MELEWANTO PATABANG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Hutan Pinus Rakyat di Kabupaten Tana Toraja adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2007
Melewanto Patabang
Kabupaten Tana Toraja. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO dan HARDJANTO.
Pemanfaatan kayu pinus hasil tanaman rakyat di Tana Toraja secara intensif mulai dilakukan sejak dibukanya industri pengolahan kayu pinus pada Tahun 2002. Perusahaan diberi izin dengan sejumlah pembatasan dan persyaratan untuk membeli hasilnya baik dari segi jumlah potensi yang harus dibeli maupun sumber atau asal kayu pinus. Tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Tana Toraja kembali mengijinkan pemanfaatan kayu pinus rakyat dan menawarkan bagi para investor yang berminat untuk menanamkan modalnya dalam pemanfaatan hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja melalui pembukaan industri pengolahan hasil hutan pinus. Upaya pemanfaatan termaksud di atas tentunya membutuhkan suatu strategi dalam menyusun perencanaan pemanfaatan yang didasarkan atas data yang akurat dan komprehensif.
Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk menyusun suatu strategi pengembangan hutan pinus milik rakyat yang dapat menjamin manfaat ekonomi disamping manfaat ekologi. Analisis SWOT digunakan sebagai langkah awal untuk menyusun strategi dengan bantuan metode AHP, sedangkan analisis ISM digunakan untuk menemukan model strukturalnya dalam penyusunan strategi pengembangan.
Hasil analisis SWOT menunjukkan posisi hutan pinus rakyat berada pada sel
2 yang menunjukkan bahwa strategi yang harus diterapkan adalah ST (strength –
threat) dengan cara: (1) membentuk dan meningkatkan peran
kelompok/kelembagaan petani, (2) mengembangkan pola agroforestri untuk peningkatan produktifitas lahan dan melakukan penyadapan getah untuk peningkatan nilai ekonomi pinus, (3) melakukan penataan areal untuk mengatur produksi/tebangan dan penanaman dalam rangka menjamin kontinuitas hasil, dan
(4) menjamin kepastian pemanfaatan lahan tongkonan. Hasil analisis struktural
pengembangan hutan pinus rakyat menunjukkan bahwa setiap elemen dalam pengembangan hutan pinus rakyat memiliki subelemen kunci. Akan tetapi tiap elemen ini ada yang menghasilkan model struktur yang berbeda. Dari hasil analisis ini dapat diketahui bahwa strategi yang diterapkan dalam pengembangan hutan rakyat adalah melakukan kerjasama antara petani dengan lembaga pemerintah, lembaga adat, perusahaan dan LSM serta lembaga pendidikan dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan.
MELEWANTO PATABANG. The Strategy of Farm Pine Forest Development in Tana Toraja Regency. Under the direction of NURHENI WIJAYANTO and HARDJANTO.
The exploitation of pine wood owned in Tana Toraja has just begun since pine wood manufacturing industry opened in 2002. In 2004, the activity of this manufacture was stopped because there where some people to protest the activity in which they assumed that the exploitation and manufacturing of those pine trees would causes negative effect which the value itself could be much more than the financial result got from it, therefore, they claimed the manufacture to stop operating. In 2006, Tana Toraja Regency Government allowed the exploitation of the pine wood and offered the investors who where interested in invest their capital in the pine wood exploitation. The above exploitation effort certainly needed a strategy based on accurate and comprehensif data.
The aim of the this research was to arrange a strategy of farm pine forest exploitation belonging to the people which could give both economy and ecology benefits. This research used SWOT analysis, Analytical Hierarchy Process, and Interpretative Structural Modelling.
The result of the analysis indicated that the strategy that could be best applied was strength-threat (ST) increased the role of farmer organization, agroforestry pattern development in order to increase land productivity, to do regulating area for planting and harvest, and assured the exploitation of
tongkonan land. The structural analysis result pointed to out that every element in masses pine forest development had key sub element. It could be indicated that the applied strategy in this masses forest development was strategy that based on the corporation among the farmers, government, company, and non government organization in the plan arrangement and implementation of the activity.
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
MELEWANTO PATABANG
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Melewanto Patabang
NIM : E 051050021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS Dr. Ir. Hardjanto, MS
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
hanya atas perkenaan-Nya sajalah sehingga penulis dapat menyelesaikan segala
tugas dan kewajiban selama kuliah serta dapat menyelesaikan tulisan ini. Judul
tesis ini adalah “Strategi Pengembangan Hutan Pinus Rakyat di Kabupaten Tana
Toraja”. Tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait
dengan pengelolaan hutan rakyat (khususnya hutan pinus) di Kabupaten Tana
Toraja dalam upaya pengembangan pemanfaatan sumberdaya hutan secara
berkesinambungan.
Rampungnya tulisan ini berkat adanya bimbingan, masukan, bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal termaksud maka penulis
ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku komisi
pembimbing yang telah meluangkan waktunya memberikan bimbingan dan
masukan untuk penyelesaian tesis ini.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan IPB beserta staf pengajar dan staf pegawai yang telah memberikan
sumbangsih yang sangat besar bagi penulis dalam menyelesaikan studi di
Sekolah Pascasarjana IPB.
3. Pemerintah Kabupaten Tana Toraja beserta stafnya, Kepala BP DAS Saddang
beserta stafnya, Tokoh Masyarakat Toraja, Kepala Pusat P3DAS Unhas, LSM
di Tana Toraja, PT. Nelly Jayapratama dan segenap masyarakat atas bantuan
dan kerjasamanya dalam memberikan data dan masukan dalam penelitian ini.
4. Prof. Dr. Ir. Jusuf Salusu, MA selaku rektor UKI Paulus Makassar beserta
seluruh teman-teman dosen dan staf pegawai di lingkup UKI Paulus yang
telah memberikan bantuan moril bagi penulis dalam penyelesaian studi.
5. Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr yang telah memberikan informasi
data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan juga atas bantuan dana
serta dorongan moril yang sangat berharga bagi penulis.
6. Keluarga Ir. Yusuf L. Limbongan, MP; keluarga Harsman Tandilittin, ST;
keluarga dr. Tince Tandirerung; keluarga Ir. Aris Tanan, MM; Jurianto Bintan,
7. Segenap teman-teman mahasiswa Sekolah Pacasarna IPB khususnya
mahasiswa Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dan anggota Ikatan
Pemuda Toraja Bogor (Yosepi, Ina, Nining, Dian dan kawan-kawan) yang
telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan.
8. Segenap teman-teman di Pondok Agathis dan keluarga Mang Uki atas
bantuannya yang begitu berharga bagi penulis.
9. Segenap keluarga Patabang dan Paseru atas segala bantuannya berupa doa,
bantuan dana dan dorongan moril bagi penulis.
10.Ayahanda M.H. Patabang dan ibunda A. Paseru, sudaraku tercinta : Santy,
Lina dan Herdi serta sahabatku Rina Ratma atas doa, kasih sayang, cinta dan
dukungannya sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan.
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan bagi segala
keperluan yang sifatnya membangun dan penulis mohon maaf atas segala
kekurangannya. Apa yang penulis sampaikan dalam tesis ini mungkin tidaklah
berarti apa-apa dan hanya seperti sebuah benih pohon di tengah rimba raya.
Namun setidaknya benih itu dapat tumbuh menjadi sebatang pohon yang akan
turut menciptakan tegakan hutan dan kemudian tegakan ini akan turut membentuk
hutan yang merupakan paru-paru bagi dunia.
Bogor, Maret 2007
Penulis dilahirkan di Rantepao Tana Toraja pada tanggal 9 September 1973
dari ayah M.H. Patabang dan ibu A. Paseru. Penulis merupakan anak ketiga dari
empat bersaudara.
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Rantepao. Penulis kemudian
melanjutkan studi program sarjana pada Program Studi Manajemen Hutan
Universitas Hasanuddin dan lulus pada Tahun 1998. Setelah lulus dari program
sarjana penulis bekerja sebagai dosen tidak tetap pada Jurusan Kehutanan
Universitas Hasanuddin dari tahun 1998 sampai tahun 2005. Pada tahun 2001
sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen tetap pada Fakultas Pertanian
Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar.
Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor pada Program Magister dengan Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan. Selama mengikuti pendidikan pascasarjana penulis juga menjadi
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 4
Tujuan ... 5
Manfaat Penelitian ... 6
Alur Pikir Penelitian ... 6
TINJAUAN PUSTAKA ... 7
Hutan Rakyat di Indonesia ... 7
Perkembangan Hutan Pinus Rakyat di Tana Toraja ... 8
Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Rakyat ... 13
Penyebaran dan Potensi Pinus (Pinus merkusii) di Indonesia ... 15
Otonomi Daerah ... 17
Analisis SWOT ... 18
Proses Hirarki Analisis ... 23
Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural ………..……….. 25
Analisis Finansial ... 31
METODE PENELITIAN ... 33
Waktu dan Lokasi ... 33
Jenis Data yang Dikumpulkan... 33
Metode Pengambilan Contoh ... 34
Alat Analisis ... 34
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37
Analisis Strategis ... 37
Analisis Struktural ... 69
Strategi Pengembangan Hutan Pinus Rakyat ...106
SIMPULAN DAN SARAN ...112
Simpulan ...112
Saran ...113
DAFTAR PUSTAKA ...113
Halaman
1. Penyebaran dan luas hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja ... 10
2. Perkembangan pemanfaatan hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja …...……...………... 12
3. Evaluasi variabel internal kekuatan ... 37
4. Hasil analisis finansial untuk masing-masing satuan pengelolaan ... 38
5. Potensi hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja ... 40
6. Luas lahan garapan keluarga pemilik hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja ... 44
7. Kontribusi pendapatan per tahun dari hutan rakyat pada wilayah studi ... 44
8. Beberapa contoh aturan/hukum adat dalam aktivitas masyarakat Toraja ... 47
9. Evaluasi variabel internal kelemahan ... 48
10. Luas penanaman yang dilakukan pada hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja Selama 15 Tahun Terakhir ... 51
11. Harga jual pinus (Rp/m3) di Kabupaten Tana Toraja. ... 52
12. Evaluasi variabel eksternal peluang ... 57
13. Evaluasi variabel eksternal ancaman ... 61
14. Sektor masyarakat yang terpengaruhi. ... 70
15. Elemen kebutuhan program. ... 74
16. Elemen kendala utama. ... 78
17. Perubahan yang dimungkinkan ... 82
18. Elemen tujuan dari program ... 86
19. Elemen tolok ukur untuk menilai setiap program ... 90
20. Elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan ... 94
21. Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai ... 98
Halaman
1. Alur pikir penelitian …….….……...………... 6
2. Proses pengambilan keputusan strategis ... 19
3. Diagram SWOT ... 20
4. Diagram teknik ISM ………...………...……… 28
5. Hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja yang subur dan luas ... 40
6. Tanaman pinus rakyat di Kecamatan Mengkendek ... 42
7. Hasil kayu pinus yang digunakan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar ... 43
8. Intersepsi, evaporasi dan transpirasi tanaman pinus (Pinus merkusii)... 45
9. Sawah di Kabupaten Tana Toraja yang tidak kering di musim kemarau dan berada di dekat lokasi tanaman pinus ... 46
10. Lokasi bekas penebangan di Kecamatan Mengkendek ... 51
11. Bentuk hasil kayu pinus yang dijual ke industri ... 52
12. Kondisi topografi hutan pinus rakyat ... 55
13. Tempat pengumpulan log industri ... 55
14. Balok kayu pinus yang ditempatkan di pinggir jalan ... 59
15. Diagram SWOT strategi pengembangan hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja ... 65
16. Diagram analisis matrik SWOT strategi pengembangan hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja ... 67
17. Matriks driver power – dependence elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi ... 72
18. Diagram model struktural untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi ... 73
19. Matriks driver power – dependence kebutuhan dari program ... 76
20. Diagram model struktural untuk elemen kebutuhan dari program ... 76
21. Matriks driver power – dependence elemen kendala utama ... 80
22. Diagram model struktural untuk elemen kendala utama ... 81
25. Matriks driver power – dependence elemen tujuan dari
program ... 88
26. Diagram model struktural untuk elemen tujuan dari program ... 89
27. Matriks driver power – dependence elemen tolok ukur untuk
menilai setiap program ... 92
28. Diagram model struktural untuk elemen tolok ukur untuk
menilai setiap program ... 93
29. Matriks driver power – dependence elemen aktivitas yang
dibutuhkan guna perencanaan tindakan ... 96
30. Diagram model struktural untuk elemen aktivitas yang
dibutuhkan guna perencanaan tindakan ... 97
31. Matriks driver power – dependence elemen ukuran aktivitas
guna mengevaluasi hasil yang dicapai ... 100
32. Diagram model struktural untuk elemen ukuran aktivitas guna
mengevaluasi hasil yang dicapai ... 101
33. Matriks driver power – dependence elemen lembaga yang
terlibat dalam pelaksanaan program ... 104
34. Diagram model struktural untuk elemen lembaga yang terlibat
dalam pelaksanaan program ... 105
35. Alur acuan pengembangan hutan pinus rakyat di Kabupaten
Halaman
1. Rekapitulasi data hasil wawancara dengan responden ... 117
2. Keadaan hutan rakyat Kabupaten Tana Toraja ... 133
3. Jenis tanah hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja ... 134
4. Keadaan toporafi hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja ... 134
5. Jumlah curah hujan dirinci per bulan di Kabupaten Tana Toraja (mm) ... 135
6. Banyaknya hari hujan dirinci per bulan di Kabupaten Tana Toraja (dalam hari) ... 135
7. Analisis finansial hutan pinus rakyat satuan pengelolaan I... 136
8. Analisis finansial hutan pinus rakyat satuan pengelolaan II ... 137
9. Analisis finansial hutan pinus rakyat satuan pengelolaan III ... 138
10. Analisis finansial hutan pinus rakyat satuan pengelolaan IV ... 139
11. Analisis finansial hutan pinus rakyat satuan pengelolaan V ... 140
12. Hasil pembobotan faktor internal kekuatan dengan metode AHP ... 141
13. Hasil pembobotan faktor internal kelemahan dengan metode AHP ... 141
14. Hasil pembobotan faktor eksternal peluang dengan metode AHP... 142
15. Hasil pembobotan faktor eksternal ancaman dengan metode AHP ... 142
16. Reachibility matrix (RM) final dan interpretasinya untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi ... 143
17. Reachibility matrix (RM) final dan interpretasinya untuk elemen kebutuhan dari program ……… 144
18. Reachibility matrix (RM) final dan interpretasinya untuk elemen kendala utama ……….. 145
19. Reachibility matrix (RM) final dan interpretasinya untuk elemen perubahan yang dimungkinkan ……… 146
20. Reachibility matrix (RM) final dan interpretasinya untuk elemen tujuan dari program ………. 147
21. Reachibility matrix (RM) final dan interpretasinya untuk elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan ……….………..…………. 148
24. Reachibility matrix (RM) final dan interpretasinya untuk elemen
lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program ………….………. 151
Paradigma pembangunan kehutanan yang selama ini lebih menekankan
aspek ekonomi dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional
ternyata telah menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan yang sangat parah.
Melalui dalih mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, berbagai pihak
seakan berlomba, baik secara legal maupun secara illegal, untuk meningkatkan
upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
yang berkaitan dengan keberlanjutan atau kelestarian sumberdaya alam itu sendiri
(Malamassam 2006)
Berakhirnya masa pemerintahan orde baru yang diikuti dengan bergulirnya
era reformasi menyebabkan paradigma tersebut di atas telah mengalami
pergeseran dengan lebih memberi penekanan pada aspek pelestarian lingkungan
dan aspek sosial. Khusus untuk Kabupaten Tana Toraja Pemerintah Daerah
melalui Propeda 2001-2005, telah mencanangkan penataan pola pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan sebagai salah satu program utama pembangunan
daerah yang sekaligus juga diharapkan dapat mendukung peningkatan ekonomi
wilayah secara berkesinambungan (Pemerintah Kabupaten Tana Toraja 2001).
Pemberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah di Kabupaten Tana
Toraja telah memunculkan kekhawatiran baik dari dalam daerah itu sendiri
maupun dari daerah di sekitarnya yaitu bahwa daerah cenderung untuk
mengeksploitasi sumberdaya hutannya secara berlebihan khususnya hutan pinus
rakyat dalam rangka mendapatkan sumber dana untuk mendukung
penyelenggaraan pembangunan pada berbagai bidang. Sudradjat (2002)
menyebutkan bahwa otonomi daerah telah menjadikan hutan sebagai ladang
pendapatan (PAD) asli daerah sehingga laju kerusakan hutan saat ini telah
mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan dan sulit untuk dikendalikan lagi.
Hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja yang merupakan hasil
Program Penghijauan Tahun 1976, pemanfaatannya baru mulai dicanangkan
beberapa tahun terakhir yaitu sekitar Tahun 2002. Sejak saat itu sampai tahun
2004 Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, telah mengeluarkan izin pengolahan
Tahun 2002 dan Tahun 2004, PT. Irmasulindo tahun 2002 dan PT. Global
Forestindo Tahun 2003 untuk mengolah hasil hutan rakyat. Luas areal pinus
rakyat yang sudah ditebang dan dijual kepada 3 perusahaan ini sejak Tahun 2002
– 2004 adalah sekitar 733 Ha dengan potensi sebesar 69.235 m3, dengan adanya
perusahaan ini tanaman pinus yang selama puluhan tahun ini dianggap bernilai
ekonomi rendah sudah mulai dilirik dan ditebang karena dianggap memiliki nilai
ekonomi yang tinggi (Pemerintah Kabupaten Tana Toraja 2006)
Perubahan nilai dan pemahaman tentang tanaman pinus tersebut di atas, jika
tidak dikelola dengan baik, potensil akan menyebabkan ludesnya tanaman pinus
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Para pemilik dan juga pihak-pihak yang
terkait dengan pemanfaatan tanaman pinus cenderung akan mengejar kepentingan
jangka pendek. Mereka cenderung tidak lagi mau memikirkan bahwa kondisi
hutan tanaman pinus yang ada saat ini tercipta melalui proses ekologis selama
puluhan tahun (Malamassam 2005)
Pemerintah Kabupaten Tana Toraja sejak tahun 2002 telah memberi izin
kepada tiga perusahaan dengan sejumlah pembatasan dan persyaratan untuk
mengolah hasil hutan pinus milik rakyat baik dari segi potensi yang harus dibeli
maupun sumber atau asal kayu pinus, dimana kayu yang bisa dibeli hanya berasal
dari hutan rakyat saja, namun sejumlah pihak khususnya Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Pemerhati Lingkungan menyangsikan kesanggupan dan
kesungguhan perusahaan pemegang izin untuk memenuhi pembatasan dan
persyaratan tersebut. Mereka menyatakan keyakinannya bahwa pengelolaan dan
pemanfaatan tanaman pinus tersebut akan menimbulkan dampak negatif yang
nilainya mungkin lebih besar dari manfaat finansial yang diperoleh dari usaha
pemanfaatan termaksud, sehingga mereka menuntut agar usaha pemanfaatan
tersebut dihentikan. Bertolak dari tuntutan ini pulalah maka pemerintah kabupaten
pada awal Tahun 2005 telah menghentikan kegiatan perusahaan pengolahan
tanaman pinus rakyat karena dianggap menyimpang dari aturan yang dibuat
dimana perusahaan tidak melakukan seleksi yang baik terhadap kayu pinus yang
dibelinya. Kayu pinus yang dibeli pabrik/industri pengolahan kayu pinus yang ada
di Tana Toraja dianggap tidak semuanya berasal dari hutan rakyat tetapi sebagian
Penghentian kegiatan pengolahan tersebut di atas untuk jangka waktu lama
bermakna memperlakukan hutan tanaman pinus di Tana Toraja sebagai aset yang
tidak dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya karena mereka tidak
akan mempunyai tempat pemasaran kayu pinusnya meskipun mereka masih
memiliki potensi pohon pinus yang cukup besar. Menurut data Pemerintah
Kabupaten Tana Toraja Tahun 2006 luas hutan pinus milik rakyat di Kabupaten
Tana Toraja adalah 12.510,40 ha dengan potensi sekitar 1.679.711,89 m3 atau
sekitar 134 m3/ha, dengan luas terbesar berada di 3 kecamatan yaitu Kecamatan
Mengkendek seluas 2.702 Ha, Kecamatan Rindingallo seluas 2.010 ha dan
Kecamatan Rantetayo seluas 1.617 ha. Penghentian izin pengolahan hasil hutan
pinus rakyat yang masih memiliki potensi yang cukup besar ini mengindikasikan
suatu ketidakadilan, oleh karena tanaman pinus yang telah dipelihara selama
puluhan tahun justru tidak dapat dimanfaatkan oleh pihak yang memeliharanya
Hal yang semestinya diberlakukan adalah memberi kemungkinan kepada pihak
pemilik dan pemerintah kabupaten untuk memanfaatkan tanaman tersebut,
berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan manfaat.
Tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Tana Toraja kembali mengijinkan
pemanfaatan kayu pinus rakyat dan menawarkan bagi para investor yang berminat
untuk menanamkan modalnya dalam pemanfaatan hutan pinus rakyat di
Kabupaten Tana Toraja melalui pembukaan industri pengolahan hasil hutan pinus.
Upaya ini dilakukan untuk membantu rakyat agar supaya dapat menjual kayunya
dengan mudah dan dapat melakukan penebangan. Upaya pemanfaatan termaksud
di atas tentunya membutuhkan suatu perencanaan jangka panjang dan jangka
menengah yang didasarkan atas data yang akurat dan komprehensif. Sehubungan
dengan itulah maka diperlukan suatu analisis dalam rangka menemukenali
peubah-peubah yang mempengaruhi pengembangan hutan rakyat beserta
sistemnya khususnya hutan pinus rakyat yang selanjutnya akan mendasari
perumusan strategi pengembangan hutan rakyat untuk mendukung pengelolaan
Perumusan Masalah
Pemanfaatan hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja selama ini
menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Secara umum, dampak
positifnya adalah dapat meningkatkan taraf hidup sebagian masyarakat sekitar
hutan rakyat dan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi
produksi hutan rakyat. Namun demikian pemanfaatan hutan pinus selama ini juga
mempunyai kelemahan-kelemahan. Menurut Pemda Kabupaten Tana Toraja
pemanfaatan hutan pinus rakyat selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan
antara lain karena :
1. Kayu pinus yang disuplai ke pabrik/industri pengolahan kayu pinus yang ada
di Tana Toraja tidak semuanya berasal dari hutan rakyat tetapi sebagian
berasal dari Hutan Produksi Terbatas atau Hutan Lindung. Hal ini disebabkan
oleh karena perusahaan hanya sebagai pihak pembeli kayu dan tidak
mendeteksi asal kayu pinus yang dibelinya.
2. Penataan areal tebangan yang tidak jelas dan rotasi penebangannya tidak
teratur sehingga dapat berdampak kepada kelestarian produksi.
3. Terjadinya tumpang tindih kepemilikan hutan rakyat antara kepemilikan
pribadi dan rumpun keluarga pada sebagian pemilik hutan rakyat sehingga
dapat menimbulkan keresahan sosial.
4. Sangat kurangnya kegiatan penanam kembali/pembinaan hutan rakyat pasca
penebangan sehingga dapat berdampak negatif terhadap kelestarian hutan
rakyat dan terhadap lingkungan sekitar maupun regional.
Pemerintah Kabupaten Tana Toraja (2006) lebih lanjut mengemukakan
bahwa produksi kayu pinus dari hutan rakyat selain dimanfaatkan sendiri sebagai
bahan baku bangunan dan perabotan rumah tangga, juga sebagian besar dapat
dijual ke industri untuk diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kayu
lapis. Bahkan apabila dapat dikelola dengan baik pinus rakyat di Toraja dapat
menghasilkan getah yang sampai sekarang belum dimanfaatkan dan produksi
kayu sebesar 80.479 m3/tahun dengan rotasi 20 tahun. Namun berdasarkan
beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, para pemilik hutan pinus rakyat di
Kabupaten Tana Toraja yang memanfaatkan sendiri relatif masih lebih banyak
bahwa sampai saat ini para pemilik hutan rakyat di Tana Toraja, secara umum
belum dapat menikmati manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan yang dimilikinya
secara optimum, sehingga masih sulit diharapkan bahwa para pemilik hutan
rakyat ini dapat melakukan pengelolaan hutan milik mereka secara optimum.
