• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN BATAS MARITIM INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN TIMOR LESTE AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT (Studi kasus: Pulau Meatimarang, Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN BATAS MARITIM INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN TIMOR LESTE AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT (Studi kasus: Pulau Meatimarang, Indonesia)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN BATAS MARITIM INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN TIMOR LESTE AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT

(Studi kasus: Pulau Meatimarang, Indonesia)

Atriyon Julzarika

Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Jl. LAPAN No.70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710 www.atriyon-julzarika.web.ugm.ac.id

INTISARI

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki 17.504 pulau dan garis pantai 95.181 km dengan kemiringan rata-rata 2%. Indonesia memiliki 92 pulau-pulau kecil terluar, 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulau-pulau kecil perbatasan.

Dari sejumlah 67 pulau tersebut, 13 diantaranya perlu mendapat perhatian khusus pemerintah.

Indonesia juga memiliki permasalahan pada batas maritim antar negara yaitu belum adanya penentuan batas maritim dengan Palau, Philipina, Timor Leste, serta belum tuntasnya kesepakatan dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Australia. Salah satu pulau kecil perbatasan yang menjadi permasalahan adalah pulau Meatimerang. Pulau ini terletak di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste dan Australia. Salah satu perhatian khusus yang dilakukan adalah dengan pemodelan 3D dengan interpolasi Kriging terhadap SRTM90 versi 4.

Perubahan garis pantai dianalisa dari pemodelan 3D tersebut. Selain itu perubahan garis pantai juga memperhitungkan parameter kenaikan muka air laut, deformasi, pasang surut, bencana alam (gempa bumi dan tsunami), serta faktor non fisis. Pemodelan 3D tersebut diharapkan bisa menjadi kajian penentuan batas maritim Indonesia dengan Timor Leste dan Australia terutama pengaruh perubahan garis pantai akibat kenaikan muka air laut.

Kata kunci: Pulau Meatimarang, pemodelan 3D, kenaikan muka air laut, batas maritim antar negara.

I. Pendahuluan

Kondisi geografis Indonesia memiliki posisi penting yaitu terletak antara samudera Hindia dan samudera Pasifik serta benua Asia dan Australia. Kondisi geografis ini juga berdampak pada fenomena El-Nino yang menyebabkan Indonesia mengalami kondisi kering dan hangat. El-Nino adalah penampakan suhu dan aruslaut yang hangat di perairan lepas pantai Amerika Selatan mulai dari Ekuador sampai Peru (Subandono, 2009: 68). Indonesia yang juga merupakan sebagai salah satu negara kepulauan yang memiliki berbagai kekayaan sumber daya alam, punya peran penting pada perubahan iklim global, serta pada pengaruh pergerakan lempeng benua. Selain itu perubahan iklim juga dipengaruhi oleh penguapan yang lajunya menjadi lebih cepat akibat dampak kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan peningkatan kelembaban di

(2)

udara serta peningkatan suhu di siang hari. Curah hujan akan bertambah terutama di wilayah pesisir dan sepanjang lintasan siklon atau terpengaruh dari efek lintasan ekor siklon tropis. Pada skala regional panas dan kelembaban berlebih akan menyebabkan badai tropis yang kuat.

Indonesia memiliki 17.504 pulau dan garis pantai 95.181 km dengan kemiringan rata-rata 2% atau genangan air mundur ke arah darat sejauh 50 m dari garis pantai.

Fenomena perubahan iklim tersebut sudah berdampak pada Indonesia, yaitu setidaknya sudah kehilangan 24 pulau kecil dalam waktu 2005-2007 (DKP, 2007). 24 pulau kecil yang tenggelam tersebut meliputi NAD (tiga pulau), Sumatera Utara (tiga pulau), Papua (tiga pulau), Kepri (lima pulau), Sumatera Barat (dua pulau), dan Sulawesi Selatan (satu pulau) serta Kepulauan Seribu (tujuh pulau) (Subandono, 2009: 77).

Mayoritas pulau-pulau kecil tersebut tenggelam akibat erosi air laut yang diperburuk dengan kegiatan penambangan komersil. Penyebab lainya adalah faktor bencana alam seperti tsunami, abrasi, fenomena rob, dan faktor di luar perubahan iklim.

