• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. menurut Pasal 5 UUPA sebagai dasar UUPA adalah hukum adat. Soepomo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. menurut Pasal 5 UUPA sebagai dasar UUPA adalah hukum adat. Soepomo"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

Perihal pertanahan sebelum diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) terdapat dua lisme peraturan, yaitu didasarkan atas hukum barat dan didasarkan atas hukum adat. Setelah diundangkannya UUPA terdapat unifikasi peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan, yaitu UUPA menurut Pasal 5 UUPA sebagai dasar UUPA adalah hukum adat. Soepomo memberikan definisi tentang hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.1

Sedangkan Soekanto dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.2

Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat

1 1

Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, bandung, 1996, hlm. 13.

2 Ibid., hlm. 14.

(2)

termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.

Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti yang penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.3

Hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat pada masa penjajahan tidak diberikan pengakuan, karena penjajah hanya memberikan pengakuan kepada hak atas tanah yang telah terdaftar, sehingga ketika itu berlaku dualisme hukum pertanahan, yaitu hak atas tanah yang dikuasai oleh hukum barat yang dikenal dengan domaen verklaring dan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.

Hak atas tanah ada 2 (dua) yaitu hak atas tanah yang dikuasai oleh perorangan dan hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau tanah ulayat.

Istilah hak ulayat memiliki penyebutan yang berbeda-beda, Djojodigoeno menyebutnya dengan istilah hak purba, Soepomo memberikan istilah sebagai hak

3 3

Soerojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983, hlm. 197.

2

(3)

pertuanan, dan di dalam UUPA sendiri disebut dengan hak ulayat. Walaupun penyebutan istilah hak yang dimiliki masyarakat hukum adat ini berbeda-beda namun pengertiannya tidaklah jauh berbeda.

Eksistensi hak ulayat Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan menetapkan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak ulayat adalah hak dari masyarakat hukum adat. Dalam Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 di atas diberikan definisi operasional mengenai kedua hal tersebut.

Masyarakat hukum adat dirumuskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Pasal 1 angka 3). Sedangkan mengenai hak ulayat dinyatakan bahwa hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 1).

3

(4)

Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut yaitu :

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat dalam hukum adat suatu masyarakat dalam suatu wilayah.

Hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak perorangan sebagaimana dirumuskan Iman Sudiyat, bahwa hak purba dan hak perorangan itu bersangkut paut dalam hubungan kempis mengembang, desak mendesak, batas membatasi, mulur mungkret tiada henti. Di mana hak purba kuat, di situ hak perorangan lemah, demikian pula sebaliknya.4

Antara hak ulayat dan hak-hak perorangan yang diakui secara adat selalu ada pengaruh timbal balik, makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah maka makin eratlah hubungannya dengan tanah itu dan makin

4 4

Ibid., hlm. 3.

4

(5)

kuat pula haknya atas tanah tersebut. Di dalam hak demikian maka kekuatan hak ulayat terhadap tanah itu menjadi berkurang, tetapi menurut hukumnya yang asli bagaimanapun kuatnya hak perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat.5

Sehingga dengan demikian hak ulayat bersifat fleksibel yaitu semakin berkembang dan maju kondisi masyarakatnya, maka hak ulayat menjadi semakin lemah dalam masyarakat apalagi dalam masyarakat modern. Hak atas tanah ulayat tersebut digunakan oleh seluruh masyarakat persekutuan dan sebagian untuk para pemuka masyarakat hukum adat yang diberikan dalam bentuk tanah bengkok (Jawa).

Tanah bengkok tersebut pada perkembangan berikutnya disebut dengan Tanah Kas Desa (TKD), yang karena perkembangan perkotaan tanah bengkok sebagai tanah yang strategis dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi menjadi incaran bagi Perusahaan Pembangunan Perumahan untuk pembangunan perumahan.

Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni sebagaimana Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU No. 1/2011) merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam rumah tangga di antara kebutuhan

5 5

Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, hlm. 16

5

(6)

pokok lain yaitu pakaian, makanan dan kesehatan. Perumahan berdiri di atas hak atas tanah, yang karena tuntutan kebutuhan akan perumahan menjadikan harga tanah semakin meningkat tinggi.

Pembangunan perumahan dibutuhkan tempat yang strategis mudah dijangkau dari akses jalan raya atau tidak terlalu jauh dari akses jalan raya. Tanah-tanah yang strategis dapat berupa Tanah-tanah hak milik, hak guna bangunan yang oleh Perusahaan Pembangunan Perumahan telah dilepaskan dari pemegangnya. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah didasarkan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Mengenai besarnya ganti rugi hak atas dasar pelepasan didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, dan itu tidak menimbulkan suatu permasalahan selama kesepakatan mengenai ganti kerugian tersebut tidak disertai adanya paksaan, penipuan atau kekhilafan.