Dikemukakan pula bahwa aktivitas pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Tana
Toraja tidak berjalan dengan baik, dalam arti bahwa tidak ada keseimbangan
antara penebangan dengan penanaman. Kegiatan penanaman cenderung menurun,
sedang kegiatan penebangan cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Selain itu
dapat diketahui pula beberapa hal yang merupakan kendala dalam pengelolaan
huatan rakyat antara lain : terjadinya kebakaran, batas kawasan yang kurang jelas,
pendapatan dari hutan rakyat masih tergolong rendah karena lokasi pemasaran
kurang dan bantuan bibit/sumber bibit sangat minim.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam
bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Peubah-peubah strategis apa saja yang mempengaruhi pengembangan hutan
pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja
2. Bagaimana struktur sistem pengembangan hutan pinus rakyat di Kabupaten
Tana Toraja yang dapat mendukung keberhasilan pembangunan hutan rakyat
3. Strategi yang bagaimana yang dapat diterapkan dalam pengembangan hutan
pinus rakyat yang dapat meningkatkan pendapatan petani pemilik hutan rakyat
dan mendukung pengelolaan sumberdaya hutan secara berkesinambungan di
Kabupaten Tana Toraja.
Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk menyusun suatu strategi
pemanfaatan hutan pinus milik rakyat yang dapat menjamin manfaat ekonomi
disamping manfaat ekologi, baik bagi para pemilik hutan rakyat maupun bagi
daerah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi peubah-peubah strategis unsur internal dan eksternal serta
pengaruhnya terhadap pengembangan hutan pinus rakyat
3. Merumuskan suatu strategi pengembangan hutan rakyat yang mendukung
pengelolaan sumberdaya hutan secara berkesinambungan di Kabupaten Tana
Toraja.
Manfaat Penelitian
Rumusan strategi pengembangan hutan rakyat yang didasarkan atas hasil
penelitian ini diharapkan :
1. Dapat bermanfaat sebagai acuan bagi semua pihak yang terkait dengan
pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja khususnya hutan pinus.
2. Dapat mendorong semua pihak terkait untuk berperanserta secara aktif dan
positif dalam mendukung kelancaran dan keberhasilan penyelenggaraan
aktivitas pengelolaan hutan rakyat khususnya hutan pinus di Kabupaten Tana
Toraja.
Alur Pikir Penelitian
Alur pikir penelitian, yang secara diagramatis menggambarkan hubungan
antara latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, serta metode analisis
yang digunakan disajikan pada Gambar 1.
Arahan Strategi Pengembangan Hutan Pinus Rakyat
( Hutan rakyat berhasil)
Sejarah hutan rakyat di Indonesia telah dimulai sejak zaman VOC
(Vrseenigde Oost Indische Compagnignie), berupa hutan-hutan yang dihadiahkan VOC kepada pengikutnya yang dianggap berjasa. Kemudian pada Tahun 1952 di
Jawa lahir gerakan ”karang kitri” , yaitu gerakan yang dipelopori oleh Dinas
Pertanian Rakyat untuk menanami tanah-tanah kosong dengan jenis-jenis
pohon-pohonan yang melibatkan rakyat atau pemilik lahan yang bertujuan untuk
melindungi tanah dari bahaya erosi. Sebagai hasil dari gerakan ini timbullah
hutan-hutan rakyat seperti yang banyak terdapat di Jawa saat ini (IPB 1990, diacu
dalam Yusran 2005). Lebih lanjut Suhardjito (2000) mengemukakan bahwa hutan
rakyat di Indonesia khususnya di pulau Jawa, telah dibangun dalam skala yang
besar sejak zaman kolonial belanda baik melalui swadaya masyarakat maupun
melalui Program Bantuan Penghijauan. Produksi hutan rakyat tersebut selama ini
telah berperan secara nyata dalam pemenuhan berbagai kebutuhan kayu; mulai
dari kayu bakar, bahan untuk kelengkapan sarana upacara-upacara keagamaan /
adat dan bahan bangunan. Produksi kayu dari hutan rakyat ini semakin menjadi
andalan dalam upaya pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat, sejalan dengan
semakin menurunnya produksi kayu rimba dari hutan alam. Untuk pulau Jawa
budidaya hutan rakyat dengan hasil utama kayu berkembang karena adanya pasar
(termasuk yang mengatur perilaku efisiensi maupun gengsi) : untuk peralatan
rumah tangga, peti kemas, pulp, dan lain-lain penggunaan
Hutan rakyat menurut UU No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan disebutkan sebagai hutan milik yaitu hutan yang tumbuh atau
ditanam di atas tanah milik, yang lazimnya disebut hutan rakyat dan dapat dimiliki
oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain atau badan hukum.
Hutan yang ditanam atas usaha sendiri di atas tanah yang dibebani hak lainnya,
merupakan pula hutan milik dari orang/badan hukum yang bersangkutan.
Sedangkan menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pengganti UU
No. 5 Tahun 1967) pasal 5 ayat 1(b) istilah hutan milik diganti dengan istilah
hutan hak yang dalam bab penjelasannya disebut hutan rakyat. Menurut
yang tidak berada di atas lahan yang dikuasai oleh pemerintah, jadi hutan rakyat
merupakan hutan yang dimiliki oleh rakyat.
Menurut IPB (1990), diacu dalam Yusran (2005) hutan rakyat dibedakan
menjadi 2 jenis yaitu :
1. Hutan rakyat tradisional, yaitu hutan rakyat yang ditanam diatas tanah milik
dan atas inisiatif pemiliknya sendiri tanpa adanya subsidi atau bantuan dari
pemerintah.
2. Hutan rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui kegiatan atau
program bantuan penghijauan.
Lebih lanjut Hayono (1996) mengemukakan bahwa berdasarkan jenis dan
pola penanamannya hutan rakyat dapat digolongkan kedalam tiga bentuk yaitu :
1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman
pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur.
2. Hutan rakyat campuran yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis
pohon-pohonan yang ditanam secara campuran
3. Hutan rakyat sistem agroforestri atau tumpangsari, yaitu hutan rakyat yang
mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan usaha tani
lainnya, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain secara terpadu
pada satu lokasi.
Perkembangan Hutan Pinus Rakyat di Tana Toraja
Kehidupan masyarakat Toraja sejak dahulu diatur dalam sejumlah norma
atau aturan. Aturan-aturan tersebut antara lain adalah mana’ yang merupakan
suatu sistem yang mengatur kepemilikan harta warisan. Dalam konsep masyarakat
Toraja mana’ merupakan harta benda yang diwariskan dan sering dianggap sakral
dan perlu disimpan dan dipelihara dengan baik. Prinsip yang sama juga berlaku
untuk mana’ dalam bentuk sawah atau lahan dan hutan yang menjadi
tanggungjawab tongkonan (rumah adat) yang bersangkutan, dimana tongkonan
adalah merupakan pusat pemerintahan dalam masyarakat adat Toraja. Dalam
Sistem mana’ di Toraja sebidang tanah dapat diwariskan kepada anak cucu yang
bisanya dibagikan sesudah berpartisipasi dalam upacara tertentu. Selain warisan
yang dibagikan ada juga tanah atau lahan yang tidak dibagikan tetapi tetap
adat yang selain sebagai sumber kayu untuk bahan bangunan juga merupakan
sumber bahan obat-obatan bagi anggota tongkonan. Menurut Unhas (2001), tanah
berupa mana’ oleh masyarakat Toraja banyak ditanami jenis bambu, kasuarina
dan uru yang banyak digunakan dalam membangun rumah tongkonan dan untuk
membuat pondok pada upacara adat. Mana’ inilah yang digunakan sebagai dasar
dalam pemilikan lahan yang ada saat ini di Kabupaten Tana Toraja.
Sejak dikeluarkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, hutan berdasarkan status kepemilikannya diklasifikasikan
menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan negara diartikan sebagai hutan yang
tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik adalah
hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah milik, yang lazimnya disebut hutan
rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama orang
lain atau badan hukum. Hutan yang ditanam atas usaha sendiri di atas tanah yang
dibebani hak lainnya, merupakan pula hutan milik dari orang/badan hukum yang
bersangkutan. Sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1967 inilah maka lahan
yang merupakan milik tongkonan dan milik pribadi hasil warisan di Kabupaten
Tana Toraja dikenal dengan nama Hutan Rakyat.
Yusran (2005) mengemukakan bahwa Tana Toraja merupakan satu-satunya
Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki hutan rakyat berupa
tanaman pinus. Ini diketahui dari hasil inventarisasi hutan rakyat yang dilakukan
oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1996/1997.
