupakan akhir dari permasalahan terkecuali kalau anak tersebut melakukan pelanggaran selanjutnya (mengulangi) maka akan dilakukan proses lanjutan.16

2. Kerangka konsepsional

Kerangka konsepsional atau kontruksi secara internal pada pembaca berguna untuk mendapat stimulasi atau dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan kepustakaan. Kerangka konsepsional dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul dalam penelitian sebagai berikut :

1. Juvenile Justice System adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. 17

2. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 18

3. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang

16 Arief, Barda Nawawi , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana II, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2013),halaman,34.

17http://hukum-indo.blogspot.co.id/2011/11/criminal-justice-system-materi-kuliah.html,Diakses tanggal 11-1-2017.

18 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(34)

terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 19

4. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 20

5. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 21

6. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. 22

7. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. 23

19 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

20 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

21 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

22 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

23 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(35)

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari kata Yunani “ methods ” yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja. yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Kata metode berarti cara sistematis dan cara terpikir secara baik untuk mencapai tujuan. Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaedah-kaedah penelitian sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitan hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutkan metode penelitian tersebut juga sebagian penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as is written in the books, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.24

24 Muhadjir, Noeng, Metodolgi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, Edisi III, Cetakan VII. 1996, halaman, 25.

Penelitian hukum normatif dalam penyusunan tesis ini akan difokuskan kepada penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Untuk itu yang menjadi alasan adalah sebagai berikut:

(36)

a. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

b. Data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir.

2. Sumber Data

Sumber data digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terlebih dahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. Penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pada penelitian kepustakaan dan berdasarkan data sekunder, maka bahan kepustakaan yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

25

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik dalam bentuk perundang- undangan ataupun peraturan perundang-undangan lainnya dalam hal ini antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

25 Ibid.halaman.11.

(37)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer berupa buku-buku, makalah-makalah seminar, majalah, surat kabar dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berisikan pendapat praktisi hukum dalam hal ini yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dan juga putusan pengadilan tentang masalah yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, ensiklopedia dan berbagai kamus lain yang relevan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Seluruh data sekunder dikumpulkan dengan mempergunakan studi dokumen atau studi pustaka (library reseach) untuk mendapatkan data sekunder berupa buku-buku pustaka, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan yang ada didalam media cetak dan dokumen- dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh Pasal-Pasal di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif

(38)

untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini dapat dijawab.26

4. Analisis Data

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis data dilakukan terlebih dahulu diadakan pengumuman data, kemudian dianalisis secara kualitatif dan ditafsirkan secar logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan produser dan tata cara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas yang berlaku umum dalam perundang-undangan. Penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan-bahan hukum pada hakekat adalah kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan dalam penelitian, kegiatan yang dimaksud dalam hal ini diantaranya memilih bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang berisi peraturan perundang-undangan serta kaidah - kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana serta menemukan prinsip-prinsip hukum lainnya secara sistematis, sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu yang terbagi atas penyebab terjadinya Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice

26 Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001), halaman.195

(39)

System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana.

Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana. Mengetahui problematika Keterpaduan System Peradilan Pidana Anak (Integrated Juvenile Justice System) Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana.

Menemukan dan mengarahkan hubungan antara prinsip-prinsip hukum dan klasifikasi dengan menggunakan kerangka teoritis yang ada sebagai analisis. Menarik kesimpulan dari hasi penelitian yang diperoleh dengan menggunakan logika berpikir deduktif dan induktif.

(40)

BAB II

ATURAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN KOORDINASI ANTARA SUB SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PENERAPAN DIVERSI

TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

A. Sistem Peradilan Pidana dalam KUHAP dan Hubungannya dengan Diversi 1. Konsepsi Dan Pengertian Juvenile Justice System

Juvenile Justice System adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu: 27

27 Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Restu Agung, 2010,halaman,20.

a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah dan

(41)

b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum.

Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang.

2. Pengertian dan Komponen Sistem Peradilan Pidana

Pengertian Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.28

Menurut Muladi sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural

28 Ibid,hal,23.

(42)

syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti menghayati pandangan, sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Diharapkan dengan adanya peradilan pidana maka kejahatan yang terjadi di masyarakat masuk ke dalam batas- batas yang masih dapat ditolerir, karena untuk menghilangkan kejahatan adalah sesuatu yang sangat sulit untuk tercapai.

Tujuan diadakannya sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan antara lain : 29

1. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana

2. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulanginya.