Setidaknya ada empat indokator yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu (1). Perubahan suhu atmosfer dan suhu air laut; (2). Perubahan pola angin; (3). Perubahan presipitasi dan pola hidrologi; (4).

Kenaikan muka air laut. Pada saat erosi pantai meningkat, pola angin berubah ditambah dengan adanya kenaikan muka air laut maka perubahan fisik lingkungan berubah.

Perubahan tersebut meliputi (1) terjadinya gelombang ekstrim dan banjir; (2) intrusi air laut ke sungai dan air tanah; (3) kenaikan muka air sungai di muara sungai karena terbendung oleh muka air yang naik; (4) perubahan pasang surut dan gelombang; (5) perubahan pola sedimentasi. Permasalahan kenaikan muka air laut juga disebabkan vulkanologi laut, pencairan es di kutub utara dan selatan serta deformasi vertikal atau penurunan tanah.

Kenaikan muka air laut sangat berpengaruh pada penataan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Saat ini Indonesia memiliki 92 pulau-pulau kecil terluar, 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulau-pulau kecil perbatasan. Dari sejumlah 67 pulau tersebut, 13 diantaranya perlu mendapat perhatian khusus pemerintah. Kenaikan muka air laut ini memiliki peran penting terutama pada penentuan batas maritim antar negara. Selain itu Indonesia juga dihadapi dengan permasalahan batas maritim. Indonesia belum mempunyai perjanjian batas maritim

(3)

antar negara dengan Palau, Philipina, dan Timor Leste serta belum selesainya kesepakatan permasalahan batas maritim dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam (Abubakar, 2006).

Pulau Meatimarang yang terletak di propinsi Maluku memiliki luas 4 km2 dengan titik pangkal TD.109. Pulau Meatimarang merupakan pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Australia dan Timor Leste. Sampai saat ini belum ada penentuan dan penegasan batas maritim antara Indonesia dengan Australia dan Timor Leste di pulau Meatimarang. Pulau Meatimarang rawan subvertif dan intervensi serta juga rawan terhadap gempa bumi, abrasi, dan tsunami. Indonesia memiliki tujuh pulau terluar yang berbatasan dengan Timor Leste dan 26 pulau terluar yang berbatasan dengan Australia. Pulau Meatimarang merupakan satu-satunya pulau terluar yang menjadi acuan batas tiga negara, yaitu Indonesia, Austalia, dan Timor Leste.

Tujuh pulau kecil perbatasan dengan tadi berpengaruh jika Indonesia mau melakukan perjanjian batas maritim dengan Timor Leste. Jika ada tujuh pulau kecil perbatasan tersebut tenggelam maka klaim atas wilayah maritim Indonesia juga akan berubah. Klaim batas maritim tersebut meliputi klaim atas zona maritim nasional yaitu perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea), zona tambahan (contigous zone), zona ekonomi ekslusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf). Zona maritim yang bisa diklaim sebuah negara pantai diukur dari garis pangkal (baseline) ke arah laut (Arsana, 2007).

Pada penelitian ini dilakukan kajian terhadap pulau Meatimarang dengan pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut. Pulau ini dipilih karena rentan terhadap tsunami, abrasi pantai, kenaikan muka air laut akibat pengaruh El-Nino, deformasi vertikal akibat pergerakan lempeng dan kondisi perubahan pasang surut di wilayah selatan Indonesia yang cukup ekstrim. Pemodelan 3D ini dilakukan dengan interpolasi Kriging terhadap Shuttle Radar Thematic Mission (SRTM)90 versi 4. Kriging adalah metode dalam geostatistik yang baik untuk peningkatan akurasi dan presisi dalam interpolasi data. Pada penelitian ini parameter pemodelan 3D dibatasi pada kenaikan muka air laut akibat pengaruh iklim, deformasi vertikal akibat abrasi, tsunami serta perubahan pasang surut. Penelitian ini bertujuan untuk kajian kemungkinan klaim batas

(4)

maritim Indonesia dengan Australia dan Timor Leste jika pulau Meatimarang mengalami kemunduran garis pantai atau kemungkinan bisa tenggelam.

II. Metodologi penelitian

Penelitian ini mengkaji bagaimana kemungkinan klaim batas maritim Indonesia dengan Australia dan Timor Leste jika menggunakan pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut? Apakah faktor kenaikan muka air laut dan parameter-parameter pendukungnya bisa mempengaruhi klaim batas maritim Indonesia terhadap Australia dan Timor Leste? Wilayah penelitian terletak di pulau Meatimarang, Propinsi Maluku.

Pemodelan 3D menggunakan interpolasi Kriging dengan data masukan SRTM90 versi 4. Interpolasi Kriging menggunakan perangkat lunak Surfer dan Ilwis Academics serta pemodelan 3D menggunakan Global Mapper. Gambar (1) menjelaskan diagram alir pada penelitian ini.

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Hasil penelitian berupa kemungkinan kemunduran garis pantai pulau Meatimarang atau kemungkinan tenggelam akibat kenaikan muka air laut. Hasil penelitian ini bisa digunakan untuk pertimbangan klaim batas maritim Indonesia dengan

Mulai

Selesai SRTM90 versi 4 Parameter Geofisik

(1).Pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut

(2). Klaim batas maritim Indonesia terhadap Timor Leste dan Australia Penentuan model 3D dan algorithm

Interpolasi Krigng Pemodelan 3D

Laju kenaikan muka air laut Rata-rata kisaran pasang surut

Kemiringan pantai Erosi/akresi

Deformasi vertikal

Uji range Tsunami

Pergerakan lempeng Jaring kontrol geodetik

(5)

Australia dan Timor Leste. Pada pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang menggunakan parameter laju perubahan iklim sebesar 8 mm/tahun.

Rata-rata kisaran pasang surut yang digunakan sebesar 0,5 m/periode, kemiringan pantai sebesar 2 %, erosi/akresi 1 m/tahun, deformasi vertikal -1 cm/tahun, tsunami 7 meter, dan pergerakan lempeng (4.2 mm/tahun untuk lintang, 6.8 mm/tahun untuk bujur, dan 13.8 mm/tahun untuk Height).

III. Pelaksanaan

Penelitian yang mengkaji klaim batas maritim Indonesia dengan Timor Leste dan Australia ini menggunakan pemodelan 3D terhadap interpolasi Kriging SRTM90 versi 4. Data masukan berupa SRTM90 versi 4 memiliki akurasi horizontal sebesar 90 meter dan akurasi vertikal sebesar 6-8 meter. Akurasi vertikal ini bisa ditingkatkan sedangkan akurasi horizontal belum bisa diubah karena informasi pada satu piksel masih satu kesatuan. Penelitian hanya memfokuskan pada peningkatan akurasi vertikal.

Ada beberapa cara peningkatan akurasi vertikal, diantaranya interpolasi, mengubah Digital Surface Model menjadi Digital Elevation Model (DSM2DEM), dan penentuan klas elevasi secara manual. Penelitian ini menggunakan interpolasi terhadap data 3D SRTM90 versi 4. DEM merupakan model permukaan digital yang mempunyai referensi terhadap ellipsoid (Li et all, 2005). Interpolasi yang digunakan adalah Kriging. Metode Kriging juga memerlukan suatu jaring kontrol geodetik.

Pada pemodelan permukaan digital, diperlukan bagaimana suatu jaring kontrol geodetik dapat menghasilkan grid data secara matematis. Grid data dibentuk berdasarkan rangkaian koordinat raster (baris, kolom) akibat terjadi transformasi koordinat. Transformasi koordinat yang dimaksud adalah perubahan format tampilan peta dari koordinat kartesian (x, y, z, t) pada jaring kontrol geodetik menjadi koordinat raster pada grid data. Secara matematis, metode Kriging dapat menghasilkan nilai akurasi tinggi dan presisi seksama. Metode Kriging adalah metode interpolasi yang berbasis geostatistik (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Metode ini diturunkan dari teori variabel permbatas (regional variable) yang mengasumsikan bahwa variasi data geografi dapat disebut sebagai variabel pembatas. Kriging menurunkan pembobotan untuk interpolasinya dari semivariogram (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Setiap pengukuran mempunyai kesalahan ukuran, baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak

(6)

acak (Arsana dan Julzarika, 2006). Pemerataan titik kontrol dalam jaring kontrol geodetik mempengaruhi akurasi dan presisi data (Julzarika, 2007).