Berdasarkan hasil inventarisasi ini diketahui bahwa komoditi hutan rakyat yang
ada di Tana Toraja adalah jenis pinus, kasuarina, bambu, uru dan suren.
Pembangunan hutan-hutan bambu dan hutan kebun campuran ini kecuali tanaman
pinus telah dilakukan oleh masyarakat Tana Toraja jauh sebelum Program
Penghijauan dicanangkan oleh Pemerintah, dan keberadaannya tidak bisa
dipisahkan dari sejarah keberadaan masyarakat Toraja. Hutan-hutan ini telah
menjadi pemasok berbagai kebutuhan kayu setempat, termasuk untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan rumah adat, yang bahannya 100% terdiri dari kayu dan
bambu (Malamassam 2005).
Khusus untuk tanaman pinus Paembonan dan Malamassam (2000)
1960-an. Lebih lanjut Malamassam (2005) mengemukakan bahwa pinus mulai di
tanam di Tana Toraja dalam skala yang besar sejak tahun 1976 baik melalui
swadaya masyarakat maupun melalui program bantuan penghijauan. Dalam
rangka pemanfaatan tanaman pinus di Kabupaten Tana Toraja ini, Gubernur
Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 1994 telah mengeluarkan suatu Surat
Keputusan No. 71/II/1994 tertanggal 12 Oktober 1994 tentang petunjuk Teknis
Kegiatan Pemeliharaan Kayu dan Resin hasil Hutan Pinus Rakyat di Kabupaten
Tana Toraja. Kegiatan pemeliharaan yang dimaksudkan adalah penjarangan dan
penyadapan, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana
penjarangan dan penyadapan dilakukan.
Khusus di Kabupaten Tana Toraja, berdasarkan catatan Dinas Kehutanan
Kabupaten Tana Toraja, pada tahun 2005, terdapat areal hutan rakyat seluas
77.154,22 ha, yang terdiri atas hutan bambu murni dan hutan bambu campuran
masing-masing seluas 5.897,15 ha dan 10.890,40 ha, hutan kebun campuran
seluas 47.154,22 ha dan hutan pinus murni seluas 12.510,40 ha dengan rincian
luasan dan lokasi disajikan pada Tabel 1 (Pemerintah Kabupaten Tana Toraja
2006).
Tabel 1. Penyebaran dan luas hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja
Luas Hutan Rakyat (ha)
No. Kecamatan
1. Mengkendek 143,00 246,75 2.702,55 4.630,50 7.722,80 2. Sangalla 1.059,50 380,00 1.595,00 1.485,00 4.519,50 3. Makale 662,50 1.156,10 26,25 745,00 2.589,85 4. Buntao’ Rantebua 507,50 35,60 1.216,00 658,00 2.417,10 5. Tondon Naggala 104,75 369,55 142,55 856,00 1.472,85 6. Sanggalangi 515,00 1.535,00 141,00 1.247,00 3.438,00 7. Rantepao 85,00 218,60 8,75 272,77 585,12 8. Rantetayo 714,00 811,50 1.617,50 5.667,50 8.810,50 9. Saluputti 744,40 3.863,55 321,80 11.151,00 16.080,75 10. Bittuang 81,00 58,50 418,00 10.110,00 10.667,50 11. Rindingallo 337,00 456,50 2.010,00 3.851,00 6.654,50 12. Sa’dan Balusu 829,00 1.358,00 169,00 2.023,00 4.379,00 13. Sesean 48,00 238,50 105,00 589,50 981,00 14. Bonggakaradeng 14,50 66,25 973,00 1.560,00 2.613,75 15. Simbuang 52,00 96,00 1.064,00 3.010,00 4.222,00
Jumlah 5.897,15 10.890,40 12.510,40 47.856,27 77.154,22
Dinas Kehutanan Kabupaten Tana Toraja Tahun 2006 menyatakan bahwa
tanaman pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja mempunyai potensi sekitar
1.702.366,17 m3 dengan diameter rata-rata sebesar 29 cm. Selain potensi kayu ini
berdasarkan penelitian Paembonan dan Malamassam (2000) dikemukakan bahwa
pinus dapat dimanfaatkan getahnya dengan nilai produksi sekitar 10 g per pohon
per hari dengan nilai jual sekitar Rp. 2.500 per kg. Apabila nilai ini dikonversi ke
tahun 2005 maka harga jual getahnya sekitar 3.500 per kg. Khusus untuk hutan
pinus rakyat di Tana Toraja sampai saat ini belum dilakukan penyadapan getahnya
sehingga nilai ekonomi tegakan pinus tersebut masih dianggap rendah
(Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, 2006)
Menurut Malamassam (2005), pemanfaatan tanaman pinus di Tana Toraja
antara lain didorong oleh dua hal sebagai berikut :
1. Semakin terbatasnya bahan baku kayu dari hutan alam pada satu pihak, dan
adanya kemajuan di bidang teknologi kayu yang dapat meningkatkan nilai
ekonomi dan nilai guna dari kayu-kayu lunak (termasuk pinus), dilain pihak
hal ini telah menyebabkan para pengelola indusri perkayuan melirik
kayu-kayu dari hutan tanaman, termasuk tanaman pinus yang ada di Tana Toraja,
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya.
2. Hal yang dimaksudkan di atas merupakan peluang bagi masyarakat pemilik
hutan rakyat, khususnya hutan pinus. Hutan pinus yang selama ini dianggap
tidak dapat memberikan manfaat ekonomi yang cukup bermakna kepada
pemiliknya, berubah menjadi sumber dana untuk memenuhi berbagai
kepentingan.
Pemanfaatan hutan pinus di Kabupaten Tana Toraja tersebut di atas, baru
mulai dicanangkan beberapa tahun terakhir, oleh masyarakat dan Pemerintah
Kabupaten Tana Toraja. Selama puluhan tahun tanaman ini dianggap bernilai
ekonomi rendah, namun peruntukannya bagi kepentingan hidro-orologis harus
tetap dipertahankan karena tanaman tersebut tumbuh dan berada pada lahan-lahan
yang tergolong kedalam kawasan lindung dan kawasan penyangga.
Perubahan nilai dan pemahaman tentang tanaman pinus tersebut di atas, jika
tidak dikelola dengan baik, potensial akan menyebabkan ludesnya tanaman pinus
terkait dengan pemanfaatan tanaman pinus cenderung akan mengejar kepentingan
jangka pendek. Mereka cenderung tidak lagi mau memikirkan bahwa kondisi
hutan tanaman pinus yang ada saat ini tercipta melalui proses adaptabilitas selama
puluhan tahun (Malamassam 2005). Dalam rangka pengelolaan hutan rakyat dan
pemanfaatan kayu pinus hasil tanaman rakyat di Tana Toraja, Pemerintah
Kabupaten pada Tahun 2002 telah memberi izin kepada beberapa perusahaan
seperti yang disajikan pada Tabel 2, untuk mengelola hasil hutan pinus rakyat
dengan sejumlah pembatasan dan persyaratan baik dari segi jumlah potensi yang
harus dibeli maupun sumber atau asal kayu pinus dimana kayu yang dibeli harus
yang hanya berasal dari hutan rakyat saja.
Tabel 2. Perkembangan pemanfaatan hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana Toraja
Perusahaan Pengelola Izin Pengelolaan Luas
(ha)
Volume (m3)
PT. N e l l y Jaya Pratama SK Bupati : No.481/IV/2002 250,0 17.425
PT. I r m a Sulindo SK Bupati : No.1526/XI/2002 83,4 7.214
PT. Global Forestindo SK Bupati : No.436/ IV/2003 265,0 30.062
PT. N e l l y Jaya Pratama SK Bupati : No. 466/IV/2004 135,2 14.534
Jumlah 733,6 69.235
Sumber : Pemerintah Kabupaten Tana Toraja tahun 2006.
Menurut Pemerintah Kabupaten Tana Toraja (2006), pemberian izin ini oleh
sejumlah pihak, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerhati
Lingkungan, masih disangsikan dalam hal kesanggupan dan kesungguhan
perusahaan pemegang izin untuk memenuhi pembatasan dan persyaratan tersebut.
