• Tidak ada hasil yang ditemukan

Film sebagai alat propaganda di Indonesia dari zaman kolonial hingga era orde baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Film sebagai alat propaganda di Indonesia dari zaman kolonial hingga era orde baru"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

FILM SEBAGAI ALAT PROPAGANDA DI INDONESIA:

DARI ZAMAN KOLONIAL HINGGA ERA ORDE BARU

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

CAROLINA ORIN NIM: 101314038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebagai ungkapan kasih, saya persembahkan makalah ini kepada:

1. Kedua orang tua tercinta Bapak Andreas Danu Wijaya dan Ibu Florentina, dan saudara saya Jodi Jaya Irawan yang selalu mendoakan dan memberi dukungan dalam segala hal.

(6)

MOTTO

Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang

(Amsal 23:18)

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam

masyarakat dan sejarah.

(Pramoedya Ananta Toer)

Semua orang bisa membuat sejarah, hanya orang hebat yang bisa menuliskannya.

(Oscar Wilde)

The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.

(7)
(8)
(9)

ABSTRAK

FILM SEBAGAI ALAT PROPAGANDA DI INDONESIA: DARI ZAMAN KOLONIAL HINGGA ERA ORDE BARU

Oleh: Carolina Orin

Universitas Sanata Dharma

2017

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis produksi film propaganda di Indonesia yang terjadi sejak zaman kolonial hingga era Orde Baru, serta memahami motif dan dampak dari diproduksinya film-film propaganda tersebut. Makalah ini disusun secara deskriptif analitis berdasarkan metode dan metodologi sejarah.

Hasil studi menunjukkan, pada zaman kolonial film propaganda dibuat untuk kepentingan pemerintah (mempertahankan kekuasaan), swasta (usaha dagang), dan gereja (pewartaan agama). Pada zaman Jepang, film propaganda digunakan oleh tentara pendudukan untuk memobilisasi rakyat pribumi berjuang bersama melalui organisasi-organisasi semi-militer. Film propaganda juga diproduksi pada masa revolusi (untuk mengembangkan nasionalisme dan patriotisme) maupun pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin (untuk memperjuangkan ideologi partai). Pada zaman Orde Baru, film propaganda dibuat untuk mempertahankan ideologi Pancasila, kampanye pembangunan (Repelita), dan kepentingan presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaan (melalui Golongan Karya) selama mungkin (terbukti mampu berkuasa hingga 32 tahun).

(10)

ABSTRACT

THE FILM AS A TOOL OF PROPAGANDA IN INDONESIA: SINCE THE COLONIAL ERA UNTIL THE NEW ORDER ERA

By: Carolina Orin Sanata Dharma University

2017

The aim of this paper is to describe and to analyze the production of propaganda film in Indonesia which happened since the colonial era until the New Order era, also to understand the motives and impacts of propaganda films production itself.

This paper is arranged by descriptive analysis based on methods and methodology of history.

The result of the study shows that in the colonial era propaganda film was made for the government interests (retaining the power), private (trading business), and the church (proclamation of religion). In Japan era, propaganda film was used by the army of occupation to control native people to fight together by way of semi-military organizations. The propaganda film was also produced in the revolution era (to develop nationalism and patriotism) as well as the liberal democracy era and guided democracy (to fight for the ideology of party). In the New Order era, propaganda film was made to maintain the ideology of Pancasila, development campaign (Repelita), and president Soeharto‟s interest to maintain the power (through Golongan Karya) as long as possible (proven that he was in charge for 32 years).

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya yang melimpah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Film Sebagai Alat Propaganda di Indonesia: dari Zaman Kolonial hingga Era Orde Baru”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Univesitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa peyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M,Si selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma.

3. Dra. Theresia Sumini, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.

4. Dr. Anton Haryono, M.Hum selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan makalah.

5. Dra. Theresia Sumini, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada penulis selama proses studi.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 3

D. Sistematika Penulisan ... 4

BAB II KEGIATAN FILM PROPAGANDA DI INDONESIA ... 6

A. Pengertian Propaganda ... 6

(14)

C. Film Propaganda era Pendudukan Jepang... 12

D. Film Propaganda era Pemerintahan Orde Lama ... 14

E. Film Propaganda era Pemerintahan Orde Baru ... 16

BAB III MOTIF PEMBUATAN FILM PROPAGANDA ... 19

A. Era Pemerintah Hindia Belanda ... 19

B. Era Pendudukan Jepang ... 23

C. Era Orde Lama ... 25

D. Era Orde Baru ... 28

BAB IV DAMPAK FILM SEBAGAI ALAT PROPAGANDA ... 34

A. Dampak Film Propaganda era Hindia-Belanda... 34

B. Dampak Film Propaganda era Pendudukan Jepang ... 39

C. Dampak Film Propaganda era Orde Lama ... 42

D. Dampak Film Propaganda era Orde Baru ... 45

BAB V KESIMPULAN ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak film ditemukan oleh Lumiere bersaudara, Cinematographe, 28 Desember 1895 di Perancis, beberapa bulan kemudian terus berkembang ke penjuru Eropa dan ke negara-negara di luar Eropa. Dalam perkembangannya film mulai dimanfaatkan untuk media hiburan, informasi, pendidikan dan lain-lain hingga lebih lanjut film digunakan untuk kepentingan propaganda.

Film propaganda digunakan untuk beragam jenis tujuan seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Politisi pemburu kekuasaan menempatkan media audio visual sebagai alat propaganda dan kampanye politik mereka.1

Sebuah film propaganda adalah film yang melibatkan beberapa bentuk propaganda. Film-film propaganda dapat dikemas dalam berbagai cara, tetapi yang paling sering adalah film gaya dokumenter atau skenario fiksi, yang diproduksi untuk meyakinkan pemirsanya pada sudut pandang tertentu atau mempengaruhi pendapat atau perilaku penonton, sering dengan menyajikan konten subyektif yang mungkin secara sengaja menyesatkan.2

Propaganda dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan “untuk

memproduksi dan menyebarkan pesan-pesan yang subur, sekali ditaburkan, akan

(16)

bertumbuh dalam budaya yang besar”,3

namun pada abad ke 20, sebuah propaganda “baru” muncul yang berkisar di seputar organisasi politik dan

kebutuhan mereka untuk mengkomunikasikan pesan yang akan menarik golongan yang relevan untuk mengakomodasikan agenda-agenda mereka”.4 Pertama kali dikembangkan oleh Lumiere bersaudara pada tahun 1896, media film menyediakan sarana unik untuk mengakses penonton dalam jumlah sekaligus besar. Film adalah media massa universal pertama yang secara bersamaan dapat mempengaruhi pemirsa sebagai individu dan anggota kerumunan, yang menyebabkan media ini dengan cepat menjadi alat bagi pemerintah dan organisasi non-pemerintah, untuk menyuarakan pesan ideologis yang diinginkan.5 Seperti Nancy Snow menyatakan dalam bukunya, information war: American Propaganda, Free Speech and Opinion control since 9-11, Propaganda “dimulai

di mana pemikiran kritis berakhir.”6 Film sebagai alat propaganda dimanfaatkan oleh berbagai bidang seperti para politisi, penguasa, pengusaha, lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat untuk kepentingan masing-masing. Motif pembuatan Film propaganda berbeda-beda untuk setiap zamannya, tergantung keadaan pada saat itu, dan untuk kepentingan apa yang akan dicapai. Jenis propaganda juga beragam, bisa untuk tujuan politik, tujuan sosial budaya, tujuan ekonomi, tujuan pertahanan dan keamanan.

3James Combs, Film Propaganda and American Politics, New York, Garland Publishing, 1994.hlm.32.

4 Idem, hlm. 32.

5 Richard Taylor, Film propaganda: Soviet Russia and Nazi Germany, London, Croom Helm Ltd, 1979, hlm 30-31.

(17)

Sasaran film propaganda adalah masyarakat atau kelompok yang banyak, yang bisa dipengaruhi secara besar dan menyeluruh. Dampak yang diharapkan oleh propagandis tentunya sesuai dengan keinginannya, sesuai dengan narasi yang disampaikan di dalam film tersebut.

Di Indonesia sendiri, film propaganda telah dimanfaatkan sejak era pemerintahan Hindia-Belanda, era pendudukan Jepang, era pemerintahan Orde Lama, hingga era pemerintahan Orde Baru.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini:

1. Apa saja kegiatan Film Propaganda yang pernah ada di Indonesia? 2. Apa motif Film Propaganda di Indonesia?

3. Apa dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan Film Propaganda di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah berjudul “Film Sebagai Alat Propaganda di Indonesia: Dari Zaman Kolonial

Hingga Era Orde Baru” adalah untuk:

a. Mengetahui kegiatan-kegiatan film propaganda yang pernah ada di Indonesia selama periode tersebut.

