BAB III
SOLUSI BISNIS
3.1 Fokus Solusi Bisnis
Budaya instansi yang dimiliki oleh suatu instansi harus dapat mendukung visi dan misi dari organisasi, serta strategi yang telah dirumuskan sebelumnya. Salah satu perubahan pada budaya instansi yang cocok diterapkan untuk pengelolaan sebuah instansi yang dihadapkan pada berbagai tantangan bisnis yang semakin besar dan juga untuk membantu dalam menangkap peluang‐ peluang yang ada adalah dengan menerapkan budaya entrepreneurship di instansi yang bersangkutan. Pelaksanaan corporate entrepreneurship dapat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan inovasi dari pegawai di suatu instansi sehingga dapat meningkatkan performa dan menghasilkan kesuksesan dalam melakukan pengelolaan instansi secara keseluruhan.
3.1.1 Tinjauan Pustaka
3.1.1.1 Tinjauan mengenai budaya perusahaan
Banyak pendapat para pakar yang dapat dijadikan acuan dalam mendefinisikan budaya. Salah satu definisi yang dapat digunakan adalah definisi budaya menurut Edward Burnett Taylor (Ndraha, 1997). Menurut dia, budaya didefinisikan sebagai kumpulan yang kompleks di mana di dalamnya tercakup pengetahuan, kepercayaan, seni, adat, moral, hukum, dan berbagai macam kemampuan dan kebiasaan dari individu sebagai anggota dari suatu kelompok sosial. Definisi tersebut kemudian dapat diturunkan lagi menjadi definisi mengenai budaya organisasi.
Dalam hal ini Robbins (2005) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sebuah sistem dari nilai kebersamaan yang dianut oleh para anggota atau pegawai dari
sebuah organisasi yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Ketika orang‐orang bergabung membentuk sebuah organisasi, mereka membawa nilai‐nilai dan kepercayaan‐kepercayaan yang telah diajarkan kepada mereka sebelumnya. Nilai‐nilai dan kepercayaan‐kepercayaan yang mereka bawa ini terkadang tidak cukup membantu untuk meraih kesuksesan sehingga mereka perlu belajar atau menciptakan nilai‐nilai dan kepercayaan‐ kepercayaan yang berlaku dalam sebuah organisasi agar tercapai suatu keadaan yang sesuai baik bagi tiap individu itu sendiri maupun bagi lingkungan organisasi dimana dapat mengarahkan pada tercapainya kinerja yang baik. Dia juga menyatakan bahwa dari hasil penelitian ditemukan tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan dapat menangkap inti dari budaya organisasi (Robbins, 2005).
1. Innovation and Risk Taking.
Karakteristik ini ditunjukkan oleh adanya dorongan terhadap karyawan oleh organisasi untuk berani mengambil risiko dan inovatif.
2. Attention to Detail.
Karakteristik ini ditunjukkan oleh adanya perhatian yang besar dari pihak manajemen terhadap detail (hal‐hal kecil), selain itu karyawan juga diharapkan untuk dapat memberikan ketepatan dalam menganalisis. 3. Outcome Orientation.
Karakteristik memiliki ciri‐ciri di mana pihak manajemen hanya berfokus pada hasil dan tidak terlalu memperhatikan proses‐proses dan teknik yang digunakan karyawan untuk memperoleh hasil tersebut.
4. People Orientation.
Karakteristik ini memiliki ciri‐ciri dimana pihak manajemen selalu memperhatikan dampak dari setiap keputusan atau kebijakan yang diambil terhadap karyawannya.
5. Team Orientation
Karakteristik ini ditunjukkan oleh perilaku karyawan dalam bekerja, dimana kegiatan bekerja diatur dalam sebuah tim.
6. Aggressiveness
Karakteristik ini ditunjukkan oleh sifat karyawan yang agresif dan kompetitif dalam organisasi.
7. Stability
Karakteristik ini ditunjukkan oleh sifat organisasi yang menjaga dan mementingkan stabilitas, sehingga terkadang perusahaan lebih mendahulukan stabilitas daripada pertumbuhan bisnisnya.
3.1.1.2 Tinjauan mengenai Entrepreneurship
Penelitian mengenai entrepreneurship atau kewirausahaan telah banyak dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah Joseph Schumpeter. Dalam penelitiannya dia memfokuskan pada entrepreneur sebagai suatu kekuatan pendorong dalam menciptakan suatu kombinasi produksi yang baru, dan bahwa entrepreneurship merupakan kekuatan yang dapat memicu proses “penghancuran kreatif” terhadap industri yang mapan. Keadaan tersebut dipicu oleh orang‐orang yang berani, orang‐orang yang berani untuk mengambil risiko demi mewujudkan idenya, orang‐orang yang melakukan inovasi (Sadler,1999). Dalam salah satu tulisannya, Schumpeter mengatakan bahwa:
“Intisari dari entrepreneurship, atau kewirausahaan, terletak pada persepsi dan eksploitasi terhadap peluang baru yang muncul dalam suatu bisnis…hal tersebut akan berpengaruh terhadap penggunaan sumber daya dengan cara yang baru dan berbeda untuk menciptakan suatu kombinasi yang baru (Sadler, 1999)”.
Peter Drucker (1985) mendefinisikan entrepreneurship sebagai suatu persepsi untuk mengadakan perubahan, dan seorang entrepreneur adalah seseorang yang
selalu mencari perubahan tersebut dan merespon dan mengeksploitasinya sehingga menjadi suatu peluang. Drucker (1985) memandang bahwa entrepreneurship, atau kewirausahaan, sangat berhubungan dengan inovasi. Drucker (1985) juga mengatakan bahwa suatu organisasi yang efektif adalah organisasi yang mendukung dalam penciptaan kondisi entrepreneurial.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa konsep entrepreneurship adalah konsep yang hanya dapat diterapkan pada institusi bisnis yang dimiliki oleh individu, dan bukan untuk suatu instansi pemerintah. Akan tetapi dengan perubahan atau pergeseran pandangan yang berkaitan dengan reformasi pada sektor pelayanan publik, memunculkan suatu kesempatan baru untuk mengaplikasikan sifat‐sifat entrepreneurship tersebut dalam suatu instansi pemerintah. Salah satu pendapat yang menguatkan hal ini dicetuskan oleh Propenko dan Pavlin (1991). Mereka mengatakan bahwa kebutuhan akan restrukturisasi secara entrepreneurial lebih penting untuk dilakukan pada sektor publik dibandingkan dengan sektor swasta, terkait dengan ketidakadaan rasa memiliki terhadap suatu organisasi pemerintahan. Forster, Graham, dan Wanna (1996) juga mengatakan bahwa suatu institusi pemerintahan seharusnya selalu mencari cara baru dalam memberikan pelayanan, dan melakukan perbaikan secara terus menerus terhadap tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka.
Terkait dengan pelaksanaan entrepreneurship dalam suatu institusi pemerintahan, Peter Drucker (1985) mengatakan bahwa fenomena tentang entrepreneurship merupakan fenomena yang terjadi untuk sektor publik dan swasta. Dia juga mengatakan bahwa tidak ada penjelasan lain yang lebih baik lagi mengenai kewirausahaan selain dari analisis yang dilakukan dalam rangka pembentukan suatu universitas dan rumah sakit. Lebih jauh dia mengatakan
bahwa proses kewirausahaan meliputi proses pencarian sistematis dan analisis peluang yang dapat mendukung proses inovasi.
3.1.1.1 Tinjauan mengenai Corporate Entrepreneurship
Konsep mengenai pelaksanaan perilaku entrepreneurhip dalam suatu perusahaan muncul pada tahun 1985, saat Gifford Pinchot menulis sebuah buku yang berjudul Intrapreneurship. Konsep yang dibawa oleh Pinchot adalah penerapan prinsip‐prinsip kewirausahaan, yang biasanya terdapat pada perusahaan yang baru berdiri, ke dalam perusahaan yang sudah mapan dan besar (Pinchot, 1985). Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan semangat entrepreneurial pada organisasi yang mapan, untuk selalu melakukan aktifitas inovasi, layaknya perusahaan yang baru berdiri, untuk dapat memberikan penciptaan nilai tambah pada perusahaan.