Upaya terbaik menegakkan hukum pidana meteril selalu menuntut dan bersandar pada bagaimana ketentuan hukum pidana formil untuk mampu mengawal tujuan hukum pidana materil itu sendiri. Kejahatan menjadi sasaran tuduhan akibat lemahnya penegakan hukum materil, jika saja perangkat hukum yang mengatur komponen dalam sistem peradilan juga lemah. Peradilan pidana dapat diartikan

29 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Undip,2010, halaman.10.

(43)

sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum. Mekanisme peradilan pidana tersebut meliputi aktivitas yang bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Proses yang bekerja secara berurutan tersebut pada dasarnya menuju pada suatu tujuan bersama yang dikehendaki.

Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain.

Fragmentasi dalam arti masing-masing subsistem bekerja sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan antar hubungan diantara sub-subsistem yang ada harus dihindari bilamana diinginkan suatu sistem peradilan pidana yang efektif. Muladi menyatakan bahwa dalam konsep penegakan hukum, telah berkembang kesepakatan-kesepakatan dan penegasan-penegasan yang antara lain perlu dikembangkannya sistem peradilan pidana yang terpadu. Sistem peradilan pidana terpadu tersebut mencakup sub- subsistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi (lembaga pemasyarakatan). Mengingat peranannya yang semakin besar, penasihat hukum dapat pula dimasukkan sebagai subsistem.

Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang mampu menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Menurut Muladi makna Juvenile Justice System ini

(44)

adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :30

Keterpaduan dalam bekerjanya sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut:

1.Sinkronisasi struktural ( structural syncronization ).

2.Sinkronisasi substansial ( substantial syncronization ).

3.Sinkronisasi kultural ( cultural syncronization ).

Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum, sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif, sedangkan sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Wacana tentang sistem peradilan pidana terpadu ini telah lama mengemuka. Pembentukan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Sejak saat itu wacana pembentukan sistem peradilan pidana terpadu terus-menerus diupayakan sampai saat ini. TAP MPR RI No.VII/MPR/2000 Tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, antara lain menekankan bahwa Mahkamah Agung perlu melaksanakan asas-asas Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang sering diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (share norms and values ).

31

30 Ibid,halaman,22.

(45)

a.Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.

b.Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan Pidana).

c.Karena tangung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana.

Muladi menyatakan makna dari sistem peradilan pidana terpadu didasarkan pada keseimbangan antara tindak pidana (daad) dan pelaku (dader) tindak pidana tersebut. Muladi mendasarkan pandangannya pada tujuan atau fungsi ganda Hukum Pidana, yaitu : 32

Fungsi sekunder inilah hukum pidana modern bertujuan untuk policing the police yaitu melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar. Berkaitan dengan fungsi hukum pidana tersebut, Packer menyatakan bahwa kesadaran untuk menjalankan kedua fungsi tersebut secara hati-hati akan semakin menjadi besar, a.Secara primer berfungsi sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional

dan

b.Secara sekunder, sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial, baik yang dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya.

31 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. III, Storia Grafika, Jakarta, 2002.halaman,20.

32 Ibid,halaman,25.

(46)

bilamana setiap masalah dalam hukum pidana dipertimbangkan dengan seksama.

Masalah-masalah utama tersebut adalah kejahatan, kesalahan dan pidana. Sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara internal mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling bekerjasama dan terikat pada satu tujuan yang sama.

Terjadi jika didukung adanya sinkronisasi dari segi substansi yang mencakup produk hukum di bidang sistem peradilan pidana yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif. Sinkronisasi secara struktural di masing-masing subsistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, lembaga pemasyarakatan juga dalam hubungan fungsional secara terpadu diantara unsur-unsur peradilan pidana tersebut termasuk dalam hal ini adalah dengan unsur penasihat hukum/advokat dan last but not least adalah sinkronisasi kultural dalam arti ada kesamaan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap yang dihayati bersama diantara komponen sistem peradilan pidana tersebut dalam rangka mencapai tujuan akhir sistem peradilan pidana yaitu kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tiadanya cara pandang, sikap dan nilai- nilai tertentu yang mendukung keterpaduan sistem peradilan pidana akan menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam penegakan hukum dan mengarah pada

(47)

“instansi sentris” yang sangat tidak memungkinkan bagi terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu.33

Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam kerangka penegakan hukum pidana materil. Philip.

P. Purpura menyatakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang,

Menurut Barda Nawawi Arief sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan/diwujudkan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu :

1.Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik.

2.Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum.