Oleh karena itu banyak investor yang kebingungan mencari tanah untuk perluasan lokasi pembangunan perumahan yang dikelolanya. Hak atas tanah yang tempatnya strategis saat ini banyak yang dikuasai oleh pemerintah desa dalam bentuk TKD sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa. Pelepasan TKD tidak semudah Perusahaan Pembangunan Perumahan melepaskan hak atas tanah yang dikuasai oleh orang perseorangan, karena harus menempuh langkah-langkah pelepasan hak sesuai dengan aturan yang berlaku agar pelepasan TKD tersebut diakui secara yuridis sah. Hal ini terjadi karena eksistensi TKD diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di antaranya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004), Peraturan 6

(7)

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (PP No. 72 Tahun 2005); Peraturan Daerah setempat dan jika pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan penanaman modal juga harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penanaman modal.

Pelepasan TKD ini tidak jarang menimbulkan permasalahan, karena untuk melepaskan TKD harus dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa (BPD) dan lainnya, sehingga tidak jarang antara pemerintah desa dengan masyarakat setempat yang sebenarnya telah diwakili oleh BPD dengan berbagai alasan melakukan unjuk rasa atas pelepasaan TKD, dan bahkan berujung pada penangkapan aparat desa oleh pihak kepolisian atas dasar telah melakukan tindak pidana korupsi dan sejenisnya. Selain itu pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan Perusahaan Pembangunan Perumahan (bukan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Badan Pertanahan Nasional akan menolak untuk mendaftar hak atas tanah eks TKD tersebut. Dasar penolakan Badan Pertanahan Nasional adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Daerah bahwa TKD hanya dapat dilepaskan untuk kepentingan umum sebagaimana Pasal 15 ayat (1) bahwa Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum.

7

(8)

Perolehan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan perusahaan swasta dapat ditempuh melalui pelepasan hak atas tanah oleh pemegang haknya. Pelepasan hak atas tanah sebagai perolehan tanah ini ditempuh disebabkan perusahaan swasta tidak dapat melakukan tukar menukar yang terbentur oleh tidak terpenuhinya syarat materiil dalam tukar menukar, yaitu tidak memenuhi syarat sebagai subyek dari hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan swasta.

Notaris berwenang membuat akta pelepasan hak atas tanah berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak berwenang membuat akta pelepasan hak atas tanah berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dengan dibuatnya akta pelepasan hak atas tanah, maka hak atas tanah tidak berpindah dari pemegang haknya kepada pihak yang memberikan ganti kerugian (perusahaan swasta) melainkan haka atas tanah menjadi hapus dan hak atas tanahnya kembali menjadi tanah negara. Dengan dibuatnya akta tukar menukar hak atas tanah, maka hak atas tanah sudah berpindah dari pemegang haknya kepada para pihak yang melakukan tukar menukar.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dipermasalahkan dalam tesis ini adalah:

a. Siapa yang berwenang untuk memberikan persetujuan berkaitan dengan pelepasan Tanah Kas Desa ?

8

(9)

b. Bagaimana cara perolehan tanah oleh perusahaan pembangunan perumahan yang berasal dari Tanah Kas Desa dan bagaimana ruislagnya Tanah Kas Desa ?

2. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pihak yang berwenang untuk memberikan persetujuan berkaitan dengan pelepasan TKD.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis cara perolehan tanah oleh perusahaan pembangunan perumahan yang berasal dari TKD dan ruislagnya TKD.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis, dapat menambah khasanah pengetahuan yang berkaitan dengan masalah fungsi TKD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelepasan TKD oleh Perusahaan Pembangunan Perumahan untuk pembangunan perumahan dari yang selama ini diperoleh secara teoritis pada penerapan secara praktis.

b. Manfaat praktis, digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang belum memahami mengenai peralihan TKD untuk kepentingan pembangunan perumahan.

4. Kajian Pustaka

Membicarakan masalah TKD tidak lepas dari membicarakan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang menguasai hak atas tanah. Masyarakat hukum adat menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian 9

(10)

Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disingkat Permenag No. 5 Tahun 1999) adalah : “Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.”

Di dalam masyarakat hukum adat, kedudukan tanah mempunyai arti penting. Perihal kedudukan tanah dalam hukum adat, bahwa ada 2 (dua) hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting, yaitu:

a. Karena sifatnya, dan b. Karena faktanya.6

Ad. a. Karena sifatnya, bahwa tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan, karena tanah menjadi subur atau nilai ekonominya semakin meningkat.