Semivariogram yang merupakan tingkat hubungan spasial tersebut sebenarnya adalah suatu gambaran dari semivarian yang mempunyai interval antar data yang tidak sama untuk suatu pengambilan data dalam suatu kelompok data. Jika terdapat suatu kelompok data dengan jumlah n, dan interval antar data yang sama atau ∆, maka dengan persamaan semivarian dapat dinyatakan hubungan antar suatu pasangan data ke-I dan data ke-h, yang dinotasikan dengan ”γ” (Widjajanti dan Sutanta, 2006).

n X Xi i h

h n h i

2

)

( 2

= ∑ γ

Pada persamaan tesebut, Xi adalah data ke-i dan Xi-h adalah data pengukuran yang lain dengan interval h. Jika interval antar titik data tidak sama atau h mempunyai nilai yang berbeda, kemudian hasil dari perhitungan semivarian tersebut digambarkan menjadi sebuah bentuk semivariogram (Widjajanti dan Sutanta, 2006).

Pulau Meatimarang yang memiliki luasan sekitar 4 km2 sehingga memudahkan dalam interpolasi Kriging. Jaring kontrol geodetik yang terbentuk pada interpolasi Kriging sangat rapat dan meningkatkan akurasi vertikal secara signifikan. Akurasi yang didapat sudah cukup untuk pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut. Pemodelan 3D dengan interpolasi Kriging ini harus memenuhi range tertentu (Julzarika, 2008).

a. Tinggi masing-masing titik penelitian adalah hi meter b. Range arah sumbu x : X’= X-dxi s/d X+dxi

Maka range X = X’ (pada penelitian ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z) c. Range arah sumbu y : Y’= Y-dyi s/d Y+dyi

Maka range Y = Y’ (pada penelitian ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z) d. Range arah sumbu z :Z’= Z-dzi s/d Z+dzi

dxi, dyi, dan dzi adalah simpangan baku titik yang diperoleh dari model matematika dengan hitung perataan.

Hasil pemodelan ini digunakan untuk analisa klaim batas maritim antar negara dengan mempertimbangkan faktor kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim global, deformasi vertikal akibat abrasi, tsunami serta perubahan pasang surut pasang surut.

(7)

IV. Analisa hasil

Setelah terbentuk pemodelan 3D dengan interpolasi Kriging terhadap SRTM90 versi 4, maka proses selanjutnya adalah analisa terhadap kenaikan muka air laut. Ada beberapa pendapat tentang kenaikan muka air laut. Menurut skenario tengah IPCC (Nicholls et all, 1999), kenaikan muka air laut global pada tahun 2080 sekitar 45 cm bisa menyebabkan lebih dari 50 juta orang beresiko terkena banjir tiap tahun. Jika menggunakan rumus kemunduran garis pantai, maka pantai di Indonesia mengalami kemunduran garis pantai ke arah darat sebesar 50 m dengan asumsi kenaikan muka air laut sebesar 1 meter dan kemiringan rata-rata pantai sebesar 2%. Hal ini berarti dalam 100 tahun wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan tergenang 475.905 Ha atau 4.795 Ha/tahun. Selain itu kenaikan muka air laut menyebabkan erosi pantai meningkat. Jika mean sea level naik, maka pantai berpasir dan berlumpur akan menyesuaikan diri dengan kenaikan muka air laut dan membentuk profil pantai yang baru (new equilibrium profile).

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), laju kenaikan muka air laut global sebesar 3-10 cm selama 10 tahun. Menurut Bakosurtanal, laju kenaikan muka air laut di pulau-pulau kecil dan pantura Jawa sebesar 8 mm/tahun.

Menurut (Subandono, 2009), laju kenaikan muka air laut di pantura Jawa sebesar 6-10 mm/tahun atau sebesar 80 cm selama 100 tahun. Selain itu juga harus memperhitungkan deformasi vertikal pada suatu wilayah, misal pada kota Semarang memiliki deformasi vertikal sebesar 8-10 cm/tahun. Tsunami juga dapat memberikan perubahan secara sangat signifikan. Tinggi gelombang tsunami sekitar 4-25 meter dengan kecepatan sekitar 512 km/jam. Gempa bumi juga dapat menyebabkan pergerakan secara horizontal, vertikal turun, maupun vertikal naik. Pada pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang menggunakan parameter laju kenaikan muka air laut sebesar 8 mm/tahun. Rata-rata kisaran pasang surut yang digunakan sebesar 0,5 m, kemiringan pantai sebesar 2 %, erosi/akresi 1 m/tahun, deformasi vertikal -1 cm/tahun, tsunami 7 meter, dan pergerakan lempeng (4.2 mm/tahun untuk lintang, 6.8 mm/tahun untuk bujur, dan 13.8 mm/tahun untuk Height).

Gambar (2) merupakan tampilan pemodelan 3D kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim sebesar 8 mm/tahun. Air laut akan naik sebesar 80 cm dalam waktu 100 tahun ke depan.

(8)

Gambar 2. Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim

Gambar (3) merupakan tampilan pemodelan 3D kenaikan muka air laut akibat rata-rata pasang surut. Rata-rata pasang surut akan naik dalam waktu 18,61 tahun sebesar 0,5 meter. Air laut akan naik sebesar 2,5 meter dalam waktu lima kali periode pasang surut atau 5*18,61 tahun.

Gambar 3. Kenaikan muka air laut akibat rata-rata pasang surut

Gambar (4) merupakan tampilan pemodelan 3D akibat kemiringan garis pantai 2% dan abrasi pantai 1 m/tahun. Abrasi pantai merupakan deformasi horizontal yang tergantung pada jenis pantai, laju arus laut dan sedimentasi serta jenis geomorfologi sungai.

Gambar 4. Kenaikan pasang surut akibat kemiringan, jenis, dan abrasi pantai

Gambar (5) merupakan tampilan pemodelan 3D akibat deformasi vertikal sebesar -1 cm/tahun. Kondisi ini dipengaruhi oleh tingkat kelabilan tanah atau geomorfologi pantai dan pergerakan lempeng serta aktivitas manusia. Air laut akan naik sebesar -100 cm dalam waktu 100 tahun ke depan.

Gambar 5. Kenaikan muka air laut akibat deformasi vertikal

(9)

Kondisi ini dipengaruhi oleh letak pulau Meatimarang yang rentan pada tsunami dan dilalui lempeng dunia serta jalur gunung api. Pulau Meatimarang juga terletak pada lautan lepas yang mengarah ke laut utara Australia, dan selatan laut Banda serta barat laut Arafuru sehingga memungkinkan terjadi pergerakan laju arus laut yang lumayan drastis jika terjadi tsunami. Pulau Meatimarang akan tenggelam jika terjadi tsunami sebesar 6.25+1 meter. Berikutnya pemodelan 3D kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim 80cm/100 tahun, rata-rata pasang surut 2,5 m/5 periode pasang surut, deformasi vertikal -100cm/100 tahun, tsunami 7 m, dan kemiringan pantai 2% dengan abrasi 1 m. Air laut akan naik sebesar 11,3 meter + abrasi1-2 m maka bisa diprediksi, pulau Meatimarang akan tenggelam. Pulau Meatimarang akan tenggelam pada kenaikan air laut sebesar 6.25+1 meter.

Berikut ini perbandingan perubahan kenaikan muka air laut terhadap parameter- parameter yang mempengaruhinya.

I. Kondisi perbandingan perubahan pada tahun 2008

Tabel 1. Persentase parameter terhadap kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang Parameter Persentase

perubahan iklim 0.24

pasang surut 15.25

pergerakan lempeng (vertikal) 0.42 kemiringan dan jenis pantai (2%) 53.27 deformasi vertikal 0.31

abrasi pantai 30.51

total 100

Pada tahun 2008, kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang di dominasi oleh parameter kemiringan dan jenis pantai. Selain itu juga dipengaruhi oleh parameter abrasi pantai dan pasang surut. Sedangkan perubahan iklim pergerakan lempeng arah vertikal dan deformasi vertikal tidak terlalu berpengaruh signifikan.

II. Kondisi perbandingan perubahan pada tahun 2108

Pada tahun 2108, diprediksi kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang masih dipengaruhi oleh kemiringan dan jenis pantai, abrasi pantai, dan pasang surut.

(10)

Gambar 6. Persentase parameter prediksi kenaikan muka air laut (2008-kiri; 2108-kanan)

Parameter perubahan iklim, pergerakan lempeng arah vertikal dan deformasi vertikal justru mengalami kenaikan signifikan sehingga hal ini perlu mendapat perhatian serius pemerintah terutama dalam masalah batas maritim antar negara.

Tabel 2. Persentase parameter terhadap kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang Parameter Persentase

perubahan iklim 8.42

pasang surut 26.33

pergerakan lempeng (vertikal) 14.53 kemiringan dan jenis pantai (2%) 19.12 deformasi vertikal 10.53

abrasi pantai 21.06

total 100

Kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang berpengaruh pada batas maritim tiga negara yaitu Indonesia, Timor Leste, dan Australia.

V. Kesimpulan

Penelitian ini memiliki empat kesimpulan sebagai berikut.

1. Kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang lebih disebabkan oleh dominasi kemiringan dan jenis pantai.

2. Abrasi pantai dan pasang surut juga berpengaruh terhadap kenaikan muka air laut di pulau Meatimarang.

3. Pulau Meatimarang akan tenggelam pada kenaikan air laut sebesar 6.25+1 meter.

4. Pulau Meatimarang terletak pada lokasi strategis dan berpengaruh dalam penentuan batas maritim antar tiga negara, yaitu Indonesia, Timor Leste, dan Australia.

(11)

VI. Daftar Pustaka

Abubakar, M. , 2006. Menata pulau-pulau kecil perbatasan. Cetakan pertama. PT.

Kompas Media Nusantara. Jakarta. Indonesia.

Arsana, I.M.A., 2007. Batas Maritim Antar Negara. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.

Arsana, I.M.A. and Julzarika, A., 2006. Liscad: Surveying & Engineering Software.

Leica GeoSystem. Jakarta. Indonesia.

Diposaptono, S. et all., 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Cetakan pertama. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor.

Indonesia

Julzarika, A., 2007, Analisa Perubahan Koordinat Akibat Proses Perubahan Format Tampilan Peta pada Pembuatan Sistem Informasi Geografis Berbasis Internet, Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM, Yogyakarta.

Julzarika, A., 2008. Differential of Digital Surface Model (DSM) to be Digital Elevation Model (DEM) from ALOS Satellite Imagery Using Least Square Adjustment Computation. Young Scientist Award-ASAIHL Scopus 2008 (nominee).

Thailand

Li, Z., Zhu, Q., and Gold, C., 2005. Digital Terrain Modeling Principles and Methodology. CRC Press. Florida. USA.

Widjajanti, N.,dan Sutanta, H. 2006: Model Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Gambar

Gambar 1. Diagram alir penelitian
Gambar 3. Kenaikan muka air laut akibat rata-rata pasang surut
Gambar 6. Persentase parameter prediksi kenaikan muka air laut (2008-kiri; 2108-kanan)

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok pertama: sampel kelompok satu diminta untuk mengumpulkan saliva di dalam wadah saliva dan masing-masing wadah saliva akan diberi label lalu para sampel

Sebuah film yang berbau illuminati dapat dilihat dari perusahaan yang memproduksi film tersebut, sekilas memang rumah produksi atau production house

Dengan latar belakang yang telah uraikan secara singkat diatas, penulis termotivasi untuk meninjau pada salah satu restoran cepat saji atau fast food, yaitu KFC

Guru memberikan tugas kelompok (1 kelompok terdiri dari 2-3 anak) untuk membuat makalah sederhana sistem pencernaan makanan pada manusia Upload format makalah pada

Ada 34 (94,44%) siswa sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5 yang dapat memperoleh konsep teoritis tentang sifat larutan garam yang tersusun dari asam kuat dan

Dalam sistem informasi akuntansi siklus pemrosesan transaksi salah satunya adalah siklus pengeluaran yaitu kejadian yang berkaitan dengan perolehan barang dan jasa

Tujuan dari pembuatan media pembelajaran ini adalah untuk membantu pembelajaran aksara Jawa dengan pokok bahasan sejarah aksara Jawa dalam cerita ajisaka, aksara

Banjir Rob Berdasarkan Skenario Kenaikan Muka Air Laut Akibat Perubahan Iklim Global dan Analisis Dampaknya Terhadap Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir (Studi