Mereka menyatakan keyakinannya bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanaman
pinus tersebut akan menimbulkan dampak negatif yang nilainya mungkin lebih
besar dari manfaat finansial yang diperoleh dari usaha pemanfaatan termaksud,
sehingga mereka menuntut agar usaha pemanfaatan tersebut dihentikan. Bertolak
dari tuntutan ini pulalah maka pemerintah kabupaten telah menghentikan kegiatan
penebangan tanaman pinus pada awal tahun 2005.
Tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Tana Toraja kembali mengizinkan
pemanfaatan kayu pinus rakyat dan menawarkan bagi para investor yang berminat
untuk menanamkan modalnya dalam pengelolaan hutan pinus rakyat di Toraja
untuk membantu rakyat agar dapat menjual kayunya dengan mudah dan dapat
melakukan penebangan, dimana kayu pinus yang dimiliki rakyat masih dianggap
cukup banyak yaitu sekitar 12.510 ha dengan taksiran potensi sekitar 1.679.711,89
m3 (Pemerintah Kabupaten Tana Toraja 2006).
Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Rakyat
Berdasarkan definisi di dalam Undang-undang Pokok Kehutanan yang
berbunyi Hutan Rakyat ialah hutan yang dibebani oleh tanah milik baik secara
perorangan maupun secara bersama atau secara berkelompok (adat). Pengelolaan
Hutan Rakyat harus dilakukan dengan cara tersendiri dan berbeda dengan
Pengelolaan Hutan Alam (Hutan Produksi) dan Hutan Tanaman, karena Hutan
Rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan Hutan Produksi dan Hutan
Tanaman. Menurut Malamassam (2005), karakteristik Hutan Rakyat antara lain
adalah sebagai berikut : luas kepemilikan tidak merata, pola kepemilikan
beragam, penyebaran areal tidak terkompleks, kelas umur tanaman tidak teratur
dan pemilik suatu hamparan lahan hutan rakyat dapat berjumlah banyak. Lebih
lanjut Andayani (2003) mengemukakan bahwa pada umumnya kendala yang
dihadapi produsen dalam mengelola usaha perhutanan rakyat adalah teknologi,
modal usaha, manajemen usaha tani, skil, kondisi fisik lahan usaha khususnya
pada unit bisnis hutan rakyat, pemasaran, dan kebijakan pemerintah (instansi
terkait). Kendala yang dihadapi masing-masing produsen sangat bervariasi antara
satu dengan lainnya.
Agar semua hutan memenuhi fungsinya dengan baik, maka hutan rakyat
perlu diatur pengurusan dan pengusahaannya oleh negara meskipun pelaksanaan
pengurusan dan pengusahaannya dilakukan sendiri oleh pemiliknya. Oleh sebab
itu sudah sewajarnya pengurusan hutan rakyat dilakukan sendiri oleh pemiliknya
dengan bimbingan dan atas pengawasan dari pemerintah (Rahmawaty 2004).
Dalam rangka pengembangan hutan rakyat, dikenal tiga pola hutan rakyat, yaitu :
1. Pola Swadaya; hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau pereorangan
dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu
sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk
melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan
2. Pola subsidi; (model hutan rakyat); hutan rakyat yang dibangun melalui
subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya.
Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan,
Padat Karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli
terhadap pembangunan hutan rakyat.
3. Pola kemitraan; (Kredit usaha hutan rakyat); hutan rakyat dibangun atas
kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan
berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan
kerjasama itu adalah pihak perusahaan perlu bahan baku dan masyarakat
butuh bantuan modal kerja. Pola kemitraan ini dilakukan dengan memberikan
bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil
usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat.
Sedangkan pengembangan hutan rakyat dapat dilakukan dengan beberapa
strategi, yaitu :
1. Menginventarisir hutan rakyat yang telah ada untuk mengetahui sebaran hutan
rakyat baik letak, luasan, jenis dan perkiraan potensi yang terkandung
didalamnya dalam rangka perwilayahan jenis dan pengembangan selanjutnya.
2. Menginventarisir sasaran pengembangan lokasi hutan rakyat baik lahan kritis
yang terlantar, lahan kritis karena solum yang tipis, maupun lahan miring
lainnya yang membahayakan lingkungan.
3. Percontohan pengelolaan hutan rakyat menurut berbagai kondisi hutan rakyat
yang ada sekarang menuju pengelolaan hutan rakyat yang produktif, lestari
dan aman terhadap lingkungan
4. Penyiapan sarana perangkat lunak baik yang menyangkut produk hukum,
pedoman, petunjuk pelaksanaa dan petunjuk teknis dalam pelaksanan ditingkat
daerah maupun bimbingan dari pusat.
5. Meningkatkan hasil penelitian dan pengembangan hutan rakyat dalam bentuk
metode, teknologi dan teknik pelaksanaan yang tepat bagi pengembangan
hutan rakyat
7. Menggerakkan dan membangkitkan partisipasi masyarakat dan pengembangan
serta pengelolaan hutan rakyat melalui pembentukan kelompok tani yang
dinamis
8. Penyuluhan kepada masyarakat baik melalui tokoh masyarakat, tokoh agama,
kelompok tani, organisasi pemuda dan pelaku kegiatan hutan rakyat lainnya
dalam rangka membentuk jaringan pembinaan.
9. Menyamakan persepsi pengelolaan hutan rakyat para pejabat daerah terkait
dalam rangka ikut serta menggalakkan partisipasi masyarakat.
10.Mendorong terciptanya pasaran hasil hutan rakyat sehingga terjadi kemudahan
bagi masyarakat dan kestabilan dalam pelaksanaanya.
11.Memberikan insentif permodalan dengan bunga ringan melalui kredit usaha
hutan rakyat (KUHR) untuk membangun unit usaha hutan rakyat.
Penyebaran dan Potensi Pinus (Pinus merkusii) di Indonesia
Pinus dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, berpasir dan berbatu
tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah becek. Jenis ini menghendaki
iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A – C pada ketinggian
200 – 1.700 m dari permukaan laut, kadang-kadang tumbuh di bawah 200 m
mendekati daerah pantai seperti di Aceh Utara (Departemen Kehutanan 1989).
Menurut Siregar (2005), Pinus merkusii atau tusam merupakan satu-satunya jenis
pinus asli Indonesia. Dikemukakan pula bahwa Pinus merkuisii yang ditanam di
Indonesia benihnya berasal dari Aceh atau asal mulanya dari Blankejeren,
sedangkan asal Tapanuli dan Kerinci belum dikembangkan. Di daerah Sumatera,
tegakan pinus alam dapat dibagi ke dalam tiga strain yaitu :
1. Strain Aceh, penyebarannya dari pegunungan Selawah Agam sampai sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Dari sini menyebar ke selatan mengikuti
pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar,
Uwak, Blangkejeren sampai ke Kotacane. Di daerah ini tegakan pinus pada
umumnya terdapat pada ketinggian 800 – 2.000 meter dari permukaan laut.
2. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke selatan Danau Toba. Tegakan pinus alami umumnya terdapat di pegunungan Dolok Tusam dan
daun lebar. Di daerah ini tegakan pinus terdapat pada ketinggian 1.000 – 1.500
meter dari permukaan laut.
3. Strain Kerinci, menyebar di sekitar pegunungan kerinci. Tegakan pinus alami yang luas terdapat antara Bukit Tapan dan Sungai Penuh. Di daerah ini
tegakan pinus tumbuh secara alami umumnya pada ketinggian 1.500 – 2.000
meter dari permukaan laut.
Menurut Departemen Kehutanan (2003), di Indonesia pada tahun 2003
tercatat sekitar 156,0 ribu rumah tangga yang menguasai tanaman pinus dengan
populasi pohon yang dikuasai mencapai 5,82 juta pohon atau rata-rata penguasaan
per rumah tangganya sebesar 37,33 pohon. Dari total 5,82 juta pohon pinus,
sekitar 2,72 juta pohon atau 46,63% diantaranya adalah merupakan tanaman
pinus yang siap tebang. Seperti halnya tanaman akasia, bambu, jati dan mahoni,
tanaman pinus juga lebih banyak di tanam di Jawa yaitu mencapai 3,52 juta
pohon atau sekitar 60,46% dari total populasi pohon di Indonesia, sedangkan
sisanya sekitar 2,30 juta pohon (39,54%) berada di luar Jawa. Tanaman pinus di
Jawa terkonsentrasi di tiga provinsi yaitu: Jawa Timur (21,05%), Jawa Tengah
(19,53%) dan Jawa Barat (18,63%), sementara di luar Jawa terbanyak di dua
provinsi yaitu di Sumatera Utara (20,07%) dan Sulawesi Selatan (16,92%).