Ad. b. Karena faktanya, yaitu suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada masyarakat hukum adat, merupakan tempat di mana para warga masyarakat hukum adat yang meninggal dunia dikebumikan, merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang perlindung masyarakat hukum adat dan roh para leluhur masyarakat hukum adat. Hak atas tanah mempunyai arti yang penting terutama bagi masyarakat hukum adat, karena tanah tidak hanya sebagai tempat di mana tempat tinggal berdiri dan

6 6

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1967, hlm. 197.

10

(11)

sebagai sumber penghasilan, melainkan juga sebagai tempat di mana masyarakat hukum adat yang meninggal dunia dikuburkan dan para arwah leluhur terdiam.

Antara tanah dengan masyarakat hukum adat yang menduduki tanah tersebut terdapat hubungan yang erat. Hubungan yang erat antara tanah dengan yang mendudukinya tersebut bersifat religio magis. yang artinya para warga persekutuan hukum (masyarakat) yang bersangkutan alam pikirnya masih kuat di pengaruhi oleh serba roh, yang menciptakan gambaran bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pemanfaatan dan pendayagunaan tanah harus dilakukan secara hati-hati karena adanya potensi-potensi gaib7”.

Hubungan inilah yang menyebabkan masyarakat hukum adat memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memanfaatkan tanah tersebut, memungut hasil tumbuhan yang hidup di atasnya. Hak masyarakat hukum adat atas tanah disebut hak pertuanan atau hak ulayat.

Hak ulayat adalah bagian dari hak pribadi hukum atas tanah. Hak Ulayat lahir dari suatu hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah adat. Lahirnya Hak Ulayat menimbulkan suatu hubungan hukum yang demikian erat dan bersifat religio magis antara masyarakat hukum adat dengan tanah adat. “Hak Ulayat adalah Hak tradisional yang bersifat komunal dari masyarakat hukum adat di Indonesia untuk menguasai dan mengelola suatu wilayah tertentu sebagai lapangan kehidupan dalam rangka mendukung kelangsungan hidup anggota

7

Kartasapoetra, Loc. Cit.

11

(12)

masyarakatnya sendiri”8. Menurut Boedi Harsono, “Hak Ulayat adalah merupakan

serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa”9.

Tanah bengkok adalah: “Tanah jabatan yang menjadi sumber penghasilan para pemuka adat. Raja memberikan tanah-tanah bengkok untuk para abdi kerajaan sesuai dengan jabatan dan kedudukan mereka”.10 Sehingga apabila

dibandingkan tanah ulayat dan tanah bengkok maka pengertian dari kedua tanah tersebut memiliki keserupaan, yang pada intinya adalah tentang tanah milik masyarakat adat yang penguasaan dan pengelolaan tanah tersebut diserahkan kepada seseorang tertentu yang dinilai pantas untuk mengelola tanah tersebut, namun penguasaan tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini berartti bahwa tanah adat merupakan tanah milik masyarakat adat. Meskipun sebagai tanah adat, tanah adat lingkupnya lebih sempit jika dibandingkan dengan tanah ulayat, karena tanah adat hanya merupakan tanah jabatan yang merupakan bagian dari tanah ulayat.

Diundangkannya UUPA, yang berhubungan dengan hak milik selama belum diadakan pengaturan tersendiri sebagaimana Pasal 51 ayat (1) UUPA, bahwa “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan

8 8

Kurnia Warman, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk, Huma, Jakarta, 2010, hlm. 39.

9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 185-186.

10Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho

Notosusanto, hlm. 49

12

(13)

undang-undang”, tanah hak adat masih diakui sesuai dengan Pasal 56 UUPA, yang menentukan sebagai berikut:

Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Tanah dalam masyarakat adat Jawa dikenal dengan tanah gogol dibedakan antara gogol tetap dan gogol bergilir. Hak gogolan adalah hak seorang gogol atas apa yang dalam perundang-undangan agraria dalam zaman Hindia Belanda dahulu, disebut komunal desa. Hak golongan ini sering disebut Hak Sanggao atau hak pekulen. Sedangkan mengenai jenis hak gogolan ada 2 jenis hak gogolan, yaitu: 1) Hak gogolan yang bersifat tetap. Hak gogolan bersifat tetap adalah hak

gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol itu meninggal dunia, dapat diwariskan tertentu. 2) Hak gogolan yang bersifat tidak tetap. Hak gogolan yang bersifat tidak tetap

adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus memegang tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol itu meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada desa.