(18)

c. Mendiskripsikan dan menganalisis dampak yang ditimbulkan oleh adanya film propaganda tersebut di Indonesia selama periode tersebut

2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat bagi Universitas Sanata Dharma

Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma perguruan tinggi, khususnya bidang penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, makalah ini diharapkan dapat memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi pembaca dan pemerhati sejarah di lingkungan Universitas Sanata Dharma.

b. Bagi Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai sejarah Film Sebagai Alat Propaganda di Indonesia sejak era pemerintahan Hindia-Belanda, era pendudukan Jepang, era pemerintahan Orde Lama hingga era pemerintahan Orde Baru. Sebagai bahan pelengkap dalam pembelajaran sejarah.

c. Bagi Pembaca

(19)

D. Sistematika Penulisan

Makalah yang berjudul “Film Sebagai Alat Propaganda di Indonesia: Dari

Zaman Kolonial Hingga Era Orde Baru” memiliki sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, perumusan masalah tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II Uraian tentang kegiatan film propaganda di Indonesia sejak era pemerintahan Hindia-Belanda hingga era pemerintahan Orde Baru. Bab III Uraian dan analisa tentang motif pembuatan film propaganda yang

ada di Indonesia sejak era pemerintahan Hindia-Belanda hingga era pemerintahan Orde Baru.

Bab IV Uraian dan analisa tentang dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan propaganda di Indonesia sejak era pemerintahan Hindia-Belanda hingga era pemerintahan Orde Baru.

(20)

BAB II

KEGIATAN FILM PROPAGANDA DI INDONESIA

A. Pengertian Propaganda

Propaganda berasal dari bahasa Latin, yaitu Propagare yang berarti mengembangkan atau memekarkan. Kata itu muncul dari kata SACRA CONGREGATIO DE PROPAGANDA FIDE pada tahun 1622 ketika Paus Gregorius XV mendirikan organisasi yang bertujuan mengembangkan atau memekarkan agama Katholik Roma baik di Italia maupun di negara-negara lain.7

Propaganda merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang sering kali digunakan oleh individu ataupun kelompok sebagai media untuk menyebarluaskan suatu keyakinan atau doktrin. Propaganda menurut para ahli adalah sebagai berikut:

Carl I Hovlan, “mengatakan bahwa propaganda merupakan usaha untuk

merumuskan secara tegas asas-asas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap, sering kali propaganda dianggap sebagai suatu usaha dalam melakukan komunikasi yang bersifat persuasif, direncanakan untuk mempengaruhi pandangan dan tingkah laku individu-individu agar sesuai dengan keinginan dari propagandis. Sumber propaganda dan tujuan dapat bersifat, terang-terangan atau tersembunyi bagi audience, dan dapat pula disebut propaganda yang bersifat, terbuka atau tertutup. Selain itu ada juga yang disebut dengan counter

(21)

propaganda atau propaganda tandingan, atau yang kontra suatu propaganda dengan tujuan untuk menangkis”.

Menurut Encyclopedia International, propaganda adalah suatu etnis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa memperdulikan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan. Sedangkan menurut Encyclopedia Everyman’s, propaganda adalah suatu seni untuk menyebarkan dan meyakinkan suatu kepercayaan, khususnya suatu kepercayaan agama atau politik. Propaganda berusaha meyakinkan pendapat-pendapat tanpa perlu mengemukakan alasan-alasan. Dengan demikian propaganda suatu senjata yang potensial bila dipergunakan tanpa memikirkan atau mempertimbangkan kebenaran terhadap pesan yang disampaikan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: penyiar penerangan, paham, pendapat, dan sebagainya, yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu, biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk.

Menurut Ensiklopedia bebas “Propaganda” adalah sebuah upaya disengaja

dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan mempengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku propaganda.

James E.Combs dan Dan Nimmo (1994) mendefinisi propaganda sebagai berikut:

(22)

b. Sebuah usaha, untuk mempengaruhi opini dan tingkah laku.

c. Situasi propaganda yang tipikal adalah: A melalui suatu metode atau metode lain yang berhubungan dengan B, sehingga cenderung mempengaruhi tingkah laku B.

d. Semua usaha yang membujuk setiap orang, untuk kepercayaan atau untuk suatu bentuk tindakan.

e. Usaha untuk mempengaruhi personalitas, dan mengontrol tingkah laku individual menuju tujuan akhir, yang dianggap tidak ilmiah atau nilainya meragukan dalam masyarakat pada waktu yang ditentukan.

Qualter mengatakan “propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja, oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari kelompok-kelompok lain. Menggunakan media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang tersedia, reaksi dari mereka yang dipengaruhi akan seperti yang diinginkan oleh si propagandis”.

Lasswell mengatakan ”propaganda dalam arti yang luas, adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya”. Menurut Barnays, “propaganda modern adalah suatu usaha

yang bersifat konsisten dan terus menerus, untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa, guna mempengaruhi hubungan publik terhadap suatu penguasa atau kelompok”. Menurut Ralph D. Casey, “propaganda adalah suatu

(23)

program, dan dipihak lain. Merupakan suatu usaha yang sadar dari lembaga-lembaga komunikasi, untuk menyebarkan fakta dalam semangat obyektivitas dan kejujuran”.

Drs. R.A. Santoso Sastropoetro, mengatakan “propaganda adalah suatu penyebaran pesan, yang terlebih dahulu telah direncanakan secara teliti untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku dari penerima komunikan, sesuai dengan pola yang telah ditetapkan oleh komunikator”. Menurut Prof. Onong Uchyana Efendi, “propaganda adalah komunikasi yang dilakukan

secara berencana, sistematis dan berulang-ulang untuk mempengaruhi seseorang, khalayak atau bangsa agar melaksanakan kegiatan tertentu dengan kesadaran sendiri tanpa paksa atau dipaksa”.

Drs. R. Roekomy, mengatakan “propaganda adalah usaha mempengaruhi orang lain berdasarkan faktor-faktor psikologis, tentang sesuatu yang baru atau belum diakui kebenarannya, agar berbuat sesuai dengan yang diharapkan”. Prof. Dr. Mar‟at, “propaganda adalah suatu teknik cara atau usaha, yang sistematis serta

sungguh dipikirkan secara mendalam, dimana teknik atau cara/usaha yang dilakukan baik oleh seseorang maupun sekelompok orang untuk mempengaruhi pendapat atau sikap orang lain atau kelompok lain”. Menurut Prof. DR.H.C.J

(24)

kegiatan propaganda didasarkan pada komunikasi dari mulut ke mulut, dan media cetak yang mencapai kelompok kecil”

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa propaganda adalah suatu usaha, yang sistematis dan terencana, serta dilakukan secara berulang-ulang dalam menyebarkan pesan guna mempengaruhi khalayak atau bangsa untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku. Agar melaksanakan kegiatan tertentu dengan kesadaran sendiri tanpa paksa atau dipaksa.

Secara umum propaganda didefinisikan sebagai skema, untuk mempropagandakan suatu doktrin atau tindakan kepada seseorang, atau kelompok orang, yang disebarkan melalui kata-kata, suara, iklan komersial, musik, gambar, dan simbol-simbol lainnya.8

B. Film Propaganda Era Pemerintahan Hindia-Belanda

Tercatat film dokumenter kurang lebih 1.144 scan (kaleng kemasan), yang masing-masing berisi gulungan film sepanjang kira-kira 220 meter pita film, meliputi lebih dari 200 judul.9

Film-film tersebut dibuat sejak awal abad ke-20 hingga akhir penjajahan Belanda di Indonesia. Mayoritas film yang dibuat selama masa kolonial adalah rekaman-rekaman propaganda pendek. Umumnya film yang dibuat di Hindia-Belanda memiliki alur cerita tradisional atau diadaptasi dari karya yang sudah ada,

8 http://infodanpengertian.blogspot.co.id/2016/03/pengertian-propaganda-menurut-para-ahli.html?m=1 (diakses 5 Maret 2017)

(25)

film pertama waktu itu masih bisu menurut Misbach Yusa Biran (2009), ”film yang dirilis tidak ada rasa nasionalisme, hanya kepentingan tontonan dan kepentingan Belanda”. 10

Ketika Belanda mulai memperkenalkan filmnya pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Tujuan film tersebut adalah propaganda, dalam hal ini film dokumenter bisa menjadi media pembelajaran yang bersifat pencerahan, tapi juga bisa memberikan pemahaman yang manupulatif. Misalnya, dari tujuan untuk memberikan isi baru atau pemahaman baru, tetapi sebenarnya film dokumenter bisa menjadi suatu upaya propaganda untuk memanipulasi fakta yang ada.

Film dokumenter yang bersifat propaganda dibuat di Hindia-Belanda berdasarkan pesanan berbagai pihak seperti: lembaga pemerintahan, perusahaan dagang, lembaga gereja dan lembaga sosial swasta.11

Kekuasaan Belanda semakin mapan memasuki abad ke-20, wilayah hampir mencakupi seluruh kepulauan di Indonesia. Keadaan makin tertib dengan menurunnya gejolak sosial dan perlawanan-perlawanan.12 Keadaan dalam negeri Hindia-Belanda memperlihatkan perkembangan ekonomi yang marak. Sehingga propaganda tidak terlalu masif dilaksanakan.13

Film yang dibuat Belanda beralur cerita yang selalu mendudukkan pribumi sebagai masyarakat yang bodoh, berpakaian tidak seperti Belanda yang perlente,

10 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm.33. 11Wacana, op.cit. hlm.321.

12 Marwati Djoened Poesponegoro, Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Jakarta, Balai Pustaka, 2008, hlm.157.

(26)

sehingga film menanamkan rasa rendah diri pribumi terhadap kulit putih dan ini berlangsung selama bertahun-tahun.

C. Film Propaganda Era Pendudukan Jepang

Indonesia adalah satu dari sedikit wilayah pendudukan Jepang di Perang Dunia II, yang masyarakat pribuminya masih terbilang kooperatif dengan serdadu Dai Nippon. Di samping karena kelihaian Jepang dalam mengoptimalkan legenda lokal, macam ramalan Jayabaya, yang mereka olah hingga berkesan bahwa sang saudara tua datang untuk membebaskan rakyat pribumi, dari penjajahan bangsa kulit putih. Kesuksesan Jepang dalam hal ini ternyata juga sebagai imbas dari keberadaan ratusan film propaganda Jepang yang cukup masif dikonsumsi masyarakat luas kala itu.

(27)

propaganda itu kemudian diedarkan pada 117 gedung bioskop yang ada di Indonesia kala itu, dan selalu ditampilkan sebagai tayangan pembukaan setiap pemutaran film. 14

Pada tahun 1945, ratusan film propaganda produksi Jepang tersebut kemudian disita, oleh pihak Belanda. Setelah tentara sekutu sukses mengalahkan Jepang pada akhir Perang Dunia ke II. Biarpun demikian hingga kini setidaknya ada 15 judul film propaganda Jepang yang masih tersimpan di arsip nasional RI. Diantaranya berisi pidato tokoh-tokoh nasional di kala itu yang mendukung usaha Jepang pada Perang Dunia ke II, serta ada pula film dokumentasi tentang kunjungan Jenderal Hideki Tojo ke Indonesia. Melalui film-film itulah, rakyat Indonesia diharapkan mampu memahami gagasan persemakmuran, bersama Asia Timur Raya yang dicita-citakan oleh kekaisaran Jepang, jelas Takashi Takaba.15

Orang Jepang juga memerlukan narasi sejarah baru, mitos dan pahlawan untuk menggantikan sejarah Belanda, yang telah mendominasi buku pelajaran dan nama jalan sebelum 1942.16 Mencatat bahwa sejarah nasionalisme yang ditulis, untuk digunakan selama periode memperkuat ortodoks nasionalis baru yang telah terbukti sangat tahan lama. Tokoh nasional, kini yang memegang posisi senior di pemerintahan pendudukan seperti Muhammad Yamin, penyair dan orang Indonesia yang memegang posisi tertinggi di Sendenbu. Sanusi Pane mempromosikan dan mengembangkan sejarah nasionalis, dengan dua elemen,

14Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad 20, Gramedia, 2015, hlm.71.

15 http://www.saudaratua.wordpress.com (diakses 27 Juni 2017)

(28)

yang akan menjadi ukuran standar dalam teks-teks sejarah nasional. Pertama, teks-teks tersebut menggambarkan masa pra-kolonial Indonesia sebagai masa, dimana kesatuan politik dan kemakmuran dijalankan oleh kerajaan-kerajaan Hindu. Kedua, 350 tahun pemerintahan Belanda, merepresentasikan waktu penindasan dengan perlawanan beberapa kali, di masing-masing daerah dan oleh rakyat Indonesia. Dalam hal ini “penjahat” Indonesia dalam sejarah Belanda, dibuat menjadi “pahlawan” perlawanan dalam cerita mereka tentang perjuangan

kemerdekaan.17 Ortodoksi sejarah baru memiliki akarnya dalam serangan intelektual nasionalis, terhadap VOC, Belanda dan versi sejarah yang berpusat pada negara Hindia-Belanda yang digunakan mendidik orang dari tahun 1920.18

D. Film Propaganda Era Pemerintahan Orde Lama

Untuk memudahkan menjabarkan film propaganda pada era pemerintahan Orde Lama, penulis membagi 3 era, yaitu era Revolusi Nasional, era Demokrasi Liberal dan era Demokrasi Terpimpin.

1. Film Propaganda era Revolusi Nasional dan Pasca Kemerdekaan

(1945-1949)

Beberapa bulan setelah kemerdekaan RI, 6 Oktober 1945, T.Ishimoto, wakil kepala Nippon Eigasha, menyerahkan studio ex-Multi film kepada Pemerintah baru Indonesia. Penyerahan disaksikan oleh Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Selanjutnya dibentuk Berita Film Indonesia (BFI) yang dipimpin oleh

17 Idem, hlm. 297-298

(29)

R.M. Soetarto dan Rd.Arifin. Tugasnya adalah membuat film-film berita dan dokumenter.19

BFI ini kemudian berjasa menyusun film peristiwa bersejarah, perjuangan kemerdekaan untuk meyakinkan pihak luar negeri, bahwa apa yang terjadi di Indonesia bukanlah aksi teroris, melainkan perjuangan untuk merdeka. Kumpulan film BFI itu diberi nama Indonesia Fight for Freedom, yang dikirim ke PBB dan beberapa negara. Konon, film itu cukup besar jasanya dalam menjelaskan keadaan di Indonesia. Film itu menjadi lawan propaganda Belanda, yang selalu mengatakan bahwa, “Soekarno-Hatta” adalah kaki tangan Jepang, dan para

pejuang kemerdekaan Indonesia adalah ekstrimis yang meneruskan kejahatan perang Jepang. Situasi setelah kemerdekaan masih tidak menentu, sehingga cita-cita untuk membuat film dokumenter cukup sulit. Masalah tentara NICA yang masuk ke Indonesia, karena Belanda ingin meneruskan kekuasaannya.

2. Film Propaganda Era Demokrasi Liberal (1950-1959)

Demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni undang-undang dasar sementara 1950, sistem ini adalah meniru sistem yang ada di Eropa Barat dan Amerika. Karena Indonesia saat itu merupakan demokrasi liberal, maka demikian juga terhadap isi film yang diputar di bioskop di Indonesia, film-film pro liberal yang diproduksi Hollywood atau non Hollywood banyak diimpor dan ditayangkan di Indonesia, film-film ini merupakan Film propaganda terselubung, yang isinya menganut faham Demokrasi Liberal. Banyak

(30)

partai politik terbentuk di Indonesia pada saat itu. Untuk mempropagandakan dirinya partai-partai politik itu banyak yang membuat surat kabar-surat kabar.

3. Film Propaganda Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Era Demokrasi Terpimpin adalah era di mana seluruh keputusan kebijakan politik berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Konsep demokrasi terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang Konstituante pada tanggal 10 November 1956.

Pada era Demokrasi Terpimpin, film propaganda dari luar dilarang beredar di Indonesia, film-film Barat dianggap propaganda neokolonalisme dan imperialisme. Kelompok popular legendaris dari Inggris the Beatles tidak direstui oleh pemerintah berkuasa. Lebih dari itu, para personil Koes bersaudara yang meniru musik aliran populer bahkan ditangkap dan dipenjarakan sebelum peristiwa G30S/PKI, berpidato dalam hari kemerdekaarn RI 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno dengan terang-terangan mengutuk musik “ngak-ngik-ngok” seperti “rock‟n roll.20

E. Film Propaganda Era Pemerintahan Orde Baru

1. Film Propaganda diputar di Bioskop

Di era Pemerintahan Orde Baru ada beberapa film propaganda yang diputar di bioskop-bioskop tanah air, seperti: Pemberontakan G30S/PKI, Janur Kuning, Enam jam di Yogya serta Serangan Fajar. film-film ini ditonton oleh banyak rakyat Indonesia, bahkan khusus untuk film Pemberontakan G30S/PKI

(31)

diwajibkan ditonton oleh Pegawai Negeri, semua Pelajar dan Mahasiswa, bahkan film ini diputar setiap tahun di TVRI untuk masyarakat umum. Serta ada satu film yang dibuat oleh Hollywood yang berjudul “The year of living dangerously”.

