• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETUNJUK PELAKSANAAN SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PETUNJUK PELAKSANAAN SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

PETUNJUK PELAKSANAAN

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN

Jakarta, 2013

(2)

KATA PENGANTAR

Kondisi dan situasi pangan dan gizi di daerah dapat ditunjukkan melalui hasil analisis SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi). Pada tahun 2013 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian mengalokasikan kegiatan SKPG untuk menopang pengelolaan manajemen SKPG di provinsi (33 provinsi) dan kabupaten/kota (421 kabupaten/kota). Kegiatan SKPG sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor 43 Tahun 2010 tentang Pedoman SKPG, pada dasarnya adalah (1) analisis situasi pangan bulanan, (2) analisis situasi pangan tahunan, serta (3) diseminasi dan penyebarluasan informasi.

Hasil analisis SKPG menggambarkan situasi pangan dan gizi pada suatu wilayah melalui tiga aspek yaitu aspek ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan. Hasil analisis SKPG dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan investigasi untuk melihat kedalaman rawan pangan dan intervensi penanganan rawan pangan di lokasi rawan pangan.

Agar SKPG dilaksanakan sesuai dengan Pedoman SKPG maka perlu disusun Petunjuk Pelaksanaan SKPG tahun 2013 sebagai acuan bagi daerah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan teknis dalam SKPG dan langkah selanjutnya sebagai rekomendasi dari SKPG. Petunjuk Pelaksanaan ini diharapkan menjadi acuan bagi aparat di daerah dalam pelaksanaan SKPG.

Jakarta, 2013 Kepala Badan Ketahanan Pangan

Achmad Suryana

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Lampiran... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

C. Sasaran ... 3

D. Indikator Keberhasilan ... 3

E. Pengertian ... 3

BAB II. KERANGKA PIKIR ... 6

BAB III. PELAKSANAAN... 9

A. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi ... 9

1. Pembentukan Pokja SKPG ... 9

2. Analisis Data SKPG ... 11

B. Investigasi ... 12

C. Intervensi ... 13

1. Intervensi Jangka Pendek ... 14

2. Intervensi Jangka Menengah ... 14

3. Intervensi Jangka Panjang ... 14

D. Penilaian Risiko ... 15

BAB IV. PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN ... 17

A. Pembinaan ... 17

1. Struktur Organisasi ... 17

2. Penanggung Jawab Program ... 17

3. Tim Pembina Propinsi ... 18

4. Tim Teknis Kabupaten/Kota ... 18

(4)

B. Pengendalian ... 19

BAB V. PEMANTAUAN, EVALUASI, DAN PELAPORAN ... 21

A. Pemantauan dan Evaluasi... 21

B. Pelaporan ... 21

BAB VII. PENUTUP ... 22

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel ... Halaman

1. Persentase Angka Rawan Pangan Tahun 2008-201 ... 1 2. Contoh identifikasi, analisis, dan penanganan risiko pada Kegiatan SKPG .... 15 3. Contoh aktivitas Pengendalian dalam SPI pada Kegiatan SKPG ... 20

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Analisis SKPG dalam Kerangka Penanganan Kerawanan Pangan . 8

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka rawan pangan merupakan gambaran situasi tingkat aksesibilitas pangan masyarakat yang dicerminkan dari tingkat kecukupan gizi masyarakat yang diukur dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) (kurang dari 70% AKG adalah sangat rawan pangan). AKG merupakan tingkat konsumsi zat-zat gizi esensial yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hampir semua orang sehat di suatu negara. AKG diperoleh dari data Susenas BPS setiap tahun. Dari tahun 2008 sampai dengan saat ini, AKG penduduk Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk yang ditunjukkan dengan peningkatan persentase jumlah penduduk rawan pangan setiap tahunnya. Persentase angka rawan pangan dari tahun 2008 sampai dengan 2011ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase Angka Rawan Pangan Tahun 2008-2011

Tahun < 70% AKG 70%-89,9% AKG >= 90% AKG N (x1 juta) % N (x1juta) % N (x 1 juta) %

2008 25,11 11,07 62,38 27,50 139,34 61,43

2009 33,29 14,47 72,72 31,62 123,96 53,90

2010 35,71 15,34 72.44 31,12 124,61 53,53

2011 42,08 17,41 78,48 32,48 121,01 50,10

Keterangan: N = Jumlah penduduk Indonesia Sumber: BPS, 2012 ( diolah)

Dalam tahun 2011, masih terdapat 42,08 juta penduduk atau 17,41 persen dari seluruh penduduk di Indonesia yang mengalami kondisi sangat rawan pangan dan apabila dibiarkan terjadi selama dua bulan berturut-turut akan menjadi rawan pangan akut yang menyebabkan kelaparan (BPS, 2012).

Pentingnya mengetahui kondisi pangan dan gizi di suatu daerah, menjadikan pemantauan terhadap kondisi pangan dan gizi di daerah menjadi salah satu hal yang perlu dilakukan. Untuk selalu memantau kondisi pangan dan gizi di suatu daerah dapat dilakukan melalui hasil analisis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG merupakan serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian rawan pangan dan gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi. Penerapan SKPG sampai saat ini masih perlu sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

(8)

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, dimana sebagian aspek-aspek penanganan kerawanan pangan merupakan urusan daerah.

SKPG diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor 43 Tahun 2010 tentang Pedoman SKPG. Kegiatan SKPG terdiri dari analisis data situasi pangan dan gizi bulanan dan tahunan serta penyebaran informasi. Data bulanan dan tahunan tersebut menginformasikan tentang 3 (tiga) aspek utama yaitu ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan yang menjadi dasar untuk menganalisis situasi pangan dan gizi di suatu daerah.

Hasil SKPG ini digunakan sebagai dasar pelaksanaan investigasi untuk menentukan tingkat kedalaman kejadian kerawanan pangan dan gizi di lapangan serta intervensi dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan masyarakat.

Dalam melaksanakan SKPG, pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pangan dan Gizi yang berada di bawah koordinasi Dewan Ketahanan Pangan. Hasil analisis SKPG oleh Pokja Pangan dan Gizi Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaporkan kepada pimpinan daerah masing-masing untuk penentuan langkah-langkah intervensi dan untuk perumusan kebijakan program pada tahun berikutnya. Hal ini dipertegas juga oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada pemerintah bahwa kepala daerah wajib melaporkan situasi ketahanan pangan di daerah sebagai bagian dari LPPD. Selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang Sistem Pelayanan Minimal (SPM) bidang ketahanan pangan di provinsi dan kabupaten/kota bahwa target capaian penanganan daerah rawan pangan sampai pada tahun 2015 sebesar 60 persen.

Penanganan kerawanan pangan sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadinya kejadian perlu dilakukan penanganan secara cepat dan tepat.

Penanganan yang terlambat, akan dapat memicu terjadinya kerawanan pangan yang berkepanjangan dan dalam periode yang lama akan menjadi kerawanan pangan kronis. Untuk mengoptimalkan dan mensinergikan peran pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan kerawanan pangan,melalui pemantauan kondisi pangan dan gizi, maka perlu disusun Petunjuk Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) tahun 2013 sebagai acuan dalam antisipasi dan penanganan daerah rawan pangan yang merupakan tindak lanjut hasil analisis SKPG.

(9)

B. Tujuan

Tujuan kegiatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi tahun 2013 adalah untuk: (1) menganalisis situasi pangan dan gizi; (2) meningkatkan kemampuan petugas dalam menganalisis situasi pangan dan gizi;dan (3) mengantisipasi terjadinya rawan pangan.

C. Sasaran

Sasaran kegiatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi tahun 2013 adalah terpetakannya situasi pangan dan gizi dan terantisipasinya kejadian rawan pangan secara dini di 33 provinsi dan 421 kabupaten/kota.

D. Indikator Keberhasilan

Indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur keberhasilan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi tahun 2013 antara lain :

- Indikator Output : tersedianya analisis situasi pangan dan gizi

- Indikator Outcome : terlaksananya investigasi dan penanggulangan rawan pangan

- Indikator Impact : teratasinya kerawanan pangan di wilayah yang telah dilakukan intervensi penanganan kerawanan pangan E. Pengertian

1. Kerawanan Pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.

2. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) adalah suatu sistem pendeteksian dan pengelolaan informasi tentang situasi pangan dan gizi yang berjalan terus menerus. Informasi yang dihasilkan menjadi dasar perencanaan, penentuan kebijakan, koordinasi program, dan kegiatan penanggulangan rawan pangan dan gizi.

3. Rawan Pangan Kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada periode yang lama karena keterbatasan kepemilikan lahan, asset produktif dan kekurangan pendapatan.

4. Rawan Pangan Transien adalah suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara, yang disebabkan oleh perbuatan manusia

(10)

(penebangan liar yang menyebabkan banjir atau karena konflik sosial), maupun karena alam berupa berbagai musibah yang tidak dapat diduga sebelumnya, seperti: bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, banjir bandang, tsunami).

a. Transien Berat: apabila dampak bencana berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi lebih dari 30 persen penduduk suatu wilayah.

b. Transien Ringan: apabila dampak bencana berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi kurang dari 10-30 persen penduduk suatu wilayah.

5. Keadaan Darurat Pangan (Rawan Pangan Transien Berat) adalah keadaan kritis, tidak menentu yang mengancam situasi pangan masyarakat yang memerlukan tindakan serba cepat dan tepat diluar prosedur biasa.

Keadaan darurat terjadi karena peristiwa bencana alam, paceklik yang hebat, dan sebagainya yang terjadi diluar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan (Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002).

6. Investigasi adalah kegiatan peninjauan ke tempat kejadian rawan pangan untuk melihat langsung dan melakukan cross check terhadap kejadian rawan pangan dan gizi, sekaligus mengumpulkan data dan informasi guna mengidentifikasi permasalahan, sasaran penerima manfaat, serta jenis bantuan yang diperlukan.

7. Intervensi adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama masyarakat dalam menanggulangi kejadian rawan pangan transien maupun kronis, untuk mengatasi masyarakat yang mengalami rawan pangan sesuai dengan kebutuhannya secara tepat dan cepat.

8. Sasaran penerima manfaat adalah masyarakat yang terindikasi rawan pangan transien atau kronis yang ditetapkan berdasarkan hasil rekomendasi dari Tim Investigasi.

9. Berdasarkan waktu pelaksanaan, recovery permasalahan, dan hasil tindakan, mengatasi permasalahan rawan pangan yang dihadapi masyarakat maka intervensi dibedakan menjadi:

a. Intervensi Jangka Pendek/Tanggap Darurat adalah suatu kegiatan penanganan daerah rawan pangan bersifat segera.

b. Intervensi Jangka Menengah adalah suatu kegiatan penanganan daerah rawan pangan yang dilakukan dalam kurun waktu 3 (tiga) hingga 6 (enam) bulan.

c. Intervensi Jangka Panjang adalah suatu kegiatan penanganan daerah rawan pangan yang dilakukan dalam kurun waktu di atas 6 (enam) bulan.

(11)

10. Sistem Pengendalian Intern (SPI) dapat diartikan antara lain: pengawasan intern, lembaga, organisasi, pemerintah daerah, pemantauan pengendalian intern, dengan maksud dan tujuan mendukung peningkatan kinerja, transparansi, akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, dan pengamanan aset negara.

11. Monitoring (Pemantauan) adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin atau suatu proses mengukur, mencatat, mengumpulkan, memproses/mempelajari, mengawasi, dan mengkomunikasikan informasi untuk membantu pengambilan keputusan, yang dilakukan secara terus menerus dan berkala di setiap tingkatan agar program/kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana atau pengamatan secara kontinyu mengenai penggunaan input untuk melaksanakan kegiatan, pencapaian hasil, dan dampak proyek.

12. Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar atau proses penilaian secara sistematik, reguler, dan obyektif mengenai relevansi, kinerja dan keberhasilan program/proyek yang sedang berjalan dan sudah diselesaikan.

13. Pelaporan adalah bentuk penyampaian informasi mengenai hasil pelaksanaan program/kegiatan yang dituangkan ke dalam formulir yang telah ditentukan secara berkala dan sesuai dengan petunjuk pengisiannya atau dalam konteks partisipatif merupakan kegiatan yang direncanakan dan sistematis tentang data yang diproses, ditransformasikan ke dalam format yang disepakati, dan didistribusikan kepada pengguna untuk memuaskan kebutuhan informasi mereka.

14. Pengendalian adalah serangkaian kegiatan manajemen yang dimaksudkan untuk menjamin agar suatu program/kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau salah satu bentuk pengawasan internal, yang memungkinkan untuk melakukan intervensi pencegahan dan penanggulangan terhadap temuan yang menyimpang pada pelaksanaan program/proyek.

(12)

BAB II

KERANGKA PIKIR

Mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor 43 Tahun 2010 tentang Pedoman SKPG, pengertian SKPG adalah serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian rawan pangan dan gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi. Dalam melaksanakan SKPG, pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pangan dan Gizi yang berada di bawah koordinasi Dewan Ketahanan Pangan.

Kegiatan SKPG terdiri dari : 1) analisis situasi pangan bulanan, (2) analisis situasi pangan tahunan, serta (3) diseminasi dan penyebarluasan informasi. Analisis bulanan dan tahunan menginformasikan tentang aspek ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan yang menjadi dasar untuk menganalisis situasi pangan dan gizi di suatu daerah. Data bulanan dan tahunan yang digunakan dalam analisis SKPG tersebut dikumpulkan dari lembaga yang berwenang menyediakan data, seperti BPS, Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, atau Dinas/Kantor/Badan/Unit Kerja lainnya yang terkait.

Analisis bulanan untuk aspek ketersediaan pangan menggunakan data luas tanam dan puso komoditas pangan utama sumber karbohidrat pada tahun berjalan dibandingkan dengan rata-rata data tersebut dalam lima tahun terakhir. Untuk aspek akses pangan, data yang dikumpulkan yaitu data komoditas harga pangan utama dan strategis pada bulan berjalan dibandingkan dengan rata-rata data tersebut selama tiga bulan terakhir. Untuk aspek pemanfaatan pangan digunakan pendekatan melalui data status gizi balita pada bulan berjalan.

Demikian pula untuk analisis tahunan juga menguraikan aspek ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan hanya saja sumber datanya berbeda dengan analisis bulanan. Untuk aspek ketersediaan pangan, data yang dianalisis yaitu data ketersediaan pangan serealia dan konsumsi normatif. Untuk aspek akses yang dianalisis adalah data mengenai kemiskinan setahun terakhir. Untuk aspek pemanfaatan pangan yang dianalisis yaitu` data status gizi balita yang dikumpulkan sekali setahun melalui kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG).

Data bulanan dan tahunan tersebut selanjutnya diolah dan dianalisis untuk mengetahui tingkat kerawanan pangan suatu daerah. Hasil analisis SKPG yang mencerminkan tingkat kerawanan pangan tersebut, selanjutnya dilihat apakah di suatu daerah terindikasi rawan (berwarna merah), waspada (berwarna kuning),

(13)

dan aman pangan (berwarna hijau). Apabila suatu daerah terindikasi rawan pangan berarti terdapat minimal satu aspek dalam SKPG yang berwarna merah.

Kejadian rawan pangan tersebut yang perlu segera dilakukan antisipasi dan penanganan lebih lanjut.

Terkait dengan penanganan daerah rawan pangan, SKPG berperan menghasilkan analisis/peta situasi pangan dan gizi yang digunakan untuk rekomendasi bagi pengambilan keputusan terutama untuk mendeteksi kerawanan pangan kronis dari aspek ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan. Bagi daerah yang mendapatkan analisis hasil SKPG warna merah (rawan pangan), ditindaklanjuti dengan investigasi. Investigasi merupakan kegiatan peninjauan ke tempat kejadian rawan pangan untuk melihat langsung dan melakukan cross check terhadap kejadian rawan pangan dan gizi, sekaligus mengumpulkan data dan informasi guna mengidentifikasi permasalahan, masyarakat yang terkena dampak, serta jenis bantuan yang diperlukan. Apabila diperlukan tindakan untuk mengatasi kondisi rawan pangan maka dilakukan tindakan intervensi. Tindakan intervensi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama masyarakat dalam menanggulangi kejadian rawan pangan kronis maupun transien, untuk mengatasi masyarakat yang mengalami rawan pangan sesuai dengan kebutuhannya secara tepat dan cepat.

Bekerjanya mekanisme tersebut, diharapkan dapat terantisipasinya kejadian rawan pangan secara dini dan tertanggulanginya kejadian rawan pangan kronis maupun transien melalui analisis SKPG. Secara lebih jelas mengenai peran analisis SKPG dalam kerangka penanganan kerawanan pangan dapat dilihat pada Gambar 1.

(14)

Tidak

Ya

Tidak Ya

Gambar 1. Analisis SKPG dalam Kerangka Penanganan Kerawanan Pangan

Pemantauan /analisis SKPG

tetap dilanjutkan DATA BULANAN DAN

TAHUNAN SKPG (Ketersediaan, Akses,

dan Pemanfaatan Pangan)

DATA DIKUMPULKAN, DIOLAH, DAN

DIANALISIS

Apakah terdapat permasalahan pada:

Ketersediaan?

Akses?;dan Pemanfaatan Pangan?

HASIL ANALISIS

SKPG

Terindikasi Rawan Pangan

Intervensi Non Pangan (jenis intervensi non pangan yang sesuai

dan memungkinkan untuk diberikan, sasaran, waktu intervensi, durasi, skala intervensi, target intervensi, pelaksanaan)

Dilakukan Investigasi

Apakah permasalahan yang timbul telah sampai pada tahap membutuhkan

upaya penanganan intervensi ?

Intervensi Pangan

(jenis intervensi pangan yang sesuai dan memungkinkan untuk diberikan, sasaran, waktu intervensi, durasi, skala intervensi,

target intervensi, pelaksanaan)

Jenis intervensi yang bagaimana yang diperlukan?

Dipantau/moni toring situasi pangan dan

gizi

(15)

BAB III PELAKSANAAN

A. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi merupakan serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian kerawanan pangan dan gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi, yang pedomannya diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor : 43/Permentan/OT.140/7/2010.

Peran pemerintah bersama masyarakat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kerawanan pangan dan gizi. Pemerintah dalam upaya mencegah kejadian rawan pangan dan gizi melakukan langkah-langkah berikut:

a. Pengamatan dan kajian dengan menggunakan beberapa indikator yang sesuai urutan kejadian, sebagai bahan untuk mengambil keputusan tindakan preventif dan kuratif;

b. Meningkatkan kapasitas pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota dalam penanganan kerawanan pangan dan gizi melalui pengelolaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), dengan menetapkan Pokja SKPG secara berjenjang, mulai dari Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

1. Pembentukan Pokja SKPG

Pembentukan Pokja SKPG di Pusat ditetapkan oleh Menteri Pertanian selaku Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan (DKP), yang berada di bawah koordinasi Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian selaku Sekretaris DKP. Anggota Pokja berasal dari perwakilan: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Sosial, BULOG, dan instansi lainnya yang terkait. Selanjutnya Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian selaku Sekretaris DKP dan Sekretaris Pokja SKPG melaporkan kegiatan SKPG kepada Ketua Harian DKP.

Pembentukan Pokja SKPG di provinsi ditetapkan oleh Gubernur selaku Ketua DKP Provinsi, yang berada di bawah koordinasi Kepala

(16)

Badan/Dinas/Kantor/unit kerja ketahanan pangan selaku Sekretaris DKP Provinsi.

Anggota Pokja berasal dari perwakilan instansi: Badan/Dinas/unit kerja ketahanan pangan provinsi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Sekretaris atau Asisten dari unsur Pemerintah Daerah (Pemda), Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Statistik, Satuan Kerja Pemerintah Daerah Keluarga Berencana (SKPD KB), Dinas Sosial, Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam, Divisi Regional Perum Bulog, dan Kepolisian Daerah.

Pembentukan Pokja SKPG di kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagai Ketua DKP Kabupaten/Kota, yang berada di bawah koordinasi Kepala Badan/Dinas/Kantor/unit kerja ketahananan pangan selaku Sekretaris DKP Kabupaten/Kota. Anggota Pokja berasal dari perwakilan:

Badan/Kantor/ Dinas/ unit kerja ketahanan pangan kabupaten/kota, Bappeda, Sekretaris Daerah atau Asisten dari unsur Pemda, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Statistik Kabupaten/Kota, SKPD-KB Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh), Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam, Divisi Regional Perum Bulog, dan Kepolisian Resort.

Selanjutnya terkait dengan peran dan tugas Pokja SKPG dalam pengelolaan SKPG baik di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten/kota adalah sebagai berikut:

a. Melakukan pertemuan koordinasi teknis serta konsolidasi data dan informasi pangan dan gizi secara reguler setiap bulan dan akhir tahun;

b. Menemukenali secara dini dan merespon kemungkinan timbulnya masalah pangan dan gizi;

c. Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data dan informasi bulanan dan tahunan untuk: (a) aspek: ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan; serta (b) data spesifik lokal lainnya;

d. Melakukan analisis hasil SKPG untuk mengetahui situasi pangan dan gizi di suatu wilayah. Hasil analisis SKPG yang menunjukkan rawan,mengindikasikan bahwa beberapa rumah tangga di wilayah tersebut tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya dalam waktu yang cukup lama, atau di wilayah tersebut mengalami kondisi

(17)

rawan pangan kronis. Hasil analisis SKPG ditunjukkan dengan warna merah (rawan), kuning (waspada), dan hijau (aman);

e. Menyiapkan bahan dan menyusun laporan situasi pangan dan gizi setiap tiga bulan (triwulan) dan tahunan;

f. Menyiapkan bahan perumusan kebijakan dan intervensi penanganan rawan pangan dan gizi, serta menggalang kerjasama dengan berbagai institusi termasuk kalangan swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam implementasi rencana tindak lanjut dan intervensi penanggulangan kerawanan pangan dan gizi;

g. Melaporkan hasil analisis bulanan dan tahunan kepada Ketua DKP secara berjenjang melalui Sekretais DKP baik di pusat, provinsi , dan kabupaten/kota;

h. Melakukan investigasi kedalaman masalah pangan dan gizi berdasarkan:

informasi yang mengemuka, hasil analisis bulanan, dan merumuskan langkah- langkah intervensi.

2. Analisis Data SKPG

Analisis data SKPG terdiri dari analisis data bulanan dan tahunan pada tiga aspek utama yaitu aspek ketersediaan, askes, dan pemanfaatan pangan.

Analisis data SKPG bulanan ditunjukkan dengan nilai persentase ketersediaan pangan bulan berjalan dibandingkan dengan rata-rata data tersebut dalam lima tahun terakhir pada luas tanam dan luas puso, serta diperkuat dengan analisis data luas panen dan cadangan pangan pada komoditas pangan utama seperti padi, ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Analisis data akses pangan bulanan ditunjukkan dengan membandingkan harga pada bulan berjalan dengan rata-rata data harga tiga bulan terakhir pada komoditas pangan utama dan strategis seperti beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, gula, minyak goreng, daging ayam, dan telur. Analisis data pemanfaatan pangan bulanan dapat ditunjukkan oleh status gizi balita dengan menghitung angka balita naik berat badan, angka balita yang tidak naik berat badan dalam dua kali penimbangan berturut-turut, dan angka balita dengan berat badan di bawah garis merah dibandingkan angka balita yang ditimbang pada bulan tersebut.

Untuk analisis data SKPG tahunan, data yang dianalisis adalah (1) ketersediaan pangan dengan menghitung rasio antara ketersediaan dibandingkan dengan konsumsi normative; (2) akses pangan yaitu dengan menghitung persentase keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I, serta diperkuat dengan analisis terhadap harga komoditas pangan utama dan strategis, IPM, dan NTP;

dan (3) pemanfaatan pangan dengan menilai prevalensi gizi kurang pada balita.

(18)

Dalam melakukan analisis SKPG, komoditas pangan yang dianalisis merupakan komoditas yang ada dan menjadi bahan pangan utama atau bahan pangan strategis di wilayah tersebut. Oleh karenanya, peran Pokja SKPG sangat penting dalam mengumpulkan data SKPG bulanan dan tahunan pada masing- masing provinsi dan kabupaten/kota, sebagai berikut: (1) BPS/Dinas Pertanian dapat memberikan data luas tanam, luas puso, dan luas panen, (2) BPS/Dinas Perindag dapat memberikan data harga komoditas pangan utama dan strategis, (3) Dinas Kesehatan dapat memberikan data status gizi balita, (3) Bulog dapat memberikan data cadangan pangan, (4) BKKBN dapat memberikan data keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I, serta instansi lainnya seperti Dinas Sosial dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dapat memberikan data untuk mendukung analisis situasi pangan dan gizi.

B. Investigasi

Investigasi dilaksanakan sebagai tindak lanjut hasil analisis SKPG yang direkomendasikan Pokja Pangan dan Gizi kepada Ketua DKP melalui Badan/Dinas/Kantor/unit kerja ketahanan pangan di provinsi dan kabupaten/kota maupun laporan yang diterima mengenai kondisi rawan pangan oleh Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Investigasi dilakukan untuk mengetahui: (1) akibat kejadian bencana pada ketahanan pangan dan gizi suatu wilayah yang masyarakatnya tidak mampu mengatasinya tanpa bantuan dari pihak lain; (2) tipe bantuan/intervensi yang diperlukan; (3) sasaran penerima manfaat; (4) besaran bantuan; (5) waktu pelaksanaan intervensi; (6) letak lokasi sasaran; (7) mekanisme intervensi; dan (8) upaya penanganan melalui bantuan:

pemerintah, badan usaha, swasta nasional, atau internasional.

Investigasi dilaksanakan maksimal lima hari setelah menerima informasi adanya gejala rawan pangan guna memetakan kondisi yang terkait dengan:

produksi, distribusi bahan pangan, dan kesehatan. Contoh format investigasi rawan pangan kronis, investigasi dampak bencana/transien, dan rekapitulasi hasil investigasi untuk menentukan sasaran intervensi dapat dilihat pada Format 1-3 halaman 23-26.

Pembentukan Tim Investigasi di provinsi atau kabupaten/kota dilakukan oleh Badan/Kantor/Dinas/unit kerja ketahanan pangan provinsi dan kabupaten kota pada saat diperlukan, untuk menangani indikasi rawan pangan hasil analisis SKPG/laporan pemantauan, dan dapat dibubarkan setelah tugas Tim Investigasi dinyatakan selesai. Jumlah anggota Tim Investigasi minimal 5 (lima) orang dari instansi terkait, anggota Pokja SKPG yang mempunyai keahlian di bidangnya

(19)

atau dari pejabat, dan staf lingkup Badan/Kantor/Dinas/unit kerja ketahanan pangan provinsi atau kabupaten/kota;

Secara lebih rinci mengenai tugas Tim Investigasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat disampaikan sebagai berikut:

a. Melakukan investigasi kepada sasaran yang terindikasi rawan pangan dengan segera turun ke lokasi kejadian paling lambat lima hari setelah suatu daerah diketahui mengalami kerawanan pangan kronis, dan untuk kerawanan pangan transien maksimal tiga hari dan berkoordinasi dengan Satlak/Satkorlak/instansi yang menangani penanggulangan bencana di wilayahnya;

b. Mengumpulkan data: sasaran, jenis, dan jumlah bantuan yang dibutuhkan serta mendampingi sasaran terdampak rawan pangan;

c. Menerima laporan hasil investigasi dan rekomendasi dari Tim Investigasi;

d. Menyampaikan hasil investigasi dan rekomendasi kepada Kepala Badan/Dinas/Kantor/unit kerja ketahanan pangan;

e. Menggunakan hasil investigasi sebagai pedoman untuk menyusun rekomendasi kepada Pokja Pangan dan Gizi melalui Badan/Dinas/Kantor/unit kerja ketahanan pangan tentang pelaksanaan tindak lanjut intervensi, yaitu:

(1) Jika hasil analisis investigasi disimpulkan belum perlu dilakukan intervensi, maka Pokja Pangan dan Gizi direkomendasikan untuk melakukan pemantauan secara berlanjut;

(2) Jika hasil investigasi disimpulkan harus segera melaksanakan intervensi, maka melalui Kepala Badan/Dinas/Kantor/unit kerja ketahanan pangan, diinformasikan mengenai: jenis intervensi pangan yang sesuai dan memungkinkan untuk diberikan, sasaran penerima intervensi, waktu pelaksanaan intervensi, durasi pemberian intervensi, skala intervensi, dan target intervensi.

C. Intervensi

Hasil investigasi dijadikan sebagai bahan rekomendasi untuk menetapkan jenis intervensi yang akan diambil untuk menanggulangi kerawanan pangan, sesuai dengan kondisi di lapangan. Sebelum intervensi dilakukan, terlebih dahulu perlu ditetapkan sasaran penerima manfaat (kelompok atau rumah tangga), tipe bantuan/intervensi yang diperlukan, besaran bantuan, waktu intervensi, mekanisme, durasi, dan skala intervensi. Contoh format rekapitulasi hasil investigasi untuk menentukan sasaran intervensi dapat dilihat pada Format 3 halaman 26.

(20)

Berdasarkan waktu dan jenis bantuan yang diberikan, intervensi penanganan daerah rawan pangan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Intervensi Jangka Pendek

Jenis bantuan yang diberikan, terbatas sebagai upaya antisipasi terhadap keadaan atau gejala yang menimbulkan masalah pangan atau gizi, guna mencegah situasi yang lebih buruk, dua jenis intervensi jangka pendek:

a. Intervensi jangka pendek hasil pengamatan dan prakiraan kemungkinan kejadian kerawanan pangan di suatu wilayah atau masyarakat, melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG); dan

b. Intervensi jangka pendek untuk penanggulangan bencana alam atau bencana sosial yang menimbulkan rawan pangan transien dan rawan pangan kronis.

Intervensi jangka pendek juga dilakukan untuk penanganan rawan pangan resiko rendah dan sedang. Apabila intervensi jangka pendek dalam waktu tiga bulan belum dapat mengatasi kondisi rawan pangan, maka dapat direkomendasikan untuk melakukan intervensi jangka menengah.

2. Intervensi Jangka Menengah

Intervensi jangka menengah dilakukan untuk menangani rawan pangan resiko tinggi. Untuk mengetahui dampak pelaksanaan intervensi dilakukan monitoring dan evaluasi. Apabila permasalahan yang dihadapi belum selesai, akan ditindaklanjuti dengan program intervensi jangka panjang.

3. Intervensi Jangka Panjang

Diarahkan untuk upaya penanggulangan rawan pangan kronis melalui pemberian bantuan program/kegiatan dalam kurun waktu di atas satu tahun.

Intervensi dilakukan secara terstruktur, berkelanjutan, dan terintegrasi dengan program/kegiatan subsektor dan sektor. Jenis intervensi jangka panjang yang akan diambil, dapat berupa intervensi non pangan, intervensi pangan, atau kombinasi keduanya apabila diperlukan:

a. Intervensi Pangan dilakukan jika perubahan yang terjadi terkait dengan penurunan indikator ketersediaan pangan. Intervensi yang diberikan berupa pemberian bantuan pangan termasuk pangan siap saji atau makanan tambahan bagi bayi umur di bawah lima tahun (balita). Jangka waktu intervensi pangan maksimal 3 (tiga) bulan.

(21)

b. Intervensi non pangan dilakukan apabila terjadi perubahan-perubahan terhadap indikator produksi pertanian dan distribusi bahan pangan. Intervensi yang diberikan dapat berupa bantuan sarana produksi pertanian, operasi pasar, atau sarana distribusi bahan pangan.

Penanganan rawan pangan kronis jangka panjang melalui bantuan program/kegiatan dapat dikembangkan oleh instansi terkait seperti kegiatan Desa Mandiri Pangan (Desa Mapan), Pengembangan Lumbung Pangan, Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), Desa Siaga, Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Program Rintisan Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Primatani), Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil Dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Keluarga (Smallholder Livelihood Development Programme in Eastern Indonesia/ SOLID), atau program pemberdayaan lainnya.

D. Penilaian Risiko

Mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, maka penilaian risiko dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan, yang dimuat dalam Term of Reference (TOR) dengan uraian langkah-langkah penanganan sebagai berikut:

1. Identifikasi risiko dilakukan pada setiap tahap kegiatan dengan deskripsi risiko yang mungkin timbul, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah pelaksanaan program/kegiatan;

2. Analisis risiko berupa penyebab dan kemungkinan terjadinya kegagalan;

3. Rekomendasi prioritas penanganan risiko secara berjenjang

Contoh identifikasi, analisis, dan penanganan risiko pada kegiatan SKPG seperti pada Tabel 2. berikut.

Tabel 2. Contoh identifikasi, analisis dan penanganan risiko pada kegiatan SKPG Tahap

Kegiatan Deskripsi Penyebab Akibat Penanganan risiko 1. Analisis

SKPG

Hasil analisis SKPG tidak terlaksana

Data SKPG bulanan dan tahunan terlambat/tid ak tersedia

Tidak terdeteksinya rawan pangan

- Pokja SKPG dioptimalkan perannya - Pokja SKPG

berkoordinasi antar lintas sektor dengan meningkatkan frekuensi

pertemuan/koordin asi

(22)

Tahap

Kegiatan Deskripsi Penyebab Akibat Penanganan risiko 2. Investigasi Penanganan

Kerawanan Pangan tidak tepat sasaran

Investigasi tidak dilakukan

Kerawanan Pangan bagi masyarakat sasaran masih berlanjut

- Mengarahkan tim untuk melakukan pemantauan ke lapangan sehingga menghasilkan laporan hasil investigasi pemantauan ke daerah yang terindikasi rawan pangan.

- Melakukan monitoring terhadap pelaksanaan investigasi

3. Intervensi Tidak optimalnya intervensi

Rekomendasi tidak

didasarkan dari hasil investigasi

Sasaran tidak mendapat penanganan kerawanan pangan sehingga kondisi rawan pangan berlanjut

- Tim investigasi melakukan pemantauan kepada sasaran dan memberikan rekomendasi yang tepat

- Penerima manfaat yang telah

ditetapkan sebagai sasaran diharuskan menandatangani surat tanda terima bantuan dalam bentuk kuintansi dan lainnya - Pemantauan

pemanfaatan dana oleh Badan/Dinas/

Kantor/unit kerja ketahanan pangan pusat/provinsi/

kabupaten dan kota

(23)

BAB IV

PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN

A. Pembinaan

1. Struktur Organisasi

Agar pelaksanaan kegiatan ini memenuhi kaidah pengelolaan sesuai prinsip pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean government), maka pelaksanaan kegiatan harus mematuhi prinsip­prinsip:

a. Mentaati ketentuan peraturan dan perundangan;

b. Membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);

c. Menjunjung tinggi keterbukaan informasi, tranparansi dan demokratisasi; dan d. Memenuhi asas akuntabilitas.

Tanggung jawab teknis pelaksanaan kegiatan ini berada pada Badan/Dinas/Kantor/unit kerja ketahanan pangan kabupaten/kota. Tanggung jawab koordinasi pembinaan program berada pada Badan/Dinas/unit kerja yang menangani ketahanan pangan provinsi atas nama Gubernur. Tanggung jawab atas program dan kegiatan, yaitu Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian memfasilitasi program dan kegiatan kepada provinsi dan kabupaten/kota. Kegiatan koordinasi pembinaan lintas kabupaten/kota difasilitasi oleh provinsi, sedangkan kegiatan koordinasi dan pelaksanaan teknis operasional difasilitasi oleh kabupaten/kota. Untuk kelancaran pelaksanaan program pembangunan pertanian di tingkat provinsi dibentuk Tim Pembina Provinsi dan pada tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Teknis Kabupaten/Kota.

2. Penanggung Jawab Program

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian memfasilitasi koordinasi persiapan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan SKPG antara lain:

a. Menyusun pedoman dan pola pemberdayaan yang berkelanjutan untuk mengarahkan kegiatan dalam mencapai tujuan dan sasaran sesuai Renstra yang ditetapkan;

b. Menggalang kemitraan dengan provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan, pemantauan/pengendalian dan evaluasi kegiatan; dan

c. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan SKPG dari pelaksanaan program dan anggaran.

(24)

3. Tim Pembina Provinsi

Tim Pembina Provinsi terdiri atas unsur Pokja SKPG yang merupakan perwakilan instansi:Badan/Dinas/unit kerja yang menangani ketahanan pangan provinsi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Sekretaris atau Asisten dari unsur Pemerintah Daerah (Pemda), Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Statistik, Satuan Kerja Pemerintah Daerah Keluarga Berencana (SKPD KB), Dinas Sosial, Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam, Divisi Regional Perum Bulog, dan Kepolisian Daerah sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran.

Tugas Tim Pembina Provinsi adalah:

a. Menyusun petunjuk teknis yang mengacu pada pedoman yang disusun oleh pusat;

b. Melakukan koordinasi lintas sektoral antar­instansi di tingkat provinsi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan;

c. Melakukan koordinasi dengan Tim Teknis Kabupaten/Kota dalam pemantauan dan pengendalian, serta membantu mengatasi permasalahan di lapangan; dan d. Menyusun laporan hasil pemantauan dan pengendalian serta menyampaikan

laporan ke tingkat pusat.

4. Tim Teknis Kabupaten/Kota

Tim Teknis Kabupaten/Kota adalah tim teknis yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat atau Kepala Badan/Kantor/Dinas/unit kerja ketahanan pangan kabupaten/kota.

Tim Teknis Kabupaten/Kota beranggotakan anggota Pokja SKPG yang berasal dari perwakilan: Badan/Kantor/Dinas/unit kerja ketahanan pangan kabupaten/kota, Bappeda, Sekretaris Daerah atau Asisten dari unsur Pemda, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Statistik Kabupaten, SKPD-KB Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh), Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam, Divisi Regional Perum Bulog, dan Kepolisian Resort sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran.

(25)

Tugas Tim Teknis Kabupaten/Kota adalah:

a. Menyusun petunjuk teknis (juknis) dengan mengacu pedoman yang disusun oleh pusat dan provinsi;

b. Melakukan sosialisasi;

c. Melakukan bimbingan teknis, pemantauan/pengendalian dan evaluasi; dan d. Membuat laporan hasil pemantauan/pengendalian dan evaluasi.

B. Pengendalian

Pengendalian kegiatan dilakukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen. Proses pengendalian di setiap wilayah direncanakan dan diatur oleh masing-masing instansi.

Pengawasan dilakukan oleh pemerintah melalui aparat pengawas fungsional (Inspektorat Jenderal, Inspektorat Daerah, maupun lembaga atau instansi pengawas lainnya) dan pengawasan oleh masyarakat, sehingga diperlukan penyebarluasan informasi kepada pihak yang terkait (penyuluh pertanian, pengurus kelompok, anggota kelompok, tokoh masyarakat, organisasi petani, LSM, aparat instansi di daerah, perangkat pemerintahan mulai dari desa sampai kecamatan, anggota lembaga legislatif dan lembaga lainnya).

Ada 4 (empat) tahapan kritis yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Tahap sosialisasi yang dilakukan oleh Tim Pengarah/Pembina di pusat/provinsi dan Tim Teknis di kabupaten/kota;

2. Tahap persiapan pelaksanaan SKPG oleh Tim Teknis di Kabupaten/Kota;

3.. Tahap pelaksanaan SKPG oleh Tim Teknis di Kabupaten/Kota;

4. Tahap evaluasi dan pelaporan pertanggungjawaban output, outcome, benefit dan impact.

Pengendalian dan pengawasan dilakukan di setiap tahap kegiatan yang dianggap sebagai titik kritis. Aktivitas pengendalian dalam SPI diarahkan untuk memberikan kepastian tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi dan menangani risiko. Aktivitas pengendalian dilakukan pada saat kegiatan berlangsung. Contoh aktivitas pengendalian dalam SPI pada kegiatan SKPG seperti matriks berikut (Tabel 3).

(26)

Tabel 3.Contoh aktivitas pengendalian dalam SPI pada kegiatan SKPG

Tahap Kegiatan Kemungkinan Risiko Kegiatan Pengendalian 1. Sosialisasi

kegiatan kurang

Pelaksanaan Kegiatan tidak optimal, karena pemahaman dan persepsi aparat dan pelaksana tidak sama.

Setiap kegiatan harus ada laporan pelaksanaan sosialisasi

2. Pokja SKPG lintas sektor tidak berjalan sesuai fungsinya

Pelaksanaan kegiatan tidak optimal karena tidak ada analisis bulanan situasi pangan dan gizi

Melaporkan pelaksanaan analisis setiap bulan (Laporan hasil SKPG) 3. Tim Investigasi

tidak dibentuk

Pemanfaatan dana tidak tepat sasaran karena tidak ada tim yang

melaksanakan investigasi atau pemantauan lebih dalam ke lapangan

Mengarahkan pembentukan tim investigasi apabila ditemukan indikasi kejadian rawan pangan (SK Tim Investigasi) 4. Tim investigasi

tidak

melaksanakan tugas sesuai fungsi

- Pelaksanaan kegiatan tidak optimal karena tidak ada rekomendasi hasil investigasi

- Pemantauan lapangan yang akan digunakan sebagai bahan

pertimbangan untuk melaksanakan intervensi dan pencairan dana

Mengarahkan tim untuk melakukan pemantauan ke lapangan (Laporan hasil investigasi pemantauan ke daerah yang terindikasi rawan pangan)

(27)

BAB V

PEMANTAUAN, EVALUASI, DAN PELAPORAN

A. Pemantauan dan Evaluasi

Kegiatan pemantauan evaluasi dilakukan secara berkala dan berjenjang sesuai dengan tahapan kegiatan lembaga, selanjutnya kegiatan pemantauan dan evaluasi harus dilakukan sebelum dimulai kegiatan (ex-ante), saat dilakukan kegiatan (on-going), dan setelah dilakukan kegiatan (ex-post).

Permasalahan/kendala yang dihadapi dapat disampaikan kepada Tim Teknis di kabupaten/kota sebagai bahan pelaporan dan evaluasi. Selanjutnya laporan tersebut disampaikan kepada instansi/lembaga terkait lainnya secara berjenjang.

Tim Teknis di kabupaten/kota dan Tim Pembina Provinsi melakukan pemantauan dan evaluasi serta membuat laporan pengendalian dalam semesteran dan tahunan secara berjenjang. Untuk mengetahui efektivitas penanganan rawan pangan di suatu wilayah melalui intervensi, dapat dilakukan melalui pemantauan secara bertahap dan berkelanjutan.

B. Pelaporan

Laporan hasil pelaksanaan SKPG disampaikan kepada pimpinan daerah sebagai bahan masukan untuk mengantisipasi dan menanggulangi terjadinya kondisi rawan pangan, disertai langkah-langkah penanganan. Laporan hasil pelaksanaan SKPG disampaikan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, dan Menteri Pertanian melalui Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, untuk digunakan sebagai evaluasi pelaksanaan kegiatan dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelaksanaan program pada tahun berikutnya.

Format laporan hasil pelaksanaan kegiatan SKPG berupa hasil analisis SKPG bulanan dan tahunan serta hasil interpretasinya terhadap hasil analisis SKPG yang disampaikan kepada BKP Kementerian Pertanian dapat dilihat pada Format 4 halaman 27.

(28)

BAB VII PENUTUP

Petunjuk Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dimaksudkan sebagai bahan acuan pelaksanaan kegiatan di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaannya di provinsi dan kabupaten/kota, masing- masing provinsi dan kabupaten/kota pelaksana kegiatan SKPG agar menjabarkan lebih lanjut kedalam Petunjuk Teknis (Juknis) sesuai dengan kondisi dan situasi daerahnya selama tidak bertentangan dengan isi petunjuk pelaksanaan ini.

Jakarta, 2013 Kepala Badan Ketahanan Pangan

Achmad Suryana

(29)

Format 1. Format Investigasi Rawan Pangan Kronis Provinsi :

Kabupaten/Kota : Kecamatan :

Desa :

Jumlah KK :

No

Penyebab Utama Rawan Pangan

Luasan/

Harga/

Jumlah

Total Jumlah KK Terindikasi

Rawan Pangan

Bantuan Yang

dibutuh kan

Volu -me

Yang telah diterima

Volu -me 1 Ketersediaan

- Luas tanam - Luas puso 2 Akses

- Harga bahan pokok 3 Pemanfaatan

- Balita Gizi buruk - Berat badan

balita rendah (BGM)

...2013 Diketahui,

Ketua Tim Investigasi Prov./Kab./Kota

(...) Nip.

(30)

Format 2. Format Investigasi Dampak Bencana/Transien

Provinsi : Kabupaten : Kecamatan :

Desa :

No Komponen Dasar Pengamatan Penyebab Kesimpulan A Sosial Ekonomi

1 Jumlah KK yang kehilangan mata pencaharian

1. Petani 2. Nelayan 3. Pedagang 4. Buruh

5. Lainnya...

2 Harga bahan pangan pokok (Rp/Kg)

1...

2...

Normal Rp...

Saat Ini Rp...

3 Jumlah aset yang hilang/rusak

1. Rumah 2. Ternak

3. ...

B Sarana dan Prasarana 1 Pertanian

1...

2...

Kondisi:

2 Transportasi

1...

2...

Kondisi:

3 Kesehatan

1...

2...

Kondisi

(31)

No Komponen Dasar Pengamatan Penyebab Kesimpulan 4 Fasilitas Perdagangan

1. Pasar 2. Kios

3. ...

Kondisi

C Ketersediaan Pangan 1 Luas Kerusakan Usahatani

1. Padi 2. Palawija 3. Perkebunan 4. Tambak 5. Karamba 6. ...

2 Jumlah Cadangan Pangan 3 Jumlah Pemasukan Bahan

Pangan D Bantuan

Yang dibutuhkan 1...

2...

Yang telah diterima 1...

2...

Volume

Keterangan:

... 2013 Diketahui,

Ketua Tim Investigasi Prov./Kab./Kota

(...) Nip.

(32)

Format 3. Format Rekapitulasi Hasil Investigasi untuk Menentukan Sasaran Intervensi

Provinsi : Kabupaten : Kecamatan :

No. Komponen Dasar Hasil Investigasi

1 Wilayah sasaran terindikasi rawan pangan

Misal: Desa X, Desa Y

2 Sasaran (jumlah KK) ………KK

3 Kondisi umum wilayah/sasaran terindikasi rawan pangan kronis/transien berdasarkan pengamatan

Misal:

Puso: 50 hektar

Balita gizi buruk: 21 balita 4 Jenis bantuan yang diperlukan (pangan

dan non pangan)

Misal:

Beras: 2 ton Bibit padi: 100 kg 5 Waktu pelaksanaan pemberian bantuan Misal:

satu bulan setelah penetapan sasaran

6 Pelaksana Misal:

badan/Instansi Ketahanan Pangan menunjuk pihak ketiga

... 2013 Diketahui,

Ketua Tim Investigasi Prov./Kab./Kota

(...) Nip.

(33)

Format 4. Outline Laporan SKPG Tahunan dan Bulanan Provinsi dan Kabupaten/Kota

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR LAMPIRAN

BAB I. PENDAHULUAN

BAB II. GAMBARAN UMUM SITUASI PANGAN DAN GIZI 2.1. Ketersediaan Pangan

2.1.1. Produksi (luas tanam, luas panen, luas puso) 2.1.2. Konsumsi Pangan

2.1.3. Jumlah Penduduk 2.1.4. Cadangan Pangan 2.2. Akses Pangan

2.2.1. Perkembangan Harga Pangan komoditas utama dan strategis 2.2.2. Jumlah Keluarga Prasejahtera

2.3. Pemanfaatan Pangan 2.3.1. Status gizi balita 2.3.2. Kasus gizi buruk BAB III. METODE SKPG

3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup SKPG

3.2. Organisasi Pelaksana SKPG (Lampirkan SK Pokja SKPG) 3.3. Mekanisme Kerja Kegiatan SKPG

BAB IV. HASIL PELAKSANAAN SKPG 4.1. Analisis Indikator SKPG

4.1.1. Aspek Ketersediaan Pangan 4.1.2. Aspek Akses Pangan 4.1.3. Aspek Pemanfaatan Pangan 4.1.4. Indeks Komposit

4.2. Peta situasi Pangan dan Gizi BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 5.2 Saran LAMPIRAN

1. SK Penetapan Pokja SKPG

2. Sumber data : aspek ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan 3. Hasil Pengolahan Indikator Aspek Ketersediaan

4. Hasil Pengolahan Indikator Aspek Akses Pangan 5. Hasil Pengolahan Indikator Aspek Pemanfaatan Pangan

Gambar

Tabel 1. Persentase Angka Rawan Pangan Tahun 2008-2011
Gambar 1. Analisis SKPG dalam Kerangka Penanganan Kerawanan Pangan
Tabel 2. Contoh identifikasi, analisis dan penanganan risiko pada kegiatan SKPG  Tahap
Tabel 3.Contoh aktivitas pengendalian dalam SPI pada kegiatan SKPG

Referensi

Dokumen terkait

ldentifikasi kelembagaan ekonomi yang ada di masyarakat dan berpotensi untuk berperan serta dalam upaya penanganan dan pencegahan rawan pangan dan gizi buruk

Kegiatan pelatihan olahan pangan dan penyaluran bantuan alat produksi yang ditargetkan oleh Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Grobogan kepada kelompok sasaran agar

Penguatan peran sentral pangan dan gizi dalam pembangunan, dengan membentuk kelembagaan pangan nasional yang memiliki wibawa dan otoritas kuat. Penguatan fungsi DKP di pusat

Fungsi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan sebagai sarana mengatasi kerawanan pangan untuk mensejahterakan rakyat, kebijakan pemerintah daerah dalam mengatasi

Meskipun yang mengetahui kondisi ketahanan pangan suatu masyarakat adalah daerah dalam hal ini pemerintah setempat sehingga kecukupan pangan daerah tersebut

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu instrumen deteksi dini kondisi kerawanan di daerah perkotaan, dengan tujuan spesifik: (1) menyusun indikator kerawanan pangan

Secara umum, kerawanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk

(5) Penguatan Lembaga pemasaran daerah, (6) pengurangan hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) pencegahan kasus penimbunan komoditas pangan