Hisrich dan Petters (2004) menyatakan bahwa untuk menciptakan iklim intrapreneurship, sebuah perusahaan perlu mengembangkan lingkungan intrapreneur (intrapreneurial environment) dan karakteristik kepemimpinan (leadership characteristics). Lingkungan intrapreneur hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya organisasi sedangkan untuk memunculkan karakteristik kepemimpinan yang berjiwa intrapreneurial berkaitan dengan kompetensi sumber daya manusia. Faktor yang terpenting untuk menciptakan suasana intrapreneurial dalam organisasi adalah dengan meyakinkan para pegawai/pekerjanya bahwa mereka berada didalam lingkungan kerja yang penuh inovasi. Struktur organisasi yang rapuh dan konservatif akan menghalangi jiwa intrapreneur para pegawai. Perusahaan konservatif mampu beroperasi dengan tingkat efisiensi dan keuntungan yang tinggi namun tidak menyediakan suasana kerja yang kondusif bagi terciptanya kegiatan
intrapreneurial. Tipe organisasi tersebut tidak menunjang terjadinya kreatifitas dan jiwa kepimimpinan bagi pegawainya (Hamel, 2000).
Konsep intrapreneurship ini kemudian berkembang ke arah yang lebih luas lagi menjadi corporate entrepreneurship. Corporate entrepreneurship menurut Slevin dan Covin (1990) lebih terfokus pada perilaku organisasi. Jennings (1986, 1994) mengatakan bahwa corporate entrepreneurship lebih fokus kepada apa yang dilakukan oleh suatu organisasi, bukan bagaimana suatu organisasi melaksanakannya, dan fokus kepada pengembangan budaya suatu organisasi untuk menerapkan pemikiran‐pemikiran entrepreneurial. Berdasarkan pendapatnya ini Jennings kemudian mengadakan penelitian lanjutan mengenai konsep corporate entrepreneurship ini bersama dengan James Lumpkin. Penelitian mereka difokuskan pada perbedaan antara organisasi yang entrepreneurial dan yang konservatif. Mereka menyimpulkan diantaranya bahwa (Jennings dan Lumpkin, 1989):
• Pengambilan keputusan dalam organisasi entrepreneurial cenderung lebih partisipatif (desentralisasi) dibanding pada organisasi konservatif.
• Pengambilan keputusan dalam organisasi entrepreneurial lebih melibatkan banyak personil dengan spesialisasi tersendiri dibandingkan dengan organisasi yang konservatif.
• Pengukuran kinerja dari organisasi yang entrepreneurial lebih cenderung untuk dibuat berdasarkan partisipasi bersama, dibandingkan dengan organisasi yang konservatif, yang ditetapkan oleh jajaran manajemen puncak.
• Pimpinan pada organisasi entrepreneurial cenderung untuk tidak memberikan hukuman kepada pegawai yang gagal dalam melaksanakan proyek yang berisiko, sementara pada organisasi yang konservatif akan
mengakibatkan kerugian dalam karir pegawai yang gagal melaksanakan proyek.
Thornberry (2006) membagi dimensi‐dimensi kunci dalam pelaksanaan corporate entrepreneurship dalam perusahaan menjadi 10 dimensi, yaitu :
1. Dimensi umum: menggambarkan bagaimana budaya perusahaan secara umum berkaitan dengan sifat‐sifat entrepreneurial yang dimilikinya. 2. Dimensi rencana strategi: menggambarkan budaya perusahaan yang
berkaitan dengan upaya perencanaan strategi perusahaan apakah sudah memiliki ciri‐ciri sebagai perusahaan yang berjiwa entreprenurial atau belum.
3. Dimensi yang berkaitan mengenai kerjasama antar fungsi/antar departemen: menggambarkan hubungan antar fungsi dalam perusahaan 4. Dimensi dukungan terhadap ide‐ide baru: menggambarkan perilaku perusahaan dalam mendukung ide‐ide baru yang merupakan salah satu dimensi kunci penting dalam pelaksanaan budaya entreprenurial.
5. Dimensi intelijen pasar: menggambarkan perilaku perusahaan dalam melakukan riset pasar guna memperoleh informasi.
6. Dimensi pengambilan risiko: menggambarkan perilaku perusahaan dalam hal pengambilan risiko yang merupakan salah satu dimensi kunci penting dalam pelaksanaan budaya entreprenurial.
7. Dimensi kecepatan: menggambarkan kecepatan perusahaan dalam memenangkan dan merespon segala sesuatu yang dapat berguna bagi kepentingan perusahaan.
8. Dimensi fleksibilitas: menggambarkan perilaku perusahaan yang berhubungan dengan ke‐fleksibel‐an perusahaan dalam bertindak dan mengambil keputusan.
9. Dimensi fokus: menggambarkan perilaku perusahaan yang berhubungan dengan fokus dalam melaksanakan kegiatan dan rencana perusahaan.
10. Dimensi masa depan dari suatu perusahaan: menggambarkan perilaku perusahaan dalam memandang masa depan perusahaan berkaitan dengan perilaku entreprenurial dalam pencapaiannya.
Pelaksanaan budaya entrepreneurial dalam suatu organisasi tidak akan berjalan apabila tidak ada dukungan dari pihak manajemen puncak dan pimpinan instansi. Terkait masalah kepemimpinan, Thornberry (2006) menggolongkan tipe‐tipe pemimpin dalam organisasi entrepreneurial terhadap fokus dan peranan masing‐masing pemimpin di dalam suatu organisasi. Thornberry kemudian membagi fokus pemimpin menjadi dua kategori, yaitu Internal dan External, dan membagi perannya menjadi dua kategori, yaitu sebagai aktivis dan katalis. Pengelompokan tersebut seperti terlihat pada Gambar 3.1 di bawah ini. Gambar 3.1. Karakteristik Kepimimpinan Menurut Thornberry (Thornberry, 2006)
Pemimpin aktivis biasanya menaruh perhatian besar pada penciptaan nilai tambah untuk organisasi. Mereka mampu mengidentifikasi, mengembangkan dan menangkap peluang untuk bisa menghasilkan value creation bagi organisasi. Tipe ini kemudian dibagi lagi menjadi dua berdasarkan fokusnya dalam melakukan pencarian peluang, untuk internal disebut dengan Miners sedangkan untuk eksternal organisasi disebut dengan Explorers.
Pemimpin katalis biasanya melakukan penciptaan nilai‐nilai budaya dan memberikan dukungan terhadap pembentukan lingkungan organisasi yang mendorong adanya inovasi dan perumusan ide‐ide baru untuk dapat menangkap dan merealisasikan peluang‐peluang yang ada. Tipe ini kemudian dibagi lagi menjadi dua berdasarkan fokusnya dalam melakukan pengembangan prinsip‐prinsip entrepreneurial, untuk internal atau dalam unit/divisi tempat dia berada disebut dengan Accelerators sedangkan untuk keseluruhan organisasi disebut dengan Integrators.
Penjelasan lebih detail mengenai masing‐masing tipe sebagai berikut:
• Tipe miners dapat melihat peluang untuk value creation dengan cara merampingkan dan atau memperbaiki proses dan penggunaan aset organisasi.
• Tipe explorers terlibat langsung dengan value creation yang bertujuan untuk mengembangkan pasar baru, produk/jasa baru atau keduanya. Tipe explorer ini pada umumnya jeli dalam melihat peluang pasar dan seorang pengambil risiko.
• Tipe accelerators biasanya memimpin suatu unit atau divisi. Tipe ini berusaha untuk memotivasi karyawannya untuk lebih inovatif dan berlaku entrepreneurial dengan cara memberikan dukungan kepada
bawahan dalam mengambil risiko dan merealisasikan ide‐ide mereka, dan tidak menghukum bawahannya ketika melakukan kesalahan. • Tipe integrators biasanya dalam struktur organisasi berada di tingkat
manajemen puncak. Mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan organisasi yang bersifat entrepreneurial dengan cara membangun sumber daya manusia, struktur, proses dan budaya dan menjaga agar jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship dalam organisasi dapat dilaksanakan secara berkesinambungan.