3.Kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan dan 4.Kekuasaan pelaksanan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.

Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana.

3. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Dalam KUHAP

33 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Lembaga Kriminologi UI, 2007,halaman.40.

(48)

memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa.34

Terlantarnya, tersia-siakannya, menderitanya korban kejahatan yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan jaminan hak-haknya untuk memperoleh ganti rugi, rehabilitasi, baik secara lahir maupun batin nampaknya juga tidak ada aturan dalam KUHAP secara tegas. Aspek perlindungan saksi yang merasa terancam keselamatan jiwa dan hartanya akibat memberikan keterangan terhadap kejahatan tertentu, juga tidak mendapat pengaturan khusus dalam KUHAP. Disisi lain Sistem peradilan pidana yang sudah kita punyai sebagaimana tergambar dalam KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), adalah gambaran betapa komponen hukum pidana yang kita punyai kurang mampu diharapkan untuk mengawal penegakan hukum pidana materil. Kelemahan mendasar yang terlihat dari KUHAP adalah terabaikannya hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana dan korban kejahatan yang harus diperhatikan kemungkinan mendapatkan perlindungan hukum akan hak-haknya sebagai korban kejahatan, tidak mendapat pengaturan yang memadai. Kekerasan baik fisik maupun psikis seringkali dialami oleh tersangka/

terdakwa/terpidana ketika mereka harus mengikuti prosedur tetap yang dimainkan oleh aparat penegak hukum dengan dalih semua perbuatan aparat penegak hukum sudah menjalankan tugas dan kewajiban penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini KUHAP.

34Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang : UMM Press,2009, halaman.12.

(49)

membicarakan sistem peradilan yang terpadu, tidak dapat dilepaskan dari upaya penegakan hukum pidana baik yang hukum pidana formil maupun materil.35

35Ibid,halaman,17.

Pada dasarnya, asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi peradilan mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah asas sederhana, cepat dan murah. Penyelesaian perkara di Pengadilan sangat bergantung pada beberapa faktor yaitu : faktor substansi perkara, faktor pencari keadilan, faktor kuasa hukum, faktor kesiapan alat-alat bukti, faktor sarana dan prasarana, faktor budaya hukum, faktor komunikasi dalam persidangan, faktor pengaruh dari luar, faktor aparat pengadilan, faktor hakim dan faktor manajeman.

Faktor-faktor diatas mempunyai pengaruh, namun pelaksanaan asas sederhana, cepat, murah, masih merupakan faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pelayanan administrasi peradilan yang benar-benar sederhana, cepat dan murah.

Sederhana dimaknai bahwa dalam peradilan pidana diharapkan sebagai proses yang tidak bertele-tele, berbeli-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, mudah dipahami, mudah diterapkan, sistematis, baik untuk pencari keadilan maupun aparat penegak hukum. Praktek nyata, sering kali asas tersebut dipahami secara beragam oleh aparat penegak hukum disemua tingkatan. Pemahaman oleh aparat penegak hukum lebih dimaksudkan sebagai proses birokrasi yang wajib dilalui oleh pencari keadilan dan dipihak lain aparat penegak hukum mempunyai kewajiban untuk menerapkannya sesuai dengan pemahaman aparat penegak hukum sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Seseorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Dalam hal

dengan kelas inti dari game Heart Meister , terdapat kelas-kelas yang dibutuhkan agar game dapat berjalan sesuai dengan aturan main yang telah dibuat dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari peubah bauran promosi (Iklan, Promposi Penjualan, Penjualan langsung dan Hubungan masyarakat) dan komponen destinasi wisata ( Attraction,

Dalam hal pencapaian suatu tujuan pengembangan obyek wisata Taman Margasatwa Semarang di perlukan suatu perencanaan dan tindakan nyata untuk dapat mewujudkannya,

Proses pada sistem e- Research Management dimulai dari pengajuan proposal oleh peneliti, persetujuan proposal oleh pihak pengelola penelitian di perguruan tinggi, pencatatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter peduli lingkungan di SMA Negeri 1 Bringin melalui implementasi Hi-Pori memiliki rata-rata sebesar 75%

Pengenalan akan berbagai macam model disiplin spiritual kepada pendeta GKJW dalam program Khalwat tersebut diharapkan dapat menemukan disiplin spiritual yang cocok

Fungsi struktur sosial, antara lain sebagai landasan atau wadah dari proses sosial yang berlangsung bagi para anggota masyarakatnya, sebagai pola tata kelakuan yang mengatur hubungan