Meskipun persentase jumlah rumah tangga yang menguasai tanaman pinus di
Jawa jauh lebih besar dibanding di luar Jawa yaitu mencapai 71,44% dari total
Indonesia, tetapi rata-rata penguasaan tanaman per rumah tangga di Jawa hanya
sekitar 31,59 pohon dan lebih rendah dibanding dengan rata-rata penguasaan per
rumah tangga di luar Jawa yang mencapai 51,69 pohon. Demikian juga dengan
kondisi tanaman, di Jawa persentase tanaman pinus yang siap tebang terhadap
total jumlah pohon seluruhnya hanya 38,90% sedangkan di luar Jawa mencapai
58,44%.
Lebih lanjut Departemen Kehutanan (2003) mengemukakan bahwa rumah
tangga pertanian tanaman pinus di Indonesia pada tahun 2003 tercatat sebanyak
59,33 ribu dengan populasi pohon yang diusahakan sebanyak 3,94 juta. Dari
59,33 ribu rumah tangga pertanian pinus, sekitar 66,32% (39,35 ribu) rumah
tangga berdomisili di Jawa, sedangkan sisanya sekitar 19,98 ribu di luar Jawa.
juta pohon diantaranya merupakan tanaman yang siap tebang. Di Jawa populasi
pohon yang diusahakan mencapai 2,08 juta dengan kondisi tanaman yang siap
tebang sebanyak 1,15 juta pohon, sementara di luar Jawa populasi pohon yang
diusahakan hanya sekitar 1,86 juta dimana sekitar 1,16 juta pohon adalah
tanaman yang siap tebang.
Otonomi Daerah
Otonomi daerah pada dasarnya diharapkan dapat menjadi jalan keluar atau
jawaban terhadap berbagai krisis multidimensi yang selama ini mendera
masyarakat dan bangsa Indonesia sebagai akibat dari sistem pemerintahan
sentralistik, yang pelaksanaannya sarat dengan ketidakadilan meskipun
kandungan keadilan dalam konsepsinya dapat terbaca dalam hampir setiap
rumusan kebijaksanaannya. Melalui kebijaksanaan pemerintah daerah,
persoalan-persoalan terrsebut diharapkan dapat diatasi dengan baik.
Pada bidang pembangunan kehutanan, karasteristik kebijakan kehutanan
akan bersifat khas setempat (local specific) dengan mengakomodasikan aspirasi
arus bawah (bottom-up). Kompleksitas persoalan kehutanan klasik yang selama
ini tidak mampu ditangani oleh pemerintah pusat (seperti konflik kawasan hutan,
penebangan liar, penyelundupan kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan dan
lain-lain) diyakini akan dapat diselesaikan melalui kebijakan otonomi daerah.
Selain itu, otonomi pengelolaan sumberdaya hutan juga diyakini akan
mewujudkan suatu bentuk keadilan ekonomi hutan, khususnya melalui retribusi
hasil hutan. Pemerintah daerah dan masyarakatnya diproyeksikan memperoleh
berbagai manfaat sumberdaya hutan secara lebih proporsional dan signifikan
(Sudradjad 2002).
Pemberlakuan otonomi daerah dalam kenyataannya telah membawa
perubahan pada pengelolaan hutan di Indonesia. Namun perubahan yang
dimaksud justru tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Undang-Undang yang
menjadi landasan otonomi daerah (UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999) serta
tidak selaras dengan Undang-Undang tentang Kehutanan (UU No. 41/1999).
Laporan-laporan dari berbagai pihak mengindikasikan bahwa laju kerusakan
hutan di era otonomi daerah ini semakin tinggi oleh karena aktivitas ekploitasi
Selanjutnya Sudradjad (2002) mengemukakan bahwa paling tidak terdapat
21 isu strategis yang menjadi wacana “para pemain otonomi”. Ke-21 isu tersebut
dapat digolongkan kedalam tujuh aspek, yakni (a). aspek peraturan
perundang-undangan, (b). aspek kelembagaan, (c). Aspek SDM, (d). Aspek komunikasi, (e).
Aspek persepsi, (f). Aspek ekonomi, serta (g). Aspek politis dan potensi komplik.
Pembangunan kehutanan dan khususnya pembangunan hutan rakyat sebagai
bagian integral dari pembangunan daerah dan bahkan pembangunan nasional
tentunya tidak bebas dari isu-isu tersebut. Hal ini bermakna bahwa penyusunan
strategi pengembangan hutan rakyat ke depan perlu memperhatikan dan
mempertimbangankan isu-isu dan ketujuh aspek termaksud.
Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan salah satu alat formulasi strategi dengan cara
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi
suatu perusahaan. Hasil analisis SWOT biasanya digunakan dalam pengambilan
keputusan, dan selama ini banyak digunakan oleh perusahaan. SWOT adalah
singkatan dari lingkungan internal strength (kekuatan) dan weakness (kelemahan)
serta lingkungan eksternal peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Analisis
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang. Namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Menurut Pearce
II dan Robinson (1991), diacu dalam Wijayanto (2001), kekuatan adalah
sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan
kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan merupakan keterbatasan dalam
sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi
kinerja suatu perusahaan. Peluang merupakan situasi yang menguntungkan
perusahaan, berbagai kecenderungan adalah salah satu peluang seperti
peraturan-peraturan, dan perubahan teknologi. Sedangkan ancaman adalah situasi yang tidak
menguntungkan, rintangan perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan
teknologi dan peraturan baru atau perubahan yang direvisi.
Analisis SWOT menurut Rangkuti (2005) adalah identifikasi berbagai faktor
secara sistematik untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika
yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities),
ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian
perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis
(kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal
ini disebut dengan Analisis Situasi dimana model yang paling populer untuk
analisis situasi adalah Analisis SWOT. Proses pengambilan keputusan strategis
pada analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 2.
EVALUASI :
Gambar 2. Proses pengambilan keputusan strategis (Sumber Rangkuti 2005)
Menurut Rangkuti (2005), kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh
kombinasi faktor internal dan eksternal. Untuk dapat membandingkan antara
perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan
perbandingan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram
tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan
ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai S (kekuatan) –
W (kelemahan) pada sumbu (x), dan menempatkan selisih nilai antara O (peluang)
– T (ancaman) pada (y), maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel dari
diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan
menemukan arah strategi yang akan ditempuh oleh suatu bentuk usaha seperti
hutan rakyat. Diagram tersebut disajikan pada Gambar 3.
BERBAGAI PELUANG
Gambar 3. Diagram SWOT (Sumber Rangkuti 2005)
Posisis di kuadran 1 (support on agresive strategy) adalah situasi yang paling
menguntungkan, dimana sistem pengelolaan mempunyai peluang dan kekuatan.
Jika sistem berada pada kuadran 2 (support diversivication strategy), berarti
system menghadapi ancaman akan tetapi masih memiliki kekuatan dari segi
internal, jika sistem berada pada kuadran 3 (support a turnaround oriented
stretegy), berarti system tersebut mempunyai peluang yang besar tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan, dan apabila system berada pada
kuadran 4 berarti sistem menghadapi situasi yang paling tidak menguntungkan
diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda dari suatu unit usaha, sehingga
diperlukan strategi yang berbeda pula dalam penanganannya.
Selain dengan menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2005)
mengemukakan bahwa alat yang dapat dipakai untuk menyusun faktor-faktor
perusahaan adalah matrik SWOT dengan meggunakan data yang diperoleh dari
Tabel IFAS (internal strategic factors analysis summary) dan EFAS (external
strategic factors analysis summary). Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Keunggulan
matrik SWOT adalah dapat mempermudah dalam memformulasikan strategi
berdasarkan gabungan antara faktor internal dan eksternal.
Berdasarkan uraian analisis SWOT di atas dapat diketahui bahwa analisis ini
memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi peubah-peubah internal dan
eksternal yang berpengaruh terhadap sistem pengelolaan hutan rakyat secara
lengkap. Kemudian dengan menggunakan diagram SWOT dan Matrik SWOT,
akan dapat dirumuskan bentuk strategi dan pengembangan sistem pengelolaan
hutan rakyat.