Tanah gogolan dan tanah bengkok (Jawa) merupakan bagian dari tanah ulayat. Tanah gogolan oleh persekutuan diberikan kepada seorang tertentu yang biasanya bekerja untuk desa yang disebut dengan komunal, sedangkan tanah bengkok (Jawa) diberikan kepada seseorang yang memangku jabatan yang menjadi sumber penghasilan para pemuka adat.

13

(14)

Menurut Pasal VII Ketentuan Konversi menyatakan:

(1) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 ayat 1.

(2) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada Pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.

(3) Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan. Hal ini berarti bahwa gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik. Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai.

Seperti mengutip pendapat Iman Sudiyat yang memberikan definisi hak purba sebagai hak yang dipunyai oleh suatu suku (clam/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.11 Sedangkan Van

Vollenhoven memberikan istilah beshikkingrecht terhadap hak ulayat, yang mana hak ulayat adalah berupa hak dan berkewajiban daripada persekutuan hukum sebagai suatu keseluruhan atas suatu wilayah tertentu yakni wilayah di mana mereka hidup.12

Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur mengenai pemerintahan desa. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan

11 1

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. V, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm. 2.

12 Ibid., hlm. 75.

14

(15)

berada di daerah Kabupaten. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 22/1999) adalah sebagai berikut: “Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa” (telah dicabut oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004/UU Nomor 32 Tahun 2004).

Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”. Dengan adanya pengaturan desa tersebut diharapkan Pemerintah Desa bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam Pasal 206 UU Nomor 32 Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Dalam pelaksanaan kebijakan tentang Desa ini perlu diperhatikan berbagai permasalahan seperti halnya:

a. sumber Pendapatan Asli Desa (keuangan desa);

b. penduduk, keahlian dan ketrampilan yang tidak seimbang (sumber daya manusia desa yang masih rendah) yang berakibat terhadap lembaga-lembaga Desa lainnya selain Pemerintahan Desa seperti halnya Badan Perwakilan Desa (Badan Perwakilan Desa), lembaga musyawarah Desa dan beberapa lembaga adat lainnya;

c. potensi desa seperti halnya potensi pertambangan, potensi perikanan, wisata, industri kerajinan, hutan larangan atau suaka alam, hutan lindung, hutan industri, perkebunan, hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan tujuan khusus.13

13 1

Wijaya, HAW. Pemerintahan Desa/Marga: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Suatu Telaah Administrasi Negara). Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2002, hlm. 65.

15

(16)

Adapun sumber pendapatan desa dapat berasal dari : a. Pendapatan Asli Desa:

- hasil usaha desa; - hasil kekayaan desa;

- hasil dari swadaya dan partisipasi; - hasil gotong-royong;

- lain-lain pendapatan asli desa yang sah. b. Bantuan dari Pemerintah Kabupaten:

- bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah;

- bagian dari dana perimbangan keuangan daerah pusat dan daerah yang diterima Pemerintah kabupaten.

c. Bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi; d. Sumbangan dari pihak ketiga; dan

e. Pinjaman Desa.

Perihal pengelolaan sumber keuangan desa baik sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. maupun kekayaan desa terdiri atas : a. TKD; b. pasar desa; c. pasar hewan; d. tambatan perahu; e. bangunan desa; f. pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; dan g. lain-lain kekayaan milik desa. Diatur oleh masing-masing daerah di mana wilayah desa tersebut berada maupun diatur dalam pemerintahan desa yang bersangkutan, sehingga masing-masing daerah mengatur secara tersendiri 16

(17)

desa-desa di wilayahnya. Pengaturan ini termasuk dalam pengaturan mengenai sumber kekayaan desa.

Di dalam masyarakat desa dikenal adanya berbagai sebutan tanah. Hak atas tanah terutama tanah desa dikuasai oleh persekutuan dengan Kepala Persekutuannya. Kepala persekutuan atau lain pembesar desa mempunyai hak atas tanah pertanian yang diberikan oleh persekutuan untuk menghidupi keluarganya yang lebih dikenal dengan tanah tanah ganjaran. Tanah ganjaran diberikan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Kepala persekutuan dan lain pembesar desa mempunyai hak atas penghasilan tanah tersebut, mempunyai hak mengenyam hasil tanah tersebut karena jabatannya. Hak demikian ini dimiliki oleh pejabat desa selama masih aktif bekerja atau selama memangku jabatannya.14

Selain tanah ganjaran di desa dikenal pula dengan tanah bengkok dalam sistem agraria di Pulau Jawa adalah lahan garapan milik desa. Tanah bengkok tidak

dapat dilakukan tukar menukar tanpa persetujuan seluruh warga desa namun boleh disewakan oleh mereka yang diberi hak mengelolanya. Menurut penggunaannya, tanah bengkok ditinjau dari segi penggunaannya dibagi menjadi tiga kelompok: tanah lungguh, menjadi hak pamong desa untuk menggarapnya sebagai kompensasi gaji yang tidak mereka terima. TKD, dikelola oleh pamong desa aktif untuk mendanai pembangunan infrastruktur atau keperluan desa. Tanah pengarem-arem, menjadi hak pamong desa yang pensiun untuk digarap sebagai

14 1

Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1982, hlm. 205.