3.1.2 Pembatasan Solusi Bisnis
Supaya penelitian ini dapat lebih fokus dan mendapatkan hasil yang optimal, maka dilakukan beberapa pembatasan atas solusi bisnis yang diusulkan oleh penulis, yaitu:
• Penelitian ini dilakukan sampai pada tahapan identifikasi dan rekomendasi atas rencana implementasi dari solusi bisnis, tidak sampai tahap implementasi.
• Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, dan penyebaran kuesioner dilakukan untuk seluruh pegawai tetap dan para pemegang jabatan struktural di Rumah Sakit Mata Cicendo.
• Data yang diambil untuk dilakukan proses analisis, adalah data yang didapatkan melalui penyebaran kuesioner yang dikembalikan dan diisi lengkap oleh responden, atau melalui proses wawancara, serta sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
• Analisis dilakukan secara kuantitatif, dengan kuesioner, dan secara kualitatif, dengan wawancara dan studi pustaka, untuk mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan perilaku entrepreneurial yang ada saat ini dan pengaruhnya terhadap kondisi instansi.
3.1.3 Metodologi Solusi Bisnis
Supaya penelitian ini dapat dilakukan secara sistematis, maka perlu ditentukan langkah‐langkah atau metode penelitian yang sesuai untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan penelitian. Dengan mengikuti metode penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu solusi bisnis yang sesuai dengan isu bisnis yang sedang berkembang. Tahapan atau langkah‐langkah yang dilakukan dalam penelitian mengenai budaya organisasi di Rumah Sakit Mata Cicendo ini seperti ditunjukkan gambar berikut. Gambar 3.2. Metodologi Solusi Bisnis
3.1.4 Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.1.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengadakan peninjauan dan analisis terhadap budaya entrepreneurial di Rumah Sakit Mata Cicendo, maka diperlukan suatu instrumen yang relevan untuk dapat melakukan identifikasi terhadap budaya institusi yang ada pada saat ini. Penelitian juga dilakukan untuk menemukan kemungkinan adanya kesenjangan antara budaya institusi yang diharapkan, dengan budaya institusi yang ada dan berjalan pada saat ini. Penilaian terhadap budaya institusi tersebut dilakukan dengan menggunakan dua survei yaitu:
• EOS (Entrepreneurial Orientation Survey). EOS bertujuan untuk mengukur orientasi entrpreneurial secara keseluruhan di suatu institusi.
• ELQ (Entrepreneurial Leadership Questionnaire). ELQ bertujuan untuk menilai perilaku entrepreneurial para manajer dan top management institusi, yang berpengaruh terhadap pembentukan budaya institusi.
Data yang dikumpulkan pada tahap ini terdiri dari data primer, dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil kuesioner EOS dan ELQ yang disebarkan, wawancara, serta observasi. Kuesioner EOS dan ELQ ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden (pegawai Rumah Sakit Mata Cicendo) yang mewakili dan berkaitan dengan tujuan penelitian. Untuk mendapatkan data tambahan dilakukan pula wawancara antara peneliti dan responden, serta dengan melakukan observasi sehingga diperoleh informasi tambahan untuk tujuan penelitian. Teknik ini digunakan untuk mencari data yang belum terjawab dalam kuesioner dan atau untuk mendukung data yang masih meragukan.
3.1.4.2 Profil Responden
Penyebaran kuesioner dilakukan di lingkungan Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung. Pengisian kuesioner EOS (Entrepreneurial Orientation Survey) dilakukan oleh seluruh pegawai tetap Rumah Sakit Mata Cicendo dengan tingkat pendidikan minimum adalah Diploma. Keseluruhan jumlah kuesioner EOS yang dikembalikan dan diisi lengkap oleh responden, sebanyak 61 buah. Pengisian kuesioner mengenai ELQ (Entrepreneurial Leadership Questionnaire) dilakukan oleh para pimpinan struktural dengan posisi jabatan minimal sebagai Kepala Seksi dan atau Kepala Sub Bagian, dan dilakukan penilaian terhadap atasan, bawahan, dan rekan sejawat. Jumlah kuesioner ELQ yang dikembalikan dan diisi lengkap oleh responden adalah sebanyak 14 buah.
3.1.4.3 Teknik Pengukuran Variabel
Pada penelitian ini digunakan kuesioner sebagai alat untuk mengumpulkan data yang kemudian diukur dengan menggunakan skala Likert yaitu, skala yang berhubungan dengan pernyataan sikap seseorang terhadap sesuatu (Husein Umar, 1999). Dengan menggunakan skala ini maka pertanyaan‐ pertanyaan yang bersifat kualitatif dalam kuesioner tersebut dapat dikuantifikasikan dan diukur. Penggunaan skala Likert memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang ditawarkan oleh skala ini adalah dapat memberikan kebebasan bagi responden dalam menentukan pendapat dan juga data yang didapat adalah cukup obyektif. Kerugian penggunaan skala ini bagi penelitian ini adalah bahwa skala ini tidak dapat mendapatkan dan menarik informasi lain dari responden selain dari yang tertulis dalam kuesioner. Pertanyaan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala Likert lima poin, yang merepresentasikan:
• Untuk EOS o 1 = sangat setuju, o 2 = tidak setuju, o 3 = ragu‐ragu, o 4 = setuju, dan o 5 = sangat setuju. • Untuk ELQ o 1 = sangat jarang dilakukan, sangat tidak penting; o 2 = jarang dilakukan, tidak penting; o 3 = ragu‐ragu; o 4 = sering dilakukan, penting; o 5 = sangat sering, sangat penting.
Data yang terkumpul dalam kuesioner EOS, kemudian diolah dan diinterpretasikan secara diagramatis melalui diagram radar. Sedangkan hasil dari angka–angka dalam kuesioner ELQ diolah untuk dilakukan pengelompokan terhadap tipe kepemimpinan di Rumah Sakit Mata Cicendo, apakah bersifat integrator, explorer, miner, accelerator.
3.1.5 Validitas dan Reliabilitas
Data yang diperoleh dari hasil kuesioner EOS dan ELQ tersebut harus diuji validitas dan reabilitasnya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah butir‐ butir pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner tersebut dapat memenuhi kriteria valid dan realible, atau tidak. Uji validitas digunakan untuk mengetahui valid tidaknya instrumen pengukuran. Instrumen dikatakan valid apabila dapat mengukur apa yang semestinya diukur atau mampu mengukur apa yang ingin dicari secara tepat (Arikunto dalam Biantong, 2007). Uji reliabilitas dapat berguna untuk mengetahui bagaimana butir‐butir pertanyaan dalam kuesioner
dapat berhubungan. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Singarimbun, 1995).
Menurut pencipta alat ukur EOS dan ELQ, Neal Thornberry, alat ukur EOS dan ELQ ini sudah merupakan suatu alat ukur yang telah diuji realibilitas dan validitasnya serta sering digunakan untuk mengukur dimensi‐dimensi corporate entrepreneurship di berbagai perusahaan besar seperti Mott’s, Siemens dan Sodexho (Thornberry, 2006). Pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur EOS dan ELQ ini juga telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan data‐data yang diperoleh dari hasil survei serupa di beberapa perusahaan di Indonesia, dengan total responden 656 dan tingkat kesalahan 5%. Hasil pengolahan dengan menggunakan program SPSS seperti ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 3.1. Nilai Alpha Cronbach dan Koefisien Korelasi (r) (Biantong, 2007)
Kategori Alpha Cronbach r (Corrected item total correlation)
Umum 0.667 0.372 ‐ 0.460 Rencana Strategis 0.674 0.397 ‐ 0.464 Cross Functionality 0.722 0.341 ‐ 0.647 Dukungan 0.745 0.365 ‐ 0.585 Intelijen Pasar 0.717 0.329 ‐ 0.589 Risiko 0.754 0.350 ‐ 0.647 Kecepatan 0.703 0.411 ‐ 0.558 Fleksibilitas 0.594 0.093 ‐ 0.507 Fokus 0.736 0.305 ‐ 0.610 Masa Depan 0.812 0.552 ‐ 0.688 Orientasi Individu 0.816 0.192 ‐ 0.675
Pengujian terhadap validitas kuesioner EOS ini dilakukan dengan membandingkan nilai koefisien korelasi (r) hasil perhitungan di atas terhadap rtable. Hasil rtable adalah sebesar 0,077 untuk jumlah responden 656 orang dan
error 5%. Berdasarkan hasil tersebut, kerena nilai dari koefisien korelasi (r) hasil perhitungan lebih besar dari rtable maka dapat dikatakan bahwa kuesioner EOS
yang digunakan memenuhi persyaratan validitas.