Menurut Hardjanto (2003), faktor strategi internal dan eksternal sistem
usaha kayu rakyat di Pulau Jawa yang telah disepakati oleh para pakar adalah
sebagai berikut :
1. Strategi Internal :
a. Kekuatan berupa kebiasaan masyarakat secara turun temurun, jaminan
tabungan bagi ekonomi rumah tangga, kesesuaian tempat tumbuh, salah
satu sumber penghasilan yang mudah diperoleh, fungsi tata air, tidak
memerlukan budidaya intensif, tata niaga kayu rakyat relatif telah
berkembang dan mapan, mobilisasi penduduk dan dinamika sosial
ekonomi, hasil kayu rakyat juga dibutuhkan sendiri oleh pemiliknya dan
input modal relatif rendah.
b. Kelemahan berupa pemilikan lahan sempit, kelembagaan masyarakat
relatif lemah, teknologi pemanenan dan pasca panen relatif sederhana,
keterbatasan modal dan aksesnya, teknologi pembibitan terbatas, tingkat
ketergantungan yang besar terhadap pedagang/tengkulak kayu, belum
adanya rencana yang bersifat strategis dan kelangkaan pemimpin petani
yang berkualitas.
2. Strategi Eksternal :
a. Peluang berupa infrastruktur jalan desa relatif baik, industri kayu tumbuh
dengan cepat, permintaan pasar terus bertambah, adanya perhatian dari
pemerintah, adanya lahan-lahan terlantar karena tidak diurus oleh
pemiliknya, tidak ada peraturan yang membebani petani dan adanya
subsidi dari pemerintah.
b. Ancaman berupa besarnya permintaan kayu, ketergantungan kepada
tengkulak/pedagang, pertambahan tenaga kerja, ketidakpastian
pemanfaatan lahan terlantar, semakin berkembangnya sistem ijon, adanya
hama dan penyakit tanaman, keterbatasan lahan untuk pengembangan,
semakin menurunnya nilai tukar kayu terhadap bahan pangan pokok
(beras) dan konsentrasi pemilikan hutan rakyat yang cukup besar oleh
pemodal.
Lebih lanjut Yusran (2005) mengemukakan bahwa variabel kekuatan dan
ancaman harus menjadi perhatian utama yang harus ditangani agar sistem
pengelolaan hutan kemiri rakyat dapat dipertahankan. Strategi yang harus
diterapkan adalah ST (strengths – threat) yaitu strategi yang menggunakan
kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman dengan melakukan diversifikasi
(produk dan pasar), dengan pilihan strategi melawan ancaman atau merubah
ancaman menjadi peluang. Strategi ST yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut :
1. Menjamin kepastian penguasaan lahan dengan mengakui hak kelola
masyarakat. Strategi ini merupakan upaya untuk mengatasi ketidakpastian
status lahan yang merupakan ancaman utama sistem pengelolaan hutan kemiri,
dengan memanfaatkan kebijakan pemerintah dan dukungan berbagai pihak
dalam sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.
2. Mengembangkan pola agroforestri untuk meningkatkan produktifitas lahan
untuk meningkatkan nilai lahan sekaligus menjamin kelestarian ekologis yang
dapat mengatasi ancaman konversi lahan dan tekanan penduduk.
3. Memperkuat kelembagaan dan kapasitas petani dalam sistem pemasaran.
Strategi ini merupakan upaya untuk memperkuat posisi petani dalam sistem
pemasaran. Strategi ini diperlukan karena faktor harga dan pasar merupakan
ancaman, sementara disisi lain potensi pasar dan mitra usaha masih sangat
terbuka.
Proses Hirarki Analisis (Analytical Hierarchy Process = AHP)
Hirarki adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi hirarki antar
komponen dan juga dampak-dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat
dipelajari. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, semuanya
tersusun ke bawah dari suatu puncak (tujuan akhir), turun ke sub tujuan (sub
objectives), kemudian faktor-faktor pendorong (forces) yang mempengaruhi
sub-sub tujuan itu, alau pelaku (actors) yang memberikan dorongan, turun ke
tujuan-tujuan pelaku/actor dan kemudian kebijakan-kebijakannya, lebih lanjut turun ke
strategi-strateginya dan akhirnya hasil dari strategi ini. Dengan kata lain hirarki
adalah suatu system dengan tingkat-tingkat terstratifikasi, masing-masing terdiri
dari banyak elemen atau faktor (IPB 1997).
Proses hirarki analisis (AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari
Wharton School of Business pada tahun 1970-an untuk mengorganisir informasi
dan judgment dalam memilih alternatif yang paling disukai. Dengan
menggunakan AHP kita dapat memandang suatu masalah yang akan dipecahkan
dalam suatu kerangka berfikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan untuk
mengambil keputusan yang efektif atas masalah tersebut. Masalah yang kompleks
dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya (Marimin
2004). Selanjutnya dikemukakan bahwa prinsip kerja AHP adalah
menyederhanakan suatu masalah kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan
dinamik menjadi bagian-bagiannya serta menata dalam suatu hirarki. Kemudian
tingkat kepentingan kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara
subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan
sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan
untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.
AHP dapat memecahkan masalah yang kompleks dimana aspek atau kriteria
yang diambil cukup banyak. Selain itu AHP mempunyai kemampuan untuk
memecahkan masalah yang multiobjektif dan multikriteria yang berdasar pada
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif. AHP
memilik banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan
karena dapat digambarkan secara grafis sehingga mudah dipahami oleh semua
pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan (Marimin 2004). Kekuatan
AHP juga terletak pada pendekatannya yang bersifat olistik yang menggunakan
logika, pertimbangan berdasarkan intuisi, data kuantitatif dan preferensi kualitatif.
Sedangkan prinsip yang mendasari AHP adalah prinsip menyusun hirarki, prinsip
menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi logis (Saaty 1993).
Ide dasar prinsip kerja AHP adalah sebagai berikut : (1) Penyusunan hirarki
masalah yang akan diselesaikan dan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu
kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hirarki; (2) Penentuan
prioritas setiap kriteria dan alternatif yang dilakukan dengan perbandingan
berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian
diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif; (3) Konsistensi
logis, semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara
konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Lebih lanjut Saaty (1993)
mengemukakan langkah-langka dalam pelaksanaan AHP adalah sebagai berikut :
1. Definisikan persoalan dan rinci pemecahan yang diinginkan
2. Buat struktur hierarki dari sudut pandang menyeluruh (dari tingkat-tingkat
puncak sampai ke tingkat dimana dimungkinkan campur tangan untuk
memecahkan persoalan itu)
3. Buat matriks banding berpasangan untuk kontribusi atau pengaruh setiap
elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada
4. Dapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan
perangkat matriks di langkah 3.
5. Setelah mengumpulkan semua data lakukan perbandingan berpasangan dan
masukkan nilai-nilai kebalikannya beserta entri bilangan 1 sepanjang diagonal
diagonal utama, prioritas dicari dan konsistensi diuji.
6. Lakukan langkah 3,4 dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki
tersebut.
7. Gunakan komposisi secara hierarkis (sintesis) untuk membobotkan
vektor-vektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria, dan jumlahkan semua entri
prioritas terbobot yang bersangkutan yang bersangkutan dengan entri prioritas
dari tingkat bawah berikutnya, dan seterusnya.
8. Evaluasi konsistensi untuk seluruh hierarki dengan mengalikan setiap indeks
konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil
kalinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa penggunaan Analisis
Hirarki dapat menghasilkan keputusan yang efektif untuk pemecahan masalah
yang kompleks dalam kerangka pemikiran yang terorganisir. Menurut Purnomo
(2005), teknik AHP dapat membantu dalam membuat keputusan yang tidak
berbasis data intensif, karena banyak berdasarkan pada pengetahuan atau
kepakaran dari pihak-pihak yang terkait untuk memberikan preferensinya
terhadap alternatif-alternatif keputusan sehingga transparansi pengambilan
keputusan dapat dipelihara. Dengan demikian dapat diketahui bahawa AHP dapat
digunakan sebagai alat bantu dalam merumuskan strategi pengembangan dan
sistem pengelolaan pada hutan milik rakyat baik yang terdiri dari jenis yang
homogen maupun yang terdiri dari jenis campuran.
Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural (Interpretative Structural Modelling = ISM)
Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural (ISM) menurut Eriyatno (2003)
adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana
model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis