LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Hasil Wawancara dengan Kepala S eksi Pengawasan dan Konsultasi III KPP Pratama Jakarta Tebet
Narasumber : Bapak Hamdi Aniza Pertama, SE., Ak., M .Si Kepala seksi pengawasan dan konsultasi III Tempat : KPP Pratama Jakarta Tebet
Tanggal : 29 Desember 2010
1. M enurut anda, apakah alasan utama yang mendasari pemerintah melakukan perubahan nilai PTKP dan tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP)?
“Yang pertama, untuk nilai PTKP itu adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak, ini kan bersumber dari biaya hidup minimal, atau kebutuhan hidup minimal bagi setiap orang atau bagi setiap Wajib Pajak. Dengan perkembangan kondisi perekonomian, perkembangan kesejahteraan orang, tentu akan mempengaruhi pola konsumsi yang bersangkutan. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup pada hari ini tentu berbeda dengan memenuhi kebutuhan hidup di masa lalu. Jadi dengan kebijakan pemerintah ini, dinaikkan lah penghasilan tidak kena pajak, dari semula sebesar Rp 13.200.000,- menjadi Rp 15.840.000,-. Pertimbangannya adalah untuk menyesuaikan dengan tingkat perekonomian dan/atau kesejahteraan masyarakat, dan juga untuk memberikan rasa keadilan tentunya, dimana orang yang punya penghasilan tertentu akan dikenakan pajak, tapi kalau penghasilan itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ya jangan dipajakkin.
Disitulah asas keadilannya. Kemudian tentang tarifnya sendiri, tarif PPh OP ini
kan dari semula 35%, turun menjadi 30%, untuk lapisan yang tertingginya.
Kemudian untuk rank-nya dari semula 5 menjadi 4, dan ada peningkatan juga dari semula misalnya 5% itu hanya sampai Rp 25.000.000,- sekarang sudah sampai Rp 50.000.000,-. Dan untuk tarif tertinggi yang semula Rp 200.000.000,- menjadi 500.000.000,-. Itu hampir sama kondisinya karena mempertimbangkan tingkat kesejahteraan masyarakat dengan tingkat penghasilan yang masyarakat peroleh. Dan juga karena beban hidup orang semakin tinggi, karena dipengaruhi oleh pola konsumsi, dan pola perekonomian yang ada di masyarakat.”
2. Seberapa besar dampak perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) KPP Pratama Jakarta Tebet?
“Kalau secara kuantitatif mungkin belum bisa dikemukakan, karena belum saya lihat data penerimaan kami. Namun secara normatif, dengan adanya penurunan tarif, kemudian peningkatan nilai PTKP, otomatis agregatnya tentu akan ada penurunan pajak yang diterima. Namun demikian, penerimaan itu kan tidak hanya berdasarkan atas basis wajib pajak yang sudah ada, tapi kami juga memperluas basis pajaknya atau menambah Wajib Pajaknya. Jadi dari semula pemilik NPWP hanya 2-3 jutaan, pada 5 tahun terakhir sudah meningkat jauh menjadi 16 jutaan. Jadi basis pajaknya sudah naik. Jadi walaupun tarif pajaknya turun, PTKPnya naik, tapi karena basis pajaknya naik, ada kemungkinan juga akan ada peningkatan penerimaan pajak secara keseluruhan.”
3. Apakah dampak positif ataupun negatif dengan adanya perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) KPP Pratama Jakarta Tebet?
“Penambahan jumlah Wajib Pajak itu kan banyak sebab, jadi di Undang-Undang secara jelas menyatakan bahwa setiap warga negara itu pada dasarnya adalah Wajib Pajak, mereka kemudian mempunyai kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ketika persyaratan subjektif dan objektifnya terpenuhi.
Untuk Subjektifnya sebagai warga negara itu sudah terpenuhi sejak lahir, sedangkan untuk objektifnya adalah saat dia mempunyai penghasilan, dan lebih utama lagi jumlah penghasilannya diatas PTKP. Faktor lainnya adalah ketika ada kebijakan pada tahun 2009 yaitu pemberian pembebasan fiskal luar negeri bagi pemilik NPWP (yang akan dihapuskan pada tahun 2011). Kemudian faktor berikutnya adalah pada tahun 2009 keluar Undang-Undang PPh yang memberikan semacam sanksi kepada yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan pajak lebih tinggi 20%, itu juga mempengaruhi masyarakat untuk memiliki NPWP. Jadi kalau menyangkut perubahan nilai PTKPnya sendiri, dampak positifnya barangkali masyarakat akan dikenakan pajak atas penghasilannya ketika nilai PTKPnya lebih tinggi, jadi dalam jumlah penghasilan tertentu dia tidak akan dikenakan pajak. Dan limit penghasilan itu lebih tinggi dari pada yang lalu. Kalau dampak negatifnya ya terkait dengan penerimaan tadi, secara normatif penerimaan kami tentu akan turun karena tarifnya yang turun, dan PTKPnya yang naik, tapi secara agregat atau keseluruhan dan berjangka panjang, penerimaan tentu akan naik juga pada akhirnya. Jadi pada tingkat keseimbangan
tertentu mungkin penerimaan akan sama saja, tapi pada beberapa waktu kedepan penerimaan akan lebih tinggi.”
4. Bagaimana dampak perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) KPP Pratama Jakarta Tebet dalam jangka pendek dan jangka panjang?
“Jika dilihat dalam jangka pendek penerimaannya pasti akan turun, tapi dalam jangka panjang dengan bertambahnya basis pajak, bertambahnya jumlah orang yang memiliki NPWP, tentu penerimaan akan naik.”
5. M enurut anda, sejauh manakah pengetahuan para Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tebet terhadap perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP?
“Ketika Undang-Undang itu dikeluarkan, kami langsung mengundang para Wajib Pajak, jadi ada semacam sosialisasi tentang perubahan nilai PTKP dan tarif PPh untuk Orang Pribadi ini. Disamping juga secara nasional kami juga tetap mengkampanyekannya, apakah itu dalam bentuk seminar, iklan di media cetak ataupun elektronik, dan sosialisasi langsung atau tatap muka dengan para Wajib Pajak. Reaksi awal dari Wajib Pajak ketika mereka mendengar ada kenaikan nilai PTKP dan juga penurunan tarif PPh itu mereka pasti senang.
Karena jumlah tertentu dari penghasilannya tidak akan dikenakan pajak. Untuk itu limitnya lebih tinggi. M ereka memang senang menanggapi adanya perubahan ini.”
6. Apakah KPP Pratama Jakarta Tebet turut berpastisipasi dalam mensosialisasikan perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP? Bagaimana caranya?
“Kami mengadakan seminar, sosialisasi dengan tatap muka langsung, atau Account Representative (AR) misalnya dalam melakukan kunjungan ke Wajib Pajak mereka juga akan menjelaskan tentang perubahan ini, karena itu juga akan mempengaruhi dalam menghitung PPh bagi karyawan untuk pemotongan PPh pasal 21 misalnya, jika Orang Pribadi itu adalah pengusaha nanti kami akan jelaskan perubahan-perubahan itu akan berdampak dalam penghitungan PPh terutang yang nanti akan disampaikan di SPT tahunannya. Jadi ketika perubahan itu terjadi juga yang sederhana misalnya dalam menghitung PPh pasal 25 atau WP angsuran dalam tahun berjalan, jadi ketika tahun 2008 mereka masih menggunakan tarif yang lama, kemudian di tahun 2009 muncul tarif yang baru, otomatis ada perubahan disitu. Jadi perubahan dasar penghitungan PPh pasal 25 tahun berjalan 2009 ketika itu. Sehingga dari semula mereka misalnya membayar PPh pasal 25 nya sejumlah tertentu pada tahun 2008, di tahun 2009 pasti akan turun karena tarifnya turun. Kami disini bicara secara case by case untuk menjelaskan kepada para Wajib Pajak jika mereka mengalami kesulitan dalam menghitung pajak karena ada perubahan tarif dan nilai PTKP ini. Dalam penelitian terhadap SPT yang mereka laporkan juga tentu masih ada beberapa yang salah, tapi nantinya akan kami jelaskan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan mengenai perubahan-perubahan ini, dan sebagainya. Dan selanjutnya mereka juga akan melakukan pembetulan terhadap SPT-nya.”
7. Bagaimanakah respon para Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tebet menanggapi perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP?
“Tanggapan awal mereka pasti senang dengan adanya peningkatan nilai PTKP dan perubahan tarif PPh ini, tapi mungkin ribetnya mereka harus menghitung ulang, menyesuaikan lagi dengan tarif yang baru. Di tahap awal kan setiap perubahan pasti ada efek-efeknya, tapi di kasus ini positif sih.”
8. M enurut anda, apakah perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP menguntungkan atau malah merugikan bagi para Wajib Pajak?
“Kalau untuk merugikan para Wajib Pajak mungkin tidak, tapi di lapisan PTKP secara normatif penerimaan kami pasti akan turun. M ungkin ada dalam rank atau jumlah tertentu tarif lama itu jadi lebih tinggi, itu bisa saja terjadi karena rank- nya kan akan jauh ya. Jadi misalnya untuk tarif 10% dulu itu kan masih diatas Rp 25.000.000,- sampai Rp 50.000.000,-, sekarang kan diatas Rp 100.000.000,- jadi akan beda berapa pajak yang kemudian harus mereka bayar. Jadi kalau merugikan para Wajib Pajak mungkin tidak, malah para penerima yang akan mengalami penurunan dalam jangka pendek, tapi secara keseluruhan sih tidak.
Karena seiring dengan pertambahan jumlah Wajib Pajak.”
9. Apakah KPP Pratama Jakarta Tebet melakukan upaya lain untuk meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan selain dengan telah berlakunya nilai PTKP dan tarif PPh OP yang baru?
“Untuk orang pribadi itu ada beberapa pendekatan yang kami lakukan. Pertama, berdasarkan analisis SPT. Jadi kami membuat analisa terhadap SPT yang
dilaporkan oleh para Wajib Pajak, kemudian kami hitung berapa jumlah pajak yang seharusnya mereka bayar. Kalau misalnya dari analisis itu ada selisih yang seharusnya mereka masih ada kewajiban yang harus dibayar, biasanya akan kami himbau untuk membetulkan SPT-nya. Dalam keadaan tertentu para Wajib Pajak mungkin bisa merespon lalu membetulkan SPT-nya. Tapi ada juga dalam keadaan yang lain, mereka juga tidak mau, karena mereka anggap apa yang mereka laporkan sudah benar. Jika dalam posisi itu, kami bisa meningkat ke tahap berikutnya yaitu mereka akan kami periksa. Dan jika memang terbukti ada kekurangan pembayaran pajak, akan kami keluarkan Surat Tagihan. Lalu upaya kedua yang kami lakukan, di Undang-Undang yang baru ada tentang Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. M aksudnya adalah Orang Pribadi yang mempunyai usaha dalam bidang perdagangan biasanya, yang menjual langsung ke konsumen akhir. Kami punya mekanisme yang lebih sederhana untuk mereka dalam membayar pajak. Jadi setiap outlet yang mereka miliki, harus membayar pajak sebesar 0,75%. Jadi tarif PTKP tetap kami berlakukan dalam menghitung pajak mereka secara keseluruhan. Jika mereka mempunyai dua atau tiga outlet misalnya, disetiap outlet itu mereka sudah membayar pajaknya, lalu pada akhir tahun itu digabungkan lagi, diperhitungkan lagi pajaknya dengan tarif 0,75%.
Itulah yang setiap bulan harus mereka setor dari setiap outlet yang mereka miliki.
Kemudian upaya lain untuk meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan, kami melakukan program ekstensifikasi. Jadi kalau ada Wajib Pajak yang kami anggap sudah harus menjadi Pengusaha Kena Pajak tapi mereka belum melaporkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai kewajiban memungut PPN, itu akan kami himbau untuk mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Kemudian jika mereka mau, mereka akan melaporkan sendiri, jika mereka tidak mau mungkin akan kami berikan secara jabatan atau kami paksa untuk menjadi PKP. Kalau mereka belum memiliki NPWP juga akan kami himbau seperti itu.
Untuk ekstensifikasi ini juga kami mendekati para pemberi kerja, kemudian kami inventarisir karyawan yang mereka miliki, siapa yang belum memiliki NPWP akan kami kami berikan NPWP secara kolektif. Kalau sudah memiliki NPWP otomatis mereka akan melaporkan sendiri pajaknya, jika penghasilannya melebihi PTKP tentu akan ada setoran pajaknya. Dalam jangka panjang tentu upaya ini akan menambah penerimaan Pajak Penghasilan kami.”
10. Bagaimanakah cara KPP Pratama Jakarta Tebet untuk mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam usaha meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan selain dengan telah berlakunya nilai PTKP dan tarif PPh OP yang baru?
“Untuk tingkat kepatuhan Orang Pribadi sebenarnya masih dalam tingkat yang tidak terlalu tinggi, sekitar 40% - 50%. Jadi 50% dari WP terdaftar itu melaporkan SPT. Sebenarnya sudah cukup lumayan, walaupun sebenarnya dari total WP yang terdaftar itu kebanyakan adalah karyawan. Kalau karyawan itu sudah memiliki bukti pemotongan PPh dari tempat dia bekerja, maka sangat sederhana bagi karyawan itu untuk melaporkan SPT-nya. Hanya tinggal menempelkan bukti pemotongannya ke SPT Tahunan, kemudian dia laporkan.
Jika di KPP Pratama Jakarta Tebet ini, dan sama halnya di KPP-KPP yang lain, kami menerapkan sistem ‘jemput bola’. Jadi kami datang ke pemberi kerja, kemudian mereka bisa menyampaikan SPT-nya ke kami disana, secara kolektif
juga akan kami bantu tata cara pengisiannya. Kami pandu para karyawan untuk mengisi SPT, kemudian langsung kami terima. Ada juga sistem Drop Box, kami datang ke tempat keramaian, pusat perkantoran, atau ke mall misalnya, lalu kami akan buka counter disana untuk menerima SPT. Upaya-upaya ini bisa dikatakan banyak membantu dalam meningkatkan tingkat kepatuhan penyampaian SPT.
Disamping juga upaya yang lainnya seperti sosialisasi, iklan di media cetak atau elektronik, membuat spanduk himbauan penyampaian SPT, semua itu sudah biasa kami lakukan. Jadi untuk meningkatkan kepatuhan ini memang dibutuhkan kesadaran WP sendiri, tapi dengan diberikannya kemudahan-kemudahan dalam melaporkan SPT, kami tentu berharap para Wajib Pajak tidak ada alasan lagi untuk tidak melaporkan SPT-nya. Tapi dalam tiga tahun terakhir ini memang sudah cukup bagus tingkat kepatuhan para Wajib Pajak dalam melaporkan SPT.”
11. M enurut anda, apakah dengan berlakunya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif PPh OP yang baru, sudah menjadi keputusan yang benar sampai saat ini?
”Kalau dalam arah perkembangannya memang sudah benar sampai saat ini, karena pajak itu kan mengikuti perkembangan tingkat perekonomian yang ada di masyarakat atau negara. Dan penerimaan pajak itu mengacu pada anggaran negara, jadi ada faktor-faktor yang mempengaruhi satu tarif dinaikkan atau diturunkan. Terdapat pertimbangan secara budget atau anggarannya, lalu ada pertimbangan secara politis ke regulasi atau pengaturannya. Jadi siapa yang akan dikenakan pajak lebih tinggi, siapa yang dikenakan pajak lebih rendah, atau yang tidak dikenakan pajak sama sekali itu ada unsur regulasi di politis kenegaraan.
Disamping memang mempertimbangkan kalau dikenakan tarif yang rendah, nanti penerimaan pajak negara juga akan rendah, dan tidak bisa mencukupi biaya pemerintahan. Itulah yang menjadi pertimbangan pemerintah selama ini. Kalau negara ini ingin mandiri, tentu seharusnya porsi penerimaan pajak harus lebih besar, agar kami tidak bergantung terus dengan pinjaman luar negeri. Tapi pemerintah juga tidak bisa semena-mena menaikkan tarif pajak, karena akan berdampak sangat luas ke masyarakat. Bisa-bisa masyarakat malah jadi menghindari pajak. Karena pajak ini sebenarnya sensitif, karena merupakan iuran yang dipaksakan. Kalau salah memaksakan malah bisa jadi boomerang bagi pemerintah. Jadi harus agak pelan-pelan atau bahkan lambat kenaikannya, tapi mungkin itu bisa diterima oleh masyarakat.”
12. M enurut anda, bagaimana nasib perpajakan negara kami di masa yang akan datang? Atau bagaimana proyeksi penerimaan PPh OP untuk kedepannya?
”Proyeksi penerimaan PPh OP itu sebenarnya belum signifikan jika dibandingkan dengan penerimaan PPh dari badan usaha. Sebenarnya banyak faktor kenapa penerimaan PPh OP ini belum bisa maksimal. Tapi jika kami proyeksikan ke masa depan, kami sudah meletakkan dasar-dasarnya. Jadi dengan perluasan basis pajak, atau dengan bertambahnya kepemilikan NPWP, itu merupakan suatu peletakkan dasar pertama yang bagus. Kemudian langkah kedua tentu meningkatkan tingkat kepatuhan WP untuk melaporkan SPT-nya.
Dari sisi kami sendiri, kami harus memiliki data seluruh warga negara atau seluruh pemilik NPWP. Sehingga nanti kami bisa membandingkan apa yang mereka laporkan itu dengan apa yang seharusnya mereka laporkan. Dari situlah
kami pelan-pelan akan bisa meningkatkan penerimaan PPh OP ini. Kemudian faktor lain yang barangkali menyebabkan rendahnya penerimaan PPh OP itu adalah kecenderungan badan usaha di Indonesia untuk tidak membagikan dividen. Jadi selama ini ketika sebuah perusahaan menerima laba, biasanya labanya mereka tumpuk di perusahaan, jarang dibagikan dalam bentuk dividen.
Sehingga laba itu tidak mengalir ke Orang Pribadi yang memiliki saham di perusahaan tersebut. Tapi untuk tahun kemarin kami sudah sedikit mendorong badan usaha untuk membagikan dividen karena ada penurunan tarif dividen, dari semula 15% menjadi 10%. Itu juga merupakan suatu bentuk bagaimana porsi penerimaan PPh OP bisa naik. Jadi jika badan usaha membagikan dividennya, berarti kan para investor akan melaporkan SPT-nya, dan akan dihitung lagi berapa pajak terutangnya. Kemudian faktor yang lain adalah di negara ini dan mungkin juga di negara-negara lain memiliki sektor informal yang sangat banyak.
Contohnya seperti pengusaha kaki lima, atau bisa disebut ekonomi bawah tanah.
Dan penghasilan-penghasilan dari hasil kejahatan seperti korupsi, pencucian uang, dan sebagainya itu sangat banyak. Jadi semua itu kan tidak bisa terdeteksi oleh sistem yang kami miliki. Oleh karena itu, tingkat tax ratio negara ini rendah salah satu penyebabnya adalah kasus-kasus tadi. Perekomian yang ada di negara ini juga belum semuanya bisa terpantau oleh sistem yang kenegaraan ini miliki.
Seperti penyelundupan juga masih banyak terjadi, jadi orang-orang banyak yang hidupnya dari situ, demi menghindari pajak. Jika mereka melapor, malah menjadi tindak pidana karena hal tersebut kan termasuk ilegal. Termasuk ekonomi pedesaan juga tidak bisa kami cover semua.”
2. Hasil Wawancara dengan Kepala S eksi Pengolahan Data dan Informasi KPP Pratama Jakarta Tebet
Narasumber : Ibu Sri Hernowati
Kepala seksi pengolahan data dan informasi Tempat : KPP Pratama Jakarta Tebet
Tanggal : 29 Desember 2010
1. M enurut anda, apakah alasan utama yang mendasari pemerintah melakukan perubahan nilai PTKP dan tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP)?
“Ini sebenarnya kan PTKP dan tarif PPh itu pasti menyesuaikan dengan pergerakan ekonomi. Kemudian mengakomodir orang-orang yang mendapatkan pengurangan yang dikenakan tarif pajaknya itu memang benar-benar orang yang tepat. Agar tidak seperti dulu, penghasilannya berapa, dikenakan pajaknya berapa. Karena sebenarnya kan selalu ada inflasi. Jadi kalau misalnya dulu PTKP masih Rp 60.000,- pasti kan untuk orang-orang berpenghasilan tertentu hanya terkena yang lapisan bawah. Padahal kan target kami bukan itu. Jadi mungkin untuk perubahan nilai PTKP yaitu lebih mengikuti perubahan ekonomi secara makro. Kalau untuk perubahan tarif PPh OP, sebenarnya lebih menyangkut tentang keadilan bagi masyarakat. Karena lapisan tarifnya juga berubah, diharapkan untuk bisa mendeteksi kondisi ekonomi masyarakat yang sebenarnya.”
2. Seberapa besar dampak perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) KPP Pratama Jakarta Tebet?
“Kalau dampak itu pasti ada, tapi kami tidak melihat itu sebagai sesuatu yang signifikan karena diimbangi dengan pertumbuhan dari jumlah WP OP nya.
Karena sekarang sudah digalakan untuk semua yang mempunyai penghasilan melebihi PTKP wajib ber NPWP. M isalnya dulu penerimaan cuma 10, tapi WP OP nya cuma 15. Sekarang penerimaannya misalnya 15, tapi diiringi dengan pertambahan WP OP yang semakin meningkat. Secara nominal mungkin memang bertambah, kayak tadi dari 10 ke 15. Tapi persentase proporsi pasti jadi lebih kecil kalau misalnya dulu 1 WP mungkin menyumbang 2, sekarang 1 WP hanya menyumbang 1. Tapi karena sekarang WP OP nya semakin bertambah, jadi akan mempengaruhi kenaikan penerimaan juga. Sebenarnya jika dilihat dari perubahan ini, keuntungan untuk negara memang lebih kecil. Karena dengan peningkatan penerimaan yang tidak terlalu signifikan, tapi jumlah WP OP meningkat begitu banyak.”
3. Apakah dampak positif ataupun negatif dengan adanya perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) KPP Pratama Jakarta Tebet?
“Kalau dilihat dari dampak positifnya mungkin perubahan ini jadi lebih mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat yang sebenarnya. M ungkin dulu uang dengan nominal Rp 60.000,- hanya dimiliki oleh orang kaya, sekarang dimiliki oleh orang miskin. Dan untuk dampak negatifnya lebih ke kontribusi per orangnya, kalau seperti di makro ekonomi kan berapa per penduduk menyumbang, nah itu nilainya menjadi lebih kecil. Seperti yang tadi saya bilang, kalau dulu WP menyumbang 2, mungkin sekarang hanya menyumbang 1.
Karena PTKP naik, dan tarif PPh turun, jadi kan sebenarnya constraint itu menurunkan penerimaan pajak kalau dilihat dari sisi per WP nya. Tapi kalau dilihat secara nominal dalam jangka panjang, bisa menaikkan penerimaan pajak itu sendiri.”
4. Bagaimana dampak perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) KPP Pratama Jakarta Tebet dalam jangka pendek dan jangka panjang?
“Kalau dampak jangka pendek dalam penerimaan PPh memang kenaikan yang tidak terlalu signifikan, tapi memberikan administrasi perpajakan bagi kami yang berlipat-lipat lebih dari sebelumnya karena dengan bertambahnya WP OP. Dan kalau untuk dampak jangka panjang, kami harapkan untuk kedepannya semuanya sudah ber-NPWP, sudah menjadi Wajib Pajak. Jadi bisa meningkatkan penerimaan PPh kami untuk kedepannya.”
5. M enurut anda, sejauh manakah pengetahuan para Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tebet terhadap perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP?