17

(18)

jaminan hari tua. Apabila ia meninggal tanah ini dikembalikan pengelolaanya kepada pihak desa.

Tanah ganjaran diberikan oleh persekutuan kepada Kepala Persekutuan (kepala desa, carik/sekretaris desa dan bawahannya) untuk mengambil hasil dari tanah tersebut. Kepala persekutuan berhak atas hasil tanah, mempunyai hak untuk mengenyam hasilnya karena jabatannya.15 Oleh karena hak Kepala Persekutuan

hanya mengenyam hasil dari tanah tersebut, hak atas tanah adalah milik persekutuan dalam arti milik masyarakat bersama.

Keberadaan TKD di Kabupaten Sidoarjo misalnya masing-masing didasarkan atas:

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa;

4) Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sumber Pendapatan Desa.

Sehingga hak atas tanah yang sudah terdaftar milik Desa adalah Hak Pakai, apabila akan melakukan tukar guling atau ruislag melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelepasan TKD untuk kepentingan pembangunan

15 1

Ibid.

18

(19)

perumahan merujuk pula pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Sebagaimana Bab XI tentang Desa Bagian Pertama Pasal 200 UU No. 32/2004 bahwa dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Hal ini berarti bahwa pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa dibentuk dalam lingkup wilayah kabupaten/kota. Desa menurut Pasal 1 angka 12 UU No. 32/2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah desa dalam hal ini kepala desa bersama-sama dengan dewan permusyawaratan desa oleh pemerintah kabupaten diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Desa diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, yang tentunya dalam penyelenggaraan pemerintahan desa diperlukan sumber keuangan desa. Sebagaimana Pasal 212 UU No. 32/2004, bahwa keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli desa; bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota; bantuan dari Pemerintah, 19

(20)

pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Sumber pendapatan asli desa yang didapat dari pendapatan asli desa menurut Pasal 68 ayat (1) huruf a PP No. 72/2005 terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Kekayaan desa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa salah satu di antaranya yaitu TKD sesuai dengan Pasal 69 huruf a PP No. 72/2005. hal ini berarti bahwa fungsi TKD adalah sebagai sumber kekayaan asli desa.

UU No. 32/2004 maupun PP No. 72/2005 tidak memberikan definisi mengenai TKD, meskipun demikian sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa, yang berarti TKD tersebut mempunyai arti penting sebagai penyelenggara pemerintahan desa, untuk itu sebagaimana Pasal 7 Perda 8/2006 bahwa TKD yang dikuasai dan merupakan kekayaan desa, karenanya dilarang untuk dilepaskan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum yaitu proyek-proyek pembangunan pemerintahan dan swasta guna mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Investor yang memerlukan hak atas tanah untuk pembangunan perumahan dapat mendirikan bangunan perumahan di atas TKD tersebut tetapi harus dilakukan pelepasan dengan proses-proses yang harus ditempuh.

Perihal TKD masih dimungkinkan dialihkan, yang pada umumnya a) tukar menukar; b) alih fungsi; c) perubahan letak dan/atau luas. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) Perda Kabupaten Sidoarjo bahwa pengelolaan 20

(21)

dan pelepasan terhadap TKD ditetapkan dengan Persetujuan Bupati, yang berarti bahwa Perusahaan Pembangunan Perumahan masih dimungkinkan untuk membangun di atas TKD, selama pelepasannya sesuai dengan Persetujuan Bupati.

Sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (3) Perda Sidoarjo bahwa proses pelepasan TKD dilakukan dengan tukar guling atau ruislag yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tukar guling atau ruislag adalah pelepasan status kepemilikan TKD kepada pihak lain, Desa menerima pengganti yang senilai. Tukar guling atau ruislag tersebut harus mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Daerah dimaksud dituangkan dalam bentuk Keputusan Kepala Desa dan persetujuan dari Badan Permusyawaratan Desa sesuai dengan Pasal 7 ayat (4) Perda Sidoarjo. Persetujuan tertulis dari Kepala Daerah tersebut dapat diproses untuk ruislag setelah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, memperoleh tanah pengganti sekurang-kurangnya senilai dengan TKD yang dibebaskan dan mendapat persetujuan tertulis dari Bupati sebagaimana Pasal 7 ayat (5) Perda Sidoarjo.

Tukar guling atau ruislag tanah pengganti terletak satu blok dalam satu hamparan, yang berarti Perusahaan Pembangunan Perumahan harus menyediakan tanah pengganti satu hamparan, jika kondisi tanah tidak satu blok dalam satu hamparan, maka harus mendapatkan persetujuan dari BPD sesuai dengan Pasal 8 Perda Sidoarjo. Tukar guling atau ruislag harus didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, mengandung makna bahwa “para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang 21

(22)

dilahirkan para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan dan kebohongan atau penipuan”.16 Jadi dikatakan terdapat suatu kata kesepakatan antara para pihak

yaitu pihak penjual dan pihak pembeli tersebut terdapat suatu kemauan yang bebas dalam arti perjanjian jual beli yang dibuat tanpa ada unsur paksaan, kebohongan dan kekhilafan. Perjanjian tukar-menukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensual, dalam arti bahwa ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi obyek dari perjanjiannya. Demikian pula dapat dilihat bahwa ia adalah suatu perjanjian “obligatoir” saja seperti jual-beli, dalam arti bahwa ia belum memindahkan hak milik tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian. Di dalam tukar guling atau ruislag yang obyeknya TKD hal pokok yang disepakati adalah nilai tanah pengganti lebih adalah nilai produktivitas dan nilai sewa tahunan (Penjelasan Pasal 21 Perda Kabupaten Sidoarjo). Dalam perubahan TKD, Desa harus mendapatkan tanah pengganti yang senilai. Tanah pengganti dalam arti paling sedikit senilai ditinjau dari luas tanah, letak tanah, klas tanah dan menguntungkan Desa dan/atau meningkatkan kesejahteraan Aparatur Pemerintah Desa yang bersangkutan. Letak tanah pengganti harus berada dalam satu wilayah Kecamatan dan/atau Kecamatan yang berbatasan (Penjelasan Pasal 22 Perda Kabupaten Sidoarjo). Apabila kedua belah

16 1

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1989, hlm. .214

22

(23)

pihak mencapaikata sepakat, maka syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya telah terpenuhi.

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Dalam kaitannya dengan tukar guling/Ruislag TKD, pihak-pihak harus mempunyai wewenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum yaitu peralihan TKD melalui tukar guling atau ruislag. Sedangkan dalam hal subyek hukumnya adalah berupa badan hukum standar kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tidak menghadapi polemik seperti pada person, karena cukup dilihat pada kewenangannya (bevoeghheid). Artinya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya. Dengan demikian untuk mengetahui syarat kecakapan pada badan hukum harus diukur dari aspek kewenangannya. Hal di atas dapat dijelaskan bahwa meskipun para pihak telah cakap bertindak dalam hukum, namun orang tersebut harus juga mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana dalam tukar guling atau Ruislag TKD, bahwa pihak yang bertindak sebagai yang menukarkan harus mempunyai wewenang untuk itu. TKD yang dikuasai oleh Pemerintah Desa dan merupakan kekayaan Desa, dilarang untuk dilimpahkan atau diserahkan pada pihak lain. Apabila diperlukan untuk kepentingan Pembangunan Desa larangan tidak berlaku dengan syarat Pemerintah Desa yang bersangkutan memperoleh tanah pengganti senilai tanah yang dilepas atau berupa jumlah uang seharga pembelian tanah lain yang senilai dengan TKD yang dilepas. Tukar guling/Ruislag TKD ditetapkan dengan Peraturan Desa. Dengan demikian pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengalihkan TKD adalah pihak-pihak yang 23

(24)

tercantum dalam Peraturan Desa dan disertai izin tertulis dari Pemerintah Kabupaten, sehingga syarat kecakapan bertindak telah terpenuhi.