Pengujian terhadap reliabilitas dari kuesioner EOS yang digunakan dilakukan dengan cara membandingkan nilai koefisien Cronbach’s Alpha hasil perhitungan SPSS dengan Tabel Klasifikasi Nilai Keandalan berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh Guilford dalam Biantong (2007) berikut ini. Tabel 3.2. Klasifikasi Nilai Koefisien Keandalan (Biantong,2007) Nilai Koefisien Tingkat Korelasi < 0.2 Tidak Ada 0.2 ‐ < 0.4 Rendah 0.4 ‐ < 0.7 Sedang 0.7 ‐ < 0.9 Tinggi 0.9 ‐ < 1 Tinggi Sekali 1 Sempurna
Perbandingan nilai cronbach alpha yang didapat dari hasil perhitungan di atas, seperti ditunjukkan tabel 3.1, dibandingkan dengan klasifikasi nilai koefisien keandalan menurut Guilford menunjukkan semua data masuk ke dalam tingkat korelasi antara sedang hingga tinggi. Berdasarkan hasil tersebut, maka kuesioner EOS yang digunakan ini dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan reliabilitas.
3.2 Analisis Solusi Bisnis
3.2.1 Analisis Hasil Entrepreneurial Orientation Survey (EOS)
EOS (Entrepreneurial Orientation Survey) bertujuan untuk dapat mengukur orientasi entrpreneurial secara keseluruhan di suatu institusi. Ada beberapa faktor penting yang dapat membedakan organisasi yang berorientasi entrepreneurial dan yang tidak. Faktor‐faktor tersebut dapat dikategorikan ke dalam dimensi‐dimensi kunci yang digunakan dalam EOS yaitu: • Penilaian terhadap instansi secara umum, • Strategic planning, • Cross‐functionality, • Dukungan terhadap ide baru, • Intelijen pasar, • Keberanian untuk mengambil risiko, • Kecepatan dalam menangani masalah, • Fleksibilitas, • Fokus, • Orientasi pada masa depan, • Orientasi individu, • Kondisi instansi, • Tentang saya. Dengan menggunakan skala Likert lima poin (1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = ragu‐ragu, 4 = setuju, dan 5 = sangat setuju), maka konversi ke dalam rentang persepsinya, sebagai dasar perbandingan kondisi saat ini terhadap budaya yang ideal, dapat dibagi menjadi seperti berikut ini:
Tabel 3.3. Rentang Persepsi Persepsi Rentang Sangat rendah 1.0 ‐ 1.8 Rendah 1.8 ‐ 2.6 Rata‐rata 2.6 ‐ 3.4 Tinggi 3.4 ‐ 4.2 Sangat tinggi 4.2 ‐ 5.0 Rentang persepsi tersebut menunjukkan bagaimana persepsi mengenai budaya instansi yang ada saat ini jika dibandingkan terhadap budaya instansi yang ideal berbasiskan entrepreneurial.
Hasil EOS yang dilakukan di Rumah Sakit Mata Cicendo ditunjukkan pada tabel dan gambar di bawah ini.
Tabel 3.4. Hasil Penilaian EOS
Kategori Nilai Persepsi
Umum 3.148 Rata‐rata Rencana Strategi 3.115 Rata‐rata Cross Functionality 3.531 Tinggi Dukungan 3.534 Tinggi Intelijen Pasar 3.285 Rata‐rata Risiko 2.648 Rata‐rata Kecepatan 3.496 Tinggi Fleksibilitas 2.951 Rata‐rata Fokus 3.440 Tinggi Masa Depan 3.180 Rata‐rata Orientasi Individu 2.429 Rendah Kondisi Perusahaan 3.463 Tinggi Tentang Saya 3.361 Rata‐rata
Gambar 3.3. Karakteristik Budaya Rumah Sakit Mata Cicendo
Berdasarkan Tabel 3.4 dan Gambar 3.3 di atas, terlihat bahwa dimensi‐dimensi kunci yang ada terletak antara nilai 2,429 sampai dengan 3,534. Nilai terendah dari dimensi kunci dalam EOS untuk Rumah Sakit Mata Cicendo adalah orientasi individu, dengan nilai 2,429. Sedangkan dimensi kunci yang memiliki nilai tertinggi adalah dimensi dukungan terhadap ide baru, dengan nilai 3,534. Hasil dari EOS Rumah Sakit Mata Cicendo ini secara umum menunjukkan bahwa budaya instansi yang ada saat ini masih belum dapat dikategorikan sebagai budaya instansi yang berbasiskan entrepreneurial, oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan dan perbaikan terhadap dimensi‐dimensi yang ada.
3.2.1.1 Analisis Hasil EOS Mengenai Instansi Secara Umum
Aspek‐aspek berikut ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi instansi secara umum dalam konteks Corporate Entrepreneurship, yaitu mengenai pengendalian anggaran, pemberian reward, penyediaan dana untuk layanan baru, serta bagaimana tahapan persetujuan terhadap dana di luar anggaran.
Aspek‐aspek tersebut mencerminkan bagaimana dukungan perusahaan terhadap pelaksanaan corporate entrepreneurship di Rumah Sakit Mata Cicendo.
Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, didapatkan bahwa rata‐rata para pegawai Rumah Sakit Mata Cicendo menilai bahwa secara umum kondisi instansi berada pada nilai 3,148. Hasil ini menggambarkan bahwa dukungan perusahaan terhadap pelaksanaan corporate entrepreneurship secara umum masih berada pada daerah rata‐rata. Dukungan ini harus lebih ditingkatkan lagi sehingga dapat mencapai dan berada pada daerah ideal, dengan nilai yang tinggi untuk dapat menerapkan prinsip corporate entrepreneurship. Detail pertanyaan dari aspek‐aspek yang berpengaruh terhadap kondisi perusahaan secara umum dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.5. Hasil Penilaian Dimensi Umum
No Item Average
1 Menekankan pengendalian anggaran secara ketat. (‐) 2.361 2 Memberikan reward bagi seorang manajer yang melakukan cost cutting. 2.984 3 Menyediakan dana untuk peluang layanan baru. 3.770 4 Menyediakan dana untuk ide‐ide yang benar‐benar bagus. 3.951 5 Membutuhkan banyak tahapan persetujuan untuk mendapatkan dana investasi di luar anggaran. (‐) 2.672
Secara umum, sebagai sebuah institusi pemerintah, terutama institusi yang bergerak pada bidang pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan dengan menyandang status sebagai perusahaan jawatan, maka Rumah Sakit Mata Cicendo pada saat ini masih tergantung pada anggaran yang dibuat oleh pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Jawa Barat. Dengan masih berstatus sebagai perusahaan pemerintah maka sangat wajar apabila Rumah Sakit Mata Cicendo saat ini masih menerapkan pengendalian anggaran yang ketat. Anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah daerah tersebut memang ditekankan untuk memberikan suatu terobosan layanan dan atau peningkatan
kualitas layanan rumah sakit sehingga dapat lebih meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari nilai pernyataan mengenai penyediaan dana untuk peluang layanan baru dan ide‐ide yang benar‐benar bagus, dimana keduanya memiliki nilai yang tinggi, yaitu 3,770 dan 3,951.