“M ungkin memang tidak semuanya paham mengenai perubahan ini (nilai PTKP dan tarif PPh OP), karena masyarakat Indonesia juga paham ya pajak itu memang kontribusi tidak langsung, tidak seperti kita membeli barang yang bisa kita rasakan langsung manfaatnya. Jadi mereka memang tidak aware akan hal ini.
Kalau menurut saya memang harus lebih ditingkatkan lagi sosialisasi mengenai perubahan ini.”
6. Apakah KPP Pratama Jakarta Tebet turut berpastisipasi dalam mensosialisasikan perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP? Bagaimana caranya?
“Iya tentu, karena memang itu (mensosialisasikan perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP) tujuannya juga untuk meningkatkan penerimaan pajak KPP Pratama Jakarta Tebet. Dan kami memang mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan setiap perubahan yang ada. Biasanya kami mengundang para WP untuk menghadiri acara sosialisasi, atau membuat iklan di radio-radio maupun stasiun televisi.”
7. Bagaimanakah respon para Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tebet menanggapi perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP?
“Respon para Wajib Pajak mengenai perubahan PTKP dan tarif PPh ini pasti positif ya. Karena secara tidak langsung mereka justru diuntungkan dengan adanya perubahan ini. Tapi hanya saja aware mereka yang kurang.”
8. M enurut anda, apakah perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP menguntungkan atau malah merugikan bagi para Wajib Pajak?
“berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya, jadi menguntungkan para Wajib Pajak.”
9. Apakah KPP Pratama Jakarta Tebet melakukan upaya lain untuk meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan selain dengan telah berlakunya nilai PTKP dan tarif PPh OP yang baru?
“Kalau kami bicara mengenai peningkatan itu sebenarnya ada dua cara, ekstensifikasi dan intensifikasi. Kalau ekstensifikasi kami pasti berusaha untuk memperbanyak jumlah WP untuk mengimbangi penurunan penerimaan akibat adanya perubahan ini. Karena takutnya jika dengan jumlah WP OP yang sama (tidak meningkat), lalu nilai PTKP dan tarif yang baru diterapkan pasti penerimaannya akan menjadi lebih kecil. Untuk mengimbangi hal itu pasti kami harus menambah angka WP OP agar jumlah penerimaan kami juga bertambah.
Untuk cara intensifikasi mungkin bisa dengan lebih menggali kepedulian dan pemahaman para WP OP yang sudah terdaftar agar administrasi perpajakan mereka tepat. Siapa tahu masih ada penghasilan atau harta mereka yang belum dilaporkan.”
10. Bagaimanakah cara KPP Pratama Jakarta Tebet untuk mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam usaha meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan selain dengan telah berlakunya nilai PTKP dan tarif PPh OP yang baru?
“Ya memang hal ini yang kadang-kadang membuat kami bingung. Tapi untuk saat ini kan pajak itu sudah menggaungkan sistem modernisasi, jadi yang kami tawarkan juga pasti lebih mudah dan nyaman untuk prosesnya bagi WP. Jika WP masih melanggar atau membangkang, mungkin akan kita berikan punishment atau sanksi demi meningkatkan kepatuhannya. Tapi yang pasti sih kami akan meningkatkan pelayanan dan punishment.”
11. M enurut anda, apakah dengan berlakunya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif PPh OP yang baru, sudah menjadi keputusan yang benar sampai saat ini?
”M enurut saya sudah benar, walaupun peningkatan penerimaan PPh baru bisa dirasakan dalam jangka panjang dengan seiring bertambahnya jumlah WP OP.”
12. M enurut anda, bagaimana nasib perpajakan negara kita di masa yang akan datang? Atau bagaimana proyeksi penerimaan PPh OP untuk kedepannya?
”M enurut saya untuk nasib perpajakan di negara ini mungkin akan lebih baik, apalagi di tahun 2014 akan dilakukan modernisasi tahap kedua. Jadi sistemnya akan diganti, dan diterapkan secara global. Yang dinamakan dengan PINTAR (Project for Indonesia Tax Administration Reform).”