TKD dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara tukar guling atau ruislag. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Perda Kabupaten Sidoarjo bahwa apabila diperlukan untuk kepentingan Pembangunan Desa larangan tidak berlaku dengan syarat Pemerintah Desa yang bersangkutan memperoleh tanah pengganti senilai tanah yang dilepas atau berupa jumlah uang seharga pembelian tanah lain yang senilai dengan TKD yang dilepas. Tukar guling atau Ruislag TKD ditetapkan dengan Peraturan Desa. Peraturan desa yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh BPD bersama Kepala Desa. Perubahan status TKD akibat dari tukar guling atau ruislag harus mendapat persetujuan tertulis Kepala Daerah dan ditetapkan dalam Peraturan Desa.. Persetujuan tertulis dari Kepala Desa diberikan atas usul Tim Peneliti Perubahan TKD yang dibentuk dengan Keputusan Kepala Daerah. Tata cara pelaksanaan perubahan TKD diatur lebih lanjut oleh Kepala Daerah. Hal ini berarti bahwa mekanisme yang harus ditempuh dalam pelaksanaan tukar guling atau ruislag TKD sebagaimana tersebut agar secara yuridis sah, yaitu harus disepakati mengenai luasan tanah pengganti. Apabila telah dilakukan prosedur tukar guling atau ruislag tersebut, maka landasan dilakukannya tukar guling TKD dalam pembangunan perumahan sudah sesuai dengan asas-asas Hukum Pertanahan.

Mekanisme pengadaan tanah dalam pelaksanaan tukar guling atau Ruislag TKD dilakukan melalui pelepasan hak atas tabah. Pelepasan hak atas tanah dilakukan oleh karena status tanah yang dimohonkan adalah berupa tanah hak dan 24

(25)

terdapat kesediaan bagi pemegang hak untuk menyerahkannya, namun status hukum pihak yang membutuhkan tanah tidak berwenang sebagai subyek hak dari tanah yang akan diperolehnya.

Mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan hak yang didapat dari TKD, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Perihal pemberian dan pembatalan hak atas tanah diajukan kepada instansi terkait sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu

Pemberian hak atas tanah kepada pemohon dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri. Dalam pemberian hak atas tanah, Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk. Permohonan Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Pegelolaan, hanya diberikan kepada pemohon yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan hak tersebut. misalnya dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA bahwa hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. Apabila pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang Hak Milik, maka permohonannya akan ditolak. Pasal 30 ayat (1) UUPA bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha 25

(26)

ialah : warganegara Indonesia; badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pasal 36 ayat (1) UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah : a. warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pasal 42 UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai Hak Pakai ialah : a. warga negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Persyaratan mengenai pihak yang berhak mengajukan permohonan hak atas tanah merupakan salah satu persyaratan saja. Sedangkan persyaratan yang lain, yaitu sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi hak atas tanah yang didapat dari tukar guling atau Ruislag TKD, maka persyaratan yang dipenuhi yaitu:17

- Surat Pernyataan Penguasaan fisik

- Penetapan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi - Berita Acara serah terima tanah Pengganti

- Akte/Surat pelepasan hak atas TKD yang dibuat dihadapan Camat/Kepala Kantor Setempat

17 1

herman-notary.blogspot.com. Syarat-syarat Permohonan Pendaftaran Tanah. 26 Mei 2009.:

... Akte/Surat pelepasan hak atas TKD yang dibuat dihadapan ... hermannotary.blogspot.com/.../syaratsyaratpermohonanpendaftaran.html

-26

(27)

- Foto Copi Petok D/Girik/Letter C Desa yang dilegalisir oleh kepala desa setempat (bagi yang sudah terdaftar dalam buku c desa), atau sertipikat Hak Pakai atas nama Pemerintah Desa

- Fotocopi sertipikat yang dipergunakan sebagai tanah pengganti

Perihal tata cara pemberian hak atas tanah secara individual atau kolektif pemberian hak secara individual merupakan pemberian hak atas sebidang tanah kepada seseorang atau sebuah badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan hukum secara bersama sebagai penerima hak bersama yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak. Pemberian hak secara kolektif merupakan pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing- masing kepada seseorang atau sebuah badan hukum atau kepada beberapa orang atau badan hukum sebagai penerima hak, yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak (Pasal 6 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999). Hal ini berarti bahwa TKD dapat dimiliki oleh seseorang atau secara kolektif dengan cara tukar guling atau ruislag.

Dalam hal pemberian hak atas tanah secara individual atau kolektif, sepanjang mengenai Hak Milik yang dipunyai badan hukum keagamaan, badan hukum sosial dan badan hukum lain yang ditunjuk oleh pemerintah, Hak Guna Usaha, Hak Pakai tanah pertanian diatas tanah Negara dan hak- hak lainnya yang menurut sifatnya harus memerlukan izin peralihan hak, dalam penerbitan keputusan pemberian haknya harus mencantumkan persyaratan izin peralihan hak dan mencatatnya dalam sertipikat (Pasal 7 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999).

27

(28)

Apabila yang dimohonkan adalah hak milik, maka hanya dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia; Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: Bank Pemerintah; Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pemberian Hak Milik untuk badan hukum hanya dapat diberikan atas tanah-tanah tertentu yang benar-benar berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsinya ((Pasal 8 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999). Permohonan Hak Milik atas Tanah Negara diajukan secara tertulis.

Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan Hak Guna Bangunan atas tanah dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran Dan Pemetaan Tanah untuk melakukan pengukuran. Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada: a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (konstatering Rapport). b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam berita acara, atau c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam Risalah 28

(29)

Pemeriksaan Tanah. Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya. Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak milik atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya. Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 10 (Pasal 13 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999).

5. Metode Penelitian

a. Pendekatan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.18 Pendekatan ini didapat dari peraturan

perundang-undangan yang relevan yang berkaitan dengan isu hukum. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach),

18 1

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 93

29

(30)

dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari peraturan hukum yang ada. Dalam menggunakan pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum.19 Selain itu penelitian ini juga menggunakan studi kasus (case

study).20

Penelitian ini menggabungkan tiga metode pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), konseptual (Conceptual Approach), dan studi kasus (Case Study). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mengumpulkan dan kemudian menganalisa serta menyimpulkan kontekstualisasinya dengan pokok bahasan, pendekatan konseptual dilakukan dengan mengumpulkan pendapat-pendapat para ahli hukum untuk menjawab permasalahan yang ada dalam tesis ini sedangkan studi kasus yaitu dengan menganalisis kasus yang terjadi di Sidoarjo.

b. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum jika ditinjau dari segi mengikatnya, dibedakan sebagai berikut:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan dalam hal ini:

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

19 1 Ibid, hlm.137 – 139 20 2 Ibid., hlm. 119. 30

(31)

c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa;

d) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

e) Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sumber Pendapatan Desa.

f) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

g) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya.

31

(32)

d. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Untuk memperjelas analisis juga digunakan metode interpretasi.

6. Pertanggungjawaban Sistematika

Sistematika dalam tesis ini dibagi dalam 4 (empat) bab, masing-masing bab terdiri atas sub-sub bab sebagai berikut:

Pertama-tama diawali dengan Pendahuluan, yang diletakkan pada Bab I. Bab ini berisi gambaran umum permasalahan sebagai pengantar pada bab berikutnya, sehingga yang diuraikan pada bab ini hanya mengenai pokok-pokok pembahasannya, yang akan dijabarkan dalam bab berikutnya. Sub bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan pertanggungjawaban sistematika.

Kemudian Bab II, dengan judul bab pihak yang berwenang untuk memberikan persetujuan berkaitan dengan pelepasan Tanah Kas Desa. Bab ini dibahas untuk menjawab permasalahan siapa yang berwenang untuk memberikan persetujuan berkaitan dengan pelepasan Tanah Kas Desa, di dalamnya diuraikan 32

(33)

mengenai dasar penguasaan Tanah Kas Desa, pemanfaatan Tanah Kas Desa oleh pemerintah desa, dan prosedur pelepasan Tanah Kas Desa.

Selanjutnya Bab III, dengan judul bab perolehan tanah oleh perusahaan pembangunan perumahan yang berasal dari Tanah Kas Desa. Bab ini dibahas untuk menjawab permasalahan kedua bagaimana cara perolehan tanah oleh perusahaan pembangunan perumahan yang berasal dari Tanah Kas Desa, di dalamnya diuraikan mengenai pelepasan Tanah Kas Desa untuk kepentingan Perusahaan Pembangunan Perumahan, langkah Perusahaan Pembangunan Perumahan pasca pelepasan Tanah Kas Desa, dan cara proses ruislag Tanah Kas Desa.

Terakhir Bab IV, dengan judul bab Penutup. Pada bab ini disajikan dalam bentuk jawaban atas masalah dengan sub bab simpulan dan saran sebagai sumbangan pemikiran atas pemecahan masalah.

33

Referensi

Dokumen terkait

Dari data yang di dapat pada Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Lampung diperoleh data yang mendapatkan SK Dekan tentang sanksi akademik pada sebelum

Pada kegiatan pembelajaran anak usia dini, penggunaan media pembelajaran menjadi sesuatu hal yang penting terhadap pencapaian tujuan dari pembelajaran untuk

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Totalindo merupakan salah satu dari sedikit kontraktor swasta nasional yang telah memperoleh Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi dengan kualifikasi Besar 2

[r]

Bagi para peserta yang keberatan atas pengumuman pemenang hasil seleksi sederhana tersebut, diberi kesempatan untuk mengajukan sanggahan secara online melalui

755 Yohanes SMP Bunda Hati Kudus DKI Jakarta srt baptis 756 Giovanie Anggasta Yogg SMP Katolik RICCI II Banten lengkap 757 Agustinus Dimas Riyandi SMP YPPK Santu

[r]