Film G30 S/PKI , bertujuan untuk mempertahankan ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena ideologi komunisme sangat berbahaya untuk rakyat Indonesia, ada ketakutan dari penguasa Orde Baru saat itu, bahwa ideologi komunisme bisa berkembang lagi di Indonesia. Pihak Hollywood juga me-release

film berjudul “The year of living dangerously” mengambil latar belakang

peristiwa yang sama. Film yang dibintangi Mel Gibson ini mengambil seting kota Jakarta tahun 1965 menjelang peristiwa G30S/PKI. Mel Gibson memerankan tokoh Guy Hamilton, seorang Jurnalis Australia Broadcast Service. Tugas seorang jurnalis memburu berita pada saat kebebasan pers di Indonesia, sedang dibatasi oleh Pemerintah Soekarno, membuat Hamilton frustrasi.21

Beruntung ia bertemu Billy Kwan, seorang fotografer Australia yang telah lama tinggal di Indonesia. Billy membantu Hamilton berhubungan dengan tokoh-tokoh penting Indonesia, diantaranya D.N.Aidit.

Hamilton merupakan representasi jurnalis Barat yang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan situasi politik Indonesia.

2. Film Dokumenter Propaganda ditayangkan di TVRI

Ribuan film dokumenter yang dibuat, di bawah kontrol pemerintah Orde Baru, untuk kepentingan ideologi, kepentingan pembangunan, kepentingan kekuasaan politik.

(32)

Film dokumenter tersebut hampir setiap hari ditayangkan di TVRI dengan tema yang berbeda, yang paling banyak adalah tema semangat pembangunan, mulai dari rencana pembangunan dan hasil pembangunan, kemudian disusul dengan propaganda kinerja para menteri kabinet pembangunan, dan tentang kehebatan Golongan Karya sebagai partai politik yang berhasil membangun Indonesia dan selalu memenangkan Pemilu.

Film dokumenter tersebut menunjang rencana besar Pemerintah Orde Baru REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), dimana terdapat 5 Repelita selama masa Orde Baru. Media penayangan film dokumenter hanya melalui TVRI, baru kemudian pada Repelita ke V, terdapat stasiun TV Swasta, TPI, RCTI dan SCTV, stasiun televisi swasta ini dimiliki oleh anak-anak Soeharto penguasa saat itu.

TVRI sesuai dengan amanat Keputusan Menteri Penerangan No.34/1966,

“memberi penerangan kepada masyarakat tentang program-program Pemerintah,

demi tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila”22

(33)

BAB III

MOTIF PEMBUATAN FILM PROPAGANDA

A. Era Pemerintahan Hindia-Belanda

Setelah membaca beberapa literatur tentang film propaganda era pemerintahan Hindia-Belanda, ditemukan beberapa motif utama yang melatarbelakangi, mengapa film propaganda dibuat oleh pemerintahan Hindia-Belanda saat itu, yaitu motif kepentingan pemerintah Hindia-Hindia-Belanda, motif kepentingan perusahaan dagang, motif kepentingan gereja, dan motif kepentingan lembaga sosial swasta.

1. Motif Pemerintah Hindia-Belanda

(34)

Irigasi memang dibuat, tetapi yang dapat manfaat adalah perkebunan besar milik Belanda. Demikian pula dengan emigrasi, yang terlihat di film adalah mutasi penduduk karena kontrak kerja, berkaitan dengan kebutuhan tenaga kerja perusahaan pertambangan dan perkebunan, baik milik pemerintah maupun swasta. Film yang merekam kegiatan pendidikan memperlihatkan beragam etnis sekolah, seperti sekolah Cina berbahasa Belanda, sekolah desa di Jawa, sekolah Eropa. Namun, semuanya ini merupakan sekolah yang dipilah-pilah berdasarkan agama, ras, dan golongan. Bagi pemerintah Hindia-Belanda, film-film itu adalah bukti bahwa pemerintah telah menjalankan kebijakan etik. Pemerintahan Hindia-Belanda dapat memberikan laporan konkret pada pemerintah. Sekaligus menunjukkan kepada masyarakat Belanda tentang pengelolaan wilayah koloni, tambahan pula, film-film dokumenter itu dibuat dengan prinsip peindre sur levif “sebagai yang sebenarnya”. Sehingga tidak ada alasan bagi kaum etik untuk

mempersalahkan pemerintahan di Hindia-Belanda, karena tidak mengelola wilayah koloni dengan baik.23 Wacana Kolonial yang dapat dipahami sebagai beragam representasi, dan cara pandang yang digunakan kekuasaan kolonial agar subjek kolonial tetap tunduk pada aturan-aturan kolonial, terlihat dengan jelas dalam film-film Hindia-Belanda itu.

2. Motif Kepentingan Usaha Dagang

Para pengusaha dagang Hindia-Belanda juga menggunakan film dokumenter propaganda, untuk kepentingan usaha dagang mereka. Pengusaha dagang menggunakan film propaganda yang bertujuan untuk mencari investor dari

(35)

negeri induknya yaitu Belanda, dimana Belanda sejak 1870 sudah menganut sistem ekonomi liberal, yang diperlukan investasi yang banyak untuk diversifikasi usaha.

Memasuki abad ke- 20 kekuasaan kolonialisme Hindia-Belanda, menjadi makin mapan. Wilayah kekuasaan hampir mencakup seluruh daerah di kepulauan Indonesia. Daerah jajahan Hindia-Belanda menjadi lebih menarik, karena perjalanan dari negeri Belanda makin singkat seiring pembukaan terusan Suez dan perkembangan Kapal Uap, dimana bisa ditempuh 2 hingga 3 minggu. Sejalan dengan migrasi penduduk itu, penanaman modal mengalir ke Hindia-Belanda. Perkembangan perekonomian dunia yang diwarnai oleh pergerakan modal yang agresif, mencari keuntungan melampaui batas-batas negara, ikut mempengaruhi keadaan di Hindia-Belanda.24

Menurut hal tersebut di atas, maka pembuatan film dokumenter propaganda dimaksudkan untuk mempengaruhi investor negeri Belanda, bahwa diperlukan banyak investasi yang perlu masuk ke Hindia-Belanda.25 Pada film tersebut digambarkan bahwa Hindia-Belanda, mempunyai sumber daya alam yang melimpah serta tenaga kerja yang melimpah.

Pada tahun 1870 kelompok liberal di Parlemen di negara asalnya yaitu Belanda, menolak sistem tanam paksa yang dilakukan di Hindia-Belanda. Untuk menyangkal hal tersebut maka pemerintah Hindia-Belanda membuat film-film

24 Marwati Djoened Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Republik Indonesia 1900-1942, Jakarta, Balai Pustaka, 2008, hlm.157.

(36)

propaganda. Film-film dokumenter yang dibuat di Hindia-Belanda antara tahun 1912, hingga kira-kira tahun 1933, terlihat jelas dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan tentang Hindia-Belanda dan memberikan pemahaman perihal kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, kepada masyarakat Belanda, serta untuk menghapus citra yang keliru tentang wilayah jajahan yang berkembang di kelompok masyarakat Belanda yang berhaluan liberal masa itu. Semenjak dicanangkannya kebijakan politik etik (1902), dan berkembangnya pemikiran liberal di Belanda, berkembanglah pula wacana yang begitu kritis mengkaji kekuasaan kolonial di seberang lautan.

3. Motif Film Kepentingan Gereja

Film Dokumenter yang dipesan oleh Gereja, digunakan untuk menarik para rohaniawan di Eropa agar mau datang ke Hindia-Belanda dalam rangka penginjilan, dan film ini digunakan sebagai laporan hasil kerja penginjilan yang didanai oleh jemaat di Belanda, sekaligus meminta dana jemaat lebih lanjut demi pemekaran dan pekerjaan Gereja.

4. Motif Film Lembaga Sosial Swasta

(37)

5. Film Bertemakan Minta Bantuan Sekutu

John Fernhout membuat film dokumenter 10 menit berjudul “High Stakes

in the East”, film ini dibuat beberapa saat setelah Belanda kehilangan

kekuasaannya di Indonesia, digantikan oleh Jepang. Film tersebut fokus utama adalah Pulau Jawa. Pada lima menit pertama, Fernhout menyorot aktivitas penduduk lokal di perkebunan tebu, dan ladang garam. Ia menangkap gambar buruh yang hilir mudik membawa batangan tebu dan karung gula. Tak ketinggalan aktivitas sekelompok perempuan, yang sedang mengumpulkan garam. Narasi film menyebutkan Jawa sebagai Pulau Surga. Jawa memiliki komoditas yang menguntungkan. Infrastruktur yang lebih maju dibandingkan pulau lain, dan sumber daya manusia yang melimpah. Dalam narasi itu disebutkan bahwa:

“Jawa punya ladang tebu yang sangat luas. Dari tebu dihasilkan gula pasir yang bernilai ekonomi untuk Belanda. Begitu pula garam yang selama ini memenuhi kebutuhan di Amerika Serikat, tapi kini Jepang dan Jermanlah yang menikmatinya”. Tujuan film itu jelas, meminta dukungan sekutu untuk membantu Belanda

merebut kembali Indonesia dari Jepang.26

B. Era Pendudukan Jepang

1. Motif Penguasaan Atas Asia Timur

Latar belakang yang mendasari penjajahan Jepang di Indonesia, pada tahun 1941pasukan Jepang melihat bahwa Amerika, Inggris, dan Belanda harus diperangi bersamaan, apalagi karena Amerika melakukan embargo minyak yang amat mereka butuhkan. Untuk memuluskan kekuasaan ekonomi, dan politik di

(38)

wilayah Asia maka pemerintah Jepang perlu menaklukkan negara-negara di Asia seperti Cina, Filipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia.

Semenjak Jepang menduduki Indonesia, perusahaan film, sutradara, dan semua insan film diambil alih dan dikuasai oleh pemerintah Jepang. Dari literatur yang penulis baca, bisa digambarkan bahwa untuk mencapai tujuannya tersebut Jepang menggunakan setidaknya 2 tema yaitu: film bertemakan kehebatan Jepang di dunia internasional, yang kedua film bertemakan mengajak rakyat Indonesia, ikut berjuang angkat senjata untuk membantu Jepang sebagai saudara tua dalam rangka melawan bangsa kulit putih demi kemakmuran bersama rakyat di Asia.

a. Film Propaganda Bertemakan Kehebatan Jepang

Shogun to sanbo to hei (Jenderal dan Prajurit), Singapore Soko Gei

(serangan atas Singapura), Eikoku Koezoeroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh), film tersebut diputar di berbagai bioskop di Indonesia sebelum pemutaran film utama. Film dokumenter propaganda ini menggambarkan betapa kuatnya tentara Jepang melawan bangsa-bangsa lain. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi rakyat Indonesia mengagumi kehebatan saudara tua (Jepang). Motif di balik itu semua adalah untuk meciptakan Lingkungan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya, dengan cara apapun ditempuh. Digambarkan betapa kuat dan besarnya tentara Jepang.

b. Film Propaganda Bertemakan Mengajak Rakyat Berjuang

(39)

menduduki Batavia (Jakarta). Untuk memuluskan rencana di Indonesia, Jepang mulai menggunakan film-film dokumenter sebagai alat propaganda, contohnya film: Berdjoeang, juga dikenal dengan judul Hope of the south, yang mengisahkan seorang pemuda bernama Anang yang dianggap bermoral tinggi karena lebih mengutamakan berjuang membela tanah air, meninggalkan kampung halamannya dan berperang meninggalkan keluarga. Film propaganda ini bertujuan menarik orang Indonesia untuk bergabung dengan pasukan bantuan Jepang Koeli dan Romusha, jelas-jelas menggambarkan perbedaan nasib Kuli di era Belanda, yang sangat merana dan Romusha di era Jepang yang nasibnya lebih baik. Katanya, Romusha bernasib baik karena berjasa mengabdi kepada negara.Kemudian banyak film-film lainnya, yang bertujuan mengajak rakyat Indonesia membela Jepang. Dianggap sebagai saudara tua untuk melawan penjajah kulit putih (Belanda dan sekutunya), seperti film Nankai no Hanabata (bunga dari selatan), kemudian film Amat Heiho, Keseberang, dan di Desa.

C. Era Orde Lama

(40)

cinta tanah air, atau rasa nasionalisme. Menurut analisa penulis bahwa ada tiga periode kegiatan Film propaganda pada saat itu yaitu; a. periode Revolusi Nasional dan Pasca Kemerdekaan (1945-1949), b. periode Demokrasi Liberal (1950-1959), kemudian c. periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

a. Motif Film Propaganda Masa Revolusi Nasional dan Pasca

Kemerdekaan (1945-1949)

Narasi Orde Lama adalah “narasi nasionalisme” yaitu narasi dalam

membangun spirit kemandirian, keberdikarian dan kebebasan dari imperialisme. Narasi Orde Lama adalah narasi yang sarat retorika sebagai cara untuk menemukan rasa kebangsaan dan nasionalisme.27 Sehingga Orde Lama tidak ada waktu banyak membangun ekonomi dan industri, dalam rangka mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, pembangunan tidak secara langsung menyentuh kesejahteraan rakyat, lebih ditujukan ke simbol-simbol kebanggaan bangsa, seperti monumen, hotel-hotel. Film propaganda pada masa pasca kemerdekaan dibuat dari kumpulan film dokumenter yang berjudul: “Indonesia fight For Freedom, film ini dibuat untuk melawan Belanda yang menyebarkan isu negatif di mata dunia, di mana Belanda mengatakan bahwa rakyat yang berjuang pada saat itu adalah teroris.

b. Motif Film Propaganda Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)

Pada era Demokrasi Liberal terlihat ada dua motif Propaganda di Indonesia, yang pertama adalah motif partai-partai politik untuk membesarkan

(41)

partainya masing-masing, dan yang kedua adalah motif pihak Barat (Amerika dan Inggris) untuk menanamkan pengaruh demokrasi Liberal di Indonesia, dalam rangka mencegah paham komunis masuk ke Indonesia.

Masa Demokrasi Liberal (1950-1959), adalah era terjadi banyak partai dan banyak kepentingan sehingga motif propaganda adalah untuk memenangkan kursi di parlemen. Media yang dipakai adalah mendirikan perusahaan surat kabar masing-masing Partai. Sementara pihak Barat (negara Demokrasi Liberal) ingin juga mengukuhkan kekuatannya di Indonesia dengan cara mengekspor film-film produksi Hollywood ke Indonesia, di mana saat itu juga sudah digemari oleh Masyarakat Indonesia. Di Indonesia pemutaran film-film Hollywood kala itu tidak mengalami kesulitan dalam pemutaran, karena Indonesia juga menganut paham Demokrasi Liberal.

c. Motif Film Propaganda Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, di mana Indonesia kembali ke UUD 1945, dan Presiden Soekarno mengukuhkan Demokrasi Terpimpin, media massa kembali dipandang perlu sebagai sarana untuk meneguhkan kekuasaan Presiden Soekarno dan kekuatan-kekuatan politik pendukungnya. Motif pun berubah di mana Presiden Soekarno ingin mengarahkan kembali bahwa Indonesia anti-imperialisme, anti Barat.

(42)

rakyat memboikot film-film pro liberal atau film-film produksi Hollywood maupun non Hollywood. Setelah Festival Film Asia Afrika digelar di Bandung, terbentuklah Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika (PAPFIAS) yang tujuannya untuk melarang film Amerika masuk ke Indonesia. Motif di balik pemboikotan ini adalah usaha menghentikan paham-paham Imperialisme dan Liberalisme, sehingga paham Komunis bisa leluasa berkembang di Indonesia. Film-film Soviet dan Cina diputar di bioskop Indonesia tetapi tidak terlalu disukai oleh masyarakat karena terlanjur menonton film-film Hollywood.

D. Era Orde Baru

1. Motif Ideologi Politik

Narasi Pembuka dalam Film G30S/PKI “cita-cita perjuangan kami untuk

menegakkan kemurnian Pancasila tidak mungkin dipatahkan hanya mengubur

dalam sumur ini”, bisa dianggap inilah tujuan ideal pembuatan film ini, dimana yang perlu ditegakkan hanya Pancasila dan bukan Komunis, karena dianggap masih ada usaha-usaha Komunis masuk ke Indonesia, setidaknya demikianlah pemikiran penguasa Orde Baru pada saat itu.

(43)

berikutnya adalah Janur Kuning, Enam jam di Yogya serta Serangan Pajar. Serta ada satu film yang dibuat oleh Hollywood yang berjudul „The Year of living

dangerously’ yang mengambil latar belakang yang sama dengan Film G30S PKI, film tersebut mengambil seting kota Jakarta tahun 1965, di sini Mel Gibson memerankan tokoh Guy Hamilton, seorang Jurnalis Australia yang bekerja untuk Australia Broadcast Service. Sejak Presiden Soekarno mengendalikan pemerintahan di bawah payung demokrasi terpimpin, negara-negara Barat seperti Amerika dan Inggris tak pernah luput mengawasi perubahan konstelasi politik saat itu. Pandangan Barat saat itu, terhadap Prisiden Soekarno cenderung condong mendukung blok Komunis Soviet. Kampanye Kapitalis dan anti-Imperialisme, yang digaungkan Presiden Soekarno serta kedekatan pemimpin besar revolusi tersebut dengan pemerintah Cina, mengundang kecurigaan Amerika.

Periode 1965-1975 mengundang kecurigaan beragam pendapat dari para pengamat dalam, dan luar negeri. Sayap kanan memuji pemerintahan Soeharto karena mampu membasmi PKI dan mengadopsi kebijakan pro-Barat.28

2. Motif Rencana Pembangunan Lima Tahun

Pemerintahan Orde Baru menerapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang setiap Repelita yang mempunyai tujuannya masing-masing, yaitu:

a. Repelita I (1969-1974), bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.

(44)

b. Repelita II (1974-1979), bertujuan untuk meningkatan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, diantaranya melalui transmigrasi. c. Repelita III (1979-1984), bertujuan untuk menekankan bidang industri padat

karya untuk meningkatkan ekspor.

d. Repelita IV (1984-1989), bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan industri.

e. Repelita V (1989-1994), bertujuan untuk menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.29

Untuk mendukung Repelita, pemerintah Orde Baru sepenuhnya menggunakan media televisi (TVRI), untuk menyampaikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Film dokumenter yang ditayangkan di TVRI semua hal yang telah diatur oleh Pemerintah. Film dokumenter yang juga bersifat propaganda di TVRI, mempunyai narasi pembangunanisme (developmentalisme), yaitu cerita besar tentang modernisasi, kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran, meskipun dengan cara membelenggu kebebasan. Narasi tentang kesuksesan pembangunan merupakan cara manipulasi dalam membangun kebanggaan nasional. Narasi pembangunanisme adalah narasi homogenisasi budaya (cultural homogenization), yang menggiring pada sebuah budaya seragam (monoculture), dengan memutus berbagai kelompok daerah, suku, etnis dan agama dari budaya yang autentik. Media/film dokumenter yang ditampil ditelevisi yang dikendalikan

(45)

penguasa menampilkan “propaganda”, kebanggaan nasional yang palsu, dalam

rangka memanipulasi kesadaran masyarakat.30 3. Motif Kekuasaan Politik Melalui Golkar

Golkar di era Harmoko merupakan Golkar yang masih berbentuk “partai hegemonik”, karena kepengurusan Harmoko masih berada dalam rentang waktu pada periode akhir kekuasaan Orde Baru. Skenario politik yang dibangun pada awal Orde Baru berkuasa itu, berdasarkan hasil seminar Angkatan Darat 1966, tujuan utamanya antara lain untuk menciptakan stabilitas politik, dalam upaya memberi kesempatan bagi bangsa ini melakukan pembangunan khususnya di bidang ekonomi, sehingga bisa mengatasi krisis ekonomi saat itu. Golkar dirancang menjadi kekuatan sosial politik utama pendukung pemerintah.31

Media untuk menyampaikan film propaganda pada zaman Hindia-Belanda masih menggunakan layar tancap dan bioskop, namun seiring ditemukan Televisi maka media penyampaian propaganda mulai lebih beragam, Pemerintah Orde Baru lebih cenderung menggunakan media televisi untuk menyampaikan propaganda yang lebih cepat. Film-film dokumenter dan Siaran di TVRI diatur secara apik, dan sinkron dengan tujuan politik Pemerintahan Orde Baru, baik tujuan politik dalam negeri maupun Politik Luar Negeri, Film dokumenter di TVRI yang menggambarkan Golongan Karya yang sangat berjasa dan membangun bangsa Indonesia, sementara Partai PDI dan PPP dianggap pelengkap dan tidak terlalu ada perannya dalam pembangunan fisik dan politik di Indonesia.

30 Ginandjar Kartasasmita, Joseph J Stern, op.cit. hlm.154.

(46)

Menurut Idris Hasanuddin32 di Indonesia, homogenisasi media oleh rezim Orde Baru, dan kapitalis kronisnya dilakukan melalui berbagai kontrol yang dilakukan: a. Kontrol preventif dan korektif terhadap kepemilikan institusi media, antara lain

melalui pemberian SIT (yang kemudian diganti dengan SIUPP), secara selektif berdasarkan kriteria politik tertentu.

b. Kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (wartawan), melalui mekanisme seleksi dan regulasi (seperti keharusan menjadi anggota PWI sebagai wadah tunggal, untuk mengikuti P4 bagi pemimpin redaksi), dan kontrol berupa peunjukan individu-individu untuk menduduki jabatan tertentu dalam media pemerintah.

c. Kontrol terhadap produk teks pemberitaan melalui berbagai mekanisme.

d. Kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa monopoli kertas oleh penguasa.

e. Kontrol terhadap akses ke pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu, untuk tidak ditampilkan dalam pemberitaan pers.

Dalam konteks regulasi media penyiaran, akumulasi hagemoni tersebut tertuang melalui undang-undang penyiaran tahun 1997, atas nama stabilitas nasional sebagai syarat terwujudnya pembangunan nasional, Orde Baru dan kroni kapitalis.

(47)

BAB IV

DAMPAK FILM SEBAGAI ALAT PROPAGANDA DI INDONESIA

A. Dampak Film Propaganda Era Hindia-Belanda

Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, ada 5 motif kepentingan pembuatan film dokumenter yang bersifat propaganda, yaitu untuk kepentingan pemerintah, kepentingan perusahaan dagang, kepentingan gereja, kepentingan sosial, kepentingan Belanda untuk minta bantuan sekutu. Motif dari kepentingan tersebut sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada bab ini akan dibahas dampak film-film dokumenter yang bersifat propaganda tersebut.

1. Dampak Film Propaganda Bagi Kepentingan Pemerintah

Ada dua tujuan film propaganda dari pemerintah Hindia-Belanda, yang pertama sebagai laporan untuk pemerintah negara induknya di Belanda, yang kedua film dokumenter ditujukan untuk penonton pribumi.

Dampak film propaganda yang pertama adalah pemerintahan induk Belanda terus percaya kepada pemerintah Hindia-Belanda yang bisa mengelola daerah jajahan dengan baik, sehingga dukungan dari pemerintah Belanda terus berlangsung.

(48)

Di dalam buku,S Mara Gd dijelaskan bahwa Belanda memang mengupayakan supaya pribumi tetap bodoh dan miskin, di samping direndahkan melalui film propaganda, juga dengan salah satu cara memisahkan bangsa pribumi dan Cina yang lebih mapan ekonominya, supaya jangan menularkan kepintarannya kepada bangsa pribumi. Belanda sengaja mengisolasi warga keturunan Cina ini supaya mereka menjadi ekslusif, sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untuk bergaul akrab dengan pribumi dan menjadikan mereka pintar. Secara kualitas pribumi memang umumnya rendah, walaupun sedikit orang yang mulai memiliki pengetahuan, sehingga dengan mudah penguasaan politik dan ekonomi terus bisa dikendalikan. Dijelaskan dalam buku

Airmata Saudaraku, maka Belanda bisa menarik keuntungan yang beribu kali lipat, yaitu tetap membiarkan orang pribumi merasa rendah diri dan bodoh.33

2. Dampak Film Propaganda Bagi Kepentingan Perusahaan Dagang

Untuk kepentingan usaha dagangnya para perusahaan dagang pun membuat film dokumenter propaganda. Sejak akhir abad ke 20, sistem ekonomi liberal menang dalam parlemen Belanda di Den Haag, sehingga pengusaha dagang di Hindia Belanda memutar film-film propagandanya di Belanda.

Dampak dari film propaganda tersebut, menimbulkan semangat orang-orang Eropa untuk berinvestasi di Hindia-Belanda, dan modal banyak masuk. Kegiatan utama modal swasta di Hindia-Belanda adalah kegiatan produksi dan kegiatan ekspor hasil tanaman tropis serta hasil tambang. Modal swasta di

(49)

Indonesia didominasi oleh sekelompok kecil bank umum yang khusus di bidang perkebunan. Ada “Nederlansche Handel-maat-schappij”, Maskapai dagang Nederland; “Nederlandsche Indische Handelsbank”, Bank Dagang Hindia Belanda, dan HVA (Handelsvereniging Amsterdam), Perserikatan Dagang Amsterdam. Mereka memainkan peranan utama dalam berbagai organisasi perkebunan, seperti “Beniso”, Himpunan pengusaha gula Hindia-Belanda,

“Intenationale Rubbervereniging” Perserikatan pengusaha karet Internasional, pada masa ini peranan modal swasta sangat besar.34

3. Dampak Film Propaganda Bagi Kepentingan Gereja

Kegiatan missionaris juga berlangsung di Hindia-Belanda, pihak gereja pun membuat Film Dokumenter untuk kepentingan mencari para Rohaniawan yang ada di Belanda dan Eropa lainnya untuk datang ke Hindia-Belanda untuk kegiatan penginjilan, dan juga film dokumenter ini adalah sebagai laporan kepada jemaat yang telah menyokong dana selama ini, sehingga para jemaat-jemaat ini akan terus memberikan sokongan dana untuk kepentingan penginjilan.

Dampak dari penginjilan ini adalah banyak masyarakat pribumi yang ada di Jawa, maupun yang di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian memeluk agama Kristen.

4. Dampak Film Propaganda Bagi Kepentingan LSM

Film dokumenter yang dibuat oleh lembaga-lembaga sosial adalah untuk kepentingan sendiri sebagai dokumentasi dan ada juga digunakan untuk

(50)

kepentingan sosial, dimana film-film ini bisa berupa kritik terhadap pemerintahan Hindia-Belanda. Contohnya film dokumenter buatan lembaga sosial ini seperti film kegiatan tanam paksa, pembodohan masyarakat dan lain-lain, sehingga menimbulkan reaksi dari parlemen di Belanda.

Dampak dari film-film dokumenter ini pemerintah Hindia-Belanda menerapkan Politik Etis dan Nasionalisme Indonesia. Politik etis (mengaku bahwa Belanda memiliki hutang budi kepada orang nusantara) bertujuan untuk meningkatkan standar kehidupan penduduk asli. Cara mencapai tujuan ini adalah melalui intervensi negara secara langsung dalam kehidupan (ekonomi), dipromosikan dengan slogan “irigasi, pendidikan dan emigrasi”.

Politik etis menyebabkan efek samping besar. Komponen pendidikan berkontribusi signifikan pada kebangkitan nasionalisme Indonesia dengan menyediakan alat-alat intelektual bagi masyarakat Indonesia untuk mengorganisir dan menyampaikan keberatan-keberatan mereka terhadap pemerintah kolonial. Politik etis memberikan kesempatan, untuk sebagian kecil kaum elit Indonesia, untuk memahami ide-ide politik Barat mengenai kebebasan dan demokrasi. Untuk pertama kalinya orang-orang pribumi mulai mengembangkan kesadaran nasional sebagai orang Indonesia.

(51)

Selanjutnya dalam kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah pendirian partai politik pertama berbasis massa, Sarikat Islam di tahun 1911. Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk mendukung para pengusaha asli untuk melawan para pengusaha Tionghoa yang mendominasi ekonomi lokal namun kemudian mengembangkan fokusnya dan mengembangkan kesadaran politik popular dengan tendensi subversif.

Kemudian gerakan lainnya juga tumbuh seperti Muhammadiyah, gerakan reformis sosio-religius Islam di tahun 1912 dan Asosiasi Sosial Demokrat Hindia, gerakan komunis yang didirikan tahun 1914 yang menyebarkan ide-ide Marxisme di Hindia-Belanda. Perpecahan internal di gerakan ini kemudin mendorong pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1920. Seiring dengan waktu kemudian terbentuk pula Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di tahun 1927, tujuannya adalah mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia, peristiwa berikutnya adalah Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

5. Dampak Film Propaganda Bagi Usaha Belanda Minta Bantuan Sekutu

Pada akhir penjajahannya Belanda, sempat juga membuat film dokumenter yang bersifat propaganda. Film yang dibuat oleh John fernhot “ High stakes in the

east (1942)”, mendapatkan hadiah Oscar pada tahun 1943, untuk Best

(52)

B. Dampak Film Propaganda Era Pendudukan Jepang

1. Penguasaan Asia Timur

Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa motif utama bangsa Jepang menjajah Indonesia merupakan salah satu bagian penguasaan kawasan Asia Timur untuk melawan tentara sekutu (kulit putih). Film-film propaganda yang dibuat untuk mendukung tujuan tersebut adalah bertemakan; a. film propaganda Kehebatan Jepang, dan b. film propaganda bertemakan Ajakan Berjuang.

a. Dampak Film Bertemakan Kehebatan Jepang

Film-film propaganda yang mendukung tujuan tersebut adalah Shogun to sanbo to hai (Jenderal dan Prajurit), Singapore Soko Gei (serangan atas Singapura), Eikoku Koezoeroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh).

Film-film tersebut menyampaikan nilai-nilai moral, kedisiplinan, ketekunan, keberanian, kesopanan, kekuatan, kecerdasan, harga diri, kepahlawanan.

Film propaganda buatan Jepang sedikit banyak mempengaruhi nilai-nilai karakter dan moral pribumi seperti kedisiplinan, keberanian, ketekunan, harga diri dan kepahlawanan.

1. Nilai Keberanian

(53)

meningkat, nilai keberanian merasuki rakyat Indonesia, sesuai fakta sejarah bangsa Indonesia terus melawan bangsa Belanda yang diboncengi oleh sekutu yang ingin merebut kembali Indonesia.

2. Nilai Harga Diri

Dampak lainnya dari film Jepang adalah Indonesia juga mengenal tentang nilai “harga diri”, dimana sebagai bangsa yang berdaulat merasa diremehkan oleh

bangsa kulit putih, maka harga diri tersebut harus diambil kembali. 3. Nilai Budaya Disiplin

Nilai budaya disiplin Jepang juga terlihat di dalam film propaganda Jepang, sehingga paling tidak telah mempengaruhi rakyat pada saat itu, bahwa untuk berhasil haruslah memiliki disiplin yang tinggi.

4. Nilai Kesopanan

Terlihat sekali bahwa Jepang apabila bertemu sesamanya selalu menundukan badannya satu sama lain, sehingga ini sedikit banyak mengajarkan rakyat Indonesia untuk bisa menghormati sesamanya.

5. Nilai Ketekunan

Terlihat bahwa Jepang sangat tekun menyelesaikan pekerjaannya di dalam film tersebut terlihat mereka tekun terhadap tujuannya.

(54)

6. Nilai Moral

Jepang mengenal empat prinsip nilai moral yaitu : „Onu‟ yaitu rasa hutang

budi, „Gimu‟ yaitu kewajiban, „Giri‟ yaitu nilai kebaikan, „Ninju‟ adalah rasa

kasih sayang.

2. Dampak Film Yang Bertemakan “Ajakan Perjuangan”

Pada bab yang lalu disebutkan bahwa film propaganda Berdjoeang

(1942), ditujukan untuk mengajak rakyat bersama-sama membantu Jepang untuk melawan Belanda, tidak ada penelitian spesifik tentang dampaknya terhadap masyarakat pada saat itu, namun secara fakta sejarah telah terbentuk beberapa organisasi sebagai berikut:

1. Seinendan, adalah organisasi barisan pemuda yang dibentuk tanggal 9 Maret 1943. Ditugaskan untuk membantu meliter Jepang melawan sekutu.

2. Keibodan, adalah barisan pembantu polisi dibentuk 29 April 1943, tujuan untuk membantu polisi.

3. Gokukotai (Laskar Pelajar) lahir menjelang Jepang terpuruk kalah tanpa syarat dalam perang dunia ke dua, untuk memperkuat posisinya di Indonesia, Jepang melatih ke meliteran kepada Pelajar dan Mahasiswa Indonesia.

(55)

5. Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Djawa), didirikan 1 Maret 1944, organisasi resmi ini langsung dibawah pengawasan Jepang, pemimpin perkumpulan ini adalah Gunseikan dan Soekarno menjadi penasihat utamanya. 6. PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dibentuk oleh Jepang pada tanggal 16 April

1943 dan dipimpin oleh 4 serangkai, yaitu Ir. Soekarno, M.Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH Mansyur. Tujuannya untuk membujuk kaum nasionalis dan intelektual untuk mengabdikan fikirannya guna kepentingan melawan tentara sekutu.

7. Chuo Sangi In (Badan Pertimbangan Pusat), dibentuk oleh Jepang pada 5 September 1943, ketuanya adalah Ir. Soekarno dan wakilnya adalah R.M.A.A. Koesoemo Oetejo dan Dr. Buntaran Martoatmojo, tujuannya adalah memberi masukan dan pertimbangan kepada pemerintah Jepang dalam mengambil keputusan.

8. Gerakan 3A, semboyan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, dibentuk 29 April 1942, diketuai oleh Mr.Sjamsudin, tujuan gerakan ini adalah menggaet massa untuk mendukung Jepang.35

C. Dampak Film Propaganda Era Pemerintahan Orde Lama

Dari bab sebelumnya sudah dijelaskan motif film propaganda era pemerintahan Orde Lama, dimana penulis membagi menjadi 3 era film propaganda yaitu : 1. Film propaganda era Revolusi Nasional pasca Kemerdekaan (1945-1950), 2. Film propaganda era Demokrasi Liberal (1950-1959), dan 3. Film propaganda era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), pada bab ini akan dibahas

(56)

apa dampak yang ditimbulkan oleh film propaganda pada masing-masing era tersebut.

1. Dampak Film Propaganda era Revolusi Nasional dan Pasca

Kemerdekaan (1945-19450)

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, maka organisasi perfilman pun terjadi transisi, 6 Oktober 1945, T.Ishimoto, wakil kepala Nippon Eigesha, menyerahkan studio ex-Multi Film kepada pemerintah baru Indonesia. Selanjutnya dibentuk Berita Film Indonesia (BFI) yang tugasnya adalah membuat film-film berita dan dokumenter.

Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa BFI menyusun film peristiwa bersejarah perjuangan kemerdekaan untuk meyakinkan pihak luar negeri, bahwa apa yang terjadi di Indonesia bukanlah aksi teroris, melainkan perjuangan untuk merdeka. Kumpulan film BFI itu diberi nama Indonesia Fight for Freedom, yang dikrim ke PBB dan Belanda dan beberapa negara lainnya.

Dampak dari film propaganda BFI ini sungguh luar biasa, dimana PBB dan negara-negara sekutu serta Belanda menyadari bahwa bangsa Indonesia ingin merdeka dan berdaulat, dan disertai dengan kegigihan Presiden Soekarno dan kawan-kawan. Akhirnya Ratu Belanda menanda tangani kemerdekaan Indonesia, dan selanjutnya Indonesia bisa menjadi anggota PBB.36

2. Dampak Film Propaganda Pada Era Demokrasi Liberal (1950-1959)

Terjadi perubahan politik di Indonesia pada saat itu dimana Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal (UUD 1950), sistem meniru Amerika

(57)

dan Eropa Barat. Banyaknya bermunculan partai politik dan seringnya berganti kabinet membuat keadaan politik tidak menentu. Pada masa ini film propaganda khusus yang mendukung pemerintah tidak ada yang spesifik, hanya masing-masing partai politik lebih kepada pembuatan surat kabar untuk kepentingan partai masing-masing. Film-film Hollywood yang berbau propaganda sistem Demokrasi Liberal terus bermunculan dan diputar di bioskop-bioskop Indonesia. Tidak disadari bahwa film-film ini adalah merupakan bentuk propaganda Demokrasi Liberal dan sejalan dengan keinginan politik era Demokrasi Liberal tersebut.

Dampak film propaganda Hollywood ini paling tidak telah membentuk Indonesia menjadi negara Demokrasi Liberal. Dampaknya bukan hanya ke bidang politik tetapi juga kebebasan pers sudah luar biasa, banyak surat kabar bermunculan, dampak kepada kehidupan sosial, ekonomi dan bahkan budaya juga sangat dahsyat, karena kala itu sangat terpengaruh dengan gaya-gaya Amerika (Demokrasi Liberal). Saat itu Amerika juga berkepentingan untuk menjaga Indonesia supaya tidak dikuasai oleh Komunis, yang pada saat itu Komunis gencar-gencarnya mencari celah untuk menguasai Indonesia.

3. Dampak Film Propaganda Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

(58)

isi berita/penyiarannya. Film-film import Hollywood maupun non Hollywood yang berbau imperialisme diboikot oleh beberapa organisasi seperti Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika (PAPFIAS) termasuk juga LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang disebut organisasi mantel Partai Komunis.

Film-film tersebut dianggap Liberal yang berakibat terjadinya demoralisasi rakyat Indonesia. Singkatnya akibat dari boikot ini, banyak bioskop gulung tikar dan tutup, dari 800 bioskop hingga tersisa 350-an, sedangkan film diproduksi hanya 2 judul saja. Sesuai keinginan Komunis maka film-film Soviet dan Cina mengisi kekosongan ini, namun tidak terlalu banyak peminatnya. Maksud partai Komunis supaya film-film Soviet dan Cina bisa sebagai film propaganda di Indonesia. Dampak yang ditimbulkan oleh film Soviet dan Cina ternyata tidak begitu berarti karena tidak disukai oleh rakyat, karena rakyat terlanjur menyukai film-film yang berasal dari Hollywood dan Non Hollywood yang berhaluan Liberal. Banyak pihak menginginkan kembalinya film-film Amerika tersebut, namun tidak pernah bisa berhasil karena masih dikuasai oleh pemerintahan yang anti imperialisme Barat (Soekarno).

D. Dampak Film Propaganda Era Pemerintahan Orde Baru

1. Dampak Film Propaganda “Motif Ideologi Negara”

(59)

dengan film G30S/PKI, paling tidak sebagai prespektif Barat. Sebelum film-film ini dibuat, propaganda anti komunis telah dimulai sejak awal Orde Baru (Repelita I) hingga tumbangnya Pemerintahan Presiden Soeharto, yakni melalui media surat kabar, Radio dan TVRI.

Dampaknya adalah Ideologi Negara „Pancasila dan UUD 45‟ masih tidak

bisa tergoyahkan, asas-asas di dalam semua organisasi kemasyarakatan selama Orde Baru telah ditetapkan berasaskan Pancasila.

2. Dampak Film Propaganda “Motif Repelita”

Pemerintah Orde Baru menggunakan media TVRI dengan masif sekali, film dokumenter propaganda di TVRI dilakukan hampir setiap hari yang menayangkan rencana pembangunan, pembangunan yang sedang berjalan dan hasil pembangunan, kegiatan-kegiatan para menteri, dengan bahasa para menteri yang seragam dengan Presiden Soeharto atau bahasa Repelita. Semuanya terkoordinir dengan baik. Pada Repelita IV dan V mulai muncul TV Swasta seperti Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan SCTV serta RCTI, yang semuanya adalah milik anak-anak Soeharto, yang tentunya siaran akan sepaham dengan Repelita Orde Baru.

(60)

3. Dampak Film Propaganda “Motif Kekuasaan Politik”

Di samping untuk menjaga kelangsungan Rencana Pembangunan Lima Tahun terus bisa berjalan dengan baik, kekuasaan politik perlu juga di jaga dengan baik, karena kekuasaan politik adalah faktor penentu utama berjalannya Repelita. Dengan jumlah hanya 3 partai, sangat mudah bagi Orde Baru mengendalikan demokrasi di Indonesia. Sangat jelas dalam ingatan kita bahwa Golongan Karya saja yang paling dominan tampil di TVRI, sementara yang lain tidak tampak, kecuali mendekati pemilu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bisa terlihat pamflet-pamflet kecilnya bertebaran.

(61)

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan pada bab II sampai IV, maka kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan pada masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Film propaganda yang diproduksi pada zaman Belanda, berupa film dokumenter 1.144 can (kaleng kemasan), yang masing-masing berisi gulungan film sepanjang kira-kira 220 meter pita film, meliputi lebih dari 200 judul. Film dokumenter tersebut digunakan untuk propaganda dibidang pengembangan usaha Dagang, Gereja dan Lembaga Sosial. Pada zaman Jepang semua lembaga perfilman diambil alih oleh pemerintah. Banyak film dokumenter yang dibuat dan diputar, sebagai film pembuka di seluruh bioskop di Indonesia. Film propaganda dari Jepang juga didatangkan. Film propaganda juga diproduksi pada era Revolusi Nasional dan pasca Kemerdekaan (1945-1950). BFI membuat kumpulan film yang diberi nama “Indonesia fight for freedom”

Referensi

Dokumen terkait

1) Sosialisasi Tim Penjaminan Mutu Polbangtan Bogor dengan struktur organisasi terdiri dari Kepala, Sekretaris, Koordinator Bidang Pengembangan dan Pengendalian

Infeksi saluran kemih dalam kehamilan dapat bervariasi mulai dari bakteriuria simptomatik hingga yang menimbulkan keluhan dan gejala sebagai sistitis dan

Perancangan Sistem Informasi Monitoring Pengunaan Ruangan Rawat Inap di Rumah Sakit Singaparna Medika Citrautama (SMC) memiliki tujuan yaitu dihasilkannya sebuah rancangan

 Menyusun teks deskriptif lisan dan tulis, pendek dan sederhana, terkait tempat wisata dan bangunan bersejarah terkenal, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan

Data hasil belajar aspek psikomotorik menunjukkan bahwa kelas kontrol (kelas dengan formasi teater) memiliki peningkatan nilai aspek psikomotorik peserta didik

Bila vena superfisial ini terpapar dengan adanya tekanan tinggi dalam pembuluh darah, pembuluh vena ini akan mengalami dilatasi yang kemudian terus membesar sampai

Keempat variabel tersebut adalah faktor perencanaan anggaran, faktor pelaksanaan anggaran, faktor pengadaan barang dan jasa serta faktor internal satuan kerja sedangkan satu

Tabel/Table V.1.1 : KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN TAHUN 2004 - 2008 Activities of Forestry Research and Development in 2004 - 2008.. 2004 2005 2006