Sebagai suatu institusi yang dekat dengan masyarakat maka pihak Rumah Sakit Mata Cicendo seharusnya bertindak lebih cekatan lagi dalam menentukan jenis layanan seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, karena status rumah sakit yang sampai saat ini masih merupakan rumah sakit pemerintah, maka dalam hal penggunaan dana di luar anggaran, yang bertujuan untuk inovasi layanan baru, RSM Cicendo masih menemui kendala dalam tahapan persetujuan pengajuan. Kendala yang dihadapi oleh RSM Cicendo ini terletak pada banyaknya birokrasi dan tahapan yang harus dilakukan sehingga akan berpengaruh terhadap kecepatan dan fleksibilitas pelaksanaan pelayanan yang akan diberikan. Banyaknya tahapan tersebut juga, apabila kita melihat dari sisi lain, terjadi karena saat ini sering terjadi penggunaan dana di luar anggaran yang disalah gunakan, sehingga untuk mencegah hal tersebut maka pemerintah membuat mekanisme pengawasan dan persetujuan semakin rumit. Hal ini terlihat dari nilai pernyataan tentang tahapan persetujuan terhadap dana diluar anggaran yang berada pada nilai rata‐rata, yaitu 2,672.
Analisis yang dilakukan di atas dilakukan adalah dengan melihat bagaimana Rumah Sakit Mata Cicendo mengejar peluang dan pembentukan ide layanan baru serta faktor‐faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaannya. Dalam menjalankan suatu organisasi tentu tidak lepas dari adanya mekanisme perbaikan terhadap kondisi organisasi yang ada saat ini. Perbaikan kondisi organisasi yang ada dapat dilakukan lewat tindakan untuk melakukan
penghematan biaya dan perbaikan proses bisnis, sehingga diharapkan dapat lebih meningkatkan keuntungan apabila belum mendapatkan peluang layanan baru. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme reward atau penghargaan yang akan memacu pegawai, tidak hanya jajaran manajerial, untuk dapat selalu melakukan perbaikan proses bisnis dan penghematan biaya. Pelaksanaan pemberian reward ini di Rumah Sakit Mata Cicendo masih belum dapat dikategorikan berjalan dengan baik, terbukti dari nilai sebesar 2,984 yang menunjukkan bahwa pelaksanaan pemberian reward ini masih berada pada kisaran rata‐rata.
3.2.1.2 Analisis Hasil EOS Mengenai Rencana Strategi
Hasil EOS untuk rencana strategi didapatkan dengan merata‐ratakan nilai dari masing‐masing pernyataan‐pernyataan mengenai apakah instansi telah melakukan proses perencanaan strategi yang formal, apakah instansi membiarkan strategi tumbuh dan dapat berubah mengikuti tren pasar, apakah instansi mengharapkan para manajer untuk selalu berpedoman pada rencana dan anggaran tahunan, apakah instansi memiliki rencana strategis yang jelas, dan apakah instansi bergantung dengan konsultan luar dalam pembuatan strateginya.
Perencanaan strategi dilakukan oleh jajaran top management, akan tetapi rencana strategi tersebut harus dapat dikomunikasikan dengan baik kepada para pegawai, sehingga mereka dapat menterjemahkan dan melaksanakan rencana strategi tersebut. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa penilaian para pegawai terhadap rencana strategi dari Rumah Sakit Mata Cicendo menunjukkan nilai 3,115, atau dapat dikatakan masih berada pada kisaran rata‐rata. Hal ini dapat diartikan bahwa rencana strategi tersebut belum mengakomodir pelaksanaan budaya entrepreneurial, yang mensyaratkan bahwa
rencana strategis optimalnya berada pada nilai 5, dan harus ditingkatkan lagi oleh Rumah Sakit Mata Cicendo.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai dimensi rencana strategis ini dapat dilihat dari tabel hasil penilaian, untuk masing‐masing pernyataan yang diajukan dalam dimensi ini, di bawah ini.
Tabel 3.6. Hasil Penilaian Dimensi Rencana Strategi
No Item Average
1 Menggunakan proses perencanaan strategi yang formal. (-) 2.131
2 Membiarkan strategi tumbuh dan mungkin berubah mengikuti tren pasar. 3.377
3 Mengharapkan para manajer untuk selalu berpedoman pada rencana dan
anggaran tahunan. (-) 2.426
4 Tidak mempunyai rencana yang jelas. (-) 3.918
5 Sangat bergantung pada konsultan di luar perusahaan untuk membuat
strategi. (-) 3.721
Rumah Sakit Mata Cicendo mempunyai rencana strategi yang jelas, dan hal tersebut diketahui oleh pegawainya, seperti ditunjukkan dengan nilai yang tinggi yaitu 3,918. Akan tetapi ternyata perusahaan masih ragu‐ragu dalam melaksanakan dan membiarkan rencana strategi yang mereka susun untuk dapat tumbuh dan berubah mengikuti trend pasar, ditunjukkan dengan nilai 3,377. RSM Cicendo dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di masa yang akan datang, dan menuntut instansi untuk dapat dengan cepat beradaptasi terhadap kebutuhan pasar, harus dapat fleksibel dalam menyesuaikan strateginya dengan perubahan tersebut, apabila ingin menjadi instansi yang memiliki daya saing yang tinggi.
Rumah Sakit Mata Cicendo sebagai instansi pemerintahan masih menggunakan proses perencanaan strategi yang formal, yang diturunkan dari visi pemerintah Republik Indonesia dalam melayani kebutuhan kesehatan masyarakat. Hal ini juga didukung oleh jajaran manajerial yang diharapkan untuk dapat
berpedoman pada rencana dan anggaran tahunan yang telah ditetapkan. Kedua hal ini didukung dengan nilai yang rendah dalam hasil EOS, yaitu dengan nilai 2,131 dan 2,426. RSM Cicendo harus meningkatkan dan mengubah proses perancangan strategi supaya dapat beradaptasi dan mengakomodir perkembangan kompetisi yang siklus hidupnya semakin pendek, bukan dalam hitungan tahunan lagi.
Perancangan strategi yang dilakukan Rumah Sakit Mata Cicendo ini telah dilakukan secara mandiri, dalam hal ini tidak membutuhkan bantuan konsultan luar dalam pembuatannya. Hal ini merupakan langkah yang sangat baik sehingga apabila terjadi perubahan struktur industri dalam bidang kesehatan, maka RSM Cicendo dapat langsung melakukan perubahan untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat. Apabila RSM Cicendo masih membutuhkan bantuan konsultan dari luar, maka selain akan menambah biaya, akan berpengaruh terhadap kemampuan RSM Cicendo untuk mandiri dan bersiap menghadapi tantangan di masa depan, yang akan semakin ketat dengan bertambahnya kompetisi dengan perusahaan swasta.
3.2.1.3 Analisis Hasil EOS Mengenai Cross Functionality
Dimensi cross functionality ini mengukur bagaimana kerjasama antar departemen pada saat ini berlangsung, dengan menggunakan lima pertanyaan. Pertanyaan‐pertanyaan tersebut diajukan untuk menilai seberapa besar hambatan dalam kerjasama antar departemen yang ada saat ini, apakah Rumah Sakit Mata Cicendo memiliki departemen‐departemen atau unit yang mau membagi ide dan informasi antara satu dengan lainnya, bagaimana dukungan instansi terhadap kegiatan diskusi antar departemen/fungsi untuk memecahkan suatu permasalahan, apakah instansi memberikan penghargaan tertentu terhadap kerjasama antar departemen/fungsi, apakah terdapat
program rotasi pegawai sebagai bagian dari proses pegembangan sumber daya manusia (SDM).
Hasil penelitian dengan menggunakan EOS menunjukkan bahwa penilaian pegawai RSM Cicendo terhadap dimensi kerjasama antar departemen/fungsi ini berada pada nilai 3,531 atau masuk kepada rentang persepsi tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa RSM Cicendo sangat mendorong adanya kerjasama antar departemen/fungsi untuk dapat bersama‐sama mengembangkan instansi, membagi informasi, meningkatkan kemampuan pegawai, dan dalam mengembangkan suatu layanan baru. Kerjasama antar departemen/fungsi ini juga merupakan indikator mengenai bagaimana koordinasi dalam instansi dilakukan untuk memberikan pelayanan yang lebih memuaskan lagi kepada masyarakat. Hasil penilaian dimensi ini ditunjukkan pada Tabel 3.7 berikut ini.
Tabel 3.7. Hasil Penilaian Dimensi Cross Functionality
No Item Average
1 Memiliki sedikit hambatan untuk kerjasama antar departemen /fungsi. 3.082
2 Mempunyai departemen-departemen yang mau membagi ide dan
informasi satu dengan yang lain. 3.721
3 Mendorong kegiatan diskusi antar departemen/antar fungsi dan
pemecahan masalah. 3.803
4 Secara formal memberikan penghargaan terhadap kerjasama antar
departemen/antar fungsi. 3.508
5 Merotasi karyawan pada fungsi-fungsi yang berbeda sebagai bagian dari
proses formal pengembangan SDM. 3.541
Tidak sedikit hambatan yang harus dihadapi oleh para departemen/fungsi dalam RSM Cicendo dalam melakukan kerjasama antar departemen/fungsi, seperti ditunjukkan dengan nilai 3,082 (rata‐rata). Akan tetapi hal tersebut dapat diminimalisasi dengan tingginya kesadaran dari departemen‐ departemen yang ada untuk mau melakukan pembagian ide dan penyebaran informasi ke departemen/fungsi lain, ditunjukkan dengan nilai 3,721 (tinggi).
Selain itu, dengan tingginya kesadaran akan kerjasama antar departemen/fungsi, hal tersebut juga semakin mendorong departemen/fungsi yang ada untuk melakukan diskusi dalam memecahkan suatu permasalahan, ditunjukkan dengan nilai 3,803 (tinggi), sehingga dapat bertindak sebagai suatu kesatuan untuk bersama‐sama memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Akan tetapi, RSM Cicendo tidak boleh terlena dalam mendukung dan meningkatkan kerjasama antar departemen/fungsi ini. Rumah Sakit Mata Cicendo sebagai sebuah instansi yang menghargai adanya kerjasama antar departemen harus dapat memacu peningkatan kerjasama ini, salah satunya adalah dengan memberikan penghargaan secara formal. Saat ini walaupun pada pertanyaan mengenai penghargaan secara formal yang ada menunjukkan nilai yang tinggi, yaitu pada 3,508, RSM Cicendo harus terus mengapresiasi dimensi ini, untuk lebih memotivasi pelaksanaan kerjasama yang solid antar departemen/fungsi.
Pelaksanaan rotasi pegawai pada departemen yang berbeda‐beda akan lebih meningkatkan kerjasama antar departemen/fungsi. Rotasi pegawai bertujuan untuk lebih meningkatkan kompetensi pegawai dan juga bermanfaat untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kerjasama antar departemen sehingga seluruh departemen/fungsi yang ada dapat bergerak bersama menuju ke arah pengembangan organisasi yang lebih baik lagi. Pelaksanaan rotasi pegawai saat ini di Rumah Sakit Mata Cicendo telah dilaksanakan cukup baik, dilihat dari nilai yang cukup tinggi, yaitu dengan nilai 3,541. Pelaksanaan rotasi pegawai ini harus terus dilakukan sebagai bagian dari proses formal pengembangan sumber daya manusia.
3.2.1.4 Analisis Hasil EOS Mengenai Dukungan Terhadap Ide Baru
Dimensi dukungan terhadap ide baru merupakan dimensi yang berhubungan langsung dengan proses inovasi. Dukungan terhadap ide baru ini dapat dinilai dengan melakukan pertanyaan, dalam kerangka acuan pembuatan EOS, mengenai bagaimana dukungan dari instansi terhadap cara‐cara baru dan berbeda dalam mengerjakan sesuatu, apakah terdapat fungsi tertentu dalam instansi yang difokuskan untuk inovasi dan pengembangan layanan baru, apakah karyawan didukung dalam melakukan sumbang saran apabila memiliki ide‐ide tertentu, bagaimana pandangan instansi terhadap cara‐cara lama yang saat ini dilaksanakan dalam menghadapi suatu masalah, apakah terdapat sarana informal untuk mendiskusikan ide‐ide mengenai layanan baru.
Dimensi dukungan terhadap ide baru ini pada Rumah Sakit Mata Cicendo memiliki nilai yang paling tinggi diantara dimensi‐dimensi lainnya, dengan nilai 3,534 dan berada pada rentang persepsi tinggi. Dukungan terhadap ide baru ini sangat berpengaruh terutama untuk instansi rumah sakit yang dengan tujuannya untuk melayani masyarakat, harus terus melakukan proses inovasi dan pengembangan layanan. Perkembangan dunia kedokteran modern dan didukung oleh perkembangan teknologi, serta semakin beragamnya variasi penyakit yang ada pada masyarakat, menuntut instansi Rumah Sakit untuk selalu dapat memberikan sebuah solusi kepada masyarakat. Selain itu sebagai rumah sakit pusat rujukan kesehatan mata nasional, maka tentunya RSM Cicendo harus selalu tanggap akan kondisi yang terjadi di masyarakat.
Apabila kita melihat nilai yang dimiliki oleh RSM Cicendo dalam hal dukungan terhadap ide baru, maka dengan nilai cukup tinggi yang dimilikinya maka dapat dikatakan bahwa Rumah Sakit Mata Cicendo telah berhasil untuk dapat mendorong proses inovasi di lingkungannya. Analisis lebih detail mengenai
pertanyaan‐pertanyaan yang membentuk dimensi ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.8. Hasil Penilaian Dimensi Dukungan Terhadap Ide Baru No Item Average
1 Secara umum, manajemen mendukung kita untuk memikirkan cara-cara
baru dan berbeda dalam mengerjakan sesuatu. 3.738
2 Ada satu fungsi penting di dalam instansi, yang tanggung jawab utamanya
adalah untuk inovasi dan pengembangan layanan baru. 3.754
3 Kami memiliki sarana sumbang saran yang berhasil dalam menampung
ide-ide karyawan. 3.443
4 Instansi segan mempertanyakan/mengubah cara-cara lama yang sudah
ada didalam instansi dalam menghadapi sesuatu. (-) 3.213
5 Kami sering bertemu secara informal untuk mendiskusikan ide layanan
baru. 3.525
Secara umum dapat dilihat bahwa top management mendukung para pegawainya untuk selalu memikirkan cara‐cara baru dan berbeda dalam mengerjakan sesuatu. Selain itu dengan adanya sarana sumbang saran yang digunakan untuk menampung ide‐ide karyawan maka akan membuat pegawai merasa sebagai bagian dari proses perbaikan yang dilakukan. Hal ini terkait dengan misi dari RSM Cicendo yang selalu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam bidang kesehatan mata. Nilai yang didapatkan untuk pertanyaan ini, yaitu 3,738 dan 3,443, berada pada rentang persepsi yang tinggi. Nilai ini harus lebih ditingkatkan supaya proses inovasi yang telah berjalan dapat lebih bermanfaat lagi untuk kesehatan masyarakat Indonesia.
Selain dengan melakukan dukungan terhadap ide‐ide baru dari karyawan, RSM Cicendo juga memiliki bagian/fungsi tersendiri yang tanggung jawabnya adalah untuk inovasi dan pengembangan layanan baru, Pembentukan bagian/fungsi ini bertujuan untuk dapat mengakomodir kebutuhan akan pelayanan kesehatan mata yang semakin beragam, contohnya adalah bagian oftalmologi komunitas. Adanya fungsi ini dalam pengembangan layanan
disadari betul oleh pegawai RSM Cicendo, ditunjukkan dengan perolehan nilai yang tinggi pada hasil EOS yaitu 3,754. Selain, pembentukan fungsi khusus yang bertugas untuk proses inovasi ini, RSM Cicendo juga mendukung pegawainya untuk melakukan proses informal pengembangan layanan baru melalui diskusi‐diskusi ide. Nilai untuk pertanyaan mengenai proses informal untuk diskusi ide‐ide layanan baru ini memiliki nilai yang cukup tinggi, yaitu 3,525.
Salah satu hambatan dalam dimensi dukungan terhadap ide baru ini dapat terjadi karena perilaku instansi yang segan untuk mempertanyakan dan atau mengubah cara‐cara lama yang saat ini diterapkan terhadap penyelesaian suatu masalah. Cara‐cara lama yang saat ini diterapkan mungkin tidak semuanya relevan dengan kondisi saat ini, dan cara‐cara tersebut harus diubah dan diperbaiki sehingga dapat mengakomodir tantangan yang akan dihadapi. RSM Cicendo dalam menanggapi perubahan terhadap cara‐cara lama ini, masih cenderung untuk ragu‐ragu dalam melakukan perbaikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai EOS untuk pertanyaan ini yang bernilai sebesar 3,213. Untuk itu RSM Cicendo harus berani untuk melakukan suatu terobosan terhadap penggunaan dan perubahan cara‐cara lama ini sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan instansi.
3.2.1.5 Analisis Hasil EOS Mengenai Intelijen Pasar
Dimensi intelijen pasar menggambarkan mengenai kemampuan instansi dalam membaca kebutuhan pasar. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai dimensi intelijen pasar ini, terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan penilaian terhadap dimensi ini, yaitu bagaimana pandangan instansi mengenai konsumen adalah sebagai raja, bagaimana dorongan untuk bertemu dengan konsumen, apakah instansi telah
melakukan survey rutin mengenai kepuasan konsumen, bagaimana perilaku manajemen puncak terhadap konsumen, apakah pegawai mengetahui mengenai pesaing utama dan bagaimana cara menghadapinya.
Hasil perhitungan EOS untuk dimensi intelijen pasar ini menunjukkan nilai 3,285 dan masuk ke dalam rentang persepsi rata‐rata. Hal ini berarti bahwa instansi masih belum maksimal dalam membaca kebutuhan pasar, sehingga dibutuhkan upaya‐upaya lebih besar lagi untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingya intelijen pasar, terutama untuk menghadapi persainagan yang semakin ketat, dan tekanan dari pihak penyedia layanan rumah sakit swasta. Hasil penelitian untuk pertanyaan‐pertanyaan yang membentuk dimensi intelijen pasar ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.9. Hasil Penilaian Dimensi Intelijen Pasar
No Item Average
1 Konsumen adalah raja bagi instansi kami. 4.164
2 Kecuali anda berada di divisi pemasaran atau penjualan, dorongan untuk
bertemu konsumen sangat kurang. (-) 2.918
3
Instansi secara rutin melakukan survey kepuasan konsmen dan menyebarkan hasilnya secara internal untuk semua pihak dalam
perusahaan. 3.344
4 Manajemen puncak jarang sekali mengunjungi konsumen secara
langsung. (-) 2.770
5 Sebagian besar karyawan mengetahui siapa pesaing utama dan
bagaimana cara kami bersama-sama mengahadapinya. 3.230
Sebagai suatu instansi yang berhubungan langsung dengan konsumen, maka RSM Cicendo berkepentingan untuk melayani kebutuhan konsumennya, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia, dalam hal pelayanan kebutuhan kesehatan. Pegawai RSM Cicendo cukup sadar akan hal ini, dan dibuktikan dengan nilai yang tinggi pada pernyataan bahwa konsumen adalah raja, dengan nilai 4,164. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih sering terjadi ketidak konsistenan. Sebagai instansi yang diharapkan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan kesehatannya, ternyata para pegawai dan juga jajaran manajemen puncak dari RSM Cicendo masih belum optimal dalam memperhatikan kebutuhan konsumen. Hal ini didukung oleh penilaian atas hasil EOS yang masih berada dalam kisaran daerah persepsi rata‐rata untuk pernyataan nomor 2 dan 4, masing‐masing dengan nilai, 2,918 dan 2,770. Pelaksanaan survei mengenai kepuasan atas pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Mata Cicendo ini juga masih berada pada daerah rata‐rata, dengan nilai 3,344, yang berarti bahwa pada saat ini kesadaran akan pentingnya evaluasi terhadap pelayanan pada konsumen masih kurang dilakukan. Untuk mendukung misi RSM Cicendo sebagai instansi yang peduli dan memberikan pelayanan yang terbaik, maka RSM Cicendo harus meningkatkan dan melaksanakan evaluasi terhadap kepuasan konsumen dan selalu berkewajiban untuk dapat memenuhi semua keinginan konsumen.
Kesadaran akan semakin tinggi dan ketatnya persaingan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat masih kurang disadari oleh para pegawai dari RSM Cicendo, dibuktikan dengan nilai EOS yang berada pada daerah rata‐rata yaitu sebesar 3,230. Dengan status sebagai instansi pemerintahan yang disandangnya, maka hal itu berpengaruh terhadap cara pandang pegawai terhadap tantangan pasar. Sebagian pegawai masih belum memiliki kesadaran tentang siapa pesaing utama, dan bagaimana cara‐cara untuk menghadapi pesaing tersebut. Hal ini tidak terlepas dari anggapan bahwa sebagai suatu instansi pemerintahan, maka pemerintah tentu tidak akan lepas tangan dalam membantu RSM Cicendo untuk dapat memenangkan persaingan yang berlangsung.
3.2.1.6 Analisis Hasil EOS Mengenai Keberanian Untuk Mengambil Risiko
Dimensi mengenai keberanian untuk mengambil risiko menggambarkan mengenai keberanian untuk pengambilan risiko dalam rangka menangkap peluang yang ada. Dimensi ini berkaitan dengan pemberian suatu layanan baru yang akan memberikan solusi baru kepada masyarakat. Penilaian terhadap dimensi ini untuk RSM Cicendo menunjukkan nilai 2,648, atau masih berada pada daerah rata‐rata. RSM Cicendo masih belum berani untuk melakukan suatu langkah berani, atau mengambil risiko, yang akan membawa perubahan dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
Pernyataan‐pernyataan yang merupakan komponen pembentuk dimensi pengambilan risiko ini yaitu bagaimana persepsi pegawai RSM Cicendo terhadap orientasi dan budaya konservatif atau anti perubahan, apakah sikap kehati‐hatian merupakan bagian dari budaya RSM Cicendo, apakah instansi berani melaukan suatu investasi layanan baru dengan hanya bermodalkan intuisi, bagaimana keinginan pegawai instansi untuk mencoba hal‐hal baru dan berani untuk gagal, bagaimana konsekuensi dari usaha untuk mencoba yang ternyata mengalami kegagalan, apakah instansi lebih memilih untuk tumbuh berkembang secara terencana dan terkontrol atau tidak. Hasil penelitian EOS ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.10. Hasil Penilaian Dimensi Pengambilan Risiko
No Item Average
1 Instansi kami bangga akan orientasi dan budaya konservatif (anti
perubahan). (-) 3.721
2 Kami berhati-hati untuk tidak membuat kesalahan. (-) 2.082
3 Kami berani melakukan investasi layanan baru hanya berdasarkan intuisi
tanpa menggunakan analisis mendalam. 2.344
4 Orang-orang yang didalam instansi secara umum memiliki kebebasan dan
keberanian yang cukup besar untuk mencoba hal baru dan gagal. 2.902
5
Kita berbicara banyak tentang perlunya pengambilan risiko dalam instansi, namun kenyataannya orang-orang yang berani mencoba dan gagal tidak
bertahan lama di instansi tersebut (bisa karena di hukum, di pecat, dll). (-) 2.951
6 Kami lebih memilih untuk tumbuh berkembang secara terencana dan
Pegawai RSM Cicendo sadar akan perlunya budaya perubahan yang akan membawa instansi ke arah perkembangan yang lebih baik lagi. Hal ini terlihat pada tingginya nilai yang diperoleh dalam hal mempertahankan budaya konservatif atau anti perubahan, dengan nilai 3,721. Akan tetapi ternyata masih terdapat ketakutan dalam diri pegawai apabila ternyata perubahan yang mereka lakukan itu hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ditunjukkan dengan nilai 2,082. Sehingga mereka lebih memilih untuk dapat tumbuh berkembang secara terencana dan terkontrol. Pertumbuhan dan perkembangan yang terkontrol ini ternyata lebih disukai pada saat ini, dilihat dari perolehan nilai yang masuk daerah persepsi rendah, yaitu 1,885.
Secara umum RSM Cicendo masih belum sepenuhnya mendukung upaya untuk mencoba hal baru dan gagal dengan memberikan kebebasan dan mendorong keberanian para pegawainya untuk melakukan hal tersebut, ditunjukkan dengan nilai 2,902. RSM Cicendo saat ini masih melakukan suatu hukuman terhadap pegawai yang mencoba sesuatu hal yang baru dan ternyata hasilnya adalah kegagalan, ditunjukkan dengan nilai 2,951. Sehingga instansi kurang berani untuk mengambil suatu investasi dalam layanan baru yang dilakukan hanya berdasarkan intuisi bisnis ataupun berdasarkan intuisi atas keperluan dari masyarakat, ditunjukkan dengan nilai 2,344. Instansi masih memerlukan analisis yang mendalam apabila ingin melakukan suatu investasi layanan baru.
3.2.1.7 Analisis Hasil EOS Mengenai Kecepatan Dalam Menangani Masalah
Dimensi kecepatan dalam menangani masalah menggambarkan kecepatan instansi dalam menangkap dan merespon segala sesuatu yang dapat berguna bagi kepentingan instansi. Dimensi ini dapat diukur dengan menilai empat
pernyataan yang menilai mengenai, apakah keluhan keluhan konsumen telah ditanggapi secara cepat dan efisien atau tidak, apakah RSM Cicendo selalau menyelesaikan suatu masalah dengan cepat, apakah para manajer atau pimpinan memiliki otonomi yang besar dalam proses pengambilan keputusan, dan apakah konsumen menggambarkan RSM Cicendo sebagai instansi yang bergerak cepat atau tidak. Hasil penilaian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.11. Hasil Penilaian Dimensi Kecepatan
No Item Average
1 Keluhan-keluhan konsumen ditangani secara cepat dan efisien. 3.984
2 Masalah-masalah yang ada tidak bisa diselesaikan secara cepat. (-) 3.230
3 Para manajer memiliki otonomi yang besar dalam membuat keputusan. 3.295 4 Konsumen menggambarkan kita sebagai instansi yang bergerak cepat. 3.475
Kecepatan suatu instansi dalam menangani masalah‐masalah yang ada saat ini sangat mutlak dilakukan. Pelaksanaan keputusan yang cepat akan membawa efek positif dalam menghadapi persaingan dan perubahan industri maupun pelayanan umum yang semakin dinamis. Kebutuhan akan organisasi yang cepat bertindak adalah penting apabila instansi masih menginginkan untuk dapat bertahan di masa yang akan datang.
Secara umum, dimensi dari kecepatan dalam menangani masalah di RSM Cicendo ini, dipersepsikan oleh para responden, termasuk cepat, ditunjukkan dengan nilai 3,496. Hal ini disebabkan karena RSM Cicendo sebagai institusi yang mengedepankan pelayanan kepada masyarakat harus cepat menanggapi keluhan‐keluhan dari konsumen dan melakukan penanganan yang cepat untuk menyelesaikan keluhan tersebut, ditunjukkan dengan nilai 3,984. Kecepatan dalam menangani keluhan‐keluhan konsumen juga diapresiasi positif oleh konsumen, terlihat dari penilaian pernyataan ke empat yang bernilai 3,475.
Akan tetapi ternyata kecepatan dalam menangani keluhan konsumen tersebut belum diiringi dengan kecepatan dalam penyelesaian masalah internal yang cepat pula. RSM Cicendo masih ragu‐ragu dalam melakukan pengambilan keputusan yang cepat apabila berkaitan dengan instansi. Faktor birokrasi dalam instansi pemerintahan merupakan salah satu penyebab masih belum optimalnya pelaksanaan pengambilan keputusan di RSM Cicendo. Faktor ini pula yang menghambat dalam pemberian otonomi untuk para manajer dan atau pimpinan dalam melakukan pengambilan keputusan, ditunjukkan dengan nilai yang masih termasuk daerah rata‐rata untuk pernyataan dua dan tiga, yaitu 3,230 dan 3,295.
3.2.1.8 Analisis Hasil EOS Mengenai Fleksibilitas
Dimensi ini menggambarkan bagaimana fleksibilitas atau kemampuan instansi dalam melakukan penyesuaian terhadap perubahan dan tantangan dalam hal pemberian dan peningkatan pelayanan kesehatan. Fleksibilitas dapat dinilai berdasarkan kemampuan instansi dalam penyelesaian suatu masalah, pengalokasian sumber daya untuk menangkap peluang baru, penempatan personil untuk meningkatkan perspektif yang lebih luas, penyelesaian suatu pekerjaan, maupun dalam penggunaan status jabatan dan gelar di dalam instansi. Fleksibilitas dari RSM Cicendo ini, dipersepsikan oleh responden berada pada daerah rata‐rata, dengan nilai 2,951. Peningkatan fleksibilitas intansi harus dilakukan dalam rangka mencapai perusahaan yang berbasiskan entrepreneurial, sehingga dapat lebih fleksibel menghadapi kondisi apapun. Hasil penilaian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.12. Hasil Penilaian Dimensi Fleksibilitas
No Item Average
1 Kami sangat bergantung pada team ad hoc /jangka pendek dalam
menyelesaikan masalah-masalah. 2.885
2 Ketika kami melihat peluang layanan baru, kami lambat dalam
mengalokasikan sumber daya untuk menangkap peluang tersebut. (-) 3.082
3
Kami sering memindahkan orang-orang ke beberapa fungsi dan
departemen yang berbeda untuk meningkatkan perspektif (cara pandang)
yang lebih luas. 3.164
4 Kami diharapkan untuk mengikuti tahap-tahap formal yang telah
ditetapkan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. (-) 2.180
5 Kami tidak mementingkan penggunaan status jabatan dan gelar di dalam
instansi. 3.443
Berdasarkan hasil penilaian dari responden untuk dimensi fleksibilitas ini, terlihat bahwa komponen‐komponen pertanyaan yang membentuk dimensi ini masih berada pada daerah rata‐rata. Fleksibilitas dalam hal penyelesaian masalah, dan penentuan peluan layanan baru masih berada pada level rata‐ rata, dengan nilai 2,885 dan 3,082. Idealnya adalah bahwa dalam menyelesaikan suatu masalah tidak perlu untuk berlarut‐larut, dan menghabiskan waktu, sehingga mengorbankan peluang untuk berkembang. Penyelesaian dapat diserahkan kepada suatu team ad‐hoc untuk permasalahan penting yang membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat. Dengan melakukan pembentukan team ad‐hoc ini juga akan mempermudah pengalokasian sumber daya sehingga tidak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan peluang yang baru. Kurang fleksibilitasnya instansi pemerintahan seperti RSM Cicendo ini, lebih disebabkan karena masih mengikuti pola birokratis pemerintahan yang mengharapkan bahwa penyelesaian suatu pekerjaan harus dilakukan dengan mengikuti tahapan‐tahapan formal yang telah ditentukan, didukung dengan nilai yang rendah, yaitu 2,180.
Faktor positif yang ada dalam kaitannya dengan dimensi fleksibilitas ini adalah dengan tidak mementingkan penggunaan status jabatan dan gelar di dalam instansi, ditunjukkan dengan nilai 3,443. Dengan tidak mementingkan status